BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah dan aparatur pemerintah yang menjaga kredibilitas dan
kewibawaannya yang tinggi akan dihormati oleh masyarakat yang dilayaninya.
Aparatur Pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi dalam
menjalankan tugasnya. Tentu memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi
pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayani itu. Dalam
pemerintahan yang demikian itu pula iklim keterbukaan, partisipatif dan
pemberdayaan masyarakat akan dapat terwujudkan, sebagai manifestasi dan gagasan
yang dewasa ini mulai dikembangkan, yaitu kepemerintahan yang baik (good
governance).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pemahaman mengenai etika dan
moralitas dalam pemerintahan merupakan kompetensi dasar yang penting dan
strategis yang harus dimiliki dan dipraktekkan secara konsisten oleh setiap individu
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur
negara adalah abdi negara dan abdi masyarakat. Dengan demikian jelaslah
kedududukan PNS tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sebagai abdi negara seorang PNS terikat dengan segala aturan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku, yang mengatur jalannya pemerintahan dan hubungan antara
Pemerintah dengan PNS yang bersangkutan. Selain itu pada tingkat organisasi,
hubungan antara organisasi dengan PNS sebagai pegawai di lingkungan organisasi
yang bersangkutan juga diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
pemegang otoritas kelembagaan tersebut. Sedangkan dalam hubungannya dengan
perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai konvensi lainnya yang disepakati baik oleh
masyarakat maupun pemerintah, dalam hal ini PNS.
Salah satu faktor yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan
organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor sumber daya manusia melalui
kepemimpinan yang mampu menggerakkan semua komponen yang ada dalam
organisasi sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pengaruh
kepemimpinan yang paling utama dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya
adalah pemimpin tersebut mampu untuk menerapkan fungsi-fungsi manajemen mulai
dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan sampai pengawasan, sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja pegawai.
Seorang PNS memiliki etika, disadari atau tidak tertulis atau tidak, selaku abdi
negara dan abdi masyarakat. Berbagai kasus pelanggaran etika terjadi, yang pada
prinsipnya tergambar dari perilaku tidak etis para PNSD, terutama dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Ungkapan ”kalau bisa diperlambat,kenapa
dipercepat” atau ”kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” menjadi sindiran yang
tidak terasa menyengat lagi oleh sebagian PNSD. Artinya, bekerja seenaknya bukan
sesuatu yang tabu. Kondisi PNS masih menjadi sorotan terutama dari aspek perilaku
dan etika moralitas. PNS dianggap sebagai pekerja yang bekerja hanya berangkat
duduk, kemudian pulang dan tinggal menunggu gaji. Sebagian masyarakat masih
menganggapnya demikian. Hal ini wajar karena sebenarnya PNS terlihat masih belum
adanya penataan yang jelas terhadap tupoksi dan kelembagaannya. Apalagi
memasuki era otonomi daerah keberadaan PNS semakin tidak jelas, terutama dengan
buruknya manajemen sistem kepegawaian di daerah. Kondisi ini seringkali tidak
dibarengi dengan peningkatan standar kompetensi PNS. Kenyataan ini
mengakibatkan PNS tidak memiliki standar kerja yang jelas. Jadi tidak heran apabila
masih adanya PNS terlihat sering bermain game ataupun hanya duduk-duduk sambil
”ngerumpi”. Kenyataan ini masih banyak terlihat di beberapa lembaga pemerintahan.
Pengangkatan dan sebagian pemberhentian PNSD dilakukan
oleh Kepala Daerah, maka ”kepatuhan” PNSD kepada Kepala Daerah cukup besar.
Aturan bahwa PNSD golongan III bisa diberhentikan oleh Kepala
pilkada). Disisi lain, ketiadaan jabatan merupakan ”momok” bagi PNSD yang telah
memiliki ”pangkat tinggi”. Kadangkala, seorang yang sebenarnya tidak memiliki
kompetensi dan kecakapan yang memadai untuk memangku suatu jabatan, namun
karena memiliki golongan kepangkatan yang tinggi (misalnya golongan IVb ke atas),
diangkat oleh Bupati/Walikota menjadi Kepala SKPD. Setidaknya, menjadi staf ahli
Kepala Daerah (yang mendapat fasilitas dan penghasilan setara dengan pejabat eselon
2).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis
tergugah untuk melakukan suatu penelitian kaitannya dengan fenomena hubungan
antara karakteristik kepemimpinan dengan etika pegawai, yang selanjutnya
dituangkan dalam suatu skripsi dengan judul: ”Hubungan Kepemimpinan Camat dengan Etika Kerja Pegawai Pada Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dituangkan dalam latar belakang, maka mengangkat
pokok perumusan sebagai berikut : “Apakah kepemimpinan camat mempunyai hubungan dengan etika kerja pegawai, pada Kecamatan Medan Helvetia Kota
Medan?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kepemimpinan Camat pada Kecamatan Medan Helvetia Kota
Medan.
