• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

5.1 Ekstraksi Citra TerraSAR-X Dual Polarization

Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Oleh karena itu citra RGB terbaik sudah selayaknya mampu menampilkan objek yang sebanyak-banyaknya. Citra hasil ekstraksi dengan susunan pada band blue : HH-VV, green: VV dan red: HH sudah dapat menampilkan objek yang berwarna untuk proses identifikasi penutupan lahan. Mata manusia cenderung lebih mudah membedakan objek yang berwarna daripada objek dengan tingkat keabuan (rona). Warna yang ditampilkan dari citra RGB |HH|-|VV|-|HH-VV| merupakan warna palsu yang digunakan untuk membedakan beberapa objek yang berbeda. Dari tampilan citra pada Gambar 13 terlihat bahwa objek tambak dan air cenderung berwarna hijau, vegetasi berwarna merah muda, tanah kosong berwarna biru muda dan rumput berwarna kuning.

Gambar 13 Citra hasil ekstraksi dengan susunan RGB |HH|-|VV|-|HH-VV|. 5.2 Reduksi Speckle

(2)

belum dapat memperlihatkan karakteristik objek apapun. Kecuali pada objek sungai dan tambak yang masih dapat diidentifikasi secara visual berdasarkan bentuknnya, sedangkan untuk objek lainnya belum dapat diidentifikasi. Hal ini disebabkan oleh mata manusia yang sulit mengidentifikasi objek menggunakan perbedaan rona pada citra polarisasi tunggal (citra gray scale). Apalagi dengan adanya speckle akibat interferensi acak pada sel resolusi citra tersebut akan semakin mempersulit proses identifikasi. Oleh karena itu perlu dilakukan proses penajaman citra (enhancement image). Pada penelitian ini digunakan metode J.S. Lee dan Frost dalam proses spasial filter.

a b

Gambar 14 Scroll window citra polarisasi HH terfilter : Frost [a] dan Lee [b].

a b

Gambar 15 Scroll window citra polarisasi VV terfilter : Frost [a] dan Lee [b].

(3)

Adanya speckle dapat menyebabkan piksel-piksel yang terdapat pada citra tidak dapat menampikan pola spektral yang sebenarnya dari suatu objek. Oleh karena itu, speckle perlu direduksi dengan melakukan proses pemfilteran. Dalam penelitian ini digunakan proses pemfilteran Lee dan Frost pada citra TerraSAR-X dual polarization dengan jendela filter 3x3. Pemilihan jendela filter 3x3 memiliki pengertian bahwa noise yang berupa speckle pada wilayah yang diamati (interest site) pada citra akan direduksi pada luas wilayah pemfilteran sebesar 9 piksel. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove dijadikan sebagai wilayah yang diamati (interest site) pada citra. Luas pemfilteran tersebut diduga cukup sesuai dengan luasan kawasan mangrove di lokasi penelitian. Hal ini diharapkan mampu menonjolkan keberadaan dan perbedaan objek mangrove dibandingkan objek lainnya pada citra. Hasil tampilan objek mangrove yang dapat diidentifikasi dari obyek lainnya akan mempermudah proses ekstraksi kawasan mangrove pada citra yang telah dilakukan proses filter.

Pada citra hasil pemfilteran, objek-objek yang nampak dalam citra terfilter Lee pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih tajam dibandingakan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Frost (Gambar 15). Citra terfilter Lee juga tetap mempertahankan tingkat kecerahan pada citra aslinya. Sedangkan objek-objek yang nampak dalam citra terfilter Frost pada polarisasi HH maupun VV terlihat lebih cerah dibandingkan dengan obyek yang nampak dalam citra terfilter Lee (Gambar 14). Namun tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Frost masih berada di bawah tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Lee.

Filter Frost menganggap bahwa piksel-piksel yang berada di pinggir objek dan menjadi batas dengan objek lainnya sebagai speckle. Tampilan pada Zoom (4x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Frost yang serupa dengan proses generalisasi objek. Efek dari filter Frost menghilangkan objek yang memiliki luasan kecil pada citra polarisasi. Sedangkan pada filter Lee, piksel yang dianggap sebagai speckle adalah piksel yang memiliki nilai intensitas sangat tinggi dari area terang dan nilai intensitas sangat rendah dari area gelap. Zoom (4x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Lee yang serupa dengan proses smoothing tekstur

(4)

objek. Efek dari filter Lee justru akan memperjelas tampilan objek yang memiliki luasan sempit pada citra polarisasi.

Dalam mengamati kawasan mangrove, luasan tajuk yang nampak pada citra akan membantu dalam proses identifikasi jenis spesies mangrove tersebut. Luasan tajuk yang nampak per pohon tersebut memiliki luasan yang sempit, yaitu diduga ditampilkan dengan bentuk bulat yang tidak beraturan. Dengan demikian proses pengolahan citra selanjutnya akan menggunakan citra polarisasi HH dan VV yang terfilter Lee.

5.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Citra TerraSAR-X 5.3.1 Penafsiran Visual Penutupan Lahan

Suatu objek di permukaan bumi pada citra satelit dapat dikenali secara visual dengan mengetahui karakteristik atau atribut masing-masing objek. Karakteristik objek pada citra disebut elemen interpretasi citra. Elemen yang digunakan yaitu tone (warna), bentuk, ukuran, tekstur, pola, site (lokasi), dan asosiasi. Penafsiran visual dilakukan pada citra TerraSAR-X pada perekaman tahun 2007 di Desa Sawohan dengan luasan 247,4 Ha dengan bantuan citra Quickbird yang terdapat pada google earth. Proses klasifikasi visual ini menggunakan klasifikasi manual pada software ENVI v4.7.

