PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)
Program Studi Fisika
Oleh :
Antonius Iis Sugianto NIM : 013214010
PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” Lukas 21:19 “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” Matius 5:8 Don't worry if it doesn't work right. If everything did, you'd be out of a job. Fantasy, abandoned by reason, produces impossible monsters; united with it, she is the mother of the arts and the origin of marvels.
By Goya
Presented to my Supported : Jesus Christ you always in my heart
Bapak + Mamak
Mas Wanto + Mbak Tina
Mas Joko + Mbak Hermi
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2007 Penulis,
vi ABSTRAK
PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON
Antonius Iis Sugianto 013214010
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai koefisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton menggunakan sinar Natrium sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 5890 nm. Dari penelitian ini diperoleh hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu yang diukur dengan perubahan pola-pola interferensi. Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan menggunakan grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu. Untuk grafik 4.1 diperoleh persamaan garis
L
∆ = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8; sedangkan pada grafik 4.2 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8; pada grafik 4.3 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 10-8; untuk grafik 4.4 persamaan garis diperoleh persamaan ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8; dan grafik 4.5 diperoleh persamaan garisnya adalah ∆L = 6 x 10-8∆T − 9 x 10-8. Dengan menggunakan metode grafik, hubungan antara perubahan panjang logam besi
)
vii ABSTRACT
DETERMINING COEFFICIENT OF LINEAR EXPANSION OF IRON METAL BY USING INTERFERENCE RINGS NEWTON METODS
Antonius Iis Sugianto 013214010
A research had been conduced to know coefficient of linear expansion of iron metal by interference rings newton metods This research utilized the lamp Natrium as its light source wich has 5890 nm wavelength. Based on this research, the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change wich are measured with change of the interference pattern was know. The relation is presented in the graph of the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change. Based on graph 4.1-4.5, the linear function are as folows: ∆L = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8, for graph 4.1, for graph 4.2 ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8, for graph 4.3 ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 x10-8, for graph 4.4 ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8, and for graph 4.5 ∆L = 6 x 10 -8
T
∆ − 9 x 10-8. With using graph methods, relation between the changes of iron metal length Vs temperature give results is (1,700 ± 0,380).10-6 /°C. The result that get same as the result that reported is (1,71 ± 0,06).10-6 /°C.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Penentuan Koefisien Muai Panjang Logam Besi Dengan Metode Interferensi Cincin Newton” ini dengan baik. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Sanata Dharma pada program studi Fisika.
Selama penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir Ign. Aris Dwiatmoko, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Sri Agustini Sulandari, M.Si. Selaku pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing selama mengerjakan tugas akhir ini.
3. Seluruh dosen Fisika dan segenap civitas akademika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Dr Ign. Edi Santosa, MS, selaku Kepala Laboratorium Fisika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan izin memakai alat & ruangan Lab Fisika untuk penelitian skripsi.
ix
6. Teman-teman kost Tampan ; Simbah, Mak’e + Pak’e, Omen’s, Dono, Golank thanks a lot of.
7. My Love Family: Bapak + Mamak, Mas Wanto + Mbak Tina, Mas Joko + Mbak Hermi, adikku Retha dan keponakanku tercinta Wisnu + Tyas. Trimakasih Semua saran, semangat dan doanya atas diriku, sehingga dapat menyelesaikan kuliah dengan baik walaupun penuh perjuangan yang berat. 8. teman2 P3W (mellin, li2, obeth, punto, danank, prizka, henny) u all best
friend’s, kapan-kapan jalan bareng lagi dan suatu saat kita akan ketemu lagi alias reuni, don’t remember my..!!!
9. Buat teman-teman yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, Saya ucapkan banyak terimakasih yang telah memberi dukungan dan bantuan baik saran, pendapat, kritik atau sekedar menemani di laboratorium gelap.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran amat penulis harapkan demi perkembangan riset fisika eksperimen di USD khususnya dan di Indonesia umumnya.
Akhirnya, besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 5 Agustus 2007
x
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 2
1.3. Batasan Masalah ... 3
1.4. Tujuan Penelitian ... 3
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II DASAR TEORI 2.1. Hukum Pembiasan dan Pemantulan ... 5
2.2. Prinsip Huygens ... 7
2.2.1. Prinsip Huygens dan Hukum Pemantulan... 8
2.2.2. Prinsip Huygens dan Hukum Pembiasan ... 8
2.3. Lintasan Optis ... 11
2.3.1. Prinsip Fermat dalam Pembiasan dan Pemantulan Cahaya ... 12
2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan ... 14
2.4. Interferensi Cahaya ... 17
2.5. Interferensi Cahaya pada Selaput Tipis ... 21
xi
2.7. Pemuaian ... 29
2.7.1. Pemuaian Panjang ... 30
2.7.2. Pemuaian Luas ... 31
2.7.2.1. Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang ... 32
2.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik ... 33
2.7.3.1. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang ... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Jenis Penelitian ... 36
3.2. Alat dan Bahan yang Dipergunakan ... 36
3.3. Prosedur Percobaan ... 38
3.4. Analisis Data………. ... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hasil Penelitian ... 42
4.2. Pembahasan ... 52
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 54
5.2. Saran ... 55
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya ... 5
Gambar 2.2 Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens ... 7
Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar ... 8
Gambar 2.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca ... 9
Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium ... 11
Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah dipantulkan di C ... 12
Gambar 2.7 Cahaya dari D tiba di E setelah dibiaskan di F ... 13
Gambar 2.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat ... 15
Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas ... 16
Gambar 2.10Sumber cahaya yang melewati celah ... 18
Gambar 2.11Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis ... 22
Gambar 2.12Alat untuk mengamati Cincin Newton ... 25
Gambar 2.13Pola Cincin Newton ... 26
Gambar 2.14Cincin Newton dengan tebal film tertentu ... 27
Gambar 2.15Pemuaian panjang pada suatu logam ... 30
Gambar 3.1 Gambar rangkaian percobaan ... 38
Gambar 3.2 Rangkaian sistem optis ... 39
Gambar 4.1 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C ... 43
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C ... 45
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C ... 47
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C ... 49
xiii DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel data ke1 perubahan panjang logam besi ∆L (m)
terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 42 Tabel 4.2 Tabel data ke2 perubahan panjang logam besi ∆L (m)
terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 44 Tabel 4.3 Tabel data ke3 perubahan panjang logam besi ∆L (m)
terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 46 Tabel 4.4 Tabel data ke4 perubahan panjang logam besi ∆L (m)
terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 48 Tabel 4.5 Tabel data ke5 perubahan panjang logam besi ∆L (m)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Fenomena yang berkaitan dengan kalor sudah ada sejak zaman dulu,
contohnya orang purbakala memanaskan suatu benda menggunakan sumber panas
yaitu api, tetapi sudah pasti suhu pada api tersebut tidak dapat diukur dengan tepat.
Pada saat tersebut, belum dipikirkan cara mengukur suhu dengan tepat. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengukuran suhu dan kalor
telah banyak dikaji orang, demikain juga konsep pemuaian banyak dikaji secara
mendalam. Kajian konsep pemuaian akan banyak membantu pemahaman sifat fisis
suatu benda akibat terjadi perubahan suhu. Sebagai contoh, termometer suhu badan
yang digunakan untuk mengukur suhu badan manusia didasarkan pada konsep
pemuain.
