• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN DOMBA DENGAN PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN DOMBA DENGAN PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN DOMBA DENGAN

PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT

(Integration System of Sheep Production to the Rubber and Oil Palm

Plantation)

LEO P.BATUBARA,SIMON ELIESER;MERUWALD DOLOKSARIBU,RANTAN KRISNAN danSIMON P.GINTING

Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih ABSTRACT

Sustainable forage production for commercial sheep production system is difficult to achieve when land resources for forage monoculture is limited. Plantation (rubber and palm oil), however, offer huge opportunity for an intensive sheep production through the optimum utilization of available land and vegetation resources in the plantation. In Indonesia, the opportunity in developing an integrated sheep production system into rubber and palm oil plantation should be large when considering the size of rubber and oil palm plantation that exists. The local as well as international market for sheep should also be an encouraging factor for the development of commercially-integrated sheep-plantation production system. Components of technology to support production system such as breeding, feed and nutrition, animal health and managements are available and could be used as references. It is suggested that the integration of sheep into plantation should be implemented at an economic scale with strong business orientation, especially when the target is to reach the state of national meat self sufficiency.

Key words: Integration, sheep, rubber plantation, oil palm plantation ABSTRAK

Akibat keterbatasan lahan sebagai sumber hijauan, usaha peternakan domba secara komersial dan berorientasi agribisnis sulit dikembangkan dengan sistem apapun, kecuali diintegrasikan dengan usaha perkebunan. Pengembangan sistem integrasi ini cukup besar peluangnya, mengingat Indonesia mempunyai perkebunan karet dan kelapa sawit yang luas. Peluang ini didukung pula adanya potensi pasar yang cukup besar baik di dalam negeri maupun tujuan ekspor. Komponen-komponen teknologi yang dibutuhkan meliputi teknologi pembibitan, pakan, kesehatan dan pengelolaan untuk menunjang sistem integrasi sudah cukup tersedia dan dapat digunakan sebagai bahan acuan. Integrasi peternakan domba dengan perkebunan sebaiknya dikembangkan dengan pendekatan skala ekonomi dan berorientasi agribisnis untuk mengejar target swasembada nasional.

Kata kunci: Integrasi, domba, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit

PENDAHULUAN

Dewasa ini sebahagian besar negara-negara di dunia sedang mengalihkan industrialisasinya kepada industri-industri yang tidak berbasis pada agribisnis (non agrobased industry), karena sudah tidak kompetitif lagi pada era globalisasi yang akan datang. Fenomena ini akan meningkatkan permintaan pada produk-produk yang bersifat “income elastic demand”, seperti produk agribisnis peternakan. Oleh karena itu di masa yang akan datang Indonesia akan berpeluang sebagai salah satu exportir domba sebagai akibat semakin meningkatnya permintaan hasil ternak secara internasional

(SARAGIH, 1997). Disamping terbukanya pasar agribisnis peternakan di pasar internasional, di dalam negeri juga terdapat potensi pasar hasil ternak yang cukup besar, dimana setiap tahunnya Indonesia masih mengimpor daging dari luar negeri. Di Sumatera Utara kebutuhan daging baru sekitar 45% yang dapat dipenuhi (KAROKAROet al., 1989). Sumatera Utara pada tahun 2000 sempat dua kali mengekspor domba-kambing ke Malaysia, tetapi kemudian terhenti karena ketersediaan bakalan terbatas.

Pengembangan agribisnis berbasis ruminan seperti sapi, domba dan kambing membutuhkan lahan sebagai sumber hijauan untuk makanan utamanya. Adanya

(2)

keterbatasan lahan di Indonesia sebagai sumber hijauan dan harga lahan yang tinggi, usaha peternakan domba secara komersial ke arah agribisnis sulit dikembangkan dengan sistem apapun; kecuali diintegrasikan dengan usaha perkebunan baik dengan atau tanpa pemberian pakan tambahan di kandang. Oleh karena itu, dalam dekade terakhir ini banyak usaha yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN untuk memadukan usaha ternak, khususnya ruminansia kecil dengan perkebunan karet atau kelapa sawit (SIBON, 1988; INIQUEZ dan

SANCHEZ, 1991).

