• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Gaharu

Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan resin yang terbentuk karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat

phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon karas dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar ini tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000).

Gaharu diperoleh dari sejenis tumbuhan famili Thymeliaceae dan bermarga

Aquilaria yaitu Aquilaria agaloccha Rox, namun gaharu dapat juga diperoleh dari family lain yaitu Leguminoceae dan Euphorbiaceae. Saat ini

A. Malaccensis merupakan jenis yang paling baik dalam menghasilkan minyak gaharu (Tarigan, 2004).

A. malaccensis merupakan salah satu tanaman kehutanan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Tanaman ini merupakan salah satu hasil hutan non kayu Indonesia yang memiliki nilai jual yang sangat mahal. Potensi gaharu

(2)

A. hirta, A. macrophylum dll. Dan yang paling tinggi hasil gaharunya adalah jenis A. malaccensis (Sumarna, 2005).

A. malaccensis memiliki morfologi atau ciri-ciri fisiologi yang sangat unik, dimana tinggi pohon ini mencapai 40 meter dengan diameter 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Tanaman ini memiliki bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang. Tanaman ini memiliki bunga yang terdapat diujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Dan buahnya berbentuk bulat telor, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm (Tarigan, 2004).

A. malaccensis sesuai ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pergunungan pada ketinggian 0 – 750 meter dari permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/Thn. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2005).

Biji yang berkualitas baik amat penting untuk tujuan pembenihan. Buah A. malaccensis berbentuk kapsul, dengan panjang 3.5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah (Sumarna, 2005).

Di Indonesia letak tanaman gaharu menyebar dari Sumatera hingga Irian Jaya. Dari hasil survei tahun 2001 yang dilakukan oleh ASGARIN diketahui bahwa sisa pohon

(3)

gaharu di daerah penghasil utama gaharu adalah Sumatera 26%, Kalimantan 27% Nusa Tenggara 5%, Sulawesi 4%, Maluku 6% dan Papua 37% (Tarigan, 2004).

Sampai saat ini sistem produksi gaharu masih sangat tradisional. Biasanya hanya mengandalkan keberadaan gaharu di hutan secara alami. Sehingga masih dapat dikategorikan kedalam sistem pertanian ekstraktif, yang artinya tanpa ada perlakuan budidaya hanya melakukan pengambilan hasil saja (Sumarna, 2005).

Sistem perbanyakan gaharu masih dikerjakan dengan 2 cara yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif masih dilakukan dengan cara penyemaian biji dan pengambilan anakan atau cabutan langsung dari alam atau hutan. Namun cara ini kurang dapat menjadi solusi bagi kelangkaan gaharu. Hal ini disebabkaan karena ketersediaan biji dilapangan yang terbatas. Sedangkan untuk perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan teknik stek batang, stek pucuk, cangkok batang dan kultur jaringan (Tarigan, 2004).

Manfaat Gaharu

Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bentuk kayu bulat, cacahan, bubuk atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap produk yang dihasilkan memiliki sifat dan warna yang berbeda. Kayu gaharu memiliki manfaat yang besar dalam industri perkayuaan di mana kayunya digunakan dalam industri pembuatan kotak pembungkus, papan lapis, cenderamata, perabot, sepatu, sarung senjata,

chopstick dll. Selain itu gaharu banyak juga digunakan dalam upacara keagamaan Cina, Yunani, Ayurvedic dan upacara kaum di Tibet. Di Timur Tengah, gaharu biasanya digunakan sebagai pengharum rumah.

(4)

Selain itu secara klinis gaharu juga dapat digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakatnya. Seperti obat untuk penyakit ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sironis, pembengkakan lever, limpa bahan antibiotik untuk TBC, reumatik, kangker, malaria radang lambung dll. Selain itu gaharu juga sudah dimanfaatkan bukan hanya gubalnya akan tetapi bagian daun, batang, kulit batang dan akarnya juga sudah dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan, 2004).

Kandungan yang Terdapat pada Gaharu

Dari analisis kandungan kimia yang telah dilakukan gaharu memiliki enam komponen utama berupa furanoid sesquiterpen diantaranya a-agarofuran,b-agarofuran

dan agarospirol. Selain itu gaharu juga mengandung minyak berupa chromone.

Chromone biasanya dapat menyebabkan bau harum dari gaharu ketika dibakar. Sementara kandungan minyak atsiri yang banyak dikandung gaharu adalah

sequiterpenoida, cudesmana dan paleman (Sumarna, 2005).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan / cultur In Vitro / Tissue Culture adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali (Trisetyagunadi, 2008).

