• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan

Petak yang diukur dalam penelitian ini adalah petak ukur permanen (PUP) dengan luas 100 m x 100 m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak mengalami pemeliharaan, yaitu : pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009 petak 4, petak 5 dan petak 6. Data pertumbuhan tegakan tahun 2009 dan 2010 diperoleh dari data sekunder perusahaan. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pada hutan bekas tebangan memiliki kondisi tempat tumbuh sama dan karakteristik tegakan yang homogen. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari langsung masuk kemudian diterima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis. Sinar matahari tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon. Struktur tegakan pada masing-masing kelas diameter dapat dilihat seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan. Hasil dari pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (n/ha) pada hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-19 cm hingga pohon-pohon berdiameter >60 cm (KD 60up) seperti disajikan pada Tabel 4.

(2)

Tabel 4 Rekapitulasi data komposisi tegakan

Jenis 1019 2029 3039 4049 5059 60up Jumlah

Komersil 128 42 15 7 3 3 209

Non komersil 11 9 3 5 3 24 59

Rimba campuran 87 17 5 7 1 2 129

Total 226 68 23 19 7 29 397

Sumber : hasil rekapitulasi data

Pada hutan bekas tebangan untuk pohon inti didominasi oleh jenis-jenis komersil dan rimba campuran karena telah dilakukan pemanenan pada kelas diameter 40cm up dan hanya menyisakan permudaan pohon yang dihasilkan dari regenerasi pohon induk melalui penyebaran biji yang jatuh kemudian tumbuh. Sedangkan pada pohon layak tebang lebih didominasi oleh jenis non komersil karena pada saat kegiatan penebangan, jenis non komersil tidak diproduksi.

Data komposisi tegakan tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan model simulasi dinamika struktur tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI dimana parameter-parameternya merupakan fungsi dari kerapatam tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri atas fungsi

ingrowth, upgrowth, dan mortality.

5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI

Sistem TPTI merupakan sistem tebang pilih tegakan tidak seumur berdasarkan limit diameter tebangan yang dilakukan untuk meningkatkan riap dan mempertahankan keanekaragaman hayati dengan terbentuknya struktur hutan dalam rangka memperoleh panen yang lestari (Kementerian Kehutanan 2009c). Siklus tebang yang digunakan dalam sistem TPTI adalah 35 tahun yang diharapkan pada jangka waktu tersebut bisa memperoleh tegakan dengan diameter layak tebang minimal 25 pohon per hektar. Untuk menduga potensi tersebut perlu upaya simulasi yang dapat memproyeksikan potensi tegakan pada siklus tebang berikutnya. Selain itu, dilakukan pula simulasi terhadap penurunan jangka waktu siklus tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Dalam membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, serta penggunaan model.

(3)

5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009 menyebabkan besarnya volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan tegakan yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu simulasi yang bertujuan untuk menduga potensi tegakan dan proyeksi pendapatan yang dihasilkan dari simulasi skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI pada siklus tebang berikutnya.Batasan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.

2. Struktur tegakan adalah banyaknya pohon per satuan luas (per hektar) pada setiap kelas diameter.

3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter (KD) terkecil selama periode waktu tertentu.

4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya selama periode waktu tertentu.

5. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.

6. Hasil tebangan diperoleh dari pemanenan pohon berdiameter 40 cm up. 7. Penerimaan diperoleh dari penjualan kayu hasil produksi.

8. Pengeluaran terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu.

5.2.2 Konseptualisasi Model

Model konseptual yang dikembangkan dapat dideskripsikan melalui stok dan aliran. Sub model akan saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang dibuat, terdiri dari : sub model dinamika struktur tegakan dan sub model pendapatan kayu.

(4)

Sub model dinamika tegakan mensimulasikan proyeksi tegakan masing-masing kelas diameter yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, luas bidang dasar tegakan, pertumbuhan, dan kematian. Sub model dinamika tegakan merupakan sub model yang paling penting karena dapat mempengaruhi sub model lainya. Sub model pendapatan kayu menggambarkan potensi pendapatan yang akan diperoleh dalam suatu waktu melalui produksi kayu layak tebang setelah dikurangi dengan biaya produksi kayu. Sub model pendapatan kayu dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan karena pendapatan kayu dihasilkan dari panen pohon layak tebang pada kelas diameter 40cm up.

