• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Ratifikasi Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure

for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade oleh

Indonesia dalam Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan di Wilayah

Indonesia

Carin Andyline Noerhadi, Melda Kamil Ariadno, dan Arie Afriansyah

Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

carin.andyline@ui.ac.id

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai permasalahan pestisida dalam kegiatan perdagangan internasional di dunia dan pembentukan peraturan internasional terkait dengan perdagangan pestisida. Penulis ini akan membedah isi Konvensi Rotterdam, sebagai salah satu ketentuan hukum internasional tentang perdagangan pestisida; dengan memberikan penjabaran mengenai prinsip, materi pokok, manfaat, kendala, serta hak dan kewajiban Negara peserta dalam melakukan ratifikasi Konvensi tersebut. Implementasi Konvensi Rotterdam di Indonesia dan beberapa Negara lain juga akan dianalisis yang didasarkan pada kepentingan, peraturan nasional, dan praktik perdagangan pestisida di Indonesia dan beberapa Negara tersebut. Kesimpulan yang didapatkan menunjukkan bahwa munculnya permasalahan pestisida di dunia disebabkan oleh perdagangan pestisida internasional yang marak dilakukan secara ilegal, sehingga pembentukan Konvensi Rotterdam memberikan banyak keuntungan bagi Negara pesertanya.

Abstract

This thesis discusses the issue of pesticides in international trade activity in the world and the establishment of international regulations related to pesticide trade. The author of this thesis dissects the contents of the Rotterdam Convention, as one of the provisions of international law on trade of pesticides; to provide a description of the principal, subject matter, benefits, constraints, and rights and obligations of State Parties to ratify the Convention. Implementation of the Rotterdam Convention in Indonesia and some other countries will also be analyzed based on interests, national regulations and practices of pesticide in Indonesia and some of those States. The conclusion shows that the emergence of issues cause by pesticides in the world of international pesticide trade are rampant carried out illegally, so the for establishment of the Rotterdam Convention provides many return for the State Parties.

Keywords: pesticide; international trade; ratification

Pendahuluan

Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap Negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian dunia dapat menciptakan suatu hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu Negara dengan

(2)

Negara lain dan membentuk perdagangan antar bangsa. Hubungan ekonomi ini salah satunya dapat dilakukan melalui pertukaran barang dan jasa antarnegara. Secara umum, perdagangan internasional dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu ekspor dan impor.

Berkembang pesatnya jasa teknologi dewasa ini telah menghilangkan halangan dalam bertransaksi yang dilakukan secara lintas batas. Sehingga, suatu Negara sebagai pelaku dagang tidak lagi terlalu mempersoalkan dari mana asal rekan dagangnya. Terlebih lagi, kemajuan teknologi dan ekonomi suatu Negara dapat menggambarkan kondisi lingkungan Negara tersebut. Hal ini menjadi penting karena lingkungan, yang merupakan kondisi fisik sumber daya alam serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan yang terdapat di sekitar manusia, mempengaruhi kemampuan setiap Negara dalam melakukan perdagangan internasional. Kondisi lingkungan suatu Negara maju dapat digambarkan melalui kemajuan teknologi dan ekonominya, seperti melalui terjadinya pencemaran lingkungan, baik pencemaran di darat, laut maupun udara. Sementara, kondisi lingkungan Negara-Negara berkembang dipengaruhi oleh keterbelakangan, kemiskinan, pertambahan penduduk yang relatif tinggi, dan persediaan pangan yang terbatas.

Timbulnya berbagai kasus mengenai pencemaran lingkungan telah dibuktikan disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Hal ini kian terjadi meskipun secara konsepsional, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut dengan “PBB”) di Stockholm, Swedia, telah mengatur agar manusia secara keseluruhan melindungi dan meningkatkan lingkungan untuk generasi umat manusia sekarang dan yang akan datang. Itu lah sebabnya dasar pemikiran mengenai lingkungan sangat penting, di mana manusia dapat bertindak sebagai subjek dan objek lingkungan, sehingga aturan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan sangat lah diperlukan. Salah satu pencemaran lingkungan yang masih sering terjadi di dunia adalah pencemaran pestisida. Meskipun pestisida merupakan bahan kimia yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari manusia, terdapat beberapa pestisida yang diidentifikasikan berbahaya untuk manusia dan lingkungan. Sulit untuk menemukan tempat di mana pestisida tidak digunakan; dari kaleng penyemprot serangga dalam dapur rumah tangga hingga ke tanaman di lahan pertanian, termasuk juga zat yang membunuh gulma (herbisida), serangga (insektisida), jamur (fungisida), tikus (rodentisida), dan lain-lain.1 Sehingga, perdagangan pestisida ilegal yang telah sejak lama dilakukan oleh Negara-Negara di dunia wajib diperhatikan demi kesehatan manusia dan lingkungan.

                                                                                                               

1 The Problem with Pesticides, paragraf 1. http://www.toxicsaction.org/problems-and-solutions/pesticides (diakses 8/6/14).