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa integarasi peternakan domba dengan perkebunan karet memberikan efek saling menguntungkan (complementary effect). Hijauan di lahan perkebunan dapat diubah oleh ternak menjadi daging dan pihak perkebunan dapat menghemat biaya penyiangan 20-50% serta meningkatkan produksi lateks atau rendemen buah sawit segar 16,7% (HARUN dan CHEN, 1994) dan

tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap kepadatan tanah dan pertumbuhan karet (REESE, 1988). Integrasi kedua komoditas ini

dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan persatuan luas. Disamping itu juga dapat sebagai sumber pendapatan tambahan terutama bagi pekebun kecil (PIR-BUN) sehingga dapat mengurangi kejadian “over tapping” yang dapat memperpendek umur produktif karet, terutama pada masa harga karet dan kelapa sawit turun (DEREINDRA et al., 1990). Sejak

diperkenalkannya teknologi integrasi peternakan domba dengan perkebunan dan disertai introduksi bibit unggul domba “Sei Putih” oleh Subbalitnak Sei Putih sejak tahun 1990, peternakan domba pada ekosistem perkebunan berkembang pesat di Sumatera Utara. Perkebunan yang cukup luas di Indonesia yakni sekitar 3.134.000 Ha (DITJEN

PERKEBUNAN, 1984) yang sebagian besar

terdapat di Sumatera Utara mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan sistem integrasi peternakan domba dengan perkebunan. Penelitian-penelitian cukup banyak yang sudah dilakukan baik di dalam negeri maupun diluar negeri untuk menunjang teknologi sistem integrasi ini. Hasil-hasil penelitian di stasiun penelitian, maupun hasil pengkajian dan pengalaman di

sebagai bahan acuan dalam upaya pengembangan sistem integrasi peternakan domba dengan perkebunan.

MATERI DAN METODE

Bahan makalah disusun mengacu kepada hasil-hasil penelitian di stasiun penelitian Sub Balai Penelitian Ternak Sei Putih/ Lolit Kambing Potong Sei Putih dan hasil pengkajian serta survei di lapangan. Penelitian dan pengkajian di lapangan dilakukan dengan metoda “on farm research” dan model SUT-SUP di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Dampak pengkajian dievaluasi tiga tahun kemudian setelah kegiatan SUP domba di Kabupaten Langkat berakhir, melalui kegiatan “success story” dengan pengamatan langsung dilapangan disertai wawancara ke peternak sekitar. Hasil-hasil penelitian dari luar negeri juga dipergunakan sebagai bahan acuan dalam menyusun tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya pengembangan sistem integrasi peternakan domba dengan perkebunan yang berskala ekonomi dan berorientasi agribisnis harus didukung oleh peranan teknologi untuk meningkatkan produktivitas domba yang meliputi teknologi bibit, pakan, pengelolaan, kesehatan dan pola pengembangannya yang sesuai dengan ekosistem perkebunan.

Sistem pembibitan dan tata laksana reproduksi

Pembibitan

Adanya peluang ekspor domba yang cukup besar ke Malaysia, Singapura dan Timur Tengah dengan persyaratan bobot hidup minimal 35 kg, maka teknologi pembibitan diarahkan untuk dapat memenuhi tujuan ekspor. Domba lokal Sumatera mempunyai sifat wool kasar dapat menyebabkan stress oleh cekaman panas yang bisa mempengaruhi produktivitasnya. Pemangkasan rutin membutuhkan tenaga kerja dan biaya yang cukup berarti. Bobot hidupnya rendah sekitar 25 kg sehingga tidak bisa diandalkan untuk