Dalam melakukan penafsiran citra secara visual, terutama proses digitasi poligon, tingkat kemampuan menafsir citra tergantung kepada kemampuan mengidentifikasikan perubahan elemen interpretasi sebagai parameter citra yang dipengaruhi oleh perbedaan spektral setiap objek. Salman (2001) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil penafsiran visual, yaitu ragam jenis tutupan lahan, keberadaan alat bantu, dan penafsir. Ragam jenis tutupan lahan dapat dikategorikan tetap dikarenakan pada suatu wilayah ragam jenis tutupan lahan cenderung tetap. Desa Sawohan memiliki ragam jenis tutupan lahan yang tidak terlalu banyak, yaitu berupa tambak dan mangrove sebagai penutupan lahan yang dominan pada daerah tersebut. Sementara penafsir pada umumnya memiliki kemampuan yang berbeda pada tiap individu. Keberadaan manual sebagai alat bantu penafsiran visual menjadi penting ketika penafsir yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang berbeda. Kualitas hasil penafsiran tutupan lahan

(5)

kemudian ditentukan oleh kualitas alat bantu penafsiran, dalam hal ini manual penafsiran tutupan lahan.

Hasil penafsiran visual menghasilkan 5 jenis tutupan lahan, yaitu: padang rumput, tanah terbuka, sungai, vegetasi mangrove, dan tambak. Hasil penafsiran visual dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16 Peta hasil penafsiran visual citra TerraSAR-X high resolution di Kabupaten Sidoarjo.

Kelas interpretasi badan air merupakan seluruh kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, dan padang lamun (lumpur pantai) (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa badan air yang terdapat di lapangan hanya berupa sungai, yaitu sungai Bluru. Sungai pada citra RGB |HH|-|VV|-|HH-VV| memiliki kenampakan warna hijau atau hijau gelap mendekati hitam, bentuknya berkelak-kelok cenderung tidak teratur dengan ukuran kecil memanjang dengan tekstur halus.

Tambak memiliki warna hajau atau hijau gelap mendekati hitam, dimana warna ini sama seperti pada objek sungai, namun berbeda dalam hal bentuk. Tambak memiliki bentuk kotak atau persegi dengan pola yang lebih teratur dan berkelompok. Persamaan warna (tone) pada objek sungai dan tambak disebabkan karena kedua objek sama-sama terdiri atas air sebagai media penyusunnya, sehingga pada wahana penerima (receiver) dikenali sebagai objek yang sama dan mempunyai nilai digital number yang mirip.

(6)

Kelas interpretasi hutan mangrove merupakan seluruh kenampakan hutan bakau, nipah dan nibung (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa hutan mangrove terdapat di lapangan berupa tegakan pohon mangrove di pinggir sungai dan galangan tambak yang bercampur dengan pohon lain sebagai pelindung. Secara umum kawasan mangrove memiliki warna ungu, merah muda hingga merah keputih-putihan dan merah kekuning-kuningan. Bentuknya adalah poligon tidak beraturan dengan ukuran kecil mengelompok dan bertekstur kasar.

Kelas interpretasi lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) dan lahan terbuka bekas kebakaran (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa lahan terbuka yang terdapat di lapangan berupa area galangan tambak yang tidak bervegetasi dan area tambak yang telah mengering sehingga akan tampak pada citra sebagai suatu area tanah kosong. Tutupan lahan terbuka umumnya memiliki penampakan warna biru hingga biru muda dengan bentuk poligon yang tidak beraturan dan pola yang menyebar.

Kelas interpretasi padang rumput merupakan kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput kadang dengan sedikit semak atau pohon (BAPLAN 2008). Tutupan lahan berupa padang rumput di lapangan terdapat pada area tambak yang sudah tidak dipakai lagi dan dibiarkan, sehingga ditumbuhi oleh rumput liar. Selain itu pada galangan tambak juga ditumbuhi oleh rumput-rumput pendek yang diselingi dengan pohon mangrove. Tutupan lahan rumput-rumput ini umumnya memiliki penampakan warna kuning hingga kuning keputihan dengan bentuk poligon tidak beraturan dan pola yang menyebar.

Dari hasil penafsiran visual tersebut diperoleh luasan masing-masing tutupan lahan pada daerah penelitian yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luasan hasil interpretasi visual tutupan lahan

Jenis tutupan lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Padang rumput 15,3 6,2 Tanah terbuka 7,93 3,2 Sungai 11,8 4,8 Vegetasi mangrove 76,5 30,9 Tambak 135,9 54,9 Total 247,4 100

(7)

Data luasan penutupan lahan Desa Sawohan pada Tabel 6 merupakan hasil dari digitasi poligon pada citra TerraSAR-X. Hasilnya menunjukkan bahwa tambak merupakan objek yang terluas dalam penutupan lahan pada area penelitian ini dengan luas total 135,9 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa 54,9 % dari 247,4 Ha keseluruhan luas area penelitian merupakan tambak. Sementara hutan mangrove yang masuk ke dalam kelas area bervegetasi dengan luasan 76,5 Ha atau sebesar 30,9 % dari luas total area penelitian. Area bervegetasi ini selain terdiri dari mangrove juga terdapat semak belukar yang tingginya mencapai 5 meter dan campuran vegetasi mangrove atau pohon besar dengan rerumputan pendek. Sementara untuk rumput yang terdapat pada galangan tambak maupun yang tumbuh di tengah-tengah tambak mempunyai luasan 15,3 Ha atau sebesar 6,2 %. Sungai Bluru dan tanah kosong yang tidak ditumbuhi vegetasi apapun masing-masing hanya mempunyai luasan sebesar 11,8 Ha dan 7,9 Ha. Beberapa tutupan lahan yang telah diamati di lapangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Beberapa pengamatan penutupan lahan di lapangan No Penutupan

lahan

Tampilan pada citra TerraSAR-X

Pengamatan di lapangan 1 Tanah kosong

(8)

