rasio yang terbaik adalah mendekati 1 yang menggambarkan bahwa nilai kedua data sama. Selanjutnya nilai rasio
digunakan sebagai bahan dalam
menentukan nilai faktor kalibrasi. Faktor kalibrasi diperlukan agar data memiliki rasio mendekati 1. Koefisien korelasi
n i i i n i i i n i i y y y y y y y y y y r i i 1 2 1 2 1 ˆ ˆ ˆ ˆ ˆKorelasi menunjukkan keeratan
hubungan antara data hasil dugaan dengan data hasil pengukuran lapangan. Nilai korelasi berkisar antara (-1) sampai dengan 1. Korelasi yang terbaik antara kedua data adalah mendekati 1.
MAE (Mean Absolute Error)
n i yi yi n MAE 1 ^ | | 1MAE merupakan nilai absolut galat rata-rata antara data dugaan dan data pengukuran lapangan.
RMSE (Root Mean Square Error)
n y y RMSE n i i i
1 2 ^RMSE merupakan nilai akar kuadrat galat rata-rata dari data curah hujan dugaan dan pengukuran.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Hubungan Suhu Kecerahan Awan dan Laju Hujan (Rain Rate)
Analisis data suhu kecerahan awan citra
MTSAT IR1 dan nilai laju hujan (rain rate)
hujan dari data TRMM 2A12 dilakukan berdasarkan wilayah kajian dan waktu yang sama atau berdekatan. Asumsi pengambilan kedua data ini adalah data yang hanya
titik piksel yang sinkron. Hal ini disebabkan oleh bentuk grid data TRMM 2A12 yang tidak beraturan. Kurang sinkronnya grid MTSAT-1R dan TRMM menyebabkan jumlah piksel yang dihasilkannya tidak sama. Untuk wilayah DAS Citarum terdapat 775 piksel MTSAT IR1 dan 462 piksel TRMM 2A12 seperti terlihat pada Gambar 11. Selanjutnya seleksi data dilakukan sesuai koordinat yang sama dan berdekatan antara dua data. Jumlah piksel akhir sesuai dengan jumlah piksel TRMM, yaitu 462 piksel.
Data yang digunakan sebagai bahan analisis hubungan suhu kecerahan awan dan curah hujan adalah data tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008. Pemilihan data ini didasarkan oleh ada tidaknya curah hujan pada seri data bulan Januari. Oleh karena itu, untuk data bulan Juli tidak diikutsertakan. Plotting data dilakukan secara berurutan sesuai tanggal dapat dilihat pada Gambar 12.
Nilai suhu kecerahan awan pada
beberapa waktu yang telah ditentukan di
bulan Januari berkisar antara 190K sampai
292 K, dengan nilai suhu rata-rata sebesar
253K. Selanjutnya nilai laju hujan TRMM
2A12 berkisar antara 0 sampai dengan 47 mm/jam, dengan nilai rata-rata sekitar 1 mm/jam. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa terdapat pola laju hujan tinggi pada suhu kecerahan awan rendah. Tetapi tidak semua suhu kecerahan rendah yang memiliki laju hujan tinggi. Ketidaksamaan ini diantaranya disebabkan oleh waktu yang tidak sama antara satelit MTSAT dan
TRMM ketika melakukan snap shot dan
ketidakmampuan satelit dalam membedakan jenis awan. Kedua faktor tersebut sering menyebabkan
Pasangan data suhu kecerahan awan dan laju hujan tidak terjadi pada waktu yang sama sesuai yang diinginkan karena resolusi temporal antara kedua data tidak sama.
Gambar 11 Plot data spasial antara Suhu Kecerahan MTSAT IR1 02.00 UTC dan laju hujan
TRMM 2A12 pada 02.19 UTC 2 Januari 2008 setelah dilakukan proses cropping pada
wilayah kajian
Resolusi temporal satelit TRMM tidak dapat ditentukan secara pasti karena bentuk orbit polar, sedangkan resolusi temporal satelit MTSAT-1R yaitu 1 jam. Jenis awan sulit dibedakan oleh satelit karena cara kerja satelit cenderung mengutamakan faktor suhu puncak awan dalam melakukan pendugaan.
