• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab Satu Pendahuluan Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab Satu Pendahuluan Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Satu

Pendahuluan

Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan karena pertumbuhan sektor industri akan memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lain seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor jasa akan berkembang dengan adanya industrialisasi, dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemasaran/periklanan yang akan mendukung laju pertumbuhan industri. Industri sangat berperan dalam perkembangan struktural pada perekonomian. Tolok ukur dalam pengembangan industri antara lain : sumbangan sektor produksi (manufakturing) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri, dan sumbangan komoditi industri

(2)

terhadap ekspor barang dan jasa.

Kontribusi sektor industri manufaktur/ pengolahan di Indonesia sejak tahun 1993 mempunyai skor terbesar terhadap PDRB yaitu sebesar 21,10 % dan tahun 2008 sumbangannya sebesar 26,79 %. Sumbangan terbesar pada industri manufaktur/ pengolahan adalah industri makanan dan minuman sebesar 2,5 %, industri tekstil barang kulit dan alas kaki 2,1 %, industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 2,9 % dan sumbangan yang terkecil adalah dari industri logam sebesar 0,6%.

Pada tahun 2010 sumbangan industri manufaktur Jawa Tengah terhadap PDRB mencapai angka 32,83 % atau hampir sepertiga dari jumlah total PDRB Jawa Tengah. Sektor industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar dari PDRB di Jawa Tengah. Dalam struktur industri manufaktur, industri makanan, minuman dan tembakau merupakan penyumbang PDRB terbesar dari industri manufaktur dan diikuti oleh industri tekstil, barang kulit dan alas kaki serta barang kayu dan hasil hutan lainnya. Sedangkan untuk logam dasar besi dan baja merupakan penyumbang nilai terkecil dari PDRB industri manufaktur yaitu 0,29 %.

Meskipun industri pengolahan logam di Jawa Tengah menyumbang prosentasi terendah terhadap PDRB ( 0,29 %), namun industri pengolahan logam di Jawa Tengah merupakan industri dasar yang menunjang seluruh kegiatan industri di Jawa Tengah. Hampir tidak ada industri yang tidak memerlukan logam, sehingga industri logam merupakan industri inti yang keberadaannya menjadi dasar pembangunan berbagai kelompok industri lainnya (industri berbasis agro, industri hasil hutan, industri berteknologi tinggi dan industri perdesaan).

(3)

Tabel 1.1

Sub Industri Pengolahan Non Migas Menurut Produk Domestik Bruto Jawa Tengah Berdasar Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 2008-2010 (Juta Rupiah) Sub Industri

Manufaktur 2008 % 2009 % 2010 %

Makanan Minuman dan

Tembakau 25,438,442.55 56.98 27,019,449.53 57.46 29,027,384.45 57.31 Tekstil, Barang Kulit &

Alas Kaki 7,601,693.50 17.03 7,751,742.20 16.48 8,288,465.70 16.36 Barang Kayu dan Hasil

Hutan Lain 5,259,769.07 11.78 5,669,812.29 12.06 6,168,285.82 12.18 Kertas dan Barang

Cetakan 639,442.16 1.43 665,309.94 1.41 682,306.80 1.35 Pupuk, Kimia & Barang

dari Karet 2,620,658.33 5.87 2,691,156.87 5.72 3,053,411.09 6.03 Semen dan Barang Lain

bukan Logam 1,341,947.55 3.01 1,431,783.77 3.04 1,519,549.86 3.00 Sub Industri

Manufaktur 2008 % 2009 % 2010 %

Logam Dasar Besi dan

Baja 131,923.50 0.30 139,802.25 0.30 148,028.52 0.29 Alat Angkut, Mesin &

Peralatan 1,431,142.68 3.21 1,468,511.49 3.12 1,570,557.24 3.10 Barang Lainnya 183,020.51 0.41 186,497.73 0.40 191,067.90 0.38 Jumlah 44,648,039.85 100.00 47,024,066.07 100.00 50,649,057.38 100.00

Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010

Pada tahun 2009 jumlah industri logam di Jawa Tengah sebanyak 13.227 unit dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 66.193 orang dengan nilai produksi sebesar Rp.124,502 milyar. Secara garis besar, industri logam tersebut terdiri dari industri pengecoran logam fero (besi dan baja) dan industri pengecoran logam non fero (alumunium, kuningan

(4)

dan tembaga). Industri logam di Jawa Tengah tersebar di beberapa kabupaten, seperti: Kabupaten Tegal, Klaten, Boyolali, Purbalingga, Pati, Temanggung dan Semarang. Produksi industri logam Jawa Tengah umumnya masih belum mampu bersaing karena desain dan kualitasnya relatif rendah. Oleh karenanya industri logam perlu didorong dan ditumbuh kembangkan agar produk logam asal Jawa Tengah mempunyai daya saing dan akses pasar yang lebih luas (Sudrajat, 2010) .

Pertumbuhan industri pengolahan logam di Jawa Tengah pada tahun 2005 sebesar 0,075 pada tahun 2006 turun menjadi 0,046, pada tahun 2007 meningkat pertumbuhannya menjadi 0,054 dan tahun 2008 menurun menjadi 0.035. Pada tahun 2009 meningkat pertumbuhannya menjadi 0,060 dan tahun 2010 menurun menjadi 0,059.

Tabel 1.2

Kontribusi dan Pertumbuhan Industri Pengolahan Logam di Jawa Tengah Tahun 2004 – 2010

Tahun Volume Pertumbuhan

2004 107618.08 -2005 115669.69 0.075 2006 120944.26 0.046 2007 127523.18 0.054 2008 131923.50 0.035 2009 139802.25 0.060 2010 148028.52 0.059

Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010

(5)

Desa Batur yang berlokasi di Kecamatan Ceper. Produk yang dihasilkan antara lain komponen mesin, rem kereta api, pipa besi dan pagar besi.

