TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERITAAN HOAX
YANG KETENTUANNYA DI ATUR DALAM PASAL 28 AYAT (1) UNDANG –
UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
SKRIPSI
Oleh:
Lailatul Utiya Choirroh
NIM: C33213066
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
viii
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan dengan judul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan Hoax yang ketentuannya di atur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi, Bagaimana Rumusan Larangan Pemberitaan
Hoax yang ketentuannya di atur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemberitaan Hoax yang ketentuannya di atur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Data penelitian yang dihimpun adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dihimpun melalui pengumpulan data literatur dan dokumentasi yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan teknik deskriptif analisis.
Hasil proses penelitian menemukan bahwa pelaku penyebaran berita Hoax
telah melanggar pasal 28 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, sanksi pidana bagi pelaku penyebar Hoax terdapat dalam pasal 45 ayat (1) yaitu hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Satu Miliar Rupiah. Dalam perspektif Islam, tidak menghendaki umatnya melakukan perkataan dusta dan kebohongan, Islam tidak menganjurkan fitnah atau berburuk sangka kepada pihak lain. hendaklah pembicaraan yang diucapkan itu pembicaraan yang baik, bukan perkataan yang kotor dan jorok, bukan pembicaraan yang menghasut, memfitnah, menjelekkan pribadi seseorang, dan bukan pula pembicaraan yang menjurus kepada timbulnya dampak curiga-mencurigai. Hendaklah apa yang dibicarakan itu perkataan yang obyektif dan benar. Dalam hukum pidana Islam pelaku penyebaran berita Hoax yang melanggar pasal 28 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE merupakan tindakan dusta dan fitnah, Hukuman yang tepat bagi pelaku penyebaran berita Hoax adalah hukuman takzir yang berupa Hukuman kurungan tidak terbatas , hukuman kurungan tidak terbatas, terhukum terus dikurung sampai ia menampakkan tobat dan baik pribadinya atau sampai ia mati. bahwa masa hukuman kurungan tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, bahkan sampai terhukum mati.sebagaimana hukuman yang lain, disyaratkan dapat memperbaiki (memberikan pengajaran) dan mendidik pelaku secara umum.
Penelitian skrispi ini memiliki kesimpulan yaitu Pelaku tindak pidana pemberitaan Hoax mendapat hukuman takzir pelaku tindak pidana pemberitaan
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBARAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan Masalah ... 8
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Kajian Pustaka ... 9
F. Tujuan Penelitian ... 11
G. Kegunaan Penelitian ... 11
H. Definisi Oprasional ... 12
I. Metode Penelitian ... 13
J. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II HOAX DALAM PRESPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Konsepsi Ghibah dalam Hukum Pidana Islam ... 18
B. Dasar Pengharaman Hoax Dalam Hukum Pidana Islam ... 20
xiii
BAB III PEMBERITAAN HOAX DALAM INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Informasi Berita Hoax ... 49 B. Tindak Pidana Pemberitaan Hoax ... 51 C. Tindak Pidana Di Bidang Media Sosial ... 57
D. Macam-macam dan Tujuan Pemindanaan dalam Hukum
Pemberitaan Hoax ... 59 BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBERITAAN HOAX
DALAM PRESPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
A. Analisis Hukum Pidana terhadap pemberitaan Hoax ... 67 B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan
Hoax Yang Ketentuannya Diatur Dalam Pasal 28 Ayat (1)
Undang – Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya kejahatan-kejahatan baru yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus
operandinya. Penyalahguman komputer dalam perkembangannya
menimbulkan persoalan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian pidana.
Penggunaan komputer sebagai media untuk melakukan kejahatan memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam pembuktiannya. Hal ini dikarenakan komputer sebagai media memiliki karakteristik tersendiri atau
berbeda dengan kejahatan konvensional yang dilakukan tanpa komputer.1
Kemajuan teknologi informasi (Internet) dan segala bentuk manfaat didalamnya membawa konsekuensi negatif tersendiri di mana semakin mudahnya para penjahat untuk melakukan aksinya yang semakin merisaukan
masyarakat.2 akan tetapi,kebutuhan teknologi jaringan komputer semakin
meningkat. Selain sebagai media penyedia informasi. Melalui internet pula
2
kegiatan komunitas komersial menjadi bagian terbesar. dan terpesat pertumbuhannya serta menembus berbagai batas negara.