2. Untuk mengetahui etika kerja pegawai pada Kecamatan Medan Helvetia Kota
Medan.
3. Untuk mengetahui apakah kepemimpinan camat mempunyai hubungan dengan
1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat terhadap Dunia Akademik
Dengan mengetahui hubungan kepemimpinan camat dengan etika kerja
pegawai pada Kantor Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan, diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan penulis tentang kepemimpinan dan etika kerja pegawai.
b. Manfaat terhadap Dunia Praktis 1). Terhadap Dunia Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literature ilmu-ilmu
sosial khususnya dibidang kepemimpinan. Selain itu dapat dijadikan
bahan perbandingan bagi penelitian yang ingin meneliti pada masalah
yang sama atau ingin melakukan penelitian lanjutan.
2). Terhadap Dunia Praktis
Hasil penelitian ini kiranya dapat dipergunakan oleh Pemerintah
Kecamatan Medan Helvetia sebagai bahan informasi dalam
meningkatkan etika kerja pegawai.
1.5. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan
penjelasan tentang hal – hal yang berhubungan dengan variabel pokok , sub variabel
atau pokok masalah yang ada dalam penelitian ( Arikunto, 2004: 92 ).
Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada ,
perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi
dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas
1.5.1. Kepemimpinan
1.5.1.1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan dipahami dalam dua pengertian yaitu sebagai kekuatan
untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan hanyalah sebuah
alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia melakukan sesuatu
secara sukarela ataupun sukacita. Definisi kepemimpinan secara luas adalah meliputi
proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi prilaku
pengikut atau bawahan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya.
Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang berarti seseorang yang
memiliki kecakapan atau kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan dalam satu
bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain bersama-sama melakukan
aktivitas demi tercapainya suatu maksud dan beberapa tujuan (Kartono, 2005:76).
Umar (2008 : 38) mendefenisikan kepemimpinan sebagai proses
pengarahan dan usaha mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para
anggota kelompok.
Menurut Sunarto (2005:53), kepemimpinan adalah proses memberi
inspirasi kepada semua pegawai agar bekerja dengan sebaik-baiknya untuk mencapai
hasil yang diharapkan. Dalam hal ini kepemimpinan merupakan relasi dan pengaruh
antara pimpinan dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang
sebagai hasil dari interaksi antara pimpinan dan individu-individu yang dipimpin.
Dengan begitu tujuan organisasi akan tercapai.
Sedangkan menurut Hasibuan (2003 : 170) “Kepemimpinan adalah cara
seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan
bekerja keras secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi”.
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain agar mau
berperan serta dalam rangka memenuhi tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Dimana defenisi kepemimpinan akhirnya dikategorikan menjadi tiga elemen
1. Kepemimpinan merupakan proses.
2. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (hubungan) antara
pimpinan dan bawahan.
3. Kepemimpinan merupakan ajkan kepada orang lain.
Dari kesimpulan diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara
umum pengertian pemimpin adalah suatu kewenangan yang disertai kemampuan
seseorang dalam memberikan pelayanan untuk menggerakkan orang-orang yang
berada dibawah koordinasinya dalam usaha mencapai tujuan yang ditetapkan suatu
organisasi.
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada
umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. (Slamet, 2002:29)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
mengandung beberapa unsur pokok antara lain :
1. Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi
tempat pemimpin dalam melibatkan anggotanya berinteraksi.
2. Di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi
oleh pemimpin.
3. Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
Jadi dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi, memotivasi, dan berinterksi antara pimpinan dan
bawahannya untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu kepemimpinan juga
mempengaruhi interpretasi mengenai kegiatan-kegiatan para bawahannya,
pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, perolehan
dukungan, dan memelihara hubungan kerja sama baik dari dalam organisasi maupun
1.5.1.2. Fungsi Kepemimpinan
Sebagai seorang pimpinan yang kompeten, pemimpin tersebut tidak boleh
sekedar mampu membuat keputusan dan memerintahkan keputusannya, tetapi juga
harus ikut dalam proses pelaksanaannya, namun harus dalam batas tidak menggeser
dan mengganti petugas yang bertanggungjawab pada pelaksanaan tugas tersebut.
Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan
pelaksana. Menurut Rivai (2004:53) fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan
atau kegunaan dari sesuatu hal atau kerja dari suatu bagian tubuh. Maka keberadaan
pemimpin itu selalu ada ditengah-tengah kelompoknya (bawahannya). Menurut
Kartono (2005:93) fungi kepemimpinan adalah usaha untuk memandu, menuntun,
memimpin, memberi, atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, menjalin jaringan
komunikasi kerja yang baik dalam memberikan pengawasan yang efisien dan
membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan
ketentuan waktu dan perencanaan yang telah ditetapkan.
Fungsi kepemimpinan menurut Hadari Nawawi (2005) terdiri dari dua
dimensi yaitu :
1. Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalm
tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang
yang dipimpinnya.
2. Dimensi yang berhubungan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan
orang-orang yang dipimpinnya dalam melaksanakan tugas-tugas pokok
kelompok atau organisasi, yang dijabarkan melalui keputusan-keputusan dan
kebijakan pemimpin.
Berdasarkan dimensi itu, selanjutnya secara operasional dapat dibedakan lima
fungsi pokok kepemimpinan. Kelima fungsi kepemimpinan itu adalah :
a. Fungsi Intruktif
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai pengambil
bagaimana cara mengerjakan perintah, kapan waktu pelaksanaannya dan dimana
tempat mengerjakan perintah tersebut agar keputusan dapat diwujudkan secara
efektif. Dalam hal ini fungsi bawahan hanyalah sebagai pelaksana perintah.
b. Fungsi Konsultatif
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah, pemimpin kerap kali memerlukan
bahan pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang
dipimpinnya. Konsultasi itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan
balik (feed back) berupa gagasan, inspirasi, saran yang kontruktif bagi pengembangan
kepemimpinannya, yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
c. Fungsi Partisipasi
Dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan
orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam
pelaksanaannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok,
sesuai dengan posisi masing-masing. Fungsi ini tidak sekedar berlangsung dua arah,
tetapi juga perwujudan pelaksanaan hubungan manusia yang efektif antara pimpinan
dengan bawahannya dalam keikutsertaan pengambilan keputusan maupun dalam
melaksanakannya. Sekalipun memiliki kesempatan yang sama bukan berarti setiap
orang bertindak semaunya, tetapi harus dilakukan dan dikerjakan secara terkendali
dan terarah yang merupakan kerjasama dengan tidak mencampuri atau mengambil
tugas pokok orang lain.
d. Fungsi Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan limpahan wewenang membuat /
menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari
pimpinan. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Pemimpin harus dapat
mempercayai bawahannya sesuai dengan posisi/jabatannya, apabila dia member
pelimpihan wewenang. Sedangkan penerima delegasi harus mampu memelihara
e. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian merupakan funsi control. Fungsi pengendalian
bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses atau efektif mampu mengatur aktivitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Sehubungan dengan itu
berarti fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan,
pengarahan, koordinasi, dan pengawasan. Dalam kegiatan tersebut pemimpin harus
aktif dan mengikutsertakan anggota/ organisasinya untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
Jadi dari kelima fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin harus
berusaha untuk mengembangkan dan menyalurkan kebebasan berfikir serta
memberikan kesempatan kepada pegawainya untuk mengeluarkan pendapat.
Pemimpin harus mampu menghargai gagasan, saran, dan kritik anggotanya sebagai
wujud dari partisipasinya, pemimpin harus mampu membina anggotanya agar tumbuh
menjadi orang yang mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dengan tidak
terlalu ketergantungan kepada pemimpin atau sesama kerja tim serta
bertanggungjawab terhadap tugas yang diembannya.
1.5.1.3. Tipe Kepemimpinan a. Tipe Otokratik
Kepemimpinan otokratik dideskripsikan sebagai pemimpin yang cenderung
memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, membuat keputusan secara sepihak,
dan meminimalisasikan partisipasi karyawan. Seorang pemimpin yang otokratik
adalah sesorang yang sangat egois, otoriter dengan menunjukkan sikap yang
menonjolkan “keangkuhan”, antara lain dalam bentuk :
1. Kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain
dalam organisasi, seperti mesin, dengan demikian kurang menghargai harkat
dan martabat mereka.
