BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu dampak fenomena globalisasi didalam konteks kehidupan
bernegara adalah semakin kuatnya keinginan masyarakat untuk hidup didalam
suatu negara demokratis, dengan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme) sebagai perwujudan dari penyelenggaraan Good Governance, baik pada pemerintahan pusat maupun di daerah. Menghadapi permasalahan dan tantangan keadaan tersebut, mengisyaratkan perlu adanya
perubahan paradigma dalam sistem kepemerintahan maupun pembaharuan
dalam sistem kelembagaan itu sendiri, dan salah satu yang dapat dilakukan
adalah melalui upaya peningkatan kompetensi aparatur dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal inilah yang erat kaitannya dengan
peningkatan fungsi pelayanan publik yang dijalankannya, agar segala aktivitas
yang dijalankannya mampu mencapai taraf yang lebih sempurna.
Memperhatikan perkembangan yang terjadi baik secara faktual
maupun berbagai macam kajian literatur, mengindikasikan bahwa fungsi
pelayanan publik harus dilakukan secara prima oleh pemerintah/birokrat
dalam mewujudkan good governance. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan publik tersebut, maka aparatur pemerintah dituntut
dan terkendali baik dalam system, mekanisme kerja, kebijakan, maupun
anggaran biayanya.
Kualitas pelayanan salah satunya akan bergantung pada kualitas
sumber daya manusia yang melakukannya, untuk itulah diperlukan pembinaan
terhadap aparatur pelaksana secara terus menerus baik secara formal maupun
secara nonformal tidak menutup kemungkinan diantaranya ketegasan dari
seorang pimpinan dalam memberikan pembinaan tersebut. Sebagaimana Mc.
Afee, and friend (1982 : 3-4) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan
produktivitas dalam arti kinerja perlu dilakukan “using effective discipline and punishment” (penerapan disiplin dan hukuman yang efektif). Hal ini mengandung pemahaman aktivitas maupun produktivitas pelaksana fungsi
pelayanan akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor disekitarnya, seperti
gaya pemimpin, lingkungan kerja sebagai sarana kerjasama, fasilitas
pendukung, maupun hal lainnya dalam meningkatkan kualitas pelayanan itu
sendiri.
Pemahaman yang disampaikan tersebut di atas, mengandung
pengertian bahwa salah satu unsur yang memiliki kontribusi cukup penting
guna terciptanya kualitas pelayanan publik, adalah kualitas sumber daya
manusia pelaksananya. Apabila dikaitkan dengan fungsi pelayanan publik
yang dilaksanakan oleh pemerintah pada umumnya, maka upaya peningkatan
efektifitas, efisiensi dan kualitas aparatur sebagai sumber daya manusia
pelaksananya, merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan. Upaya
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan
untuk meningkatkan kemampuan, motivasi dan disiplin aparatur pelaksana
sebagai ujung tombak pelayanan publik. Upaya tersebut pun selayaknya
diikuti dengan pemberian kompensasi yang berupa penghargaan dan hukuman
secara proposional sesuai dengan kompetensi hak dan kewajibannya,
sehingga pada akhirnya dapat memberi efek positif dalam terciptanya
pelayanan publik yang maksimal
Perubahan Undang tentang Pemerintahan Daerah dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
mengubah pola dan struktur Pemerintahan Daerah. Perubahan ini tentu saja secara
teoritis mengubah pola organisasi di Pemerintah Daerah, karena bagaimana pun
nilai sudah sangat berubah dari semula bentuk pelayanan pemerintahan harus
berorientasi kepada penyedia(service to provider)menjadi pelayanan pemerintahan yang berorientasi kepada pengguna (service to customer).
Kembali ditekankan bahwa salah satu faktor yang paling dominan dalam
menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor
sumber daya manusia melalui kepemimpinan yang mampu menggerakkan semua
komponen yang ada dalam organisasi sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing. Pengaruh kepemimpinan yang paling utama dalam menjalankan fungsi
kepemimpinannya adalah pemimpin tersebut mampu untuk menerapkan
fungsi-fungsi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan
sampai dengan pengawasan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja
pegawai.
Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi dari manajemen karena
sarana dan prasarana dalam organisasi. Pada hakikatnya seorang administrator
adalah seorang pemimpin, maka yang dimaksud dengan pemimpin disini adalah
setiap orang yang mempunyai bawahan.