Carin Andyline Noer…, 6/26/14 10:23 AM Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line

(3)

Perdagangan pestisida di dunia yang masih banyak dilakukan secara ilegal ini terjadi ketika informasi terkait pestisida yang diperdagangkan belum memenuhi persyaratan pengiriman. Sesuai dengan pernyataan dalam artikel U.S. Environmental Protection Agency, “In many cases the amount of pesticide people are likely to be exposed to is too small to pose a risk.”2 Sejak tahun 1980-an, Indonesia telah menjadi sasaran berbagai Negara sebagai

tempat pembuangan pestisida berbahaya, baik legal maupun ilegal. Hal lain yang lebih menyedihkan lagi, audiensi mengenai pencemaran lingkungan ini sulit dilakukan oleh aparat hukum yang bersangkutan. Menurut Emil Salim, seorang tokoh lingkungan hidup internasional, “[suatu pestisida] jika di dunia telah dilarang, disini masih digunakan; seperti pestisida jenis organoclorin, DDT, dan organoposfat masih banyak digunakan secara ilegal di berbagai daerah.”3 Pernyataan ini menunjukkan bahwa beberapa merek pestisida terkenal, yang telah dinyatakan aman oleh Kementerian Pertanian, ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Berkaitan dengan ini, Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi banyak perjanjian internasional di bidang lingkungan; salah satunya adalah Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade (selanjutnya disebut dengan “Konvensi Rotterdam”), yaitu Konvensi yang menjamin suatu Negara untuk mengatur perihal informasi dan kebijakan terkait bahan kimia industri dan pestisida tertentu dalam perdagangan internasional, yang telah berlaku pada tanggal 11 September 1998 dan diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 September 2013 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013.

Artikel ini akan membahas bagaimana permasalahan pestisida dan ketentuan hukum internasional terkait dengan pestisida dalam kegiatan perdagangan internasional. Sebagai salah satu ketentuan hukum internasional yang terkait dengan pestisida, artikel ini juga akan membahas ketentuan Konvensi Rotterdam yang akan dibahas berdasarkan 5 (lima) bagian pokok; yaitu berdasarkan prinsip, materi pokok, konferensi para pihak, manfaat dan kendala, serta hak dan kewajiban yang terdapat dalam Konvensi Rotterdam. Untuk melihat implementasi Konvensi Rotterdam, artikel ini akan membahas kepentingan, peraturan nasional, dan praktik perdagangan pestisida di Indonesia, Amerika Serikat, dan Cina.

                                                                                                               

2 Pesticides: Health and Safety paragraf 1. http://www.epa.gov/pesticides/health/human.htm (diakses 8/6/14). 3 Peringatan Emil Salim ke Kementan: Indonesia jadi ‘Sampah’ Penjualan Pestisida Dunia, paragraf 4. http://green.kompasiana.com/polusi/2013/06/05/peringatan-emil-salim-ke-kementan-indonesia-jadi-sampah-penjualan-pestisida-dunia-562533.html (diakses 5/6/14).

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:07 PM Deleted: Y

(4)

Tinjauan Teoritis

Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme pengganggu, atau yang lebih dikenal sebagai “pembunuh hama”. Bahan kimia ini dibedakan menurut pemusnahan atau pengendaliannya atas organisme seperti serangga atau tikus, dan bagaimana mereka bereaksi atas populasi hama.4 DDT, yang dalam kamus biologi dikenal sebagai dichlorodiphenyltrichloroethane, merupakan bahan kimia yang pertama kali digunakan sebagai pestisida, yang ditemukan dan disintetiskan oleh seorang kimiawan asal Swiss bernama Paul Muller pada tahun 1939.5 Setelah Perang Dunia ke-II, DDT dinyatakan sebagai bahan kimia yang menabjubkan karena dianggap menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah hama.6 Pada tahun 1945, bahan kimia ini menjadi pestisida yang paling banyak digunakan di dunia dalam pertanian yang komersil, dan juga untuk memerangi penyakit yang disebabkan oleh serangga, seperti malaria dan tifus.7 Sejak ditemukannya DDT, penggunaan pestisida untuk mengelola masalah hama ini menjadi praktik umum di seluruh dunia. Pestisida menjadi alat yang tidak hanya digunakan di bidang pertanian, tetapi juga di rumah, taman, sekolah, gedung, hutan, dan jalan.8 Dengan demikian, tidak heran apabila pestisida merupakan salah satu bahan kimia yang hingga kini menjadi objek kegiatan ekspor dan impor di dunia.

Perkembangan perdagangan pestisida dunia selama tahun 1960-an hingga 1970-an telah menimbulkan perhatian akan risiko penggunaan bahan kimia berbahaya hingga hari ini.9 Larangan perdagangan pestisida dunia diawali dengan adanya penelitian Rachel Carson dalam bukunya yang berjudul Silent Spring; yang mengevaluasi efek dari pestisida, khususnya DDT, bagi manusia dan lingkungan. Pernyataan Carson tentang kekhawatirannya akan kerusakan lingkungan dan potensi bahaya bagi kesehatan manusia yang dapat disebabkan oleh DDT mendorong adanya pelarangan penggunaan pestisida dalam transaksi perdagangan internasional.10

                                                                                                               

4 Leticia M. Diaz & Barry Dubner, “On the Importance of Regulating the International Trade of Pesticides: A Look at The Current Status of Conventional Wisdom (or Lack Thereof) on the Subject,” Southeastern

Environmental Law Journal, Vol. 14, No. 1, 2005, hlm. 11.

