BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masa nifas merupakan hal penting untuk diperhatikan guna
menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Dari berbagai
pengalaman dalam menanggulangi kematian ibu dan bayi di banyak Negara,
tim pelayanan kesehatan yang ahli menganjurkan upaya pertolongan
difokuskan pada periode intrapartum. Upaya ini terbukti telah menyelamatkan
lebih dari separuh ibu bersalin dan bayi baru lahir disertai dengan penyulit
proses persalinan atau komplikasi yang mengancam keselamatan jiwa.
Namun, tidak semua rencana yang sesuai bagi suatu Negara tertentu dapat
dilakukan dengan sama pada negara lain dan memberi dampak
menguntungkan bila diterapkan di Negara tersebut (Saleha, 2009).
Masa nifas atau purpurium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya
plasenta sampai 6 minggu (42 hari) setelah itu. Periode pasca persalinan
meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarganya secara fisiologis,
emosional dan sosial. Baik di negara maju ataupun berkembang perhatian
utama bagi ibu dan bayi terlalu banyak tertuju pada masa kehamilan dan
persalinan, sementara keadaannya yang sebenarnya justru merupakan
kebalikannya, oleh karena resiko kesakitan dan kematian ibu serta bayi lebih
sering terjadi pada masa pascapersalinan (Prawirohardjo, 2009).
Dewasa ini angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi
lainnya. Setiap tahun diperkirakan sebanyak 536.000 wanita meninggal dunia
akibat masalah persalinan dan 99% kematian ibu akibat masalah persalinan
terjadi di negara-negara berkembang. Rasio kematian ibu secara global 400
per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu tertinggi terjadi diwilayah Afrika
diikuti oleh Asia Selatan dan Timur sedangkan terendah diwilayah Eropa. Di
negara Asia Tenggara tahun 2003 seperti Negara Vietnam AKI (Angka
Kematian Ibu) sebesar 95 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia AKI
sebesar 30 per 100.000 kelahiran hidup dan Singapura AKI (Angka Kematian
Ibu) sebesar 9 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes R1 2008). AKI (Angka
Kematian Ibu) di Indonesia masih tertinggi dibandingkan negara ASEAN
lainnya. Menurut Badan Penelitian Dan Pengembangan Depkes RI, AKI
(Angka Kematian Ibu) tahun 2010 mencapai 229 per 100.000 kelahiran
hidup (Depkes RI 2010).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia SDKI (2009), di
Indonesia AKI (Angka Kematian Ibu) 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Penyebab kematian ibu adalah perdarahan (Atonia uteri) (30%), eklamsia
(25%) dan infeksi (12%). SDKI (2009) Di Propinsi Lampung pada tahun
2011 dilaporkan terdapat 121 kasus kematian ibu dari 151.716 kelahiran
hidup dengan penyebab terbanyak adalah perdarahan (42%), eklamsia (13%)
infeksi (10%) Aborsi (11%) partus lama (9%) dan lain-lain (15%) .
Angka Kematian Ibu (AKI) juga merupakan salah satu target yang
telah ditentukan dalam tujuan pembangunan Millenium Development Goals
akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko dari
jumlah kematian ibu. Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia
SDKI (2008). AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia masih cukup tinggi
yaitu sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tertinggi
di Asia, sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) sebesar 2261 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab terbesar
kematian ibu yang terjadi pada masa nifas yaitu perdarahan 28%, eklampsi
24%, infeksi 11%, danlain- lain sebesar 11% DepKes RI (2008).
Angka Kematian Ibu (AKI) pada nifas di dunia mencapai 500.000
jiwa setiap tahun. kematian maternal paling banyak adalah pada waktu nifas
sebesar 49,125% dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2009 yaitu 80,29% menurun bila
dibandingkan pencapaian cakupan tahun 2008 (92,94%) dan dibawah target
SPM tahun 2015 (90%). Cakupan tertinggi adalah Kabupaten Grobogan
(102,79%) dan terendah Kabupaten Tegal (25,34%). Dari 35 Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah masih ada 18 Kabupaten atau Kota yang belum
mencapai masa puerperium (masa nifas) adalah masa pulih kembali, mulai
dari persalinan selesai sampai alat-alat reproduksi kembali seperti pra-hamil,
lamamasa nifas ini 6-8 minggu (Mochtar, 2000).
Penelitian ini diperkuat dengan teori yang diungkapkan oleh Pillitery
(2003) pijatan oksitosin dapat merangsang hipofisis anterior dan posterior
untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon oksitosin akan memicu
sedangkan tanda jika ada reflek oksitosin adalah dengan adanya rasa nyeri
karena kontraksi uterus. Teori diatas sejalan dengan penelitian ini dimana
adanya kontraksi uterus yang kuat sebagai akibat dari intervensi peneliti
berupa pijatan oksitosin yang menyebabkan penurunan tinggi fundus uterus.
