• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - LUTFI LATIFAH BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - LUTFI LATIFAH BAB I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Penyakit scabies dikenal juga dengan nama the itch, gudik, atau gatal agogo. Scabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi (Handoko, 2008). Scabies menular dengan dua cara yaitu secara kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung terjadi ketika adanya kontak dengan kulit penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Adapun kontak tidak langsung melalui benda yang telah dipakai oleh penderita seperti pakaian, handuk, bantal dan lain-lain (Djuanda, 2007).

Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena scabies. Prevalensi cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan terutama di

(2)

Prevalensi penyakit scabies di Indonesia masih cukup tinggi karena termasuk negara tropis. Penyakit ini banyak ditemukan pada tempat dengan penghuni padat seperti asrama tentara, penjara dan pondok pesantren. Tempat yang berpenghuni padat ditambah lingkungan yang tidak terjaga kebersihannya akan memudahkan transmisi dan penularan tungau scabies(Soemirat, 2011).

Prevalensi scabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008 menurut Departemen Kesehatan Repulik Indonesia adalah 5,6%-12.95% dan scabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering, dijumpai

704 kasus scabies yang merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Pada tahun 2011 jumlah penderita scabies sebesar 6.915.135 (2,9%) dari jumlah penduduk 238.452.952 jiwa. Jumlah ini meningkat pada tahun 2012 yang jumlah penderita scabies sebesar 3,6 % dari jumlah penduduk (Depkes RI, 2012). Pada tahun 2013 prevalensi scabies adalah 3,9 % (Notobroto, 2005). Prevalensi penyakit scabies tahun 2008 di berbagai pemukiman kumuh (TPA, rumah susun, pondok pesantren) di Jakarta mencapai 6,20%, di kab Boyolali sebesar 7,36%, di kab Pasuruan sebesar 8.22% dan di Semarang mencapai 5,80% (Siswono, 2008).

Saat ini Badan Dunia menganggap penyakit scabies sebagai pengganggu dan perusak kesehatan yang tidak dapat disepelekan juga tidak dianggap lagi hanya sekedar penyakitnya orang miskin karena penyakit scabies masa kini telah merebak menjadi penyakit kosmopolit yang

(3)

Scabies identik dengan penyakit anak pondok. Penyebabnya adalah

kondisi kebersihan yang kurang terjaga, sanitasi yang buruk, kurang gizi, dan kondisi ruangan yang terlalu lembab dan kurang mendapat sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit scabies menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada komunitas yang terserang scabies. Hal ini disebabkan apabila dilakukan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyakit scabies (David, 2002).

(4)

terkena scabiesbelum sah menjadi santri dan jika sudah pernah terkena penyakit tersebut maka tidak akan terkena lagi (Mansyur, 2007).

Menurut Afraniza (2011), meskipun scabies tidak berdampak pada angka kematian akan tetapi penyakit ini dapat menggangu kenyamanan dan konsentrasi belajar pada santri. Penyakit scabies ini dapat menular dengan cepat apabila penderita kontak langsung dengan orang lain, seperti berganti-gantian baju, handuk dan alat mandi secara berganti-berganti-gantian dengan orang lain. Scabies dapat berkembang pada kebersihan perseorangan yang jelek seperti jarang mandi, jarang membersihkan diri serta lingkungan yang kurang bersih.

Kebanyakan pondok pesantren di Indonesia memiliki masalah yang begitu klasik yaitu tentang kesehatan santri dan masalah terhadap penyakit. Masalah kesehatan dan penyakit di pesantren sangat jarang mendapat perhatian dengan baik dari warga pesantren itu sendiri maupun masyarakat dan juga pemeintah. Pesantren sendiri merupakan sebuah sub-kultur dimana pondok pesantren mempunyai kultur tersendiri yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Pesantren sebagai Alternatif Ideal menurut Abdurrahman (1978) pesantren sebagai sub-kultur yang memiliki eksistensi yang berbeda dengan masyarakat luar dan memiliki tata nilai dan lengkap dengan simbol-simbol bagi masyarakat pesantren itu sendiri.

(5)

awalnya berdirinya pesantren, ditambah juga dengan fasilitas kebanyakan pondok pesantren yang kurang untuk menunjang kehidupan sehari-hari termasuk juga fasilitas kesehatannya. Perilaku santri tidak jauh berbeda mencontoh kyai, ustad dan badal (penganti kyai) yang tidak lepas dari perilaku kesederhanaan dan kesahajaan karena alasan keterbatasan fasilitas dan sarana dalam pondok pesantren (Rofiq, 2008).

