• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Konsep dan Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1 Konsep dan Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Fungsi sebuah pelabuhan paling tidak ada 4, yaitu (1) tempat pertemuan (interface): pelabuhan merupakan tempat pertemuan dua moda transportasi utama, yaitu darat dan laut serta berbagai kepentingan yang saling terkait; (2) gapura (gateway): pelabuhan berfungsi sebagai gapura atau pintu gerbang suatu negara. Warga negara dan barang-barang dari negara asing yang memiliki pertalian ekonomi masuk ke suatu negara akan melewati pelabuhan tersebut. Sebagai pintu gerbang negara, citra negara sangat ditentukan oleh baiknya pelayanan, kelancaran serta kebersihan di pelabuhan tersebut. Pelayanan dan kebersihan di pelabuhan merupakan cermin negara yang bersangkutan; (3) entitas industri: dengan berkembangnya industri yang berorientasi ekspor maka fungsi pelabuhan menjadi sangat penting. Dengan adanya pelabuhan, hal ini akan memudahkan industri mengirim produknya dan mendatangkan bahan baku. Dengan demikian, pelabuhan berkembang menjadi suatu jenis industri sendiri yang menjadi ajang bisnis berbagai jenis usaha, mulai dari transportasi, perbankan, perusahaan leasing peralatan dan sebagainya; dan (4) mata rantai transportasi: pelabuhan merupakan bagian dari rantai tansportasi. Di pelabuhan berbagai moda transportasi bertemu dan bekerja. Pelabuhan laut merupakan salah satu titik dari mata rantai angkutan darat dengan angkutan laut. Orang dan barang yang diangkut dengan kereta api bisa diangkut mengikuti rantai transportasi dengan menggunakan kapal laut. Oleh karena itu, akses jalan mobil, rel kereta api, jalur dari dan ke bandar udara sangatlah penting bagi suatu pelabuhan. Selain itu, sarana pendukung, seperti perahu kecil dan tongkang akan sangat membantu kelancaran aktivitas pelabuhan sebagai salah satu mata rantai transportasi (Suyono 2001).

Secara umum pelabuhan berfungsi sebagai salah satu pintu gerbang kegiatan perekonomian nasional dan internasional (gateway), sebagai simpul dalam jaringan transportasi, sebagai tempat kegiatan bongkar muat transportasi, dan sebagai tempat untuk mendukung pembangunan industri dan pertumbuhan ekonomi daerah hinterland. Sedangkan peranan pelabuhan adalah sebagai penghubung antara daratan dan laut. Pelabuhan juga dapat berperan sebagai tempat percepatan pertumbuhan industri dan perdagangan, dan dalam beberapa situasi dapat berperan sebagai stabilitator harga. Pelabuhan memiliki arti penting dalam mobilitas barang dan jasa, karena posisinya sebagai titik pertemuan antara transportasi darat dan laut. Dalam perspektif makro, pelabuhan juga dapat berperan sebagai salah satu instrumen terpenting untuk mendorong dan menunjang pertumbuhan ekonomi wilayah, baik secara fisik (non-ekonomi)

(2)

maupun secara ekonomi. Dampak ekonominya dapat dilihat dari kegiatan transaksi perdagangan antar pulau, sumber pandapatan dari retribusi atau pajak dan hidupnya sektor-sektor ekonomi informal di sekitar pelabuhan. Dampak fisik (non-ekonomi) tergambar dari tumbuhnya fasilitas-fasilitas publik di sekitar pelabuhan, dalam menyangga aktivitas ekonomi di sekitar kota pantai berbasis pelabuhan, seperti penyediaan transportasi darat, pengangkutan, terminal, hotel atau restoran dan tempat transit (Kamaluddin 2002).