(3)

dan meningkatkan bobot hidup domba lokal, hanya dapat dilakukan secara genetik melalui program persilangan dengan domba rambut (hair sheep) yang mempunyai sifat pertumbuhan yang lebih tinggi. Sejak tahun 1986, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor, melakukan kegiatan penelitian persilangan domba lokal dengan domba unggul St.Croix dan Barbados Blackbelly asal Amerika Tengah (kepulauan Karibia) di stasiun penelitian Sub Balai Penelitian Ternak Sei Putih, Sumatera Utara. Hasil rekayasa genetik Domba Sei Putih (25% St.Croix; 25% Barbados; 50% Lokal Sumatera) ternyata merupakan domba komposit yang memenuhi harapan untuk dikembangkan dan telah teruji dapat beradaptasi dengan baik ditingkat petani pada ekosistem perkebunan karet maupun kelapa sawit. Produktivitasnya 47% lebih tinggi dari domba lokal (GATENBY

dan BATUBARA, 1994) dengan bobot lahir 2,44 + 0,67 kg dan bobot sapih 12,94 + 2,61 kg (DOLOKSARIBU et al., 1996). Domba jantan

dengan sistim pemberian pakan yang baik bobot hidup dapat memenuhi standar ekspor 35-40 kg pada umur 12 bulan (BATUBARA et

al., 1995). Domba Sei Putih sangat populer dan disenangi oleh petani dan telah tersebar luas di seluruh ekosistem perkebunan di Sumatera Utara. Domba Sei Putih merupakan salah satu bangsa domba yang dapat diandalkan untuk menunjang pengembangan sistim integrasi peternakan dengan perkebunan baik untuk konsumsi dalam negeri maupun tujuan ekspor.

Tata laksana reproduksi

Di daerah iklim tropis, domba induk subur sepanjang tahun, sehingga seekor domba pejantan yang baik dapat melayani 40-50 ekor induk, berbeda dengan daerah empat musim ratio pejantan/betina sekitar 1:15 disebabkan adanya pengaturan musim kawin (GATENBY

dan BATUBARA, 1994). Pejantan sebaiknya

dicampur dengan induk yang akan dikawinkan selama 1 jam pagi dan sore hari untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada domba anak disebabkan pejantan sering mengejar-ngejar induk untuk kawin. Domba dara dapat dikawinkan pada umur minimal 10 bulan dan terbaik pada umur 12 bulan tergantung kondisi

tubuh dan pemberian pakan. Pada saat beranak, induk dan anak domba ditempatkan pada kandang beranak individu (moveable pen) selama 2-3 hari agar induk dan anak saling mengenal dan memudahkan pengontrolan terhadap kondisi anak. Anak disapih pada umur 3 bulan. Penyapihan yang lebih lama akan menurunkan kondisi tubuh induk. Umur anak untuk pertama kali digembalakan sebaiknya paling sedikit 1 bulan terutama pada ekosistem perkebunan kelapa sawit, sehingga anak telah cukup kuat mengikuti induk selama penggembalaan. Pejantan yang digunakan harus diseleksi dengan hati-hati. Pejantan harus mempunyai kemampuan kawin yang baik dan dipilih dari induk yang selalu melahirkan anak yang besar, sehat dan selang beranak yang pendek. Jangan dipilih pejantan asal dari induk yang melahirkan anak kembar lebih dari 2 ekor, karena kurang menguntungkan. Untuk mencegah kawin sedarah, gunakanlah satu ekor pejantan setiap tahun untuk setiap kelompok induk dan tahun berikutnya dilakukan pertukaran pejantan antar kelompok. Demikian juga anak jantan sapihan harus dipisahkan dari domba betina agar tidak kawin sesamanya.

Sistem pengadaan dan tatalaksana pakan

Pemanfaatan pakan harus didasarkan pada pemanfaatan sumber hijauan yang tersedia di lahan perkebunan serta limbah dan hasil ikutan industri pengolahan minyak sawit (pada ekosistem perkebunan kelapa sawit) seperti

solid ex-decanter (lumpur sawit semi padat); bungkil inti sawit; daun sawit dan daging pelepah sawit sehingga seluruh komponen produksi ternak dan perkebunan ter-integrasi secara melekat dan efisien. Pada sistem perkebunan karet, biji karet mempunyai nilai gizi tinggi dan potensial untuk dimanfaatkan dalam bentuk bungkil sebagai bahan pakan domba. Tetapi sampai saat ini belum ada berdiri industri pengolahan minyak biji karet, sehingga belum ada tersedia dalam bentuk bungkil. Pemanfaatan dalam bentuk biji berbahaya bagi ternak karena mengandung asam sianida (HCN). Pengumpulan biji dan pengolahan untuk menghilangkan kandungan sianidanya membutuhkan biaya yang tinggi sehingga kurang efisien.