Upaya pencegahan agar tidak terjadi perdarahan post partum dapat
dilakukan semenjak persalinan kala 3 dan 4 dengan pemberian oksitosin.
Hormon oksitosin ini sangat berperan dalam proses involusi uterus. Proses
involusi akan berjalan dengan bagus jika kontraksi uterus kuat sehingga harus
dilakukan tindakan untuk memperbaiki kontraksi uterus (Cuningham, 2006).
Perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab utama dari
150.000 kematian ibu setiap tahun di dunia dan hampir 4 dari 5 kematian
karna perdarahan pascapersalinan terjadi dalam waktu 4 jam setelah
persalinan. Pada sebuah laporan oleh Chichaki dan kawan-kawan disebutkan
perdarahan obstetric yang sampai menyebabkan kematian maternal terdiri
atas solusio plasenta (19%) dan koagulopati (14%), robekan jalan lahir
termasuk rupture uteri (16%), dan atonia uteri (15%) (Prawirohardjo, 2009).
Perdarahan postpartum paling sering diartikan sebagai keadaan
kehilangan darah lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama sesudah kelahiran
bayi. Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting kehilangan darah
serius yang paling sering dijumpai di bagian obstetrik. Sebagai penyebab
langsung kematian ibu, perdarahan postpartum merupakan penyebab sekitar
seperempat dari keseluruhan kematian akibat perdarahan obstetrik yang
Prevalensi kejadian perdarahan post partum baik di negara maju
maupun di negara berkembang adalah berkisar antara 5% sampai 15%. Dari
angka tersebut, diperoleh penyebabnya antara lain karena atonia uteri (50–
60%), sisa plasenta (23–24%), retensio plasenta (16-17%), laserasi jalan lahir
(4–5%), kelainan darah (0,5– 0,8%). Di Indonesia perdarahan postpartum
menduduki tingkat teratas sebagai penyebab kematian ibu, yaitu sebesar
40%-60% (Yeyeh, 2011).
Teori yang dikemukakan oleh Jordan (2004) bahwasanya oksitosin
merupakan suatu hormon yang dapat memperbanyak masuknya ion kalsium
kedalam intrasel . Keluarnya hormon oksitosin akan memperkuat ikatan aktin
dan myosin sehingga kontraksi uterus semakin kuat dan proses involusi
uterus semakin bagus.
Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan
mengurangi resiko-resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya
dekubitus, kekakuan/penegangan otot-otot di seluruh tubuh dan sirkulasi
darah dan pernapasan terganggu, juga adanya gangguan peristaltik maupun
berkemih. Sering kali dengan keluhan nyeri di daerah operasi ibu postpartum
tidak mau melakukan mobilisasi ataupun dengan alasan takut jahitan lepas
ibu postpartum tidak berani merubah posisi.
Masalah yang sering terjadi apabila pasien mengalami involusi uteri
(peningkatan tinggi fundus uteri) adalah pendarahan. Pendarahan terjadi pada
masa 40 hari.kemungkinan besar disebabkan karena kurangnya aktifitas, tidak
Berbagai faktor yang dapat menyebabkan atonia uteri, penelitian ini
sesuai dengan pernyataan teori Varney (2000) yang menyebutkan bahwa
penurunan tinggi fundus uteri dengan usia pada post partum suatu pengaruh
yang baik terhadap proses penyembuhan dan proses pemulihan kesehatan
sebelum hamil. Oleh karena itu sangat penting pula perhatikan pengawasan
terhadap tinggi fundus uteri, ibu yang paritasnya tinggi proses involusinya
lebih lambat karena semakin sering hamil uterus juga sering kali mengalami
regangan.
Dalam teori ini juga dikatakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi involusi uterus adalah gizi, usia, paritas, menyusui, dan senam
nifas. Namun dalam lapangan involusi uterus juga dipengaruhi faktor
pengetahuan, lingkungan, dan prilaku dimana dalam menunjang untuk
mempercepat proses involusi uterus.
Hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan pada
bidan ruangan post partum di RSHS Bandung mereka mengatakan tidak
pernah melakukan pijat oksitosin pada saat memberikan perawatan kepada
ibu post partum Khairani ( 2012), baik untuk merangsang kontraksi uterus,
mengatasi perdarahan. Mereka lebih cenderung menggunakan terapi breast
care dan terapi farmakologi seperti oksitosin intra-muskular. Jadi metode
untuk mengatasi perdarahan dan mempercepat involusi uterus melalui terapi
non-farmakologi seperti terapi pijat oksitosin belum pernah diterapkan, dan di
rumah sakit atau klinik-klinik banyak yang belum melakukan senam nifas
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh senam nifas dan pijat oksitosin pada
ibu post partum spontan di RSUD dr. Goeteng Tarunabrata Purbalingga untuk
melihat pengaruh senam nifas dan pijat oksitosin tersebut terhadap penurunan
tinggi fundus uteri.