3 Tambak 4 Vegetasi mangrove dominasi Avicennia sp. 5 Vegetasi mangrove dominasi Rhizophora sp. 6 Vegetasi mangrove dominasi Hibiscus tiliaceus Tabel 8 (lanjutan)

(9)

7 Vegetasi mangrove dominasi Xylocarpus sp.

8 Rumput

5.3.2 Klasifikasi Digital Citra TerraSAR-X 5.3.2.1 Analisis Digital

Analisis digital digunakan untuk memperoleh informasi mengenai besarnya kisaran nilai digital (digital number/DN) dari masing-masing kelas tutupan lahan. Dalam konteks ini kelas-kelas tersebut adalah region of interest yang telah ditentukan dari masing-masing kelas. Dengan diketahuinya besaran kisaran nilai digital number tersebut maka akan diketahui karakteristis spektral dari setiap kelas tutupan lahan terhadap band yang dimiliki oleh suatu sensor satelit. Karakteristik spektral setiap kelas dari citra TerraSAR-X dapat dilihat pada Gambar 17.

(10)

a b

Gambar 17 Histogram masing-masing kelas pada polarisasi HH [a] dan VV [b]. Berdasarkan pada gambar 16, nilai digital number pada polarisasi HH dan VV dapat membedakan kepekaan terhadap obyek vegetasi dengan obyek yang lain. Nilai digital number obyek vegetasi pada polarisasi HH atau VV mempunyai selang nilai yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pada polarisasi HH maupun VV obyek vegetasi mempunyai karakteristik spektral yang sangat bervariasi karena vegetasi tersebut tersusun atas spesies vegetasi yang sangat bervariasi pula. Namun dari nilai digital number yang bervariasi ini, frekuensinya mengumpul ke suatu nilai. Hal ini dapat menjelaskan nilai digital number pada vegetasi yang dominan pada area tersebut. Tampak pada gambar di atas bahwa pada polarisasi HH mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada suatu nilai digital number tertentu dibandingkan dengan polarisasi VV.

Pada obyek rumput terlihat nilai digital number antara polarisasi HH dan VV sangat kontras. Rumput pada polarisasi HH nilai digital numbernya menjulur ke kiri yang menyatakan nilainya mengumpul di angka yang rendah, sehingga pada citra tampak lebih gelap. Sedangkan rumput pada band VV nilai digital numbernya mengumpul di angka yang tinggi, sehingga pada citra tampak lebih terang. Selang nilai digital number pada polarisasi HH juga terlihat lebih panjang dibandingkan dengan polarisasi VV. Pada obyek tanah kosong nilai digital number juga kontras antara band HH dan VV, namun tidak begitu mencolok. Hal ini dikarenakan frekuensinya lebih rendah bila dibanding dengan obyek rumput. Pada polarisasi HH nilainya cenderung menjulur ke kanan dengan nilai frekuensi

(11)

yang hampir merata. Sedangkan pada polarisasi VV cenderung ke kiri dengan nilai frekuensinya sedikit mengumpul di suatu nilai. Pada objek sungai dan tambak mempunyai bentuk histogram yang hampir sama. Sehingga dari visual terlihat tidak ada perbedaan antara polarisasi HH dan polarisasi VV. Namun perbedaan objek tersebut antar polarisasi dapat dilihat lebih detail dari nilai statistiknya. Nilai statistik setiap kelas tutupan lahan ditampilkan pada tabel 9. Tabel 9 Nilai DN hasil analisis statistik setiap kelas tutupan lahan

Kelas Polarisasi DN Min DN Max DN Mean Std dev

Tambak HH 7 129 37,0 13,1 VV 4 121 35,9 13,4 Rumput HH 21 330 110,2 44,45 VV 62 647 243,1 82,5 Tanah HH 33 533 177,6 81,9 VV 11 295 67,6 35,2 Sungai HH 8 145 38,1 13,9 VV 5 176 34,0 12,2 Mangrove HH 14 921 187,4 83,5 VV 20 830 179,6 81,7

Pada band HH terlihat perbedaan yang sangat kontras antara nilai digital number rata-rata obyek yang bervegetasi dan tidak. Obyek yang bervegatasi menunjukkan nilai digital number rata-rata yang tinggi. Sedangkan objek yang tidak bervegetasi menunjukkan nilai rata-rata digital number yang cenderung lebih rendah. Namun hal ini berbeda pada objek tanah kosong, nilai digital number pada polarisasi HH ini cenderung lebih tinggi, yaitu mencapai 180 dan menyerupai nilai digital number pada objek vegetasi. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai standar deviasinya yang tinggi yaitu 91,4. Sedangkan pada objek yang tidak bervegetasi lainnya, yaitu pada objek tambak dan sungai mempunyai nilai digital number yang cenderung lebih rendah dan nilainya di bawah 50.

Pada band VV perbedaan nilai digital number antara obyek yang bervegetasi dan tidak bervegetasi tidak begitu kontras. Pada areal yang bervegetasi nilai digital number rata-ratanya mencapai 212,0. Sementara untuk obyek tanah, nilai digital number rata-ratanya lebih besar dibanding dengan obyek rumput, yaitu sebesar 179,2, sedangkan untuk obyek rumput sebesar 82,5. Pada obyek tambak dan sungai nilai digital number rata-ratanya masing-masing sebesar 51,5 dan 93,9.