Klaster cor logam Ceper sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, bahkan menurut sejarah berdirinya ini sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram. Pada jaman penjajahan Belanda, pelaku usaha cor logam sudah mengerjakan pengecoran untuk perlengkapan pabrik gula. Pada jaman penjajahan Jepang, para pelaku cor logam disuruh membuat granat dan peralatan lainnya untuk perang. Setelah kemerdekaan, klaster ini mulai semakin tumbuh sejak adanya campur tangan Pemerintah Pusat pada tahun 1973 melalui Departemen Perindustrian. Bantuan yang paling besar yang diberikan adalah dalam bentuk bantuan peralatan dan modal yang diserahkan kepada Koperasi Batur Jaya sebagai koperasi produksi. Keberadaan koperasi akan mendorong pelaku usaha untuk bekerjasama meningkatkan produksinya.

Pada tahun 1990-an Ceper pernah dimahkotai sebagai daerah pengecoran logam di Indonesia karena saat itu jumlah industrinya mencapai lebih dari 325 industri, bahkan kapasitas terpasang mencapai 150.000 ton atau sekitar 40% kapasitas nasional (Baharuddin, 2010). Teknologi pengecoran yang selama ini diandalkan adalah tungkik1) dan

kupola1) yaitu alat peleburan tradisional berbahan bakar kokas2). Teknologi

tersebut telah dikembangkan secara turun temurun, sehingga memiliki

karakteristik pemanfaatan yang spesifik serta sangat sesuai dengan kultur

masyarakat setempat. Tetapi ketika krisis ekonomi global tahun 1998 melanda dunia dan harga bahan bakar terus melonjak, banyak pengusaha pengecoran terpaksa menghentikan usahanya. Disamping permasalahan

1 Tungkik dan kupola adalah tungku pembakaran yang menggunakan bahan bakar kokas, Tung-kik lebih tradisional daripada kupola.

(6)

bahan bakar kokas dan cor logam, pasokan energi listrik yang cenderung naik juga berdampak pada pengusaha yang beralih dari tungkik dan kupola ke tanur induksi yang berbahan bakar listrik.

Pada tahun 2009 jumlah perusahaan pengecoran di Klaten ada sebanyak 295 usaha, dengan jumlah tenaga kerja 4.822 orang (Klaten Dalam Angka, 2009). Adapun daftar industri pengolahan di Klaten, dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3

Jumlah Unit Usaha Menurut Bidang Usaha Indutri Logam, Mesin Kimia dan Aneka Tahun 2009

No. Bidang Usaha Industri Jumlah Usaha (Unit) Jumlah tenaga kerja (orang)

01 Pengecoran logam 295 4.872

02 Pandai besi 294 985

03 Rekayasa Teknik Bengkel 0 0

04 Percetakan, penerbitan dan foto copy 0 0

05 Farmasi, kimia produk 0 0

06 Kapas Kecantikan 30 225

07 Vulkanisir ban, tambal ban 0 0

08 Pembuatan Arang 15 60

09 Gerabah 390 1.175

10 Barang dari Bebatuan 8 34

11 Tegel, Produksi dan Semen 0 0

12 Bata Merah 1.073 3.900

13 Genteng 842 4.258

14 Keramik 19 62

15 Perbaikan benang/ tali temali 160 825

(7)

Namun industri yang banyak menjadi tulang punggung warga setempat kini semakin terpuruk dan satu persatu gulung tikar. Pengrajin besi cor banyak yang menghentikan operasinya karena permintaan dari pelanggan menurun dan mahalnya bahan baku (untuk besi cor) dan bahan bakar (kokas dan batu bara) (Kompas, 14 Maret 2008). Kondisi tersebut memicu munculnya persaingan yang semakin tinggi diantara sesama pengrajin yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat kerja sama dan kepercayaan antar pengusaha (DISPERINDAG, 2002).

Menurut informasi dari PEMDA Klaten, saat ini jumlah usaha yang masih berproduksi secara aktif tinggal 80 unit usaha saja (25%), 144 unit usaha (45%) berproduksi di bawah normal dan 96 unit usaha (30%) sudah tutup/mati.

Pada umumnya industri yang sudah mati menghentikan produksi

di pabriknya sendiri karena sudah tidak efisien lagi dengan menggunakan

dapur tungkik. Mereka yang beralih menggunakan dapur kupola pada umumnya masih dapat bertahan. Usaha mereka tetap jalan dengan cara men-subkontrakan ke industri yang sudah menggunakan dapur induksi (Suara Merdeka, 2008).

Pentingnya Klaster Dalam Pertumbuhan Industri

Pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA), yang dimulai 1 Januari 2010, memunculkan dua pandangan yaitu pandangan optimis dan pesimis. Pandangan optimis melihatnya sebagai peluang pasar yang besar. Pandangan yang pesimis mengkuatirkan bahwa industri nasional akan hancur karena pasar domestik akan dibanjiri dengan produk China yang terkenal murah.

(8)

Kekuatiran tersebut cukup beralasan karena data statistik Kementrian

Perdagangan RI akhir-akhir ini menunjukan defisit sebesar 3,6 milliar AS

(Kompas, Senin 18 Januari 2010).

Menurut hasil pemetaan world economic forum (2011), daya saing Indonesia menduduki urutan ke 46 dari 142 negara, masih di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam dan Thailand. Kondisi ini tentunya memerlukan kerja keras untuk meningkatkan tingkat competitiveness

Indonesia agar dapat menyirnakan anggapan yang pesimis terhadap masuknya Indonesia dalam ACFTA.