(4)

Pengadaan hijauan

Kendala utama pemanfaatan hijauan yang tersedia pada lahan perkebunan adalah adanya perubahan yang cepat akan produksinya sejalan dengan umur dan tingkat naungan. Pohon karet muda umur 2-5 tahun daya tampung vegetasi hijauannya sekitar 8-14 ekor domba/ha/thn; umur 6-20 tahun daya tampungnya turun menjadi 1,3-3 ekor/ha/tahun. Daya tampungnya meningkat lagi menjadi 6-8 ekor/ha/thn pada umur karet tua >20 thn (BATUBARA et al., 1997). Pada perkebunan kelapa sawit daya tampung vegetasi hijauannya pada umur <5 thn sedikit lebih tinggi dari perkebunan karet, tetapi jauh lebih rendah setelah pohon sawit berumur 6 tahun sampai 22 tahun.

Untuk meningkatkan daya tampung hijauan pada lahan perkebunan dapat dilakukan dengan cara:

a. Mengubah pola tanam dari sistim konvensional menjadi sistim penanaman baru.

• Pada perkebunan karet dengan pola “Double Hedge Row” yang dicoba di Malaysia dimana untuk setiap hektar kebun karet ditengahnya ditanami rumput unggul seluas 11x22 meter (zero trees) sebagai pastura, sedangkan pohon karet dalam jumlah yang sama ditanam lebih rapat (3x2 meter) di sekeliling pastura. Produksi hijauan Brachiaria humidicola dengan pola ini 3 kali lebih tinggi dibanding dengan pola tanam konvensional pada umur karet 3 tahun (CHONG dan ISMAIL, 1995).

• Pada perkebunan kelapa sawit modifikasi jumlah pohon (90-110 pohon/ha) atau mengubah konfigurasi cara tanam dapat dilakukan dimana tetap diperoleh produksi kumulatif optimal dan produksi yang ekonomis. Daya tampung vegetasi hijauannya dapat meningkat dua kali lipat dibanding pola tanam konvensional. Namun mengubah pola tanam ini perlu diteliti lebih kompherensif lagi pengaruhnya terhadap produksi dan ekonomisnya secara keterpaduan usaha. b. Memanfaatkan lahan marjinal. Pada

selalu ada lahan marjinal yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman rumput unggul yang produksinya tinggi antara lain rumput benggala dan rumput paspalum sesuai dengan kondisi alam setempat sebagai suplai rumput tambahan.

c. Khusus untuk perkebunan kelapa sawit dapat memanfaatkan daun sawit, daging pelepah sawit yang dipotong secara rutin (prunning) sebagai sumber hijauan alternatif yang cukup potensial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun sawit dan daging pelepah sawit dapat digunakan sebagai pengganti hijauan untuk ternak domba (WINUGROHO dan MARYATI,

1999; ABU HASAN et al., 1995). Penggunaan daun dan daging pelepah sawit tanpa olah jangan melebihi 20% dari ransum. Pemberian lebih dari 20% dalam ransum sebaiknya diberi

pre-treatment lebih dahulu (penggilingan, amoniasi dll). Introduksi rumput unggul hanya dapat dilakukan pada umur pohon <5 tahun dan dalam waktu relatif cepat rumput introduksi akan lenyap setelah umur pohon 6 tahun, sehingga kurang praktis dilakukan.