2. Pengabdian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
b. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat di lingkungan masyarakat yang
bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu cirri utama
masyarakat tradisional adalah rasa hormat yang tinggi yang ditunjukkan oleh para
anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin
seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat.
c. Tipe Kharismatik
Tidak banyak hal yang dapat disimak dari literature yang ada tentang criteria
kepemimpinan yang kharismatik. Memang ada karakteristi yang khas yaitu daya
tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang
jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang
kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para
pengikut tersebut tidak terlalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang
tersebut dikagumi.
d. Tipe Laissez Faire
Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan
lancer dengan sendirinya, karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang
yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi,
sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikm oleh masing-masing
anggota dan pemimpin tidak terlalu sering intervensi.
e. Tipe Demokratis
Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang
pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang
kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi,
dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan didi sendiri
(Rivai, 2006 : 61). Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya
selaku coordinator dan integrator dari berbagai unsure dan komponen organisasi.
Ciri-cirinya :
2. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung
harkat dan martabat manusia.
3. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.
f. Tipe Instruktif
Tipe ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pemimpin membatasi
peran bawahan dan menunjukkan kepada bawahan apa, kapan, dimana, bagaimana
sesuatu tugas harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
semata-mata menjadi wewenang pemimpin, yang kemudian diumumkan kepada para
bawahan. Pelaksanan pekerjaan diawasi secara ketat oleh pemimpin. Ciri-cirinya :
1. Pemimpin memberikan pengarahan tinggi dan rendah dukungan.
2. Pemimpin memberikan batasan peranan bawahan.
3. Pemimpin memberikan bawahan tentang apa, bilamana, dimana, dan
bagaiamana bawahan melaksanakan tugasnya.
4. Inisiatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata
dilakukan oleh pemimpin.
5. Pemecahn masalah dan pengambilan keputusan diumumkan oleh pemimpin,
dan pelaksaannya diawasi secara ketat oleh pemimpinnya.
1.5.1.4. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan cirri yang digunakan pimpinan
untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula
dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai
dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin.
Pendekatan perilaku, gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari
tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh
bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari
falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya
kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun tidak langsung, tentang
keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya. Artinya gaya
keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia
mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai tiga pola dasar yaitu yang
mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerja sama, dan
yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Ketiga pola tersebut tidak terpisah satu
sama lain, saling mendukung, namun kecenderungan atau titik beratnya berbeda.
Sehingga kombinasi dari ketiga pola dasar tersebut akan menghasilkan tipe utama,
yaitu :
1) Kepemimpinan otokratis menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam
mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah
yang paling diuntungkan dalam organisasi.
2) Kepemimpinan yang demokratis ditandai oleh adanya suatu struktur yang
pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang
kooperatif. Di bawah kepemimpina demokratis bawahan cenderung
bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat
mengarahkan diri sendiri.
3) Kepemimpinan kendali bebas memberikan kekuasaan penuh pada bawahan,
struktur organisasi bersifat longgar, pemimpin bersifat pasif. Peran utama
pimpinan adalah menyelenggarakan materi pendukung dan berpartisipasi
jika diminta bawahan.
Perlu diketahui bahwa gaya kepemimpinan otokratis dapat menjurus kepada
dictator. Sejarah menunjukkan bahwa Hitler dan Mussolini tampil menuruti kehendak
hatinya saja (impulsive), dan bersifat emosional, perasa, mudah tersinggung dan
akhirnya dapat menjurus kepada tindakan kejam dan sadis.
Pada tahun 1930-an ada yang berpendapat bahwa gaya kepemimpinan
sebagai suatu rangkaian kesatuan yang didasarkan pada derajat pembagian kekuasaan
dan pengaruh antara pimpinan dan bawahan. Dalam rangkaian tersebut dapat
diidentifikasikan empat gaya kepemimpinan dasar yaitu mengatakan, menjual,
gaya kepemimpinan demokratis bukannlah pendekatan kepemimpinan yang terbaik
dalam semua situasi, mereka lebih menyarankan penggunaan semua gaya, mulai dari
mengatakan sampai bergabung.