Dalam ekonomi global modern, kemakmuran ekonomi suatu negara akan sangat ditentukan oleh tingkat produktivitasnya. Produktivitas merupakan basis dari daya saing, sehingga sangat tergantung pada bagaimana cara bersaing suatu negara dengan negara lainnya, melalui operasi industri dan strategi yang dilakukan. Paradigma produktivitas telah mengubah sumber-sumber kemakmuran ekonomi suatu negara, yang dahulu sangat tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki, sebagai keunggulan komparatif, menjadi sangat tergantung pada produktivitas sebagai keunggulan kompetitif.

Dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation, Porter (1998) menyatakan bahwa produktivitas industri dapat ditingkatkan melalui klasterisasi lokasi industri. Dengan perkataan lain, lokasi industri dalam suatu klaster dapat menciptakan produktivitas. Teori ini kemudian menjadi dasar sebagai teori klaster. Model diamond dari Porter (1998) seperti pada gambar 1.1, menggambarkan bahwa ada empat faktor utama yang saling berkaitan dalam klaster yang menentukan daya saing usaha yaitu: kondisi faktor produksi internal, kondisi permintaan sistem industri pendukung dan industri yang terkait, strategi dan struktur usaha dan persaingan.

(9)

Gambar 1.1.

Diamond Model Cluster dalam buku

The Competitive Advantages of Nations, Porter (1990)

Model tersebut menggambarkan bahwa pendekatan klaster penting dalam peningkatan daya saing industri (khususnya UMKM), karena melalui pendekatan klaster maka akan dapat diciptakan peningkatan daya saing industri melalui adanya pertalian diantara industri dengan lembaga

terkait yang ada dalam pemusatan geografis. Pendekatan klaster dapat

memaksimalkan external economies yang muncul dari pemusatan geografis.

Dengan lokasi yang berdekatan maka akan dapat diciptakan penguatan kapasitas kolektif klaster (JICA, 2004). Ada 3 (tiga) tipe klaster industri yang umumnya berada di negara berkembang. Pertama, dari aglomerasi dasar menuju bentuk “distrik satelit” (satelite districts), kedua, mengarah pada “distrik pusat dan jari-jari” (hub and spoke) yang dicirikan dengan peranan perusahaan besar sebagai lokomotif, dan ketiga, menuju kearah perkembangan klaster unggul yang juga dikenal dengan istilah “distrik Italia ketiga“ (Third Italy) (Knorringa, 1999).

Klaster mempunyai manfaat karena menciptakan efisiensi kolektif

melalui kerjasama kegiatan sejenis (Schmitz, 2002). Kerjasama tersebut

Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

Dalam bukunya

The Competitive Advantage of Nation

, Porter

(1998) menyatakan bahwa produktivitas industri dapat ditingkatkan

melalui klasterisasi lokasi industri. Dengan perkataan lain, lokasi

industri dalam suatu klaster dapat menciptakan produktivitas. Teori ini

kemudian menjadi dasar sebagai teori klaster. Model diamond dari Porter

(1998) seperti pada gambar 1.1, menggambarkan bahwa ada empat faktor

utama yang saling berkaitan dalam klaster yang menentukan daya saing

usaha yaitu: kondisi faktor produksi internal, kondisi permintaan sistem

industri pendukung dan industri yang terkait, strategi dan struktur usaha

dan persaingan.

Strategi dan struktur usaha dan pesaing

Kondisi Permintaan Faktor produksi

internal (input)

Sistim industri pendukung dan Industri yang terkait

Gambar 1.1. Diamond Model Cluster dalam buku The Competitive Advantages of Nations, Porter (1990)

Model tersebut menggambarkan bahwa pendekatan klaster

penting dalam peningkatan daya saing industri (khususnya UMKM),

karena melalui pendekatan klaster maka akan dapat diciptakan

peningkatan daya saing industri melalui adanya pertalian diantara

industri dengan lembaga terkait yang ada dalam pemusatan geografis.

Pendekatan klaster dapat memaksimalkan

external economies

yang

muncul dari pemusatan geografis. Dengan lokasi yang berdekatan maka

akan dapat diciptakan penguatan kapasitas kolektif klaster (JICA, 2004).

Ada 3 (tiga) tipe klaster industri yang umumnya berada di negara

berkembang. Pertama, dari aglomerasi dasar menuju bentuk “distrik

satelit” (

satelite districts

), kedua, mengarah pada “distrik pusat dan

jari-8

(10)

dapat terjadi misalnya dalam hal pembelian bahan baku, pemasaran, produk bersama, dan atau dalam memanfaatkan jasa-jasa pihak ketiga. Selain itu, pembentukan klaster juga bermanfaat untuk menekan biaya transaksi dan meningkatkan kewirausahaan karena adanya proses saling tukar informasi, saling membandingkan pekerjaan dan sebagainya. Suatu klaster yang lengkap juga akan membentuk spesialisasi produk dan rantai nilai (value chain) antar perusahaan dengan berbagai skala, dan antar industri, sehingga memiliki efek nilai tambah dan produktivitasnya semakin meningkat.

Mayoritas klaster di Indonesia terdiri dari usaha mikro, kecil dan menengah yang memiliki ciri-ciri antara lain: memproduksi barang-barang untuk pasar lokal dan domestik dan menggunakan tenaga kerja keluarga, atau hanya pada saat-saat tertentu menggunakan tenaga kerja

luar yang dibayar (Sandee, 2002). Sayangnya, menurut Weijland (1999),

banyak juga klaster yang didominasi oleh industri mikro kondisinya “sedang tidur”. Beberapa klaster di Indonesia bahkan menunjukkan kondisi yang tidak mampu bersaing dalam ACFTA dan mengalami penurunan sebagai akibat persaingan dengan produk China. Diantara klaster yang menunjukkan penurunan tersebut adalah klaster logam di Jawa Tengah (DISPERINDAG, 2002).