5 Timeline: History of Pesticides, paragraf 1. http://blogs.uoregon.edu/ajacobssu13gateway/timeline/ (diakses 8/6/14).

6 The DDT Story, paragraf 2. http://www.panna.org/issues/persistent-poisons/the-ddt-story (diakses 8/6/14). 7 Pesticides – History, op.cit., paragraf 2.

8 The Problem with Pesticides, paragraf 2. http://www.toxicsaction.org/problems-and-solutions/pesticides (diakses 8/6/14).

9 The London Guidelines, Including Prior Informed Consent, paragraf 1. http://www.chem.unep.ch/irptc/irptc/lguide.html (diakses 8/6/14).

(5)

Konvensi Rotterdam merupakan perjanjian multilateral yang ditujukan untuk pertukaran informasi terbuka antar Negara mengenai perdagangan bahan kimia atau pestisida berbahaya. Pertukaran informasi terbuka ini dikenal dengan PIC, yaitu:11

Prior Informed Consent (PIC) is the regulatory process countries use to control products for export by providing notification and adequate data to the importing country.

Kutipan ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PIC dalam Konvensi Rotterdam adalah kesepakatan Negara peserta dalam melakukan kegiatan ekspor dan impor untuk memberikan informasi yang lengkap mengenai objek kegiatan tersebut secara sukarela. Syarat bagi Negara pengekspor pestisida ini diatur melalui penggunaan label yang tepat dan petunjuk penggunaan yang aman dari semua produk. Konvensi ini merupakan salah satu upaya pertama yang diinisiasikan oleh masyarakat internasional untuk mengatur bahan kimia atau pestisida berbahaya.12

Metode Penelitian

Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, sehingga metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan.13 Penggunaan metode ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini tidak terlepas dari kebutuhan akan data yang dapat dipenuhi dengan pencarian bahan berupa buku atau tulisan-tulisan lainnya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari sumber hukum yang mengikat, dalam hal ini adalah konvensi atau perjanjian internasional lainnya yang berkaitan, serta literatur berupa buku, makalah dan artikel jurnal juga bahan-bahan lainnya yang menunjang seperti kamus, ensiklopedia, dan bahan lain yang memberikan petunjuk mengenai bahan-bahan yang dipergunakan sebagai data sebelumnya. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena di dalam penelitian ini akan dilakukan penyajian data beserta analisisnya.14 Hasil penelitian ini akan berbentuk deskriptif analisis.

                                                                                                               

11 Cyrus Mehri, Prior Informed Consent: An Emerging Compromise for Hazardous Exports, (New York: Cornell International Law Journal, 1988), hlm. 21.

12 Pesticides – History, op.cit., paragraf 6.

13 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10.

(6)

Hasil Penelitian

Kasus terkait dengan perdagangan pestisida yang beberapa tahun terakhir masih terjadi di Indonesia membuktikan bahwa sekian banyaknya pengaturan nasional Indonesia belum mampu membantu ketaatan Indonesia terhadap ketentuan dalam Konvensi Rotterdam. Mengacu pada prinsip PIC, pengimporan pestisida yang tidak terdaftar ke Indonesia dapat terjadi ketika Indonesia menyetujui transaksi perdagangan internasional tersebut. Namun, hal ini menjadi suatu paradoks karena beberapa dari pengaturan nasional Indonesia terkait dengan pestisida telah melarang kegiatan ekspor dan impor bahan kimia atau pestisida yang dianggap berbahaya bagi manusia dan lingkungan, bahkan menetapkan adanya pelaksanaan pertukaran informasi sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. Artinya, pembentukan pengaturan nasional Indonesia telah sebagian besar taat kepada Konvensi Rotterdam.

Di samping itu, Amerika Serikat, yang hingga hari ini masih merupakan Negara terbesar pengekspor pestisida, belum memiliki pengaturan nasional terkait dengan perdagangan pestisida yang dapat dianggap sudah taat kepada ketentuan dalam Konvensi Rotterdam. Meskipun telah memiliki ketentuan mengenai pelabelan dan pendaftaran pestisida berbahaya, sebagian kecil dari pengaturan nasional Amerika Serikat tersebut di atas memiliki ketentuan mengenai PIC. Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan kasus, Amerika Serikat masih seringkali tidak taat kepada pengaturan nasionalnya maupun kepada Konvensi Rotterdam. Sebagai salah satu Negara maju, Amerika Serikat dianggap sebagai Negara yang mengetahui lebih banyak tentang pestisida mana saja yang baik atau tidak baik untuk digunakan. Oleh karena itu, tindakan Amerika Serikat mengekspor berbagaimacam pestisida yang dianggap berbahaya tanpa melakukan adanya pertukaran informasi yang benar merupakan salah satu bukti ketidakpeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan di dunia. Lebih daripada itu, Cina, suatu Negara yang terkenal akan perdagangan barang palsu, turut melakukan kegiatan ekspor dan impor pestisida palsu dalam bentuk makanan atau minuman. Melihat pengaturan nasional Cina terkait dengan perdagangan pestisida yang begitu banyak maka dapat disimpulkan bahwa telah sejak lama Cina melakukan perdagangan pestisida internasional; baik lewat darat, air, maupun udara. Tetapi sama halnya dengan pengaturan Amerika Serikat, Cina belum membentuk pengaturan nasional yang taat kepada Konvensi Rotterdam, khususnya terkait dengan prinsip PIC. Praktik perdagangan pestisida palsu yang kian dilakukan oleh Cina kepada berbagai Negara ini menunjukkan bahwa berbagai macam pengaturan nasional yang dimilikinya tidak begitu memengaruhi keadaan kegiatan ekspor dan impor yang sebenarnya.