Awan cirrus sulit dibedakan karena jenis ini
memiliki titik dasar awan tinggi sehingga suhu puncaknya juga tinggi. Meskipun memiliki suhu rendah, awan jenis ini tidak berpotensi rendah karena volume awan kecil serta berada pada lapisan atmosfer tinggi.
0,000 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000
Data Tanggal 2, 3, 14, 27, 30, 31 Januari 2008
S uh u K e c e ra ha n A w a n (oK ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 C H TR M M 2 A 1 2 ( m m /j a m ) Suhu Kecerahan Awan (oK) CH TRMM 2A12 (mm/jam)
Gambar 12 Grafik data suhu kecerahan dan laju hujan tanggal 2 (02.00 UTC), 13 (10.00 UTC), 14 (09.00 UTC), 27 (14.00 UTC), 30 (12.00 UTC), dan 31 (11.00 UTC) Januari 2008
data dilakukan analisis regresi yang didasarkan oleh dua asumsi (Parwati 2009), pertama setiap piksel dengan nilai suhu
kecerahan awan kurang dari 225K dan curah
hujannya di bawah 5 mm/jam tidak diikutkan dalam analisis, hal ini merupakan
kondisi awan cirrus yang tidak berpotensi
hujan, dan kedua adalah tidak menyertakan nilai piksel dengan suhu kecerawan awan
lebih tinggi dari 260K dan laju lebih dari 50
mm/jam, kondisi ini diasumsikan tidak mengikuti kondisi alam ketika semakin tinggi suhu awan maka proses pembentukan butir hujan akan sulit terjadi.
Menurut Hong et. al. (2010) hubungan
antara suhu kecerahan awan dan laju hujan berbanding terbalik tetapi keduanya tidak mengikuti pola linier. Pernyataan ini didukung bahwa besarnya curah hujan yang jatuh di suatu titik permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh suhu awan saja, melainkan masih banyak faktor lain, seperti arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan topografi. Analisis regresi yang dianggap
mewakili hubungan keduanya adalah
modifikasi eksponensial (Suseno 2009). Analisis regresi modifikasi eksponensial pada Gambar 13 menghasilkan koefisien
determinasi (R2=0.71). Artinya sebesar 71%
dengan menggunakan data suhu kecerahan awan satelit MTSAT IR1 sebagai nilai masukan.
4.3 Analisis Awan Potensi Hujan
Awan memiliki bermacam-macam jenis berdasarkan perbedaan ketinggiannya, yaitu awan rendah, sedang , dan tinggi. Tidak
semua jenis awan memiliki potensi
menurunkan hujan ke permukaan bumi. Awan yang memiliki potensi hujan termasuk
pada golongan awan rendah (Handoko et. al.
1994). Awan rendah secara umum memiliki ketinggian sekitar 2.000 meter.
Awan berpotensi menjadi hujan ketika memiliki butir air yang lebih besar dan banyak sehingga gaya dorong ke atas lebih kecil dari gaya gravitasi serta memiliki suhu puncak awan yang lebih rendah dibanding awan yang tidak berpotensi hujan. Teknologi
satelit geostasioner cenderung
mendeskripsikan obyek dalam nilai suhu dan belum mampu mendeteksi volume dan
bentuk awan. Pengklasifikasian awan
potensi hujan didasarkan pada perbedaan suhu kecerahan awan (MTSAT IR1 10.8 µm) dan suhu kecerahan uap air (MTSAT IR3 6.8 µm).
Gambar 13 Regresi modifikasi eksponensial antara suhu kecerahan awan MTSAT IR1 (X) dengan
(i) (ii)
(iii)
Gambar 14 Proses klasifikasi awan potensi hujan: (i) suhu kecerahan awan dari MTSAT IR1; (ii) suhu kecerahan uap air dari MTSAT IR3; (iii) awan potensi hujan
Suhu kecerahan awan yang terdeteksi pada kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.8 µm direpresentasikan sebagai suhu puncak awan. Sedangkan pada gelombang 6.8 µm pada kanal IR3 mampu mendeteksi suhu kecerahan uap air yang selanjutnya merepresentasikan jumlah butiran hujan. Pada kanal IR1 dapat diklasifikasikan bahwa awan yang berpotensi menjadi hujan adalah awan yang bersuhu rendah. Suhu puncak awan rendah menunjukkan bahwa awan memiliki tingkat kondensasi tinggi dan siap turun menjadi hujan. Semakin cerah atau semakin tinggi suhu uap airnya maka uap air yang terkandung dalam sebuah piksel citra adalah semakin sedikit dan sebaliknya.