(12)

5.3.2.2 Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas ini merupakan analisis dalam klasifikasi untuk mengetahui tingkat atau daya keterpisahan bagi semua pasangan kelas yang disajikan dalam bentuk matriks. Tujuan dari analisis separabilitas ini adalah untuk membuat kelas-kelas penutupan lahan yang benar-benar terpisahkan satu dengan yang lain. Semakin besar nilai keterpisahan antar kelas berarti semakin baik hasil klasifikasi tersebut dan setiap kelas dapat dibedakan dengan jelas. Evaluasi separabilitas dari 5 kelas penutupan lahan dari hasil penafsiran secara visual pada citra TerraSAR-X menggunakan metode transformed divergence dapat dilihat dalam tabel 10.

Tabel 10 Nilai separabilitas transformed divergence pada citra TerraSAR-X

Kelas Tambak Rumput Tanah Sungai Mangrove

Tambak - 1,999 1,939 0,011* 1,877

Rumput 1,999 - 1,999 1,999 1,619

Tanah 1,939 1,999 - 1,963 1,803

Sungai 0,011* 1,999 1,923 - 1,890

Mangrove 1,877 1,619 1,803 1,890

-Pengelompokan piksel pada citra TerraSAR-X ke dalam 5 kelas penutupan lahan yang berbeda pada kombinasi band HH dan VV dengan metode transformed divergence memberikan nilai separabilitas yang berkisar dari 0 sampai 2,0. Hal ini menunjukkan seberapa baik keterpisahan antara pasangan kelas penutupan lahan. Nilai yang lebih besar dari 1,9 menunjukkan bahwa pasangan kelas penutupan lahan terpisah dengan sangat baik.

Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan tambak dan sungai bernilai sangat kecil, yaitu sebesar 0,011. Hal itu berarti kedua obyek tersebut sulit untuk dipisahkan karena sifat medianya yang sama yaitu air. Akan tetapi jika diinterpretasi secara visual menggunakan kunci interpretasi pola dan bentuk kedua objek tersebut dapat dibedakan dengan jelas. Sungai yang mempunyai pola berliku-liku tidak teratur dan memanjang sedangkan tambak mempunyai pola yang lebih teratur dan berbentuk segi empat.

Nilai keterpisahan untuk kelas penutupan lahan berupa rumput dan mangrove juga menunjukkan nilai yang kecil, yaitu sebesar 1,619. Nilai keterpisahan yang paling besar pada kedua metode tersebut ditunjukkan pada

(13)

kelas penutupan lahan rumput dengan tambak, tanah terbuka dan sungai, yaitu sebesar 1,999. Hal itu menunjukkan kedua obyek tersebut dapat dibedakan dengan sangat baik.

Secara umum, urutan pasangan kelas yang dimulai dari tidak dapat dipisahkan hingga dapat dipisahkan dengan sangat baik adalah tambak-sungai, rumput-mangrove, sungai-mangrove, tambak-mangrove, tambak-rumput, tanah-mangrove, rumput-sungai, tanah-sungai, tambak-tanah dan rumput-tanah. Rata-rata nilai keterpisahan kelas penutupan lahan pada metode metode Transformed Divergence sebesar 1,710. Hal tersebut dikarenakan beberapa kelas tutupan lahan yang kurang dapat dipisahkan dengan baik, terutama kelas tutupan lahan tambak dengan sungai dan rumput dengan mangrove.

5.3.2.3 Metode Klasifikasi Terbimbing Citra TerraSAR-X

Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi kuantitatif dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Beberapa model klasifikasi terbimbing diterapkan untuk mencari nilai akurasi yang paling tinggi dengan menggunakan data dari hasil penafsiran visual pada citra TerraSAR-X sebagai data acuannya. Diantaranya adalah metode klasifikasi maximum likelihood, mahalanobis distance, minimum distance, parallelepiped dan Support Vector Machine (SVM). Besarnya nilai overall accuracy dan koefisien kappa pada masing-masing model terdapat dalam tabel 11.

Tabel 11 Nilai overall accuracy dan koefisien kappa setiap model Metode klasifikasi terbimbing Overall accuracy

(%) Koefisien kappa Maximum likelihood 71,10 0,4963 Mahalanobis distance 68,39 0,4927 Minimum distance 73,74 0,5352 Parallelepiped 70,69 0.4560

Support Vector Machine (SVM) 77,93* 0,5885*

Evaluasi keakuratan hasil penafsiran visual tutupan lahan digunakan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan

(14)

besarnya persentase keakuratan hasil penafsiran. Terlihat pada tabel 11 bahwa nilai overall accuracy atau akurasi secara keseluruhan metode Support Vector Machine (SVM) adalah paling besar, yaitu 77,93 % dengan akurasi kappa sebesar 58,85 %.

a. Support Vector Machine (SVM)

Support vector machine (SVM) adalah sistem pembelajaran yang menggunakan ruang hipotesis berupa fungsi-fungsi linier dalam sebuah ruang fitur (feature space) berdimensi tinggi, dilatih dengan algoritma pembelajaran yang didasarkan pada teori optimasi dengan mengimplementasikan learning bias yang berasal dari teori pembelajaran statistik (Christianini dalam Sembiring 2007).

