• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. 9 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. 9 Universitas Kristen Petra"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori / Konsep

Memahami penggemar tidak lepas dari teori atau konsep sebagai panduan yang membantu peneliti dan pembaca untuk memahami, menjelaskan dan mengartikan. Berikut penjelasannya:

2.1.1 Music video sebagai Produk Media Massa

Music video atau video klip adalah sebuah film pendek atau video yang

mendampingi alunan musik, umumnya sebuah lagu. Video klip modern berfungsi sebagai alat pemasaran untuk mempromosikan sebuah album rekaman (Moller, 2011, p.34). Salah satu jenis music video yaitu music video K-Pop. K-Pop adalah

genre musik yang menggabungkan berbagai gaya termasuk pop, hip-hop, rap,

rock, R&B dan musik elektronik. Tetapi, utamanya K-Pop adalah sebuah genre

yang berasal dari Korea Selatan (Leung, 2012, p.2).

Pemilihan penggunaan music video K-Pop dikarenakan K-Pop dan music

video membangun identitas nasional Korea melalui musik. Penggabungan

berbagai genre dan perbedaan gaya dalam musik diproduksi menjadi indikasi untuk menarik penonton di luar dan merubah wajah nasional Korea (Leung, 2012, p.14). Selain itu, music video K-Pop adalah unsur pokok yang ideal untuk mempelajari K-Pop (Lie, 2014, p.5).

Popularitas MV K-Pop sebanding dengan musik itu sendiri memunculkan hal baru yaitu MV Reaction yang dilakukan oleh penggemar maupun bukan penggemar untuk memberikan pendapat mereka tentang MV tersebut, baik dari segi visual maupun jalan ceritanya. Contohnya yang dilakukan oleh pemilik akun Youtube bernama “JREKML” yang telah melakukan berbagai MV Reaction K-Pop dari berbagai grup dan mendapat pengikut cukup banyak sebanyak 500 ribu orang (Youtube, 2016).

2.1.2 Soft Masculine dalam Produk K-Pop

Soft masculine diungkapkan oleh Sun Jung setelah dia melakukan

(2)

mendapati di mata penggemar sosok Bae Yong Joon yang bermain Joon Sang sama dalam Winter Sonata. Menurut Jung, Joon Sang, Bae Yong Joon memiliki pesona tersendiri yang disebut soft masculinity. Soft masculinity atau soft

masculine adalah konsep dimana laki-laki yang memiliki karakter wajah cantik,

memiliki sifat lembut, innocent, dan pure (Jung dalam Hidayati, 2013, p.8-9). Karakter Joon-sang adalah seorang pria dengan kecerdasan di atas rata-rata namun hidupnya dipenuhi kemuraman dan sangat tertutup sampai dia bertemu Yoo-jin. ‘Kematian’ membawanya ke Amerika dengan identitas baru sebagai Joon Sang, seorang pria penuh senyum, ramah, dan sensitif.

Ada tiga hal yang menjadi karakteristik yaitu tender charisma, politeness

dan purity (Jung, 2011, p.46-52) :

Bae Yong Joon is very neutral. Not very sexually appealing, not very manly

but not too feminine either. When the woman wants to be led by somebody, he does that. He is gentle, charming, and polite but at the same time, when he has to say something he says something. He is the man when the woman wants him to be a man. He fulfills all the needs of middle-aged Japanese women. (personal interview)”.

Tender charisma milik Joon Sang diperankan oleh Bae Yong Joon atau BYJ

melalui drama Winter Sonata bukan sebagai tokoh seperti laki-laki jantan pada umumnya. Tetapi, tender charisma itu identik penampilan lelaki bersifat netral yaitu tidak terlihat jantan seperti lelaki “macho” atau gagah tetapi tidak terlalu perempuan juga. Dia lemah lembut, charming dan sopan. Dia menjadi laki-laki yang diinginkan oleh semua perempuan. Itulah yang diungkapkan Sung Jung mengenai tender charisma sebagai maskulinitas yang netral(Jung, 2011, p.48).

Bae Yong Joon atau BYJ star images, maskulinitas dan kewanitaan yang merupakan perpaduan yang tepat dan kompak sebagai bentuk ideal menurut para fansnya. Tender charisma erat dengan kaitan dengan prinsip traditional confucian ideologi dari “oeyunaegang”. Prinsip ini dianut bangsa Korea dimana dikatakan bahwa manusia ideal harus memiliki penampilan luar yang lembut namun memancarkan karakter yang kuat (Jung, 2011, p.48).

