• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN (INSECURE ATTACHMENT) DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA AKHIR PUTRI DALAM MASA BERPACARAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN (INSECURE ATTACHMENT) DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA AKHIR PUTRI DALAM MASA BERPACARAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN

(

INSECURE ATTACHMENT

) DENGAN PERILAKU SEKSUAL

PRANIKAH PADA REMAJA AKHIR PUTRI DALAM MASA

BERPACARAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

oleh:

Lisabetha Elok Reno Viasti

NIM : 09 9114 096

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

(5)

v

Mengerjakan karya tulis ini merupakan bukti perjuangan mengalahkan ego

Karya ini saya persembahkan untuk siapa saja

Yang merasa ikut memperjuangkannya dan menginginkannya

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Januari 2014 Penulis

Lisabetha Elok Reno Viasti

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TIDAK AMAN (INSECURE

ATTACHMENT) DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA

REMAJA AKHIR PUTRI DALAM MASA BERPACARAN

Lisabetha Elok Reno Viasti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui hubungan antara kelekatan tidak aman (insecure attachment) dengan perilaku seksual pranikah. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kelekatan tidak aman (insecure attachment) dalam diri seseorang dengan perilaku seksual pranikah. Subyek dalam penelitian ini adalah 151 orang remaja akhir putri dengan batasan usia 17-24 tahun. Alat pengumpulan data yang digunakan untuk kelekatan tidak aman (insecure attachment) adalah Experiences in Close Relationship (ECR), sedangkan untuk perilaku seksual pranikah adalah skala perilaku seksual pranikah. Hasil uji coba pada alat ukur Experiences in Close Relationship (ECR) menyatakan 32 aitem sah dengan reliabilitas 0,967. Hasil korelasi yang diperoleh adalah -0,139 pada taraf signifikansi 0,000 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kelekatan tidak aman (insecure attachment) dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir putri dalam masa berpacaran ditolak.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN INSECURE ATTACHMENT WITH PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOR ON FEMALE IN LATE ADOLESCENCE

IN CLOSE RELATIONSHIP

Lisabetha Elok Reno Viasti

ABSTRACT

The aim of this research is to know the correlation between insecure attachment with premarital sexual behavior on female in late adolescence in close relationship. The hyphotesis in this research, there is correlation between insecure attachment with premarital sexual behavior. The subject in this research is female in late adolescence in constrain from 17-24 years old. The data collection tool which used for the insecure attachment is experiences in close relationships scale (ECR) and premarital sexual behavior scale. Try-out result in experiences in close relationship scale (ECR) asserts 32 valid items with 0,967 reliability. The result obtained from the data analysis is -0,139 by 0,000 probability ( p < 0,05). That result indicate that hypothesis that there is a relationship between insecure attachment with premarital sexual behavior on female in late adolescence in countership rejected.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Lisabetha Elok Reno Viasti

Nomor Mahasiswa : 099114096

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH DENGAN

KELEKATAN TIDAK AMAN (INSECURE ATTACHMENT) PADA

REMAJA AKHIR PUTRI DALAM MASA BERPACARAN

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 29 Januari 2014

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia

memberkati penulis dengan semangat dan rahmat yang tiada terhingga, sehingga

skripsi yang berjudul “hubungan antara kelekatan tidak aman (insecure

attachment) dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir putri pada masa

berpacaran”, dapat diselesaikan.

Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah memberikan

dukungan bagi penulis berupa dukungan moral dan dukungan material. Oleh

karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih pada :

1. Bpk Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini dan memberikan

dukungan kepada penulis.

2. Y. Heri Widodo., M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik, saran, dan

motivasi yang bermanfaat bagi penulis. Terimakasih juga atas

kesabarannya selama proses bimbingan.

3. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing akademik yang

memberikan dorongan agar penulis segera menyelesaikan studi.

4. Bapak GMS. Agung Basuki SH, MH. beserta Ibu Irene Ari Widyawati

(11)

xi

materil tetapi juga dukungan moril dan spiritual yang tidak ada

habis-habisnya.

5. Nenek tersayang Ibu Sudinah dan adik tersayang Wilfrida Pramuditha

untuk doa dan kasih sayang yang menguatkan.

6. Bramanto Ranggamukti, S.Psi. selaku sahabat, kakak, rival, sekaligus

teman spesial yang berbagi cerita suka duka masa kuliah.

7. Rekan-rekan seperjuangan di fakultas psikologi.

8. Teman-teman Fakultas Psikologi Sanata Dharma Angkatan 2009 yang

luar biasa mengesalkan namun sangat membantu di lain sisi dengan

segala cerita dan kesan.

9. Kakak-kakak tercinta di TN (Tumindak Ngiwo) untuk semua

pendampingan dan kekeluargaan.

10.Teman-teman penelitian payung Stenny, Rani, Ginza dan Laksmi yang

sudah bersama-sama melewati masa-masa kritis.

11.Teman-teman SMA yang masih terus berkomunikasi.

12.Bapak/ Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah

mendampingi selama masa studi.

13.Para karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

memberikan bantuan dan kemudahan.

14.Para pengisi skala yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi

ini.

15.Untuk semua pihak yang telah meluangkan waktu untuk membantu yang

(12)

xii

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis membuka diri terhadap saran dan kritik terhadap karya tulis ini, sehingga

di masa yang akan datang karya-karya penulis dapat menjadi lebih baik. Pada

akhirnya, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... …i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ... ..iii

HALAMAN MOTTO ... ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... …v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ..vi

ABSTRAK ... .vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ..ix

KATA PENGANTAR ... ...x

DAFTAR ISI………...xiii

DAFTAR TABEL………...xvii

BAB I : PENDAHULUAN ... ..1

A. Latar Belakang ... ..1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 12

(14)

xiv

1. Pengertian Remaja Akhir ... 12

2. Ciri Remaja Akhir Putri ... 12

3.Tugas Perkembangan Remaja Akhir ... 14

4.Tahap Perkembangan Seksualitas pada Remaja Akhir Putri ... 15

5.Pengertian Berpacaran...18

B. Perilaku Seksual Pranikah ... 19

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah ... 19

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 20

3. Dampak Perilaku Seksual Pranikah ... 23

4. Faktor-faktor Perilaku Seksual Pranikah ... 25

C. Kelekatan (Attachment) ... 27

1. Pengertian Kelekatan (Attachment) ... 27

2. Tipe-tipe Kelekatan (Attachment) ... 28

3. Fase-Fase Kelekatan (Attachment) ... 32

4 Faktor-faktor Kelekatan (Attachment) ... 34

5 Dampak Kelekatan (Attachment) ... 36

D. Dinamika ... .41

E. Hipotesis ... .45

BAB III : METODE PENELITIAN ... .46

A. Jenis Penelitian ... 46

B. Identifikasi Variabel ... .46

C. Definisi Operasional ... .46

(15)

xv

E. Subjek Penelitian ... .48

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... .48

1. Metode Pengumpulan Data………48

2. Alat Pengumpulan Data……….49

G. Kredibilitas Alat Ukur ... .53

1. Estimasi Validitas ... .53

2. Seleksi Item ... 54

3. Estimasi Reliabilitas ... 55

H. Uji Asumsi Data ... 56

1. Uji Normalitas ... .56

2. Uji Linearitas ... 57

I. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 57

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Pelaksanaan Penelitian ... 58

B. Data Demografi Subjek Penelitian ... 58

C. Uji Asumsi ... 59

1. Uji Normalitas ... 59

2. Uji Linearitas ... 60

D. Hasil Penelitian... 61

1. Uji Hipotesis ... 61

2. Deskripsi Data Penelitian ... 61

(16)

xvi

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipe kelekatan dewasa (adult attachment)... 30

Tabel 3.1 Skor item perilaku seksual pranikah ... 50

Tabel 3.2 Blue print skala perilaku seksual pranikah ... 51

Tabel 3.3Skor item experiences in close relationships scale (ECR) ... 52

Tabel 3.4 Blue print experiences in close relationships scale (ECR) sebelum uji coba ... 52

Tabel 3.5 Blue print experiences in close relationships scale (ECR) setelah uji coba ... 55

Tabel 4.1 Data usia subjek penelitian ... 59

Tabel 4.2 Data domisili subjek penelitian ... 59

Tabel 4.3 Data mean teoritis dan empiris skala perilaku seksual pranikah dan experiences in close relationships scale (ECR) ... 62

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan

berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.