5.2.3 Spesifikasi Model

5.2.3.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan

Pembentukan model dinamika struktur tegakan bertujuan untuk mensimulasikan potensi tegakan per hektar pada hutan bekas tebangan setiap tahunnya sehingga dapat diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada waktu tertentu. Model ini merupakan model inti yang sangat berpengaruh terhadap sub model yang lainnya. Parameter yang menjadi acuan dalam sub model yang lainnya diantaranya adalah jumlah pohon masak tebang masing-masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar.

Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari yang masuk langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon.

Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam pengukuranya, karena pengukuran diameter memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari pada volume tegakan yang menggunakan parameter tinggi pohon, dimana pengukuran tinggi pohon di ukur dengan menggunakan taksiran bukan pengukuran langsung sebenarnya sehingga tingkat ketelitian pada pendugaan volume sangat kecil.

(5)

Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.

Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi. Aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran materi KD yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada selang waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan pohon dalam KD disebabkan oleh faktor ingrowth, upgrowth, dan mortality.

Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan jumlah pohon per hektar. Ingrowth dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon dari hasil pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil (KD1019) selama periode satu tahun. Persamaan ingrowth yang digunakan di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha merupakan jumlah pohon per hektar, dan LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).

KD1019 Ingrowth Teb 60up Upg1 KD3039 KD2029 KD4049 TingkatKematianLogging1 NHA D1 D2 KD5059 KD60up Teb 60up

Upg2 Upg3 Upr4

Upg5 TingkatKematianLogging2 D3 D4 D5 D6 LBDSTot Daur

TingkatKematianLogging3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging5 TingkatKematianlogging6

LBDSTot NHA

Panen

Teb 4049

PendugaanVolume 60up

Vol teb 60up LBDSTot Pendugaan vol 5059 Teb 5059 Vol Teb 5059 Teb 4049 Vol Teb 4049 Pendugaan Vol 4049 Teb 5059 Dinamika Struktur Tegakan

(6)

Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu

banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya.

Upgrowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon.

Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur tegakan ini di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2.

Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang

umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan. Nilai mortality rate pada diameter <60 cm diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan untuk kelas diameter >60 cm sebesar 5%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian Elias et al. (2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau seluruh kelas diameter.

Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon yang ditebang, sistem silvikultur, dan penerapan metode penebangan yang digunakan. Pada state variable KD4049, KD5059, dan KD60up terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu penebangan. Kegiatan penebangan ini tidak dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus tebang. Besarnya penebangan ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan jumlah pohon pada masing-masing KD.

Jumlah pohon layak tebang yang diperoleh dari KD4049, KD5059, dan KD60up kemudian dikonversi ke dalam volume (m³) menggunakan rumus umum pendugaan volume, yakni V = 0,25*3,14*(d^2)*t dimana d adalah diameter (cm) dan t adalah tinggi pohon (taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen, data tersebut akan digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai pendapatan bersih dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar pada skema pengelolaan hutan.

(7)

5.2.3.2 Sub Model Pendapatan Kayu

Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan yang berasal dari pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan diperoleh dari penjualan kayu layak tebang, sedangkan pada pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan, biaya produksi dan biaya manajemen sebagai biaya tetap. Pendapatan dari penebangan diperoleh dari hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up (dalam volume) yang kemudian di konversi ke harga kayu yang diasumsikan sebesar Rp. 2.000.000,-/m³, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan hutan diacu dari laporan tahunan perusahaan. Hal utama yang mempengaruhi sub model pendapatan ini adalah jumlah pohon layak tebang yang dipengaruhi oleh tingkat kematian dan jumlah pohon yang berasal dari KD3039. Pada sub model ini menggunakan suku bunga 10% untuk menghitung nilai kelakayan usaha dari masing-masing skenario pengelolaan hutan. Suku bunga tersebut merupakan suku bunga yang berlaku saat penelitian berlangsung.

Gambar 6 Sub model pendapatan.

5.2.4 Evaluasi Model

Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sistem nyata. Evaluasi model dilakukan terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian

Penyusunan RKT Penerimaan Pengeluaran PenebanganCL Teb 60up SukuBunga Daur NPV Conv Teb 5059 Pelatihan HargaKayuB Daur Pengamanan Hutan PWH PemeliharaanAlatBangunan PemeliharaaanJalan PerlindunganHutan Penjarangan PenanamanPengayaan Gaji&Tunjangan Rehabilitasi lahan

Operasional & adm camp PersemaianPembibitan

PAK

BinaDesa

ITT

PBB Pemeliharaan tata batas

Penyiapan lahan MuatBongkar Pengupasan kulit Pengangkutan Pengapalan DR&IHH BiayaBinHut Biaya Tetap InspeksiBlok Biaya Pemanenan PerencanaanOperasionalPemanenan ITSP PenandaanJalanSarad KontruksiJalanSarad Penyaradan Penebangan

Vol teb 60up

Pemeliharaan Tanaman Pembagian batang Biaya Pemanenan BCR Vol Teb 5059 Vol Teb 4049 Teb 4049

(8)

tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan dengan membandingkan struktur tegakan hasil simulasi dan data aktual pada tahun ke-2 dan ke-3.