Untuk menentukan gaya yang paling efektif dalam menghadapi keadaan
tertentu, maka perlu mempertimbangkan kekuatan yang ada dalam tiga unsure yaitu
diri pemimpin, bawahan, dan situasi secara menyeluruh.
Pada tahun 1960-an berkembang teori kepemimpinan yang dinamakan “pola
manajerial”. Kepemimpinan dipengaruhi oleh dua perhatian manajerial yang
mendasar yaitu perhatian yang terhadap produksi/tugas dan perhatian terhadap
manusia. Menurut teori ini ada empat gaya dasar kepemimpinan, yaitu :
1) Gaya manajemen tugas, pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap
produksi, tetapi rendah terhadap manusia.
2) Gaya manjemen country club, pemimpin memperlihatkan perhatian yang
tinggi terhadap manusia, tetapi perhatian rendah terhadap produksi.
3) Gaya manajemen miskin, pemimpin tidak terlalu menunjukkan perhatian, baik
terhadap produksi maupun manusia.
4) Gaya manajemen tim, pemimpin menunjukkan perhatian tinggi, baik terhadap
produksi maupun manusia. Menurut teori ini gaya manajemen tim, yang
pada dasarnya sama dengan gaya demokratis merupakan gaya
kepemimpinan yang terbaik untuk semua orang dalam segala situasi.
Sementara itu menurut Contingecy Theory Leadership menyatakan bahwa
ada kaitan antara gaya kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan.
Menurut teori ini seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai
dengan situasi yang terjadi. Pendekatan ini menyarankan bahwa diperlukan dua
perangkat perilaku untuk kepemimpinan yang efektif yaitu perilaku tugas dan
perilaku hubungan. Dengan kedua perangkat ini maka kemungkinan akan melahirkan
empat gaya kepemimpinan yaitu :
1) Mengarahkan, gaya kepemimpinan ini perilaku tugas tinggi, perilaku
hubungan rendah.
3) Ikut serta, perilaku tugas rendah sedangkan perilaku hubungan tinggi.
4) Mendelegasikan, baik perilaku tugas maupun perilaku hubungan sama
rendah.
Sedangkan pakar manajemen modern berpendapat bahwa gaya
kepemimpinan yang tepat adalah suatu gaya yang dapat menyatukan tiga variable
situasional, yaitu hubungan pimpinan dan anggota, struktur tugas, serta posisi
kekuasaan, sehingga dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan yang terbaik adalah
jika posisi kekuasaan itu moderat.
Path-Goal Model sepaham dengan pendapat diatas, bahwa suksesnya
seorang pemimpin tergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan gaya
kepemimpinannya dengan lingkungan dan karakteristik individual bawahannya.
Sedangkan pengembangan baru teori ini yang dapat dikatakan sebagai kalangan
moderat, menggambarkan bahwa ada empat tipe atau gaya kepemimpinan, yaitu :
1) Mengarahkan, gaya ini sama dengan gaya otokratis. Jadi bawahan
mengetahui secara persis apa yang diharapkan dari mereka.
2) Mendukung, pemimpin bersifat ramah terhadap bawahan.
3) Berpartisipasi, pemimpin bertanya dan menggunakan saran bawahan.
4) Berorientasi pada tugas, pemimpin menyusun serangkaian tujuan yang
menantang untuk bawahannya.
Meskipun demikian diakui bahwa dalam manajemen modern, gaya
kepemimpinan yang paling tepat untuk dikembangkan adalah gaya kepemimpinan
yang partisipatif atau fasilitatif, serta involvement-oriented style yang terpusat pada
komitmen dan keterlibatan pegawai.
Akhirnya, gaya kepemimpinan dibagi dalam dua dimensi yaitu dimensi
tugas dan dimensi manusia. Dimensi tugas disebut “mengarahkan”, berorientasi pada
produk dan berujung pada gaya kepemimpinan otokratis, sedangkan dimensi
“manusia”, berhubungan dengan istilah “mendukung” berorientasi pada bawahan dan
1.5.2. Camat
1.5.2.1. Pengertian Camat
Pengertian Camat sesuai UU No.32 Tahun 2004, kecamatan merupakan
perangkat daerah yang mempunyai wilayah kerja tertentu, dipimpin oleh seorang
Camat yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melaui Sekretaris
Daerah. Kecamatan mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembanguan dan pembinaan kemasyarakatan dalam wilayah
kecamatan serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang tidak termasuk
dalam tugas perangkat daerah atau instansi lainnya. Berdasarkan pasal 126
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tetntang Pemerintahan Daerah memuat bahwa :
1. Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/ kota dengan peraturan daerah
yang berpedoman kepada peraturan pemerintah.