Tugas pokok dalam manajemen suatu organisasi adalah mempersatukan
keterampilan-keterampilan, mental dan sosial para anggotannya selaras dengan
kepentingan sasaran-sasaran organisasi. Seorang pimpinan tentunya menentukan
hasil pekerjaan (performance), baik hasil pekerjaan sendiri maupun hasil pekerjaan pihak lain yang berada di lingkungannya. Oleh karena seorang
pemimpin melaksanakan pekerjaan melalui bantuan pihak lain, maka tindakan
mempengaruhi bawahannya untuk melaksanakan pekerjaan dengan pihak lain
merupakan salah satu tugas para pimpinan.
Ordway Thead (Sutarto, 2001:12) memberikan pengertian kepemimpinan
adalah ‘Segala aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk
mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan’. Selanjutnya Delton Mc.
Farland (Handayaningrat, 1996:64) menyatakan pengertian kepemimpinan adalah
‘Sebagai suatu proses dimana pimpinan digambarkan akan memberikan perintah
atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam
memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan’.
Produktivitas suatu organisasi selain dipengaruhi oleh faktor pendidikan
dan pelatihan, penilaian prestasi kerja, sistem imbalan dan motivasi, juga
dipengaruhi oleh etika kerja. Etika kerja merupakan bagaimana individu itu
seharusnya bertingkah-laku mengenai kewajiban-kewajiban atau tentang hal-hal
yang baik dan buruk menurut aturan dan norma tertentu di dalam pekerjaannya.
nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya
sehubungan dengan pekerjaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan apabila seorang pegawai melakukan tugas sesuai aturan dan norma-norma yang berlaku dalam bekerja, maka pegawai tersebut mempunyai etika kerja yang baik dan sebaliknya apabila seorang pegawai melakukan tugas tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dalam bekerja, yang bersangkutan memiliki etika kerja buruk atau pegawai telah melakukan tugas sesuai dengan norma yang berlaku dalam bekerja, tetapi hanya dilakukan pada waktu ada pimpinan atau waktu-waktu tertentu saja, maka pegawai tersebut juga memiliki etika kerja yang buruk.
Di dalam organisasi pemerintahan, seperti halnya di Kantor Camat Batang
Kuis Kabupaten Deli Serdang, dimana pegawai berkaitan langsung dengan
kualitas output yang dihasilkan, maka etika kerja sangat berpengaruh terhadap
produktivitas, sehingga pimpinan organisasi (camat) berkewajiban untuk tetap
menjaga etika kerja pegawai agar tetap konsisten, sehingga menghasilkan output
yang telah ditetapkan atau yang ingin dicapai organisasi.
Fungsi pimpinan dalam mempengaruhi perilaku bawahan sangat diperlukan
dan akan terlihat bagaimana pimpinan dan pegawai saling berhubungan untuk
bekerjasama. Dalam mempengaruhi perilaku pegawai, kepemimpinan yang
ditampilkan atasan kepada bawahan akan berpengaruh terhadap persepsi dan
semangat kerja pegawai. Secara nyata pengaruh ini dapat dilihat dari sikap
akankah mereka menolak atau menerima pekerjaan tersebut. Dengan demikian
perilaku kepemimpinan akan berpengaruh pada produktivitas kerja organisasi.
Dalam beberapa jurnal yang telah saya baca sebagai bahan referensi
Kepemimpinan (leadership) selalu menjadi objek diskusi yang intensif disepanjang sejarah peradaban manusia dimanapun juga. Masyarakat selalu
haus akan kehadiran pemimpin yang dapat memenuhi harapan dan kreatif.
Kepemimpinan atau leadership pada hakikatnya adalah suatu sikap alam
pikiran dan sikap kejiwaan yang merasa terpanggil untuk memimpin dengan
segala macam ucapan, perbuatan dan perilaku hidup untuk mendorong dan
mengantarkan yang dipimpinnya kearah cita-cita luhur bersama dalam segala
bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis
tergugah untuk melakukan suatu penelitian kaitannya dengan fenomena hubungan
antara karakteristik kepemimpinan dengan etika pegawai, yang selanjutnya
dituangkan dalam suatu skripsi dengan judul: ”Hubungan Kepemimpinan Camat Dengan Etika Kerja Pegawai di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dituangkan dalam latar belakang, maka
mengangkat pokok permasalahan sebagai berikut: “Adakah hubungan
kepemimpinan camat dengan etika kerja pegawai, pada Kantor Camat Batang
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui bagaimana Kepemimpinan Camat di Kantor Camat
Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang,
2. Mengetahui bagaimana Etika Kerja Pegawai di Kantor Camat Batang
Kuis Kabupaten Deli Serdang,
3. Mengetahui adakah hubungan kepemimpinan camat dengan etika kerja
pegawai di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :
a. Manfaat terhadap Dunia Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literature ilmu-ilmu
sosial khususnya dibidang kepemimpinan. Selain itu dapat dijadikan bahan
perbandingan bagi penelitian yang ingin meneliti pada masalah yang sama atau
ingin melakukan penelitian lanjutan.