Penentuan awan yang berpotensi hujan didasarkan pada persamaan Kidder (2005) yang menggunakan perbedaan nilai suhu kecerahan awan dan uap air. Persamaan
tersebut diturunkan berdasarkan hasil
observasi secara history. Proses klasifikasi
awan potensi hujan ditunjukkan pada Gambar 14.
4.4 Hasil Curah Hujan Dugaan
Luaran data curah hujan hasil dugaan dikelompokkan berdasarkan tingkatan waktu dalam melakukan akumulasi jumlah hujan, yaitu, harian, 5-harian (pentad), dan 10-harian (dasarian). Berdasarkan data curah hujan dasarian maka curah hujan dugaan pada bulan Januari 2008 dapat dipetakan secara spasial seperti terlihat pada Gambar 15.
Secara spasial terdapat variasi pola hujan di DAS Citarum. Pada dasarian pertama terlihat bahwa curah hujan tertinggi di dalam DAS Citarum berkisar antara 140 mm sampai 160 mm dalam 10 hari. Curah hujan tertinggi tersebut secara merata terjadi di bagian hilir DAS. Curah hujan pada dasarian kedua secara umum lebih tinggi dibanding dasarian pertama dengan nilai tertinggi berkisar antara 200 mm sampai 220 mm.
(i) (ii)
(iii)
Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan dugaan bulan Januari 2008: (i) dasarian ke-1; (ii) dasarian ke-2; (iii) dasarian ke-3
Berbeda dengan dasarian pertama,
wilayah terjadinya hujan tinggi pada dasarian kedua secara merata terletak pada bagian hulu DAS. Pola spasial curah hujan dasarian ketiga memiliki nilai tertinggi 240 mm sampai 260 mm dan sebagian besar terjadi pada bagian hulu serta tengah DAS. Nilai ini lebih tinggi jika dibanding dengan nilai-nilai curah hujan pada dua dasarian sebelumnya. Kejadian hujan pada dasarian kedua dan ketiga lebih banyak tejadi di
bagian hulu DAS sehingga sangat
berpengaruh terhadap jumlah air yang tertampung pada tiga bendungan utama yang terdapat di DAS Citarum, yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Curah hujan yang
berada di hulu DAS menjadi input utama
dari ketiga bendungan tersebut.
4.5 Perbandingan Data Dugaan dan Data Pengukuran
Pendugaan curah hujan metode ini adalah menduga data hujan setiap jam. Data curah hujan setiap jam selama 24 jam dijumlahkan sehingga menjadi data harian. Penurunan dimensi data setiap jam menjadi data harian dilakukan untuk mengikuti
dimensi data pengukuran lapangan.
Perbandingan data dilakukan secara visual dengan melihat kedekatan nilai dan pola
time series di semua stasiun pengukuran. Gambar 16 menunjukkan letak geografis
stasiun pengukuran berdasarkan
ketinggiannya.
Contoh perbandingan antara data dugaan dengan data pengukuran ditunjukkan oleh Gambar 17 yaitu untuk data di stasiun pengukuran Bandung yang selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2. Grafik tersebut dibedakan berdasarkan perbandingan variasi temporal antara curah hujan harian, pentad, dan dasarian. Secara umum kejadian hujan terdapat pada akhir bulan atau pada dasarian ke-3. Pada beberapa hari di stasiun pengukuran Bandung terlihat bahwa nilai curah hujan pengukuran lebih tinggi daripada curah hujan dugaan. Pada stasiun pengukuran lainnya (Lampiran 2) terlihat bahwa nilai curah hujan dugaan cenderung
overestimate terhadap nilai curah hujan pengukuran, namun pola temporal curah hujan dugaan terhadap waktu cukup mendekati curah hujan pengukuran.