Gambar 7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2.

Gambar 8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3.

Dari hasil proyeksi perbandingan jumlah tegakan pada masing-masing kelas diameter pada tahun ke-2 dan ke-3, diperoleh kurva antara hasil simulasi dengan aktual tidak begitu berbeda secara signifikan. Hasil regresi pada taraf nyata 5% untuk tahun kedua memiliki koefisien korelasi sebesar 95 % dan untuk tahun ketiga memiliki koefisien korelasi sebesar 89,7 % menunjukan bahwa model memiliki korelasi yang cukup tinggi dan dapat digunakan untuk menduga dinamika tegakan dalam jangka panjang meskipun pengujian model dilakukan hanya dari data pertumbuhan selama 3 tahun. Pengujian model akan lebih baik lagi jika menggunakan data periodik yang lama supaya dapat diketahui pola pertumbuhan tegakannya secara konstan.

(9)

5.2.5 Analisis Sensitivitas Model

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan dalam parameter yang mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini dilakukan terhadap besarnya potensi tegakan yang diperoleh apabila tingka kematian akibat pemanenan dirubah menjadi 12%, 8%, dan 4% pada KD < 60 cm dan 9%, 6%, dan 3% pada KD > 60 cm. Semakin tinggi tingkat kematian, maka potensi tegakan semakin berubah.

Gambar 9 Analisis sensitivitas model. Keterangan :

1. Potensi tegakan dengan mortality 9% untuk KD>60 dan 12% untuk KD<60. 2. Potensi tegakan dengan mortality 6% untuk KD>60 dan 8% untuk KD<60. 3. Potensi tegakan dengan mortality 3% untuk KD>60 dan 4% untuk KD<60.

Gambar 16 menunjukan bahwa, jika hutan bekas tebangan memiliki

mortality yang rendah, maka pendapatan efektif yang diperoleh akan semakin

besar, hal ini dikarenakan jumlah tegakan yang ada tidak berkurang secara signifikan, dan sebaliknya jika mortality lebih besar maka pendapatan efektifnya juga akan berkurang lebih besar, hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah stok tegakan akibat mortality yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan tegakan.

5.2.6 Penggunaan Model

Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario yang telah dibuat dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan pembuatan sub model. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah memproyeksikan potensi tegakan dan pendapatan ketika menggunakan sistem TPTI.

(10)

5.2.6.1 Skenario Siklus Tebang

Skenario siklus tebang dan pendapatan mensimulasikan perbandingan jumlah tegakan yang dihasilkan dari pengelolaan hutan mengggunakan sistem TPTI dengan siklus tebang 35 tahun dan Permenhut No. 11 Tahun 2009 dengan siklus tebang 30 tahun. Hasil simulasi model menunjukan pada siklus tebang 30 tahun lebih cepat memperoleh pohon layak tebang karena jangka waktu dari siklus pertama ke siklus kedua lebih sedikit dibandingkan dengan siklus tebang 35 tahun. Hal ini akan berdampak pada tingginya volume layak tebang sehingga terjadi penurunan potensi jumlah pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya. Perlu adanya suatu tindakan pola adaptasi pengelolaan hutan agar kelestarian produksi dapat terjamin, salah satunya dengan menurunkan jumlah volume tebangan atau bahkan menghentikan sementara kegiatan penebangan dan beralih ke pengusahaan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan grafik pada Gambar 10 terlihat bahwa struktur tegakan pada siklus tebang berikutnya cenderung menurun.

Gambar 10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu. Keterangan :

1. Potensi tegakan dengan siklus tebang 30 tahun (Permenhut No.11 2009). 2. Potensi tegakan dengan siklus tebang 35 tahun (Sistem TPTI).