Aplikasi pengetahuan tentang kaitan antara suhu dan pemuaian sangat banyak
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh pada rel kereta api akan
memuai jika rel kereta api terjadi kenaikan suhu, sehingga akan mempengaruhi kodisi
rel yang berakibat kondisi rel melengkung yang akan membahayakan kereta api yang
melintas. Supaya rel kereta tidak melengkung dalam pembangunan rel kereta api
diberi celah dalam sambungannya. Contoh yang lain adalah pada pemuaian alkohol
pada sensor suhu suatu ruangan dapat digunakan sebagai peringatan tanda bahaya
(alarm kebakaran).
Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besar pemuaian suatu benda
adalah dengan menggunakan interferometer Michelson. Interferometer Michelson
dapat mengukur perubahan panjang suatu benda yang memuai berdasarkan pola-pola
interferensi, dengan ketelitian yang tinggi. Pengukuran suhu suatu objek dengan
menggunakan parameter memiliki beberapa kelemahan, misalnya termometer
diletakkan pada permukaan logam, maka yang teramati tidak hanya suhu logam tetapi
juga akibat pengaruh suhu luar, sehingga ada panas yang terbuang atau tidak terukur
dan menyebabkan suhu logam tidak teramati dengan tepat.
Pada kesempatan ini, peneliti ingin menggunakan metode yang lain yaitu
dengan metode interferensi cincin Newton. Metode Cincin Newton yaitu didasarkan
pada perubahan pola-pola interferensi. Dengan menganalisis hasil perubahan pola ini,
akan diperoleh koefisien muai panjang benda yang diukur .
1.2. Perumusan Masalah
Karena masalah yang diteliti adalah pengaruh perubahan suhu terhadap
perubahan panjang dengan menggunakan metode interferensi Cincin Newton, maka
yang menjadi perumusan masalah dalam permasalahan penelitian ini adalah
1. Bagaimana menampilkan pola interferensi maka diperoleh nilai koefisien
muai panjang besi menggunakan metode interferensi Cincin Newton?
2. Bagaimana hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan
3
3. Bagaimana menentukan koefisien muai panjang dari data perubahan panjang
yang dihasilkan?
1.3. Batasan Masalah
Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengaruh perubahan suhu terhadap
perubahan panjang sebuah logam. Perubahan panjang ini diperoleh dari perubahan
pola-pola interferensi Cincin Newton. Dengan mengukur perubahan pola, dapat
ditentukan perubahan panjang logam. Koefisien muai panjang logam dapat diketahui
dengan menganalisa grafik hubungan antara perubahan panjang logam dengan
perubahan suhu.
1.4.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1. Menampilkan pola interferensi maka diperoleh koefisien muai panjang logam
dengan metode interferensi Cincin Newton.
2. Mengetahui hubungan antara perubahan panjang dengan perubahan pola-pola
terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton.
3. Menentukan koefisien muai panjang besi, dengan menganalisis perubahan
1.5.Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1. Menambah wawasan peneliti mengenai cara menentukan koefisien muai
panjang suatu logam besi dengan metode interferensi Cincin Newton
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk bidang ilmu
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Hukum Pembiasan Dan Pemantulan
Ketika gelombang dari tipe apapun mengenai sebuah penghalang misalnya
sebuah cermin, gelombang-gelombang baru dibangkitkan dan bergerak menjahui
penghalang tersebut. Fenomena ini disebut pemantulan. Ketika sebuah berkas cahaya
mengenai bidang batas yang memisahkan dua medium yang berbeda, seperti
misalnya bidang batas udara-kaca, energi cahaya tersebut sebagian dipantulkan dan
sebagian yang lain memasuki medium kedua, perubahan arah dari sinar yang
ditransmisikan tersebut disebut pembiasan (Tipler, 2001).
Jalannya cahaya pada pemantulan dan pembiasan diperlihatkan pada Gambar 2.1
θ1θ2
θ3
N
n1
n2
Bidang batas
Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya
Pada Gambar 2.1, N adalah garis normal, n1 indeks bias medium 1,
2
n indeks medium 2, θ1 sudut datang cahaya, θ2 sudut pantul cahaya, dan θ3 sudut
bias cahaya.
Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan suatu cahaya dari medium 1 dengan indeks
bias n1 ke medium 2 dengan indeks bias n2berlaku:
1. Cahaya yang dipantulkan dan yang dibiaskan terletak pada satu bidang yang
dibentuk oleh cahaya datang dan normal bidang batas di titik datang, seperti
terlihat pada Gambar 2.1
2. Untuk pemantulan, sudut datang (θ1) sama besar dengan sudut pantul (θ2) atau
2 1 θ
θ = (2.1)
3. Untuk pembiasan, Perbandingan antara sinus sudut datang (θ1) dengan sinus
sudut bias (θ3) merupakan nilai yang konstan atau
21 3 1
sin sin
n
=
θ θ
(2.2)
Sudut bias bergantung pada laju cahaya pada kedua media dan bergantung pada sudut
datang. Hubungan analitis antara (θ1) dan (θ3) ditemukan secara eksperimental pada
sekitar tahun 1621 oleh Willebrord Snell yang kemudian dikenal sebagai hukum
Snelli (Giancoli, 2001);
3 2 1
1sinθ n sinθ
n = (2.3)
7
2.2 Prinsip Huygens
Teori Huygens menjelaskan bahwa “semua titik pada muka gelombang
dapat dipandang sebagai sumber titik yang menghasilkan gelombang sferis (bola)
sekunder (spherical secondary wavelet). Muka gelombang adalah suatu permukaan
yang merupakan tempat kedudukan titik-titik medium dengan fase yang sama yang
dicapai oleh gerakan gelombang pada waktu yang sama (Alonso dan Finn, 1992).
Setelah selang waktu t, posisi muka gelombang yang baru adalah permukaan
selubung yang menyinggung semua gelombang sekunder ini” (Halliday dan Resnick,
1984). Secara skematis, Prinsip Huygens diperlihatkan pada Gambar 2.2
ct
Muka gelombang pada t = 0
Posisi baru muka gelombang
2.2.1. Prinsip Huygens Dan Hukum Pemantulan
Pada Gambar 2.3 sebuah gelombang Huygens dengan θ1adalah sudut
datang yang berpusat di titik a akan mengembang sampai pada titik l setelah selang
c
λ
. Dimana segitiga siku-siku alp dan a’lp keduanya memiliki sisi lp yang berhimpit
dan sisi al (=λ) sama dengan sisi a’p. Jadi keduanya segitiga siku-siku tersebut sama
dan sebangun dan dapat disimpulkan bahwa θ2 adalah sudut pantul antara muka
gelombang dan cermin sama dengan sudut datang, berarti
2 1 θ θ =
2.2.2. Prinsip Huygens Dan Hukum Pembiasan c
λ
a’ a
p l
2 θ
1 θ
Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar udara
cermin Gelombang
9
Pada gambar 2.4 muka gelombang dihubungkan satu dengan yang lainnya
menurut penggambaran Huygens, selang waktu ⎟
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
1 1
v
λ
ketika gelombang Huygens
dari titik e bergerak sampai pada titik c. Cahaya dari titik h, menjalar dalam kaca
dengan laju yang lebih kecil. Jarak yang ditempuhnya dalam selang waktu tersebut
akan lebih pendek, yaitu:
⎟
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
1 2 1 2
v v λ
λ
dengan λ1 panjang gelombang di medium 1 (udara), λ2 panjang gelombang di
medium 2 (kaca), ν1 kecepatan cahaya di medium 1 (udara), ν2 kecapatan cahaya di
medium 2 (kaca).