2.1 Konsep dan Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera

Faktor utama untuk mendukung pengembangan usaha perikanan khususnya kegiatan penangkapan ikan adalah dengan tersedianya prasarana penangkapan ikan berupa PP yang siap melayani segenap kebutuhan para pengguna secara memuaskan, baik sebagai tempat berlabuh atau berlindung bagi kapal-kapal perikanan, mengisi bahan perbekalan, mendaratkan ikan dan memasarkan hasil tangkapannya maupun mengolahnya menjadi produk primer, sekunder dan seterusnya (Ismail 2005).

Keberadaan suatu pelabuhan perlu memperhatikan adanya suatu kebutuhan (need) oleh pelanggan dan calon pelanggan, dengan memperhatikan pula dukungan daerah belakang pelabuhan (hinterland) serta ketenagakerjaan. Untuk menawarkan ide suatu jasa baru diperlukan suatu penelitian yang lebih cermat, bukan saja dari sisi bisnis tetapi lebih lagi diteliti adanya keperluan baru sebagai pengganti jasa yang ada dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, teknologi, lingkungan dan operasional (Kramadibrata 2002).

Pembangunan pelabuhan memakan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan suatu perhitungan dan pertimbangan yang masak untuk memutuskan pembangunan suatu pelabuhan. Keputusan pembangunan pelabuhan biasanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomis, politik dan teknis. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan di dalam pembangunan suatu pelabuhan adalah kebutuhan akan pelabuhan dan pertimbangan ekonomi, volume perdagangan melalui laut, dan adanya hubungan dengan daerah pedalaman baik melalui darat maupun air (Triatmodjo 2003).

Untuk dapat terselenggaranya berbagai tujuan pembangunan PP, maka pola pengembangan PP berdasarkan konsepsi multi-base system merupakan sistem yang menyeluruh berdasarkan azas pengembangan wilayah yang dalam operasionalnya akan mencakup berbagai aspek produksi, pengolahan dan pemasaran hasil sampai dengan aspek-aspek sosial ekonomi perikanan (Elfandi

(3)

2000; Ismail 2005; Danial 2002; 2006). Sehubungan dengan hal itu maka pengembangan PP diarahkan sebagai suatu pengembangan komunitas perikanan (fisheries community development) secara terpadu (DJPT 2003; Ismail 2005), yaitu :

(1) Pengembangan PP, dengan segala sarana dan prasarana, untuk meningkatkan usaha perikanan (produksi, pengolahan dan distribusi hasil perikanan), menunjang tumbuhnya industri-industri perikanan dan pada akhirnya menunjang pembangunan perikanan secara keseluruhan.

(2) Pengembangan masyarakat nelayan, dengan penyediaan fasilitas untuk kegiatan operasional dan pembangunan perkampungan nelayan untuk rumah tangga nelayan.

(3) Pembinaan sumber daya manusia (SDM) perikanan, melalui peningkatan ketrampilan dan profesionalisme melalui program-program pelatihan maupun manajemen secara terarah.

Untuk itu pengembangan PP di suatu wilayah harus dilakukan secara terencana dan terpadu dengan menganalisis tiga elemen penting dalam sistem PP yang saling terkait (Guckian 1970; Lubis 2000; Chaussade 2000), yaitu: (1) Foreland adalah suatu komponen yang terdiri dari parameter-parameter yang

berkaitan dengan potensi SDI, daerah penangkapan dan lingkungan perairan.

(2) Fishing port dalam analisisnya merupakan komponen yang meliputi kondisi fisik existing, potensi perikanan (produksi, nilai produksi, unit penangkapan) dan organisasi yang ada didalamnya.

(3) Hinterland merupakan salah satu komponen penting dalam analisis karena komponen itu meliputi konsumen, sarana prasarana pendukung, lembaga dan organisasi yang mendukung aktivitas pendistribusian, dan lain-lain.