Dari hasil simulasi pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan oleh perusahaan, diperoleh jumlah potensi pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya sebesar 408 pohon dengan pohon layak tebang 63 pohon/ha, kemudian mengalami penurunan potensi pada siklus tebang kedua menjadi 133 pohon/ha dengan 25 pohon layak tebang. Sedangkan untuk pengelolaan hutan menggunakan siklus tebang 30 tahun memiliki jumlah pohon per hektar sebanyak 349 pohon dengan pohon layak tebang sebanyak 63

(11)

pohon/ha, dan mengalami penurunan potensi pada siklus tebang kedua yang hanya memiliki 125 pohon/ha dengan 19 pohon layak tebang. Penurunan potensi tersebut disebabkan oleh kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan akibat penurunan limit diameter pohon layak tebang, sedangkan tingkat pertumbuhan tegakan kecil dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali memiliki potensi pohon layak tebang.

5.2.6.2 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga

Pada skenario ini dilakukan perubahan tingkat suku bunga terhadap besarnya Net Present Value (NPV) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI. Tingkat suku bunga pada skenario ini akan diubah menjadi 5 % dan 15 %.

Gambar 11 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga. Keterangan :

1. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 5 %. 2. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10 %. 3. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 15 %.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin tingginya tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin kecil tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh semakin meningkat. Karena tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan, dengan semakin tinggi tingkat suku bunga, maka pendapatan yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin rendah tingkat suku bunga pendapatan yang diperoleh akan semakin meningkat. Hasil skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga terdapat pada Tabel 5.

(12)

Tabel 5 Skenario perubahan suku bunga Simulasi perubahan suku

bunga

Suku bunga

5% 10% 15%

NPV (Rp) 58.356.086,88 17.032.509,69 2.417.058,81

Sumber data : hasil simulasi model.

5.3 Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

5.3.1 Sub Model Pendugaan Stok Karbon

Pada sub model ini dilakukan pendugaan terhadap jumlah kandungan karbon pada suatu areal. Parameter yang digunakan adalah jumlah pohon dari masing-masing KD yang kemudian dikonversi dalam bentuk biomassa menggunakan persamaan allometrik yang dibuat oleh Brown (1997) pada iklim lembab, yaitu B = EXP(-2.134+2.53*(Ln(D))/1000*KD dimana D merupakan diameter dan KD merupakan jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter.

Biomassa dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam kg/ha atau ton/ha. Biomassa yang diukur pada simulasi kali ini adalah biomassa atas permukaan tanah pada hutan bekas tebangan. Biomassa yang didapat kemudian dikonversi ke karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Karbon stok yang diperoleh merupakan penjumlahan stok karbon masing-masing KD. Hasil pendugaan stok karbon ini berguna untuk memprediksi serapan emisi yang diserap oleh tegakan melalui proses fotosintesis yang nantinya digunakan untuk perhitungan kompensasi penyerapan karbon.

Gambar 12 Sub model pendugaan stok karbon.

KD1019 KD2029 KD3039 KD4049 KD5059 KD60up D1019 D2029 D3039 D4049 D5059 C KD1019 C KD2029 C KD3039 C KD4049 C KD5059 D60up C KD60up C tot

(13)

5.3.2 Sub Model Pendugaan Pengusahaan Karbon

Sub model pendugaan pengusahaan karbon mensimulasikan proyeksi pendapatan yang diperoleh dalam skema perdagangan karbon ketika perusahaan melakukan kebijakan moratorium penebangan. Sub model pendapatan karbon terdiri dari komponen harga karbon, stok karbon, pendapatan karbon, biaya tetap, biaya validasi, biaya verifikasi, biaya sertifikasi dan komponen nilai kelayakan usaha. Pendapatan karbon dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon yang diperoleh dari pembeli jasa penyerapan karbon, bisa dalam lingkup nasional maupun internasional atau dalam hal ini negara-ngeara maju. Pendapatan karbon tersebut kemudian dikurangi biaya-biaya pengusahaan karbon.

Biaya validasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran pengesahan suatu proyek REDD yang dijalankan antara penjual jasa penyerapan karbon dengan penerima jasa, biaya verifikasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memantau keberlanjutan dan tingkat keberhasilan proyek REDD yang dijalankan, sedangkan biaya sertifikasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi per karbon yang terjual. Besarnya biaya-biaya tersebut mengacu kepada Plan Vivo Standard yang diadaptasi dari Peraturan Menteri Kehutanan No P. 36/Menhut-II/2009, dimana biaya validasi diasumsikan sebesar 12500 US$, biaya verifikasi sebesar 30.000 US$ dalam jangka waktu pengusahaan 5 tahun dan biaya sertifikasi karbon sebesar 0,5 US$ per karbon yang terjual dengan nilai kurs rupiah diasumsikan sebesar US$ 1 = Rp. 8.500,-.