2. Kecamatn dipimpin oleh Camat yang tugasnya memperoleh pelimpahan
sebagai wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagai urusan
otonomi daerah.
3. Camat juga menyelenggarakan pekerjaan umum pemerintahan yang
meliputi :
a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
b. Mengkoordinasikan upaya menyelenggarakan ketentraman dan
ketertiban umum.
c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan.
d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum.
e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat
kecamatan.
g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa
atau kelurahan.
4. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah
kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5. Camat dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan
dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah
kabupaten/kota.
6. Perangkat kecamatan bertanggungjawab kepada Camat.
7. Pelaksanaan ketentuan ditetapkan dengan peraturan Bupati, Walikota
dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.
1.5.2.2. Tugas dan Fungsi Camat
Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan fungsi Camat adalah
sebagai berikut :
a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum.
c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan.
d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum.
e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat
kecamatan.
g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa
atau kelurahan.
1.5.3. Etika Kerja Pegawai
1.5.3.1. Pengertian Etika Kerja Pegawai
Etika kerja merupakan gabungan dari dua kata yaitu etika dan kerja.
Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin, norma berarti
penyiku atau pengukur, dalam bahasa Inggris norma berarti aturan atau kaidah.
Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani dari kata “ethos” yang
berarti kebiasaan atau watak. Dari kedua asal kata tersebut antara etika dan norma
dapat kita simpulkan bahwa dalam kaitannya dengan perilaku manusia, norma
digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga
untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.
Etika kerja dapat diartikan sebagai suatu perilaku seseorang sehubungan
dengan pekerjaannya. Keraf (2002:2) menyatakan bahwa “Etika berkaitan dengan
kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau
masyarakat”. Sedangkan Sinungan (2003:135) menyatakan bahwa “Etika adalah
sikap kejiwaan dari seseorang atau sekelompok orang di dalam membina hubungan
yang serasi, selaras dan seimbang baik di dalam kelompok itu sendiri maupun dengan
kelompok lain”.
Sedangkan Syafiie (1994:1) menyatakan bahwa “Etika artinya sama dengan
kata Indonesia “kesusilaan” yang terdiri dari bahasa sangsekerta “su” berarti baik dan
“sila” berarti norma kehidupan. Etika menyangkut kelakuan yang menuruti
norma-norma yang baik”.
Menurut Davis (Taufiq, 1994:155), ‘Etika kerja berarti sikap individu atau
kelompok terhadap seluruh lingkungan kerja dan terhadap kerjasama dengan orang
lain yang secara maksimal sesuai dengan kepentingan yang paling baik bagi
sebagai terciptanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara pelaku dalam
proses produksi ke arah peningkatan produksi dan produktivitas kerja”.
Menurut (Tasmara,2000 : 14), Etika kerja merupakan sikap, pandangan,
kebiasaan, ciri-ciri atau sifat mengenai cara bekerja yang dimiliki seseorang, suatu
golongan atau suatu bangsa.
Menurut Mahmoedin (1994 : 57-58) Etika kerja pegawai memiliki :
1. Kebebasan
Pekerja diharapkan memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya, dalam
batas-batas yang ditentukan oleh kode etiknya.
2. Tanggung Jawab
a. Terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya.
Pekerja diharapkan bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata,
dengan hasil yang sangat baik. Dalam hal ini ia benar-benar yakin, bahwa
karya/prestasi/hasil kerjanya minimal sesuai dengan standar.
b. Terhadap kehidupan orang lain atau masyarakat.
Pekerja diharapkan bertanggung jawab atas dampak tugasnya terhadap
perusahaannya, serikat kerja, sanak keluarganya, masyarakat luas, generasi
yang akan datang. Dalam hal ini yakin bahwa prestasinya sama sekali tidak
memberikan dampak negatif kepada kepada pihak lain.
3. Kejujuran
Jujur adalah sikap setia pada profesinya, mengakui kelemahan yang harus
diperbaiki dan mengembangkan diri untuk mencapai kesempurnaan profesinya.
Hal ini diyakini, karena ketidak jujurannya dalam mengakui kelemahannya, akan
4. Keadilan
Pekerja tidak boleh melanggar hak pihak lain (orang, masyarakat, lembaga,
organisasi atau negara), dan menghargai pihak lain. Hak pihak lain merupakan
kewajiban bagi dirinya.