Support Vector Machine (SVM) pertama kali diperkenalkan oleh Vapnik pada tahun 1992 sebagai rangkaian harmonis konsep-konsep unggulan dalam bidang pattern recognition. Learning machine SVM bekerja atas prinsip structural risk minimization (SRM) dengan tujuan menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan dua buah class pada input space. Pattern recognition merupakan salah satu bidang dalam komputer sains, yang memetakan suatu data ke dalam konsep tertentu yang telah didefinisikan sebelumnya. Konsep tertentu ini disebut class atau category. Berbagai metode dikenal dalam pattern recognition, seperti linear discrimination analysis, hidden markov model hingga metode kecerdasan buatan seperti artificial neural network. Namun salah satu metode yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian sebagai state of the art dalam pattern recognition adalah Support Vector Machine (SVM).

b. Akurasi Support Vector Machine (SVM)

Berdasarkan hasil penelitian JAXA pada tahun 2009 tentang klasifikasi penutupan lahan di Riau dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, metode Support Vector Machine (SVM) merupakan metode klasifikasi terbaik. Secara prinsip SVM adalah linear classifier, pattern recognition dilakukan dengan mentransformasikan data pada input space ke ruang yang berdimensi lebih tinggi, dan optimisasi dilakukan pada ruang vector yang baru tersebut. Hal ini membedakan SVM dari solusi pattern recognition pada

(15)

umumnya, yang melakukan optimisasi parameter pada ruang hasil transformasi yang berdimensi lebih rendah daripada dimensi input space.

Hasil confusion matrix dari klasifikasi Support Vector Machine (SVM) dengan menggunakan citra TerraSAR-X polarisasi HH dan VV rekaman tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Confusion matrix ground truth pada metode Support Vector Machine (SVM)

No Kelas Tambak dan

sungai (piksel) Padang rumput (piksel) Tanah lapang (piksel) Vegetasi mangrove (piksel) Total (piksel) 1 Tambak dan sungai

(piksel) 619771 32397 10708 51963 714839 2 Padang rumput (piksel) 4313 22840 13 42576 69742 3 Tanah lapang (piksel) 11740 319 18229 47989 78277 4 Vegetasi mangrove (piksel) 26946 10878 2977 196621 237422 Total (piksel) 662770 66434 31927 339149 1100280 Producer’s accuracy (%) 93.51 34.38 57.10 57.97 User’s accuracy (%) 86.70 32.75 23.29 82.81 Overall accuracy(%) 77.9312 Kappa accuracy (%) 58,85

Nilai akurasi umum (overall accuracy) untuk hasil klasifikasi terbimbing menggunakan metode Support Vector Machine (SVM) pada citra TerraSAR-X adalah sebesar77,93 %, sedangkan untuk nilai akurasi kappa adalah sebesar58,85 %. Perhitungan akurasi kappa dilakukan karena nilai akurasi umum cenderung over estimate (Liu et al. 2009). Akurasi kappa ini dihitung menggunakan semua elemen dalam matriks kesalahan, sehingga perhitungan akurasinya lebih baik. Agar hasil penafsiran visual kelas tutupan lahan tersebut dapat digunakan, maka besarnya nilai akurasi harus lebih besar dari 85%.

Hasil akurasi yang diperoleh ternyata masih kurang dari 85%. Kecilnya nilai akurasi ini disebabkan karena adanya kesalahan pada proses klasifikasi. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai kesalahan komisi yang berarti deliniasi objek yang dilakukan kurang tepat. Contohnya pada objek tanah yang memiliki nilai akurasi pengguna hanya sebesar 23,29 %. Semakin tingginya resolusi citra dapat memungkinkan suatu objek akan terciri dengan sangat detail, sehingga akan

(16)

menuntut proses digitasi poligon untuk lebih detail lagi. Misalnya pada daerah tambak atau sungai. Adanya gulma atau tanaman yang di atas perairan tambak akan terekam pada citra sebagai rumput karena nilai digital number hampir sama, sehingga dalam evaluasi akurasi akan dihitung sebagai suatu kesalahan, karena dalam penafsiran secara visual masuk ke dalam kelas tambak. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Adanya rumput atau gulma pada tengah tambak juga akan sangat menyulitkan pada proses digitasi poligon, karena keberadaannya merata dan tidak mengelompok, tetapi menyebar dengan jumlah yang kecil-kecil. Selain itu ada juga tambak yang telah mengering karena sudah melewati masa panen ikan dan belum dilakukan irigasi kembali, sehingga mempunyai nilai digital number yang hampir sama dengan tanah kosong.

Jumlah polarisasi yang hanya dual polarization yaitu HH dan VV menyebabkan terbatasnya resolusi spektral pada citra TerraSAR-X ini. Dibandingkan dengan citra optik seperti citra landsat jumlah bandnya jauh lebih sedikit. Citra landsat mempunyai jumlah band sebanyak 7. Sedangkan citra radar yang ada sampai sekarang ini adalah full polarization dengan jumlah polarisasi sebanyak 4. Terbatasnya resolusi spektral ini menyebabkan tampilan pada citra banyak terdapat noise, sehingga walaupun suat citra radar mempunyai resolusi spasial yang tinggi akan terlihat sebagai objek yang berbintil-bintil. Hal ini dapat mengurangi tingkat akurasi pada saat proses klasifikasi citra.

(17)

Tabel 13 Objek di lapangan yang mempengaruhi keakuratan hasil klasifikasi

No Keterangan Objek Tampilan TerraSAR-X Tampilan Quickbird Tampilan di lapangan

1 Tambak yang telah mengering

2 Gulma yang ada di tambak

(18)

5.3.2.4 Metode Klasifikasi Tidak Terbimbing Citra TerraSAR-X

Klasifikasi tidak terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu sendiri. Metode klasifikasi tidak terbimbing yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode k-means. Pada metode ini, menurut Henry (2011) klaster yang harus disediakan agar algoritma ini dapat mengelompokkan data adalah k. Pengelompokan dilakukan berdasarkan centroid atau titik pusat massanya. Titik pusat massa ini berupa rerata (mean) dari sekumpulan data yang telah dikelompokkan ke beberapa klaster. Sehingga nilai pusat titik massa ini akan berubah-ubah hingga mencapai titik dimana pusat titik massa tidak lagi mengalami perubahan. Kelas awal yang dibentuk pada klasifikasi k-means dalam penelitian ini sebanyak 4 kelas.