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:31 PM Formatted: Font:(Default) Times New

Roman

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:31 PM Formatted: Font:(Default) Times New

Roman

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:31 PM Formatted: Font:(Default) Times New

(7)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penegakan pengaturan nasional baik Indonesia, Amerika Serikat, maupun Cina belum dilakukan secara tegas. Berbagai pengaturan nasional tersebut telah mengatur sedemikian rupa agar kesehatan manusia dan lingkungan tetap terkendali dan perdagangan ilegal pestisida di dunia mencapai angka yang sangat rendah. Hal ini akan sulit diimplementasikan apabila dalam praktiknya masih terdapat oknum yang tetap melakukan kegiatan ekspor dan impor pestisida berbahaya demi kepentingannya sendiri. Sehingga, dilakukannya ratifikasi Konvensi Rotterdam oleh para Negara peserta memberikan harapan bagi Indonesia, Amerika Serikat, dan Cina untuk memiliki kebiasaan bertransaksi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, melalui pertukaran informasi terkait dengan bahan kimia atau pestisida yang akan digunakan menjadi objek kegiatan perdagangan internasional tersebut.

Pembahasan

Konvensi Rotterdam memberlakukan 4 (empat) prinsip; yaitu (1) Prinsip PIC, yang berarti bahwa dengan memberlakukan Konvensi ini, suatu bahan kimia yang tercantum dalam Konvensi ini hanya dapat diekspor atas persetujuan pengimpor;15 (2) Prinsip Perlindungan (Protection Principle), yang berarti bahwa Negara peserta memberlakukan suatu prinsip umum yang pantang akan aktivitas berbahaya dan akan mengambil langkah-langkah afirmatif untuk memastikan bahwa kerusakan lingkungan tidak terjadi; (3) Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle), yang berarti bahwa Konvensi ini memberikan pengetahuan kepada Negara peserta bahwa “masyarakat sebaiknya mencegah kerusakan lingkungan dengan perencanaan yang hati-hati agar terhindar dari kegiatan-kegiatan yang berpotensi membahayakan”;16 dan (4) Prinsip Pencegahan (Preventive Principle), yang berarti bahwa Konvensi ini mewajibkan Negara peserta untuk melaksanakan due diligence atau uji tuntas terhadap bahan kimia dan pestisida berbahaya yang akan dijadikan objek ekspor dan impor, sebelum memberikan persetujuan kepada Negara pengekspor. Keempat prinsip ini ini membuktikan bahwa Konvensi Rotterdam menekankan kembali pentingnya pertukaran informasi terkait bahan kimia dan pestisida berbahaya.

                                                                                                               

15 The Rotterdam Convention on the International Trade in Hazardous Chemicals: Summary, paragraf 1. http://europa.eu/legislation_summaries/environment/cooperation_with_third_countries/l21281_en.htm (diakses 5/6/14).

16 Aris Auliya, Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle) dalam Pengelolaan Limbah B3 Medis di Indonesia, ditulis sebagai skripsi Universitas Padjadjaran Program Kekhususan Hukum Internasional

pada bagian Pembahasan.

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:31 PM Formatted: Font:(Default) Times New

Roman

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:31 PM Deleted: k

Carin Andyline Noer…, 6/26/14 10:29 AM Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line

(8)

Tujuan dari Konvensi Rotterdam adalah untuk mempromosikan tanggung jawab bersama dan kerjasama antar Negara peserta dalam perdagangan internasional atas bahan kimia tertentu dalam rangka melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari potensi bahaya, serta untuk berkontribusi dalam penggunaan lingkungan setiap Negara peserta dengan memfasilitasi pertukaran informasi atas sifat bahan kimia tertentu tersebut agar setiap pemerintah dapat mencapai keputusan ekspor dan impor yang terbaik. Ruang lingkup Konvensi Rotterdam adalah bahan kimia terlarang dan formulasi pestisida berbahaya. Berdasarkan Article 18, Konvensi Rotterdam telah mengatur pembentukan Konferensi Para Pihak yang dilakukan melalui pertemuan secara reguler. Konferensi ini “berfungsi sebagai wadah untuk melakukan review dan evaluasi atas pelaksanaan Konvensi.”17 Selain itu, Konferensi juga “harus bekerja sama dengan organisasi internasional yang kompeten dan juga badan antar pemerintah dan non pemerintah.”18 Sesuai dengan kedua hal tersebut maka konferensi dapat mempertimbangkan pengambilan tindakan tambahan yang diperlukan oleh Negara peserta Konvensi Rotterdam.