Dalam teori hirarki kebutuhan disebutkan bahwa salah satu kebutuhan

manusia yang harus dipenuhi untuk mencapai aktualisasi diri adalah

kebutuhan untuk mencintai dan dicintai (Maslow dalam Hall dan Lindzey,

1993). Sejalan dengan teori Maslow, McClelland juga berpendapat bahwa

individu memiliki kebutuhan untuk menjalin afiliasi dengan sesamanya

sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar (Huffman, Vernoy, dan Vernoy,

1997).

Fungsi relasi interpersonal bagi individu berbeda-beda seiring dengan

tahap perkembangannya. Masa remaja sampai dengan masa dewasa awal

adalah masa penting dalam pemenuhan kebutuhan akan relasi interpersonal.

Pada masa remaja, individu menggunakan relasi interpersonal sebagai

pembentuk identitas diri. Sedangkan masa dewasa awal, merupakan masa

bagi individu mengembangkan relasi interpersonal yang lebih intim (Erikson

dalam Santrock, 1995).

Ketika beranjak remaja, individu memiliki bentuk relasi yang lebih

kompleks, yaitu relasi pertemanan (friendship) dan selanjutnya relasi

interpersonal yang lebih intim (romantic). Relasi interpersonal yang sifatnya

(19)

berpacaran. Pada masa ini, berpacaran memiliki fungsi sebagai salah satu

usaha untuk menyeleksi pasangan (Santrock, 2009).

Seleksi pasangan merupakaRen hal yang penting. Hal ini berkaitan

dengan tugas individu selanjutnya yaitu untuk mempersiapkan perkawinan

dan kehidupan berkeluarga. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Ardhianita (2005) ditemukan bahwa pernikahan yang melalui proses

berpacaran akan lebih memuaskan dibandingkan yang tidak. Tren pernikahan

masa kini membebaskan seseorang untuk memilih pasangan hidupnya sendiri

tanpa melalui proses perjodohan. Oleh sebab itu, berpacaran menjadi media

seleksi pasangan yang dinilai efektif. Melalui berpacaran individu berproses

untuk lebih mampu mengenal pasangan dengan baik.

Salah satu aspek lain yang penting dalam mempersiapkan perkawinan

dan kehidupan berkeluarga adalah pemahaman atas seksualitas. Oleh sebab

itu, pendidikan seksual sangat penting diberikan sejak dini. Hal ini bertujuan

untuk mengurangi dampak negatif yang dapat dimunculkan karena minimnya

pengetahuan seksual. Dampak negatif tersebut antara lain perilaku seksual

pranikah yang berakibat kehamilan diluar pernikahan serta ketidakmampuan

menjaga kesehatan reproduksi (Suminar, 2012).

Perilaku seksual pranikah menurut Kartono (2006) adalah perilaku

yang didorong oleh hasrat seksual yang bertentangan dengan sistem

tradisional dan norma yang berlaku pada masyarakat. Pernyataan serupa juga

disampaikan oleh Sarwono (2012) bahwa perilaku seksual pranikah adalah

semua perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan antara pria

(20)

(2002) juga mengungkapkan perilaku seksual pranikah adalah semua perilaku

seksual yang dilakukan tanpa proses pernikah yang sah secara agama atau

kepercayaan kedua belah pihak. Dengan demikian, berdasarkan

definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah

kegiatan yang dilandasi oleh hasrat seksual oleh pria dan wanita yang tidak

melalui proses pernikahan yang sah secara agama dan hukum negara.

Merujuk dari definisi perilaku seksual pranikah dapat diambil

kesimpulan bahwa perilaku seksual pranikah akan memberi dampak negatif

bagi remaja yang melakukannya khususnya bagi remaja putri. Berbeda

dengan remaja putra, remaja putri mengalami dampak psikologis yang lebih

berat. Perasaan bersalah setelah melakukan perilaku seksual pranikah dapat

memicu munculnya perasaan tidak berharga dan perasaan takut kehilangan

atau ditinggalkan (Kartono, 2012).

Perilaku seks pranikah dapat memicu munculnya masalah-masalah

baru bagi kehidupan remaja. Sebagai salah satu contoh adalah penelitian yang

dilakukan oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Dalam situs

resminya, KPAI menyatakan sebuah fakta yang cukup mengejutkan bahwa

sebanyak 21,2 persen remaja putri di Indonesia pernah melakukan aborsi

(“Remaja Indonesia Pernah Melakukan Aborsi”, tanpa tahun). Kehamilan

pada masa remaja memperbesar risiko kesehatan tidak hanya pada anak tetapi

juga pada ibu, sehingga bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang masih remaja

umumnya memiliki kesehatan yang buruk (Santrock,1995). Di sisi lain,

(21)

perasaan bersalah kepada norma masyarakat atau sosial bagi para pelakunya

(Mosher, 1971).

Berkaitan dengan maraknya kasus mengenai perilaku seksual

pranikah, sebuah situs berita online melansir survey yang dilaksanakan oleh

BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Dalam

surveynya, BKKBN menyatakan bahwa pada saat ini masalah yang dihadapi

oleh remaja bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan narkoba dan

HIV/AIDS saja melainkan juga persoalan mengenai perilaku seksual

pranikah. Survey yang dilakukan oleh BKKBN di Jakarta pada tahun 2012

menemukan bahwa jumlah kasus yang harus ditangani berkaitan dengan

kasus perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja mencapai 26,7

persen dari total penduduk. Sebelumnya pada tahun 2007, BKKBN

menemukan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan hal yang biasa

dalam kehidupan remaja di Indonesia (“Seks Bebas Masalah Utama di

Indonesia”,2012).

Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Kementrian Kesehatan yang dilaksanakan pada tahun 2009 berkaitan dengan

perilaku seks bebas remaja di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan,

Bandung, dan Surabaya. Sebanyak 35,9 persen remaja memiliki teman yang

sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Bahkan 6,9 persen

responden menyatakan bahwa ia sudah pernah melakukan hubungan seksual

pranikah (“Seks Bebas Masalah Utama di Indonesia”, 2012).

Sejalan dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian awal yang

(22)

mendapati fakta bahwa 88,49% mahasiswi tersebut pernah melakukan

hubungan seksual pranikah (Danastri, Permatasari, Viasti, Prawitasari, dan

Nugrahaeni, 2013). Di kota Yogyakarta sendiri, maraknya pemberitaan

berkaitan dengan perilaku seks pranikah didukung mulai banyak

bermunculannya tempat hiburan malam (diskotik), kos bebas, agen penjualan

obat kuat dan alat kontrasepsi yang muda diakses serta jasa aborsi yang

terbuka. Hal yang lebih memprihatinkan adalah akses yang cukup terbuka

berkaitan dengan informasi pekerja seks komersial di kalangan remaja

maupun mahasiswa yang biasa disebut “ayam kampus” (“Mengintip

Fenomena Seks Bebas Kalangan Mahasiswi Di Yogyakarta”, 2013) .

Beberapa hal menjadi faktor yang mendorong seorang remaja

melakukan perilaku seks pranikah. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa

alasan remaja berhubungan seks adalah karena adanya unsur pemaksaan dari

pasangan, perasaan sudah siap dalam diri individu, kebutuhan akan rasa

dicintai, dan perasaan malu ditertawakan dalam pergaulan karena masih

perawan atau perjaka (Santrock dalam Sarwono 2012).

Hasil studi Pustaka Komunikasi FISIP UI pada tahun 2005 di 3 kota

(Palembang, Manado, dan Sumenep) menunjukkan beberapa fakfor eksternal

yang mendorong seseorang melakukan perilaku seks pranikah. Faktor-faktor

tersebut antara lain ketersediaan dan kemudahan menjangkau media

pornografis merupakan faktor stimulan utama bagi remaja untuk melakukan

perilaku seksual pranikah, sedangkan pengaruh lingkungan dan teman sebaya

(23)

Berbicara mengenai permasalahan yang dihadapi remaja tidak lepas

dari peran serta orang tua. Ada keterkaitan yang tidak terputus antara seorang

individu dengan orang tuanya, sebab orang tua adalah lingkungan sosial

pertama bagi seorang individu.

Hubungan antara seorang individu dengan orangtuanya akan

membentuk kelekatan (attachment) dalam masa kanak-kanaknya. Kelekatan

kanak-kanak (child attachment) akan mempengaruhi terbentuknya kelekatan

pada masa dewasa (adult attahchment) dan kelekatan ini akan mempengaruhi

bagaimana seorang individu akan berelasi dalam lingkungan sosial

(Morsunbul, 2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Giudice (2009)

mengemukakan bahwa ada hubungan antara kelekatan (attachment) dan

seksualitas manusia. Dikatakan bahwa kelekatan (attachment) yang muncul di

masa kanak-kanak memiliki makna adaptif bagi seorang individu hingga

masa dewasa. Stres psikososial dan kelekatan tidak aman (insecure

attachment) akan memberi dampak bagi kehidupan seksual seseorang. Oleh

sebab itu, seseorang dengan kelekatan tidak aman (insecure attachment) akan

memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku yang menyimpang salah

satunya perilaku seks pranikah.

Kelekatan (attachment) menurut Bowbly (1973) adalah ikatan

afeksional yang dimiliki seseorang dengan orang lain. Lebih lanjut Simpson

(1990) mengatakan bahwa kelekatan berevolusi secara adaptif dan

membentuk model mental yang berisi pandangan individu terhadap diri

(24)

kepercayaan, dan harapan individu akan responsitas dan sensitivitas

emosional dari figur lekat yang berpengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan

perilaku (Karandashev, 2000).

Kelekatan bersifat adaptif yang berkembang melalui proses natural.

Kelekatan pada awalnya terbentuk dari kedekatan antara bayi dengan orang

tua (biasanya figur ibu). Kedekatan bayi dengan orang tua akan memunculkan

perasaan aman dalam diri bayi tersebut. Perilaku ini memberikan keuntungan

bagi bayi untuk bertahan dan merasa terlindung dari bahaya dengan membuat

diri mereka tetap dekat dengan pengasuh utama dalam hal ini orang tua

(Mikulincer, 2007). Hal ini berlaku sebaliknya, ketika seorang anak

mengalami perasaan tidak aman (insecure) dengan pengasuh utama maka

perilaku yang muncul adalah ketidakmampuan untuk bertahan dan perasaan

tidak terlindungi.

Figur lekat bagi seseorang berubah seiring dengan perkembangan diri

orang tersebut. Dalam perjalanan hidup individu akan cenderung merasa lebih

aman jika figur lekatnya ada dan akan memunculkan perasaan tidak aman

ketika figur lekatnya tidak ada (Feeney, 1996). Jika pada masa anak-anak

figur lekat seseorang adalah orang tua sebagai pengasuh utama maka ketika

seseorang beranjak dewasa figur lekat tersebut beralih pada pasangan.

Hazan dan Shaver (dalam Feeney, 1996) berpendapat bahwa cinta

romantis dapat dikonseptualisasikan sebagai proses kelekatan (attachment).

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Bowbly yang mengungkapkan bahwa

melalui proses mengembangkan relasi antara pasangan yang saling mencintai

(25)

romantis kelekatan (attachment) akan terwujud karena adanya kepuasan

hubungan karena terpenuhinya kebutuhan serta orang lain yang mampu

memberikan rasa nyaman dan memunculkan kepercayaan diri.

Sifat adaptatif dari kelekatan (attachment) juga menggambarkan

bahwa kelekatan pada masa anak-anak (child attachment) akan

mempengaruhi kelekatan mereka pada masa dewasa (adult attachment). Oleh

sebab itu, jika pada masa anak-anak seseorang merasa aman (secure) dengan

figur lekatnya, maka ketika dewasa juga akan merasa aman (secure).

Sebaliknya, jika pada masa anak-anak seseorang merasa tidak aman

(insecure) maka ketika dewasa orang tersebut juga akan merasa tidak aman

(insecure) (Morsunbul, 2009).

Karakteristik dalam relasi romatis adalah individu memiliki peran

sebagai pemberi sekaligus penerima kasih sayang dalam bentuk fisik, emosi

dan material tergantung kebutuhan dan situasi (Feeney, 1996). Pengalaman

sosial yang berbeda pada masa anak-anak akan menghasilkan perbedaan gaya

berelasi yang akan bertahan lama termasuk juga ketika orang terebut

menjalani relasi romantis. Terdapat 3 gaya kelekatan (attachment) utama

pada masa bayi yaitu aman (secure), menghindar (avoidant), dan cemas

(anxious-ambivalent) yang akan termanifestasi pada hubungan di masa

dewasa (Hazan and Shaver, dalam Feeney 1996).

Dalam relasi cinta romantis salah satu komponen yang kuat adalah

hasrat seksual dan daya tarik serta perasaan yang terkait dengan daya tarik

(26)

tarik dari pasangan serta kelekatan (attachment) yang muncul dari pasangan

tersebut (Mikulincer, 2006).

Bagi individu dengan tipe kelekatan tidak aman cemas (anxiety

attachment) perilaku seksual merupakan salah satu bentuk relasi intim yang

berfungsi untuk menjaga relasi dengan pasangan meskipun dalam keadaan

terpaksa. Hal ini menjadi tidak sehat karena individu dengan tipe kelekatan

ini berisiko untuk melakukan perilaku seksual yang tidak aman. Sifat

dependen pada individu dengan tipe kelekatan ini akan cenderung memiliki

kemampuan negosiasi yang buruk sehingga individu dengan tipe kelekatan ini

akan mudah melakukan perilaku seksual pranikah dengan pasangannya

dengan dalih menjadi bentuk dalam upaya menjaga komitmen ( Cooper,

2006).

Hal yang berbeda dirasakan oleh individu dengan tipe kelekatan tidak

aman menghindar (avoidant attachment). Individu dengan tipe kelekatan ini

pada dasarnya sangat tidak nyaman dengan relasi yang cenderung intim.

Sementara perilaku seksual merupakan bentuk relasi yang paling intim.

Mereka dengan tipe kelekatan ini dapat saja melakukan penundaan untuk

melakukan perilaku seksual akan tetapi pada dasarnya perilaku ini tidak dapat

terhindarkan. Oleh sebab itu, pada akhirnya individu dengan tipe kelekatan

ini tetap berusaha memenuhi kebutuhan akan perilaku ini. Di sisi lain, mereka

memiliki kecenderungan untuk memiliki relasi seksual yang bebas dan santai,

sehingga mereka cenderung menyukai hubungan seksual yang singkat tanpa

ikatan dan jika sudah pernah melakukan hubungan seks akan sangat mungkin

(27)

Berdasarkan data faktual dan definisi singkat tentang dua variabel di

atas, penulis tertarik untuk mengetahui mengenai hubungan antarakelekatan

tidak aman (insecure attachment) dengan perilaku seksual pranikah pada

remaja akhir putri dalam masa pacaran.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang ingin diketahui melalui penelitian ini adalah

“Apakah terdapat hubungan antara kelekatan tidak aman (insecure

attachment) dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akhir putri yang

sedang berpacaran?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan kelekatan tidak aman (insecure attachment) dengan perilaku

seksual pranikah pada remaja akhir putri yang sedang berpacaran.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat baik secara praktis maupun teoritis. Adapun manfaat tersebut adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi

ilmu pengetahuan khususnya bidang Psikologi Perkembangan berkaitan

dengan kelekatan tidak aman (insecure attachment) dan perilaku seksual

(28)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi bagi

orangtua, pendamping sekolah maupun remaja putri berkaitan dengan

kelekatan tidak aman (insecure attachment) dan perilaku seksual pranikah.

Penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi orangtua dan pendamping

sekolah berkaitan dengan pengasuhan dan relasi yang baik dengan remaja

akhir putri berkaitan dengan relasi lawan jenis yang sehat. Penelitian ini

diharapkan juga dapat menjadi bahan acuan yang tepat guna memberikan

informasi yang tepat berkaitan dengan kelekatan tidak aman (insecure

attachment) dan perilaku seksual pranikah guna mengurangi

(29)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja Akhir

1. Pengertian Remaja Akhir

Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dalam kehidupan seseorang (Hamalik, 1995). Pada tahap

perkembangan ini, individu mengalami banyak perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek seperti, fisik, emosi, sosial, kognitif dan

psikologis. Di sisi lain, masa remaja juga dikenal dengan fase storm and stress yaitu masa yang penuh gejolak yang ditandai dengan banyak konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2003).

Masa remaja berlangsung antara rentang usia 11-21 tahun. Adapun pembagian fase remaja akhir yang dikemukakan oleh Sarwono (2012)

berlangsung pada rentang usia 17-21 tahun.

2. Ciri Remaja Akhir Putri a. Perkembangan Fisik

Perubahan fisik yang dialami remaja mencakup perubahan

eksternal dan internal. Perubahan eksternal mencakup perubahan tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, dan organ seks beserta

(30)

Pada remaja putri akhir, perkembangan fisik menjadi stabil dan

lebih nampak. Perubahan tersebut diantaranya payudara yang menjadi lebih penuh dan membulat serta rambut yang tumbuh disekitar

kemaluan dan ketiak (Santrock, 2003). Di sisi lain, siklus menstruasi pada remaja puti juga telah mengalami kestabilan.

Pada tahap remaja akhir, pertumbuhan tinggi badan juga relatif

berkurang. Bagi remaja putri pertumbuhan tinggi badan mulai melambat pada usia 18 tahun. Pada tahap remaja akhir, seorang

individu mulai mencapai kesempurnaan bentuk tubuh orang dewasa. b. Perkembangan Psikologis

Pada tahap perkebangan remaja akhir, remaja putri mulai

mengalami pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya. Oleh sebab itu, pada fase ini remaja putri memiliki kebebasan dalam menentukan keputusan-keputusan dalam hidupnya. Dengan demikian,

pada fase ini seorang individu dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks (Kartono, 2006).

Kekhasan dari remaja putri akhir adalah mulainya pergantian objek relasi afektif dari orang tua kepada teman dekat dalam hal ini pemuda atau teman sebaya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan

remaja yang cenderung lebih terbuka pada teman sebaya. Sebagaimana dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa remaja putri

(31)

untuk berkembang terhadap lingkungan sekitar dengan menyesuaikan

diri.

c. Perkembangan Sosial-emosional

Pada masa remaja, seorang individu cenderung lebih mampu mengungkapkan emosinya sendiri dan membaginya dengan orang lain. Hal ini tampak dari perubahaan mood yang meluap-luap seiring

dengan perkembangan hormon (Papalia, 2009). Proses sosial-emosi meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan individu lain

berkaitan dengan emosi, kepribadian dan peran dalam konteks perkembangan sosial. Pada tahap ini, individu mulai dapat membantah orang tua, bersikap agresif pada orang lain, serta bersikap asertif.

Secara sosial, remaja cenderung senang menarik perhatian dari lingkungan sekitar. Remaja juga mulai terikat dalam kelompok-kelompok karena meningkatnya pengaruh kelompok-kelompok sebayaa dan

remaja berusaha menyesuaikan diri pada kehidupan sosialnya. Di sisi lain, remaja juga mulai mengembangkan relasi dengan lawan jenis

(Santrock, 1995).

3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir

Tugas perkembangan remaja akhir menitikberatkan pada perubahan sikap dan perilaku kekanak-kanakan mencapa kemampuan

bersikap dan berperilaku secara lebih dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja adalah (Hurlock, 2004):

(32)

b. Menerima dan memahami peran seks.

c. Dapat membina hubungan baik dengan lawan jenis. d. Mencapai kemandirian emosional.

e. Mencapai kemandirian ekonomi.

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa. h. Mengembangkan sikap tanggung jawab yang diperlukan untuk

memasuki usia dewasa.

Berdasarkan uraian tugas perkembangan remaja tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tugas perkembangan remaja adalah

mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam menyikapi perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.

4. Tahap Perkembangan Seksualitas Pada Remaja Akhir Putri

Pada fase remaja akhir, seorang invidu telah mencapai taraf

kematangan seksualitas yang ditandai dengan kematangan organ reproduksi. Hal ini tampak dari kestabilan menstruasi yang dialami seorang individu (Sarwono, 2012).

Perkembangan seksual pada tahap ini mendapat pengaruh yang besar dari minat terhadap lawan jenis. Remaja putri akhir mulai memiliki

pola kencan yang lebih serius. Dorongan remaja putri berkaitan dengan hasrat seksualitas meningkat, tetapi tertahan oleh perkembangan moral

(33)

penahan pada remaja akhir untuk memuaskan dorongan seksualnya.

Namun, jika dorongan seks tersebut terlampau kuat maka remaja akan berada pada suatu konflik yang pada akhirnya akan lebih mengikuti

dorongan seksualnya dan mencari alasan untuk pembenaran diri (Sarwono, 2012).

Pada remaja putri yang berada pada tahap remaja akhir,

unsur-unsur seksual yang erotik lebih dihayati dibandingkan dengan remaja laki-laki yang artinya remaja putri memiliki kecenderungan untuk memiliki

pemahaman bahwa nilai-nilai berkaitan dengan erotisme seksualitas merupakan hal yang sakral. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan berkaitan anatomi tubuh. Remaja putri umumnya tidak memahami bahwa

alat kelamin mereka merupakan pemuas hasrat cinta, sehingga seringkali mereka menekan hasrat seksual mereka dan mengubahnya menjadi bentuk fantasi. Meskipun demikian fantasi tersebut tidak selamanya

mampu meredam gejolak seksual mereka. Akhirnya, mereka mengalami kebingungan dan rasa takut dalam diri mereka untuk memenuhi dorongan

tersebut, sehingga terkadang mencari jalan keluar yang keliru dalam mengatasi permasalahan itu salah satunya dengan perilaku seksual pranikah (Kartono, 2006).

Minat seksualitas yang cukup besar pada remaja ternyata memunculkan permasalahan. Dari berbagai hasil studi dapat ditarik

(34)

a. Aktivitas hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido).

Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu.

b. Penyaluran hasrat seksual tidak dapat serta merta dilakukan karena adanya penundaan perkawinan. Penundaan perkawinan ini didasari oleh adanya aturan hukum mengenai usia perkawinan sedikitnya 16

tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Akan tetapi, batasan usia ini masih harus menilik aturan hukum lain yang beranggapan

bahwa individu yang dianggap dewasa dan sudah mampu bertanggung jawab dengan keputusannya adalah individu berusia di atas 21 tahun. Dengan demikian, penundaan perkawinan dapat

ditinjau dari kedua dasar hukum tersebut. Di sisi lain, norma sosial dalam masyarakat modern menuntut hal lain sebagai persyaratan perkawinan antara lain pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan

lain-lain.

c. Penundaan usia perkawinan juga didukung dengan keberadaan

norma agama yang melarang seseorang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri maka akan cenderung untuk melanggar.

d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya peningkatan informasi dan rangsangan seksual melalui media massa

berteknologi canggih (contoh: internet, VCD, telepon genggam dan lain-lain). Remaja yang berada dalam periode ingin tahu dan ingin

(35)

atau didengarnya dari media massa. Kecenderungan ini mereka

lakukan karena mereka pada umumnya belum memahami secara lengkap masalah seksual.

e. Peran serta orang tua dalam pendidikan seksual juga merupakan hal yang penting. Akan tetapi, pada umumnya orang tua masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak. Hal ini akan

memicu anak untuk mencari tahu pada pihak lain yang cenderung tidak dapat dipertanggungjawabkan.

f. Semakin bebasnya pergaulan antara wanita dan pria dewasa ini juga dapat memicu pergaulan bebas.

5. Pengertian Berpacaran

Salah satu tugas perkembangan remaja yang berkaitan dengan seksualitas adalah pembentukan hubungan yang lebih matang dengan

lawan jenis (Hurlock, 2004). Berdasarkan tugas perkembangan tersebut, individu remaja terdorong untuk mewujudkan relasi yang

lebih intim dengan orang lain. Hubungan intim tersebut adalah hubungan romantis dan berpacaran (Diponegoro, 2004).

Menurut Loevinger (Diponegoro, 2004), hubungan pacaran

diawali dengan munculnya rasa tertarik dalam diri individu pada orang lain yang ingin dijadikan pasangan. Perasaan tertarik tersebut

kemudian memunculkan keinginan untuk melakukan pendekatan sebagai upaya pengenalan lebih jauh yang berupa berkencan (dating

(36)

kegiatan bersama sebagai bentuk dari proses pendekatan. Seperti

menonton bioskop, makan bersama, atau melakukan perilaku seksual (bergandengan tangan, berpelukan, atau berciuman).

Hadi (1998) menyatakan bahwa pacaran adalah sebuah upaya untuk saling mengenal antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai sebelum keduanya terikat dalam tali perkawinan. Melalui

hubungan pacaran, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai sikap dan tingkah laku orang lain.

Masing-masing pasangan memiliki kesempatan untuk belajar bagaimana cara menjaga kebersamaan dan bagaimana cara mendiskusikan serta memecahkan masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja yang berpacaran adalah remaja yang sedang melakukan proses pendekatan dan membangun kedekatan emosi dengan teman

sebaya, serta sedang menjalani proses saling mengenal, memahami, menyayangi, dan saling mencari kecocokan.

B. Perilaku Seksual

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal lain yang berkaitan dengan

perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Jadi, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik

(37)

Perilaku seksual pranikah menurut Kartono (2006) adalah perilaku

yang didorong oleh hasrat seksual, kebutuhan tersebut bertentangan dengan sistem tradisional dan norma yang berlaku pada masyarakat.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Sarwono (2012) bahwa perilaku seksual pranikah adalah semua perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan antara pria dan wanita diluar lembaga pernikahan yang

sah. Tidak jauh berbeda Mu’tadin (2002) juga mengungkapkan perilaku seksual pranikah adalah semua perilaku seksual yang dilakukan tanpa

proses pernikah yang sah secara agama atau kepercayaan kedua belah pihak.

Dengan demikian, berdasarkan definisi-definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah kegiatan yang dilandasi oleh hasrat seksual oleh pria dan wanita yang tidak melalui proses pernikahan yang sah secara agama dan hukum negara.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah terdiri dari beberapa macam perilaku, mulai dari perilaku sederhan sampai dengan intim. Berikut adalah bentuk-bentuk dari perilaku seksual pada manusia (Rathus, 1993):

a. Kissing (Berciuman)

Berciuman adalah bibir yang saling menyentuh satu sama lain.

Pasangan melakukan berciuman sebagai tahap awal atau selingan dalam melakukan hubungan intim. Di sisi lain, berciuman

(38)

dan merupakan bagian dari foreplay. Berciuman memiliki

tahapan-tahapan yaitu mencium sederhana (simple kissing) yang dilakukan dengan menjaga mulut mereka tetap tertutup. Pada tahap ciuman ini

dapat berkembang dengan sentuhan lembut dengan lidah atau gigitan kecil pada bibir. Ada pula tahap deep kissing (ciuman dalam) yang disebut juga french kissing. Pada tahap ini, pasangan saling

memasukkan bagian bibir dan lidah mereka ke mulut pasangan.

Ciuman juga dapat berbentuk ungkapan kasih tanpa sisi erotis

misalnya berupa kecupan selamat malam atau ciuman pipi sebagai sapaan relasi sosial. Meskipun demikian ciuman erotis tidak hanya sebatas ciuman di bibir saja, melainkan dapat berkembangan di bagian

tubuh lain seperti kaki, tangan, leher, daun telinga, paham dan daerah kelamin yang berfungsi untuk memberi rangsangan pada pasangan. b. Touching (Sentuhan)

Menyentuh atau membelai sebagai bentuk seksual adalah menyentuh atau membelai bagian-bagian yang dapat membangkitkan

gairah seksual pasangan dengan tangan. Bagian ini termasuk dalam foreplay. Pria dan wanita memiliki kebutuhan yang berbeda, pria lebih

menyukai sentuhan pada alat kelamin sebelum berhubunggan intim

sedangkan wanita menyukai genggaman, pelukan dan pijatan kecil pada tubuh sebelum berhubungan intim.

Sentuhan diaplikasikan dengan menyentuh organ intim seperti memegang alat kelamin yang bertujuan untuk memberikan

(39)

Bahkan sentuhan juga dapat dilakukan dengan memasukkan tangan

pada anus (fisting) yang berfungsi untuk memberi kenikmatan. c. Stimulation of the Breasts (Rangsangan pada Payudara)

Pria umumnya menikmati memberikan rangsangan pada payudara wanita. Demikian pula wanita juga menikmati rangsangan yang diberikan pada dada mereka. Rangsangan terutama ditujukan

pada puting. Hal ini disebabkan karena puting merupakan daerah yang paling sensitif dan mampu membangkitkan gairah seksual dengan

cepat.

Rangsangan pada payudara dapat berbentuk sentuhan, remasan, dan ciuman. Pada saat ini seorang pria mulai dengan

mengulum payudara pasangannya yang bertujuan untuk memberikan kenikmatan seksual. Begitu pula sebaliknya wanita juga berusaha merangsang pasangannya dengan memainkan puting.

d. Oral-Genital Stimulation (Rangsangan dengan mulut pada organ intim)

Pada tahap ini biasanya mereka saling memainkan lidah atau mengulum organ intim pasangan mereka. Fellatio merupakan sebutan bagi aktifitas yang dilakukan pada saat rangsangan pada pria,

sedangkan pada wanita disebut cunnilingus. Selain kedua teknik di atas, terdapat pula teknik 69. Pada pasangan saling menghadap bagian

(40)

e. Sexual Intercourse (Hubungan Intim)

Ini merupakan tahap pria memasukkan organ kelaminnya (penis) ke dalam alat kelamin wanita (vagina). Tahapan ini merupakan

tahap tahap terakhir dari foreplay dan mulai masuk pada persenggamaan.

3. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

Pemahaman yang rendah mengenai dampak dari perilaku seksual

pranikah akan memberi dampak negatif dari pelakunya, dampak-dampak tersebut antara lain:

a. Segi Kesehatan

Perilaku seksual pranikah memberi dampak yang negatif dan dapat merugikan. Pelaku perilaku seksual pranikah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menderita penyakit menular seksual

(PMS). Penyakit-penyakit menular seksual yang mungkin diderita adalah sifilis (raja singa), gonorhoea (kencing nanah), herpes genital,

dan HIV/AIDS (Santrock, 2003). Di sisi lain, perilaku seksual pranikah juga dapat mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Kehamilan di luar nikah pada ibu yang masih belia sangat beresiko.

Bayi yang dikandung memiliki kecenderungan untuk terinfeksi penyakit tertentu yang dapat memicu kecacatan. Selain itu, bayi yang

dikandung beresiko untuk lahir prematur atau proses kelahiran yang sulit, sehingga dapat mengancam nyawa ibu dan bayi (Sarwono,

(41)

b. Segi Psikologi

Secara psikologis, dampak negatif dari perilaku seksual

pranikah bagi remaja adalah sebagai berikut (Sarwono, 2012):

1) Perasaan bersalah, depresi, dan marah. Hal ini tampak pada gadis-gadis yang melakukan aborsi akibat perilakunya.

2) Ketegangan mental akibat kebingungan dalam menjalankan peran.

3) Perasaan malu pada lingkungan sosial seperti keluarga dan masyarakat.

4) Stress akibat rasa bersalah akan hukuman dari Tuhan.

c. Segi Sosial

Dari segi sosial, remaja yang hamil di luar nikah biasanya akan mengalami kebingungan peran sosial karena perubahan yang tiba-tiba

akibat kehamilannya. Hal ini akan memicu gunjingan sekaligus cemoohan dan penolakan dari lingkungan masyarakat. Dalam

beberapa kasus, remaja yang masih berstatus sebagai pelajar terpaksa putus sekolah (Sarwono, 2013). Dalam tahap yang lebih serius, remaja yang mengalami tekanan bertubi-tubi dari berbagai pihak seperti

orang tua dan lingkungan dapat melakukan tindakan berbahaya seperti melakukan bunuh diri atau melakukan aborsi. Padahal tindakan aborsi

(42)

4. Faktor-faktor Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Sarwono (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku seksual pranikah antara lain : a. Perubahan biologis

Ditandai dengan mulai berfungsinya hormon yang

meningkatkan dorongan seksual remaja. Pada masa puber, hormon-hormon seksualitas mulai meningkat dan hal ini merangsang individu

untuk melakukan aktivitas seksual. b. Agama

Rendahnya nilai agama di masyarakat yang bersangkutan serta

komitmen religiusitas yang kian menipis dipandang mempengaruhi remaja dalam berperilaku seksual. Agama mungkin tidak berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual tetapi bila agama diberlakukan

sebagai sistem norma masyarakat maka ada semacam mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan

tindakan seksual di luar batas ketentuan agama. c. Keluarga

Beragam situasi dalam keluarga dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi perilaku seksual remaja. Sikap orang tua yang masih menabukan pembicaran mengenai seks kepada anak atau karena

(43)

d. Budaya di masyarakat

Pergaulan bebas antara remaja perempuan dan laki-laki makin

mudah disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. e. Jenis kelamin

Adanya perbedaan antara remaja pria dan remaja putri dalam

pengalaman seksual mereka. Di setiap negara, remaja putra selalu menunjukkan angka lebih tinggi daripada remaja putri. Hal ini

mungkin sekali berkaitan dengan norma-norma yang lebih longgar bagi kaum pria daripada kaum wanita di hampir seluruh dunia dan sehubungan dengan itu, lebih besar pula kemungkinannya bagi kaum

pria untuk melakukan berbagai hal ketimbang kaum wanita. f. Media massa

Penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui buku

bacaan, tontonan porno dan media massa berteknologi canggih yang sudah tidak terbendung lagi dapat mempengaruhi remaja yang sedang

dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba dari apa yang mereka lihat dan mereka dengarkan dari media (Hurlock, 1997).

g. Faktor kelekatan tidak aman (insecure attachment)

Dalam relasi dengan kelekatan tidak aman (insecure attachment), seseorang dapat memiliki kecenderungan untuk

melakukan tindakan apapun untuk mempertahankan kepuasan hubungannya. Salah satu tindakan yang mungkin dilakukan adalah

(44)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah perubahan biologis, agama, keluarga, budaya, jenis kelamin, media massa, teman sebaya

dan lingkungan sekolah.

C. Kelekatan (Attachment)

1. Pengertian Kelekatan (attachment)

Kelekatan (attachment) menurut Bowbly (1973) adalah ikatan

afeksional yang dimiliki seseorang dengan orang lain dalam hal ini adalah bayi pada orang tua. Secara khusus Bowbly menyampaikan bahwa kelekatan bayi berkaitan dengan pemeliharaan kedekatan pada

proses pengasuhan. Proses ini pada akhirnya akan membentuk bagaimana model kelekatan bayi pada orang tuanya.

Bowbly menjabarkan bahwa kelekatan adalah suatu kelas perilaku

yang terdiri atas empat hal yang saling terkait dan didasarkan pada sistem perilaku yang dibawa sejak lahir. Adapun keempat hal tersebut adalah

mempertahankan kedekatan (proximity maintenance), mencari tempat berlindung yang aman (safe haven), tekanan karena keterpisahan (distress separation), dan mencari dasar yang aman untuk

mengembangkan diri (secure based). Bowbly juga mendukung Freud yang menyatakan bahwa tipe kelekatan akan mempengaruhi bagaimana

relasi romantis seseorang (Crowell and Treboux, 2001).

Lebih lanjut Simpson (1990) mengatakan bahwa kelekatan

(45)

pandangan individu terhadap diri sendiri dan orang lain yang merupakan

organisasi persepsi, penilaian, kepercayaan, dan harapan individu akan responsitas dan sensitivitas emosional dari figur lekat yang berpengaruh

terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku (Karandashev, 2000). Hal ini sejalan dengan teori awal 1980an yang berpendapat bahwa adanya relevansi antara hubungan keintiman pada tahap perkembangan

selanjutnya dengan kelekatan (Feeney, 2008) .

Weiss (1991) berpendapat bahwa kelekatan bayi pada

pengasuhnya akan berlaku pada komitmen di luar hubungan pernikahan maupun di dalam pernikahan. Artinya, relasi interpersonal tersebut didasari oleh kelekatan seseorang dengan orang lain yang dinilai sebagai

figur yang mampu memberikan kenyaman dan keamanan. Sejalan dengan hal ini, Ainsworth menujukkan bahwa hubungan seksual pada sebagai contoh utama kelekatan dewasa (adult attachment) (dalam

Feeney, 2008).

Model mental diri ini berkaitan dengan pandangan individu

merasa dihargai dan dicintai. Hal ini akan merujuk pada model sosial yang berkaitan dengan pandangan sejauh mana figur lain dapat memberikan perlindungan penghargaan, dan dorongan (Simpson dalam

Helmi 1999).

2. Tipe-Tipe Kelekatan (attachment)

Bowbly membedakan kelekatan pada masa bayi menjadi tipe

(46)

(insecure attachment) yang dibedakan lagi menjadi tipe kelekatan

menghindar (avoidant attachment) dan tipe kelekatan cemas (anxious attachment). Model kelekatan menurut Bowbly ini kemudian

dikembangkan oleh Hazan dan Shaver dalam bentuk relasi romantis. Melalui pengaplikasian ini ditemukan bahwa kelekatan anak-anak pada masa individu mempengaruhi relasi romantis yang mereka jalani.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bartholomew (dalam Stanojevic, 2004) ditemukan bahwa kelekatan memiliki empat bentuk.

Pada tipe kelekatan menghindar (avoidant attachment), Bartholomew menemukan terdapat dua karakteristik yang berbeda. Hal ini membuat Bartholomew membedakan tipe kelekatan menghindar (avoidant

attachment) menjadi dua yakni tipe kelekatan takut-menghindar

(fearful-avoidant attachment) dan kelekatan menolak (dismissing attachment).

Pengklasifikasian tipe kelekatan dewasa didasarkan oleh pendapat

bahwa pola kelekatan merupakan gambaran model diri individu dan figur lekat dari individu itu sendiri (Feeney & Noller, 1996). Model diri dan

figur lekat tersebut bisa memiliki dua pandangan yang berbeda baik itu positif maupun negatif. Pada model diri yang positif, individu cenderung merasa bahwa dirinya berharga, sehingga dirinya merasa layak untuk

mendapatkan cinta. Hal ini berlaku sebaliknya pada model diri yang negatif. Individu melihat dirinya tidak berharga, sehingga tidak layak

mendapatkan cinta dari orang lain. Berkaitan dengan figur lekat, individu yang memandang figur lekat sebagai model yang positif bilamana sosok

(47)

Sebaliknya, figur lekat akan dilihat sebagai model negatif ketika figure

lekat dinilai memberi jarak, menolak kedekatan, serta tidak peduli (Bartholomew dalam Feeney & Noller, 1996).

Menurut Bartholomew dan Horowitz (1991), terdapat empat tipe kelekatan dewasa dengan melihat pandangan positif dan negatif terhadap diri dan figur lekat, yaitu:

Tabel 2.1

Tipe Kelekatan Dewasa (Adult Attachment)

(48)

Definisi tipe-tipe kelekatan (attachment) lain dijabarkan sebagai

berikut:

a. Tipe kelekatan aman (secure attachment).

Model kelekatan aman (secure attachment) memiliki ciri individu yang memiliki kecemasan diri yang rendah, sehingga memiliki perasaan berharga. Tipe kelekatan ini mengembangkan

model mental seseorang untuk cenderung memiliki kecenderungan menghindari orang lain yang rendah, sehingga orang dengan tipe

kelekatan ini akan cenderung lebih bersahabat. Berkembangnya model kelekatan ini memberi pengaruh yang prositif terhadap relasi sosial seseorang. Hal ini memungkinkan terbentuknya hubungan

romantis yang saling mempercayai (Levy & Davis, dalam Feeney & Noller, 1990).

b. Tipe kelekatan menghindar (avoidant attachment)

Model kelekatan ini, memiliki ciri khas individu yang memiliki kecemasan rendah terhadap diri sendiri tetapi memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk menghindari relasi sosial dengan orang lain. Individu dengan tipe kelekatan ini cenderung memiliki kepribadian yang skeptis, curiga, dan melihat orang lain sebagai

orang yang kurang memiliki pendirian (Simpson dalam Helmi, 1999). Relasi sosial yang dibentuk oleh individu dengan tipe

kelekatan ini adalah individu yang tidak mempercayai kesediaan orang lain. Oleh sebab itu, individu dengan tipe kelekatan ini akan

(49)

serta selalu merasa takut akan ditinggalkan. Dengan demikian

hubungan romantis individu dengqn tipe kelekatan ini akan selalu diwarnai rasa tidak percaya (Levy & Davis dalam Feeney & Noller,

1990).

c. Tipe kelekatan cemas (anxiety attachment)

Model kelekatan ini memiliki ciri khas individu yang

memiliki kecemasan yang sangat tinggi akan dirinya. Namun di sisi lain, individu dengan tipe kelekatan ini memiliki kecenderungan

untuk menghindari relasi sosial yang rendah. Individu dengan tipe kelekatan ini akan memiliki kecenderungan merasa kurang berharga dan memandang orang lain memiliki kecenderungan yang

rendah dalam berkomitmen. Di sisi lain individu dengan tipe kelekatan ini akan cenderung kurang asertif dan merasa tidak dicintai orang lain. Dalam menjalin hubungan romantis, individu

dengan tipe kelekatan ini akan cenderung ragu-ragu terhadap relasinya (Levy & Davis dalam Feeney & Noller, 1990).

3. Fase-fase Kelekatan (Attachment)

Terdapat empat fase terbentuknya kelekatan pada dewasa menurut

Zeifman dan Hazan (1996). Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut: a. Pre- attachment: Daya Tarik (Flirting)

(50)

“sinyal ketertarikan”. Kedua individu mulai saling memberikan

kontak mata yang dalam secara intensif.

Pada tahapan selanjutnya mereka akan memulai

perbincangan basa-basi yang pada akhirnya akan berlanjut pada tema-tema yang menyenangkan. Dalam beberapa kasus justru kadang mereka dapat bersikap berlebihan. Karakteristik yang khas

adalah, mereka berusaha untuk mengkoordinasikan postur, gerakan tubuh, dan ekspresi yang terjaga.

b. Attachment in-the-making: Jatuh cinta (Falling in Love)

Pada tahapan ini, individu memiliki perasaan yang semakin tinggi dengan pasangan, sehingga mulai dikembangkan perasaan

nyaman terhadap figure lekat. Dalam penelitiannya, Harlow (dalam Zeifman & Hazan, 1996) melihat bahwa rasa nyaman merupakan hal yang penting dalam pembentukan ikatan emosional.

Kenyaman ini tidak hanya tampak secara fisik melainkan juga dalam bentuk ekspresi diri. Individu yang merasa lekat dengan

pasangan akan cenderung lebih mudah mengungkapkan drinya dengan mengungkapkan pengalaman pribadi dan mengespresikan diri.

c. Clear-cut attachment: Mencintai

Pada tahap ini, ditandai dengan pasangan yang mulai

mengenal kharakteristik satu sama lain dengan meningkatnya aktivitas diskusi tentang diri masing-masing. Harapan terhadap

(51)

ketidaksempuranaan (Hadfield, dkk. 1984). Aktivitas seksual

mengalami pergeseran pada dukungan emosional untuk menggapai kepuasan seksual (Kotler, Reedy, Biren and Schaie dalam Zeifman

& Hazan, 1996).

d. Goal-corrected Partnership: Kehidupan sehari-hari

Pasangan mulai menjalani akttivitas keseharian seperti

biasa. Pada tahapan ini kembali muncul keinginan untuk mengekplorasi hubungan. Segala sesuatu menjadi bersifat bersama,

sehingga tidak ada lagi sesuatu yang bersifat personal. Hal ini kemudian mengakibatkan perasaan ketergantungan satu sama lain akibat kebersamaan yang intensif meskipun jalinan emosional yang

ada bisa jadi belum terlalu mendalam. 4. Faktor-faktor Kelekatan (Attachment)

Adapun faktor-faktor dari kelekatan (attachment) menurut

Minkulincer dan Shaver (2007) adalah sebagai berikut: a. Fungsi biologi dari sistem kelekatan

Fungsi biologi dari sistem kelekatan (attachment) diduga digunakan untuk melindungi diri. Hal ini berawal pada masa bayi (usia dini), ketika seorang individu memastikan dirinya aman dari

situasi bahaya dengan mempertahankan kedekatan dengan figur lekat (dalam hal ini pengasuh atau orangtua). Menurut Bowbly,

kecenderungan bayi untuk mencari dan mempertahankan kelekatan dengan figur lekat akan berkembang dalam diri individu untuk

(52)

Penalaran evolusi Bowbly ini menyatakan bahwa bayi yang

mempertahankan kedekatannya dengan pengasuh akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk bertahan hidup hingga dia

berkembang menjadi individu dewasa dan bereproduksi. Gen yang dipupuk untuk mempertahankan kelekatan (attachment) dan kedekatan lainnya pada saat berbahaya pada akhirnya akan dipilih

untuk kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.

b. Fungsi lingkungan sebagai pemicu sistem kelekatan (attachment)

Bowbly (1982) dalam teorinya menyatakan bahwa sistem kelekatan (attachment) muncul karena adanya ancaman dari lingkungan yang mengancam kehidupan. Dengan demikian,

keberadaan ancaman dalam lingkungan secara otomatis akan membangkitkan kebutuhan individu akan perlindungan yang secara otomatis akan memunculkan kelekatan (attachment) dalam diri

individu.

Kurangnya perhatian, penolakan, atau respon marah yang

ditunjukkan oleh figur lekat dapat membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk memiliki kelekatan tidak aman (insecure attachment). Di sisi lain, kekerasan yang dilakukan oleh figur lekat

baik itu berbentuk kekerasan atau penganiayaan fisik maupun seksual juga dapat memicu seseorang memiliki kelekatan tidak aman

(53)

c. Strategi primer individu ketika terancam

Dalam kondisi-kondisi tertentu yang mengancam secara naluriah orang akan cenderung mencari kedekatan emosi, fisik,

maupun psikologis dari orang lain untuk memunculkan rasa aman dan nyaman.

d. Kehilangan orang tua

Kehilangan figur orangtua akibat kematian maupun perceraian yang dialami seseorang akan dapat mempengaruhi

kelekatan yang dibangun seseorang pada fase perkembangannya. Hal ini akan kemandirian individu dengan keterbatasan pengungkapan kebutuhan akan figur lekat. Seseorang yang kehilangan orangtua

baik itu karena kematian maupun perceraian akan memiliki tipe kelekatan yang lebih tidak aman (insecure).

5. Dampak Kelekatan (Attachment) a. Manajemen Konflik

Individu dengan tipe kelekatan aman (secure attachment) memiliki kecenderungan untuk memiliki manajemen konflik yang baik (Pistole, dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Oleh sebab itu,

Individu memiliki kemampuan mengembangkan diri ke dalam perilaku yang bersifat konstruktif.

b. Sikap percaya

Individu dengan tipe kelekatan aman (secure attachment)

(54)

kepercayaan pada orang lain, sehingga cenderung mudah dalam

menjalin relasi dengan orang lain (Mikulincer & Shaver dalam Mikulincer & Goodman, 2006). Di sisi lain, individu dengan tipe

kelekatan preokupasi cenderung kurang mampu mengembangkan kepercayaan pada orang lain. Hal ini membuat individu memiliki ketakutan untuk kehilangan figur lekatnya. Berbeda dengan individu

yang memiliki tipe kelekatan cemas (anxiety attachment) yang cenderung merasa tidak nyaman dengan hubungan intim, sehingga

tidak mampu mengembangkan kepercayaan dengan orang lain karena cenderung menghindar.

c. Konsep Diri

Individu dengan tipe kelekatan aman cenderung memiliki konsep diri yang positif dengan dirinya sendiri. Hal ini membuat individu dengan tipe kelekatan ini cenderung merasa layak disayang

dan berharga, serta memiliki kepercayaan diri yang baik (Mikulincer & Shaver, 2007).