b. Manfaat terhadap Dunia Praktis
Hasil penelitian ini kiranya dapat dipergunakan oleh Pemerintah
Kecamatan Batang Kuis sebagai bahan informasi dalam meningkatkan etika kerja
1.5 Kerangka Teori
Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berfikir yaitu
kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut seorang peneliti perlu
menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari
sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Teori adalah
serangkaian asumsi, konsep dan konstrak defenisi dan proporsi untuk
menerangkan suatu fenomenal social secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep (Singarimbun, 2008:37)
Mengacu pada pendapat diatas, maka dalam hal ini penulis
mengemukakan beberapa teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
1.5.1 Pengertian Kepemimpinan
Keberhasilan seorang pimpinan akan terlihat dari efektivitas kerja dalam
rangka mencapai tujuan organisasi, yang sangat erat hubungannya dengan
keberadaan individu pimpinan itu sendiri dalam memberikan motivasi, pembinaan
dan pengambilan keputusan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Komaruddin
(1994:11) bahwa “kepemimpinan adalah untuk menstimulasi dan memotivasi
bawahan untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”.
Sedangkan Siagian (1997:24) mengatakan bahwa: Kepemimpinan adalah
Kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai
pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama
bawahannya untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui
perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan
kelebihan pribadi, dimana dengan kelebihannya tersebut seorang pemimpin dapat
mempengaruhi orang lain. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai kecakapan secara
khusus di suatu bidang atau secara umum di bidang-bidang lain sehingga ia
mampu mempengaruhi, memotivasi dan mengarahkan serta memanfaatkan orang
lain untuk tujuan tertentu.
Apabila seseorang telah diakui atau diangkat menjadi pemimpin, maka ia
harus menjalankan tugas atau perannya sebagai pemimpin yang merupakan
rangkaian yang timbul karena jabatan dan kedudukannya sebagai pemimpin.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang yang
dipimpinnya agar orang tersebut mempunyai daya kreativitas dan inovasi yang
tinggi, sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku dari mereka sesuai dengan
keinginan pimpinan. Begitu juga dalam meningkatkan etika kerja pegawai, camat
sebagai pimpinan harus mampu mempengaruhi, memotivasi, mengatur dan
mengarahkan pegawai untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan tugas.
1.5.1.1. Fungsi Kepemimpinan
Kartono (2001:81) menyatakan bahwa: Fungsi kepemimpinan ialah
memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangunkan
motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan-jaringan
komunikasi yang baik : memberikan supervisi/pengawasan yang ingin dituju,
sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan. Berdasarkan definisi tersebut
oleh seorang pimpinan dalam upaya menggerakkan pengikutnya dalam suatu
organisasi, yang pada hakekatnya tersirat bahwa fungsi kepemimpinan adalah
mengatur kehidupan organisasi sehingga diharapkan akan terciptanya suatu
efektivitas kerja melalui kegiatan pemberian motivasi, arahan, bimbingan dan
pembinaan menuju terciptanya etika kerja pegawai untuk tercapainya tujuan
organisasi.
Kemudian Siagian (1997:47) mengemukakan fungsi kepemimpinan
meliputi sebagai berikut :
1) Pengarahan (Aligning)
2) Komunikasi (communicating)
3) Pengambilan Keputusan (decision making)
4) Motivasi (motivating)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa fungsi kepemimpinan
dalam suatu organisasi sangat diperlukan dimana kepemimpinan berintikan
kemampuan untuk berkomunikasi, memberikan pembinaan maupun memberikan
motivasi. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi, pembinaan serta motivasi
merupakan kriteria utama dalam menilai efektivitas kepemimpinan seseorang
untuk bertindak sebagai pimpinan dalam suatu organisasi. Dengan demikian akan
tergambar bahwa kepemimpinan adalah kegiatan untuk menstimulasi dan
memotivasi bawahan agar mampu mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan sebelumnya melalui peningkatan efektivitas kerja.
Dalam kehidupan nyata dikenal ada beberapa jenis kepemimpinan,
camat merupakan salah satu contoh kepemimpinan formal. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kartono (2001:8) yang menyatakan bahwa : Pemimpin formal ialah
orang yang oleh organisasi atau lembaga tertentu ditunjuk sebagai pemimpin,
berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan
dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan
dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi.
Dari pengertian pemimpin formal tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa seorang pimpinan formal memiliki legalitas formal, memiliki
persyaratan formal tertentu, mempunyai hak dan kewajiban yang antara lain
menerima balas jasa atas kerjanya dan diberi kekuasaan dan wewenang dalam
menjalankan kepemimpinannya.