Karakteristik kedua adalah purity. Purity yang dimiliki oleh Bae Yong Joon menggambarkan persoalan “first love” antara Joon Sang dan Yoon Jin. Cinta

(3)

pertama yang ditunjukkan adalah “first love” yang murni. Menurut para fans,

first love” Joon Sang dan Yoon Jin mengingatkan pada masa muda mereka.

Mereka menambahkan penggambaran ideal dari "pure" adalah kepolosan yang ditunjukkan dengan mencintai apa adanya (Jung, p.2011, 51).

I think it’s because of those comics… when we were girls we read lots of

girl’s comics. The drama’s story and characters are very similar to those comics. Innocent girls and boys… first love… Winter Sonata really reminds me of those days.”

Hal ketiga adalah politeness. Politeness yang digambarkan oleh Bae Yong Joon adalah berperilaku baik dan bijaksana. Dia berbicara kepada Yoo Jin dengan sikap yang sopan dan selalu menunjukkan perhatian kepada pasangannya.Fans mengatakan bahwa Bae Yong Joon atau BYJ sangat sopan dan perhatian. Hal tersebut, terlihat dari cara BYJ memperlakukan para penggemarnya sebagai bagian dari keluarganya. Tidak hanya itu, menurut mereka BYJ juga merupakan orang yang rendah hati dan bahasa tubuhnya menunjukkan perilaku sesuai dengan tata krama yang baik. Dari Bae Yong Joon, mereka dapat melihat bahwa tindak tanduknya tidak seperti kelompok yang tidak mengetahui tata krama, tetapi tingkah lakunya justru menunjukkan bahwa dia tahu tentang tata krama (Jung, 2011, p.50).

He is so polite and considerate. [Look at] how he treats his fans. So

considerate!… We love his politeness and modesty. Chan said: “he is

humble and polite… I like the way of he greets others.”

Maskulinitas dalam masyarakat Korea Selatan, terutama yang terlihat dalam sejumlah media populer, dipengaruhi oleh elemen-elemen maskulinitas global. Maskulinitas global tersebut adalah maskulinitas bishonen Jepang, maskulinitas metroseksual Hollywood, serta maskulinitas tradisional Konfusius. Berikut adalah penjelasannya (Jung, 2011, p.58):

Maskulinitas Jepang adalah maskulinitas yang dimiliki oleh Jepang. Maskulinitas tersebut direpresentasikan baik di dalam drama TV maupun musik pop Jepang mendapat pengaruh dari sejumlah komik untuk remaja putri. Umumnya, drama TV yang ditayangkan di Jepang merupakan representasi dari komik ke dalam bentuk drama TV. Oleh sebab itu, beberapa karakter yang

(4)

terdapat dalam komik juga direpresentasikan ke dalam drama TV. Beberapa karakter yang terdapat dalam komik yakni karakter “bishonen” atau pria cantik serta karakter kawaii (manis/menggemaskan/kekanak-kanakan).

Bishonen digambarkan sebagai lelaki yang memiliki kaki jenjang,

berwajah tirus dan feminim, berambut panjang atau bergelombang, serta memiliki senyum yang manis (Jung, 2011, p.59). Selain memiliki fisik “bishonen”, mereka juga tak ragu lagi untuk mengenakan tata rias wajah yang umumnya diasosiasikan sebagai kegiatan feminim. Pada umumnya, make-up yang mereka gunakan adalah bedak tipis, eye-liner, serta lip-balm. Oleh sebab itu, terkadang mereka juga disebut dengan pria cantik.

Di Korea ada istilah yang berhubungan dengan penampilan fisik yaitu

Khotminam” yang merupakan gabungan dari kata “Kkot” artinya bunga, “mi”

artinya cantik dan nam merupakan singkatan dari kata namja yang artinya pria, sehingga bila disatukan “Kkotminam” diartikan sebagai pria yang cantik layaknya bunga yaitu wajah cantik seperti perempuan. “Kkotminam” digambarkan sebagai pria yang memiliki karakter wajah secantik perempuan dan mempunyai sifat lembut, innocent dan pure (Jung, 2011, p.59). Berikut gambaran “bishonen” milik Jepang:

Gambar 2.1 Pemeran Kyouya dalam Ouran High School Host Club Sumber : Google.com, 2016

Maskulinitas Hollywood adalah mengenai laki-laki metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menengah atas, mereka rajin berdandan, dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki-laki metroseksual lebih mengagungkan fashion. Konsep maskulinitas baru ini menciptakan standar baru masyarakat khususnya laki-laki, yakni sebagai sosok