Tatalaksana pemberian hijauan

Pemberian hijauan dengan memanfaatkan vegetasi yang eksis di lahan perkebunan hanya dapat dilakukan dengan cara penggembalaan, tidak efisien dengan cara potong angkut karena produksinya sangat rendah, kecuali pada umur pohon <5 tahun. Pada tanaman muda dimana ternak dapat memakan daun tanaman pokok, pemberian hijauan haruslah dengan cara potong angkut. Penggembalaan dilakukan dengan menggunakan penggembala. Seorang penggembala dapat mengawasi lebih dari 150 ekor induk domba sejak mereka telah terbiasa menjadi satu kelompok dan mengenali areal serta penggembalanya. Penggembala haruslah menguasai/mengetahui betul program penyemprotan dan pemupukan areal perkebunan yang digunakan untuk penggembalaan untuk mencegah terjadinya bahaya akibat keracunan pada domba. Lama penggembalaan sebaiknya paling sedikit 8 jam perhari. Peternak umumnya menggembalakan dombanya + 4 jam per-hari, sehingga harus diberikan tambahan hijauan di kandang. Tetapi penggembalaan sejak pagi hari pada ekosistem

(5)

perkebunan cenderung akan meningkatkan infestasi cacing pada domba karena lingkungan di bawah perkebunan cukup lembab dan baik untuk perkembangan larva cacing.

Pengadaan pakan tambahan

Terbatasnya jumlah dan kualitas pakan merupakan masalah utama pada sistem integrasi. Pada umumnya faktor pembatas hijauan asal perkebunan terutama terutama adalah energi dan mineral Ca, Na, serta P (PANGGABEAN, 1992). Adanya introduksi

domba unggul Sei Putih juga menuntut sistim pemberian pakan yang cukup untuk menunjang level produksinya. Penggunaan bahan pakan konvensional pada saat ini cukup mahal dan kurang ekonomis untuk produksi ruminansia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk dapat memanfaatkan limbah dan hasil ikutan perkebunan yang cukup potensial antara lain bungkil inti sawit dan lumpur sawit sebagai pakan tambahan untuk menunjang sistim integrasi ini. Penggunaan bungkil inti sawit, lumpur sawit secara tunggal atau kombinasi nyata dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, jumlah anak sekelahiran dan menurunkan mortalitas (REESE, 1988).

Kombinasi kedua bahan pakan ini dapat ditingkatkan kualitasnya dengan penambahan sumber energi seperti molases dan onggok. Dalam berbagai level pemberian dan kombinasi pakan berbasis limbah dan hasil ikutan perkebunan sawit dapat memberikan pertambahan bobot badan harian domba berkisar dari 53-150 g/ekor/hari dengan konversi pakan berkisar dari 9,0-13,0 (BATUBARAet al., 1993; HORNEet al., 1994).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pakan berbasis limbah dan hasil ikutan ini memberikan “net gain” (rupiah) yang nyata lebih tinggi dibanding konsentrat kualitas baik (BATUBARA et al., 1993). Hasil penelitian memberi kesimpulan bahwa lumpur sawit dapat dipergunakan sampai 30% dan bungkil inti sawit 45% dalam ransum domba. Tambahan urea pada penggunaan bungkil inti sawit dibutuhkan mengingat bungkil inti sawit kandungan protein terlarutnya rendah (1%). Bungkil inti sawit dan lumpur sawit dapat ditingkatkan mutunya dengan teknologi pengolahan, misalnya difermentasi dengan

jamur Aspergillus niger sehingga dapat meningkatkan kualitas ransum.

Sistem perkandangan

Struktur perkandangan yang dianjurkan dan telah banyak diadopsi oleh peternak di Sumatera Utara ialah kandang prototipe Sei Putih (sistim panggung) dengan lantai kandang + 1,20 m diatas permukaan tanah. Lantai kandang bercelah dengan menggunakan lat kayu ukuran 1 x 1.5 inchi atau 1 x 2 inchi. Jarak antar lat lantai + 1,3 cm cukup untuk kotoran domba bisa bebas jatuh ke bawah. Bahan lat yang digunakan harus kuat dan tidak mudah busuk/ rusak antara lain meranti, damar laut, kayu kompas, batang kelapa atau batang pinang. Bambu tidak disarankan, selain elastis, celah antar lat tidak bisa sama, sehingga dapat mengakibatkan kaki domba terperosok dan terjepit, terutama domba anak. Ukuran kandang 0,75 m2/ekor domba dewasa. Dengan

menerapkan struktur kandang anjuran, kandang selalu kering, bersih dan nyaman bagi domba dan peternak. Bila lantai kandang langsung tanah, maka lantai akan segera menjadi jorok, lembab dan becek, karena urine dan kotoran domba bercampur. Kondisi demikian mendorong berkembangnya mikroorganisme penyakit terutama coccidia, parasit dalam dan infeksi kaki domba. Ruang kandang sebaiknya disekat, paling sedikit ada ruang untuk beranak, sapihan, induk dan pejantan.