Gambar 18 Hasil klasifikasi k-means dengan 4 kelas tutupan lahan.

Berdasarkan hasil klasifikasi k-means dengan menggunakan 4 kelas, seperti yang tampak pada Gambar 18, nilai overall accuracy didapatkan sebesar 45,09 % dan kappa coefficient sebesar 0,27. Nilai akurasi ini lebih kecil jika dibandingkan dengan proses klasifikasi terbimbing. Hal ini disebabkan dengan banyaknya kesalahan yang terjadi baik pada kesalahan komisi maupun keslahan omisi. Besarnya nilai kesalahan-kesalahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.

(19)

Tabel 14 Confusion matrix ground truth pada metode k-means No Kelas Tambak dan sungai (piksel) Padang rumput (piksel) Tanah lapang (piksel) Vegetasi mangrove (piksel) Total (piksel) 1 Tambak dan sungai

(piksel) 253464 1918 648 4467 260497 2 Padang rumput (piksel) 319870 17098 7561 30522 375051 3 Tanah lapang (piksel) 78531 23226 8528 84870 195155 4 Vegetasi mangrove (piksel) 12409 25745 18475 220286 276915 Total (piksel) 664274 67987 35212 340145 1107618 Producer’s accuracy (%) 38,16 25,15 24,22 64,76 User’s accuracy (%) 97,30 4,56 4,37 79,55 Overall accuracy(%) 45,09 Kappa accuracy (%) 27,34

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pada tanah lapang memiliki nilai akurasi yang terkecil dengan akurasi pengguna hanya sebesar 4,37 %. Sedangkan untuk akurasi pembuatnya, tanah lapang memiliki akurasi hanya sebesar 24,22 %. Besarnya nilai kedua akurasi ini rata-rata kecil. Hanya pada objek tambak dan sungai yang mempunyai nilai akurasi yang besar, yaitu sebesar 97,30 % pada akurasi penggunanya. Sedangkan untuk akurasi pembuatnya objek tambak dan sungai masih memiliki akurasi yang kecil yaitu hanya 38,16 %. Dengan besarnya nilai-nilai akurasi tersebut menghasilkan akurasi secara keseluruhan hanya sebesar 45,09 %. Hasil ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing.

Kecilnya akurasi klasifikasi tidak terbimbing ini disebabkan karena dalam proses klasifikasi tidak mempertimbangkan kehomogenan dari piksel-piksel yang diklasifikasi. Pada area badan air seperti tambak dan sungai masih banyak terdapat piksel yang teridentifikasi rumput. Sedangkan dalam proses penafsiran visual, adanya rumput atau gulma yang terdapat di tengah tambak diabaikan. Hal ini karena jumlah rumput atau gulmanya berbentuk kecil-kecil dan menyebar merata, sehingga sangat menyulitkan dalam proses digitasi poligon.

5.4 Klasifikasi dan Identifikasi Spesies Hutan Mangrove

Mangrove merupakan tumbuhan tropis dan komunitas tumbuhnya di daerah pasang surut sepanjang garis pantai seperti tepi pantai, muara, laguna, dan

(20)

tepi sungai sehingga pada waktu pasang sedang naik mudah tergenangi air laut, itu sebabnya hutan ini disebut hutan pasang atau mangrove. Hutan mangrove yang terletak di Desa Sawohan, Sidoarjo adalah contoh hutan yang berada di tepi sungai, dekat dengan muara sungai. Hal ini sesuai dengan pernyataan FAO (1982) dan Nontji (1993) yaitu mangrove tersusun atas jenis tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove hanya bisa ditemukan di pantai yang terlindung dan terletak diantara garis pasang-surut pada daerah estuari, pulau tengah laut yang terlindung dan beberapa pulau karang mangrove sangat jarang ditemukan di daerah yang terbuka.

5.4.1 Analisis Separabilitas

Pada citra RGB dengan susunan |HH|-|VV|-|HH-VV| menampilkan sejumlah objek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan berdasarkan spektral dari objek, sehingga dapat ditafsir secara visual keberadaan kawasan mangrove kemudian dilakukan pemotongan pada kawasan tersebut. Objek-objek yang mampu diinterpretasi dari citra RGB tersebut dengan bantuan data hasil ground check di beberapa titik di lapangan tersaji pada Tabel 15. Identifikasi ini memberikan informasi jenis spesies penyusun mangrove di lapangan.

Tabel 15 Identifikasi objek mangrove pada citra RGB dengan susunan |HH|-|VV|-|HH-VV|

No Objek Identifikasi objek

1 Avicennia sp. Warna merah keunguan, tekstur kasar, bentuk poligon tidak beraturan kecil dan menyebar

2 Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp.

Warna merah muda, tekstur agak kasar, bentuk poligon tidak beraturan dan besar

3 Hibiscus tiliaceus Warna merah keputihan, tekstur halus, bentuk poligon tidak beraturan dan mengumpul

4 Semak dan rerumputan Warna kekuning-kuningan, tekstur agak kasar, bentuk poligon tidak beraturan kecil dan menyebar

Pada penelitian ini, proses ekstraksi kawasan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi yang menghasilkan nilai akurasi terbesar pada proses analisis penutupan lahan sebelumnya. Metode yang menghasilkan nilai akurasi terbesar ternyata adalah metode Support Vector Machine (SVM) pada klasifikasi terbimbing, sehingga setelah ditentukan daerah yang akan dijadikan sebagai training area kemudian dilakukan proses klasifikasi Support Vector Machine (SVM). Tabel nilai separabilitas dapat dilihat pada Tabel 16.