Bahkan melalui jaringan ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui
selama 24 jam. Melalui dunia intenet atau disebut juga Cyber Space, apapun
dapat dilakukan. Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah trend perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak di media Internet, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak. Seiring dengan perkembangan teknologi Internet. Menyebabkan munculnya kejahatan yang
disebut dengan Cyber Crime atau kejahatan melalui jaringan Internet.
Munculnya beberapa kasus Cyber Crime di Indonesia, seperti pencurian
kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, dan
penyebaran berita yang belum tentu benar (Hoax). Sehingga dalam kejahatan
komputer dimangkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil adalah perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain.
Menurut pendapat Muhammad Alwi Dahlan Ahli Komunikasi dari
Universitas Indonesia (UI), "Hoax merupakan manipulasi berita yang sengaja
dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.3
3 Nasional Republika, “Hoax Merupakan Kabar Direncanakan”
3
Hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama, namun kecanggihan teknologi membuat penyebaran kabar tersebut menjadi lebih luas. Hal itu
menjadi prestasi tersendiri bagi sang pembuat Hoax jika ia berhasil
menyebarluaskannya.4
Globalisasi pada hakekatnya adalah proses penetrasi kultur dunia industri maju (barat) ke belahan dunia non industri, termasuk dunia Islam. Akibatnya hubungan antara barat dan Islam menjadi tidak seimbang, karena barat merupakan produsen yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta melahirkan kultur, sedangkan di lain pihak Islam sebagai konsumen yang
menjadi sasaran penetrasi kultur tersebut.5
Ciri khas dari globalisasi adalah pada lancarnya komunikasi dan transportasi, serta lancarnya arus informasi, sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dalam era ini teknologi informasi memiliki peran yang sangat signifikan.6
Salah satu fenomena yang marak terjadi saat ini adalah banyaknya
berita Hoax (palsu) yang beredar di medsos (media sosial). Hal tersebut
memiliki dampak besar karena hampir semua orang melihat dan membaca
4Nasional Republika, “Hoax Merupakan Kabar Direncanakan” http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/01/11/ojm2pv361-ahli-hoax-merupakan-kabar-yang-direncanakan di akses pada 19 maret 2017
5 A. Basir Solissa, “Kemajuan Barat dan Reaksi Dunia Islam Dalam Pandangan Bhasan Tibbi,” Jurnal Refleksi, vol. 2, No. 2, (juli 2002), 160.
6 Amir syarifuddin, meretas kebekuan ijtihad, ed: Abdul Halim, cet, ke-1 (Jakarta: Ciputat Press,
4
berbagai berita setiap hari, diantara contohnya adalah kasus jokowi undercover.
Dimana Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi undercover menyebarkan berita bohong yang di sampaikan dalam video dilaman
facebooknya.7 Di tambah dengan kasus penyebaran berita Hoax tentang
penculikan anak di sebarkan oleh Angga Permana di wilayah Bandung barat.8
Dalam pemberitaan di atas melanggar Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (2) Undang–Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Traksaksi
Elektronik yang berbunyi :9
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ajaran Islam juga melarang menyebarkan berita tentang keburukan
seseorang atau golongan tertentu (ghi>bah). Apalagi menyebarkan berita yang
tidak terbukti kebenarannya (fitnah).
Islam muncul sebagai agama yang menyeru umat manusia untuk berbuat kebaikan, kebenaran, dan senantiasa meninggalkan kemungkaran.
Oleh sebab itu Islam sebagai agama monotoisme juga merupakan agama
yuridis, Islam senantiasa mengkostruksikan kerangka nilai dan norma tertentu
7 BBC, “Mengapa polisi harus mempidanakan penulis Jokowi Undercover?” http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38496945 di akses pada 9 maret 2017.