Klaster logam di Jawa Tengah sebenarnya masih termasuk ke dalam “distrik satelit” (DISPERINDAG, 2002) dan belum mengarah padahub and spoke. Tipe ini dicirikan dengan kurangnya kerjasama dengan pihak-pihak eksternal dan pada umumnya mengalami kompetisi yang tidak sehat dalam berbisnis. Disamping itu, karena pada umumnya lebih mengarah kepada

diversifikasi, maka sulit untuk melakukan spesialisasi dan dikembangkan

(11)

11

Perkembangan klaster pada umumnya, termasuk klaster logam, tidak terlepas dari adanya tahapan-tahapan pengembangan yang memiliki kecenderungan untuk berulang dalam siklusnya. Tahapan perkembangan klaster dimulai dari embrio/aglomerasi, tumbuh, dewasa dan kemudian berujung pada transformasi yang bisa berupa pembentukan klaster baru ataupun penurunan.

Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan Klaster Sumber: Waelbroek-Rocha dalam Anderson, (2004)

Dari pengalaman Rocha dalam Anderson (2004), tahap awal perkembangan klaster dimulai dengan adanya unit-unit usaha yang beraglomerasi akibat dari pemanfaatkan keuntungan pemusatan usaha, yaitu keuntungan kolektif dari infrastruktur, pengumpulan pekerja, image lokasi, pemasaran dan penyediaan input. Tahap ini disebut sebagai tahap aglomerasi usaha. Dengan adanya kedekatan tempat usaha, masing-masing usaha yang memiliki keterkaitan komponen produksinya akan memulai hubungan komplementer satu sama lain. Tahapan ini dikenal sebagai awal mulai tumbuhnya klaster sesungguhnya, karena adanya indikasi pertalian usaha satu sama lain.

Pertalian usaha ini terus berkembang dan menghubungkan

Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

mengarah kepada diversifikasi, maka sulit untuk melakukan spesialisasi

dan dikembangkan ke arah klaster yang lebih dewasa (JICA, 2004).

Perkembangan klaster pada umumnya, termasuk klaster logam,

tidak terlepas dari adanya tahapan-tahapan pengembangan yang

memiliki kecenderungan untuk berulang dalam siklusnya. Tahapan

perkembangan klaster dimulai dari embrio/aglomerasi, tumbuh, dewasa dan

kemudian berujung pada transformasi yang bisa berupa pembentukan klaster

baru ataupun penurunan.

Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan Klaster

Sumber: Waelbroek-Rocha (dalam Anderson, 2004)

Dari pengalaman Rocha dalam Anderson (2004), tahap awal

perkembangan klaster dimulai dengan adanya unit-unit usaha yang

beraglomerasi akibat dari pemanfaatkan keuntungan pemusatan usaha,

yaitu keuntungan kolektif dari infrastruktur, pengumpulan pekerja, image

lokasi, pemasaran dan penyediaan input. Tahap ini disebut sebagai tahap

aglomerasi usaha. Dengan adanya kedekatan tempat usaha, masing-masing

usaha yang memiliki keterkaitan komponen produksinya akan memulai

hubungan komplementer satu sama lain. Tahapan ini dikenal sebagai awal

mulai tumbuhnya klaster sesungguhnya, karena adanya indikasi pertalian

usaha satu sama lain.

Pertalian usaha ini terus berkembang dan menghubungkan

keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Tahapan ini

dikenal sebagai tahap pembangunan atau pengembangan klaster usaha.

(12)

keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Tahapan ini dikenal sebagai tahap pembangunan atau pengembangan klaster usaha. Pertalian usaha yang menguntungkan selanjutnya mendorong timbulnya unit-unit usaha baru pada wilayah klaster tersebut, yang selanjutnya semakin melengkapi unit-unit usaha yang ada. Tahapan ini dikenal sebagai tahap perkembangan klaster yang sudah matang. Pada tahap ini juga mulai ditandai dengan kejenuhan usaha yang ada.

Apabila kondisi permintaan tidak bertambah, dapat menyebabkan degradasi unit-unit yang ada sehingga akhirnya usaha kelompok-kelompok kecil di dalam klaster terjadi pemisahan kelompok terspesialisasi dan membentuk kelompok klaster baru dengan produk yang lebih khusus. Kondisi seperti ini disebut tahapan transformasi dan selanjutnya kelompok kecil pertalian usaha ini dapat kembali pada tahap awal pembentukan klaster. Faktor – Faktor yang Berpengaruh dan Keberadaan Modal Sosial Dalam Pengembangan Klaster

Pembentukan klaster dianggap penting karena seringkali usaha yang dilakukan secara individu tidak efektif dibandingkan dengan usaha kelompok seperti halnya dalam klaster. Faktor yang mempengaruhi pengembangan klaster antara lain adalah : 1) kemampuan memenuhi kebutuhan pasar, 2) interaksi dalam kelompok untuk kerjasama produksi, 3) institusi bersama, dan 4) kemauan investasi (FPESD,2005). Mudrajad Kuncoro dan Supomo (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster adalah keaktifan berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja, umur. Djamhari (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor

(13)

yang mempengaruhi daya hidup klaster adalah inovasi teknologi, modal

sumber daya manusia dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan

perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, kepemimpinan, serta jejaring kemitraan.

Jejaring kemitraan dilandasi oleh rasa saling melengkapi, saling memperkuat, dan saling membutuhkan, yang dikenal sebagai modal sosial. Modal sosial dibentuk oleh faktor perilaku: kemauan dan kebiasaan untuk bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan bersama jangka panjang (Sri Lestari, 2006). Modal sosial merupakan

variabel yang signifikan untuk UKM dan klaster secara mikro karena

dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan, berdasarkan kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan pertukaran informasi secara pribadi yang dapat berkontribusi bagi UKM.