Melalui prosedur PIC, yang saat ini mencakup 26 (dua puluh enam) pestisida dan 5 (lima) bahan kimia atau kelompok bahan kimia industri, Konvensi Rotterdam menawarkan alat pertahanan kepada Negara peserta terhadap potensi masalah yang dapat timbul dari kegiatan ekspor dan impor, dengan memungkinkan Negara pengimpor, terutama Negara berkembang, untuk menentukan bahan kimia yang akan diterima dan mengecualikan bahan kimia yang tidak dapat dikelola dengan aman.19 Namun, prosedur PIC juga menimbulkan kendala karena dapat menimbulkan duplikasi atas pertukaran informasi yang sudah ada.20 Terdapat beberapa hak yang dapat diperoleh oleh setiap Negara peserta dalam melakukan pengesahan terhadap Konvensi Rotterdam, antara lain (1) hak untuk mengusulkan perubahan daftar dari formulasi pestisida, (2) hak untum negunakan tenaga ahli dari berbagai sumber yang relevan, (3) hak untuk mengajukan amandemen Konvensi, (4) hak untuk bersuara, dan (5) hak untuk mengajukan pengunduran diri. Terdapat pula beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Negara peserta dengan melakukan pengesahan terhadap Konvensi Rotterdam, antara lain mengesahkan dan memberlakukan Konvesi tersebut ke dalam hukum nasionalnya.

                                                                                                               

17 Kementerian Lingkungan Hidup: Deputi IV MenLH Bidang Pengelolaan B3, Limba B3, dan Sampah, op.cit., Bab III, hlm. 12.

18 Ibid.

19 Commission proposes EU ratification of Rotterdam Convention on hazardous chemicals, IP/02/197, tahun 2002, hlm. 1.

20 National Agriculture Chemical Association, National Agricultural Chemicals Association Position on the ‘Prior Consent’ Concept of Export Control of Agrichemicals in International Trade, Vol. 1, paragraf 4.

Carin Andyline Noerhadi 6/24/14 2:16 PM Deleted: k

(9)

Kepentingan Indonesia melakukan ratifikasi Konvensi Rotterdam adalah karena jumlah pestisida yang terdaftar dan diizinkan untuk bidang pertanian dan kehutanan terus meningkat dari tahun ke tahun, dan mencapai 1702 (seribu tujuh ratus dua) produk sampai dengan tahun 2008.21 Data tersebut memang tidak secara langsung menggambarkan jumlah pestisida yang digunakan di lapangan, tetapi paling tidak memberikan indikasi bahwa pestisida masih menjadi pilihan. Peningkatan jumlah pestisida yang diizinkan sangat mengkhawatirkan karena dengan pilihan yang semakin banyak akan mungkin justru membingungkan petani dalam memilih. Hal tersebut akan menjadi semakin buruk karena pembelian pestisida biasanya tidak didahului dengan membaca label tetapi lebih didasarkan pada informasi lisan baik dari petani lain, petugas pertanian, atau penjual kios.22

Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dilakukannya ratifikasi Konvensi Rotterdam; antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman, dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Dengan membandingkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ini, penulis akan menjelaskan implementasi hukum yang telah dilakukan oleh Indonesia atas dilakukannya ratifikasi Konvensi Rotterdam.

Praktik perdagangan pestisida di Indonesia marak disebabkan oleh penjualan pestisida ilegal yang berasal dari pengimporan pestisida yang tidak terdaftar. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat tidak lama yang lalu, di mana terdapat pengiriman bahan kimia methanol yang dikirimkan tanpa adanya notifikasi, atau yang dilakukan oleh India, yaitu pengiriman lindane, yang dikirimkan dengan pelabelan palsu ke wilayah Bandung, Indonesia.23 Apabila ditelusuri kembali, ketentuan-ketentuan dalam pengaturan nasional

Indonesia tersebut di atas telah mencakup pengaturan yang dapat menjaga kesehatan manusia dan mencegah pencemaran lingkungan. Namun, dalam praktiknya, pengaturan ini belum dapat dianggap telah sesuai dengan implementasi Konvensi Rotterdam.

                                                                                                               

21 Kementerian Lingkungan Hidup: Deputi IV MenLH Bidang Pengelolaan B3, Limba B3, dan Sampah, op.cit., Bab II, hlm. 11.

22 Ibid.

23 Halimah Syafrul menyatakan hal ini dalam wawancara terkait dengan perdagangan pestisida di Indonesia yang dilakukan oleh Penulis pada hari Rabu, 25 Juni 2014.