Sistim pengendalian penyakit

Penyakit domba yang paling serius pada sistim integrasi adalah parasit dalam, terutama

Haemonchus contortus dan Eurythrema pancreaticum (Pancreatic fluke). Parasit ini kadang-kadang mengakibatkan kematian, tetapi umumnya menghambat pertumbuhan dan kesuburan domba. Ada tiga cara mengkontrol serangan parasit dalam:

1. Pada sistem potong angkut, sebaiknya rumput dipotong dari areal yang tidak dipergunakan untuk penggembalaan. 2. Pada sistem penggembalaan, setiap petak/

areal penggembalaan sebaiknya diistirahatkan selama 10-12 minggu, sehingga larva cacing telah mati lebih dulu.

(6)

Tabel 1. Data perkembangan kegiatan pengkajian SUP dan dampak usaha domba di Kabupaten Langkat dengan skala 1 ekor pejantan/25 ekor induk/paket (1996/97)

Uraian 1996 2001

Jumlah peternak anggota kelompok Skala pemilikan domba per-kk Adopsi teknologi

- Bibit ternak

- Pengobatan (racun cacing) - Pakan

- Lantai kandang - Harga

- Penyerapan tenaga kerja Penggembala Pendapatan 16 kk 12 ekor Domba lokal Kadang-kadang 100% rumput Bambu/papan & tdk teratur

Taksir oleh tengkulak Ibu/anak tidak bekerja

Tidak ada Gaji bulanan

Rp.200.000-400.000

130 kk 80-90 ekor Domba Sei Putih

Rutin (1x3 bln) Rumput+Konsentrat

Lat kayu teratur Peternak Rp/kg berat Ibu/bapak/anak bekerja 130 orang tambahan pendapatan 600.000-700.000/bulan Sumber: GINTING (2001)

3. Melakukan pemberian racun cacing secara rutin yakni 1x dalam 3 bulan atau kombinasi dengan cara 2. Pada musim hujan terutama pada ekosistem perkebunan sawit pemberian racun cacing bisa dipercepat 1 x 2 bulan tergantung kondisi ternak.

Sistem pengembangan

Pengembangan sistem integrasi peternakan domba dengan perkebunan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan skala ekonomi yang berorientasi agribisnis. Pendekatan skala kecil atau usaha sambilan, komponen-komponen teknologi sulit diterapkan atau diadopsi oleh peternak karena proses produksi berjalan tidak efisien. Suatu pengkajian telah dilakukan oleh BPTP Gedong Johor di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat dengan pola SUP, yang dimulai sejak tahun 1996/97. Sebanyak empat koperator dipilih dan diberikan komponen teknologi yang terdiri dari 25 ekor induk dan satu pejantan domba Sei Putih, komponen pakan, perkandangan dan kesehatan. Pada tahun kelima (tahun 2001) telah dilakukan kegiatan success story untuk melihat dampak teknis dan sosial ekonomis pengkajian SUP domba tiga tahun setelah kegiatan selesai sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Hasil kajian dengan skala ekonomi (25 induk, 1 jantan) yang dilakukan menunjukkan dampak yang sangat nyata terhadap perkembangan usaha domba, kesejahteraan dan sosial masyarakat. Dari contoh paket yang diterapkan, mengubah pola pikir petani sekitarnya, dimana selama ini petani menempatkan peternakan domba hanya sebagai usaha sambilan, ternyata sangat potensial diusahakan dalam skala ekonomi. Hal ini diperkuat dari wawancara kepada beberapa peternak sebagai karyawan perkebunan. Sebagian mereka memandang usaha dombanya sudah merupakan usaha pokok. Pada saat ini sudah ada beberapa peternak yang skala usaha dombanya 100-300 ekor dan sebuah perusahaan perkebunan sawit swasta (PT. Pastima) telah mengembangkan usaha pembibitan domba Sei Putih dengan skala 1000 ekor induk secara terintegrasi dengan perkebunan sawit di bawah bimbingan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih.