Berdasarkan dokumen FAO (1973) menyebutkan bahwa terlepas dari permasalahan yang spesifik seperti faktor politik dan sosial, ada beberapa langkah-langkah bersifat menentukan yang harus diambil menyangkut rencana detail dari suatu unit pelabuhan yaitu:

(1) Melakukan suatu studi mengenai laut dan SDI (termasuk inland, payau dan laut) meliputi perairan nasional dan internasional yang dapat dijadikan sebagai tempat industri dan potensial untuk dieksploitasi.

(4)

(3) Mengadakan persiapan secara terencana untuk menangkap SDI meliputi tipe kapal, ukuran, jumlah, alat tangkap dan metode, tenaga kerja dan ABK yang tersedia.

(4) Mempelajari daerah distribusi, pemasaran dan menangani sistem dan metode pengolahan untuk mengetahui lokasi yang paling efektif sebagai tempat pendaratan ikan.

(5) Merinci hal-hal penting yang mencakup komponen dalam suatu garis besar unit pelabuhan untuk memenuhi aktivitas yang diusulkan.

(6) Menyiapkan suatu pengaturan yang terorganisasi untuk keadaan nasional dan lokal.

(7) Menentukan lokasi yang diinginkan (di dalam propinsi atau negara) untuk penetapan fasilitas, berdasarkan studi kelayakan, ketentuan umum dan informasi yang tersedia.

Kegiatan perikanan yang maju biasanya didukung oleh potensi SDI yang memadai, tingkat teknologi usaha perikanan yang cepat guna serta didukung oleh nelayan yang mempunyai ketrampilan dan jiwa bisnis yang tinggi. Informasi mengenai sumber daya perikanan sangat penting artinya, karena keberhasilan pembangunan PP atau PPI tidak terlepas dari ketepatan dalam pemilihan lokasi yang akan dikembangkan tersebut antara lain adalah adanya potensi sumber daya perikanan yang memadai, jumlah armada dan produksi, sistem pemasaran, ketersediaan lahan serta memiliki nilai manfaat yang besar.

2.1.1 Pengertian Pengembangan Pelabuhan Perikanan

Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai pengertian proses, cara, atau perbuatan mengembangkan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan PP adalah suatu cara atau proses dalam upaya mengembangkan sebuah PP.

Pengembangan PP dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana perikanan tangkap yang ada. Pengembangan PP diharapkan dapat meningkatkan roda perekonomian dan sektor lainnya seperti perdagangan, pariwisata, industri penunjang perikanan, ketenagakerjaan, PAD, PNBP, serta terkendali dan terawasinya pemanfaatan SDI.

Lubis (2005) menyatakan bahwa pengembangan PP adalah cara untuk mengembangkan PP melalui peningkatan usaha perikanan di pelabuhan (produksi, pengolahan dan distribusi hasil perikanan) termasuk segala sarana

(5)

dan prasarananya sehingga menunjang timbulnya industri perikanan dan pada akhirnya menunjang pembangunan perikanan secara keseluruhan. Hal-hal yang mendasari pengembangan PP adalah :

(1) Potensi SDI yang mungkin dikembangkan, tingkat kegiatan perikanan, didukung kondisi fisik dan sebagainya.

(2) Daya serap pasar terhadap produk perikanan dan tingkat pengembangan industri.

(3) Kebijakan, yaitu stimulan pengembangan kegiatan perikanan.

Departemen Pertanian (1999) menyatakan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan usaha sekurang-kurangnya PP mempunyai faktor pendukung, meliputi: (a) potensi sumber daya perikanan, (b) prasarana pendukung, (c) lahan pengembangan, (d) pelabuhan check point kapal ZEEI, (e) akses pasar lokal, dan (f) akses pasar luar negeri. Untuk itu pada umumnya, pola pikir pengembangan suatu PP mencakup aspek-aspek sebagai berikut : (1) aspek sumber daya perikanan, (2) aspek sarana produksi, (3) aspek pemasaran, (4) aspek usaha perikanan, (5) aspek sumber daya nelayan, (6) aspek regional dan kebijaksanaan pemerintah.