Carin Andyline Noer…, 6/27/14 12:29 PM Deleted:

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 7:26 PM Formatted: Font:(Default) Times New

Roman, 10 pt

Carin Andyline Noer…, 6/26/14 10:40 AM Formatted: Justified

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 7:26 PM Formatted: Font:(Default) Times New

(10)

Kepentingan Amerika Serikat melakukan ratifikasi Konvensi Rotterdam adalah karena Amerika Serikat telah lama terkenal sebagai pengekspor utama pestisida. Amerika Serikat adalah salah satu Negara peserta Konvensi Rotterdam yang telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 11 September 1998.24 The Environmental Protection Agency (selanjutnya disebut dengan “EPA”) memperkirakan bahwa pada tahun 1991, Amerika Serikat mengekspor sekitar 400 (empat ratus) juta pon pestisida; yang dibuktikan merupakan 10 (sepuluh) persen dari sekitar 4 (empat) miliar pon pestisida yang digunakan setiap tahun di seluruh dunia dan merupakan pengeksporan pestisida baik Negara maju maupun Negara berkembang.25 EPA memperkirakan bahwa sekitar 4.2 (empat koma dua) hingga 4.5 (empat koma lima) juta pon pestisida konvensional (yang merupakan bahan aktif) diproduksi dan digunakan di dunia setiap tahunnya, sekitar 3.4 (tiga koma empat) miliar pon untuk keperluan pertanian dan 1.1 (satu koma satu) miliar pon untuk keperluan non pertanian.26 Pada tahun 1988, Amerika Serikat mengekspor sekitar 450 (empat ratus lima puluh) juta pon pestisida bahan aktif untuk keperluan pertanian, tetapi tidak termasuk pengawet kayu dan disinfektan. Amerika Serikat, bersama dengan Negara-Negara lain yang juga mengekspor sejumlah besar pestisida bahan aktif; seperti Jerman, Jepang, Perancis, dan Inggris, mengakui bahwa hal ini menimbulkan tanggungjawab bagi mereka untuk memberikan informasi tentang risiko pestisida tersebut.27

Amerika Serikat memiliki beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan pestisida, antara lain the Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act of 2008; the Pesticide Registration Improvement Act of 2003; dan the Federal Food, Drug, and Cosmetic Act of 2002. Meskipun ketiga pengaturan nasional ini tidak mengatur secara khusus tentang perdagangan pestisida, tetapi Amerika Serikat membuktikan perhatiannya akan kesehatan masyarakat dan lingkungannya sendiri.

Saat ini, pengaturan nasional Amerika Serikat tidak terlalu melakukan pengendalian terhadap pengeksporan pestisida berbahaya. Produk pestisida yang dianggap terlalu berbahaya secara domestik dapat tetap diekspor, juga produk pestisida yang belum terdaftar di EPA.28 Hampir seluruh kasus yang terjadi di Amerika Serikat terkait perdagangan pestisida ilegal terpicu dari pengeksporan pestisida terlarang yang dilakukan oleh Amerika Serikat ke                                                                                                                

24Ibid.

25 Environmental Protection Agency, EPA06: Stop the Export of Banned Pesticides, Background, paragraf 1. 26 Connie Musgrove dan Angela F. Hofmann, Pesticide Export and Import Enforcement Programs in the United States of America, The U.S. Role in the International Trade of Pesticide, paragraf 1.

27  Ibid.  

28 The International Journal of Occupational and Environmental Health 1999-2000, Pesticide Exports from U.S. Ports, Vol. 7, No.4, The Current U.S. Policy, paragraf 1.

Carin Andyline Noer…, 6/26/14 10:40 AM Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line

spacing: single

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 5:38 PM Deleted: PIC, “List of Parties Signatories,”

Status of Ratifications, United States of America.

http://www.pic.int/Countries/Statusofratificati ons/tabid/1072/language/en-US/Default.aspx (diakses 17/6/14).

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 5:39 PM Formatted: Font:Italic

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 5:39 PM Formatted: Font:Italic

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 5:39 PM Formatted: Font:Italic

(11)

berbagai Negara, khususnya Negara berkembang, seperti Meksiko, Kamerun, Korea Selatan, India, dan Costa Rica. Berkaitan dengan ini, dilakukannya ratifikasi Konvensi Rotterdam oleh Amerika Serikat diharapkan dapat memberikan perubahan kegiatan ekspor dan impor menjadi lebih baik. Dengan demikian, semustinya angka pengeksporan dan pengimporan bahan kimia atau pestisida yang dianggap berbahaya menurun.

Kepentingan Cina melakukan ratifikasi Konvensi Rotterdam adalah karena Cina merupakan wilayah pertumbuhan yang besar untuk membuat pestisida. Selain itu, perdagangan pestisida palsu dan ilegal marak dilakukan oleh Cina, yang dilakukan melalui banyak cara; mulai dari salinan produk pestisida hingga fotokopi label pestisida tersebut.29. Cina adalah salah satu Negara peserta Konvensi Rotterdam yang telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 24 Agustus 1999 dan melakukan ratifikasi pada tanggal 22 Maret 2005.30 Lebih dari 2000 (dua ribu) perusahaan Cina membuat formulasi pestisida, dan lebih dari 400 (empat ratus) perusahaan Cina lainnya terlibat dalam pembuatan bahan aktif pestisida.31 Zat aktif, khususnya yang berasal dari Cina, mudah disediakan dan dieskpor ke seluruh dunia tanpa adanya pengendalian oleh Negara-Negara pengimpor, termasuk Amerika Serikat, di mana zat tersebut diformulasikan dan diberikan label untuk kemudian didistribusikan ke konsumen dan industri.32

Cina memiliki berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pestisida, antara lain Marine Environment Protection Law of the PRC, Water Pollution Prevention and Control Law, Grassland Law of PRC, Antitoxic Regulations for Storage, Transportation, Marketing and Use of Pesticides, Agriculture Law of PRC, Food Hygiene Law of the PRC, Regulation on Pesticide Management, Provisions for the Implementation of the Regulation on Pesticide Management, Dangerous Chemical Safety Management Ordinance, Law on Agricultural Product’s Quality and Safety of PRC, Guideline on Labels for Pesticide Products, dan General Rule for Packing of Pesticides. Terbentuknya sekian banyak pengaturan nasional ini membuktikan bahwa telah sejak lama Cina mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pestisida demi kesehatan masyarakat dan lingkungannya.