Gelombang yang dibiaskan harus menyinggung lengkungan berjari-jari λ2 berpusat
pada titik h. Oleh karena c terletak pada muka gelombang yang baru, maka bidang
singgung tadi harus melalui titik ini. Sudut antara sinar yang dibiaskan dengan Gelombang
datang
v2
udara
kaca
1 θ
3 θ
λ2
λ1 c h
e
e’ θ3
1 θ v1
normal bidang batas yaitu θ3, sama dengan sudut antara muka-gelombang yang
dibiaskan dengan perbatasan kaca-udara ini, dengan kata lain θ3 adalah sudut bias.
Panjang gelombang di udara λ1, maka diperoleh:
ta kons v
v
tan sin
sin
2 1
2 1
3
1 = = =
λ λ θ θ
Dengan θ1 adalah sudut antara gelombang datang terhadap garis normal atau sudut
antara muka gelombang datang dengan perbatasan kaca-udara. Hukum pembiasan,
dinyatakan dalam persamaan:
21 3 1
sin sin
n
=
θ θ
(2.4)
Dimana n21 dinyatakan sebagai perbandingan antara laju cahaya dalam kedua
medium tersebut, yaitu:
2 1 21
v v
n = (2.5)
Dengan demikian hukum pembiasan dapat dituliskan sebagai
3 2 1
1sin θ n sinθ
n = (2.6)
1
n indeks bias pada medium 1, n2 indeks bias pada medium 2, θ1 sudut datang dan
3
11
2.3. Lintasan Optis
Panjang lintasan optis didefinisikan sebagai panjang lintasan gelombang
cahaya di dalam hampa atau vakum jika gelombang tersebut merambat dalam suatu
medium, maka panjang lintasan adalah hasil perkalian antara indeks bias dengan
panjang lintasan dalam zat antara tersebut. Lintasan optis melewati suatu medium
tampak pada gambar 2.5
Jika suatu gelombang cahaya melewati udara dengan indeks bias n1=1, kemudian
masuk ke medium lain dengan indeks bias n2>1, maka panjang lintasan optis
( )
ploadalah plo=
∫
sn( )
s ds0 (2.7)
Jika n yang tidak bergantung pada s, maka
s n
plo= (2.8)
Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium s
2
v
1
n
1
v
2
2.3.1. Prinsip Fermat Untuk Pembiasan Dan Pemantulan Cahaya
Menurut Piere Fermat “ lintasan optis yang dilalui oleh cahaya untuk
merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu
perjalanannya minimum (Tipler, 2001). Jika digambarkan suatu cahaya yang
bergerak dari udara ke suatu medium dengan lintasan optis lo akan tampak seperti
Gambar 2.6,
Pada gambar 2.6 panjang total lo sinar adalah lo =AC+CB, maka besar
masing-masing nilai AC dan CB dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras
AC= a2+x2 dan BC= b2+
(
d −x)
2Sesuai dengan prinsip fermat lintasan optis (lo) adalah lintasan terpendek, oleh sebab
itu
[ ]
=0. dxlo d
Dengan demikian
1 θ θ2
2
θ
1 θ
x d-x
d
1
n
2
n
bidang batas A
B
C
Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah di pantulkan di C a
13
[ ]
(
)
(
)
[
(
)
]
[
(
)
]
(
)
[
(
)
]
2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 sin sin sin sin 0 0 2 2 1 2 2 1 0 θ θ θ θ = − = − + − − + = − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + − = − − x d b x d x a x x d x d b x x a x d b x a dx d dx lo d (2.9)Pada gambar 2.7 panjang total lo sinar adalah lo=DF+FE. Karena cahaya tersebut
bergerak dari medium 1 ke medium 2 maka lintasan optis totalnya menjadi
,
2 1DF n EF
n
lo= + maka besar masing-masing nilai DF dan FE dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus Phytagoras
DF= n1 a2+x2 dan 2
(
)
22 b d x
n
FE= + −
1 θ
1 θ
3 θ θ 3
D F E bidang batas 1 n 2 n
x d-x
d a
b
lo lintasan paling pendek bila
[ ]
=0, dxlo d
maka didapatkan hubungan sebagai berikut
[ ]
(
)
(
)
[
(
)
]
[
(
)
]
(
)
[
(
)
]
3 2 1 1 3 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 sin sin sin sin 0 0 2 2 1 2 2 1 0 n n n n n x d b x d n x a x n x d x d b n x x a n x d b n x a n dx d dx lo d = − = − + − − + = − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + − = − − θ θ θ (2.10)2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan
Jika gelombang datang sinusoidal, yaitu y=ymsin
(
kx−ωt)
, maka persamaangelombang pantul dapat ditentukan dengan menganggap gelombang pada dinding
pemantul analog dengan tali yang diikat pada tonggak (ujung tetap dan ujung bebas)
1. Analogi dengan ujung tetap bila gelombang datang dari medium yang lebih
renggang ke medium rapat. Berarti simpangan di x = 0 harus selalu sama
dengan nol. Agar simpangan pada x = 0 selalu sama dengan nol, diperlukan
15
Jadi persamaan gelombang pantul adalah:
(
)
(
0)
2
180 sin
sin
− + −
=
+ − − −
=
t kx y
t kx y
y
m m
ω ϕ ω
.
ym amplitudo gelombang, ωkecepatan sudut, k bilangan gelombang dan t waktu
yang ditempuh.
Jadi untuk gelombang sinus pembalikan fase pada gelombang pantul, dan dapat
dinyatakan sebagai tambahan sudut fase sebesar 180 atau beda fase 0
2 1 = ∆ϕ
pada fase gelombang pantul ini berarti bahwa panjang jarak yang ditempuh
seolah-olah bertambah λ
2 1
. Hasil superposisi gelombang datang dan
gelombang pantul oleh ujung terikat adalah gelombang stasioner x = 0
gelombang datang
Gelombang pantul khayal
(
kx t)
y
y1= msin −ω
(
kx t)
y
y2=− msin − −ω
(
)
(
)
{
}
(
)
(
)
{
}
t kx y y t kx t kx y y t kx t kx y y y y y m m m ω ω ω ω ω cos sin 2 sin sin 180 sin sin 0 2 1 = + + − = + − − + − = + = (2.11)Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari
medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase
tetap (pemantulan pada ujung bebas), sedangkan kalau pemantulan terjadi dari
medium renggang ke medium rapat fasenya berubah 2 1
atau terjadi loncatan
fase 1800 (pemantulan pada ujung tetap).