2.1.2 Model-Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan

Tambunan (2005) menyebutkan bahwa infrastruktur PP di Indonesia dikategorikan dalam pelayanan publik. Sebagaimana telah disebutkan bahwa PP tersebut terdiri dari PPS, PPN, PPP dan PPI. Fasilitas tersebut dikelola secara teknis oleh UPT Pemerintah Pusat atau oleh Pemerintah Daerah tergantung dari skala pelayanan yang diberikan. Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk PPS dan PPN dikelola oleh UPT Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah UPT dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Direktorat PP yang bertugas memberikan bimbingan, melaksanakan koordinasi dan pengendalian terhadap penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pelabuhan. Kepala PPS secara teknis fungsional dan organisatoris bertanggung jawab kepada Direktur PP Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

PPP dan PPI umumnya masih dikelola oleh Pemerintah Daerah dan nelayan setempat (kegiatan perikanan rakyat), dalam pengembangannya sering menemui hambatan yang merupakan kelemahan dari perikanan rakyat itu sendiri. Hambatan dan kelemahan tersebut disebabkan oleh antara lain (Lubis 2000):

(6)

(1) Prasarana ekonomi, seperti jalan penghubung yang diperlukan guna mendorong kegiatan ekonomi perikanan rakyat yang belum memadai.

(2) Sarana produksi yang berupa bahan dan alat penangkapan, es, garam dan sebagainya masih dalam keadaan terbatas.

(3) Jaringan pemasaran hasil masih berliku-liku atau bersifat unorganized market, sehingga tidak menguntungkan nelayan. Secara geografis pusat produksi perikanan banyak yang berjauhan dengan pusat konsumen.

(4) Lembaga-lembaga perkreditan yang bisa membantu dalam permodalan usaha belum banyak terdapat di daerah nelayan dan sistem kredit yang ada belum efektif di dalam menunjang usaha perikanan rakyat sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Menurut Lubis (2000), pengembangan PP dapat meliputi :

(1) Pengembangan fasilitasnya (kapasitas dan jenis), yaitu berkaitan dengan fisik pelabuhan.

(2) Pengembangan statusnya, yaitu berkaitan dengan manajemen atau administrasi pelabuhan. Dasar pertimbangan dari pengembangan status sebuah PP adalah :

(a) Program sektoral dan fasilitas pendukung. (b) Kebijakan pusat dan daerah.

(c) Potensi SDI dan SDM.

(d) Kemampuan dan manajemen serta teknologi.

(e) Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran yang terjadi di PP tersebut.

Lubis (2000) menambahkan, ada tiga alternatif untuk mengembangkan fasilitas pelabuhan, yaitu :

(1) Memperluas fasilitas yang ada. (2) Menambah jenis fasilitas yang ada.

(3) Menambah jenis dan memperluas fasilitas yang ada.

Dalam pelaksanaannya, pengembangan terhadap fasilitas PP dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti dana yang dibutuhkan, lahan untuk pengembangan, kapasitas fasilitas yang ada, kondisi fasilitas dan sebagainya. Proses pengembangan harus dilakukan secara efektif dan efisien sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan di PP tersebut sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata kepada para pelaku di pelabuhan dalam melakukan berbagai aktivitas.

(7)

2.2 Peran Pendekatan Sistem dalam Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan

Kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin, di mana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil. Pendekatan sistem adalah mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh (Eriyatno 2003). Marimin (2004), mendefinisikan sistem sebagai satu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks. Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antar bagian, ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antar bagian yang interdependen satu sama lain. Selain itu dapat dilihat bahwa sistem berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus perlu dikembangkan dan dikendalikan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau sub tujuan.

Turban (1990) menyatakan bahwa pola pikir kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementar dan terpercaya. Pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya harus memiliki tiga karakteristik: (i) kompleks, (ii) dinamis dan (iii) probabilistik. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu: (i) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi kepada tujuan; (ii) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (iii) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat melaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 2003 dan Marimin 2004).