Setelah memahami beberapa pengertian etika, kerja dan etika kerja di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa etika kerja adalah bagaimana pegawai harus
bertindak atau bagaimana perilaku pegawai yang seharusnya baik secara individu
maupun secara kelompok dalam kerjasama melakukan sesuatu didalam pelaksanaan
tugasnya. Etika kerja disini dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai
norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku pegawai dalam berhubungan dengan
pekerjaannya.
Etika yang baik akan tercapai bilamana pegawai dan pimpinan mempunyai
peranan masing-masing di dalam organisasi dan mereka secara bersama-sama
mempunyai satu tujuan yang ingin diwujudkan dalam bentuk suatu kerjasama.
Efektivitas kepemimpinan dituntut adanya kemahiran dalam membaca
situasi, sehingga dapat berpikir dan bertindak sedemikian rupa dengan melalui
perilaku yang positif dalam memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan
organisasi.
Perlu diketahui etika kerja pegawai tidak bersifat statis tetapi akan berubah
menurut keadaan lingkungan organisasi, dan etika kerja pegawai ini akan tetap baik
apabila pegawai merasa terpuaskan. Dalam hal ini pimpinan harus memperhatikan
kepuasan-kepuasan pegawai dalam bentuk materi dan non materi. Kepuasan dalam
bentuk non materi ini berupa rangsangan, pertumbuhan pribadi, martabat dan
sebagainya. Kecenderungan ini tidak pasti atau tidak universal, tetapi amat urgen
dalam mengantisipasi masa depan hubungan manajemen dengan para pegawai.
Di dalam lingkungan organisasi pemerintahan, dalam usaha peningkatan
etika kerja pegawai perlu diperhatikan kepuasan baik materi maupun non materi.
Dalam bentuk kepuasan materi, pegawai sudah mendapatkan hak mereka sesuai
dengan ketentuan sistem penggajian pegawai, karena itu perlu diperhatikan lebih
lanjut tentang kepuasan non materi yang berupa penghargaan, kesempatan untuk
mereka pegawai adalah makhluk sosial yang mempunyai keinginan dan kebutuhan
yang harus diperlakukan secara manusiawi.
Secara garis besar pemeliharaan etika kerja yang baik merupakan tanggung
jawab pimpinan yang bersifat konstan. Kemampuan pimpinan dan profesionalisme
akan jauh berkembang apabila etika kerja tetap dipertahankan pada suatu tingkat yang
prima. Oleh karena itu amatlah penting untuk secara kontinu menganalisis kekuatan
yang mempengaruhi etika kerja dan mengambil langkah-langkah yang efektif
sebelum terjadinya dekadensi etika kerja pegawai.
1.5.3.2. Hubungan Kepemimpinan Camat Dengan Etika Kerja Pegawai
Erat berkaitan dengan etika kerja kepemimpinan ialah etiket yang harus
ditetapkan oleh pemimpin. Etiket ialah ”unggah – unggah” atau aturan – aturan
konvensional mengenai tingkah laku individu dalam masyarakat beradab merupakan
tata cara formal atau tata krama lahiriah untuk mengatur relasi antarpribadi, sesuai
dengan status sosial masing – masing individu.
Etiket pemimpin itu sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendidikan dan
silvilisasi pribadi pemimpin. Juga dipengaruhi oleh tinggi - rendahnya tingkat
kebudayaan sebagai konteks – sosial yang mewadahi pribadi pemimpin. Khususnya
mutlak pemimpin itu perlu mengenal dan menerapkan etiket terhadap anggota
kelompoknya guna menjamin relasi saling hormat – menghormati dan saling
menghargai.
Maka dari unggah – unggah atau etiket yang ditampakkan seseorang lewat
perbuatan dan caranya dia menghormati sesama manusia , khususnya menghormati
orang – orang yang lebih tua, para wanita dan anak – anak , akan dapat nilai tinggi –
rendahnya akhlak seseorang di tengah kehidupan bersama. (Kartini, 1992:100-101).
Etika kerja pemimpin ialah pembahasan mengenai kewajiban kewajiban
pemimpin, tingkah laku pemimpin yang baik , dan dapat dibedakan dari tingkah laku
yang buruk serta moral pemimpin.
kebahagiaan – kesejahteraan – keadilan bagi masyarakat luas.Sikap moral pemimpin
adalah sikap yang bertanggung jawab moral, berdasarkan otonomi , yang menuntut
agar dia selalu bersikap kritis dan realistis.