2. Analogi dengan pemantulan pada ujung tetap, pemantulan pada ujung bebas
terjadi bila gelombang datang dari medium yang lebih rapat. Analogi ini
tampak pada gambar 2.9
gelombang datang
(
kx t)
y
y1= msin −ω
Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas
Gelombang pantul khayal
(
kx t)
y
17
Jika gelombang datang dinyatakan oleh y1=ymsin
(
kx−ωt)
maka gelombangpantul oleh ujung bebas diberikan oleh y2=+ ymsin
(
−kx−ωt)
, maka hasilsuperposisi kedua gelombang ini adalah:
(
)
(
)
t kx y
y
t kx t
kx y
y
y y y
m m
ω
ω ω
sin cos 2
} sin
sin {
2 1
=
+ −
− =
+ =
(2.12)
Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari
medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase
tetap (pemantulan pada ujung bebas)
2.4. Interferensi Cahaya
Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau
lebih yang bertemu pada satu titik di ruang (Tipler, 2001). Seperti halnya cahaya pada
gelombang bunyi dimana interferensi bunyi menghasilkan gejala penguatan dan
pelemahan bunyi, maka di dalam interferensi cahaya dihasilkan gejala terang dan
gelap.
Dapat diungkapkan bahwa hasil perpaduan (resultan) dari kedua gelombang
mempunyai amplitudo resultan yang bergantung pada selisih fase kedua gelombang
tersebut. Dalam hal ini akan mengakibatkan terjadinya superposisi (hasil
penjumlahan) yang saling memperlemah ataupun memperkuat, kata lain bisa terjadi
interferensi destruktif atau konstruktif. Interferensi destruktif akan terjadi bila dua
konstruktif akan dihasilkan jika dua gelombang mempunyai frekuensi yang sama,
datang dengan fase yang sama.
Kita ketahui bahwa persamaan gelombang pada celah adalah:
t A A
Y= cosφ= cosω
dengan A amplitudo gelombang, ωkecepatan sudut dan t waktu yang ditempuh.
Jika sinar yang datang dari celah S1 pada waktu sampai pada titik P mempunyai sudut
fase φ1=kr1−ωt, dan sinar dari S2 mempunyai sudut fase
t r k kr t r r k ω ω φ − ∆ + = − ∆ + = 1 1
2 ( )
maka gelombang cahaya dari celah S1 dapat ditulis sebagai berikut:
) ( cos cos 1 1 1 t kr A A Y ω φ − = = (2.13)
dan untuk S2 dapat ditulis:
∆r θ
θ
S1 S2 1 r 2 r P d R19
(
)
(
φ ϕ)
ω φ + = − ∆ + = = 1 2 1 2 2 cos cos cos A Y t r k kr A A Y (2.14)dengan k r 2 (∆r)
λ π ∆
ϕ= = (2.15)
ϕ merupakan beda sudut fase kedua gelombang yang sampai di titik P karena ada
perbedaan lintasan optis (∆r) yaitu panjang lintasan gelombang cahaya didalam
vakum atau hampa apabila gelombang tersebut berjalan pada suatu medium. Hasil
superposisi kedua gelombang ini dapat dinyatakan dengan fungsi gelombang Y1dan
Y2pada titik P:
⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + = + = 2 cos 2 cos 2 cos cos 1 2 1 2 1 φ φ φ φ φ A A A Y Y YR
dengan φ1=kr1−ωt
maka ⎟⎟
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 2 cos 2 cos
2A ϕ kr1 ωt ϕ
YR (2.16)
atau = ⎜⎝⎛ − + ⎟⎠⎞
2 cos
)
(ϕ kr1 ωt ϕ
A YR R
amplitudo resultan dapat ditulis sebagai:
) 2 ( cos 2 )
(ϕ A ϕ
AR = (2.17)
Hasil dari interferensi yang teramati adalah intensitas gelombang cahayanya.
maka yang diperolah adalah intensitas rata-ratanya. Kuadrat Intensitas rata-rata dari
gelombang resultan itu berbanding lurus dengan kuadrat amplitudo resultan.
Besarnya intensitas tersebut dituliskan sebagai berikut:
⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ 2 cos 4 ~ 2 cos 2 ~ ~ 2 2 2 2 ϕ ϕ A I A I A I R
Jika dibandingkan antara intensitas gelombang resultan dengan intensitas gelombang
datangnya, maka: ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 2 cos 4 2 cos 4 2 2 2 2 ϕ ϕ A A I I o
Intensitas akan bernilai maksimum untuk 1
2
cos2φ= sehingga
π π π ϕ ϕ m ,..., 2 , , 0 2 1 2 cos = ± = (2.18)
dengan m = 0, 1, 2,….
jika persamaan (2.18) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15), maka diperoleh nilai
r
∆ adalah:
λ
m r =
∆ (2.19)
21
(
)
2 1
2 π
ϕ= m+ (2.20)
dengan m = 0, 1, 2,……
jika persamaan (2.20) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15) maka diperoleh nilai
r
∆ sebagai berikut:
(
)
2 1
2 + λ
=
∆r m (2.21)
Jika selisih lintasan ∆r dan panjang gelombang cahaya λ, maka persamaan (2.19) dan
(2.21) menjadi:
λ
∆r= m terjadi interferensi terang (2.22)
λ
∆ )
2 1
( +
= m
r terjadi interferensi gelap (2.23)
Gejala-gejala interferensi dapat ditunjukkan dengan percobaan fresnel, percobaan
young, gejala interferensi cahaya pada selaput tipis, gejala cincin newton dan
sebagainya.
2.5. Interferensi Cahaya Pada Selaput Tipis
Bila cahaya yang dipantulkan dari gelembung-gelembung sabun atau dari
lapisan tipis minyak yang mengambang diatas air, peristiwa ini dihasilkan oleh efek
interferensi antara dua rentetan gelombang cahaya yang dipantulkan pada permukaan
1972). Secara skematis interferensi pada selaput tipis dapat ditunjukkan pada Gambar
2.11
Sinar monokhromatik O dari media dengan indeks bias n1 menembus
selapis tipis zat bening yang plan-pararel dengan tebal = d, dengan indeks bias n2.
Sinar yang datang dari A sebagian dipantulkan menuju titik E dan sebagian lagi
dibiaskan menuju titik B, pada titik B sinar sebagian dibiaskan dan sebagian lagi
dipantulkan oleh media dengan indeks bias n3 menuju titik C, pada titik C sinar
sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan menuju titik F. Karena sinar yang
berinteferensi ini ada yang merambat di udara dan ada yang melalui zat bening,
sedang panjang gelombang sinar di udara dan zat bening berlainan, maka hasil
interferensinya pada titik G tidak hanya ditentukan selisih jarak yang ditempuh (∆r) d
1 θ θ2
3 θ θ3
O
A
B C D
E
F G
H
1
n
2
n
Gambar 2.11 Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis
3
23
seperti halnya jika sinar-sinar yang berinterferensi hanya melintasi udara saja, tetapi
dalam hal ini ditentukan oleh apa yang disebut selisih lintasan optik yang ditempuh.