(5)

yang agresif sekaligus sensitif, memadukan antara unsur kekuatan dan kepekaan sekaligus. Laki-laki macho sekarang tergantikan oleh sosok laki-laki yang kuat dan tegar di dalam tetapi lembut di luar. Kebudayaan populer Amerika atau Hollywood, merupakan salah satu kebudayaan yang digunakan oleh banyak negara, termasuk Korea. Dari beberapa kebudayaan populer tersebut, salah satu yang banyak diikuti adalah musik popnya. Dari musik pop, ini ada banyak hal yang ditiru, seperti cara bernyanyi, cara menari maupun berpakaian.

Selain mempelajari dan meniru cara menguasai panggung, artis-artis Korea pun banyak yang meniru cara membentuk tubuh bintang idola Hollywood ini. Contoh pembentukan badan ini dapat dilihat dalam sosok Justin Timberlake yang memiliki tubuh yang berisi, berdada bidang, dan perut six packs. Penampilan fisik ini, baik dari cara berpakaian maupun memiliki tubuh yang kekar dan berotot di bagian tertentu (lengan dan perut), disebut juga dengan penampilan maskulinitas metroseksual. Di Korea, sosok ini dapat dilihat dalam diri Rain maupun sejumlah boyband lainnya (Jung, 2011, p.67). Jika melihat dari berbagai macam penjelasan mengenai metroseksual di atas, dapat disimpulkan bahwa semuanya membahas penciptaan image baru atas laki-laki yang karakter maskulinnya tidak lagi seperti dahulu. Mereka lebih lembut dan trendy. Pemunculan feminitas pada metroseksual lebih diletakkan pada penampilanfisik yang memperindah penampilan laki-laki, bukan pada perubahan orientasi seksualnya. Berikut beberapa penampilan pria metroseksual versi Hollywod :

Gambar 2.2 Justin Timberlake Sumber : Google.com, 2016.

(6)

Maskulinitas Konfusianisme: “Seonbi”. “Seonbi” adalah sebutan cendekiawan pada masa dinasti Joseon. Selain mendapat pengaruh dari maskulinitas modern terutama dari kebudayaan populer global, maskulinitas di dalam masyarakat Korea pun terpengaruh oleh maskulinitas tradisional Konfusius. Karakteristik maskulinitas ini terdapat pada masa dinasti Joseon, yang ketika itu lebih mengedepankan mental dibandingkan fisik (Jung, 2011, p.27). Maskulinitas ini disebut juga dengan seonbi. Maskulinitas seonbi ini dapat dilihat dalam sejumlah drama Korea yang diproduksi pada awal tahun 2000-an. Selain itu, maskulinitas seonbi ini dapat dilihat juga pada bintang-bintang idola muda lainnya seperti Rain dan beberapa boyband yang terkenal. Berikut gambaran pria maskulinitas Konfusianisme dalam drama Korea masa dinasti Joseon “Dae Jang Geum”:

Gambar 2.3 Drama Dae Jang Geum Sumber: Google.com

Ketiga elemen yang telah dipaparkan di atas yaitu maskulinitas Jepang, Hollywood dan Konfusianisme merupakan elemen pembentuk maskulinitas Korea Kontemporer yang menampilkan sosok pria tampan dengan memiliki tubuh yang indah dan berkarakter lemah lembut.

2.1.3 Korean Pop Music (K-Pop)

K-Pop adalah genre musik yang menggabungkan berbagai gaya termasuk pop, hip-hop, rap, rock, R&B dan musik elektronik. Tetapi, utamanya K-Pop adalah sebuah genre yang berasal dari Korea Selatan (Leung, 2012, p.2). Korean

(7)

Korea (Chua Beng Huat dan Iwabuchi, 2008, p.175). Awal berkembangnya musik menjadi budaya populer di Korea, yaitu ketika pada tahun 1980-an, Amerika dan Eropa mempromosikan lagu-lagu pop melalui radio, yang kemudian diketahui oleh Korea. Pada pertengahan tahun 1990-an Korea ikut mempromosikan lagu pop Korea melalui radio, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Korean Pop

music atau K-Pop. Dari sinilah K-Pop akhirnya menjadi terkenal dan mulai

berkembang pesat terutama pada seniman-seniman lokal Korea.