KESIMPULAN

Terbatasnya lahan untuk pengembangan sumber hijauan, usaha peternakan domba secara komersial dan berorientasi agribisnis sulit dikembangkan dengan sistem apapun, kecuali diintegrasikan dengan usaha perkebunan. Sistem integrasi usaha peternakan

(7)

domba dengan perkebunan cukup besar peluangnya untuk dikembangkan, mengingat Indonesia mempunyai perkebunan karet dan kelapa sawit yang luas, terutama di Sumatera Utara. Peluang ini didukung pula terbukanya potensi pasar ekspor ke Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Demikian pula komponen-komponen teknologi yang dibutuhkan yang meliputi teknologi pembibitan; pengadaan pakan; pengendalian penyakit dan tata laksana telah banyak dikaji dan diteliti baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan dapat digunakan sebagai acuan.

Agar komponen-komponen produksi peternakan melekat/dekat dengan perkebunan sehingga proses produksi berjalan efisien, maka yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan sistem ini adalah kawasan perkebunan yang mempunyai industri pengolahan minyak sawit inti. Model pengembangan sebaiknya diarahkan pada skala minimal 25 induk, 1 pejantan dan dikembangkan secara kawasan agribisnis. Walaupun teknologi integrasi telah tersedia dan peluang ekspor terbuka, ternyata sampai saat ini baru satu perusahaan swasta dengan skala 1000 ekor induk dan beberapa peternak skala 100-300 ekor induk yang ada di Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA

ABU HASAN, O., M. ISHIDA and Z. AHMAD

TAJUDDIN. 1995. Oil palm fronds. technology transfer and acceptance a sustainable utilization for animal feeding Proc. 17th Ann. Conf. MSAP, Penang, Malaysia.

BATUBARA,L.P.,M.D.SANCHEZ andK.R.POND.

1993. Feeding of lambs with palm kernel cake and molasses. Jurnal Penelitian Sei Putih Vol.1 No.3 April. Sub Balitnak Sei Putih, Sumut, Indonesia.

BATUBARA , L.P.,J. SIANIPAR, S.KARO-KARO,P.

HORNE and K.R.POND. 1994. Respon empat

genotipe hair sheep terhadap suplementasi energi. Proc. Seminar Sains dan Teknologi Peternakan. Balitnak, Ciawi Bogor. Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan.

BATUBARA,L.P.,SIMANIHURUK,K.,JUNJUNGAN dan

ERWIN SIHITE. 1995. Pemanfaatan limbah

minyak sawit (solid decanter) dalam ransum tambahan untuk domba jantan muda. J. Penelitian Peternakan Sei Putih (J.P.P.S)

Vol.1 No.6. Februari. Sub Balitnak Sei Putih, Sumut, Indonesia.

BATUBARA,L.P.,S.KARO-KARO dan R.HUTAPEA. 1997. Agribisnis domba berbasis perkebunan ditinjau dari faktor teknis dan sosial ekonomis. Dipresentasikan pada Pertemuan Tingkat Nasional Agribisnis Peternakan Berbasis Perkebunan. Dinas Peternakan Tingkat I. Sumatera Utara, Januari 6-7 di Medan.

CHONG DAI TAI and TAJUDIN ISMAIL. 1995. Improve

sheep production system in rubber plantation. Proc. of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14.

CHEN, C. P. 1990. Management of forages for animal production under tree crops. Proc. of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14.

DAREINDRA R,L.BATUBARA,S.KARO-KARO,Z.ZEN

and A. ARSYAD. 1990. Prospect for sheep husbandry and socio economic constrains in the nucleus estate and small holder project in Indonesia. Proc. of a workshop on research methodologies. Medan. North Sumatera, Indonesia. September 9-14.