Dalam siklus perkembangan klaster, masing-masing tahapan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada 7 faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan klaster tersebut adalah aspek modal sosial (Andersoon, 2004). Studi JICA (2004) juga menegaskan bahwa keberadaan modal sosial yang berupa kepercayaan timbal balik diantara anggota-anggota klaster akan memberikan pengaruh pada keempat kuadran model Berlian Porter. Sejalan dengan pengaruh modal sosial pada ke empat kuadran Berlian Porter tersebut, maka modal sosial akan mengalami dinamika seiring dengan kondisi ekonomi yang mempengaruhi setiap tahapan perkembangan klaster. Untuk melihat peranan modal sosial pada tahapan awal perkembangan klaster sampai dengan pada tahapan transformasi dibutuhkan penelitian pada klaster yang sudah lama tumbuh dan saat ini

(14)

mengalami penurunan. Sesuai dengan kondisi di Provinsi Jawa Tengah, banyak klaster logam yang berdasarkan sejarahnya sudah tumbuh cukup lama dan saat ini, karena permasalahan ekonomi berupa kesulitan bahan baku, pasar maupun kondisi perekonomian, klaster logam banyak yang mengalami penurunan ataupun menuju ke arah transformasi.

Modal sosial klaster merupakan ikatan internal dan menjembatani pihak berkepentingan (stakeholders) eksternal. Modal sosial pada dasarnya terkait erat dengan hubungan antara individu, norma dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Bentuk dari keberadaan modal sosial tersebut adalah adanya kepercayaan,

networking, relasi sosial dan relasi ekonomi. Relasi sosial akan memungkinkan para wirausaha dapat melakukan, memelihara dan memperluas akses terhadap sumber-sumber ekonomi serta menggunakan sumber ekonomi tersebut untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan modal sosial merupakan salah satu alternatif dalam menyiasati pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Masdin, 2002). Saling ketidak percayaan didalam klaster akan memecah keberadaan klaster sehingga akan mencegah proses pembentukan modal sosial.

Ada tiga aliran tentang pemikiran modal sosial yang berbeda, yaitu 1) Bourdieu (1986) dengan marxisme lebih menitik beratkan pada soal ketimpangan akses terhadap sumber daya dan dipertahankannya kekuasaan,2) Coleman (1988) lebih menekankan gagasannya pada individu yang bertindak secara rasional dalam rangka mengejar kepentingannya sendiri,3)Putman(1993) mewarisi dan mengembangkan gagasannya tentang asosiasi aktivitas warga sebagai dasar bagi integrasi sosial dan kemakmuran.

(15)

Portes, (2000) yang mendefinisikan modal sosial sebagai aspek dari struktur

hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Sedangkan Putnam (1993) menyebutkan bahwa modal sosial

sama seperti modal fisik dan modal manusia, yang dapat menjembatani

terciptanya kerjasama dalam komunitas yang saling menguntungkan. Aspek-aspek modal sosial adalah kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (network). Keberadaan aspek-aspek modal sosial yang baik akan

dapat meningkatkan efisiensi dari masyarakat.

Modal sosial memiliki kontribusi penting dalam pembangunan, khususnya pembangunan yang berkelanjutan. Pada awal proses pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan baru terbatas pada natural capital,physical atau produced capital dan human capital. Kemudian disadari bahwa keberadaan ketiga capital tersebut baru menjelaskan kondisi keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi secara parsial. Satu mata rantai yang dianggap hilang (the missing link) adalah social capital(Grootaert, 1997).

Istilah “capital” atau modal selama ini lebih banyak dikenal dalam kegiatan ekonomi. Pengertian ini membawa bias dalam pemaknaan modal sosial. Dalam pengertian yang mendasar, menurut kalangan ekonomi, modal sosial berperan dalam mekanisme alokasi sumber daya. Modal sosial menjadi dasar bagi orang yang bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam kelompok atau organisasi (Syahyuti, 2008). Contoh manfaat ekonomi dari keberadaan modal sosial di dalam klaster diantaranya adalah adanya tindakan kolektif untuk memperluas pasar, membuat design baru, pengadaan bahan baku, pendanaan, pengembangan fasilitas R&D, yang akhirnya secara menyeluruh akan mengurangi biaya transaksi. Modal sosial sifatnya tidak statis tetapi dinamis.

(16)

Keberadaan modal sosial yang tinggi akan berdampak pada keuntungan jangka panjang. Misalnya dalam hal trust, kehidupan ekonomi sangat bergantung pada ikatan moral kepercayaan sosial yang

akan memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan

dan menjadi alasan bagi perlunya aksi kolektif. Ia merupakan ikatan tidak terucap dan tidak tertulis.

Pada masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi, antara lain dapat

dilihat dari rendahnya angka kriminal dan sedikitnya jumlah kebijakan

formal. Namun jika modal sosial rendah, dansosial norms-nya sedikit, maka kerjasama antar orang hanya dapat berlangsung di bawah sistem hukum dan regulasi yang bersifat formal. Modal sosial yang tinggi hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya interaksi bukan semata-mata hanya sebagai suatu pertukaran yang penuh perhitungan tapi kombinasi antara sifat altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan dalam jangka panjang (Syahyuti, 2008). Modal sosial barulah bernilai ekonomi kalau dapat membantu individu dalam kelompok, misalnya, untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha dan meminimalkan biaya transaksi (Tonkiss, 2000).

Komponen-komponen modal sosial seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh individu pelaku usaha di dalam klaster, sebagai contoh jaringan sosial dimanfaatkan oleh individu pelaku usaha untuk mendapatkan pasar, pengetahuan, kerjasama dan bantuan alat, modal dan lainnya. Sedangkan kepercayaan dimanfaatkan oleh individu untuk membangun komitmen dengan pihak lain dalam rangka mempertahankan kerjasama yang sudah terjalin.

(17)

pendapat pertama, modal sosial melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling mendukung. Sementara pendapat lain meyakini bahwa modal sosial juga dapat dilihat sebagai karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu yang terlibat dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam jaringan namun pada individu-individunya. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilihat modal sosial pada jaringan klaster dalam berbagai tahapan perkembangan klaster, serta bagaimana individu-individu memanfaatkan modal sosial tersebut untuk pengembangan usahanya.