(21)

Tabel 16 Nilai separabilitas transformed divergence pada hutan mangrove Kelas Avicennia alba X.molucensis dan R.mucronata Hibiscus tiliaceus Semak dan rerumputan Avicennia sp. - 0,943* 1,999 1,999

Xylocarpus sp dan Rhizophora sp. 0,943* - 1,925 1,984

Hibiscus tiliaceus 1,999 1,925 - 1,754

Semak dan rerumputan 1,999 1,984 1,754

-Dari hasil analisis separabilitas dengan metode transformed divergence, objek Avicennia sp. dengan objek Xylocarpus sp. maupun Rizophora sp. kurang dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai separabilitas menggunakan kedua metode nilainya di bawah 1. Sehingga kedua objek ini perlu digabung menjadi satu kelas. Sedangkan pada objek Hibiscus tiliaceus dan semak menunjukkan bahwa kedua objek tersebut masih dapat dipisahkan dengan cukup baik. Pola yang dibentuk dan rona dari kedua jenis spesies tersebut memang mirip, hal ini sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Pada spesies waru bentuk tajuknya sangat rimbun dan tidak terlalu tinggi. Sedangkan pada semak-semak yang terdiri dari bermacam-macam spesies semak tajuknya juga rimbun. Sehingga pada citra tampak kedua objek ini hampir mirip, namun masih dapat dipisahkan.

5.4.2 Pengamatan Objek Mangrove

Nilai intensitas piksel-piksel dari citra yang berada pada salah satu lapisan citra RGB memiliki pola fluktuasi yang khas untuk objek tertentu. Pengamatan tersebut dapat dilihat menggunakan horizontal profile. Horizontal profile (HP) adalah grafik yang menggambarkan nilai intensitas piksel dari beberapa sampel yang terentang searah sumbu x, pada suatu line tertentu dari citra (Pusparini 2010). Pada citra gray scale, baik citra dual polarimetry maupun citra sintetik, nilai intensitas digambarkan dengan satu garis grafik. Fluktuasi nilai intensitas pada citra tersebut menunjukkan tingkat kecerahan citra rona dari piksel-pikselnya. Pengamatan horizontal profile dan citra gray scale menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai intensitas suatu piksel, maka rona pada citra tersebut semakin cerah. Pada citra RGB, horizontal profile digambarkan dengan 3 garis grafik dengan warna berbeda. Nilai intensitas piksel-piksel pada citra yang menempati lapisan red, green dan blue masing-masing digambarkan dengan garis grafik berwarna merah, hijau dan biru.

(22)

Tabel 17 Hasil pengamatan setiap kelas mangrove pada citra, horizontal profile dan di lapangan No Kelompok

mangrove

Objek di citra TerraSAR-X

Horizontal profile Objek di lapangan

1 Avicennia sp.

(23)

2 Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. Tabel 17 (lanjutan) 60

(24)

3 Hibiscus tiliaceus Tabel 17 (lanjutan)

(25)

4 Semak dan rerumputan Tabel 17 (lanjutan)

(26)

Hasil pengamatan horizontal profile pada Tabel 17 menunjukkan 3 buah garis, yaitu garis merah mewakili lapisan red dengan band HH, garis hijau mewakili lapisan green dengan band VV dan garis biru putus-putus mewakili lapisan blue dengan band HH-VV. Dari grafik tersebut dapat kita ketahui pola dari masing-masing polarisasi terhadap objek-objek yang berbeda.

Objek Avicennia sp.yang telah diamati di lapangan penyebarannya berada di galangan tambak atau batas tambak dan sungai. Keberadaan spesies ini jarang dijumpai bercampur dengan spesies lain. Umumnya sejenis dan menggerombol namun tidak terlalu banyak. Spesies Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. Di lapangan keberadaannya memang pada umumnya saling bercampur. Sehingga kedua spesies ini memiliki pola yang tidak teratur. Hal ini memungkinkan adanya spesies lain yang hidup diantara spesies ini. Namun kedua spesies ini mempunyai dominasi yang tinggi. Tanah tempat tumbuh kedua spesies ini umumnya tergenang oleh air. Spesies Hibiscus tiliaceus yang ada di lapangan memiliki pola yang menggerombol sangat besar dan mendominasi tempat tersebut. Jarang dijumpai spesies lain pada gerombolan spesies ini. Kalaupun ada itu adalah tumbuhan bawah yang mampu tumbuh di sela-sela Hibiscus tiliaceus. Semak dan rerumputan yang ada pada kawasan mangrove sedikit berbeda dengan rerumputan yang ada pada bekas tambak atau galangan tambak. Jenis rumput yang tumbuh pada bekas tambak atau galangan tambak lebih pendek dibandingkan jenis rumput yang tumbuh bersama semak-semak pada kawasan mangrove.

5.4.2 Akurasi Klasifikasi Hutan Mangrove

Pada penelitian ini, proses klasifikasi hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi yang menghasilkan nilai akurasi terbesar pada proses analisis penutupan lahan sebelumnya. Metode yang menghasilkan nilai akurasi terbesar ternyata adalah metode Support Vector Machine (SVM) pada klasifikasi terbimbing. Pada proses klasifikasi terbimbing menggunakan metode Support Vector Machine (SVM) kelompok kelas mangrove Avicennia sp. dan kelompok kelas mangrove Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. dijadikan satu kelas. Sehingga dalam proses analisis akurasi hanya menggunakan 3 kelas. Hal tersebut karena dalam analisis separabilitas dan horizontal profile untuk kelas mangrove Avicennia sp. dan kelas mangrove Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp.