Permasalahan mengenai kebersihan diri merupakan hal yang sehari-hari harus dilakukan, namun kadang masih dianggap kurang penting.Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang kebersihan diri, membuat perilaku hidup sehat ini sulit diterapkan di masyarakat.Faktor lain yang membuat kebersihan diri tidak diterapkan adalah praktek sosial, status sosial ekonomi, budaya, kebiasaan seseorang dan kondisi fisik. Penerapan kebersihan diri yang kurang akan memudahkan timbulnya penyakit-penyakit menular (Santosa, 2002). Penyakit-penyakit di lingkungan yang sering terjadi akibat dari kurangnya kebersihan diantaranya tuberkulosis paru, infeksi saluran pernapasan atas, diare, cacingan, dan scabies, masih merupakan masalah kesehatan yang juga dapat ditemukan di lingkungan-lingkungan yang kurang bersih (Santosa, 2002).

(6)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus santriwati di pondok pesantren Al-Falah Jatilawang diperoleh bahwa scabies merupakan masalah yang sering diderita oleh para santriwati. Penyakit scabies itu menempati urutan pertama dari kasus penyakit menular di Pondok pesanten Al-Falah, selain itu belum adanya poskestren (pos kesehatan pesantren) sebagai wadah pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pesantren, belum ada pula kunjungan dari pelayan kesehatan sekitar seperti puskesmas setempat dalam upaya penanganan scabiesatau mengenai kasus lain.

Hasil studi pendahuluanyang dilakukan peneliti melalui metode wawancara pada 10 santriwati di ponpes Al-Falah Jatilawang yang di ambil secara acak mengenai penyakit scabies, didapatkan data 60% atau 6 dari 10 santriwati yang mengatakan terkena penyakit scabies.Gambaran pola perilaku hyginity santriwati dari 10 santriwati didapati 30 % mereka saling berbagi handuk dan 70 % mereka berbagi pakaian, selain itu dari 10 santriwati 40 % berkebiasaan mengganti seprei setiap 1 bulan sekali dan 60 % santriwati melakukan hal tersebut lebih dari 1 kali dalam sebulan. Sebagai santri yang menjalani kehidupan di asrama membuat mereka luput dari kesehatan, mandi secara bersama-sama, saling tukar pakaian, handuk, alat sholat dan sebagainya yang dapat menyebabkan tertular penyakit scabies, hal ini memiliki karakter yang berbeda di antaranya dari tingkat pengetahuan.

(7)

yang masih kurang sehat, cara penjemuran pakaian dan handuk. Selain itu kepadatan dalam ruangan menjadi salah satu faktor dimana para santriwati tidur dan melakukan aktifitas lain bersama dalam ruang yang tidak besar, berbentuk persegi yang didalamnya di huni oleh 16-20 santriwati.

Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Perbedaan Pengetahuan dan Perilaku Personal Hygiene Santriwati Sebelum dan Setelah Diberikan Pendidikan Kesehatan Di Pondok Pesantren Al-Falah Jatilawang.

B. Rumusan Masalah

Scabies adalah masalah kesehatan yang unik, karena sejak dulu dan

didasarkan pada pengalaman danpengetahuan peneliti yang didapat ketika menjadi santriwati bahwa scabies adalah penyakit yang tidak pernah ada habisnya di lingkungan pondok pesantren, akan tetapi sangat disayangkan sekali pihak pondok pesantren belum memberikan perhatian yang besar dalam penanganan masalah scabies.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Perbedaan Pengetahuan Dan Perilaku

Personal Hygiene Santriwati Sebelum Dan Setelah Diberikan Pendidikan

(8)

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan perilaku personal hygiene santriwati sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan scabies di Pondok Pesantren Salafi Al-Falah Jatilawang.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui Pengetahuan para santriwati tentang scabies di Pondok Pesantren SalafiAl-Falah Jatilawang.

b. Mengetahui Personal Hygiene para santriwati di Pondok Pesantren

Salafi Al-Falah Jatilawang.

c. Menganalisa perbedaan tingkat pengetahuan dan perilaku personal hygiene santriwati sebelum dan setelah diberi pendidikan kesehatan

tentang scabies di Pondok Pesantren Salafi Al-Falah Jatilawang.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan mengenai perbedaan tingkat pengetahuan dan perilaku personal hygiene santriwati sebelum dan setelah diberi pendidikan kesehatan tentang scabies

2. Manfaat aplikatif

a. Bagi PondokPesantren

(9)

b. Tenaga Kesehatan

Praktek perilaku personal hygiene dapat menjadi prioritas penyuluhan sebagai upaya untuk mewujudan paradigma sehat dalam budaya hidup perorangan, keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, dengan tujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi kesehatannya baik fisik, mental spiritual maupun sosial.

c. Bagi Instansi Pendidikan

Memberikan informasi dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan denganPenkesdalam upaya untuk mengatasi penyakit scabies yang sering terjadi di lingkungan Pondok Pesantren.

E. Penelitian Terkait

1. Suci et al. (2013), Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah Padang Tahun 2013.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi scabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik, Air Pacah, Padang adalah 34 orang (24,6%) dari 138 orang. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa kejadian scabies mempunyai hubungan dengan personal hygiene (P=0,00). Kesimpulannya bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies.