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari angka prosentasi yang tinggi karena faktor atonia uteri
dan bisa berakibat perdarahan pada ibu post partum, disini peneliti tertarik
melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh senam nifas dan pijat
oksitosin pada ibu postpartum spontan di RSUD dr. Goeteng Tarunabrata
Purbalingga.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka peneliti
merumuskan masalah yaitu: “pengaruh senam nifas dan pijat oksitosin pada
ibu postpartum spontan di RSUD dr. Goeteng Tarunabrata Purbalingga dan di
Puskesmas Karangmoncol”
C. Tujuan
1. Tujuan umum :
untuk mengetahui perbedaan pengaruh senam nifas dan pijat oksitosin
terhadap penurunan Tinggi Fundus Uteri (TFU) pada ibu post partum
spontan di RSUD dr. Goeteng Tarunabrata Purbalingga dan Puskesmas
2. Tujuan khusus :
a. Mendeskripsikan karakteristik responden (umur dan paritas)
kelompok kontrol dan intervensi
b. Untuk mengetahui selisih tinggi fundus uteri sebelum dan sesudah
pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi
c. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh senam nifas dan pijat
oksitoksin terhadap penurunan tinggi fundus uteri ibu post partum
spontan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
D. Manfaat
1. Bagi Responden
Memberi informasi untuk ibu atau masukan tentang senam nifas yang
dapat berfungsi untuk menurunkan atau mempercepat involusio uterus
2. Bagi peneliti
Dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh senam nifas dan pijat
oksitosin pada ibu postpartum spontan di RSUD dr. Goeteng Tarunabrata
Purbalingga dan Puskesmas Karangmoncol.
3. Bagi institusi
Dapat menambah kepustakaan atau literatur tentang pengaruh senam
nifas dan pijat oksitosin pada ibu postpartum spontan di RSUD dr.
no Nama peneliti Judul dan tahun Hasil Kesamaan dan Perbedaan
1 Desi Liana 2013,
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Post Partum Di Rumah Sakit Umum dr. Zaenal Abidin Banda Aceh, Mahasiswa
Stikes U’budiyah
Banda Aceh D-III Kebidanan Uteri Pada Post Partum Di Uteri Pada Post Partum Di Uteri Pada Post Partum Di
Pada penelitian terkait
menggunakan desain Analitik
pendekatan cros sectional meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi TFU sedangkan pada penelitian peneliti
menggunakan desain pre eksperiment, jenis
one-shot case study dan bukan meneliti faktor apa saja yang mempengaruhi TFU tetapi peneliti ingin mengetahui intervensi mana antara senam nifas dan pijat oksitoksin yang paling efektif dalam
menurunkan TFU
2 Leli
Khairani1Maria Komariah1Wiwi Mardiah
2012, Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Involusi Fakultas Ilmu Keperawatan
ada pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi terus pada ibu post partum kelas III RSHS Bandung dengan nilai uji statistik melalui
chi square
Pada penelitian terkait
menggunakan desain kuasi eksperimen, dengan bentuk
Padjadjaran 0.05. desain pre eksperiment, jenis
one-shot case study , peneliti meneiti tentang pijat Oksitosin dan senam nifas disini peneliti membandingkan
2011, Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap
Pengeluaran Kolostrum Pada Ibu Post Partum
Di Ruang
Kebidanan Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung, Stikes Jenderal A. Yani perlakuan rata – rata 5,8 jam, perlakuan rata – rata 5,333 cc , terhadap jumlah produksi kolostrum ( Pvalue 0,009 )
Penelitian terkait menggunakan desain quasi eksperimen (eksperimen semu) sedangkan peneliti
menggunakan desain pre eksperiment, jenis
one-shot case study , penelitian terkait meneliti tentang pijat Oksitosin saja sedangkan peneliti menambahkan senam nifas dan disini peneliti membandingkan antara senam nifas dan pijat oksitoksin
4 Dede Mahdiyah 2013, Hubungan
Mobilisasi Dini Dengan
Penurunan Tinggi
Fundus Uteri
Pada Ibu
Postpartum Di Blud Rs H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin
adalah 0.000 lebih kecil dari nilai alfa yaitu 0.05
fundus uteri di BLUD RS dr. antara ibu nifas yang melakukan diketahui nilai P (value) adalah 0.000 lebih kecil dari nilai alfa yaitu 0.05 berarti
Peneliti terkait hanya meneliti hubungan
Mobilisasi Dini (senam nifas) terhadap
Penurunan Tinggi Fundus Uteri
Pada Ibu
mobilisasi dini Mobilisasi Dini Dengan Penurunan Tinggi Fundus Uteri 23 dengan terjadinya penurunann tinggi