Lintasan optis pada Gambar 2.11 adalah
1 2 1 2 1 1 ) ( ) ( ) ( ) ( n FG CF n BC AB n OA r n EG AE OA r + + + + = + + = (2.24)
Beda lintasan optik ∆rantara r1dan r2 adalah
1 2 r
r r= −
∆ , (2.25)
jika persamaan (2.24) kedalam persamaan (2.25), maka beda lintasan optik adalah
{
}
{
}
2 1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( n BC AB n AE CF n BC AB n EG AE FG CF n EG AE n FG CF n BC AB n EG AE OA n FG CF n BC AB n OA r + + − = + + − − + = + − + + + = + + − + + + + = ∆ (2.26)karena CF=DE, maka CF−AE= −AD sehingga
2 1 (AB BC)n
n AD
r=− + +
∆ 3 3 cos 2 2 cos θ θ d AB BC AB maka d AB mengingat = = + = (2.27)
Sehingga 2
3 1
cos
2 d n
n AD r θ + − = ∆
Nilai AD dapat dihitung dengan meninjau ∆ACD, yaitu
3
2dtgθ AC=
Dari hukum pemantulan n1sinθ1 =n2sinθ3, maka persamaan (2.28) dapat
dituliskan menjadi
2 3 3sin
2dtg n
AD=− θ θ (2.29)
Dari persamaan (2.26), (2.27) dan (2.29), diperoleh beda lintasan optis. Jika
2 3 1,n n
n < , maka beda lintasan optisnya adalah:
(
)
λ θ θ ∆ λ θ θ ∆ λ θ θ θ θ ∆ λ θ θ θ ∆ 2 1 ) sin 1 ( cos 2 2 1 1 sin cos 2 2 1 cos 2 sin cos sin 2 2 1 cos 2 sin 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 3 2 3 3 3 2 3 2 3 3 + − = + + − = + + − = + + − = n d r n d r n d n d r n d n tg d r (2.30)Dengan menggunakan identitas trigonometri cos2θ=1−sin2θ, maka persamaan
(2.30) menjadi λ θ ∆ λ θ θ ∆ 2 1 cos 2 2 1 cos cos 2 3 2 3 2 3 2 + = + = n d r n d r
Cahaya jatuh normal cosθ=1, maka terjadi interferensi terang (maksimum)
λ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = 2 1
2n2d m
dan interferensi gelap (minimum)
λ
25
2.6. Cincin Newton
Cincin Newton adalah hasil dari interferensi antara gelombang, satu
dipantulkan dari pelat gelas bidang dan lainnya dipantulkan dari dasar permukaan
lensa. Interferensi terjadi antara sinar pantul oleh permukaan cembung dan sinar
pantul oleh keping gelas maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin
terang dan gelap sesuai dengan tebal film atau d seperti yang terlihat pada gambar
2.12
dengan R jari-jari kelengkungan lensa, r jari-jari cincin, d tebal film, n1 indeks bias
lensa, n2 indeks bias udara atau selaput tipis dan n3 indeks bias keping gelas.
Hasil interferensi pada percoaan Cincin Newton terlihat pada Gambar 2.13 lensa
Keping gelas udara
cahaya datang
d r
R E
C D
B A
Gambar 2.12 Alat untuk mengamati cincin newton 3
n
2
n
1
Hubungan antara jari-jari kelengkungan lensa (R), jari-jari cincin (r) dan tebal film
(d) pada Gambar (2.12) adalah:
2 2
r R EC= −
dan
(
)
2 2r d R R
ED= = − +
sehingga 2 2 2 2 2 2 2 2 ) ( r d Rd R R r d R R + + − = + − =
atau r2=2dR−d2 (2.31a)
Karena d2 <<R2 maka r2 ≈2Rd sehingga tebal film dianggap sebagai
R r d
2
2
= (2.31b)
Karena n1,n3 <n2, maka beda lintasan optic adalah
λ λ λ ∆ 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2
2+ = + = +
= R r n R r n n d
r (2.32)
27
λ λ m R
r n
= +
2 1
2 2
sehingga r m ⎟R
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − =
2 1
λ (2.33)
untuk n2 = 1 (udara), dengan λ panjang gelombang, r jari-jari cincin terang, m
bilangan nomor cincin (1, 2, 3, 4, …), dan R jari-jari kelengkungan lensa
Untuk cincin Newton gelap yang ke-m diperoleh
R m
r= λ (2.34)
Pada pusat pola (r = 0) terjadi gelap (m = 0). Pada tempat tersebut jarak antara lensa
cembung datar dengan permukaan logam d = 0
Jika jarak antara permukaan lensa cembung datar dan keping gelas adalah do seperti
gambar (2.14), maka didapatkan tebal film d+d0. Agar terjadi cincin gelap maka
beda lintasan optis
0
d
r
0
d d±
Gambar 2.14 Cincin newton dengan tebal film tertentu
1
n
3
n
2
(
)
λ ⎟⎠λ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + + = ∆ 2 1 2 12n2 d d0 m
r
atau 2
(
d+d0)
=λm (2.35)Pada pusat pola: d = 0, sehingga 2d0 =λm
Agar pada pusat pola terjadi terang maka ⎟λ
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = 2 1
2d0 m
Pola gelap orde m=1 pada posisi d0=d1 dan pada posisi d0 =d2untuk orde
2 = m adalah sehingga 2 2 2 1 2 2 1 λ λ λ = ∆ = = d d d
Jadi
(
)
2 2
2 ) (
2 2 1
1 2 0 λ λ λ = − = ∆ = − =
29
2.7. PEMUAIAN
Telah kita ketahui bahwa jika suatu benda berubah suhunya maka benda
tersebut akan mengalami perubahan fisis atau kimia. Perubahan fisis yang terjadi
adalah pemuaian atau penyusutan. Pemuain adalah perubahan sifat fisis dari benda
akibat panas atau dalam hal ini akibat perubahan temperatur (Naga, 1991).
Ada beberapa jenis pemuaian yang dialami suatu benda yang mengalami perubahan
suhu, yaitu:
1. Pememuaian zat padat, yang terdiri dari
a. Pemuaian panjang
b. Pemuaian luas atau bidang
c. Pemuaian volume atau ruang
2. pemuaian zat cair
3. pemuaian gas
jika suatu benda memuai pada satu dimensi, maka pemuaiannya dinamakan pemuaian
panjang. Pemuaian dua dimensi dinamakan pemuaian luas atau pemuaian permukaan.
Sedangkan pada tiga dimensi dinamakan sebagai pemuaian ruang.
Pada teori molekul atau atom, suatu benda dianggap terdiri dari molekul atau
atom yang saling tarik-menarik, maka pemuaian suatu benda adalah perbesaran jarak
antar molekul atau atom zat tersebut. Pada kasus pemuaian suatu benda, massa suatu
benda adalah tetap, tetapi yang bertambah adalah volume yang ditempati oleh
2.7.1. Pemuaian Panjang
Jika benda berbentuk kawat atau batang diberikan suatu kalor maka batang
tersebut akan mengalami perubahan panjang sebagai akibat kenaikan suhu (Gambar
2.15).
Pada Gambar 2.15 dapat dilihat bahwa mula-mula logam dengan suhu awal T0
memiliki panjang L0. Setelah dipanaskan logam akan mengalami perubahan suhu
sebesar ∆T dan mengalami perubahan panjang ∆L. Setelah mengalami perubahan
suhu maka panjang logam menjadi L. Secara matematis pemuaian panjang dapat
dituliskan sebagai:
0
L L L= −
∆ (2.37)
Pemuaian panjang suatu logam ternyata berbanding lurus dengan panjang mula-mula,
dan berbanding lurus dengan kenaikan suhu ∆T, maka faktor ketidak-sebandingan
serta lainnya dapat dinyatakan dengan suatu faktor α. Secara matematis konsep
pemuaian dapat ditulis
T L
L= ∆
∆ α 0 (2.38)
∆L
Gambar 2.15 Pemuaian panjang pada suatu logam L
31
Faktor α dinamakan koefisien muai panjang yang dapat didefinisikan sebagai
perubahan fraksional panjang dibagi perubahan suhu (Sears dan Zemansky, 1982)
yang dapat dituliskan sebagai.