Marimin (2004) menyebutkan bahwa pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Eriyatno (2003) berpendapat bahwa pendekatan sistem memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah dan merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan,

(8)

menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem keseluruhan. Metode untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan melalui pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses. Tahap-tahap tersebut meliputi: evaluasi kelayakan, penyusunan model abstrak, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem.

Pendekatan sistem diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dengan melalui tahap-tahap di mana untuk menentukan tujuan dan permasalahan diawali dengan penentuan kebutuhan-kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa dalam pendekatan sistem terdapat enam tahap analisis sebelum sampai kepada sintesis (rekayasa), yaitu: (1) analisis kebutuhan; (2) identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; (4) pembentukan alternatif sistem; (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik; dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Tahap pendekatan sistem tampak pada Gambar 3.

Konsep model dari sistem penunjang keputusan (SPK) menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) data, dan (3) model. Masing-masing komponen dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Masukan dan keluaran dari dan untuk pengguna dikelola oleh sistem manajemen dialog. Pengelolaan atau manipulasi data dilakukan oleh sistem manajemen basis data, sedangkan model dikelola oleh sistem manajemen basis model. Ketiga komponen dari sistem tersebut dikoordinasi oleh sebuah sistem pengolahan terpusat (Keen and Morton 1978). Struktur dasar dari SPK dapat dilihat pada Gambar 4.

Sistem manajemen dialog, menurut Minch and Burns (1983) adalah sub sistem dari SPK yang berkomunikasi langsung dengan pengguna, yakni menerima masukan dan memberikan pengeluaran dari sistem. Sistem ini menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna (Eriyatno 2003).

Sistem manajemen basis data harus bersikap interaktif dan luwes, dalam arti mudah dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi dan struktur elemen-elemen data (Minch and Burns 1983). Komponen data dapat ditambah, dihapus atau disunting agar tetap relevan bila dibutuhkan (Turban 1990).

(9)
(10)

Gambar 4 Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 2003).

Sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasi pengambilan keputusan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan SPK seperti pembuatan model, implementasi, pengujian, validasi, eksekusi dan pemeliharaan model. Sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini akan menerima masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan keluaran ke sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula (Eriyatno 2003).

Pendekatan sistem mempunyai peran penting dalam rekayasa model pengembangan suatu PP. Chaussade (2000) menyebutkan bahwa sistem PP terdiri dari tiga elemen penting yaitu: zona laut (the maritime forward area), zona daratan (the continental backward area), dan zona pelabuhan (the harbour area). Begitu pula menurut Guckian (1970) bahwa terdapat tiga elemen terkait dalam perencanaan pengembangan suatu PP yaitu SDI, PP dan konsumen. Karena itu dalam rekayasa pengembangan suatu PP membutuhkan pendekatan sistem (Anctil 1970).

(11)