1.5.1.2 Pengertian Camat
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, pasal 66 menyebutkan bahwa :
a. Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten dan daerah kota
yang dipimpin oleh kepala kecamatan.
b. Kepala kecamatan disebut Camat.
c. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah
kebupaten atau kota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
d. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah dari
Bupati/walikota.
f. Pembentukan kecamatan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Kemudian menurut Peraturan Bupati Deli Serdang Nomor 886 Tahun
2008 tentang Tugas Pokok,Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Perangkat Daerah
Kabupaten Deli Serdang, menyebutkan bahwa Camat dibantu oleh 3 Kepala Sub
Bagian dan Orang, 4 orang kepala seksi, 6 orang staf atau pegawai, beserta 4
orang sekertaris desa.
Lebih lanjut pada pasal 4 (PP Nomor 19 tahun 2008) menyebutkan bahwa
“Camat adalah Kepala Pemerintahan Kecamatan yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah”.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Camat
merupakan seorang pemimpin dalam suatu wilayah pemerintah kecamatan, yang
diberikan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan oleh Bupati. Adapun
dalam hal pembinaan pegawai camat membawahi satu secretariat, lima seksi dan
kelompok jabatan fungsional.
1.5.2. Konsep Etika Kerja
Sebelum membahas lebih lanjut tentang etika kerja pegawai perlu
diperhatikan dua hal yang amat esensial dalam kaitannya dengan peningkatan
etika kerja pegawai dalam organisasi. Dua hal tersebut adalah nilai-nilai atau
tujuan dan norma-norma perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap individu
anggota organisasi. Dengan nilai atau tujuan maka setiap kegiatan dan usaha yang
dilikukan oleh setiap individu atau anggota diharapkan dapat mengarah pada
kegiatan dan usaha yang dilaksanakan oleh setiap individu diharapkan dapat
mengarah kepada tujuan yang hendak diwujudkan (konsekuen dan konsisten).
Menurut Dubbin (Suhardjono, 1986:20) dalam memotivasi perilaku
antar organisasi dan anggota organisasi dalam kehidupan berorganisasi terdapat
dua tahap yang berkaitan dengan norma dan nilai, yaitu :
a. Tahap pendahuluan : pada tahap ini organisasi memperkenalkan
nilai-nilai (tujuan yang hendak dicapai) dan norma-norma perilaku
yang harus dipatuhi oleh setiap anggota organisasi.
b. Tahap evaluasi : organisasi berusaha menilai apakah perilaku atau
perbuatan anggota sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
Pada tahap pendahuluan setiap pegawai akan dapat mengetahui dan
memahami nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi. Seandainya individu
tersebut dapat menerima nilai dan norma yang ada, berarti ia akan masuk menjadi
anggota organisasi dan apabila tidak mau menerima berarti individu tersebut tidak
akan masuk menjadi anggota organisasi.
Bila seseorang individu dapat memahami norma dan nilai yang ada,
dalam kondisi seperti ini pimpinan harus dapat mengetahui kemungkinan sikap
atau perilaku individu setelah masuk dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini
menurut Suhardjono (1986:55) ada dua kemungkinan yaitu :
a. Menerima sepenuhnya nilai dan norma yang berlaku, ada dua
kemungkinan sikap yang timbul, yaitu :
2) Menerima tetapi secara sporadis insidental tidak konsisten dan
konsekuen.
b. Menerima tidak sepenuhnya nilai dan norma yang berlaku, sikap ini
membahayakan dalam kelangsungan hidup organisasi.
Pada tahap evaluasi, organisasi dapat memberikan penilaian pada sikap
dan perbuatan individu secara nyata sesuai atau tidak dengan nilai dan norma
yang berlaku, apabila sesuai maka organisasi dapat memberikan penghargaan dan
kalau tidak sesuai organisasi akan melakukan tindakan penertiban. Karena adanya
kemungkinan sikap dan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
organisasi, maka organisasi disediakan peraturan yang mengatur mengenai
penghargaan dan hukuman untuk mengantisipasi sikap dan perbuatan yang tidak
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
1.5.2.1 Pengertian Etika Kerja
Etika kerja merupakan gabungan dari dua kata yaitu etika dan kerja.
Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin, norma berarti
penyiku atau pengukur, dalam bahasa Inggris norma berarti aturan atau kaidah.
Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani dari kata “ethos” yang berarti kebiasaan atau watak. Dari kedua asal kata tersebut antara etika dan norma
dapat kita simpulkan bahwa dalam kaitannya dengan perilaku manusia, norma
digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga
Etika kerja dapat diartikan sebagai suatu perilaku seseorang sehubungan
dengan pekerjaannya. Keraf (2002:2) menyatakan bahwa “Etika berkaitan dengan
kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau
masyarakat”. Sedangkan Sinungan (2003:135) menyatakan bahwa “Etika adalah
sikap kejiwaan dari seseorang atau sekelompok orang di dalam membina
hubungan yang serasi, selaras dan seimbang baik di dalam kelompok itu sendiri
maupun dengan kelompok lain”. Mondy (1993:25) menyatakan bahwa :
Ethics is the discipline dialing with what is good and bad or right and wrong or with moral duty and obligation.(Etika adalah suatu disiplin yang berhubungan dengan apa yang baik dan apa yang buruk atau dengan yang benar dan apa yang
salah atau dengan hak dan kewajiban moral).
Adapun yang dimaksud dengan disiplin lebih lanjut dijelaskan oleh
Mondy sebagai berikut : “Discipline : The state of employee self-control and orderly conduct”. Yang artinya bahwa disiplin merupakan keadaan pengendalian diri sendiri dan tingkah laku pegawai yang tertib. Sedangkan Syafiie (1994:1)
menyatakan bahwa “Etika artinya sama dengan kata Indonesia “kesusilaan” yang
terdiri dari bahasa sangsekerta “su” berarti baik dan “sila” berarti norma kehidupan. Etika menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik”.
Magnis Suseno (1987:17) mengatakan “Etika adalah usaha manusia
untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah
bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik”. Menurut Solomon
a. Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari tentang
nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan
dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat.
b. Etika merupakan pokok permasalahan didalam disiplin ilmu itu
sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur
tingkah laku manusia.
Sedangkan istilah kerja menurut The Liang Gie (1992:323) adalah
“keseluruhan aktivitas-aktivitas jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan oleh
manusia untuk mencapai tujuan tertentu, atau mengandung suatu maksud tertentu,
terutama yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya”.
Gondokusumo (1980:36) menyatakan bahwa “etika kerja sebagai
refleksi dari sikap pribadi maupun dari sikap kelompok terhadap kerja dan
kerjasama”. Etika kerja sebagai suatu kebiasaan pegawai untuk bekerja dan
berprestasi lebih baik sangat bertalian dengan emosi sehingga dapat dipupuk
dengan pendekatan yang ramah tamah dan penuh kesabaran. Pendekatan yang
dilakukan dapat berupa dukungan, arahan dan kepercayaan pada pegawai.
Musanef (1991:80) mengartikan etika kerja “sebagai tingkah laku atau
kelakuan dari seseorang yang mendukung kaidah-kaidah atau ketentuan mengenai
tingkah laku yang baik atau buruk”. Sedangkan menurut Davis (Taufiq,
1984:155), ‘Etika kerja berarti sikap individu atau kelompok terhadap seluruh
lingkungan kerja dan terhadap kerjasama dengan orang lain yang secara maksimal
sesuai dengan kepentingan yang paling baik bagi perusahaan’. Sinungan
hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara pelaku dalam proses produksi
ke arah peningkatan produksi dan produktivitas kerja”.
Setelah memahami beberapa pengertian etika, kerja dan etika kerja di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa etika kerja adalah bagaimana pegawai harus
bertindak atau bagaimana perilaku pegawai yang seharusnya baik secara individu
maupun secara kelompok dalam melakukan sesuatu didalam pelaksanaan
tugasnya. Etika kerja disini dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara
mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku pegawai dalam
berhubungan dengan pekerjaannya.
Etika yang baik akan tercapai bilamana pegawai dan pimpinan
mempunyai peranan masing-masing di dalam organisasi dan mereka secara
bersama-sama mempunyai satu tujuan yang ingin diwujudkan dalam bentuk suatu
kerjasama.