                                                                                                               

29 Counterfeit pesticides are ones which are deliberately and fraudulently mislabeled with respect to identity and/or source or are not authorized for sale or use by national authorities or are lacking the manufacturer’s name and address. Counterfeit pesticides can apply to both branded and generic products. Counterfeit pesticides may include products with the correct ingredients or with the wrong ingredients, without active, with correct quantity of active ingredients or with fake packaging. (Based on the World Health Organization definition of counterfeit medicine).

30 PIC, op.cit., China. (diakses 17/6/14). 31 Ibid., paragraf 3.

(12)

Sejak lama, Cina telah melakukan ekspor berbagai macam barang palsu; baik sandang, pangan, maupun papan, ke Negara di seluruh dunia. Namun, praktik perdagangan pestisida palsu dalam bahan yang dikonsumsi oleh manusia atau digunakan untuk lingkungan akan menjadi isu yang paling berbahaya. Zhang Lingyu, seorang warga Negara Cina yang pernah dipenjara selama 102 (seratus dua) hari karena mempromosikan makanan bebas pestisida di tahun 1970-an, menyatakan:33

China depends on its cheap prices to push its products on the world market, but it ignored safety. Residues from pesticides and fertilisers are too high.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa kegiatan ekspor bahan kimia atau pestisida berbahaya yang dilakukan oleh Cina seringkali dilakukan demi mencapai keuntungan yang besar tanpa melihat dampak bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Kesimpulan

Meskipun terdapat berbagai pestisida yang telah dilarang untuk digunakan di dunia, perdagangan pestisida internasional yang dilakukan secara ilegal masih sangat marak dilakukan. Bahkan bagi Negara berkembang, pestisida terlarang merupakan salah satu pilihan utama dalam meningkatkan kondisi ekonomi Negaranya karena masih dianggap memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat. Hal ini kian terjadi karena pestisida merupakan salah satu bahan kimia yang masih seringkali digunakan dalam kehidupan manusia sehari-hari; di bidang kehutanan, kesehatan, rumah tangga, dan perumahan. Selanjutnya, penggunaan pestisida terlarang masih seringkali dijadikan objek kegiatan ekspor dan impor karena produksi pestisida tersebut yang masih dianggap murah. Sebagai Negara dalam ekonomi transisi, pengeluaran finansial guna pemerolehan pestisida sebagai alat bantu dalam kehidupan sehari-hari demi peningkatan kesejahteraan Negara masih menjadi pertimbangan utama meskipun secara internasional sudah dianggap berbahaya.

Meningkatnya perdagangan pestisida internasional yang semakin asal dilakukan melahirkan perhatian Negara-Negara di dunia untuk membentuk ketentuan hukum internasional yang terkait dengan perdagangan internasional maupun yang terkait dengan pestisida. Kegiatan ekspor dan impor yang dilakukan dengan ilegal ini telah dibuktikan menimbulkan banyak kerugian bagi banyak Negara di dunia, khususnya Negara berkembang seperti Indonesia. Konvensi Rotterdam, yang memberlakukan prinsip PIC, di mana setiap Negara peserta wajib melakukan pertukaran informasi dan memberikan notifikasi terkait

                                                                                                               

33 Tropical Agricultural Economics, Food Scares Help China’s Nascent Organic Market, Exports Behind Growth, paragraf 4.

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 7:17 PM Deleted: Selain itu

(13)

pestisida yang menjadi objek perdagangan, jelas menawarkan alat pertahanan bagi masyarakat dan lingkungan setiap Negara tersebut, khususnya Negara berkembang yang teknologinya masih sangat minim. Dengan minimnya kemampuan untuk mengendalikan, mengolah, ataupun mencegah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh perdagangan pestisida internasional yang ilegal, ketentuan hukum internasional menjadi salah satu cara yang dianggap paling ampuh dalam mengurangi isu internasional yang belakangan sering diperbincangkan.

Indonesia, yang telah mengesahkan Konvesi Rotterdam dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 membuktikan salah satu cara untuk Indonesia mensosialisasikan Konvensi tersebut. Namun, sekian banyak hukum nasional yang telah dibentuk oleh Indonesia dengan ketentuan yang sudah hampir sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Rotterdam tidak mengurangi keinginan Negara asing untuk menjadikan Indonesia sebagai sarang pembuangan pestisida berbahaya.