2.3 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan

Penelitian tentang pengembangan PP belum banyak dilakukan dan cenderung parsial. Beberapa studi tentang pengembangan PP dan analisis sistem suatu PP antara lain dilakukan oleh Lubis (1999 dan 2001) meneliti tentang “Pola Pengembangan PP di Wilayah Perairan Selat Malaka dan Laut China Selatan yang Efisien dan Efektif”. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui gambaran dasar PP dan PPI contoh di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut China Selatan dan menemukan akar permasalahan PP-PPI di kedua wilayah perairan studi dan alternatif pemecahan dalam pengembangan PP-PPI secara efisien dan efektif melalui pola pengembangan yang didapatkan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan penerapan analisis tryptique portuaire: hinterland, foreland dan fishing port. Gambaran umum dari foreland PP dan PPI di kedua wilayah perairan studi hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal dan tidak melakukan pelelangan ikan secara murni, fasilitas yang ada sebagian tidak berfungsi karena biaya pengoperasian dan pendapatannya tidak seimbang seperti cool room di PPI Manggar, juga karena fasilitas-fasilitas tersebut rusak seperti tangki air dan tangki bahan bakar di PPP Pemangkat. Beberapa PP atau PPI tidak tersedia fasilitas yang sebenarnya diperlukan seperti fasilitas penyediaan es dan solar di PPI Sungai Rengas-Pontianak dan juga terjadinya pendangkalan yang cukup serius di beberapa PPI.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, terdapat dua pola dasar pengembangan yang diarahkan untuk memecahkan permasalahan yang ada di PP atau PPI wilayah perairan Laut China Selatan dan Selat Malaka dan untuk mencegah penjualan ikan ditengah laut dengan mengaitkan antara posisi pasar dan fishing ground (FG). Pada pola dasar I, untuk pengembangannya antara FG dan fishing market (FM) perlu dibangun sebuah PP atau PPI baru agar pengontrolan jumlah produksi dan retribusi dapat dilakukan. Sedangkan pada pola dasar II, pengembangan ditujukan untuk PP atau PPI yang dilalui melalui penyediaan fasilitas-fasilitas yang diperlukan dan penyesuaian kapasitasnya serta pengembangan industri pengolahan ikan. Pola dasar I dan II yang diusulkan diatas untuk pengembangan PP atau PPI yang berada di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut China Selatan agar efisien dan efektif dalam segala aktivitasnya sehingga dapat menguntungkan nelayan dan meningkatkan kesejahteraannya serta dapat menguntungkan pengelolanya.

(12)

Lubis (2000) menyatakan bahwa pada umumnya PP atau PPI yang ada di wilayah perairan Laut Jawa masih belum berfungsi optimal khususnya PPI karena adanya berbagai permasalahan internal seperti pengelolaan dan operasionalnya. Permasalahan pengelolaan ini khususnya karena minimnya kualitas SDM yang ada terutama di PPI dan juga kurangnya peraturan-peraturan dengan kelembagaan yang berhubungan dengan pengelolaan PP. Pengelolaan PP atau PPI yang ada saat ini masih kurang mengkaitkan dengan kondisi foreland dan hinterland-nya. Sebagai contoh faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam distribusinya kurang diperhatikan seperti sarana transportasi yang dipakai untuk mendistribusikan ikan, cara-cara dalam pengolahan dan penanganan yang belum memperhatikan sanitasi dan higienis.

Manurung (1995) melakukan penelitian tentang “Urgensi PP di Jawa Tengah”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengemukakan keberadaan dan perkembangan PP di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Tengah pada khususnya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa dikaitkan dengan sentra produksi pembangunan PP berjalan lambat, bahkan pemeliharaan PP yang sudah tersedia belum dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan, antara lain karena keterbatasan dana. Sebagian besar PP berukuran kecil dan belum dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Walaupun PP pada hakekatnya diharapkan sebagai pusat pengembangan industri perikanan di desa pantai, tetapi lembaga-lembaga pendukungnya belum tersedia secara seimbang di wilayah pelabuhan tersebut. Bahkan lembaga-lembaga yang telah ada di wilayah itu kurang berperan dan terkoordinasi dengan baik. Dilihat dari konsepsi agribisnis, kegiatan ekonomi perikanan di wilayah pelabuhan masih lebih terfokus pada pelelangan ikan, pengolahan tradisional dan distribusi produksi hasil tangkapan nelayan yang belum terintegrasi antar tiap sub sistem.