K-Pop stars didominasi dengan idol groups (boy group atau girl group) yang lebih populer dibandingkan penyanyi solo Korea, dan biasanya idol groups merupakan remaja berjumlah dua sampai tiga belas orang dari hasil pengamatan peneliti (Do, 2012, p.32). K-Pop juga terkenal dengan lagu yang memiliki

repetitive chorus” atau reff yang dinyanyikan berulang-ulang dengan tarian yang

sinkron serta kompak (Korean Culture and Service Information Service, 2011, p.7). Tidak hanya lirik dan melodi lagu yang penting untuk membuat ciri khas dalam musiknya, tetapi juga elemen visual. Penampilan (cara berpakaian, wajah, bentuk tubuh) dan kinerja sebuah group adalah bagian penting K-Pop stars. Hal ini membuat K-Pop stars sering menjadi fashion icons. K-Pop stars juga bukan hanya penyanyi, tetapi juga seorang entertainer (Tuk, 2012).

2.1.4 Fans atau Penggemar K-Pop

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi penggemar adalah orang yang menggemari kesenian, permainan, dan sebagainya (KBBI, 2016). Sedangkan menurut John Storey, konsumsi atas suatu budaya populer akan selalu memunculkan adanya kelompok penggemar, bahwa “penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya pop” (John Storey, 2006, p.157).

Henry Jenkins dalam Textual Poachers: Television Fans and Participatory

Culture (1992) menjelaskan mengenai kata “fan” (penggemar) yang merupakan

abrevasi dari “fanatic”, yang berasal dari kata latin “fanaticus”. Fanatisme merupakan ekspresi berlebihan yang disadari atau tidak, menggambarkan kecintaan segolongan manusia terhadap suatu hal tertentu yang telah dianggap dan diyakini sebagai suatu hal yang terbaik bagi diri manusia tersebut. Sementara

(8)

fanatik adalah perwujudan dari sikap fanatisme, biasanya berupa perbuatan dan tingkah laku, orang yang telah fanatik pada suatu hal tertentu biasanya akan melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Efek dari fanatisme tersebut dapat dilihat dari perilaku para penggemar musik tersebut, yang biasanya memuja pada vokalisnya, yang biasanya dilakukan oleh para penggemar ini adalah mengoleksi kaset, CD (compact disc), ataupun VCD (Video Compact Disc)nya, menonton konser bintang idolanya di berbagai tempat, hingga menata dekorasi kamarnya dengan berbagai gambar dan pernak-pernik bintang idolanya (Nataliawaty, 2002, p.27). Kegemaran penggemar memiliki minat yang besar terhadap K-Pop. Terlihat dari minat mereka yang sama terhadap K-Pop, jadi ketika mereka berkumpul mereka tidak akan berhenti menceritakan idolanya. Saling bertukar informasi, bertukar koleksi musik, koleksi musik video dan bertukar gosip tentang idola mereka. Mereka tidak hanya mengoleksi lagu, CD original dan poster ataupun menonton konser (Puspitasari, 2013, p.6-8).

Melalui media seperti TV, terutama internet pula, fans K-Pop dapat memenuhi rasa “rindu” mereka. Mereka mengunduh video klip dan berbagai macam variety show yang dibintangi idola mereka, mereka bertukar informasi dan gossip terbaru melalui fanboard maupun bentuk media internet lainnya. Hal ini bagi mereka adalah sebuah forum untuk mengekpresikan keluhan mereka, berbagi informasi dan mengesahkan identitas mereka sebagai fans (Rayner, Wall, Kruger, 2004, p.147).

Menurut Muflihati (3) “penggemar Korean Pop adalah seorang atau kelompok orang yang antusias menyenangi musik populer yang berasal dari Korea Selatan”. Kepopuleran gelombang Korean Wave pada K-Pop membuat para fans yang terdiri dari remaja yang begitu mencintai mereka tanpa tak sadar berperilaku berlebihan yang menyebabkan idolanya bisa tanpa sengaja terluka atau cedera ringan akibat antusiasme fans. Budaya K-Pop telah banyak mempengaruhi pemikiran kelompok-kelompok penggemar dan mempengaruhi bagaimana mereka memahami budaya Pop Korea itu sendiri. Melalui budaya K-Pop tersebut kelompok penggemar memahami dinamika budaya Korea. Pemahaman terhadap budaya Korea kemudian melahirkan budaya baru dalam

(9)

kelompok penggemar yang biasanya berwujud fanatisme sebagai hasil interaksi dengan budaya Pop Korea (Wijayanti, 2012, p.3).