Menurut Yoder (1956:739), Etika kerja yang kurang baik ditandai
dengan kegelisahan-kegelisahan, beberapa tanda kegelisahan antara lain :
a. Strikes (pemogokan)
b. Labour turover (perpindahan pegawai)
c. Absenyeisme and tardiness (absensi dan keterlambatan)
d. Disciplinary problem (masalah disiplin)
e. Restriction of output (berkurangnya hasil)
f. Grievances (keluhan)
…yang berkaitan dengan iklim kerja di dalam organisasi yang sering
menampakkan gejalanya dalam berbagai bentuk seperti absentisme yang tinggi,
banyaknya pegawai yang minta pindah, disiplin yang rendah, produktivitas yang
tidak setinggi yang diharapkan, keluhan baik yang secara gambling dinyatakan
maupun yang disampaikan secara terselubung dan berbagai manifestasi
ketidakpuasan lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas jelas efektivitas kepemimpinan
dituntut adanya kemahiran dalam membaca situasi, sehingga dapat berpikir dan
bertindak sedemikian rupa dengan melalui perilaku yang positif dalam
memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Perlu ditetahui etika kerja pegawai tidak bersifat statis tetapi akan
berubah menurut keadaan lingkungan organisasi, dan etika kerja pegawai ini akan
tetap baik apabila pegawai merasa terpuaskan. Dalam hal ini pimpinan harus
memperhatikan kepuasan-kepuasan pegawai dalam bentuk materi dan non materi.
Kepuasan dalam bentuk non materi ini berupa rangsangan, pertumbuhan pribadi,
martabat dan sebagainya. Kecendrungan ini tidak pasti atau tidak universal, tetapi
amat urgen dalam mengantisipasi masa depan hubungan manajemen dengan para
pegawai. Di dalam lingkungan organisasi pemerintahan, dalam usaha peningkatan
etika kerja pegawai perlu diperhatikan kepuasan baik materi maupun non materi.
Dalam bentuk kepuasan materi, pegawai sudah mendapatkan hak mereka sesuai
dengan ketentuan sistem penggajian pegawai, karena itu perlu diperhatikan lebih
lanjut tentang kepuasan non materi yang berupa penghargaan, kesempatan untuk
bahwa mereka pegawai adalah makhluk sosial yang mempunyai keinginan dan
kebutuhan yang harus diperlakukan secara manusiawi.
Secara garis besar pemeliharaan etika kerja yang baik merupakan
tanggung jawab pimpinan yang bersifat konstan. Kemampuan pimpinan dan
profesionalisme akan jauh berkembang apabila etika kerja tetap dipertahankan
pada suatu tingkat yang prima. Oleh karena itu amatlah penting untuk secara
kontinu menganalisis kekuatan yang mempengaruhi etika kerja dan mengambil
langkah-langkah yang efektif sebelum terjadinya dekadensi etika kerja pegawai.
1.5.2.2. Faktor Pengukur Etika Kerja
Dari uraian dan penjelasan mengenai etika kerja yang dikemukakan para
ahli, dalam penelitian ini penulis menetapkan tiga faktor yang dapat dijadikan
tolok ukur etika kerja yaitu:
1). Disiplin
Pengertian disiplin pegawai yang dikemukakan Ranupandoyo (1989:98)
sebagai berikut : “Kemampuan Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan berbagai
kebijakan pemerintah atau instansi tertentu yang berhubungan dengan
kepegawaian dan kebijakan lain yang menjadi acuan pelaksanaan pekerjaannya”.
Pengertian lain tentang disiplin, Sukatono (1994:171) memberikan
pengertian tentang disiplin pribadi adalah “Disiplin pribadi adalah kepatuhan
peraturan yang berlaku, baik yang dating dari pemerintah maupun yang datang
dari kehidupan dan budaya dalam bermasyarakat”. Keith Davis (1985:366)
mengemukakan pengertian disiplin kerja adalah “Dicipline is management action to enforce organization standars”. (Disiplin kerja dapat diartikan pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi).
Faktor-faktor yang sangat penting yang menjadi tolok ukur bahwa
Pegawai Negeri Sipil disiplin dalam melaksanakan tugasnya, menurut
Reksosudirdjo (1996:7) sebagai berikut :
a) Patuh dan sadar terhadap nilai atau norma pedoman kehidupan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam arti
mempunyai kesadaran berpolitik dan berkonstitusi yang positif.
b) Berkemauan untuk menghadapi usaha yang mengancam integritas
bangsa.
c) Mengendalikan diri dalam menggunakan kewenangan dengan tidak
berlaku sewenang-wenang.
d) Ulet dalam mengatasi berbagai masalah sosial, masalah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
e) Memiliki harga diri, patriotisme dan rasa bangga sebagai bangsa
Indonesia yang merdeka.
f) Mempunyai sikap dan perilaku yang selaras dengan kebijakan
pemerintah sebagai pengelola negara dalam mewujudkan tujuan
Hasibuan (1993:193) mengemukakan : Kedisiplinan adalah kesadaran dan
kesediaan seseorang menaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang
berlaku, kesadaran merupakan sikap seseorang yang secara sukarela mentaati
semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, jadi dia akan
mematuhi, mengerjakan semua tugasnya dengan baik bukan atas paksaan.