Gambar 16 Letak stasiun pengukuran berdasarkan ketinggiannya 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hari ke-C H ( m m ) CH Dugaan CH Pengukuran (i) 0 50 100 150 1 2 3 4 5 6 Pentad ke-C H ( m m ) CH Dugaan CH Pengukuran (ii) 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 1 2 3 Dasarian ke-C H ( m m ) CH Dugaan CH Pengukuran (iii) 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 1 2 3 Dasarian ke-C H ( m m ) CH Dugaan CH Pengukuran
Gambar 17 Plot curah hujan dugaan dan pengukuran di stasiun Bandung pada Januari 2008: (i) harian; (ii) pentad; (iii) dasarian
4.6 Perbandingan Kualitas Data Dugaan dengan Data Pengukuran
Perbandingan kualitas dua data
dilakukan dengan melihat nilai koefisien
rasio, korelasi, MAE (Mean Absolute Error),
dan RMSE (Root Mean Square Error). Data
yang dilakukan uji adalah data pada bulan Januari saja karena semua data bulan Juli tidak memiliki nilai hujan. Perbandingan data dilakukan berdasarkan dimensi data
yaitu harian, pentad, dan dasarian. Jumlah titik atau stasiun sampel pengukuran yang dilakukan uji kualitas data adalah 19 titik di DAS Citarum Hulu bagian dalam maupun luar DAS. Selain itu dilakukan juga uji pengaruh ketinggian terhadap nilai curah hujannya.
Uji rasio bertujuan untuk melihat sejauh mana data dugaan mampu mendekati data pengukuran. Rasio yang diuji adalah
0.5 didapat agar nilai rasio mendekati 1. Penggunaan faktor kalibrasi ini lebih cocok digunakan pada data bulanan karena pada data harian tidak bisa dihitung rasionya ketika kejadian bukan hari hujan.
Rasio sebelum dikalikan faktor kalibrasi mayoritas lebih dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa secara umum data dugaan
mengalami overestimate terhadap data
pengukuran. Nilai rasio data yang sudah memperhitungkan faktor kalibrasi pada Gambar 24 lebih cenderung mendekati 1.
curah hujan bulanan pada Januari 2008 adalah berkisar antara 270 mm sampai 300 mm tiap bulan. Untuk bulan Juli secara merata di dalam DAS Citarum tidak terdapat nilai curah hujan. Tetapi terdapat satu titik di luar DAS yang bernilai curah hujan berkisar antara 5 mm sampai 10 mm, sehingga perbandingan data tidak dilakukan karena tidak tersedianya data pengukuran di titik tersebut. 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 M o n ta ya C iso m a n g S a g u li n g D a m C il il in S u ka w a n a C ip a n a s-P e n g a le n g a n C h in ch o n a K a yu A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ica le n g ka C ih e ra n g C isa m p ih C iso n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C isa la k P a se h Stasiun R a s io
rasio normal rasio (FK 0.5)
Gambar 18 Rasio untuk curah hujan bulanan dugaan terhadap pengukuran sebelum dan sesudah dikalikan dengan faktor kalibrasi 0.5
(i) (ii)
Koefisien korelasi menunjukkan keeratan hubungan antar dua data. Nilai koefisien korelasi antara data curah hujan dugaan dan pengukuran harian, pentad, dan dasarian untuk data yang sudah dikoreksi lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai koefisien korelasi pada data sebelum dan sesudah dilakukan koreksi tidak jauh
berbeda karena korelasi hanya
memperhitungkan faktor hubungan pola keeratan antar dua data bukan nilai data. Selang nilai koefisien korelasi adalah -1 sampai +1. Nilai negatif menunjukkan jika
data tersebut memiliki hubungan keeratan yang saling berkebalikan. Terlihat pada Gambar 20 jika korelasi curah hujan harian rata-rata kurang dari 0.5 dan meningkat pada curah hujan pentad serta dasarian. Curah hujan harian memiliki variasi nilai yang tinggi sehingga nilai korelasinya kecil. Semakin besar nilai dimensi waktunya maka
koefisien korelasinya semakin besar.