Beberapa penelitian yang terkait dengan aplikasi pendekatan sistem dalam pemanfaatan SDI antara lain Effendy (2005) meneliti tentang ”Rancang Bangun Sistem Informasi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara Terpadu: Prototipe Kabupaten Sumenep Madura”. Penelitian tersebut bertujuan merancang bangun sistem informasi pemanfaatan sumber daya perikanan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu yang merupakan integrasi sistem informasi manajemen (management information system, MIS) dan sistem

(13)

informasi geografis (geographical information system, GIS) dengan prototipe Kabupaten Sumenep Madura. Rancang bangun ini diharapkan menghasilkan sistem informasi terintegrasi (integrated information system) yang berkualitas dari segi produk developed system) dan proses pengembangan sistem (well-managed system) serta relevan terhadap usaha pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu (organizational relevance). Pengembangan sistem ini menggunakan metode siklus hidup pengembangan sistem (system development life cicle) dengan sistematika pengembangan melalui pengintegrasian empat sub sistem utama yang menentukan kapabilitas teknik sistem ini, yaitu: (1) sub sistem data base management system (DBMS) untuk mengelola basis data; (2) sub sistem criteria base management system (CBMS) untuk mengelola basis kriteria; (3) sub sistem model base management system (MBMS) untuk mengelola basis model; dan (4) sub sistem interface base management system (IBMS) untuk mengelola basis dialog ke dalam bangunan sistem secara keseluruhan sehingga dihasilkan sebuah sistem informasi yang terintegrasi.

Hasil perancangan sistem informasi ini adalah sebuah program aplikasi komputer SISTEMIKRSIMPEL dengan platform MicrosoftR Windows XP Home EditionTM dengan dua panel utama, yaitu: (1) marine and coastal support system (MCSS) informasi yang dapat diakses dan diproses dalam panel ini adalah informasi atributal untuk pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan (potensi lestari, kapasitas optimum upaya pemanfaatan, dan sebagainya) dan informasi atributal untuk pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan (karakteristik biofisik, karakteristik permasalahan lingkungan, dan sebagainya); dan (2) marine and coastal guideline system (MCGS) informasi yang dapat diakses dan diproses dalam panel ini adalah informasi spasial untuk pemanfaatan ruang pesisir dan lautan (persyaratan biofisik dan kesesuaian lahan untuk pelabuhan, tambak, industri, dan sebagainya) dan informasi spasial untuk pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan (karakteristik biofisik, karakteristik permasalahan lingkungan, dan sebagainya).

Agustedi (2000) melakukan penelitian tentang “Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah. Penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi ekspor dengan pendekatan wilayah; meliputi (1) analisis faktor yang menghambat dan

(14)

mendukung perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut; (2) mempelajari kemitraan antara pemasok bahan baku dan agroindustri dengan pedagang atau distributor; (3) menganalisis struktur biaya usaha agroindustri hasil laut; (4) merancang perangkat lunak untuk membantu investor, pengusaha, dan pemerintah dalam merencanakan dan membina agroindustri hasil laut skala usaha kecil dan menengah; serta (5) merancang suatu model perencanaan agroindustri hasil laut terpadu yang terdiri dari UP-3 primer (Usaha Pascapanen Perikanan Pedesaan primer) dan UDP-2 tersier (Usaha Distribusi Produk Perikanan tersier) dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan pendistribusian pendapatan pihak terkait secara proporsional. SPK dengan model AGROSILA diwujudkan dalam bentuk program berbasis komputer yang terdiri dari teknik optimasi dengan menggunakan program linier untuk meminimumkan biaya transportasi melalui prosedur VAM (Vogel’s Approximation Methods) dan stepping stone, rancangan kebijakan atau strategis dianalisis dengan AHP, metode penentuan prioritas keputusan dengan MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) dan CPI (Comparative Performance Index). Penetapan kinerja perusahaan dianalisis dengan metode APC (American Productivity Center Model), analisis penetapan harga produk menggunakan model pasar dinamik, dan perkiraan produksi produk agroindustri hasil laut dianalisis dengan model pemulusan eksponensial (Exponential Smoothing Model/ESM).