(27)

kurang dapat dipisahkan dengan baik. Tabel confusion matrix dari hasil klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Confusion matrix ground truth mangrove pada metode Support Vector Machine (SVM) No Kelas Avicennia sp, Xylocarpus sp dan Rhizophora sp (piksel) Hibiscus tiliaceus (piksel) Semak dan rerumputan (piksel) Total (piksel) 1 Avicennia sp, Xylocarpus sp dan Rhizophora sp (piksel) 632 80 32 744 2 Hibiscus tiliaceus (piksel) 95 915 71 1081 3 Semak dan rerumputan (piksel) 37 65 2179 2281 Total (piksel) 764 1060 2282 4106 Producer’s accuracy (%) 82,72 86,32 95,49 User’s accuracy (%) 84,95 84,64 95,53 Overall accuracy(%) 90,7453 Kappa accuracy (%) 84,30

Untuk melihat besarnya akurasi klasifikasi area contoh mangrove, pada matriks akurasi dari data training area memiliki akurasi pembuat (producer’s accuracy) dan akurasi pengguna (user’s accuracy). Pada tabel 14 terlihat besarnya nilai akurasi pembuat maupun pengguna sudah cukup baik. Namun masih ada yang nilainya kecil. Pada kelompok jenis Avicennia sp. Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. mempunyai nilai akurasi pembuat yang paling kecil, yaitu hanya sebesar 82,72 %. Dengan kecilnya nilai akurasi pembuat maupun akurasi pengguna ini mampu menghasilkan akurasi secara umum sebesar 90,74 % dan akurasi kappa sebesar 84,30 %.

Nilai akurasi umum yang cukup tinggi tersebut, yaitu sebesar 90,74 %, diperoleh dari metode klasifikasi dua tahap. Yaitu klasifikasi penutupan lahan secara umum dahulu kemudian klasifikasi suat penutupan lahan secara lebih khusus, dalam kasus ini adalah hutan mangrove. Dengan melakukan klasifikasi secara bertahap atau sering disebut sebagai two stage classification, objek yang bukan merupakan daerah yang sedang fokus diamati dihilangkan. Hal ini dapat mengurangi besarnya kesalahan yang terjadi pada saat dilakukan proses klasifikasi.

(28)

Gambar 19 Peta sebaran kelas mangrove dengan metode klasifikasi support vector machine

Pada Gambar 19 menunjukkan sebaran kelompok spesies mangrove yang terdapat pada Desa Sawohan Kecamatan Sidoarjo. Pada daerah tersebut hutan mangrove didominasi oleh rumput dan semak belukar. Rumput dan semak ini juga terdapat pada galangan tambak. Sedangkan untuk jenis Hibiscus tiliaceus mempunyai pola yang menggerombol pada suatu lokasi. Keberadaan kelompok jenis ini juga dapat dikatakan merata. Sedangkan untuk kelompok jenis mangrove Avicennia sp, Xylocarpus sp. dan Rhizophora sp. tidak terlalu dominan pada hutan mangrove di tempat tersebut. Jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan spesies lain dan hidup di antara spesies Hibiscus tiliaceus. Kadang-kadang ketiga spesies ini terdapat pada galangan tambak sebagai pohon pelindung dan batas antar tambak.

Hasil dari two stage classification yang berupa klasifikasi penutupan lahan secara umum dan klasifikasi hutan mangrove secara khusus menghasilkan total 7 kelas penutupan lahan. Gambar 20 menunjukkan hasil two stage classification pada seluruh kelas penutupan lahan. Besarnya akurasi klasifikasi keseluruhan ini merupakan rata-rata dari akurasi klasifikasi tahap pertama dan akurasi klasifikasi tahap kedua, yaitu akurasi umum sebesar 84,34 % dan akurasi kappa sebesar 71,58 %.

(29)

Gambar 20 Hasil two stage classification pada seluruh kelas penutupan lahan.

Gambar

Gambar 13 Citra hasil ekstraksi dengan susunan RGB |HH|-|VV|-|HH-VV|. 5.2 Reduksi Speckle
Gambar 14 Scroll window citra polarisasi HH terfilter : Frost [a] dan Lee [b].
Gambar 16 Peta hasil penafsiran visual citra TerraSAR-X high resolution di Kabupaten Sidoarjo.
Tabel 8 Beberapa pengamatan penutupan lahan di lapangan No Penutupan
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Seorang pedagang beras menerima beras sebanyak 3.750 kg. Sebelumnya pedagang itu masih memiliki persediaan 1.570 kg beras. Ibu berencana membagikan semua berasnya

o Pengujian Skenario Test Case diharapkan Hasil yang Hasil Pengujian Kesimpul an 1 Klik tombol “tambah peminjaman” Sistem akan menampilkan form peminjaman barang valid

Capaian kinerja Tujuan Strategis 5 “Meningkatnya kapasitas aparat pengawasan intern pemerintah yang profesional dan kompeten di wilayah Perwakilan BPKP Provinsi

Jika tombol TAMBAH, yang pilih maka artinya anda akan menambah data, silahkan tambahkan data, khusus pada kolom jenis kegiatan anda tinggal memilih data yang

Kecenderungan para pelaku ekonomi dalam melakukan penyelesaian transaksi perekonomian menggunakan dana yang tersimpan di rekening bank melalui proses kliring dan penyelesaian

Tidak terdapatnya perbedaan penurunan jumlah koloni Salmonella sp da bakteri Coliform pada limbah cair RPH dengan variasi dosis kalsium hipoklorit karena

Namun menurut survei yang telah dilakukan, warga Desa Ngemplak Seneng masih belum memiliki pengetahuan tentang higin sanitasi yang memadai.. Warga masih banyak

Pada Tahap ini dilakukan investigasi awal berupa wawancara, meninjau langsung sistem penyusunan borang yang berjalan saat ini, hasil yang diperoleh pada tahap