(10)

Mujahadah Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah Bulan Oktober Tahun 2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi penyakit scabies di Pondok Pesantren Darul Mujahadah Kabupaten Tegal cukup tinggi yaitu sekitar 61,8%, dimana perilaku sehat (meliputi ; pengetahuan, sikap, perilaku) dan sanitasi lingkungan (meliputi sanitasi kamar atau asrama, sanitasi kamar mandi dan penyediaan air bersih) menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya scabies (Bivariat = p < 0,05).Kesimpulanbahwa perilaku sehat dan sanitasi lingkungan mempengaruhi prevalensiterjadinya scabies.

3. Sistri. (2013), Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta 2013.

Hasil analisis tentang hubungan personal hygiene dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta dari 62 santri putra, 24 santri (38,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga terkena scabies, 6 santri (9,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga tidak terkena scabies dan 32 santri (51,6 %) dengan personal hygiene yang terjaga tidak terkena skabies. Hasil uji statstik juga membuktikan terdapat hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian skabies dengan nilai P < 0,05.

4. Nazari dan Azizi. (2014), Epidemiological Pattern of Scabies and Its Social Determinant Factors in West of Iran.

(11)

sesuai dengan manifestasi klinis (85,3%) dan laboratorium penilaian mikroskopis (14,7%). Prevalensi keseluruhan dari infeksi scabies diperkirakan 5 per 100.000 kasus. Prevalensi tertinggi dan terendah yang didapat pada tahun 2009 (58,2%) dan tahun 2008 (1,7%) tanpa tren yang signifikan dari perubahan dalam waktu empat tahun penelitian. Tingkat prevalensi tertinggi kudis dilaporkan pada musim semi dan musim dingin (masing-masing 50,3% dan 22,6%) dan tingkat terendah dilaporkan di musim panas (11,3%). Mempelajari efek dari kebersihan pribadi pada distribusi kudis menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari infeksi ini pada mereka dengan personal hygiene yang rendah (54,2%) dibandingkan dengan pasien yang terkena lainnya (1,1%). Mengenai pengetahuan terhadap kudis dan manifestasi terkait, hanya 35,0% pasien memiliki informasi yang dapat diterima di berbagai aspek penyakit. Namun, pendidikan kesehatan di pusat-pusat kesehatan menyebabkan peningkatan kesadaran tentang penyakit dan pencegahannya.

5. Edison, et al. (2015), Scabies and Bacterial Superinfection among American Samoan Children, 2011–2012

(12)

di daerah masing-masing pada Tutuila Pulau selain Sa'ole secara bermakna lebih mungkin untuk memiliki kudis daripada mereka yang tinggal di perkotaan Sa'ole, (kejadian rasio sekitar 1,8-3,2).

6. Berenji, et al. (2014). A Retrospective Study of Ectoparasitosis in Patients Referred to Imam Reza Hospital of Mashhad, Iran

Dalam penelitian ini, 1814 pasien dinilai, 375 pasien memiliki kudis dan 99 memiliki pediculosis. Sarcoptes lebih umum di antara laki-laki dengan kejadian 13,7%, dan pediculosis lebih umum di antara perempuan dengan kejadian 7% (P = 0.00). Insiden yang paling umum dari kudis dan pediculosis diamati pada kelompok usia 119 tahun dan 0-9 tahun, masing-masing (P = 0.00) Mengingat pekerjaan, scabies adalah lebih umum di antara pekerja dengan kejadian 32% dan pediculosis lebih umum di kalangan anak-anak dengan kejadian 9,9% (P = 0.00).

Namun, beberapa penelitian tentang kudis telah menyatakan insiden yang lebih tinggi pada wanita daripada pria. Selanjutnya, kejadian scabies di kelompok usia 31- 40 dan 41-50 lebih tinggi pada wanita dan pada kelompok usia 11-20 lebih tinggi pada pria. Hasil ini sebagian berbeda dari temuan kami. Poudat dan Nasirian, dalam penelitian mereka, dilaporkan miripprevalensi dua jenis kelamin.

(13)

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode kuantitatif dengan desain yang digunakan adalah Pra Eksperimen dengan menggunakan rancangan “one group preand posttest without control grup”. Pegukuran

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek

Pada hal, Pasal 4 ayat 2 secara tegas bahwa pelaku usaha patut atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa jika dua

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Perintah SBB akan mengurangkan nilai Tujuan dengan Asal dengan cara yang sama seperti perintah SUB, kemudian hasil yang didapat dikurangi lagi dengan Carry

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

SEGMEN BERITA REPORTER A Kreasi 1000 Jilbab Pecahkan Muri Rina &amp; Deska. CAREER DAY AMIKOM Adib &amp; Imam Wisuda smik amikom Adib