Dengan demikian jelaslah terlihat terdapat hubungan antara Kepemimpinan
Camat dengan Etika Kerja Pegawai dimana Etika kerja kepemimpinan itu
mengandung kriteria sebagai berikut:
1. Pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kelebihan dalam pergaulan ,
keterampilan sosial , kemahiran teknis , serta pengalaman ,
2. Sehingga dia kompeten melakukan kewajiban dan tugas – tugas kepemimpinanya ,
disamping
3. Mampu bersikap susila dan dewasa . Sehingga dia selalu bertanggung jawab secara
etis / susila , mampu membedakan hal – hal yang baik dari yang buruk, dan memiliki
tanggung jawab sosial yang tinggi. (Kartini, 1992:97-98).
1.6. Hipotesis
Menurut Sugiyono (2005 :70) menyebutkan, Hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena
jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data dan harus diuji kebenarannya melalui pengujian hipotesis. Dengan
kata lain hipotesis dapat juga dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan
masalah penelitian, bukan jawaban empirik.
Berdasarkan pada perumusan masalah dan kerangka teori yang telah
dipaparkn di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ”terdapat hubungan
yang positif dan signifikan antara kepemimpinan Camat dengan etika kerja pegawai”.
1.7. Defenisi Konsep
Menurut Singarimbun (2005:33) konsep adalah istilah atau defenisi yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau
individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk
memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel
yang diteliti, maka dalam hal ini penulis mengemukakan defenisi dari konsep yang
akan dipergunakan yaitu :
1. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah usaha seseorang untuk mempengaruhi,
memberikan wewenang dan mengarahkan para pegawainya untuk
bekerja keras, memiliki semangat yang tinggi, memotivasi, dan
memelihara kerja sama (komunikasi yang baik) guna mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Etika Kerja
Etika kerja adalah terciptanya hubungan yang selaras, serasi, seimbang
antara pelaku dalam proses produksi ke arah peningkatan produksi dan
produktivitas kerja.
1.8. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat
diketahui indikator-indikator apa saja sebagai pendukung untuk dianalisa ke dalam
variabel-variabel tersebut. (Singarimbun, 1989 : 46)
1. Variabel bebas (x) Kepemimpinan dengan indikator :
a. Pengarahan
Pemimpin memberikan pengarahan yang jelas dan dapat dimengerti oleh
pegawai dalam melakukan pekerjaan.
b. Komunikasi
Komunikasi sebagai cara yang dilakukan dalam proses pekerjaan sehingga
Memberikan wewenang dan tanggungjawab dalam pengambilan
keputusan kepada pegawainya dalam menyelesaikan pekerjaannya.
d. Motivasi
Memberikan bimbingan, dorongan dan pengawasan kepada bawahan
dalam pelaksanaan pekerjaan.
2. Variabel terikat (y) Etika Kerja Pegawai dengan indikator :
a. Tanggung jawab
Setiap penyandang profesi tertentu harus memiliki rasa tanggung jawab
terhadap profesi, yang terdiri dari:
• .Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau fungsinya.
• .Tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan dari
pelaksana profesi tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi,
organisasinya /perusahaan dan masyarakat umum lainnya, serta
keputusan atau hasil pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat
dan berguna bagi dirinya atau pihak lainnya.
b. Kebebasan
Para profesional memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya tanpa
merasa takut atau ragu-ragu, tetapi tetap memiliki komitmen dan
bertanggungjawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan
oleh kode etik sebagai standar perilaku professional.
c. Kejujuran
Jujur dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya,
mengakui kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya
terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang
keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman.
d. Keadilan
Dalam menjalankan profesinya, setiap profesional memiliki kewajiban dan
milik orang lain, lembaga atau organisasi, hingga mencemarkan nama baik
bangsa dan negara.
1.9. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belkang penelitian, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional,
dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel,
metode pengumpulan data, teknik pengumpulan skor dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi gambaran umum mengenai lokasi (objek) penelitian berupa
sejarah singkat, visi, dan misi serta struktur organisasi.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini berisikan penyajian data-data yang diperoleh dari lapangan atau
berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis.
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data-data yang diperoleh setelah melakukan
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang diberikan oleh penulis