T L
L
∆ ∆ =
0
α (2.39)
Nilai koefisien muai panjang tidaklah konstan tapi bergantung pada jenis zat.
Dengan memakai konsep perubahan ∆L sebagai hasil dari panjang setelah dipanasi, L
di kurangkan dengan panjang mula-mula L0 maka persamaan (2.38) dapat dituliskan
) 1
(
0
0 0
0
T L
L
T L L L
T L L
∆ + =
∆ =
−
∆ =
∆
α α α
(2.40)
dengan L panjang setelah dipanaskan , L0 panjang mula-mula, α koefisen muai
panjang dan ∆T perubahan suhu.
2.7.2. Pemuaian Luas
Bila kita memandang pemuaian pada dua dimensi, maka kita memperoleh
pemuaian luas. Pertambahan luas pada suatu bidang yang mengalami perubahan suhu
berbanding lurus dengan luas mula-mula (S0), berbanding lurus dengan perubahan
suhu (∆T) dan berbanding lurus dengan koefisien muai luas (β). Secara matematis
dapat dituliskan sebagai:
T S S= ∆
jika terdapat suatu benda dengan luas permukaan S, maka kita dapat mendefisikan
koefisien muai luas sebagai:
T S S ∆ ∆ = 0
β (2.42)
koefisien muai luas β bergantung pada zat dan suhu. Pada saat T = 00, luas
permukaan adalah S0, maka diperoleh hubungan:
) 1 ( 0 0 0 0 0 0 T S S T S S S T S S S T S S ∆ + = ∆ + = ∆ = − ∆ = ∆ β β β β (2.43)
dengan S luas bidang setelah dipanaskan, S0 luas mula-mula, β koefisen muai luas
dan ∆T perubahan suhu.
2.7.2.1. Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang
Menurut ilmu ukur ukur, luas dapat disubstitusikan dengan luas berbentuk
empat persegi. Jika luas empat persegi panjang dinyatakan dengan S dengan sisi a
dan b, sehingga
b a
St = (2.44)
pada T = 00, panjang sisi-sisinya adalah a0 dan b0, maka luasnya diperoleh:
0 0 0 a b
S =
Sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai luas
33
(
)
[
2]
0 2 0 0 0 0 2 1 ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( T T S S T b a T b x T a S t t ∆ + ∆ + = ∆ + = ∆ + ∆ + = α α α α α
karena α∆T << 1, sehingga:
St=S0(1+2α∆T)
Jadi St=S0(1+β∆T) (2.45)
Maka didapatlah hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai
luas:
α
β=2 (2.46)
2.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik
Pemuaian dalam tiga dimensi adalah pemuaian kubik atau volum, pemuaian
volume pada suatu benda yang mengalami perubahan suhu berbanding lurus dengan
volume mula-mula (V0), berbanding lurus dengan perubahan suhu (∆T), berbanding
lurus dengan koefisien muai volum (γ). Secara matematis dapat dinyatakan dengan:
∆V=V0γ ∆T (2.47)
Jika terdapat bangun ruang dengan volume V, maka koefisien volumenya adalah:
T V V ∆ ∆ = 0
Koefisien muai volume tergantung pada jenis zat dan suhu juga. Jika terdapat suatu
benda dengan ruang dipanaskan, maka terjadi perubahan volume pada benda tersebut
sebesar: T V V V T V V ∆ = − ∆ = ∆ γ γ 0 0 0
atau )V=V0(1+γ ∆T (2.49)
dengan V volume benda setelah dipanaskan, V0 volume benda mula-mula, γ
koefisen muai volume dan∆T perubahan suhu.
2.7.3.1. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang
Jika suatu volume dengan sisi-sisinya a, b dan c, maka volumenya adalah
c b a Vt=
jika suhu T = 00 sisi-sisinya menjadi a0,b0,c0, maka volumenya menjadi
0 0 0 0 a b c
V =
sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dan koefisien muai volume adalah:
(
) (
)
[
2 3]
0 3 0 0 0 0 0 0 3 1 ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( T T T V V T c b a V T c x T b x T a V t t t ∆ + ∆ + ∆ + = ∆ + = ∆ + ∆ + ∆ + = α α α α α α α
karena α∆T << 1, maka suku dengan pangkat dua dan tiga dapat diabaikan. Dengan
demikian persamaan untuk volume benda yang mengalami pemuaian dapat
35
Vt=V0(1+3α∆T) (2.50)
substitusi persamaan (2.47) ke persamaan (2.50) menghasilkan
) 1
(
0 T
V
Vt= +γ ∆
atau Vt=V0(1+3α∆T) (2.51)
Dari persamaan (2.51) diperoleh hubungan antara koefisien muai panjang dan
koefisien muai volume sebagai berikut
α
γ =3 (2.52)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. TEMPAT DAN JENIS PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan diruang Laboratorium Fisika Fakultas MIPA
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jenis penelitian adalah eksperimen.
3.2. ALAT DAN BAHAN YANG DIPERGUNAKAN
Untuk memperoleh data pada penelitian ini, alat-alat dan bahan yang
dipergunakan adalah:
1. Lampu Natrium
Pada penelitian ini lampu natrium yang digunakan sebagai sumber cahaya yang
memiliki panjang gelombang 5890 Angstrom. kelebihan memiliki sifat
monokhromatis, arah sorot yang baik, kerapatan energi yang tinggi dan sifat koheren.
1) Termometer
Termometer yang digunakan adalah termometer air raksa dengan satuan Celcius.
Digunakan untuk mengukur perubahan suhu yang terjadi pada logam yang dipanasi.
2) Lensa cembung datar
Lensa yang digunakan adalah lensa cembung datar. Digunakan untuk interferensi
yang terjadi pada permukaan cembung lensa dan sinar pantul oleh sebuah logam yang
dipanasi, maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin terang dan gelap
sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam dari lensa.
37
3) Dua buah lensa
a) Lensa cembung disebut juga lensa konvergen atau lensa positif karena lensa
ini membelokkan berkas-berkas cahaya sehingga mengumpul ke satu titik.
b) Lensa cekung disebut juga lensa divergen atau lensa negatif karena lensa ini
membelokkan berkas-berkas cahaya yang sejajar sehingga saling menjauh.
4) Logam pejal
Logam yang digunakan adalah logam besi pejal dengan panjang 3,55 cm dan
diameter 7,10 cm
5) Pemanas logam
Untuk memanasi logam dengan cara logam besi diletakkan di atas pemanas. Supaya
logam besi mengalami perubahan suhu atau panas sehingga dapat memuai.
6) Cermin datar
Cermin datar digunakan untuk memantulkan sinar dari sumber cahaya lampu natrium
menuju lensa cembung datar.