2.1.5 Khalayak (Audience)

Audience atau khalayak dalam komunikasi massa sangat beragam, mulai

dari penonton televisi, pembaca buku, koran atau jurnal ilmiah. Masing-masing

audience berbeda antara satu dengan yang lain seperti dalam hal berpakaian,

berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi hidupnya. Meskipun begitu, masing-masing dari individu bisa saling mereaksi pesan yang diterimanya (Nurudin, 2007, p.104-106).

Menurut Hiebert dan kawan-kawan, audience dalam komunikasi massa mempunyai lima karakteristik sebagai berikut (Nurudin, 2007, p.105-106) :

1. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk

berbagi pengalaman dan dipengaruhi hubungan sosial diantara mereka. Individu-individu tersebut memiliki produk media yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran.

2. Audience cenderung besar. Besar disini berarti ke berbagai wilayah

jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu, ukuran luas ini sifatnya bisa jadi relatif. Sebab, ada yang mencapai jutaan. Baik ribuan maupun jutaan tetap bisa disebut audience meskipun jumlahnya berbeda, tetapi perbedaan ini bukan suatu prinsip. Jadi tak ada ukuran pasti tentang luasnya audience tersebut.

3. Audience cenderung heterogen mereka berasal dari berbagai lapisan dan

kategori sosial. Beberapa media tertentu mempunyai sasaran, tetapi heterogenitasnya juga tetap ada. Majalah yang dikhususkan untuk kalangan dokter, memang sama secara profesi tetapi status sosial ekonomi, agama dan umur tetap berbeda satu sama lainnya, pembaca buku ini juga heterogen sifatnya.

4. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain. Jadi

apabila suatu media memiliki satu juta khalayak saja, mungkinkah mereka saling mengenal satu sama lain.

(10)

5. Audience secara fisik dapat dipisahkan dari komunikator. Sperti miasalnya, anda berada di Yogyakarta yang sedang menikmati acara stasiun televisi di Jakarta.

2.1.5.1 Active Audience

Menurut Frank Biocca (1998) telah membahas perbedaan makna dan konsep dari aktivitas khalayak dengan lima karakteristik yang ditemukan dalam

literature, seperti berikut (McQuail, 2011, p.164-165) :

1. Selektivitas (selectivity)

Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses mengkonsumsi media yang dipilih untuk digunakan. Jadi didasari oleh alasan dan tujuan tertentu sehingga semakin banyak pilihan dan diskriminasi yang terjadi dalam hubungan dengan media serta konten di dalam media tersebut. 2. Utilitarianisme

Khalayak dianggap sebagai ‘perwujuan dari konsumen yang memiliki kepentingan pribadi’. Sedangkan untuk konsumsi media melambangkan kepuasan dari kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.

3. Memiliki tujuan

Seorang khalayak aktif (active audience) didefinisikan sebagai media yang terlibat dalam pengolahan kognitif aktif dari informasi yang datang dari pengalaman.

4. Kebal terhadap adanya pengaruh

Karakteristik ini mengikuti konsep “khalayak yang keras kepala” (Baauer, 1964), konsep aktivitas ini menekaknkan pada batasan yang diatur oleh anggota khalayak untuk tidak ingin adanya pengaruh atau pembelajaran, pembaca, penonton atau pendengar tetap memegang kendali dan tidak terpengaruh, kecuali sebagaimana yang ditentukan oleh pengalaman pribadi.

5. Keterlibatan

Secara umum, semakin seseorang ‘terlibat’ atau ‘terjebak’ dalam pengalaman media yang terus menerus, semakin dapat membicarakan mengenai keterlibatan. Hal ini juga dapat disebut dengan ‘rangsangan

(11)

afektif’. Hal ini juga dapat diindikasikan oleh adanya tanda-tanda misalnya seperti “membantah” kepada televisi.

Penonton aktif atau active audience merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa orang menerima dan menafsirkan pesan media dengan cara berbeda-beda, biasanya hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia, etnis, kelas sosial dan lain-lain. Penonton yang dimaksudkan disini bukanlah penonton pasif atau homogen. Audiens aktif dalam penelitian ini adalah penggemar K-Pop dengan rentang usia 20-30 tahun.

2.1.6 Teori Resepsi

Sebuah proses komunikasi diawali dengan penyampaian pesan dari komunikator terhadap komunikan. Pesan yang ditangkap oleh komunikan nantinya akan dimaknai olehnya. Sehingga dalam studi komunikasi proses pemaknaan tersebut dikenal dengan istilah resepsi. Menurut Bertrand & Hughes19 (2005), menyatakan resepsi merupakan studiyang mempelajari khalayak aktif, khalayak mampu secara selektifmemaknai dan memilih makna dari sebuah teks berdasarkan pada posisisosial dan budaya yang mereka miliki (p.39).