Bazan dan Schmitz (1997) di Brazil membuktikan bahwa keberadaan modal sosial sangat berpengaruh pada performa ekonomi masyarakat Brazil. Bagi Schmitz, dengan pendekatan historis, hubungan antara modal sosial dengan performa ekonomi bukanlah hubungan satu arah. Ada tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Schmitz menegaskan bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di masyarakat.

Menurut Hasbullah (2006), keberadaan dan dinamika modal sosial dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksernal. Faktor eksternal yang paling banyak berpengaruh adalah intervensi pemerintah, meskipun banyak pihak menyatakan bahwa tidak mudah mempromosikan ikatan

modal sosial melalui intervensi kebijakan. Namun demikian, Field (2003), menegaskan bahwa kebijakan eksternal (pemerintah) tetap masih

diperlukan untuk merancang dukungan dari modal sosial. Beberapa

contoh kebijakan dan program di Inggris, sebagai contoh, juga berwujud

(18)

dalam bentuk dukungan terhadap sektor usaha.

Dalam hubungannya dengan perkembangan klaster, Isham, Kelly dan Ramaswany (2002), menegaskan bahwa peranan fungsi kunci dari hubungan modal sosial disebabkan (sebagian besar) oleh kemampuan negara untuk mengelola sumber daya, gagasan dan informasi dari lembaga formal diluar komunitas. Disamping dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan klaster itu sendiri.

Perumusan Masalah

Dalam pandangan tentang modal sosial ada tiga aliran dimana modal sosial dapat dimanfatkan yaitu 1)Modal sosial dapat dimanfaatkan untuk penguasaan sumber daya dan untuk mempertahankan kekuasaan,2) di sisi lain modal sosial dapat dimanfaatkan individu untuk mengejar kepentingan individunya,3) dan modal sosial dapat dimanfaatkan oleh asosiasi suatu kelompok untuk kemakmuran

Apabila dilihat dari sisi peranannya modal sosial sangat berpengaruh pada performa ekonomi masyarakat. Namun seperti apa yang diungkapkan oleh Schmitz, hubungan antara modal sosial dengan performa ekonomi bukanlah hubungan satu arah. Ada tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Schmitz menegaskan bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di masyarakat.

(19)

internal dan faktor ekternal. Faktor eksternal yang paling banyak berpengaruh adalah intervensi pemerintah. Disamping dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan klaster itu sendiri.

Pendapat tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial menjadi suatu perdebatan, hal ini dikarenakan variabel yang digunakan dalam penelitian, tempat / lokasi dan pendekatan penelitian yang berbeda dimana perilaku masyarakat maupun perilaku organisasinya berbeda pula.

Berdasarkan pada berbagai pendapat tentang modal sosial dan pendapat tentang keberadaan dari modal sosial yang dipengaruhi oleh dinamika perkembangangan klaster, seperti yang terjadi pada klaster cor logam, maka peneliti ingin meneliti tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan klaster, yang merupakan studi pada klaster cor logam di Ceper, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah. Agar penelitian ini terfokus, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi klaster cor logam di Ceper Kabupaten Klaten? 2. Bagaimana keberadaan modal sosial pada klaster cor logam di Ceper,

Kabupaten Klaten?

3. Bagaimana pembentukan modal sosial, baik melalui lembaga formal maupun non formal dalam perkembangan klaster cor logam Ceper- Klaten ?

4. Bagaimana pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha cor logam Ceper-Klaten bagi pengembangan usahanya?

5. Bagaimana upaya yang dilakukan bagi peningkatan modal sosial di klaster cor logam Ceper Klaten ?

(20)

Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian

Mendasarkan pada latar belakang penelitian tersebut, maka alasan pemilihan klaster cor logam Ceper sebagai lokasi penelitian “Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Studi pada Klaster Cor Logam Ceper - Klaten Jawa Tengah” dengan pertimbangan bahwa industri cor logam di Ceper merupakan industri logam tertua di Jawa Tengah yang sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram, diteruskan masa penjajahan Hindia Belanda sampai saat ini. Sebagaimana Porter

yang mendifinisikan klaster sebagai kelompok usaha sejenis dengan lokasi

berdekatan secara administrasi dan didukung oleh multi stakeholder maka industri Ceper dengan kelengkapan value chain-nya dari pemasok, produsen, pembeli, pusat pendidikan, koperasi dan lain-lain sesuai dengan konsep klaster Porter.

Dilihat dari sejarah perkembangannya klaster cor logam Ceper mengalami daur hidup klaster mulai dari awal pertumbuhan/embrio, tumbuh, dan dewasa, penurunan dan transformasi, sehingga menarik untuk dilakukan penelitian tentang perkembangan klaster. Berdasarkan sejarah perkembangan klaster tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan cor logam Ceper sebagaian besar didominasi oleh sistem kekeluargaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal tersebut menjadikan nilai kebersamaan dan kepercayaan diantara pelaku usaha yang merupakan instrumen modal sosial relatif cukup tinggi. Namun klaster tersebut selain pernah mengalami tumbuh menuju dewasa juga mengalami masa-masa transformasi. Untuk itulah maka perlu dilakukan penelitian tentang Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

(21)

dengan Studi Kasus Klaster Cor Logam Ceper Klaten Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian

Harapan peneliti adalah dengan melihat aspek modal sosial pada klaster cor logam, peneliti dapat merumuskan teori tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial sepanjang kehidupan klaster cor logam. Penelitian ini mengacu kepada penelitian sebelumnya tentang modal sosial pada kasus industri sepatu di Brazil (Bazan and Schmitz, 1997) yang menyatakan bahwa unsur lembaga yang berfungsi mendorong ekonomi klaster justru melemahkan keberadaan social capital itu sendiri, karena ekspor naik mengakibatkan pertentangan yang berdampak pada penurunan social capital. Schmitz menjelaskan pula bahwa social capital lebih banyak dipengaruhi oleh struktur sosial baik internal maupun eksternal. Sejalan dengan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mempelajari kondisi klaster cor logam Ceper dari awal pertumbuhan/ embrio, tumbuh dan dewasa, penurunan dan transformasi.