Menurut Yusnita (2003) ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam melaksanakan teknik kultur jaringan yaitu :

(5)

a. Mengetahui teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann yaitu sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan mempunyai kemampuan totipotensial. Totipotensial adalah kemampuan setiap sel, yang dimbil dari suatu tempat dan apabila diletakkan pada tempat yang lain dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna .

b. Memahami konsep Skoog dan Miller yang menyatakan bahwa regenerasi tunas dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan auksin.

Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu.

c. Memahami sifat kompeten, diferensiasi dan determinasi dimana suatu sel akan dikatakan kompeten apabila sel atau jaringan tersebut mampu memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan atau signal hormonal.

d. Memahami tata cara perbanyakan tanaman secara kultur jaringan

Dalam melakukan kultur jaringan pekerjaan yang dilakukan meliputi: pemilihan dan penyiapan tanaman induk sumber eksplan, inisiasi kultur, persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri (Dinyunita, 2007).

Teknik kultur jaringan ini memiliki beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan teknik yang lain. Adapun keuntungannya yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar dan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya. Teknik ini

(6)

sangat bermanfaat untuk tanaman-tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Adapun tanaman yang telah berhasil diperbanyak antara lain tanaman hias (anggrek dan mawar), tanaman obat (purwoceng dan bidara upas), tanaman berkayu (jati dan cendana), serta tanaman buah-buahan (pisang dan manggis) (Dinyunita, 2007).

Namun demikian ada beberapa kendala teknik yang sering ditemukan, sebagai penghambat keberhasilan teknik kultur jaringan ini antara lain, adanya mutasi pada bibit yang dihasilkan sehingga tidak sama dengan pohon induknya, tingkat keberhasilan induksi perakaran dari tunas yang telah dibentuk secara in vitro sedikit, aklimatisasi (adaptasi tanaman hasil kultur jaringan pada lingkungan yang baru di luar botol kultur) sering gagal, tingkat keanekaragamannya di setiap generasi turun terutama apabila sering dilakukan subkultur, kurang sterilisasi bahan tanaman sehingga sering terjadi kontaminasi pada biakan serta diperlukan tenaga kerja yang intensif, terdidik serta mempunyai keterampilan khusus (Mariska dan Sukmadjaja, 2003).

Teknik kultur akan berhasil dengan baik apabila syarat yang diperlukan telah terpenuhi dengan baik. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium yang sesuai, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik. Untuk eksplan tanaman yang baik digunakan adalah bagian tanaman yang masih muda yaitu bagian meristemnya (Harahap, 2005).

Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) terdapat beberapa teknik kultur jaringan tanaman yaitu:

1. Kultur meristem yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan tanaman yang masih muda

(7)

2. Kultur antera yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan serbuksari dari tanaman tersebut

3. Kultur embrio yaitu memisahkan embrio tanaman yang belum dewasa dan menumbuhkannya secara kultur jaringan untuk mendapatkan tanaman yang viabel 4. Kultur protoplasma yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari

protoplasma. Dimana protoplasma adalah sel hidup yang telah dihilangkan selnya. Teknik kultur akan berhasil dengan baik apabila syarat yang diperlukan telah terpenuhi dengan baik. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium yang sesuai, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik. Untuk eksplan tanaman yang baik digunakan adalah bagian tanaman yang masih muda yaitu bagian meristemnya (Harahap, 2005).

Menurut Santoso dan Nursandi (2004) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan yaitu:

1. Genotipe

Pada beberapa jenis tumbuhan embrio mudah tumbuh akan tetapi pada beberapa jenis tumbuhan lain sukar untuk tumbuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultivar dari jaringan yang sama

2. Komposisi media makanan

Media untuk pertumbuhanembrio harus mengandung unsur hara makro, unsur hara mikro dan gula. Faktor penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah adanya ion ammonium dan potassium.

(8)

Suplai oksigen yang cukup sangat menentukan laju multiplikasi tunas dalam usaha perbanyakan secara In vitro.

4. Cahaya

Kadang-kadang untuk perkembangan embrio membutuhkan tempat gelap kira-kira selama 7-14 hari. Baru dipindah ke tempat terang untuk pembentukan klorofil.

5. Temperatur

Temperatur optimum yang dibutuhkan umumnya tergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan.Secara normal temperatur yang digunakan adalah antara 220-280 C.