Teori reception mempunyai argumen bahwa faktor kontekstual mempengaruhi cara khalayak memirsa atau membaca media, misalnya film atau program televisi. Faktor kontekstual termasuk elemen identitas khalayak, persepsi penonton atas film atau genreprogram televisi dan produksi, bahkan termasuk latarbelakang sosial, sejarah dan isu politik. Singkatnya, teori reception menempatkan penonton atau pembaca dalam konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks (Hadi, 2009, p.2).

Reception studies merupakan sebuah pendekatan terhadap penelitian

khalayak yang dikenal sebagai studi penerimaan atau analisis penerimaan. Studi penerimaan merupakan teori berbasis khalayak yang berfokus bagaimana jenis anggota khalayak memaknai bentuk konten tertentu. Salah satu ciri utamanya adalah berfokus terhadap isi. Menurut Hall yang mengambil teori semiotika Prancis, menyatakan bahwa semua konten media dapat dianggap sebagai teks yang terdiri dari lambang-lambang. Lambang-lambang tersebut terstruktur dan

(12)

terhubung satu sama lain. Untuk membaca teks tersebut, maka kita harus dapat menafsirkan lambang dan strukturnya (Baran, 2010, p.304).

Fokus dari reception studies adalah pada diri audiens dan bagaimana mereka sebagai suatu bagian pandangan pemahaman dari sebuah teks, dan bagaimana pemaknaan tercipta dari berbagai pengalaman. Hal tersebut dapat diartikan bahwa individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas pemahaman pengalamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berfikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999, p.199).

McQuail menjabarkan ketentuan-ketentuan dalam studi tentang analisis resepsi, yaitu (McQuail, 1997, 19-20):

a. Teks media pada dasarnya harus dibaca dan dimaknai melaluipersepsi khalayak. Dimana persepsi tersebut tidak dapat diprediksi dan tidak pasti. Khalayak melakukan proses pemaknaan secara bebas dan disesuaikan dengan latar belakang masing-masing khalayak. Sehingga pemaknaan akan teks media akan beragam hasilnya dan bersifat polisemis serta tidak dapat diprediksi.

b. Analisis resepsi merupakan studi yang memfokuskan pada proses dalam penggunaan atau pemaknaan media. Proses dalam penggunaan dan pemaknaan media adalah objek inti dalam analisis ini. Bagaimana proses, pembacaan, pemahaman, dan pemaknaan masyarakat sebagai khalayak media terhadap teks akan memperlihatkan berbagai bentuk resepsi masyarakat terhadap teks media yang disajikan. Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi, posisi khalayak sebagai subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan metodologis. Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda.

c. Penggunaan media (media use) dilihat sebagai bagian dari sistem sosial dalam interpretive communities. Interpretasi atau pemaknaan akan media umumnya digunakan khalayak sebagai masyarakat untuk saling berbagi

(13)

pemaknaan dengan seksama dan lingkungannya sebagai bagian dari kehidupan sosial mereka.

d. Khalayak sebagai masyarakat pemberi makna memiliki andil dalam wacana dan kerangka pemaknaan media. Pemaknaan yang beragam dari masyarakat atau khalayak mengenai teks media yang dibagikan masyarakat dalam kehidupan sosialnya dan berkembang dalam lingkungannya dapat menjadi suatu wacana akan pemaknaan media yang tak jarang diantaranya menjadi suatu topik diskusi penelitian.

e. Khalayak tidak bisa dikatakan pasif dan tidak dapat juga dikatakan sama atau sederajat. McQuail menekankan bahwa masyarakat atau khalayak dalam penelitian resepsi adalah aktif memilih dan memilah pengunaan atau pengkonsumsian mereka terhadap media. Mereka juga membaca, memahami dan melakukan pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang sosiokultural masing-masing tanpa menjadi khalayak pasif. f. Penelitian tentang resepsi biasanya dikaji dengan menggunakan metode

kualitatif serta mendalam dengan mempertimbangkan isi, perilaku resepsi atau untuk kedua konteks tersebut.