AGROSILA sebagai suatu model yang berbasis komputer dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu (1) model perencanaan yang didukung oleh sub model pengadaan bahan baku dan perencanaan produksi (DAKUSI); sub model teknologi (TEKNO); sub model pembiayaan, kelayakan, dan resiko usaha (PKRESIKU); dan sub model nelayan (NELAYAN); dan (2) model pembinaan yang didukung oleh sub model teknologi (TEKNO); sub model mutu (MUTU); sub model resiko usaha (PKRESIKU); sub model nelayan (NELAYAN); sub model produktivitas (PRITAS), dan sub model perkiraan harga (HARGA). Aplikasi SPK AGROSILA diharapkan mengemban misi: (1) pemberdayaan nelayan atau kelompok nelayan, (2) peningkatan nilai tambah melalui usaha pengolahan, dan (3) pengembangan usaha bersama. Aplikasi metode kesisteman telah menghasilkan SPK AGROSILA yang holistic dan mampu membangun kondisi optimal melalui proses pemenuhan kebutuhan para pelaku terkait, sekaligus dapat mengantisipasi dinamika perubahan data dan informasi.

(15)

Giyatmi (2005) meneliti tentang “Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengembangan agroindustri perikanan laut. Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dirancang dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL (Agroindustri Perikanan Laut). Sub Model Kawasan untuk pengelompokkan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut dan penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan dirumuskan dengan Metode Cluster Analysis; Sub Model Pemilihan untuk pemilihan prioritas komoditas potensial dan pemilihan produk unggulan dirumuskan berdasarkan Metode Independent Preference Evaluation (IPE) dalam kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM); sub model kelayakan untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan kriteria Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP); sub model strategi untuk memilih alternatif strategi pengembangan dirumuskan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP); dan sub model kelembagaan untuk menetapkan struktur elemen kelembagaan pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan metode Interpretative Structural Modelling (ISM).

Sistem pengembangan agrindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model SPK AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat diaplikasikan di Propinsi Jawa Tengah, tetapi dapat juga diaplikasikan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penyesuaian dalam aplikasi model ini dapat dilakukan melalui serangkaian identifikasi awal terhadap potensi, kondisi dan harapan yang hendak dicapai oleh masing-masing wilayah. Implementasi dari alternatif model dan hasil penelitian ini masih membutuhkan kajian yang mendalam terhadap berbagai faktor pendukungnya, seperti model kemitraan antar wilayah berdasarkan tingkat kepentingan yang serupa dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki, tinjauan kritis terhadap potensi SDI yang lebih akurat, serta dukungan kebijakan yang nyata dari pemerintah terhadap pengembangan agroindustri bernilai tambah.

Gambar

Gambar 3 Tahap pendekatan sistem (Eriyatno 2003).
Gambar 4 Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Alat ukur selanjutnya adalah The Aggression Questionnaire untuk satu sampel dari 372 subjek sebuah grup besar merupakan mahasiswa psikologi yang diteliti

- Kendala proses belajar mengajar saat ini adalah ketidakinginan murid untuk membaca materi pelajaran, saya menanganinya dengan cara memberikan tugas untuk membuat ringkasan

Penanda morfologi berupa perkembangan taksonomi daun untuk mengidentifikasi semai hibrid Acacia sangat bermanfaat untuk pelaksana teknis di persemaian.. Walaupun tidak

Berdasarkan informasi dan data di atas, Anda diminta untuk membuat seluruh jurnal yang diperlukan pada

Tingkat literasi digital siswa dengan kemampuan matematika rendah terhadap media pembelajaran Matur Suwon pada materi aritmatika sosial pada penelitian ini dapat

Penelitian sistem informasi dan monitoring tumbuh kembang balita berbasis web ini dirancang dan dibangun bertujuan jangka pendek untuk membantu tenaga medis maupun kader posyandu

kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah,.. keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia. mencoba

Katoda ialah elektroda negatif yang merupakan benda kerja yang akan dilapisi. Katoda atau benda kerja dapat memiliki bentuk dan dapat terbuat dari beraneka logam, yang