7) Senter
Senter membantu pencahayaan untuk melihat suhu ditermometer pada saat percobaan
3.3. PROSEDUR PERCOBAAN
1) Dibawah ini digambarkan susunan peralatan yang digunakan:
Keteranagan gambar:
S = sumber cahaya (lampu natrium)
C = cermin datar
L = lensa datar cembung
I = lensa cembung
II = lensa cekung
T = termometer
B = logam (besi)
39
Sistem optis dari penelitian ini terdiri dari:
1. satu lensa cembung
2. satu lensa cekung
Pada gambar 3.2 cahaya yang datang berupa cahaya monokromatik yang berasal dari
sumber cahaya menuju sistem lensa I yaitu lensa cembung, cahaya yang datang ini
oleh lensa cembung I difokuskan pada titik fokusnya kemudian diteruskan ke lensa II
yaitu lensa cekung dan dihasilkan bentuk cahaya lampu natrium yang lebih fokus ke
cermin pantul dan dipantulkan menuju lensa datar cembung. Dari permukaan
cembung lensa melewati selaput tipis antara lensa dan logam besi kemudian
dipantulkan oleh logam besi kembali ke lensa, maka jika dilihat dari arah sinar pantul
akan terbentuk cincin terang dan gelap sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam
dari lensa. Dari perubahan pola-pola interferensi dan perubahan suhu maka selisih
lintasan optis antara lensa datar cembung dan logam besi dapat diketahui.
2) Langkah-langkah penelitian
a) Menampilkan pola-pola interferensi
II I
• Meletakkan besi diatas pemanas
• Meletakkan lensa datar cembung diatas logam besi
• Mengaktifkan sumber cahaya (lampu natrium)
• Menempati cermin pantul supaya cahaya dipantulkan menuju lensa
datar cembung
• Menampilkan pola-pola interferensi
b) Menayiapkan tabel data.
Perubahan sushu (0C) Perubahan pola interferensi
c) Memanaskan alat pemanas sehingga mengahasilkan panas yang akan
dialirkan ke logam besi.
d) Setelah logam mengalami perubahan suhu, kemudian mencatat setiap
perubahan suhu dan perubahan pola interferensi dan memasukkannya
41
3.4. ANALISIS DATA
Setelah memperoleh data yang diperlukan, langkah yang harus dilakukan
adalah:
1. Menghitung perubahan panjang tiap perubahan pola interferensi dengan dari
persamaan (2.36)
λ λ m l
m d
= ∆
= ∆ 2
2 0
Dimana perubahan panjang logam besi yang mengalami pemuaian sama
dengan jarak antara lensa cembung datar dengan logam besi, sehingga
L
∆ = panjang lintasan optis x λ/2 = ∆d0
Sehingga koefisien muai panjang logam besi dari persamaan (2.39)
T x L
L ∆ ∆ =
0
α
2. Membuat dan menganalisis grafik hubungan antara perubahan panjang logam
dengan perubahan suhu yang dihasilkan sehingga dapat diketahui koefisien
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini dipaparkan 5 data hasil percobaan sebagai berikut:
Tabel 4.1 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T
(0C)
T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)
28 - T - - -
31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6
34,5 6,5 T 1 2,945 x10-7 1,276 x10-6
36 8 G 3/2 4,418 x10-7 1,555 x10-6
38,5 10,5 T 2 5,890 x10-7 1,580 x10-6
40 12 G 5/2 7,363 x10-7 1,728 x10-6
42 14 T 3 8,835 x10-7 1,778 x10-6
44 16 G 7/2 1,031 x10-6 1,815 x10-6
46 18 T 4 1,178 x10-6 1,844 x10-6
49,5 21,5 G 9/2 1,325 x10-6 1,736 x10-6
52 24 T 5 1,473 x10-6 1,728 x10-6
54 26 G 11/2 1,620 x10-6 1,755 x10-6
57 29 T 6 1,767 x10-6 1,716 x10-6
60 32 G 13/2 1,914 x10-6 1,685 x10-6
62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6
64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6
67 39 T 8 2,356 x10-6 1,702 x10-6
69 41 G 17/2 2,503 x10-6 1,720 x10-6
71,5 43,5 T 9 2,651 x10-6 1,716 x10-6
74 46 G 19/2 2,798 x10-6 1,713 x10-6
76 48 T 10 2,945 x10-6 1,728 x10-6
78 50 G 21/2 3,092 x10-6 1,742 x10-6
43
Dari Tabel 4.1 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan
(2.39) adalah (1,76 ± 0,03).10-6 (/°C).
Jika data dari Tabel 4.1 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya
terlihat pada Gambar 4.1
∆L = 6E-08∆T - 2E-08
0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06
0 10 20 30 40 50 60
∆L (m)
∆T (°C)
Gambar 4.1. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap
perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C
Dari grafik pada gambar 4.1, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T
adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan ∆L =
6 x 10-8∆T − 2 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam
besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya
Tabel 4.2 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T
(0C)
T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)
28 - T - - -
31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6
34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6
37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6
39 11 T 2 5,890 x10-7 1,508 x10-6
41 13 G 5/2 7,363 x10-7 1,595 x10-6
43 15 T 3 8,835 x10-7 1,659 x10-6
45 17 G 7/2 1,031 x10-6 1,708 x10-6
47 19 T 4 1,178 x10-6 1,746 x10-6
49 21 G 9/2 1,325 x10-6 1,778 x10-6
52,5 24.5 T 5 1,473 x10-6 1,693 x10-6
54,5 26.5 G 11/2 1,620 x10-6 1,722 x10-6
56,5 28.5 T 6 1,767 x10-6 1,746 x10-6
59 31 G 13/2 1,914 x10-6 1,739 x10-6
62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6
64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6
66,5 38.5 T 8 2,356 x10-6 1,724 x10-6
68,5 40.5 G 17/2 2,503 x10-6 1,741 x10-6
71 43 T 9 2,651 x10-6 1,736 x10-6
73 45 G 19/2 2,798 x10-6 1,751 x10-6
76 48 T 10 2,945 x10-6 1,728 x10-6
79 51 G 21/2 3,092 x10-6 1,708 x10-6
Dari Tabel 4.2 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan
45
Jika data dari Tabel 4.2 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya
terlihat pada Gambar 4.2
∆L= 6E-08 ∆T - 6E-08
0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06
0 10 20 30 40 50 60
∆L (m)
∆T (°C)
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap
perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C
Dari Grafik pada Gambar 4.2, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan
T
∆ adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan
persamaan∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai
panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai
Tabel 4.3 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T
(0C)
T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)
29 - T - - -
31.5 3.5 G 1/2 1,473 x10-7 1.185 x10-6
33 5 T 1 2,945 x10-7 1,659 x10-6
35 7 G 3/2 4,418 x10-7 1,778 x10-6
37 9 T 2 5,890 x10-7 1,844 x10-6
40 12 G 5/2 7,363 x10-7 1,728 x10-6
42 14 T 3 8,835 x10-7 1,778 x10-6
44.5 16.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,760 x10-6
46 18 T 4 1,178 x10-6 1,844 x10-6
49 21 G 9/2 1,325 x10-6 1,778 x10-6
52 24 T 5 1,473 x10-6 1,728 x10-6
54.5 26.5 G 11/2 1,620 x10-6 1,722 x10-6
56 28 T 6 1,767 x10-6 1,778 x10-6
59 31 G 13/2 1,914 x10-6 1,739 x10-6
62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6
64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6
66 38 T 8 2,356 x10-6 1,746 x10-6
69 41 G 17/2 2,503 x10-6 1,720 x10-6
71 43 T 9 2,651 x10-6 1,736 x10-6
74 46 G 19/2 2,798 x10-6 1,713 x10-6
77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6
Dari tabel 4.3 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan
47
Jika data dari Tabel 4.3 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya
terlihat pada Gambar 4.3
y = 6E-08x + 2E-08
0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06