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 1984. Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.

DOLOKSARIBU,M.,E.ROMJALI,SUBANDRIYO and R. M. GATENBY. 1996. Production performance of domba Sungai Putih in North Sumatera in small ruminant production: Recom. For South East Asia. Proc. of a workshop held in Parapat, North Sumatera, Indonesia. May, 12-15.

GATENBY, R. and L. P. BATUBARA. 1994. Management of sheep in the humid tropics experiences in North Sumatera. Second Symp. On sheep production in Malaysia. 22-24 November.

GINTING, S. 2001. Dampak pengkajian sistem usaha pertanian domba di Langkat, Sumatera Utara. Laporan “success story”. Balai Pengkajian dan Penelitian Pertanian, Gedong Johor. Medan, Sumatera Utara.

HARUN, O. and C. P. CHEN. 1994. Proc. International Congres on Quality Veterinary Services for the 21st Century. 15-17 November. Kualalumpur, Malaysia.

HORNE, P.M., K.R. POND and L. P.BATUBARA.

1994. Strategies for utilizing improve forage for developing sheep enterprises in North Sumatera and Aceh. Paper Presented at the

(8)

Seminar Produksi Peternakan Domba di Sumatera Utara dan Prospek Pengembangannya Mendukung Segitiga Pertumbuhan Utara. At Pusat Penelitian karet, Sei Putih, March 21. North Sumatera. INIQUEZ,L.C. and M.D.SANCHEZ. 1991. Integrated

tree cropping and small ruminant production system. Proc. of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14.

KARO-KARO,S.,E.SEMBIRING,M.DSANCHEZ and

H. C. KNIPHSCHER. 1989. Cost benefit analysis

of sheep production at. village level. Proc. of the 13th Ann. Conf. of MSAP. March, 6-9, 1990. Malacca, Malaysia.

PANGGABEAN,T.,L.BATUBARA,E.SEMBIRING,M.

BOER dan S.B.SIREGAR. 1992. Status mineral

hijauan makanan ternak di Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Proc. Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor. Februari 20-22.

REESE, A. 1988. Effect of energy suplementation on

Indonesian sheep. PhD Thesis. NCSU, Departement of An.Sci, Raleigh.

SARAGIH, B. 1997. Agribisnis berbasis peternakan

menghadapi era perdagangan bebas. Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pembangunan Peternakan dengan Bupati/Walikota se-Indonesia di Jakarta, 24-25 September.

SIBON,A.J. 1988. Sheep rearing by small holders–

the RISDA experiences. Symposium on sheep production on Malaysia.

WINUGROHO dan S. MARYATI. 1999. Kecernaan daun kelapa sawit sebagai pakan ternak ruminansia. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Gambar

Tabel 1. Data perkembangan kegiatan pengkajian SUP dan dampak usaha domba di Kabupaten Langkat  dengan skala 1 ekor pejantan/25 ekor induk/paket (1996/97)

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Mahkamah menyatakan bahwa peraturan yang dibuat pemerintah tersebut tidak melanggar prinsip FET karena peraturan tersebut sesuai dengan spesifikasi

(3) Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi metode analisis yang digunakan pada larutan alpha arbutin.. menggunakan

Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Pase Langsa mempunyai struktur sistem penggajian dengan penggolongan yang jelas untuk setiap tingkatan kepangkatan dosen. 40 0 3.83 2.00

Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Sukarela Laporan Tahunan ( Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)”, Politeknosains, Vol...

Pada pengujian sistem akan dilakukan pencocokan hasil yang didapatkan dari pengujian program yang dibuat dengan menggunkan metode (LVQ) Learning Vector Quatization dengan hasil

Dari hasil perhitungan di atas maka dapat diketahui bahwa pengaruh sales promotion terhadap penjualan mobil merek Tata Motors di GAIKINDO Indonesia Internasional Auto Show 2015

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)

Hasil penelitian Sumartini (2010) menunjukkan bahwa setelah diberikan coaching oleh kepala ruang maka perawat primer yang memiliki kemampuan berpikir kritis baik,