2. Menggambarkan kondisi dan keberadaan modal sosial di klaster cor logam Ceper pada masa perkembangan klaster, terdiri dari tahapan awal pembentukan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta tahapan penurunan dan transformasi.

3. Merumuskan kerangka teoritis tentang peranan modal sosial dalam perkembangan klaster.

4. Melakukan analisis terhadap proses pembentukan modal sosial, baik melalui lembaga formal maupun non formal dalam perkembangan

(22)

klaster cor logam.

5. Melakukan analisis terhadap pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha dalam pengembangan usahanya.

6. Melakukan analisis terhadap upaya yang harus dilakukan bagi peningkatan modal sosial.

Kerangka Pemikiran

Dalam merumuskan teori yang berhubungan dengan peranan modal sosial dan pemanfaatan modal sosial perlu melihat dua sub konsep yaitu peran modal sosial dan pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan klaster.

Dalam peranannya modal sosial tidak lepas dari perkembangan klaster, sehingga dalam setiap tahapan pertumbuhan klaster, yang dimulai dari tahapan awal pertumbuhan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta tahapan penurunan dan transformasi perlu dianalisa tentang bagaimana perkembangan klaster tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan baik dari sisi peluang karena potensi ekonomi, fasilitasi pemerintah, pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan teknologi.

Demikian pula pada setiap tahapan tersebut yang juga mencerminkan dinamika perkembangan klaster perlu juga diketahui tentang bagaimana kondisi dari modal sosial, khususnya proses pembentukan modal sosial, bentuk modal sosial yang terjadi, jaringan sosial yang terjadi sampai bagaimana pengaruh pemerintah, ekonomi makro dan teknologi mempengaruhi dalam pengembangan modal sosial. Untuk mengetahui tentang pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan usaha perlu dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu bagaimana pembentukan modal sosial,

(23)

pemanfaatan modal sosial dan upaya upaya untuk meningkatkan modal sosial.

Pembentukan modal sosial di dalam klaster cor logam Ceper ditelusuri melalui kelembagaan formal maupun informal. Pembentukan melalui kelembagaan formal seperti halnya koperasi, pola kerja sama, sub kontrak maupun pola kemitraan plasma-inti. Sedangkan melalui kelembagaan non formal pembentukan modal sosial diciptakan melalui keluarga (misalnya perusahaan keluarga) maupun pertemuan sosial.

Modal sosial seperti halnya pengertian modal lainnya yaitu sebagai sarana untuk pengembangan usaha. Bentuk modal sosial yang digunakan dalam pengembangan usaha diantaranya seperti jaringan, kepercayaan, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama maupun kepedulian terhadap organisasi/ lembaga.

Dalam jaringan dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, perlu dilihat bentuk-bentuk dari jaringan yang ada, bagaimana jaringan tersebut dibentuk maupun dipelihara secara baik. Modal sosial kepercayaan, perlu dilihat bagaimana kepercayaan terhadap sesama pelaku, kepercayaan terhadap organisasi, kepercayaan terhadap pemerintah selama dalam perkembangan klaster cor logam Ceper. Demikian pula perlu ditelusuri bagaimana ketaatan terhadap norma agama maupun adat istiadat serta kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam organisasi yang digunakan dalam kegiatan untuk pengembangan usaha dari para individu pengusaha di dalam klaster.

Proses pembentukan modal sosial dan pemanfaatannya untuk pengembangan klaster cor logam Ceper perlu dieksploitir bagaimana usaha-usaha yang dilakukan dalam peningkatan modal sosial, baik melalui

(24)

24

kelembagaan formal maupun non formal, melalui fasilitasi pemerintah serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti halnya faktor pertumbuhan ekonomi maupun perubahan teknologi. Kerangka pemikiran tersebut secara sistimatis dapat dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran

Sistematika Penulisan

Desertasi ini ditulis dalam 10 (sepuluh) bab, dimana secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I, berisikan ulasan singkat

Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

Peranan dan Pemanfaatan 

Modal Sosial Pada 

Perkembangan Klaster 

Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran

Sistematika Penulisan

Desertasi ini ditulis dalam 10 (sepuluh) bab, dimana secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I, berisikan ulasan singkat perkembangan industri logam nasional maupun Jawa Tengah, tentang daya saing Indonesia ditengah persaingan ACFTA dan pentingnya

Upaya  Peningkatan  Modal Sosial Peran Modal   Sosial  Pemanfaatan Modal  Sosial  Kelembagaan Formal dan Non

Formal Fasilitasi Pemerintah  Kondisi yg  mempengaruhi  Modal Sosial Kondisi   Modal Sosial Temuan Teori  Peranan Modal Sosial dan  Pemanfaatan Modal Sosial Pembentukan  Modal Sosial Pemanfaatan  Modal Sosial  Kondisi Bisnis   dan Teknologi  Klaster Kelembagaan  Formal  Kelembagaan  Non Formal  Jaringan  Kepercayaan  Ketaatan thd norma  Kepedulian  Thd Sesama  Keterlibatan  Dlm Organisasi  Tahapan awal  pertumbuhan  ( Embrio)  Tahapan Tumbuh  dan Dewasa   Tahapan penurunan  Dan Transformasi 

(25)

perkembangan industri logam nasional maupun Jawa Tengah, tentang daya saing Indonesia ditengah persaingan ACFTA dan pentingnya peningkatan produktivitas untuk meningkatkan daya saing melalui pendekatan pengembangan klaster. Dalam bab ini juga diuraikan tentang peranan dari keberadaan modal sosial dalam pengembangan klaster, khususnya klaster cor logam Ceper, yang semua ini merupakan latar belakang pentingnya melihat peranan dan pemanfaatan modal sosial pada pengembangan klaster. Tentang rumusan masalah, tujuan penelitian dan juga kerangka penelitian termasuk dalam bab ini.