6. Lingkungan yang aseptik

Kondisi lingkungan sangat menentukan terhadap tingkat keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan

Perbanyakan melalui kultur jaringan dikatakan berhasil apabila memenuhi beberapa kriteria, menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) kriteria yang harus dimiliki adalah:

1. Tidak merubah sifat genetik tanaman induk apabila dilakukan perbanyakan secara klonal.

2. Seleksi yang kuat pada bahan tanaman yang bebas penyakit.

3. Pemindahan tanaman / bibit hasil kultur jaringan ke dalam tanah tidak sukar. 4. Teknik perbanyakannya tidak terlalu rumit.

(9)

Media Kultur Jaringan

Pada awalnya media kultur jaringan memiliki komposisi yang didasarkan pada bahan-bahan yang digunakan untuk kegiatan hydroponic yang berkembang sebelumnya. Biasanya dalam kultur jaringan unsur hara diberikan dalam bentuk garam organik. Pada perkembangan selanjutnya para peneliti mulai menambahkan vitamin, senyawa kompleks dan zat pengatur tumbuh (Santoso dan Nursandy, 2004).

Menurut Hendaryono dan Wijayati (1994) menyatakan bahwa dalam kultur jaringan ada beberapa jenis media yang umum digunakan yaitu:

1. Medium dasar B5 atau Gamborg biasanya digunakan unttuk kultur suspensi sel kedelai, a alfafa, legume dll

2. Medium dasar White biasanya digunakan untuk kultur akar. Medium ini merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang sangat rendah

3. Medium VW biasanya digunakan khusus untuk media anggrek 4. Media WPM biasanya digunakan untuk tanaman berkayu

5. Media MS adalah media yang paling banyak digunakan. Media ini merupakan media yang sangat lengkap kandungan unsur hara nya dan biasanya diperkaya juga oleh adanya vitamin dan hormon. Namun untuk berbagai jenis tanaman biasanya media ini masih tetap digunakan sebagai media dasar, yang berbeda adalah kombinasi maupun konsentrasi dari media tersebut.

Zat Pengatur Tumbuh ( ZPT)

Konsep ZPT diawali dengan konsep hormon tanaman, hormon ini adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam konsentrasi yang rendah dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dari tanaman. Proses ini seperti pembukaan stomata,

(10)

translokasi serta penyerapan hara. ZPT sangat dibutuhkan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan ZPT dalam medium biasanya pertumbuhan tanaman akan sangat lambat. Pembentukan kalus dan organ-organ tanaman ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari ZPT tersebut (SantosodanNursandi, 2005).

Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang kalus, suspensi sel dan organ. Golongan auksin yang sering ditambahkan dalam medium adalah 2,4-D (2,4-Dikhloro fenoksiasetat), IAA (Indol Asam Asetat), NAA (Naftalen Asam Asetat) dan IBA (Indol Buterik Asetat). Dalam kultur jaringan ada sel-sel yang dapat tumbuh dan berkembang tanpa auksin.

Sedangkan golongan sitokinin yang sering ditambahkan dalam medium antara lain Kinetin, Zeatin, dan Benzilaminopurin(BAP). Golongan ini merupakan turunan dari adenin. Sitokinin ini sangat penting peranannya dalam pembelahan sel dan morfogenesis. Menurut Hendaryono (1994) ada beberapa fungsi sitokonin yang sangat penting bagi tanaman yaitu:

1. Memacu terbentuknya organogenesis dan morfogenesis 2. Memacu terjadinya pembelahan sel

3. kombinasi antara auksin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.

Menurut Santoso dan Nursandi (2005) menyatakan bahwa penggunaan Giberilin dalam kultur jaringan tanaman, berperan dalam membantu proses morfogenesis. Tetapi dalam kultur kalus dimana pertumbuhan tanaman sudah cepat hanya dengan auksin dan sitokinin, maka penambahan Giberelin sering menghambat.

(11)

Pada umumnya Giberelin terutama GA3 menghambat perakaran. Secara umum

fungsi Giberelin adalah: 1. Mematahkan dormansi 2. Memicu perkecambahan

3. memacu terjadinya proses imbibisi

IAA, NAA dan IBA biasanya digunakan dengan konsentrasi 0.01-10 mg/l. Untuk percobaan eksplorasi, biasanya konsentrasi yang digunakan 0.01mg/l, 0.1 mg/l dan 1 mg/l dan 10 mg/l. Selain auksin, sitokinin juga sangat dibutuhkan dalam kultur jaringan. Sitokinin biasanya sangat berpengaruh terutama pada proses pembelahan sel. Biasanya kedua hormon ini digunakan secara bersama-sama sehingga dihasilkan interaksi terhadap diferensiasi jaringan tanaman (Mariska, 2002).