Stuart Hall (McQuail, 1997, p.101) mengemukakan sebuah teori mengenai resepsi bahwa dalam proses riset tentang analisis resepsi setelah khalayak menangkap pesan akan diproses untuk dimaknai atau decoding. Hasil makna tersebut memberikan proposisi pada audience. Proposisi tersebut dibuat oleh Hall, diawali dari asumsinya tentang perbedaan kelas sosial yang mempengaruhi praktik resepsi setiap audiens. Proposisi tersebut dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: yaitu: accepting atau dominant, negotiated, dan oppositional. Accepting atau

dominant merupakan posisi menerima atau sepakat dengan media yang

dikonsumsi. Negotiated merupakan posisi bisa menerima ataupun menolak, tetapi dengan adanya alasan tertentu. Terakhir adalah oppositional yang mempunyai arti posisi menolak atau tidak sepaham dengan konten media yang diterimanya. Ketiga posisi ini bisa muncul dari pemaknaan audience, yang mungkin juga dikarenakan oleh berbagai faktor, misal latar belakang seperti kelas sosial, pendidikan, budaya, jenis kelamin, pengalaman, umur, dan pengetahuan yang dimiliki audience (Jensen, 2002, p.162-163). Cultural setting adalah pengalaman

(14)

dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005, p.50-55). Para informan menginterpetasikan teks media dengan konteks cultural setting yang mereka miliki yaitu pengalaman dan pengetahuan seputar pria soft masculine.

Proses pemaknaan dari suatu konsep dijelaskan oleh Stuart Hall melalui model encoding-decoding miliknya sebagai berikut:

Programme as ‘meaningful’ discourse

Encoding decoding

meaning meaning

structure 1 structure 2

frameworks of knowledge frameworks of knowledge

relations of production relations of production

technical infrastructure technical infrastructure

Bagan 2.1: Proses Encoding-Decoding Milik Stuart Hall Sumber: Hall, 1980 dalam Nightingale, 1996, p.23

2.1.6.1 Teks

Setiap produk media massa pasti memiliki sebuah teks. Menurut Ricour teks merupakan wacana yang difiksikan ke dalam bentuk tulisan atau dengan kata lain teks merupakan “fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan” (Hidayat dalam Sobur, 2001, p.53). Sedangkan menurut Eriyanto, teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya (Eriyanto, 2001, p.289). Teks juga dapat diartikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui pihak tertentu dan dengan kode-kode tertentu” (Budiman dalam Sobur, 2001, p.53). Dalam MV “Miracle in December”, teks yang dilihat adalah para aktor dan visual dari MV tersebut.

(15)

2.1.6.2 Konteks

Teks memiliki keterkaitan dengan konteks. Konteks sangat penting pada suatu teks, sesuai yang diungkapkan Fillmore bahwa konteks akan menentukan sebuah makna dalam suatu teks. Bila konteks tersebut berubah maka, makna yang didalamnya juga akan ikut berubah. Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu:

a. Konteks fisik : Meliputi tempat terjadinya pemakaian dalam bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang dilibatkan dalam peristiwa komunikasi itu dan perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.

b. Konteks epistemis : Latar belakang pengetahuan yang dimana sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar.

c. Konteks linguistic : Terdiri dari kalimat atau tuturan yang melebihi satu kalimat dalam peristiwa komunikasi.

d. Konteks sosial : Merupakan relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara atau pendengar (Sobur, 2001, p.57). Konteks dapat berupa verbal dan non verbal, linguis dan non linguis (van Zoest dalam Sobur, 2001, p.58).

2.1.6.3 Intertekstualitas

Intertektualitas merupakan sebuah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks yang lain. Interteks juga dapat diartikan sebagai rujukan, yaitu misalnya seperti ketika seseorang memaknai sesuatu, sebelumnya telah mendapat rujukan terlebih dahulu. Sedangkan untuk intertektualitas adalah hakekat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain, atau dapat diartikan juga sebagai suatu teks yang hadir pada teks lainnya (Kristeva dalam Amertawengrum, 2010, p.2).

Intertektualitas memiliki fokus ganda.Pertama, interteks menarik perhatian pemirsanya pada kepentingan-kepentingan teks terdahulu, termasuk penolakan terhadap otonomi teks, dan sebuah karya mempunyai makna apabila jika hal-hal tertentu telah terlebih dahulu ditulis. Kedua, interteks menuntun pemirsa untuk mengetahui teks-teks pertama untuk menolong mengartikan sebuah kode dengan kemungkinan variasi arti yang berbeda beda. Secara singkatnya, Kristeva (dalam

(16)

Amertawengrum, 2010, p.3) menyimpulkan bahwa intertekstualitas sebagai keseluruhan pengetahuan yang membuat teks memiliki makna.