0 10 20 30 40 50 60
∆L (m)
∆T (°C)
Gambar 4.3. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap
perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C
Dari grafik pada gambar 4.3, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T
adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L = 6
x 10-8∆T + 2 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi
kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh niali koefisien muai panjangnya adalah
Tabel 4.4 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T
(0C)
T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)
29 - T - - -
31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6
34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6
37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6
39 11 T 2 5,890 x10-7 1,508 x10-6
42 14 G 5/2 7,363 x10-7 1,481 x10-6
44.5 16.5 T 3 8,835 x10-7 1,508 x10-6
46.5 18.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,569 x10-6
48 20 T 4 1,178 x10-6 1,659 x10-6
51 23 G 9/2 1,325 x10-6 1,623 x10-6
53 25 T 5 1,473 x10-6 1,659 x10-6
56 28 G 11/2 1,620 x10-6 1,630 x10-6
59 31 T 6 1,767 x10-6 1,606 x10-6
61 33 G 13/2 1,914 x10-6 1,634 x10-6
63 35 T 7 2,062 x10-6 1,659 x10-6
65 37 G 15/2 2,209 x10-6 1,682 x10-6
67 39 T 8 2,356 x10-6 1,702 x10-6
70 42 G 17/2 2,503 x10-6 1,679 x10-6
73 45 T 9 2,651 x10-6 1,659 x10-6
75 47 G 19/2 2,798 x10-6 1,677 x10-6
77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6
Dari Tabel 4.4 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan
49
Jika data dari Tabel 4.4 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya
terlihat pada Gambar 4.4
y = 6.15E-08x - 8.97E-08
0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06
0 10 20 30 40 50 60
∆L (m)
∆T (°C)
Gambar 4.4. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap
perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C
Dari grafik pada gambar 4.4, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T
adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L =
6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8. Nilai 6,15 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai
panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga nilai koefisien muai
Tabel 4.5 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T
(0C)
T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)
29 - T - - -
31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6
34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6
37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6
40 12 T 2 5,890 x10-7 1,383 x10-6
43 15 G 5/2 7,363 x10-7 1,383 x10-6
44.5 16.5 T 3 8,835 x10-7 1,508 x10-6
46.5 18.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,569 x10-6
48 20 T 4 1,178 x10-6 1,659 x10-6
51 23 G 9/2 1,325 x10-6 1,623 x10-6
53 25 T 5 1,473 x10-6 1,659 x10-6
55 27 G 11/2 1,620 x10-6 1,690 x10-6
57 29 T 6 1,767 x10-6 1,716 x10-6
60 32 G 13/2 1,914 x10-6 1,685 x10-6
63 35 T 7 2,062 x10-6 1,659 x10-6
66 38 G 15/2 2,209 x10-6 1,637 x10-6
69 41 T 8 2,356 x10-6 1,619 x10-6
71 43 G 17/2 2,503 x10-6 1,640 x10-6
73 45 T 9 2,651 x10-6 1,659 x10-6
75.5 47.5 G 19/2 2,798 x10-6 1,659 x10-6
77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6
Dari Tabel 4.5 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan
51
Jika data dari Tabel 4.5 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya
terlihat pada Gambar 4.5
y = 6E-08x - 9E-08
0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06
0 10 20 30 40 50 60
∆T (°C)
∆L(m)
Gambar 4.5. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap
perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C
Dari grafik pada gambar 4.5, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T
adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L = 6
x 10-8∆T − 9 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam
besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya
4.2. PEMBAHASAN
Pertambahan Panjang logam besi setelah dipanaskan diikuti oleh perubahan
pola interferensi karena jarak antara logam besi dengan lensa cembung datar semakin
kecil. Sehingga dengan adanya perubahan pola interferensi (dapat dilihat pada tabel
dari 4.1 sampai 4.5) dapat ditunjukkan bahwa pada setiap perubahan atau kenaikan
suhu pada logam besi akan mengalami perubahan panjang. Pada gambar 4.1 samapi
4.5 dapat ditunjukkan grafik hubungan perubahan panjang logam besi dengan
perubahan suhu berupa garis lurus. Untuk gambar 4.1 diperoleh persamaan garis ∆L
= 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8; sedangkan pada gambar 4.2 persamaan garis yang diperoleh
persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8; pada gambar 4.3 persamaan garis yang
diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 10-8; untuk gambar 4.4 persamaan garis
diperoleh persamaan ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8; dan gambar 4.5 diperoleh
persamaan garisnya adalah ∆L = 6 x 10-8∆T − 9 x 10-8. Dari hasil yang telah
didapatkan dari gambar 4.1 sampai 4.5 dapat dilihat bahwa nilai koefisien muai
panjang besi adalah untuk gambar 4.1 sebesar (1,690 ± 0,242).10-6 (/°C); untuk
gambar 4.2 sebesar (1,690 ± 0,095).10-6 (/°C); untuk gambar 4.3 sebesar (1,690 ±
0,264).10-6 (/°C); untuk gambar 4.4 sebesar (1,732 ± 0,058).10-6 (/°C); dan untuk
gambar 4.5 koefisien muai panjang besi sebesar (1,690 ± 0,059).10-6 (/°C); sehingga
diperoleh nilai koefisien panjang besi rata-rata dari gambar 4.1 sampai 4.5 sebesar
(1,700 ± 0,380).10-6 (/°C). Dengan menggunakan persamaan (2.39) koefisien muai
panjang besi didapatkan dari tabel 4.1 sampai 4.5, untuk tabel 4.1 sebesar (1,76 ±
53
sebesar (1,71 ± 0,03).10-6 (/°C); untuk tabel 4.4 sebesar (1,67 ± 0,03).10-6 (/°C); dan
untuk tabel 4.5 diperoleh kofesien muai panjang besi sebesar (1,66 ± 0,03).10-6 (/°C).
sehingga untuk persamaan (2.39) diperoleh nilai rata-rata koefisien muai panjang besi
dari tabel 4.1 sampai 4.5 sebesar (1,71 ± 0,06).10-6 (/°C). Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam penelitian ini adalah, pada saat pengamatan suhu, karena
perubahannya cepat maka perubahan tersebut tidak teramati dengan tepat, sehingga
diperlukan pengamatan untuk dua orang. Untuk satu orang mengamati interferensi
dan satu orang lagi mengamati perubahan suhu yang terjadi. Selain itu, terdapat
kesulitan dalam meletakan logam besi dan lensa cembung datar karena letaknya yang
sangat tipis, jika tidak tepat letaknya maka interferensi tidak terbentuk, dan logam
besi dan lensa cembung datar harus tidak menempel supaya perubahan panjang logam
besi lebih maksimal.
Permukaan besi harus rata dan halus seperti kaca sehingga sinar yang
dipantulkan dari besi menuju lensa cembung datar menjadi terpantul seluruhnya dan
interferensi yang terbentuk terlihat jelas. Jika permukaan besi tidak rata dan halus
pantulan sinar menjadi baur sehingga interferensi yang terbentuk tidak terlihat jelas.
Karena pengamatan di ruang gelap maka dibutuhkan senter untuk melihat perubahan
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan data penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1. Logam akan mengalami pemuaian setelah mengalami perubahan suhu.
2. Diperoleh grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi dengan
p