Berikut indikator-indikator yang mempengaruhi tingkat disiplin kerja pegawai :
1) Tujuan dan kemampuan
2) Teladan pimpinan
3) Balas jasa
4) Keadilan
5) Waskat
6) Sanksi hukuman
7) Ketegasan
8) Hubungan kemanusiaan
Selanjutnya Mangkunegara (2002:129-230) mengemukakan “Ada dua
bentuk disiplin kerja yaitu disiplin prepentif dan disiplin korektif”. Disiplin
prepentif adalah suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti dan
mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh organisasi.
Tujuan dasarnya adalah untuk menggerakkan pegawai untuk berdisiplin. Disiplin
korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu
pedoman yang berlaku pada organisasi. Pada disiplin korektif, pegawai yang
melanggar disiplin perlu diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2). Produktivitas
Produktivitas merupakan output dari suatu kegiatan yang diusahakan.
Produktivitas merupakan tingkat capaian atau hasil dari perilaku kerja yang
dilakukan oleh sumber daya manusia dalam organisasi. Manusia sukses adalah
manusia yang mampu mengatur, mengendalikan diri yang menyangkut cara hidup
dan mengatur cara kerja, maka erat kaitannya antara manusia sukses dengan
pribadi beretika. Jadi disimpulkan bahwa etika kerja dapat mendorong
produktivitas atau etika kerja merupakan sarana penting untuk mencapai
produktivitas. Sedarmayanti (2001:57) menyatakan bahwa “Secara umum
produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai
(output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input)”.
Lebih lanjut Paul Mali (Sedarmayanti, 2001:57) menyatakan bahwa: Produktivitas
adalah bagaimana menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi
mungkin dengan memanfaatkan sumber daya secara efisien. Oleh karena itu
produktivitas sering diartikan sebagai rasio antara keluaran dan masukan dalam
satuan waktu tertentu.
Sinungan (2003:16) mengartikan produktivitas adalah : Mencakup sikap
mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih
baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Cara kerja hari
ini harus lebih baik dari cara kerja hari kemarin dan hasil yang dicapai hari esok
Setiap pegawai memiliki berbagai latar belakang dalam mencapai
tujuannya dalam organisasi. Kondisi psikologis setiap pegawai pada akhirnya
akan menentukan bagaimana organisasi berupaya mencapai tujuannya. Dalam hal
ini kondisi psikologis pegawai dalam organisasi akan tergambar bagaimana cara
ia beretika dalam organisasi.
Sinungan (2003:135) menyatakan bahwa “Etika dalam hubungan kerj
dapat diartikan sebagai terciptanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang
antara pelaku dalam proses produksi ke arah peningkatan produksi dan
produktivitas kerja”.
Dengan demikian sangat erat kaitannya antara etika dan produktivitas
pegawai dalam organisasi. Pada interaksi pegawai dengan organisasi akan
mempengaruhi produktivitas kerja. Hal ini dapat tergambar bagaimana etika kerja
dijalankan baik terhadap rekan kerja dalam bentuk kerja sama ataupun ketaatan
terhadap peraturan atau norma dalam organisasi.
3). Kerjasama
Kerjasama merupakan refleksi dari etika dan akan baik apabila moral
tinggi (Gondokusuma, 1980:38). Kerjasama menurut Pareek (1984) didefinisikan
dalam kaitan dengan “seseorang yang bekerja dengan orang lain atau lebih untuk
mencapai suatu tujuan yang dianggap dapat dibagi”.
Kerjasama ini ditekankan yang berkenaan dengan keinginan untuk
memaksimumkan hasil semua orang yang terlibat, berkenaan dengan perolehan
kepuasan atas prestasi menyeluruh dan gabungan antara prestasi perorangan
Kerjasama dapat dilihat dari :
a) Kesediaan para pegawai untuk bekerjasama dengan sejawat dan
atasan untuk mencapai tujuan bersama.
b) Kesediaan untuk saling membantu diantara rekan-rekan sejawat
sehubungan dengan tugas-tugas yang dilakukan.
c) Adanya keaktifan dalam kegiatan organisasi.
1.5.2.3 Hubungan antara Kepemimpinan dengan Etika Kerja
Peran kepemimpinan yang berhasil dan efektif sangat berhubungan
dengan pengharapan pegawai atas perilaku atasan yang diinginkan pegawai.
Hersey dan Blanchard (1994:151) mengartikan harapan sebagai “persepsi
seseorang tentang perilaku yang tepat bagi peranan atau posisi dirinya sendiri atau
persepsi seseorang tentang peranan orang lain dalam organisasi”. Harapan
orang-orang menentukan hal-hal yang harus mereka lakukan di berbagai keadaan dalam
pekerjaan tertentu dan bagaimana orang lain, atasan, teman sejawat dan bawahan
mereka, menurut mereka seharusnya berperilaku dalam hubungannya dengan
posisi mereka.