Dalam Bab II, berisi kajian teoritis klaster dan teori modal sosial. Kajian teori klaster dimulai dari beberapa pengertian klaster, aktivitas yang terjadi didalam klaster serta perkembangan dari klaster dan tipologi dari pengembangan klaster. Sedang kajian teori modal sosial dimulai dari beberapa pengertian modal sosial secara lebih menyeluruh sampai pada peranan modal dalam perkembangan klaster. Kajian teori ini diharapkan sebagai dasar atau landasan teori dalam menganalisis peranan dan pemanfaatan modal sosial pada suatu klaster.

Bab III tentang metodologi penelitian, berisikan pendekatan penelitian perkembangan (development research) yang bersifat lintas seksional

(cross sectional)yang digunakan dalam penelitian dan juga tahapan-tahapan dalam pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari persiapan, pengumpulan data sampai pada tahapan analisa data, dan akhirnya hasil penelitian disampaikan dalam bentuk diskripsi naratif (narrative description).

Dalam Bab IV berisikan tentang profil klaster cor logam Ceper, mulai dari uraian letak geografis, bahan baku yang digunakan dan jenis

industri sampai dengan pengembangan teknologi yang digunakan. Dalam bab ini juga di uraikan pihak-pihak yang terkait serta

(26)

permasalahan yang ada di dalam klaster.

Adapun Bab V tentang perkembangan klaster cor logam, berisikan perkembangan Klaster cor logam dimulai dari pertumbuhan/embrio klaster, tahap tumbuh dan dewasa serta penurunan dan transformasi. Pada tahap awal klaster tumbuh, perkembangan klaster dipilahkan menjadi 3 (tiga) yaitu jaman kolonial Belanda, jaman pendudukan Jepang dan jaman kemerdekaan, dimana pada masing-masing perubahan jaman dan perubahan peluang ekonomi telah menyebabkan perkembangan klaster cor logam. Dalam tahap klaster tumbuh dan dewasa diuraikan bagaimana klaster memulai mengembangkan network ke luar, yang pada mulanya difasilitasi pemerintah. Klaster mengalami penurunan dan transformasi yang diakibatkan adanya krisis ekonomi pada akhir 1990an. Dalam bab ini pula diuraikan tentang perkembangan teknologi klaster cor logam Ceper. Bab VI berisi uraian tentang perkembangan modal sosial yang hidup dalam klaster cor logam Ceper. Untuk melihat perkembangan modal sosial yang terjadi dipilah menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap klaster awal pertumbuhan/embrio, tahap tumbuh dan dewasa serta tahap penurunan dan transformasi. Pada perkembangan setiap tahapan tidak lepas dari masalah budaya yang hidup, hubungan kekeluargaan antar pengusaha dan relasi pengusaha dengan pihak-pihak di luar klaster seperti halnya pemerintah dan para pabrikan diluar klaster. Demikian pula faktor-faktor eksternal lainnya seperti peraturan-peraturan pemerintah maupun kondisi ekonomi yang terjadi.

Bab VII berisikan tentang pembentukan modal sosial baik melalui lembaga formal, seperti halnya koperasi, pola sub kontrak serta kemitraan dan pembentukan modal sosial melalui lembaga non formal, seperti halnya melalui hubungan keluarga maupun melalui pertemuan sosial.

(27)

Sedang Bab VIII berisi tentang pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha dalam pengembangan usahanya. Dalam bab ini diuraikan bagaimana individu memanfaatkan modal sosial, diantaranya membangun jaringan, membangun kepercayaan baik terhadap sesama pelaku usaha, konsumen maupun penyedia bahan baku, serta meningkatkan ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama, keterlibatan dalam organisasi, yang semuanya ini dalam rangka pengembangan usahanya.

Adapun Bab IX berisi tentang upaya peningkatan modal sosial, baik yang dilakukan melalui kelembagaan formal maupun informal, melalui fasilitasi pemerintah maupun faktor kondisi eksternal seperti pertumbuhan ekonomi maupun perubahan teknologi.

Bab X berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan atas penulisan

desertasi, implikasi teori, implikasi kebijakan kontribusi dan saran penelitian

(28)

Gambar

Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan Klaster Sumber: Waelbroek-Rocha dalam Anderson, (2004)
Gambar 1.3.  Kerangka Pemikiran Sistematika Penulisan

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan Pemanfaatan Lahan Pekarangan dengan Budidaya Tanaman Buah dalam Pot telah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para kader TP PKK Desa Gesik, yang

(1) Program Pengembangan Data dan Informasi, dengan Sasaran : (a) Meningkatnya ketersediaan data/informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan perencanaan (data dasar spasial dan

Berkoordinasi dengan ADB agar NOL dapat segera terbit. Rencana lelang pada Bulan Juni 2017 3 Kegiatan Peningkatan Kualitas Skala Kawasan, Kawasan Bandengan, Kota Pekalongan TA 2017

Selain itu, sektor pariwisata saat ini juga menjadi salah satu sektor unggulan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam mendapatkan pendapatan negara “

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sungai Raya yang

Pada penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah: menentukan lintasan terpendek evakuasi tsunami di kota Padang dari zona merah menuju zona hijau dengan

Kekurangan asupan gizi pada makanan yang dikonsumsi dalam tubuh kurang dari normal akan membawa akibat buruk terhadap tubuh, salah satu yang paling utama adalah