2.2 Nisbah Antar Konsep

K-Pop adalah genre musik berasal dari Korea yang mengusung berbagai gaya pop, hip-hop, rock, R&B dan musik elektronik. K-Pop merupakan salah satu bagian penting dari budaya populer Korea. Seiring berjalannya waktu, musik K-Pop tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Korea saja tetapi telah diterima masyarakat di luar Korea. Dalam melakukan promosi musik, musik K-Pop menggunakan music video. Music video atau K-Pop merupakan bagian dari media massa. Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal. Musik K-Pop dan MV K-Pop sama-sama memiliki peranan penting dikarenakan membangun identitas nasional Korea melalui musik.

Di dalam MV sendiri, sering mempresentasikan persoalan gender. Salah satunya soft masculine. Soft masculine adalah perpaduan karakter maskulin dan feminin. Hal tersebut membuat MV K-Pop sebagai pesan teks media memiliki kenikmatan tersendiri bagi pembaca ataupun penontonnya. Kenikmatan penonton dalam menikmati teks media tersebut dipengaruhi beradasarkan keragaman konteks tentunya akan menuai pro dan kontra. Selain itu, didalam pembacaan sebuah pesan teks media yang tak hanya berdasarkan konteks yang dilakukan penerimannya tetapi terdapat intertekstualitas oleh pembaca atau penonton dalam sebuah pencapaian media itu sendiri. Intertekstualitas sendiri merupakan sebuah ciri media itu sendiri yang merujuk pada suatu pesan yang sama yang dapat ditemukan dari bentuk genre yang berbeda.

Dengan adanya MV tersebut, tentu saja khalayak yang diharapkan adalah khalayak yang aktif dimana khalayak dilihat sebagai bagian yang memiliki bentuk wacana dan kerangka yang sama untuk memaknai media. Akan banyak teks, konteks dan intertekstualitas yang ditemukan, mengingat dalam sebuah reception

analysis sagat penting untuk mengetahui hal-hal tersebut. Hal ini terkait denan

teori reception, yakni dominant yang sepakat degan media yang dikonsumsi. Lalu

(17)

tertentu. Terakhir adalah oppositional yang menolak konten media yang diterima. Untuk itu dengan menguak pemaknaan yang didapat dari informan penelti mengunakan wawancara (indepth interview) mengenai penerimaan penggemar terhadap penggambaran pria soft masculine dalam music video “Miracle in

(18)

2.3 Kerangka Pemikiran

Bagan 2.1 : Kerangka Pemikiran Sumber : Olahan Penulis, 2016

Gelombang K-Pop dengan promosi melalui music video benar-benar semakin mendunia. Salah satunya di situs video-sharing kenamaan

dunia, YouTube yang akhirnya meresmikan sebuah channel resmi khusus musik K-Pop.

Music video atau video klip adalah alat pemasaran untuk

mempromosikan sebuah album rekaman. Salah satu jenis music video yaitu music video K-Pop. K-Pop dan music video membangun identitas

nasional Korea melalui musik.

Soft masculine pria di dalam music video Miracle in December” milik

boyband EXO

Penggemar K-Pop yaitu penggemar girlband dan boyband serta penggemar EXO

Reception Analysis

Oppositional Negotiated

Dominant

Penerimaan penggemar K-Pop terhadap gambaran pria soft

Gambar

Gambar 2.1 Pemeran Kyouya dalam Ouran High School Host Club  Sumber : Google.com, 2016
Gambar 2.2 Justin Timberlake  Sumber : Google.com, 2016.
Gambar 2.3 Drama Dae Jang Geum   Sumber: Google.com

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “PENENTU JUMLAH TEMUAN SISTEM PENGENDALIAN

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

1. Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Islam: a). Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata, untuk memutuskan orang hilang, harus

Selama demam rematik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama

Jika semua data pada form data kasus telah terisi, maka sistem akan melakukan perankingan alternatif sesuai prosedur metode TOPSIS dan menampilan hasil

Langkah yang diambil oleh Takaful Indonesia sesuai dengan isi dari Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah,

penurunan tanah dasar dibawah timbunan baru dengan mengunakan penurunan tanah dasar dibawah timbunan baru dengan mengunakan PVD ,sehinga pada saat konstruksi jalan berdiri

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2015 dengan tujuan mengetahui keanekaragaman phytotelmata yang berpotensi sebagai tempat perindukan alami nyamuk