Kondisi Lingkungan

Menurut Yusnita (2003) menyatakan bahwa dalam kultur jaringan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yang berhubungan dengan kondisi lingkungan yaitu:

1) pH (Keasaman) dimana sel-sel yang dikembangkan dengan kutur jaringan memiliki toleransi pH yang relatif sempit dan tidak normal antara 5-6. Bila eksplan sudah tumbuh biasanya pH dalam media umumnya akan naik

2) Kelembaban dimana biasanya mendekati 100%. Kelembaban sangat berpengaru pada pola pengembangannya.

3) Cahaya dimana intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Cahaya ultra violet dapat mendorong pertumbuhan dan pembentukan tunas dari kalus pada intensitas yang rendah. Intensitas cahaya yang

(12)

optimum untuk tanaman pada kultur jaringan 0-1000 lux (inisiasi), 1000-10000 (multiplikasi), 10000-30000 (pengakaran) dan 30000 ke atas untuk aklimatisai. 4) Temperatur atau suhu juga berpengaruh terhadap kesehatan tanaman yang

dikulturkan. Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah 26±20C. Untuk kebanyakan tanaman suhu yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan suhu yang terlaalu tinggi dapat membuat tanaman merana.

Masalah dalam Kultur Jaringan

Dalam kegiatan kultur jaringan, tidak sedikit masalah yang dapat terjadi yang menyebabkan kegagalan dalam kultur jaringan. Permasalahan yang dihadapi biasanya ada yang dapat diprediksi sebelumnya dan ada yang sulit dipredikasi. Masalah yang biasa timbul dalam kegiatan kultur jaringan adalah :

a.Kontaminasi

kontaminasi adalah gangguan yang paling sering terjadi dalam kegiatan kultur jaringan. Kontaminasi biasanya dapat kita lihat dari jenis kontaminannya seperti bakteri, jamur, virus dll. Selain itu dapat juga berdasarkan waktunya yaitu ada yang dalam hitungan jam, ada yang dalam hitungan hari dan ada juga yang dalam hitungan bulan atau minggu, serta berdasarkan apa yang terkontaminasi seperti media atau eksplan.

b. Browning

Browning/pencoklatan adalah suatu karakter yang muncul yang sering menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Biasanya menyebabkan perubahan warna pada eksplan ada yang hitam atau cokelat. Hal ini merupakan terjadi

(13)

perubahan aditif dari eksplan yang disebabkan oleh pengaruh fisik maupun biokimia (memar, luka, atau serangan penyakit).

c. Vitrifikasi

Vitrifikasi umunya terjadi akibat kegagalan pada proses pembentukan daging sel dan hambatan pada proses pembentukan lignin. Hal ini dapat diatasi dengan cara menaikkan sukrosa, menambah pektin, memindahkan eksplan pada suhu 40C selama 15 hari. dll.

Referensi

Dokumen terkait

Desain penelitian ini adalah penelitian kuanti-tatif dengan pengujian hipotesis yang bertujuan un- tuk menguji pengaruh keterlibatan pemakai dalam proses pengembangan

Bagi pelamar yang berusia Iebih dan 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 40 (empat puluh) tahun pada tanggal 1 Januari 2010 tahun yang bekerja pada pelayanan

Bab ini menyajikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran berupa rekomendasi yang berguna untuk industri minyak dan gas bumi atau peneliti lain dalam

MI Negeri 1 Banjarnegara merupakan nama sebuah lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah yang tempatnya di desa Purworejo Kecamatan Purwareja Klampok

Tipe paling umum dari mesin ini adalah mesin pembakaran dalam putaran empat stroke yang membakar bensin. Pembakaran dimulai oleh sistem ignisi yang membakaran spark

Khusus dalam penyusunan skripsi ini dilakukan penelitian dengan mengkaji dasar-dasar Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur mengenai Koperasi dengan

Dalam opini saya, informasi mengenai solar window ini dapat memperbaiki: (1) pemahaman orientasi bangunan yang keliru, yang selalu digeneralisasikan, bahwa orientasi bangunan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh mantan PSK dari pekerjaan yang dimilikinya yaitu berdagang dan menjahit telah