Saran

Berdasarkan uraian dalam artikel ini maka terdapat rekomendasi terkait dengan dampak dilakukannya ratifikasi Konvensi Rotterdam oleh Indonesia, yaitu (1) suatu ketentuan hukum nasional yang merupakan pengesahan dari Konvensi Rotterdam wajib ditegakkan hukumnya agar Indonesia dapat lebih tegas menghadapi isu terkait pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan pestisida berbahaya yang sembarang, (2) melihat perkembangan Indonesia sebagai pelaku perdagangan internasional maka sudah saatnya Indonesia memproduksi dan mengekspor pestisida yang baik guna meningkatkan kualitas ekonomi dan finansial Negara, terlebih lagi dengan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya, dan (3) Indonesia perlu menyadari bahwa dilakukannya ratifikasi perjanjian internasional bukan lah hanya untuk memperbaiki keadaan Negara di mata internasional, tetapi juga untuk memperluas kemampuan dan kegiatan transaksi perdagangan internasional yang legal.

Daftar Referensi Books:

Aulia, Aris. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle) dalam Pengelolaan Limbah B3 Medis di Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran, 2013.

Carin Andyline Noerhadi 6/25/14 7:44 PM Deleted: S

(14)

Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mehri, Cyrus. Prior Informed Consent: An Emerging Compromise for Hazardous Exports. New York: Cornell International Law Journal, 1988.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2007.

Journal Article:

Diaz, Leticia M., dan Barry Dubner. “On the Importance of Regulating the International Trade of Pesticides: A Look at The Current Status of Conventional Wisdom (or Lack Thereof) on the Subject.” Southeastern Environmental Law Journal, Vol. 14, No. 1, 2005: 11.

Kementerian Lingkungan Hidup: Deputi IV MenLH Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah, “Naskah Akademik Persiapan Ratifikasi Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade”, Laporan Akhir, 2010: 3.

Environmental Protection Agency, “Stop the Export of Banned Pesticides, Background”, EPA, 2006: 4.

Musgrove, Connie, dan Angela F. Hofmann, “Pesticide Export and Import Enforcement Programs in the United States of America”, The U.S. Role in the International Trade of Pesticide, 1989: 1.

The International Journal of Occupational and Environmental Health 1999-2000, “Pesticide Exports from U.S. Ports”, The Current U.S. Policy, Vol. 7, No.4, 2000: 13.

Tropical Agricultural Economics, “Food Scares Help China’s Nascent Organic Market,” Exports Behind Growth, 2007: 4.

Online Forums, Discussion Lists, or Newsgroups:

Pesticides: Health and Safety, http://www.epa.gov/pesticides/health/human.htm, diakses pada tanggal 8 Juni 2014.

Pesticides – History, http://www.toxipedia.org/display/toxipedia/Pesticides+-+History, diakses pada tanggal 8 Juni 2014.

Peringatan Emil Salim ke Kementan: Indonesia jadi ‘Sampah’ Penjualan Pestisida Dunia, http://green.kompasiana.com/polusi/2013/06/05/peringatan-emil-salim-ke-kementan-indonesia-jadi-sampah-penjualan-pestisida-dunia-562533.html, diakses pada tanggal 5 Juni 2014.

(15)

The DDT Story, http://www.panna.org/issues/persistent-poisons/the-ddt-story, diakses pada tanggal 8 Juni 2014.

The London Guidelines, Including Prior Informed Consent,

http://www.chem.unep.ch/irptc/irptc/lguide.html, diakses pada tanggal 8 Juni 2014. The Problem with Pesticides, http://www.toxicsaction.org/problems-and-solutions/pesticides,

diakses pada tanggal 8 Juni 2014.

The Rotterdam Convention on the International Trade in Hazardous Chemicals: Summary, http://europa.eu/legislation_summaries/environment/cooperation_with_third_countries /l21281_en.htm, diakses pada tanggal 5 Juni 2014.

Timeline: History of Pesticides, http://blogs.uoregon.edu/ajacobssu13gateway/timeline/, diakses pada tanggal 8 Juni 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Sebab dasar dari moral adalah kepemilikan seseorang akan tubuh, akal, dan dirinya, serta kebebasan tanpa adanya penjagaan dari orang lain, 30 sehingga baik perempuan maupun

Selain mendorong pemanfaatan, di dalam kerjasama teknik ini Indonesia juga memperoleh donasi berupa alat ukur magnetotelurik, isotopet analyzer, ion chromatograph,

 Jumlah penumpang angkutan laut dalam negeri yang naik (embarkasi) di Pelabuhan Makassar bulan Desember 2013 adalah 34.814 orang atau mengalami

laporan biaya kualitas sebagai alat pengendalian biaya adalah bahwa setiap perusahaan menerapkan penyusunan laporan biaya kualitas yang merupakan salah satu usaha

Sebagian hutan di Kawasan Gunung Betung telah diubah fungsinya menjadi lahan dengan berbagai peruntukan. Alih fungsi lahan hutan semacam ini menyebabkan berubahnya

Terima kasih Majelis, saya Kuasa Termohon advokat Yan Christian Walinussyi di sebelah kiri saya Termohon Prinsipal Ketua KPU Bapak Yan Maurits Ayomi, di belakang kami hadir

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kompetensi, independensi, integritas, pengalaman kerja, dan etika auditor terhadap kualitas hasil audit dengan mengambil

Kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya