• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i  

SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX

 

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah  

 

 

Oleh:

Agus Budi Purwanto NIM : 044314005 NIRM :

 

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv  

(5)
(6)

vi  

YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul ”Samin dan Kehutanan Abad XIX” ini beranjak dari tiga permasalahan. Pertama, nilai-nilai yang diperjuangkan Samin terhadap hutan. Kedua, hambatan serta tekanan yang muncul atas pelaksanaan nilai-nilai tersebut. Ketiga, kausalitas perlawanan Samin terhadap pemerintah Belanda. Dalam meneliti masalah-masalah tersebut, skripsi ini menggunakan teori perkembangan kebudayaan milik Arnold J. Toynbee, di mana perkembangan kebudayaan ditentukan pada tanggapan (response) atas tantangan (challenge) yang diterima oleh entitas masyarakat tertentu.

Penelitian tentang gerakan Samin Surosentiko pada akhir abad XIX serta awal abad XX di dominasi oleh penjelasan tentang perlawanan tanpa kekerasan. Selain itu, penelitian yang ada mengindikasikan penempatan faktor ekonomi, sosial, dan politik sebagai kausalitas determinan. Ketiga kausalitas tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa gerakan Samin pada akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Padahal, secara historis, perlawanan Samin dimulai oleh dua isu utama yakni kehutanan dan perpajakan. Penjelasan sejarah pada isu pertama yakni hubungan Samin dengan kehutanan jarang sekali diteliti. Di sisi lain, nilai-nilai spiritual Samin yang disandarkan pada ajaran agama Adam terabaikan begitu saja dari panggung perdebatan kausalitas.

Gerakan Samin pada abad XIX menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan Samin meliputi ketuhanan, etika kehidupan, etika politik, pengetahuan bertani, dan cara pandang terhadap hutan. Sistem pengetahuan tentang pertanian bertumpu pada penghargaan yang tinggi atas peran manusia dalam mengubah alam menjadi pangan. Selain itu, tanah Jawa termasuk hutan di dalamnya adalah ciptaan Tuhan yang dititipkan Pandawa kepada orang Jawa. Kedua, Sejarah pengelolaan hutan Jawa sejak era Daendels hingga munculnya peraturan kehutanan 1865 dan Undang-Undang Agraria 1870 ternyata semakin memperjelas pembatasan interaksi alami antara Samin dengan hutannya. Ketiga, Gerakan Samin muncul karena nilai-nilai kehidupan Samin atas hutan mendapat penetrasi dari Belanda.

(7)

vii

The title of this thesis is “Samin dan Kehutanan Abad XIX” (Samin and Forestry in XIX Century) embarks from three issues. First, values regarding forestry that Samin fought for. Second, obstacle and pressure against Samin’s values. Third, the causality of Samin resistance against Dutch colonial government. In researching those issues, this thesis will employ Arnold J. Toynbee’s growth of civilizations theory where the progress of civilizations will be determined by the challenge on and the response of a certain community entity.

The Samin Surosentiko’s movement by the end of XIX and early XX century showed that they movement dominated by non-violence resistance explanations. Apart from those explanations, the existing researches indicate that economy, social, and political factors were the determinant causalities. These three causalities lead us to the conclusion that Samin movement was a form of resistance against Dutch colonial government at that time. However, historically, Samin resistance was sparked by two main issues, eg. forestry and taxation. Historical explanation on the first issue, the relationship between Samin movement and forestry, is rarely discussed. On the other hand, Samin’s spiritual values—based on Adam religion teaching—are also frequently ignored from causalities discussion.

The Samin’s Movement at XIX century showed the values they fight for are religiosity, ethics of life, political ethics, farming knowledge, and forest point of view. The knowledge systems of farming based on their high appreciation for human being role in altering nature become food. On the other hand, the Java land, inclusive of forest in it is Entrusted by God creation of Pandawa to Javanese. Second, the history of management of Java Forest since Daendels’s era till appearance of Forestry Regulation 1865 and Agraria’s Law 1870 really progressively clarify interaction demarcation experience of among Samin with his forest. Third, the Samin’s Movement emerges since values of life Samin for forest get penetration by Dutch.

(8)

viii  

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Agus Budi Purwanto

Nomor Mahasiswa : 044314005

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pengakalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 13 Juli 2009 Yang menyatakan

(9)

ix  

KATA PENGANTAR

Akhir bulan Mei yang lalu, saya dipertemukan dengan Mokhamad Sobirin (28 tahun), seorang teman aktivis penolakan pabrik semen Sukolilo, Pati. Kami berdialog kurang lebih empat jam di ruang

indonesiana

, Pusat Studi Sejarah Indonesia USD. Dalam obrolan tersebut, saya bertanya; apakah sedulur sikep di Sukolilo saat ini memiliki interaksi dengan hutan? Jawaban dia: ”Tidak, selain hutan berada agak jauh dari pemukiman, interaksi dengan hutan memang tidak pernah terpikirkan”. Begitulah gambaran masyarakat pengikut Samin saat ini. Kendati hal tersebut tidak otomatis berlaku pada pengikut Samin di daerah lain (Bojonegoro, Blora, Randublatung, sebagian Pati, Grobogan).

Saya menduga ada keterputusan sejarah antara pengikut Samin dan Hutan. Padahal kalau ditilik dari catatan sejarah, gerakan tersebut disandarkan pada dua tantangan (Challenge) jaman; (1) pembatasan akses terhadap hutan dan (2) peningkatan beban rakyat atas pajak. Narasi ilmu-ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi terhadap gerakan Samin cenderung didominasi oleh pernyataan kedua, bahwa pengikut Samin menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Selain itu, pengikut Samin kontemporer dikatakan hanya memiliki keterkaitan dengan sawah milik dengan segala kearifan pengolahannya. Hal ini menjadi jelas, ketika pengikut Samin tidak menyepakati bahwa panen raya kayu Jati tahun 1998 silam serta ”pencurian kayu” secara endemik pada era orde baru, bukanlah bagian dari gerakan mereka.

(10)

x  

tersebut (reformasi). Bahwa perjalanan panjang pembatasan akses antara pengikut Samin serta masyarakat sekitar hutan terhadap hutan menjadi ihwal yang tidak bisa diabaikan. Bahwa terdapat cara pandang Samin yang menyatakan bahwa semua orang harus terpenuhi kebutuhannya atas tanah, air, dan kayu. Menjadi kontekstual, jika penjelasan gerakan Samin awal (abad XIX) menyertakan penetrasi peraturan-peraturan kehutanan kolonial. Menjadi tidak kontekstual jika penjelasannya tidak memperhatikan nilai-nilai spritualitas yang dianut Samin dan pengikutnya. Jika gerakan ini disebut sebagai sebuah perlawanan pedesaan, maka menjadi kewajiban sejarah untuk menjelaskan: dengan ”senjata” apa Samin dan pengikutnya melakukan perlawanan? Skripsi ini menyebut bahwa senjata itu bernama agama Adam.

(11)

xi  

S.H, Drs. Manu Jayaatmaja, M.A., dan mendiang Drs. G. Moedjanto, M.A., sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas jerih payahnya berjuang mengajak kami untuk terus menjelaskan sendi-sendi masa lampau. Seandainya skripsi ini layak disebut sebagai karya ilmiah, maka ijinkan saya mengatakan bahwa keilmiahan tersebut tidak lain berkat cara bapak ibu dosen mengajar kepada saya dan teman-teman selama ini. Namun, jika skripsi ini jauh dari standar sebuah karya ilmiah, maka polemik dalam skripsi ini adalah bagian dari dinamika pergulatan keilmuan sejarah di jurusan sejarah Universitas Sanata Dharma, setidaknya bagi saya pribadi.

Kepada sahabat saya Ratu, Nana, Sempal, Kaka, B, A-win, terima kasih atas persahabatan yang mengagumkan. Kepada A-win, cepat berikan piala itu, agar dada ini melega serta perahu kecilku dapat berlayar dengan awak penuh. Kepada keluarga besar ARuPA, Jampes, Gondi, Adin, dr. Erna, Sugeng, Surya, Rama, Sandy, Fitri, Evi, Nanda, Hohok, Irak, Sulist, Dudung, Om Pay, Udin, Totok dan lain-lain, saya mengucapkan terima kasih atas perlindungan selama 5 tahun di Jogja. Kepada Romo Bask, Edward Wirawan, Fransisca Titin, dkk, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya. Tanpa pihak-pihak tersebut, skripsi ini belum tentu seperti ini adanya. Mohon maaf tidak semua dapat saya sebutkan satu persatu. Dan akhirnya kepada semua pihak saya mengucapkan terima kasih.

(12)

xii  

HALAMAN JUDUL ……… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. HALAMAN PENGESAHAN ……….. HALAMAN PERSEMBAHAN ………... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………... ABSTRAK ………... ABSTRACT ………... KATA PENGANTAR ………... DAFTAR ISI ………....

BAB I PENDAHULUAN ………. 1.1 Latar Belakang ………..

1.2 Rumusan Masalah ……….

1.3 Tujuan Penelitian ………... 1.4 Manfaat Penelitian ………. 1.5 Teori dan Metode Penelitian ………. 1.6 Tinjauan Pustaka ………... 1.7 Sistematika Penulisan ………

BAB II IDENTITAS SAMIN DAN PENGIKUTNYA ……….

2.1 Agama Adam .………

2.1.1 Kebertuhanan ……….……… 2.1.2 Angger-Angger ……….. 2.1.3 Definisi Negara ………. 2.2 Sistem Agraria ……….. 2.2.1 Tanah Pertanian ……….

(13)

xiii  

BAB III PENETRASI KOLONIAL ABAD XIX ……….. 3.1 Sejarah Kolonialisme Belanda di Jawa ………. 3.2 Politik Kehutanan Belanda di Jawa ………..

3.2.1 Masa VOC ………..

3.2.2 Masa Daendels ………... 3.2.3 Masa Raffles ……….. 3.2.4 Masa Tanam Paksa ………. 3.2.5 Seputar Reglemen Kehutanan dan Domein Verklaring …..

BAB IV GERAKAN SAMIN DAN KAUSALITASNYA ………. 4.1 Selayang Pandang Samin Surosentiko ……….. 4.2 Gerakan Tanpa Kekerasan ………. 4.3 Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin ………..

BAB V PENUTUP ………

5.1 Kesimpulan ………

5.2 Catatan Kritis ……….

(14)

1  

1.1 Latar Belakang

Harmonisasi kehidupan pedesaan di Jawa dibangun oleh masyarakat pendukungnya dengan sistem sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial kebudayaan. Sistem sosial politik dalam masyarakat pedesaan misalnya dapat dilihat melalui hubungan antara masyarakat dengan kepala desa. Oleh masyarakat, kepala desa dianggap sebagai bapak dari seluruh warga desa.1 Sistem ekonomi subsisten berupa pertanian dan perladangan merupakan kearifan ekonomi sekaligus ekologi masyarakat pedesaan. Demikian halnya dengan perangkat sosial budaya yang diwujudkan melalui beberapa tradisi penghormatan terhadap leluhur.

Munculnya perlawanan pedesaan2 pada abad XIX di Jawa disebabkan oleh represi dari pemerintah kolonial terhadap sistem kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini dapat dilihat misalnya pada perlawanan Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830 dan pemberontakan petani di Cilegon Banten tahun 1888.

      

1 Dalam konteks yang lebih luas, hubungan rakyat dan penguasa dapat

dilihat dalam konsep kawulo-gusti di mana raja merupakan pusaran utama dari kekuatan keseimbangan kehidupan. Menghormati raja tidak semata-mata sebagai sebuah bentuk kesetiaan struktural, lebih dari itu, kesetiaan tersebut sebagai bentuk pengabdian yang bermaksud menjaga keseimbangan kehidupan.

2 Istilah perlawanan pedesaan tidak semata-tama menunjuk pada konteks

(15)

2  

Perlawanan Pangeran Diponegoro merupakan implikasi atas terganggunya kepentingan keluarga Pangeran Diponegoro berikut pengikutnya, terutama terkait dengan kepercayaan terhadap makam leluhur. Proyek pembangunan Jalan Yogyakarta-Magelang yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial pada waktu itu telah bersinggungan dengan kepercayaan muslim Jawa yang sangat menghormati makam leluhur.3

Adapun contoh peristiwa yang lain misalnya geger Cilegon atau lebih dikenal dengan pemberontakan petani Banten tahun 1888. Menurut Sartono Kartodirdjo, pemberontakan ini merupakan ekspresi atas rasa ketersingkiran yang dialami oleh masyarakat Banten. Selain itu, pemberontakan ini merupakan perwujudan dari nativisme4 yang berhubungan dengan dua hal: kerinduan akan kejayaan Kasunanan Banten di masa lalu serta kuatnya kohesivitas penduduk yang disandarkan pada nilai serta tokoh-tokoh keagamaan.5

Berbeda dengan perlawanan Diponegoro dan perlawanan masyarakat Banten, perlawanan Samin oleh van der Kroef dikategorikan tersendiri di antara lima gagasan mileniarisme.6 Kategorisasi khusus atas perlawanan Samin

      

3Dalam tradisi Jawa, penghormatan terhadap orang tua atau leluhur sangat

menjadi perhatian utama. Makam adalah tempat di mana leluhur bersemayam dan merawat serta menjaganya adalah kewajiban keturunan yang ditinggalkan.

4 Kerinduan terhadap kejayaan masa lalu.

5Sartono Kartodirdjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888:

Kondisi, Jalan Peristiwa, serta Kelanjutannya. Pustaka Jaya. Jakarta.

6Gagasan Milenari adalah harapan akan datangnya pemimpin yang adil

(16)

Adil-dimungkinkan karena perlawanan Samin memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh perlawanan yang lain. Secara umum, perlawanan Samin dapat dikategorikan sebagai perlawanan tanpa menggunakan kekerasan, sebagaimana yang dipergunakan oleh Gandhi (1869-1948) di India. Demikian, ciri khusus tersebut sangat berkait erat dengan nilai-nilai yang menjadi acuan hidup masyarakat Samin.

Perlawanan Samin tergolong sebagai reaksi sosial atas intervensi pemerintah kolonial dalam sistem kehidupan masyarakat pinggir hutan. Tekanan-tekanan dari pemerintah kolonial berupa kerja wajib serta kenaikan pajak merupakan salah satu faktor pendorong perlawanan masyarakat pinggir hutan. Selain itu, hilangnya sumber-sumber daya ekonomi sekunder, seperti misalnya pembatasan untuk memanfaatkan hutan, juga merupakan faktor yang cukup berpengaruh.

Keunikan dari perlawanan Samin yakni penggunaan cara-cara perlawanan yang tidak lazim serta tidak memakai kekerasan. Ketidaklaziman tersebut misalnya dapat dilihat pada penggunaan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) untuk berbicara dengan siapapun tanpa memperdulikan struktur sosial politik, termasuk ketika berbicara dengan petugas pengaman hutan. Selain itu, masyarakat Samin juga mengabaikan aturan-aturan kehutanan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dengan bentuk “pencurian kayu”. Kendati demikian, “pencurian kayu” sebagai sebuah bentuk perlawanan dapat dipertanyakan logika historisnya,

(17)

4  

mengingat jauh-jauh hari masyarakat Samin telah terbiasa memanfaatkan kayu di hutan sebelum larangan-larangan pemerintah Hindia Belanda ada.

“Timbulnya istilah ‘pencurian kayu’ itu sendiri sebenarnya merupakan istilah asing bagi penduduk, karena mengambil kayu di hutan itu adalah hak setiap orang. Maka istilah pencurian kayu sebagai jargon politik pemerintah kolonial tidak dapat dipahami oleh penduduk. Sebaliknya, justru pemerintah kolonial dianggap telah merampas hak-hak penduduk atas hutan.”7

Tradisi Samin dan pengikutnya dalam memanfaatkan kayu di hutan sulit dibendung oleh petugas pengaman hutan. Selain karena keterbatasan jumlah tenaga pengaman hutan, perlawanan yang dilakukan bersifat laten, dilakukan sehari-hari, dan tanpa kekerasan (tanpa konfrontasi fisik). Model perlawanan seperti ini sangat sukar diselesaikan, terutama dengan struktur pengamanan yang cenderung represif, teroganisir, dan temporal oleh negara atau institusi penguasa yang lain. Menjadi jelas kiranya, ketika Jawatan Kehutanan era Daendels menerapkan sanksi-sanksi penjara terhadap penebang kayu tanpa ijin, tidak mampu meredam atau menurunkan jumlah kasus pencurian kayu. Tidak mengherankan pula ketika perlawanan masyarakat sekitar hutan masih dapat kita temukan hingga saat ini di Jawa.8

Menurut Suripan Sadi Hutomo, Samin dan para pengikutnya mengidentifikasikan diri sebagai penganut Agama Adam atau The Religion of Adam, sebuah agama kawitan (baca: permulaan) yang mengutamakan hubungan

baik dengan Alam dan hubungan bagi antar sesama manusia. Kitab sebagai       

7Warto. 2001. Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang

Abad ke-19. Pustaka Cakra. Surakarta., hlm. 54.

8Lihat Hery Santoso. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Konteks

(18)

pedoman agama ini adalah Jamuskalimasada yang terdiri dari 5 buku: Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati

Sawit, dan Serat Lampahing Urip.9 Pada lima serat inilah perjalanan spiritualitas Samin dan pengikutnya disandarkan. Manifestasi agama Adam terlihat dalam prinsip hidup sehari-hari. Dalam hubungan sosialnya, Samin menganggap semua orang adalah saudara, sinten mawon kulo aku sedulur.10 Sedangkan terhadap alam,

mereka memiliki prinsip lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, dan kayu menjadi milik bersama.

Samin Surosentiko yang dilahirkan di Ploso Kediren, Randublatung, Blora pada tahun 1859, memiliki empat saudara, semuanya laki-laki (layaknya Pandawa dalam kisah pewayangan). Ayahnya bernama Raden Sorowijaya atau dikenal juga dengan Samin Sepuh yang bekerja sebagai bromocorah (perampok) untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin dari daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Samin sepuh merupakan anak dari seorang adipati (bupati) dari daerah Sumoroto (Tulungagung). Nama Samin kecil adalah Raden Kohar. Nama tersebut kemudian diubah menjadi Samin Surosentiko atau Samin Surontiko agar terlihat merakyat. Para pengikutnya sering menyebutnya dengan Kyai Samin Surontiko atau Kyai Samin Surosentiko.

Tempat kelahiran Samin yakni desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora merupakan penghasil kayu jati terbaik di Jawa. Struktur tanah yang berkapur dan       

9 Untuk lebih jelasnya, lihat Suripan Sadi Hutomo. 1996. Tradisi dari

Blora. Penerbit Citra Almamater. Semarang., hlm.11-40.

10 Nurudin dkk (Ed). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup

(19)

6  

kering menyebabkan tanah di Blora dan beberapa wilayah di seputar Karesidenan Rembang sangat cocok bagi jenis tanaman ini. Harry J. Benda dan Lance Castles mencatat bahwa tahun 1920 proporsi luasan hutan yang dikuasai negara di kabupaten Blora mencapai empat puluh persen dari total wilayah kabupaten tersebut. Ini merupakan proporsi paling tinggi bagi setiap kabupaten di Jawa kala itu.11

Penentuan batas antara lahan milik penduduk dan lahan hutan menemukan puncaknya sejak Undang-Undang Agraria dikeluarkan tahun 1870 (diundangkan dalam lembar negara “Staatblad” no. 118). Dalam pasal 1 disebutkan:

“… dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein/milik Negara.12

Dengan kata lain, negara menjadi pemilik tanah di mana orang tidak dapat membuktikan hak kepemilikannya, atau lazimnya disebut asas Domein. Maka menjadi jelas, batas kawasan hutan ditetapkan secara tegas untuk menandai di mana lahan milik masyarakat berakhir dan wilayah hutan dimulai. Hutan kemudian dikuasai oleh negara secara sepihak dan sejak saat itulah muncul konsep “hutan negara”.

      

11 Harry J. Benda, dan Lance Castles. 1969. The Samin Movement. Dalam

Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 125., hlm. 221.

12 Boedi Djatmiko. Tanah Negara dan Wewenang Pemberian Haknya. 30

(20)

Menurut Schatter yang dikutip oleh Andiko,13 pada dasarnya terdapat 4 jenis property rights atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yaitu: milik pribadi (private property), milik umum atau bersama (common property), milik negara (state property), dan tidak bertuan (open access). Dalam

pertanian tradisional, semua masyarakat tradisional yang belum mengenal batas-batas pemilikan individual masih mengembangkan pola pola pertanian ladang berpindah.14 Pola pertanian serupa juga dijalankan oleh pengikut awal Samin.

Tradisi tersebut dimungkinkan, selain karena ketersediaan lahan yang melimpah serta jumlah penduduk yang sedikit, juga disebabkan oleh pandangan Samin bahwa semua orang berhak memanfaatkan hutan. Bahwa sumber daya alam termasuk hutan dapat dimanfaatkan oleh siapapun serta tidak boleh ada dominasi pemanfaatan di dalamnya. Dalam teori kepemilikan sumber daya, pandangan Samin terhadap hutan termasuk dalam kategori ke empat yakni hutan sebagai sumber daya yang tidak bertuan atau open access.

Penelitian ini mencoba menguraikan hubungan antara Samin Surosentiko beserta pengikutnya dengan hutan jati di Jawa abad XIX. Hubungan tersebut terutama antara penduduk dengan pengelola hutan jati saat itu yakni pemerintah Hindia Belanda. Dalam konteks sumber daya hutan, hubungan keduanya sangat menarik, karena di satu sisi, masyarakat Samin memiliki struktur pengetahuan terhadap hutan, kemudian di sisi lain muncul berbagai pengaturan hutan jati oleh pemerintah Hindia Belanda. Samin memiliki dua prinsip pemanfaatan hutan yakni       

13 Andiko. 2006. Menempa Ingin, Menjaga Percikan Api: Tantangan

Gerakan Petani Hutan di Jawa. Makalah HuMA, Tidak diterbitkan.

(21)

8  

kelestarian serta dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Hipotesis awal dari penelitian ini adalah penerapan dari prinsip-prinsip Samin atas pengelolaan sumber daya alam telah terganggu oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda, sehingga muncul apa yang oleh banyak kalangan disebut sebagai Gerakan Samin.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat Samin terhadap hutan? 2. Apa saja yang menjadi hambatan serta tekanan yang muncul?

3. Mengapa masyarakat Samin melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda?

1.3 Tujuan Penelitian 1. Akademis

(22)

2. Praktis

Sementara itu, secara praktis penelitian ini hendak memberikan pemahaman baru atas narasi sejarah yang berkembang selama ini bahwa kausalitas utama dari gerak sejarah Indonesia selalu berasal dari kebijakan kolonial. Gerakan Samin selama ini dinarasikan sebagai gerakan perlawanan masyarakat sekitar hutan terhadap kebijakan kehutanan yang meminggirkan hak akses masyarakat. Pemahaman baru yang ingin diajukan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh yang sangat besar dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Samin atas bentuk protes yang dilakukan.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi keilmuan sejarah pada khususnya serta perubahan cara pandang dari sejarawan atas fenomena gerakan sosial pedesaan yang pada abad XIX melalui studi kasus masyarakat Samin dan Kehutanan abad XIX.

2. Praktis

(23)

10  

dilakukan untuk penciptaan sejarah Indonesia yang berbasis keberlanjutan dan perubahan (continuity and change).

1.5 Teori dan Metode Penelitian

Penggunaan landasan teori dalam penelitian ilmu-ilmu sosial menjadi hal yang utama dalam mendekati sebuah pokok persoalan. Realitas sosial sehari-hari memiliki ragam yang tidak terhitung sekaligus berserakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu diusahakan penemuan pola-pola dari semua realitas sosial memungkinkan sebuah penjelasan umum yang bersifat universial, berlaku untuk ruang dan waktu apapun, serta lebih sistematis dalam pengaturan pengalaman-pengalaman maupun ide-ide. Hal ini juga berlaku dalam penelitian ilmu sejarah, di mana pendekatan ilmu-ilmu sosial masih menjadi pilihan utama para sejarawan.15

Kendatipun demikian, penggunaan teori sejarah dalam penelitian sejarah masih sangat relevan diajukan. Penggunaan teori sejarah dalam kerangka menjelaskan peristiwa sejarah, bukan pertama-tama ditujukan untuk menganalisa segi-segi yang nampak dalam peristiwa sejarah. Teori-teori sejarah diharapkan menuntut peneliti sejarah sedari awal untuk berfikir teoritis historis dalam menemukan genealogi fakta sejarah dan menunjukkan gerak sejarah seperti apa yang terjadi. Menjelaskan fenomena gerakan Samin abad XIX dengan

      

15 Kritik dalam ranah filsafat atas pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam

(24)

menggunakan teori sejarah dimungkinan tidak hanya dalam konteks tersebut di atas, namun juga dalam usaha penyusunan sejarah gerakan Samin yang lebih memperhatikan gerak sejarah dari dalam.

Pada dasarnya, ilmu sejarah menyelidiki arti sejarah, arah tujuan sejarah, gerak sejarah, makna sejarah, tafsiran sejarah, kausalitas sejarah dan sebagainya. Soal-soal tersebut dapat disebut sebagai teori sejarah. Karena di dalamnya terdapat usaha-usaha untuk menyelidiki dasar-dasar pengertian tentang sejarah. Teori-teori sejarah meliputi bidang-bidang yang beragam, misalnya teori tentang sumber-sumber, teori tentang cara penelitian sumber, teori tentang cara penafsiran sumber, teori tentang perkembangan masyarakat teori tentang gerak sejarah, teori penulisan dan lain-lain.

Dalam hal tersebut, penelitian ini menggunakan Teori perkembangan kebudayaan Arnold J. Toynbee. Dalam menjelaskan perkembangan kebudayaan, Toynbee menggunakan konsep tantangan (challenge) dan tanggapan (response). Ia berpendapat bahwa faktor lingkungan, kebangsaan, kepemimpinan, kepemilikan tanah, serta akses terhadap sumber daya alam, tidak terlalu memadai untuk menjelaskan perkembangan atau kehancuran sebuah kebudayaan. Atas dasar itu, Toynbee mencari faktor mendasar yang menentukan keberhasilan maupun kegagalan sebuah kebudayaan pada masa lalu.

(25)

12  

diartikan oleh Toynbee sebagai sebuah tantangan yang akan mendatangkan peluang serta solusi baru bagi perkembangan sebuah kebudayaan. Di sisi lain, tanggapan adalah perilaku yang dilakukan oleh masyarakat yang sama untuk mengatasi tantangan atau situasi baru tersebut.

Toynbee menganjurkan perhatian khusus pada dimensi penting dari perubahan atau tantangan. Terdapat tiga dimensi terkait dengan hal itu, yaitu: Pertama, tantangan besar yang jarang muncul. Tantangan besar biasanya berasal

dari perubahan lingkungan, teknologi, ekonomi, dan sosial. Kedua, tanggapan-tanggapan yang beragam dimungkinkan terjadi. Tanggapan beragam adalah wujud dari kreatifitas tanggapan. Ketepatan tanggapan dapat terseleksi dari ragam tanggapan yang ada. Ketiga, tanggapan yang berhasil mensyaratkan ketegasan dan keberanian (bold enough) dalam menghadapi tantangan yang muncul serta situasi yang baru tersebut. Dalam hal demikian, tanggapan memerlukan pemimpin yang kuat serta memiliki visi baru yang diterima oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, tanggapan memerlukan tindakan nyata dalam menghadapi tantangan yang muncul. Pada akhirnya, tanggapan-tanggapan tersebut akan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berhasil jika tanggapan-tanggapan tersebut merupakan koreksi berupa jalan tengah dalam usaha menuju tujuan bersama. Rencana-rencana besar yang cenderung kaku akan menimbulkan konfrontasi sosial di antara masyarakat itu sendiri.16

      

16 Arnold J. Toynbee. 1987. A Study of History: A Bridgement of

(26)

Sementara untuk menganalisa gerakan tanpa kekerasan yang dihidupi Samin dan pengikutnya pada abad XIX dan awal abad XX, digunakanlah teori gerakan tanpa kekerasan milik Gene Sharp seorang Profesor bidang politik pada Universitas Oxford. Sharp sering disebut juga sebagai “The Clausewitz of nonviolent warfare”. Dalam bukunya yang berjudul The Politics of Nonviolent

Action, Sharp banyak berbicara seputar teori gerakan tanpa kekerasan. Menurut

Sharp, bahwa kekuasaan tidaklah tunggal (monolitik), artinya bahwa tidak ada kekuasaan yang berasal dari diri sang penguasa itu sendiri. Bagi Sharp, kekuasaan politik di banyak negara berasal dari subyek dari negara itu sendiri, yakni rakyat. Sharp percaya bahwa apapun struktur kekuasaan adalah berasal dari kepatuhan rakyat pada perintah penguasa. Oleh karena itu, jika subyek tidak patuh, maka penguasa akan kehilangan kekuasaannya.17

Menurut Sharp, struktur kekuasaan mempunyai sistem, di mana sistem tersebut dapat mendorong ataupun memaksa rakyatnya untuk patuh. Negara pada dasarnya memiliki sistem yang kompleks untuk menjaga kepatuhan-kepatuhan dari rakyat. Sistem yang kompleks tersebut termasuk lembaga-lembaga tertentu misalnya polisi, pengadilan, dan lembaga-lembaga pengaturan yang lain serta dimensi-dimensi kultural yang mengilhami masyarakat untuk patuh pada penguasa. Oleh sistem-sistem tersebut, rakyat diperkenalkan pada sangsi-sangsi (berupa pemenjaraan, denda, dan pembuangan) dan penghargaan (berupa gelar,

      

17 http://wapedia.mobi/en/Gene_Sharp#2. Di akses pada tanggal 6 Juni

(27)

14  

kekayaan, dan popularitas), di mana keduanya diharapkan mempengaruhi patuh tidaknya rakyat kepada negara.

Berdasar pada itulah, rakyat sesungguhnya sangat relevan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, karena hal ini akan mendukung rakyat dalam usaha-usaha efektif membuka kesempatan sebuah perubahan tatanan. Mengutip Étienne de La Boétie, jika subyek-subyek dari negara mengakui bahwa mereka merupakan sumber utama dari kekuasaan negara, maka mereka dapat mengabaikan perintah dari pemimpin mereka. Dengan begitu, negara akan kehilangan kekuasaannya.

Secara metodologis, penelitian ini mendasarkan diri pada tahapan penelitian sejarah secara umum. Menurut Kuntowijoyo18, penelitian sejarah mempunyai lima tahapan, yakni: pemilihan topik; pengumpulan sumber; verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber); interpretasi berupa analisis dan sintesis; dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi. Sebagaimana dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini telah menentukan topik Gerakan Samin dan Kehutanan abad XIX. Setelah topik ditentukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan sumber-sumber sejarah (heuristik) baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka data-data diperoleh dari laporan-laporan penelitian tentang gerakan Samin dan tentang politik kehutanan kolonial. Laporan-laporan tersebut terdapat dalam buku, jurnal-jurnal, maupun artikel lepas di Internet.

      

18 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang

(28)

Setelah data-data tersebut terkumpul kemudian dilakukan tahapan verifikasi atau kritik sumber baik internal maupun eksternal. Pemilahan sumber sejarah didasarkan pada kebersesuaian sumber dengan topik penulisan ini. Tahap selanjutnya adalah interpretasi terhadap sumber-sumber yang telah ditentukan untuk dipergunakan lebih lanjut. Interpretasi yang dimaksud adalah pembacaan atas berbagai naskah penelitian serta kesimpulan-kesimpulan yang terpetakan dari berbagai sumber tersebut. Tahap selanjutnya sekaligus menjadi tahap terakhir yakni penulisan.

1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Samin dan Kehutanan

Buku yang mengantarkan keterkaitan antara Samin dengan kehutanan adalah Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa karangan Nancy Lee Peluso. Buku ini penting untuk memberikan gambaran seputar politik kehutanan serta sikap resistensi masyarakat sekitar hutan dalam menanggapi perkembangan model penguasaan dan pengelolaan hutan Jati di Jawa. Mirip dengan tulisan Nancy, Warto dalam studinya seputar Blandong mengaitkan antara kehutanan kolonial dengan kebijakan kerja wajib di bidang kehutanan dalam bukunya yang berjudul Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad Ke-19. Menurut

(29)

16  

dampak-dampaknya bagi masyarakat sekitar hutan. Sementara buku Warto lebih fokus pada kerja wajib kehutanan berupa blandong.

Suripan Sadi Hutomo dalam studinya tentang Samin dan Ajaran-ajarannya telah menjelaskan secara rinci tentang ajaran-ajaran Samin. Hasil penelitiannya termuat dalam Jurnal Basis Edisi edisi XXXIV berturut-turut bulan Januari dan Februari 1985, dan selanjutnya diterbitkan menjadi sebuah buku beserta tulisan dalam hal lain dalam buku Tradisi dari Blora. Hasil penelitian Suripan sangat penting untuk melihat beberapa segi seputar nilai-nilai kehidupan masyarakat Samin. Selain itu, temuan Suripan yang sangat penting adalah lima kitab yang disebut Jamuskalimasada yang berisi ajaran-ajaran Samin Surosentiko perihal konsep ketuhanan, etika kehidupan, etika politik, dan lain-lain.

(30)

1.6.2 Unsur Kausalitas

Unsur kausalitas gerakan Samin marak diperdebatkan oleh beberapa pakar sekaligus peneliti awal fenomena pedesaan ini. Benda dan Castles (1969) berpendapat bahwa konflik antara Kaum Samin dengan otoritas di atasnya adalah perwujudan resistensi dari tekanan ekonomi yang dialami, terutama terkait dengan kenaikan pajak, tanah, air, dan akses kayu Jati.19 Sementara Victor King

berpendapat bahwa faktor ekonomi bukanlah menjadi kausalitas absolut. King meragukan kausalitas ekonomi karena banyak petani miskin yang tidak masuk dalam gerakan Samin. King berpendapat bahwa kausalitas gerakan ini adalah faktor sosial melalui teori keresahan/kerusuhan pedesaan “rural unrest”.20

Selanjutnya adalah pendapat Korver yang menyatakan bahwa Benda & Castles serta Victor King sama-sama menggunakan pendekatan mono-kausal. Menurut Korver, dalam gerakan milenasime selalu disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang berbeda-beda serta keterkaitan diantaranya.21 Perdebatan kausalitas gerakan Samin dapat dilihat dalam Jurnal KITLV edisi 125, 129, 132, dan 133 yang masing-masing ditulis oleh Harry J Benda dan Lance Castles, Victor T King, serta Pieter E Korver. Ketiganya tidak memperlihatkan kausalitas yang utama dalam perjalanan sejarah Samin. Jika segala peristiwa multikausal,       

19 Harry J. Benda, dan Lance Castles. op.cit., hlm. 219.

20 Victor T King. 1973. Some Observations on the Samin Movement of

North-Central Java: Suggestions for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 129., hlm. 461.

21 A. Pieter E. Korver. 1976. The Samin Movement and Millenarisme.

(31)

18  

lalu kausalitas apa yang harus ada dan kausalitas apa yang bisa tergantikan oleh aspek-aspek yang lain? Penelitian ini akan mencari kausalitas utama namun tidak semata-mata tunggal, namun kausalitas tersebut sebagai sumber perjalanan sejarah Samin itu sendiri.

1.7 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini dituangkan ke dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan memuat latar belakang penelitian serta permasalahan-permasalahan yang mendorong untuk mengadakan penelitian ini.

Bab II berjudul “Identitas Samin dan Pengikutnya”. Bab ini akan membahas dan menguraikan segi-segi dalam ajaran Agama Adam yang diantaranya meliputi konsep ketuhanan, etika kehidupan, serta etika politik. Dalam kaitannya dengan hutan, akan dibahas pula sistem pengetahuan Samin dan pengkutnya atas tanah pertanian dan hutan.

Bab III berjudul “Penetrasi Kolonial Abad XIX”. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kronologi perjalanan panjang kolonialisme Belanda di Jawa. Selain itu, akan diuraikan juga perjalanan sejarah kehutanan Jawa terutama menyangkut soal hutan jati.

(32)

pembangkangan kata-kata, akan dijelaskan keterkaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Samin.

(33)

20  

BAB II

IDENTITAS SAMIN DAN PENGIKUTNYA

Asal usul Samin Surosentiko dapat diperiksa dalam kumpulan kitab-kitab peninggalan Samin Surosentiko. Kitab-kitab tersebut masih tersimpan rapi di desa Tapelan Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, Jawa Timur. Suripan Sadi Hutomo1

pada tahun 1979 meneliti tradisi lisan dan tradisi tulis Wong Sikep (Pengikut Ajaran Samin Surosentiko “Agama Adam”) di desa Tapelan. Suripan mengumpulkan data-data wawancara serta beberapa kitab peninggalan Samin di desa Tapelan. Kitab-kitab tersebut berjumlah lima, dan kemudian terkenal dengan Kitab Jamuskalimasada.

Perdebatan mengenai apakah Samin meninggalkan ajaran yang tertulis ataukah menyarankan untuk melestarikan tradisi lisan sudah marak sejak 30 tahun silam. Mengenai keterbatasan sumber tulis dalam penelitian gerakan Samin, Paulus Widiyanto dalam majalah Prisma edisi Agustus 1983 sampai pada pernyataan: “Para ahli bulat pendapatnya bahwa Samin tidak meninggalkan ajaran tertulis”.2 Pendapat ini sepadan dengan apa yang diungkapkan oleh Merle C. Ricklefs bahwa Samin tidak dapat membaca dan menulis:

“Di daerah Blora bagian selatan (Jawa Tengah-Utara), seorang petani Jawa yang buta huruf bernama Surantika Samin (?1859-1914) telah menghimpun pengikut di kalangan para petani yang menolak segala bentuk kekuasaan dari luar, dan yang khususnya tidak menyukai

      

1 Suripan Sadi Hutomo. op. cit., hlm. 13-17.

2 Paulus Widiyanto. 1983. Samin Surosentiko dan Konteksnya. Prisma,

(34)

peraturan-peraturan kehutanan yang baru diterapkan di kawasan hutan jati ini.”24

Kesimpulan yang menyatakan bahwa Samin buta huruf, ajaran Samin tidak tertuliskan pada masanya, hanya mengandalkan tradisi pengajaran lisan tentulah telah terpatahkan oleh temuan Suripan Sadi Hutomo berupa kumpulan 5 (lima) Serat yang terkumpul menjadi satu kitab bernama Kitab Jamus Kalimasada di desa Tapelan, Bojonegoro. Dalam Serat Uri-uri Pambudi yang merupakan salah satu dari 5 (lima) Serat dalam kitab tersebut, terdapat anjuran-anjuran untuk mempelajari buku-buku kuna dan bahasa kawi. Di samping itu disebutkan juga beberapa nama buku yang telah dibaca oleh Samin Surosentiko. Misalnya sebagai berikut:

1. “… Mangertos dhateng larasing sekar ageng ingkang asri kagem ambawani gendhing.” (mengerti akan irama Sekar Ageng [Tembang Gedhe] yang bagus sekali mengawali lagu)

2. “… sarta mangertos dhateng tembung kawi punika kasaged anggampilaken pangertosan anggenipun remen maos buku-buku karanganipun para linangkung ing jaman kina.” (… serta mengerti kata-kata bahasa Kawi agar dapat memudahkan kita membaca buku-buku karangan orang cerdik pandai jaman dulu)

3. “… Umpaminipun kados dene serat punika utawi Wedhatama kawedhar.” (… Misalnya seperti buku yang telah kalian baca atau seperti buku Wedhatama yang telah dikupas)

4. Tumrap Ronggowarsitan piyambak sampun nglampahi, ngebleng kanthi angeningaken cipta…” (Bagi Ronggowarsita sendiri, sudah menjalankannya yaitu bersamadi…)

5. “… Tekadipun dhateng kasidan sang wiku jamadagni punika dipun cariyosaken wonten ing Serat Rama.” (… Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggal tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan dalam Serat Rama)25

      

24 M. C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press., hlm. 254.

(35)

22  

Dengan adanya data di atas, menurut Suripan, dapatlah disimpulkan bahwa Samin Surontiko bukanlah orang desa biasa, melainkan orang desa yang istimewa. Berkat bacaannya yang luas, yang kemudian menjadi referensi atas pembuatan Kitab Jamus Kalimasada tersebut, maka Samin Surontiko mampu mengajak bangsanya yang tertindas untuk melawan pemerintah Hindia Belanda dengan taktik dan strategi tersendiri. Terlebih lagi, memperhatikan konsep negara ideal yang dicita-citakan Samin, di dalamnya mensyaratkan keutamaan dari pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan referensi dari kitab-kitab lama sebagaimana yang telah di baca oleh Samin Surosentiko.

Hal ini tidak bermaksud mempertentangkan, apakah gerakan Samin merupakan gerakan elit bangsawan atau gerakan rakyat jelata. Pencarian jawaban atas pertanyaan, apakah Samin buta huruf atau tidak, membawa implikasi tersendiri atas penggalian sumber sejarah serta penggunaannya dalam usaha menjelaskan Gerakan Samin pada abad XIX. Lebih jauh lagi, mengabaikan atau tidak mengabaikan sumber lokal (berupa manuskrip Kitab Jamus Kalimasada) serta penggunaan sumber-sumber kolonial atau karya-karya yang merujuknya, akan menentukan bagaimana sejarah dapat menjelaskan Gerakan Samin serta jenis eksplanasi sejarah seperti apa yang akan dihasilkan.

Sebagai contoh kecil, mengapa masyarakat pengikut Samin sering tidak bersedia disebut sebagai “orang Samin” tapi lebih suka disebut sedulur Sikep atau wong Sikep. Atau mengapa masyarakat pengikut Samin tidak bersedia disebut

(36)

“Saminis” merupakan sebutan dari masyarakat di luar pengikut Samin yang bermaksud menyebut masyarakat yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko. Sementara itu, “Saminisme” untuk menyebut ajaran-ajaran Samin Surosentiko sendiri. Dalam laporan Benda dan Castles yang mengutip laporan Residen Rembang tahun 1914, sangat jelas disebutkan bahwa mereka (pengikut Samin) menyebut diri mereka wong Sikep serta menganut ajaran elmu nabi Adam.26

Menurut Onghokham, wong Sikep berarti orang yang merengkuh atau merangkul. Sikep juga mengacu pada jenis-jenis hak tertentu yang disertai dengan kewajiban kerja wajib, termasuk di antara mereka adalah cikal bakal atau pendiri desa yang pertama kali membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman. Selain pengertian tersebut, sikep juga bermakna sikep rabi yakni membangun keluarga melalui perkawainan. Sehingga, apa yang kemudian disebut sikep dapat bermakna dua; sikep bermakna petani yang memiliki tanah pertanian,

serta benda-benda kepunyaan yang lain dan sikep yang bermakna sikep rabi. Kaum Samin sering menyebut dirinya sebagai sedulur Sikep atau wong Sikep, yakni petani yang bertanah; mengolahnya sehingga menghasilkan pangan dan penyempurnaan hidup dengan menikah (sikep rabi). 27

      

26 Lihat transkip sebuah interogasi pengikut Samin di sebuah pengadilan

terkait kasus pajak di Harry J. Benda & Lance Castles. op. cit., hlm. 225-226. Dalam dua pertanyaan yang diulang oleh hakim, pengikut Samin tetap menjawab: “Wong Sikep tidak mengenal “pajak”. Istilah “wong Sikep” merupakan sebutan lain dari para pengikut Samin Surosentiko.

27 Sebagaimana dikutip oleh Nancy Lee Peluso dalam Nancy Lee Peluso.

(37)

24  

Perbedaan istilah antara orang samin dan wong sikep ataupun saminisme dan agama adam, pada dasarnya berangkat dari fakta yang sama yakni masyarakat pengikut Samin serta sistem kepercayaan yang mereka anut. Jadi kiranya tidak tepat apabila menyebut masyarakat pengikut Samin sebagai ”orang Samin”, karena Samin sendiri merupakan nama seseorang yang secara kebetulan menjadi pemimpin dari Gerakan pedesaan tersebut. Selain itu, kiranya juga tidak tepat apabila menyebut sistem kepercayaannya sebagai ”Saminisme” karena sistem kepercayaan yang dimaksud Samin sendiri adalah apa yang ia sebut sendiri sebagai Agama Adam. Kehati-hatian dalam penyebutan tersebut selain dalam usaha mendekati kebenaran sejarah, juga untuk meneguhkan kembali penjelasan sejarah berbasis masyarakat sebagai subyek sejarah itu sendiri. Pada uraian selanjutnya, masyarakat pengikut ajaran Samin Surosentiko, secara bergantian, akan disebut wong sikep dan pengikut Samin. Sementara itu, ajaran Samin akan disebut agama Adam.

2.1 Agama Adam 2.1.1 Kebertuhanan

(38)

spiritual, sistem kekebarabatan, ekonomi, dan politik. Oleh karenanya, Ricklefs berpendapat bahwa ajaran Samin merupakan doktrin yang tidak jelas.

“… ajaran Samin lebih merupakan suatu kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang tidak jelas yang menitikberatkan pada mistik, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga inti, sementara menolak perekonomian uang, struktur-struktur desa yang bersifat non Samin, dan segala bentuk kekuasaan dari luar.”28

Selain cakupan ajaran yang luas, ketidakjelasan yang dimaksud Ricklefs, salah satunya dikarenakan bahasa wong Sikep yang acap kali harus dimaknai secara artifisial karena kata-kata verbalnya penuh dengan teka-teki serta butuh pemahaman yang mendalam. Sedikitnya sumber primer berupa manuskrip ajaran Samin semakin menyusahkan peneliti untuk mencari sumber alternatif selain sumber lisan, untuk mendapatkan kejelasan model keagamaan yang dianut wong Sikep.

Ketidakjelasan model keagamaan yang diungkapkan Rickefs juga terkait dengan konsep keberadaan Tuhan. Terkait dengan hal itu, hasil penelitian King serta Benda dan Castles menyatakan bahwa Samin menganut paham Atheis di mana tidak ada kepercayaan terhadap Allah, dan tidak percaya atas adanya surga dan neraka. Samin mempunyai kepercayaan “Tuhan itu ada dalam diri sendiri” dan penyelamat dari siksaan adalah diri sendiri juga.29 Pendapat King serta Benda dan Castles yang menganggap Samin tidak mengakui keberadaan Tuhan

      

28 M. C. Ricklefs. op. cit.

29 Harry J. Benda, dan Lance Castles. op. cit., hlm 226; Victor T. King. op.

cit., hlm. 473; lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho

(39)

26  

didasarkan pada laporan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang menginterpretasikan prinsip kebatinan Samin perihal manunggaling kawula Gusti.

Samin Surosentiko memiliki penjelasan tersendiri atas konsep manunggaling kawula Gusti. Menurut Samin, manunggaling kawula Gusti dalam

konteks ketuhanan dapat diibaratkan sebagai ‘rangka umanjing curiga. Berikut gambaran konsepsi tersebut dalam Serat uri-uri Pambudi yang dicatat ulang oleh Suripan Sadi Hutomo:

“Rangka umajing curiga punika ngibarating ngilmi anedahaken pamoring kawula Gusti ingkang sejati. Sirnaning Kawula, jumeneng Gusti balaka. Ageng (gonja) wesi aji punika sanepa pamor netepaken bilih kados mekaten punika namun kaling-kalingan wuwujudan kita piyambak. Inggih gesang panjenengan inggih ingkang anggesangaken badan kita punika nunggil pancer. Gesang sejati punika inggih agesangi sagung dumados.”30 (Tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ketuhanan [ngilmi, ngelmu]. Hal ini menunjukkan pamor [percampuran] antara makhluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila makhluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan [Khalik]. Keris merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran makhluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging, dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer [pokok] kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta ini).

Selanjutnya Samin Surosentiko memberikan penjelasan lebih lanjut tentang manunggaling kawula Gusti, yaitu:

“… dene ingkang sifat wisesa (wewakiling Allah tangala) inggih punika Ingsun, yasa daleman ageng. Ingkang minangka warananipun, inggih punika wujud kita manungsa (ingkang minangka kenyataanipun Ingsung) engkang nembe kawula kang sinembah Gusti sajatosipun tutunggilan namung kaling-kalingan ing sipat. Tegesipun ingkang jumeneng gesang pribadi sampun kempal dados satunggal… “31

      

(40)

(… yang dinamakan sifat wisesa [penguasa utama/luhur] yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ‘Ingsun’ [Aku], yang membuat rumah besar. Yang merupakan dinding [tirai] yaitu badan atau tubuh kita [yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya Ingsun]. Yang bersujud adalah makhluk, sedang yang disujudi adalah Khalik [Allah, Tuhan]. Hal itu sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya hidup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khalik-nya) Suripan Sadi Hutomo memberikan pendapat atas eksistensi Tuhan bagi Samin dan pengikutnya. Melalui pemeriksaan manuskrip yang berisi ajaran-ajaran Samin di desa Tapelan, Suripan menyatakan bahwa Samin dan pengikutnya adalah kaum theis. Dalam manuskrip tersebut tergambar kepercayaan yang sangat kuat dari Samin serta pengikutnya terhadap keberadaan Tuhan yang sering mereka sebut Gusti, Pangeran, Allah atau Gusti Allah. Samin Surosentiko dalam Serat uri-uri Pambudi yang didapat Hutomo di desa Tapelan mengatakan:

“Menggah dudunungan bilih Gusti Allah punika wonten, wiwijangipun wonten sekawan. Watesi jagad ing sisih ler, kidul, wetan, tuwin kilen. Puniko ingkang nekseni (inggih wontenipun jagad isinipun punika sadaya ingkang minangka seksi, bilih Gusti wonten…”32

(Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia di sebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada…)

Jelas dalam kutipan di atas bahwa Samin Surosentiko mengakui adanya Tuhan. Secara mistik (kebatinan), batas-batasnya adalah utara, selatan, timur, dan barat. Isi dalam semesta yang tercermin ke empat sudut arah tersebut (utara, selatan, timur, dan barat) adalah bukti bahwa Tuhan itu ada. Sebab isi alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Dan Tuhan itu ada di dalam diri sendiri pada masing-masing wong Sikep.

      

(41)

28  

Konsep ketuhanan seperti itu membawa implikasi terhadap kehidupan wong Sikep sehari-hari, misalnya hubungan wong Sikep dengan tanah pertanian

dan kehutanan. Dalam kegiatan pertanian, seperti halnya tradisi pertanian masyarakat Jawa pada umumnya, penghormatan terhadap alam diabstraksikan melalui pengakuan serta pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan atau Dewi Ibu. Sehingga, keseimbangan hubungan antara wong Sikep dengan alam perlu dijaga. wong Sikep memandang bahwa mengolah lahan pertanian sama halnya dengan “perkawinan manusia” dengan alam.

Kesatuan yang serasi antara suami dan istri dalam ikatan perkawinan wong Sikep akan menghasilkan kedamainan dan kesuburan. Oleh karena itu wong Sikep

menghargai perkawinan dan menganggapnya suci. Hal ini juga berlaku dalam kebudayaan pertanian mereka. Penghargaan terhadap tanah sebagai faktor yang suci menjadikan “perkawinan” tersebut dijaga dengan sepenuh hati. Itulah sebabnya wong Sikep rajin mengelola tanahnya sehingga sawah mereka merupakan yang terbaik dibandingkan dengan sawah petani-petani bukan wong Sikep. Penghargaan terhadap keberadaan sumber daya agraria tersebut juga

berlaku bagi cara pandang wong Sikep terhadap hutan.

2.1.2 Angger-Angger

(42)

dianjurkan untuk bekerja dengan rajin, untuk sabar, jujur, dan murah hati. Mereka juga menganut faham persamaan derajad dan mencintai sesama.33

Dalam tradisi lisan wong Sikep, secara sederhana terdapat tiga hukum (angger-angger) yang harus diikuti: angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger

lakonana (hukum perihal apa yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama

berbunyi: Aja drengki srèi, tukar padu, dahpèn, kemèrèn. Aja kutil jumput, mbedhog colong. Maksudnya, wong Sikep dilarang memiliki sifat dengki

(membenci orang lain), berperang mulut, iri hati terhadap orang lain, berkehendak memiliki hak orang lain. Selain itu, wong Sikep juga dilarang mengambil milik orang lain tanpa ijin dari yang punya.

Bukti nyata dari kesetiaan wong Sikep terhadap aturan tesebut dapat dilihat pada kehidupan kekinian mereka. Sekadar contoh, di desa Tapelan, Bojonegoro, ketika Wong Sikep menemu sesuatu di jalan, mereka tidak akan mengambilnya, mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan barang yang tertinggal tersebut. Jangankan mengambilnya, bermaksud mengambilnya saja tidak. Karena menurut mereka, barang itu bukanlah miliknya, dan tidak ada izin dari yang punya barang. Hal yang sama juga berlaku di dusun Balong, Kecamatan Kradenan, Blora, Wong Sikep tidak pernah berkehendak untuk mengikuti capaian-capaian kegiatan

ekonomi orang lain, semua sudah ada rejekinya masing-masing, begitulah prinsip hidup mereka.

      

33 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., op. cit.,

(43)

30  

Hukum yang kedua berbunyi: “Pangucap saka lima bundhelané ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.” Maksud dari hukum ini, orang

berbicara harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh, dan sembilan. Angka-angka tersebut di sini adalah angka-angka simbolik belaka. Makna umumnya adalah kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain. Tidak “menjaga” mulut, mengakibatkan hidup manusia di dunia ini tidak sempurna. Maka orang harus berbicara secara baik dengan orang lain.

Hukum yang ketiga berbunyi: “Lakonana sabar trokal. Sabaré diéling-éling. Trokalé dilakoni.” Maksudnya, Wong Sikep senantiasa diharapkan ingat pada kesabaran dan serta kesabaran itu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi segala permasalahan, prinsip kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan masalah menjadi acuan utama. Di lain sisi, selalu menempatkan segala bentuk kebahagiaan maupun kesedihan sebagai bagéan (sesuatu yang kodrati harus diterima). Secara umum, prinsip ini dapat dihubungkan dengan filsafat Jawa wong sabar bakal subur (orang yang sabar kelak akan makmur/bahagia) ataupun nrimo ing pandum (menerima dengan iklas pemberian Tuhan).

2.1.3 Definisi Negara

(44)

Kasajatén. Ajaran ini ditulis dalam tembang tengahan metrum Dudukwuluh (Megatruh):

“Negaranta niskala anduga arum, apraja mulwikang gati, gen ngaub miwah sumungku, nuriya anggemi ilmu, rukunarga tan ana blekuthu”34 (Negara kalian akan terkenal, pemerintah yang membuahkan tanda waktu, untuk berteduh dan menaati peraturan, apabila para warga suka pada ilmu, sehingga menimbulkan kerukunan dan tanpa ada gangguan apapun)

Dalam bait tembang tersebut di atas, Samin Surosentiko mengatakan bahwa sebuah negara itu akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung rakyatnya, apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian. Rupanya, keinginan Samin Surosentiko atas bentuk kenegaraan yang ideal adalah sebuah negara beserta rakyatnya yang memperhatikan keutamaan ilmu pengetahuan. Terkait dengan hal itu, Samin menambahkan penjelasan tentang pentingnya taat pada aturan serta kerukunan sosial yaitu dalam sajian metrum Dhandhanggula sebagai berikut:

“Pramila sesama kang dumadi, mikani rèh papaning sujana, supaya tulus pikukuhé, angrengga jagat agung, lelantaran mangun sukapti, limpadé kang sukarsa, wiwaha angayun, suka bukti mring prajèngwang, pananduring mukti kapti amiranti, dilah kandiling satya”35

(Itulah sebabnya sesama makhluk Tuhan, memahami hukum dari para cerdik cendikia, upaya abadi kepercayaan, menghiasi alam semesta, dengan niat yang baik, kecendikiaan yang menyenangkan, [bagaikan] pengantin yang berkeinginan, suka berbakti kepada negaranya, ingin memasak makanan yang telah siap bumbunya, lampu dian yang mendiani kesetiaan)

      

(45)

32  

Setidaknya, dua kutipan dalam Serat Pikukuh Kasajatèn tersebut memperlihatkan dua kriteria sebuah negara yang ideal menurut Samin Surosentiko: (1) kemajuan negara didasarkan pada kecendekiawanan; (2) serta kerukunan yang disandarkan pada kesetiaan warga negara kepada negaranya.

Selain dua kriteria tersebut, konsep negara menurut Samin Surosentiko disandarkan pada sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah ada di pulau Jawa serta mengaitkannya dengan kisah pewayangan sebagaimana termuat dalam Serat Punjer Kawitan berikut:

“Brawijaya kang kapisan, prabu Bra Tanjung sesiwi, nama prabu Brawijaya, kang kaping gangsal mungkasi, nagari Majapahit, Brawijaya susunu, Radèn Bondan Kajawan, Lembu peteng wau nenggih, apeputra ki Ageng Getas pandhawa,

(Brawijaya pertama, prabu Bra Tanjung berputera, nama prabu Brawijaya, kelima yang mengakhiri, negara Majapahit, Brawijaya berputera, Raden Bondan Kajawan, Lembu Peteng sebutannya, berputera Ki Ageng Getas Pandhawa)

Puputra Ki Ageng Séla, anulya Ki Ageng Enis, putra Kyageng Pamanahan, iya Ki Ageng Mentawis, puputra Sénopati, alaga nulya sinuwun, kang séda ing Krapyak, anulya putri nirèki, Sultan Agung puputra Sunan Mangkurat,

(Dia berputera Ki Ageng Sela, kemudian Ki Ageng Enis, berputera Ki Ageng Pemanahan, yaitu Ki Ageng Mataram, berputra Senapati Ing Ngalaga, kemudian sang prabu, yang meninggal di Krapyak, kemudian puteranya, bernama Sultan Agung, Dia berputera Sunan Mangkurat)

Paku Buwana kaping tiga, anulya Buwana nirèki, sinuwun Kanjeng Susunan, ingkang ayasa semani, semare ing Mogiri, iya Jeng Susuhunan Bagus, Paku Buwana kapisan, ratu ambeg wali mukmin, apuputra Pangran Dipati Purbaya”36

(Paku Buwana ketiga, kemudian puteranya, sang prabu Kanjeng susuhunan, yang mendirikan “semani”, yang dimakamkan di Imogiri, yaitu Kanjeng Susuhunan Bagus, Paku Buwana pertama, raya yang bersifat wali mukmin, berputera Pangeran Adipati Purbaya)

      

(46)

Dilalui dua pada (bait). Kemudian tertulis lagi sebagai berikut:

“Kuneng malih kang winarna, sajarah Wiratha nagri, kumalunné lawan Ngastina, putranira Hyang Pamesthi, Bathara Wisnumurti, apuputra nama prabu, Basurata anama, nulya prabu Basupati, nulya prabu Basukesthi apuputra”37

(Tersebutlah lagi cerita, sejarah negara Wiratha, beserta negara Ngastina, putera Hyang Pramesthi, Bhatara Wisnumurti, puteranya bernama, prabu Basurata, kemudian prabu Basupati, kemudian prabu Basukethi berputera) Dalam Serat di atas sangatlah terlihat usaha Samin Surosentiko dalam mengaitkan sejarah Jawa dengan dunia pewayangan. Pengaitan keduanya sejak awal sudah nampak ketika Samin berceramah di oro-oro (tanah lapang) desa Bapangan, Blora, pada malam kamis legi tanggal 7 Februari 1889. Dalam ceramahnya, Samin Surosentiko antara lain mengatakan sebagai berikut:

“Gur tamèh éling bilih sira kabèh horak sanès turun Pandawa, lan huwis nyipati kabrokalan krandhah Majapahit sakèng kakragé wadya musuh. Mula sakuwit liyén kala nira Puntadéwa titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijaga. Hiku maklumat tuwila kajantaka.”38

(Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Pandawa, yang sudah mengetahui kehancuran keluarga Majapahit yang disebabkan oleh serangan musuh. Maka dari itu sejak peristiwa tersebut Puntadewa menitipkan tanah Jawa pada Sunan Kalijaga. Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan)

Rupanya identitas yang diberikan Samin kepada pengikutnya adalah keturunan Pandawa, serta mewarisi tanah Jawa sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit. Artinya, tanah Jawa adalah milik “wong Jawa” (orang Jawa). Oleh karena itulah maka siapa yang berkuasa atas manusia Jawa adalah dirinya sendiri. Sementara itu, sumber daya alam yang terdapat di tanah Jawa adalah milik orang       

(47)

34  

Jawa, adalah milik Samin Surosentiko dan pengikutnya. Tidak terkecuali tanah, air, dan kayu jati. Karena semua itu adalah warisan dari leluhur mereka yaitu Pandawa.

2.2 Sistem Agraria 2.2.1 Tanah Pertanian

J.H. Boeke membedakan dua tipe ekonomi tradisional di Jawa yakni ekonomi desa dan ekonomi supra desa.39 Ekonomi desa dijalankan dengan bentuk-bentuk kerjasama antar warga yang bersifat kekerabatan, pemerataan (distributif), gotong royong, kepatuhan pada pranata mangsa (tata musim bertani), dan sangat kental dengan corak pertanian subsisten yakni non dinamis dan non kapitalis. Sementara itu, di atas kehidupan desa terdapat kehidupan ekonomi teratur antara kekuasaan supra desa dengan pemerintah desa. Sifat dari ekonomi supra desa ialah dinamis, kapitalis, dan egoistis atau individualistis. Ekonomi supra desa berjalan dengan disandarkan pada ikatan-ikatan kekuasaan pemerintah dengan institusi desa. Pembahasan mengenai ekonomi supra desa terkait erat dengan aspek politik, sementara ekonomi desa dapat dijelaskan dengan pendekatan ekonomi pertanian serta hubungan-hubungan sosial di antaranya.

      

39 Boeke menyebutnya sebagai teori “dualisme ekonomi”. Secara ringkas,

(48)

Ekonomi desa atau ekonomi pedesaan di Jawa terkait erat dengan tanah sebagai sarana utama gerak ekonomi. Tanah sebagai sarana produksi pertanian memiliki pengaturan-pengaturan dalam pola penguasaanya. Secara umum pola penguasaan tanah di Jawa abad XIX dapat digolongkan menjadi dua yakni tanah individual dan tanah komunal. Tanah individual yakni tanah yang dikuasai oleh individu yang pertama-tama membuka tanah itu atau yang diperolehnya melalui warisan. Kemudian tanah komunal adalah tanah desa yang dibagi-bagi penggarapannya kepada penduduk desa secara bergilir setiap tahun atau dalam periode tertentu serta tidak dapat diwariskan.40

Seperti halnya masyarakat lain di Jawa, kehidupan Samin dan pengikutnya pada abad XIX mengandalkan tanah sebagai alat produksi pertanian. Konsep tanah individu juga dimiliki oleh masyarakat Samin, demikian halnya tanah komunal. Pola penguasaan tanah individu pada masyarakat Samin abad XIX salah satunya dapat dilihat pada tanah milik Samin Surosentiko itu sendiri. Samin Surentiko memiliki 2,1 hektar (3 bau) sawah, ¾ hektar tanah kering atau tegalan.41 Seperti telah diungkapkan sebelumnya, seseorang yang berhasil membuka hutan dan menjadikan tanah itu sebagai lahan pertanian, maka dia diakui sebagai pemilik tanah itu atau pemilik asli. Terkait dengan pemilik asli, pada tahun 1832       

40 Untuk lebih jelasnya, lihat Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah

dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX”, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dkk. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – PT. Gramedia., hlm. 28-85.

41 Harry J. Benda, dan Lance Castles. op. cit., hlm. 210; Emmanuel

(49)

36  

Residen Rembang membuat laporan mengenai hak penggarapan pertama atas tanah sawah. Dikatakan bahwa di karesidenan Rembang seseorang yang berhasil membuka tanah pertanian baru diakui sebagai pemilik tanah itu dan mempunyai hak khusus atas tanah itu. Jika dia meninggal tanah itu jatuh kepada ahli waris atau keluarganya.42

Mayoritas para peneliti Samin menyatakan bahwa komunitas Samin adalah komunitas yang tertutup, tidak mau berbaur dengan masyarakat di luar Samin.43 Eksklusifitas kaum Samin tidak berarti mencerminkan individualitas

dalam pengerjaan lahan pertanian masing-masing. Sama halnya dengan masyarakat Jawa yang lain, prinsip-prinsip gotong-royong dalam pengerjaan lahan pertanian berlaku dalam sistem pertanian masyarakat Samin.

Gotong-royong petani Jawa disimpulkan oleh James Scott sebagai bentuk resistensi sekaligus tindakan bertahan hidup (survive) atas tekanan dari pihak luar. Moral ekonomi petani mengandaikan kolektifitas kebertahanan hidup melalui praktek-praktek seperti sistem bagi hasil dan selamatan yang dilakukan oleh petani kaya sebagai tanda pembagian rezeki, serta konsep share poverty sebagai implikasi dari praktek revolusi hijau di awal abad XX.44

      

42 Warto. op. cit., hlm. 37-38.  43

 Pada tahun 1905 masyarakat Samin tidak mau lagi menyetor padi ke lumbung desa dan tak mau membayar pajak, serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka di kandang umum bersama-sama dengan orang desa lainnya yang bukan orang Samin. Hal ini sering disimpulkan secara tergesa-gesa untuk menyatakan kebertutupan masyarakat Samin dari masyarakat luar Samin.

44 James C. Scott. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan

(50)

Pendapat Scott tentang moral ekonomi petani dibantah oleh Samuel Popkin. Menurut Popkin, pada dasarnya tidak ada gotong-royong dalam kehidupan pertanian pedesaan. Perubahan-perubahan sosial di pedesaan bukan karena peran kekuatan kolektif masyarakat desa, melainkan pada pribadi-pribadi petani itu sendiri. Kepemilikan tanah pertanian secara individual menunjukkan adanya ikatan pribadi antara petani dengan tanahnya masing-masing. Ikatan pribadi tersebut juga dalam hal produksi serta pemanfaatan hasil produksi pertanian. Popkin selalu yakin bahwa petani itu sangat rasional. Dan rasionalitas petani menyatakan bahwa cara produksi individual dalam pertanian lebih efektif ketimbang produksi pertanian kolektif. Selain itu, Popkin juga menunjukkan adanya ‘free-riders’ di desa yaitu orang-orang yang tidak mau bekerja sama tetapi menikmati hasil-hasil kerja kolektif itu. Menurut Popkin, Scott terlalu meromantisasi aspek kehidupan gotong-royong petani.45

Melampaui keduanya, kehidupan gotong-royong petani tanpa diromantisasi, senyatanya telah ada sejak dulu. Gotong-royong muncul tidak semata-mata disebabkan oleh keterjepitan kehidupan petani pedesaan. Scott dan Popkin mengabaikan aspek nilai-nilai kehidupan pedesaan Jawa yang jauh dari sifat-sifat individualis. Meski Popkin merumuskan teorinya sebagai ”rasionalitas petani”, Scott pun ternyata ”terlalu rasional” dalam memeriksa kehidupan petani Jawa. Keduanya ”terlalu rasional” sehingga mengandaikan petani Jawa sama

      

45 Bantahan Samuel Popkin terhadap Scott dapat dilihat dalam wawancara

(51)

38  

sekali tidak mengenal konsep gotong-royong tanpa adanya keterjepitan keadaan serta tekanan dari pihak luar.

Seperti telah diungkapkan di awal, selain pola penguasaan pribadi atas tanah pertanian, masyarakat Jawa juga mengenal penguasaan tanah secara komunal. Secara umum, penyebutan tanah komunal pada beberapa karesidenan di Jawa berbeda-beda. Di karesidenan Bagelan, sawah komunal disebut sanggan, di karesidenan Pekalongan di sebut playangan, di karesidenan Rembang disebut bagen (atau bagian). Penguasaan komunal merupakan bentuk penguasaan di mana

seseorang (atau keluarga) memanfaatkan tanah tertentu yang hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa (atau dari dukuh sebagai komponen desa), yaitu bahwa orang tersebut tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan tanah tersebut dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala. Persyaratan untuk menggarap tanah komunal ada tiga: mampu dan mau melakukan kerja wajib, telah berkeluarga, serta disepakati oleh penggarap-penggarap yang lain.46

Secara umum terdapat tiga bentuk pembagian tanah komunal di Jawa, yaitu: (1) pembagian atau penggarapan tanah sawah dari tahun ke tahun tetap pada penggarap yang sama; (2) tanah dibagi secara bergilir di antara penduduk desa setiap tahun secara permanen, sehingga tiap orang mendapat bagian tanah yang berkualitas baik maupun kurang baik; (3) menggarap tanah secara bergantian, yaitu pada tahun pertama seseorang mendapat kesempatan menggarapnya dan tahun ke dua dia tidak menggarap lagi karena diberikan kepada orang lain.47       

46 Sediono M.P. Tjondronegoro dkk. op. cit., hlm. 47-56.

(52)

Menurut Warto, di wilayah karesiden Rembang umumnya menggunakan pola pertama yakni pembagian tanah sawah dari tahun ke tahun tetap pada penggarap yang sama.

Masyarakat Samin juga mengenal tanah komunal dan beberapa diantaranya menggarap tanah komunal tersebut. Data resmi Koloniale Verslagen yang dikutip oleh The Siauw Giap sebagaimana ditulis oleh King menyatakan demikian:

“berdasarkan statistik resmi, banyak pengikut Samin yang memiliki sawah milik yang kemudian disebut petani gogol. Namun, pengikut Samin juga memiliki tanah komunal yang pengerjaannya bergilir setiap tahun”48

Hal lain yang menunjukkan bahwa masyarakat Samin mengenal dan memanfaatkan lahan pertanian komunal adalah sebagai berikut:

“Beberapa pengikut Samin membaringkan diri di atas tanah mereka ketika para penyelia Belanda datang untuk menata ulang penggolongan tanah komunal dan tanah untuk gaji. Orang-orang Samin itu kemudian berteriak Kanggo (Tanah ini punyaku).”49

Secara umum dapat disimpulkan bahwa masyarakat Samin abad XIX mengenal dua tipe sistem penguasaan tanah pertanian, yakni tanah individu dan tanah komunal, yang digarap secara bergilir dalam jangka waktu tertentu. Baik tanah individu maupun tanah komunal, keduanya terkait erat dengan hutan. Tanah milik pada awalnya berasal dari pembukaan hutan oleh orang pertama. Selain itu, hutan juga dipandang sebagai sumber daya komunal yang di dalamnya terdapat tanah dan kayu.

      

(53)

40  

2.2.2 Hutan

Samin Surosentiko dilahirkan dan tetap tinggal di pusat zona jati Jawa. Daerah itu bernama distrik Randublatung. Persinggungan antara Samin Surosentiko dan pengikut awal Samin dengan hutan merupakan fakta yang tidak terpungkiri. Persinggungan tersebut terkait erat dengan tradisi kaum Samin dalam memandang serta memanfaatkan hutan dalam kehidupan sehari-hari.

Penduduk membuka hutan serta membersihkannya untuk keperluan produksi pertanian, dan terkadang dijadikan untuk padang rumput yang dapat menarik hewan yang diburu orang untuk dimakan. Selain itu, warga kelompok elit memerlukan kayu untuk membuat rumah tinggal, istana kuda, lumbung dan gudang, juga bangunan-bangunan lain.50

Praktek-praktek kehutanan masyarakat Samin dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa mengambil kayu bakar, kayu perkakas untuk membuat serta memperbaiki rumah, menggembalakan sapi dan ternak, lahan tegalan untuk tanaman palawija, semuanya dilakukan dalam kawasan hutan. Hutan menjadi milik bersama dan siapa saja boleh memanfaatkannya selama belum dibuka atau dirubah keberfungsiannya menjadi lahan pertanian. Di karesidenan Rembang, pola perladangan dikembangkan bersama-sama dengan pola pertanian irigasi. Meskipun sawah irigasi sebagian besar masih tergantung pada air hujan, namun luas areal pertanian terus bertambah, yang diikuti dengan pembukaan hutan. Hutan yang telah diolah menjadi lahan pertanian, hanya dapat diwariskan dan tidak dapat dijual.

      

Gambar

Tabel Luas tanah untuk komoditi Tanam Paksa di Jawa

Referensi

Dokumen terkait

The objective of this research are: to find out the forms of failure of reading in English texts in English learning, to find out the factors influencing

Sanggar kijang berantai berdiri sejak tanggal 1 Agusutus 1994 di Pontianak merupakan bagian dari perguruan kijang berantai Kalimantan Barat. Sanggar Kijang Berantai

Pada pengamatan warna diperoleh data yaitu untuk semua bahan mengalami penurunan warna baik yang dibungkus plastik maupun yang tidak dibungkus plastik

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah pentingnya suatu analisis sastra utamanya dalam karya sastra puisi (sajak). Panelitian ini bertujuan untukmendeskripsikan: 1)

Saran yang diberikan kepada Perumda BPR X di Sukabumi dalam mengatasi kredit macet yang terjadi dapat dilakukan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit

Tujuan penenelitian ini untuk mengetahui pengaruh dan peningkatan hasil belajar kimia pada materi ikatan kimia (n-Gain) yang menggunakan model pembelajaran generatif

Faktor-faktor penggunaan sistem informasi akuntansi pada UKM adalah (1) Tingkat Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

Dari hasil rekaman server, user memasukkan data username dan password yang sudah benar, tetapi server juga merekam bahwa mac address dari perangkat 2 tidak sesuai