Besarnya jumlah karbon yang dapat dikompensasi ke dalam bentuk pendapatan tambahan dan biaya pengusahaan karbon diakumulasi berdasarkan jumlah stok karbon pada waktu tertentu yang diduga pada sub model pendugaan stok karbon. Biaya tersebut dijumlahkan dengan biaya tetap (manajemen) yang wajib dikeluarkan setiap tahun. Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan setiap tahunnya, baik untuk pengelolaan hutan berbasis produksi kayu ataupun pengelolaan hutan berbasis jasa penyerapan karbon. Dalam sub model ini juga menghitung nilai kelayakan usaha pada skenario yang dibuat dengan tingkat suku bunga 10%.

(14)

Gambar 13 Sub model pendugaan biaya pengusahaan karbon.

5.3.3 Skenario Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Pada skenario pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon tidak dilakukan penebangan dan pengelolaan hutan difokuskan pada penyerapan karbon oleh tegakan pada saat kebijakan moratorium berlaku. Moratorium tersebut dilakukan agar kelestarian tegakan terjamin dan membantu penurunan emisi global. Dinamika struktur tegakan karbon dapat dilihat seperti pada Gambar 14.

Gambar 14 Struktur tegakan pada pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon. Dari hasil proyeksi diperoleh bentuk dinamika struktur tegakan dengan jumlah pohon per hektar yang cenderung meningkat pada siklus tebang berikutnya sehingga kelestarian produksi dapat terjamin. Potensi tegakan pada skenario pengelolaan hutan berbasis karbon mengalami peningkatan jumlah tegakan dari 397 pohon/ha menjadi 406 pohon/ha pada siklus tebang berikutnya. Peningkatan jumlah pohon ini dikarenakan oleh pengelolaan hutan hanya diperuntukan sebagai

C tot C Price Income c NPV C BCR C SukuBunga Biaya Tetap Daur Valid&Ver Biay a VVS Cost C

(15)

penyerapan karbon tanpa memanfaatkan atau menebang kayu yang ada. Tren jumlah pohon per hektar tersebut cenderung meningkat dan konstan hingga akhir waktu simulasi yaitu pada tahun ke-120.

Sedangkan dari segi pendapatan, skenario pengelolaan hutan berbasis karbon memperoleh keuntungan dari hasil kompensasi jasa penyerapan karbon yang menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 10.011.211,-/ha dengan BCR 1,43 dan IRR sebesar 24%, dengan artian usaha skenario pengelolaan hutan berbasis karbon layak untuk dijalankan dan baik secara ekologi. Akan tetapi dalam segi pendapatan masih lebih menguntungkan skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI.

5.4 Pengelolaan Hutan Kombinasi

5.4.1 Sub Model Pengusahaan Sarang Semut

Myrmecodia pendans atau lebih dikenal dengan sebutan sarang semut,

merupakan tanaman berkhasiat yang berasal dari tanah Papua. Belakangan tanaman ini marak diperbincangkan karena diyakini memiliki khasiat luar biasa untuk mengobati berbagai macam penyakit berat, antara lain : kanker, tumor, gangguan jantung terutama jantung koroner, stroke ringan maupun berat, ambeien (wasir), benjolan-benjolan dalam payudara, gangguan fungsi ginjal dan prostat, haid dan keputihan, melancarkan peredaran darah, migren, paru-paru, rematik, sakit maag dan sebagainya. Hasil penelitian mendapati bahwa tanaman ini mengandung senyawa aktif penting, antara lain : flavanoid, tokoferol, fenolik dan kaya akan berbagai mineral yang berguna sebagai anti-oksidan dan anti kanker.

Sub model usaha sarang semut dibuat untuk mengetahui pendapatan tambahan yang dihasilkan dari pengusahaan sarang semut ketika moratorium penebangan berlaku dan perusahaan mengalihfungsikan hutan untuk penyerapan karbon. Pada skenario ini, komponen biaya terdiri dari biaya pengolahan selama memproduksi sarang semut, biaya kemasan dan biaya pemasaran. Sedangkan pendapatan diperoleh dari hasil penjualan sarang semut dalam bentuk simplisia. Proses pengolahan sarang semut dimulai dari pengunduhan di lapangan, kemudian sarang semut tersebut diiris tipis dan dikeringkan. Hasil dari sarang semut yang

(16)

telah dipotong dan dikeringkan dinamakan simplisia. Harga simplisia saat ini Rp.65.000,-/kg dan dalam setahun diasumsikan sebanyak 360 kg simplisia.