Dalam mempelajari peran kepemimpinan seseorang dan harapan
pegawai, perlu dipahami salah satu karateristik kepemimpinan yaitu bahwa
1. Kuasa posisi (position power), adalah kuasa pada seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan pekerjaan tertentu
karena posisinya didalam organisasi dipandang memiliki kuasa
posisi.
2. Kuasa pribadi (personal power), adalah kuasa pada seseorang dimana para pengikut menghormati, merasa senang dan terikat
dengan pemimpin mereka serta merasa bahwa tujuan mereka
terpenuhi oleh tujuan pemimpin.
Peran kepemimpinan seseorang dianggap effektif apabila gaya
kepemimpinan atasan mengarah pada pengharapan pegawai dan pegawai
melakukan pekerjaan tersebut karena ingin melakukannya dan merasa ada hasil
yang diperolehnya, maka pimpinan dipandang tidak hanya memiliki kuasa posisi
tetapi juga kuasa pribadi. Pegawai menghormati pimpinan dan mau bekerjasama
dengannya, dengan menyadari bahwa permintaan pimpinan konsisten dengan
tujuan pribadinya dan pegawai merasa tujuan pribadinya akan tercapai melalui
aktifitas tersebut.
Pada kenyataannya harapan seseorang tidak selamanya dapat terpenuhi,
karena adanya pembatasan (bondary) dari aturan dan norma yang berlaku dilingkungan organisasi. Ketidaksesuaian antara kenyataan dan harapan itu akan
menimbulkan kesenjangan, yang akhirnya menyebabkan pegawai (bawahan)
menjadi tidak puas. Misalnya seorang bawahan yang mengharapkan atasannya
mempunyai gaya/perilaku kepemimpinan yang mementingkan tugas, maka
kebutuhan seseorang akan harapan tersebut bertambah. Bila harapannya sesuai
tingkah laku bawahan mengarah pada etika kerja yang baik dan akan berakibat
sebaliknya bila gaya/perilaku kepemimpinan atasan tidak sesuai dengan
harapannya. Bila harapan pegawai mengenai gaya kepemimpinan atasan yang
diinginkan tinggi, tetapi pada kenyataannya atasan tidak bersikap seperti apa yang
diharapkan maka etika kerja pegawai dalam melaksanakan tugas akan tidak baik.
1.6 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah “Ada hubungan kepemimpinan camat
dengan etika kerja pegawai di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli
Serdang”
1.7 Definisi Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu social. (Singarimbun, 1995:37)
Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian yang akan dilakukan,
maka penulis mendefenisikan konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut :.
1. Kepemimpinan adalah Kemampuan dan keterampilan seseorang yang
menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak
sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan
2. Etika Kerja adalah sebagai tingkah laku atau kelakuan dari seseorang yang
mendukung kaidah-kaidah atau ketentuan mengenai tingkah laku yang baik
atau buruk.
1.8 Definisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana
mengukur suatu variable sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui
indicator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variable-variabel
tersebut. (singarimbun, 1995:46)
Atas pengertian di atas, maka ditetapkan pengertian variabel sebagai
berikut :
1. Variabel bebas (Variabel X) yaitu Kepemimpinan Camat meliputi
indikator :
A. Pengarahan
Pemimpin memberikan pengarahan yang jelas dan dapat dimengerti
oleh pegawai dalam melakukan pekerjaan.
B. Komunikasi
Komunikasi sebagai cara yang dilakukan dalam proses pekerjaan
sehingga pegawai mau bekerjasama.
C. Pengambilan keputusan
memberikan wewenang dan tanggungjawab dalam pengambilan
keputusan kepada pegawainya dalam menyelesaikan pekerjaan.
memberikan bimbingan, dorongan dan pengawasan kepada bawahan
dalam pelaksanaan pekerjaan
2. Variabel terikat (Variabel Y) yaitu Etika kerja pegawai meliputi
indikator :
A. Disiplin, adapun tolak ukur dalam hal disiplin adalah meliputi:
a.1 Menyelesaikan Tugas Tepat Waktu.
a.2 Bekerja Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku.
B. Produktivitas, adapun tolak ukur dalam hal produktivitas adalah:
b.1 Pekerjaan Selesai Tepat Waktu.
b.2 Efisiensi Waktu.
C. Kerjasama, adapun tolak ukur dalam hal kerjasama adalah
meliputi:
c.1 Pencapaian Hasil Kerja yang Optimal.