Sehingga pendugaan curah hujan ini baik digunakan pada data yang memiliki dimensi waktu besar seperti dasarian, bulanan, dan tahunan. 0,09 0,27 0,15 0,30 0,29 0,51 0,13 0,60 0,35 0,32 0,43 0,26 0,07 0,05 -0,07 -0,03 -0,03 -0,14 -0,13 -1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (i) 0,28 0,69 0,42 0,29 0,62 0,53 0,73 0,10 0,90 0,26 0,79 0,48 0,36 0,49 0,03 0,22 -0,09 -0,04 -0,06 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (ii) 0,24 0,92 0,75 0,49 0,56 0,94 0,78 1,00 0,99 0,98 0,82 0,41 0,98 0,97 0,98 0,62 -0,71 -0,97 -0,10 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 M o n ta y a C is o m a n g S a g u lin g D a m C ili lin S u k a w a n a C ip a n a s -P e n g a le n g a n C h in c h o n a K a y u A m b o n L e m b a n g B a n d u n g C ic a le n g k a C ih e ra n g C is a m p ih C is o n d a ri C ib e u re u m U ju n g B e ru n g C ip a ra y C is a la k P a s e h Stasiun Cuaca K o e fi s ie n K o re la s i Korelasi (iii)
rata setengahnya pada data harian, pentad, maupun dasarian.
Tabel 2 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sebelum data dugaan dikalibrasi
Harian Pentad Dasarian
Korelasi 0,18 0,37 0,56
MAE 13,62 51,41 77,01
RMSE 21,48 70,59 97,83
Tabel 3 Nilai korelasi, MAE, dan RMSE sesudah data dugaan dikalibrasi
Harian Pentad Dasarian
Korelasi 0,18 0,40 0,56
MAE 8,70 30,82 42,48
RMSE 15,45 44,50 59,62
V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan eksponensial antara suhu kecerahan awan dan curah hujan ketika dilakukan analisis regresi. Klasifikasi awan
potensi hujan dilakukan dengan
menggunakan data suhu kecerahan awan pada MTSAT IR1 dan suhu uap air pada MTSAT IR3. Hasil dari persamaan regresi
adalah laju hujan yang selanjutnya
dimodifikasi menjadi curah hujan harian, pentad, dasarian, dan bulanan.
Berdasarkan analisis curah hujan spasial, pada bulan Januari terjadi tiga pola spasial distribusi hujan, yaitu dasarian ke-1 kejadian hujan cenderung terjadi di daerah hilir, dasarian ke-2 hulu, dan dasarian ke-3 pada bagian tengah DAS. Selama bulan Juli tidak terjadi hujan karena pada bulan tersebut terjadi kemarau. Selanjutnya analisis ini
diharapkan mampu membantu dalam
pengelolaan DAS Citarum secara
berkelanjutan.
Pada uji kualitas data ditunjukkan bahwa kualitas data menjadi lebih baik ketika terjadi peningkatan dimensi data dari harian, pentad, dan bulanan. Uji kualitas data yang dilakukan adalah dengan melihat nilai rasio, korelasi, MAE, dan RMSE. Faktor kalibrasi 0.5 ditentukan dari hasil uji rasio selanjutnya dapat menurunkan nilai curah hujan dugaan
yang overestimate.
5.2 Saran
Penelitian ini hanya menggunakan faktor suhu kecerahan awan dan suhu kecerahan uap air dalam melakukan pendugaan curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca kompleks dan sangat erat
dengan stabilitas serta termodinamika
atmosfer. Metode pendugaan curah hujan sebaiknya memasukkan semua komponen yang mempengaruhinya sesuai kejadian di alam.
Data TRMM 2A12 merupakan data yang dikeluarkan oleh NASA, sehingga perlu dilakukan validasi dengan data pengukuran lapangan khususnya untuk wilayah kajian. Klasifikasi Awan potensi hujan dilakukan menggunakan persamaan Kidder (2005) yang seharusnya perlu dikaji lagi untuk wilayah Indonesia. Beberapa kekurangan
tersebut kemungkinan besar yang
menyebabkan munculnya faktor kalibrasi 0.5 dan selanjutnya diharapkan mampu
menjadi masukan untuk penelitian