Gambar 15 Sub model pengusahaan sarang semut.

Skenario pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat tambahan secara finansial diperlukan ketika kebijakan moratorium penebangan diberlakukan dengan maksud mempertahankan kelestarian tegakan dan menurunkan emisi secara global. Karena jika pengelolaan hutan hanya difokuskan untuk penyerapan karbon saja tidak mencukupi untuk memperoleh keuntungan yang minimal setara dengan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI. Untuk itu perlu formula khusus melalui beberapa skenario untuk mengetahui hasil hutan buan kayu yang berpotensi menambah pendapatan perusahaan. Kombinasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan diantaranya adalah pemanfaatan sarang semut, pemanfaatan minyak lawang, dan pemanfaatan sagu yang memiliki potensi melimpah di sekitar areal kerja perusahaan.

5.4.2 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon + Sarang Semut

Pada sub model pengelolaan sarang semut, keuntungan tambahan yang akan diperoleh perusahaan disamping dari pembayaran kompensasi penyerapan karbon adalah sebesar Rp. 7.823.608,- /ha. Nominal tersebut sedikitnya bisa menutupi kekurangan pendapatan perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon. Skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, akan

Biay a Pendapatan Olah Kem asan Keuntungan Pem asaran

harga sim plisia sim plisia KgperTh

SukuBunga NPV SS

BCR SS

waktu

(17)

memperoleh pendapatan tambahan dari pengolahan sarang semut disamping dari kompensasi penyerapan karbon. Besarnya NPV pada skenario kombinasi ini adalah Rp. 17.834.820,-/ha dengan BCR 1,35 dan IRR 23%. Pendapatan dari kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan sarang semut ternyata dapat melebihi pendapatan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI yang hanya Rp. 17.032.509,-/ha jika dikelola dengan benar.

5.4.3 Sub Model Usaha Minyak Lawang

Potensi minyak lawang di Papua cukup melimpah dan khasiat atau kegunaanya pun makin digemari akhir-akhir ini. Minyak lawang yang dihasilkan dari penyulingan berbahan baku kulit pohon lawang merupakan obat gosok yang digunakan untuk meredakan nyeri yang ditimbulkan oleh rematik, pegel, keseleo dan lainya. Selain itu minyak lawang juga digunakan untuk bumbu masak oleh sebagian masyarakat di Bali. Limbah dari penyulingan minyak lawang yang berupa bubur kayu masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku produk diantaranya adalah param dan lulur.

Gambar 16 Sub model usaha minyak lawang.

Sub model ini di buat untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan kulit pohon lawang dengan pengelolaan yang baik. Pengelolaan dimulai dari pengupasan kulit batang pohon yang telah ditebang pada pohon komersil,

hasil suling

bahan bakar

kupas kulit Sortir

Produksi per ha

peny ulingan Biay a 1Ha

pemasaran miny ak kemas harga per mL pendapatan miny ak NPV Miny ak BCR miny ak Jk waktu SukuBunga cacah upah pekerja

(18)

kemudian dilakukan pemilihan (sortir) kulit pohon yang memiliki kualitas baik, setelah itu dilakukan pencacahan pada kulit pohon tesebut hingga berbentuk potongan-potongan kecil atau bahkan serbuk untuk memudahkan dalam proses penyulingan, pencacahan tersebut dilakukan supaya menghasilkan sari pati yang lebih banyak dari serat-serat potongan tesebut. Kemudian dilakukan proses penyulingan hingga berbentuk minyak murni yang telah terpisah dari air, selanjutnya dilakukan pengemasan dan pemasaran.

Sub model ini terdiri dari komponen biaya, pendapatan dan potensi produksi. Biaya dari pembuatan minyak lawang, yaitu : biaya pengupasan kulit, biaya pemilihan bahan baku, biaya pencacahan bahan baku, biaya penyulingan, biaya pembelian bahan bakar, upah pekerja, biaya pengemasan, dan biaya pemasaran. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari harga jual minyak lawang per mili liter dan potensi produksi minyak hasil sulingan. Harga minyak lawang dipasaran saat ini sebesar Rp. 500.000,- untuk tiap satu liter minyak lawang. sedangkan dalam satu hektar kurang lebih akan menghasilkan 15,75 ℓ dengan asumsi terdapat 21 pohon lawang/ha. Hal ini tentu saja bisa menjadi nilai tambah lain bagi perusahaan jika pemanfaatan kulit pohon lawang dikelola dengan baik. Dalam sub model usaha minyak lawang juga terdapat komponen nilai kelayakan usaha menggunakan suku bunga bank 10% untuk melihat nilai kelayakan usaha minyak lawang tersebut.

5.4.4 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Minyak Lawang

Potensi hasil hutan bukan kayu lain yang dapat dikembangkan oleh perusahaan adalah pengelolaan minyak lawang yang memiliki cukup bahan baku untuk dimanfaatkan. Pengelolaan minyak lawang melalui proses penyulingan membutuhkan bahan baku kulit pohon lawang. Dari hasil simulasi model skenario pemanfaatan minyak lawang, diperoleh besarnya pendapatan yang akan diterima perusahaan adalah Rp, 2.818.051,-/ha. Pendapatan tersebut bisa menjadi alternatif pendapatan tambahan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka mengurangi emisi global.

(19)

Pada kombinasi skenario pengelolaan hutan karbon dengan usaha minyak lawang, nilai NPV yang dihasilkan sebesar Rp. 12.829.263,-/ha dengan BCR 1,18 dan IRR sebesar 21%. Nilai-nilai tersebut menunjukan bahwa skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang layak untuk dijalankan, akan tetapi dalam segi pendapatan masih lebih menguntungkan skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha sarang semut yang memiliki pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan minyak lawang.

5.4.5 Sub Model Usaha Sagu

Sagu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia. Sagu bisa dikembangkan sebagai bahan pangan, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Selain itu, bahan tepung sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai di alam dan sebagai sumber energi alternatif (bioetanol).

Gambar 17 Sub model usaha sagu.

Potensi sagu dunia hampir 50% berada di Indonesia yang diperkirakan mencapai satu juta hektar dan sebagian besar berada di daerah Papua salah satunya di Kabupaten Mamberamo Raya. Hal ini dibuktikan dengan tanaman sagu yang berada di sekitar lokasi areal kerja perusahaan cukup melimpah. Sub model usaha sagu ini dibuat untuk melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari

has il perbtg

pis ah pati penghalus an peny aringan

pengeringan Penebangan

c ac ah em pulur

N PV s agu panen per ha

Kem as s ari buah m erah Bagi btg

Pem as aran buah

J angk a wak tu

BC R s agu Suk uBunga

Biay a perH a Pendapatan s agu H arga perKg

(20)

pengelolaan sagu. Pengelolaan sagu dari batang pohon hingga menjadi tepung memiliki beberapa tahap diantaranya adalah penebangan pohon, pembagian batang yang dibelah secara memanjang, pengambilan empulur atau teras batang sagu, penghalusan empulur, penyaringan, pemisahan pati sagu kemudian pengeringan hingga menjadi tepung sagu.

Sub model usaha sagu terdiri dari beberapa komponen, antara lain : biaya pengelolaan sagu, harga sagu, potensi sagu dan pendapatan dari penjualan sagu. Biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan sagu terdiri dari biaya penebangan pohon sagu, biaya pembagian dan pemotongan batang, biaya pencacahan empulur, biaya penghalusan, biaya penyaringan pati sagu, biaya pengeringan, biaya kemasan dan biaya pemasaran tepung sagu. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari potensi panen per hektar, potensi sagu per batang dan harga jual sagu. Harga tepung sagu sekarang ini mencapai Rp. 3000,- /kg, sedangkan dalam satu batang pohon sagu dihasilkan sekitar 150-300 kg tepung sagu dan potensi pohon sagu dalam setahun bisa memanen 86 pohon/ha (Widjono

et al. 2000). Komponen lain dari sub model usaha sagu adalah nilai kelayakan

usaha yang menggunakan suku bunga bank sebesar 10% untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha sagu.

5.4.6 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Sagu

Skenario terkahir sebagai alternatif pendapatan tambahan adalah pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sagu. Pohon sagu yang sangat melimpah di sekitar areal kerja perusahaan berpotensi untuk menghasilkan pendapatan lain jika dikelola dengan benar. Harga tepung sagu semakin naik dan dari hasil pengelolaan satu batang pohon sagu bisa menghasilkan 200-300 kg tepung sagu mengingat masyarakat Papua sebagian besar mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok sehingga dalam hal pemasarannya sangat potensial untuk dimanfaatkan. Dari hasil simulasi pengelolaan sagu, diperoleh pendapatan tambahan yang akan diterima perusahaan sebesar Rp. 15.159.376,-/ha. Dengan asumsi satu hektar bisa menebang 86 pohon sagu. Pendapatan tambahan tersebut merupakan pendapatan yang paling menguntungkan dari skenario pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lainnya.