Berbanding terbalik dengan hal tersebut individu dengan tipe kelekatan tidak aman (inscure attachment) cenderung memiliki konsep diri yang negatif. Individu dengan tipe kelekatan menghindar

(avoidant attachment) memiliki model mental yang skeptis, penuh curiga, dan memandang orang lain kurang mempunyai pendirian

(55)

pada keintiman dan rasa takut akan ditinggalkan (Mikulincer &

Shaver, 2007).

Di sisi lain orang dengan tipe kelekatan cemas (anxiety

attachment) merasan tidak berharga, sehingga cenderung merasa tidak

nyaman mengembangkan relasi. Hal ini dapat disebabkan karena individu dengan tipe kelekatan ini merasa bahwa orang lain memiliki

keinginan yang rendah untuk menjaga relasi intim (Simpson, 1990). d. Kontrol Emosi

Individu dengan tipe kelekatan aman (secure attachment) cenderung memiliki kemampuan mengontrol emosi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh emosi individu dengan tipe kelekatan ini lebih

positif dibandingkan dengan tipe kelekatan lain (Bartholomew & Horowitz, 1991).

e. Relasi romantis

Individu dengan tipe kelekatan aman (secure attachment) cenderung memiliki hubungan romantis yang penuh dengan rasa

saling percaya satu sama lain. Hal ini berbeda dengan individu bertipe kelekatan menghindar (avoidant attachment) cenderung memiliki hubungan romantis yang selalu diwarnai rasa kurang percaya. Di sisi

lain, individu dengan tipe kelekatan cemas cenderung memiliki relasi romantis yang selalu dilingkupi perasaan ragu-ragu terhadap pasangan

(56)

f. Hubungan seksual berkaitan dengan kualitas hubungan

Kelekatan tidak aman (insecure attachment) dapat menyimpangkan potensi kontribusi hubungan seksual terhadap

kualitas hubungan dan kepuasan. Dalam sebuah penelitian, ditemukan fakta bahwa pasangan yang menjalin relasi romantis memuaskan kebutuhan seksual sebagai kontribusi terhadap kepuasan hubungan

dan stabilitas (Sprecher & Cate, 2004). Baru-baru ini, Birnbaum dkk (2006) menilik alasan bagaimana orang dengan kelekatan tidak aman

(insecure attachment) mengasosiasikan antara seksualitas dan kualitas hubungan. Mereka dengan kelekatan cemas (anxiety attachment) memenuhi kebutuhan seksual dengan alasan keamanan dan kasih

sayang. Mereka dengan tipe kelekatan ini cenderung selalu merasa cemas dan takut akan ditinggalkan dan tidak dicintai. Oleh sebab itu Birnbaum menafsirkan bahwa mereka dengan tipe kelekatan ini

cenderung memperkuat pengalaman seksual sebagai bentuk kualitas hubungan. Di sisi lain, seseorang dengan tipe kelekatan menghindar

(avoidant attachment) cenderung melakukan hubungan seksual dengan mengabaikan aspek relasional dan kasih sayang, mereka cenderung untuk melakukan seks tanpa dasar cinta. Oleh sebab itu,

mereka dengan tipe kelekatan ini cenderung memiliki kualitas hubungan yang rendah.

g. Perasaan cinta dan komitmen

Kelekatan tidak aman (insecure attachment) dapat

(57)

meningkatkan perasaan cinta dan komitmen (Sprecher and Regan,

dalam Waite and Joynr, 2001). Mereka dengan tipe kelekatan cemas (anxiety attachment) melakukan hubungan seksual sebagai upaya

untuk meningkatkan perasaan cinta dan komitmen. Seseorang dengan tipe kelekatan cemas (anxiety attachment) menunjukkan alasan melakukan hubungan seksual adalah untuk menyenangkan pasangan

dan mengungkapkan kasih sayang. Di sisi lain seseorang dengan tipe kelekatan menghindar (avoidant attachment) melakukan hubungan

seks untuk menghindari konsekuensi negatif dari hubungan relasi (Impett, Gordon, and Strachman, 2008).

h. Tingkat Kemandirian

Tipe kelekatan aman (secure attachment) memiliki tingkat

kemandirian yang seimbang. Individu tidak segan untuk meminta pertolongan orang lain bila membutuhkan (Mikulincer & Goodman,

2006), namun merasa nyaman pula dengan otonominya sendiri (Bartholomew & Horowitz, 1991). Hal ini berlaku sebaliknya, individu dengan tipe kelekatan cemas (anxiety attachment) memiliki

tingkat kemandirian yang rendah. Semakin cemas individu, ia akan semakin mencari kontak dan kedekatan dengan orang lain (Simpson,

Rholed, Nelligan dalam Mikulincer & Goodman, 2006). Di sisi lain, individu dengan tipe kelekatan menghindar (avoidant attachment) sangat mengutamakan kemandirian dan menolak

(58)

penting, sehingga individu kurang tertarik untuk menjalin relasi dekat

dengan orang lain (Alford, Lyddon, Schreiber, 2006).

D. Dinamika

Individu dengan tipe kelelakatan tidak aman (insecure attachment) memiliki kecenderungan untuk memiliki kemampuan manajemen konflik

yang kurang baik (Mikulincer dan Shaver, 2007). Tipe kelekatan ini memungkinkan seseorang untuk cenderung mengambil jalan pintas dan

menghalalkan segala cara dalam mengambil keputusan. Dengan demikian tipe kelekatan ini memungkinkan individunya untuk melakukan perilaku seksual pranikah tanpa didasari pemikiran yang panjang, ketika merasa relasi

dengan pasangan tidak berjalan dengan baik (Birnbaum, 2006). Hal ini berbanding terbalik dengan individu yang memiliki kelekatan aman (secure attachment) yang memiliki konsep diri yang positif, sehingga memiliki skema

yang positif dengan lingkungan (Mikulincer dan Goodman, 2006). Oleh sebab itu, individu dengan tipe ini akan memiliki kecenderungan untuk

memiliki manajemen konflik yang baik, sehingga individu dapat mengembangkan perilaku yang lebih konstruktif (Kobak dan Hazan, 1991).

Individu dengan tipe kelekatan tidak aman (insecure attachment) memiliki konsep diri yang negatif. Pada individu dengan tipe kelekatan menghindar (avoidant attachment) cenderung memiliki model mental yang

yang skeptis, penuh curiga, dan memandang orang lain kurang memiliki pendirian (Simpson, 1990). Berbeda dengan tipe kelekatan menghindar

Gambar

Tabel 2.1 Tipe Kelekatan Dewasa (Adult Attachment)
Tabel 3.1
Tabel 3. 2
Tabel 3.3 Skor Item Experiences in Close Relationships Scale (ECR)
+6

Referensi

Dokumen terkait

• Argumentasi secara syar’i terhadap perintah ibadah yang berkaitan dengan posisi matahari pada saat awal waktu salat dan posisi hilal di atas ufuk pada saat matahari

7.1) Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, baik secara lisan maupun tulisan. 7.2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan

[r]

[r]

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Program Strata 1 Pada Jurusan Sipil Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro

[r]

(2014).Hubungan antara pola asuh dengan kesulitan makan pada anak prasekolah (3 - 5 tahun) di TK Leyangan Kabupaten Semarang Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo.. Diunduh

Judul penelitian : Perilaku Ibu dalam Mengatasi Kesulitan Makan pada Anak. Prasekolah di Desa Sei Musam Kendit