(21)

Dari hasil simulasi skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-/ha dengan BCR 1,47 dan sebesar IRR 28%. Nilai kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu tersebut merupakan skenario yang paling layak untuk dijalankan, karena menghasilkan pendapatan paling besar yang akan diterima oleh perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka mengurangi emisi global. Selain itu dari hasil pengelolaan hutan berbasis karbon tersebut diperoleh struktur tegakan yang baik dan dapat terjamin kelestariannya.

5.5 Kombinasi Skenario Terbaik

Pemilihan kombinasi skenario pengelolaan hutan terbaik dilakukan dengan membandingkan kelayakan usaha pada masing-masing skenario pengelolaan hutan, kemudian memilih skenario dengan kelayakan usaha yang memiliki NPV paling maksimal untuk tiap kondisi simulasi sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang maksimal. Perbandingan pendapatan dan kelayakan usaha pada masing-masing skenario pengelolaan hutan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbandingan kelayakan usaha masing-masing skenario

Skenario Usaha Kelayakan Usaha

NPV BCR IRR

100 % Kayu Rp 17.032.509,- 1,17 21%

100 % Karbon Rp 10.011.211,- 1,43 24%

Karbon + sarang semut Rp. 17.834820,- 1,35 23%

Karbon + minyak lawang Rp.12.829.263,- 1,18 21%

Karbon + sagu Rp. 25.170.588,- 1,47 28%

Sumber : Hasil rekapitulasi data.

Dari perbandingan nilai kelayakan usaha, diketahui bahwa nilai NPV pada masing-masing skenario pengelolaan hutan memiliki nilai positif dengan artian semua skenario usaha layak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi ada pada skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu yang memperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-. Nilai ini menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan akan memberikan keuntungan selama umur analisis finansial yakni 5 tahun menurut nilai sekarang.

(22)

Nilai BCR dari skenario pengelolaan hutan kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Nilai BCR tersebut menunjukan perbandingan antara manfaat dan biaya yang didiskonto. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk IRR pada skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 28 % berada diatas suku bunga bank yang digunakan sebesar 10 %. Hal ini menunjukan kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secara finansial ada pada skenario ke-5, yaitu kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan pemanfaatan sagu. Disamping itu, tingkat kelestarian tegakan pada skenario ini memiliki standing stock yang besar pada siklus tebang berikutnya karena pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih ke pemanfaatan jasa penyerapan karbon.

Gambar

Tabel 4  Rekapitulasi data komposisi tegakan
Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.
Gambar 7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2.
Gambar 9 Analisis sensitivitas model.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini menunjukkan bahwa setelah siswa diberikan perlakuan modifikasi pembelajaran pendidikan jasmani menggunakan metode kartu ceria ada peningkatan motivasi

Seiring dengan bertambahnya usia anak, Ayah dan Bunda harus terus belajar dalam mendampingi mereka agar menjadi sosok yang berkarakter dan berbudaya prestasi4. Buku ini

Untuk aktivitas yang berbentuk penugasan, langkah pertama yang harus dikerjakan adalah meng-klik tugas yang terdapat dihalaman kolom tiap pertemuan (perhatikan gambar diatas).

Pertumbuhan Rata-rata Lama Menginap Tamu Mancanegara di Hotel Bintang Setiap Tahun, 2003 - 2011 Gambar 3.42.. Pertumbuhan Rata-rata Lama Menginap Tamu Indonesia di Hotel

Hasil yang didapat dari penelitian mengenai audit keamanan informasi pada PDAM Tirta Tarum Karawang menggunakan Indeks KAMI sebagai alat evaluasi dan Fishbone

Dengan demikian kuisioner tersebut dapat digunakan sebagai instrumen dalam penilaian sudut pandang (harapan, persepsi dan tingkat kepuasan) pasien dan tenaga kesehatan di

Presenta textos sobre la cobertura de la campaña electoral en Perú de 2006, la relación entre fronteras creativas y nuevas tecnologías, los retos de la comunicación para el

Berdasarkan Gambar 2 Grafik nilai rata-rata posttest kelas kontrol bahwa dapat diketahui siswa yang mendapatkan nilai 50 sebanyak 3 orang, siswa yang mendapat nilai