8 Jawapos
http://www.jawapos.com/read/2017/04/06/121421/tersangka-penyebar-berita-hoax-di-bandung-terancam-denda-rp-1-miliar diakses pada 06 april 2017.
5
pada umatnya, supaya selalu berperilaku berdasarkan pada tatanan hukum yang disepakati. Tata aturan hukum dalam Islam tersebut adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang didapat dari al-Qur'an dan Hadis yang disebut dengan shar´i.
Secara umum, tujuan shar´i dalam mensyari'atkan hukum-hukumnya adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuahan pokok
(d}aruri) bagi manusia, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (haji>yyah) dan kebaikan-kebaikan manusia (tah}si>niyah).10
Pada tujuan akhirnya, target yang ingin di peroleh dari berbagai aturan tersebut adalah terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan, aman, dan
tenteram sesuai dengan konsep maqa>sid al-shari´ah. Oleh karena itu dalam Islam
terdapat berbagai aturan hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan berupa sanksi tegas yang merupakan salah satu langkah represif dan preventif dalam mewujudkan tujuan syariat tersebut.
Dengan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar syara' diharapkan seseorang tidak mudah dan tidak seenaknya berbuat jarimah. Harapan diterapkannya ancaman dan hukum bagi pelaku jarimah tersebut adalah demi terwujudnya kemaslahatan umat. Dengan demikian, tujuan hukum Islam ditegakkan untuk melindungi lima hal yang disebut dengan maslahah darurii, yaitu di>n (untuk perlindungan terhadap agama), nafs (jiwa), nasl (Keturunan), ´aql (akal), dan ma>l
(Harta benda).11
10 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : Dina Utama, 1994), 310.
6
Dalam hal ini Allah Swt berfirman :
$pκš‰r'¯≈tƒ
t
Ï%©!$#
(#þθãΖtΒ#u βÎ)
ó
Οä.u!%y`
7
,Å™$sù
:
*t6t⊥Î/
(#þθãΨ¨t6tGsù βr&
(#θç7ŠÅÁè?
$JΒöθs%
7
's#≈yγpg¿2
(#θßsÎ6óÁçGsù
4
’n?tã
$tΒ
ó
ΟçFù=yèsù
t
ÏΒω≈tΡ ∩∉∪
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
(QS Al Hujurat : 6).12
Dalam ayat ini, Allah melarang hamba-hambanya yang beriman berjalan mengikuti desas-desus. Allah menyuruh kaum mukminin memastikan kebenaran berita yang sampai kepada mereka. Tidak semua berita yang dicuplikkan itu benar, dan juga tidak semua berita yang terucapkan itu sesuai dengan fakta .
Allah Swt juga mengingatkan bahwa,
Ÿ
ωuρ
ß
#ø)s?
$tΒ
}§øŠs9
y
7s9 ϵÎ/ í Οù=Ïæ 4 ¨ βÎ)
yìôϑ¡¡9$#
u|Çt7ø9$#uρ
yŠ#xσà ø9$#uρ
‘
≅ä.
y
7Íׯ≈s9'ρé&
t
β%x.
ç
µ÷Ψtã
Z
ωθä↔ó¡tΒ ∩⊂∉∪
“ Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertnggung jawabannya” (QS Al-Isra’ : 36).13
Janganlah kalian mengikuti ataupun meyakini sesuatu yang tidak kalian ketahui kepastiannya. Jadilah orang yang teguh dalam urusanmu, janganlah mengikuti prasangka dan kabar buruk, karena pendengaran, penglihatan, dan hati
7
mausia akan di perhitungkan di hadapan Allah. Jika semua itu di pergunakan untuk kebaikan maka allah akan membalasnya dengan pahala, dan jika di pergunakan
untuk kejelekan maka allah akan membalasnya dengan siksaan.14
Dari permasalahan yang komplek di atas penulis perlu melakukan penelitian yang di tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul :
“Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan Hoax Yang
Ketentuannya Diatur Dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis mengidentiikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan media sosial.
2. Pemberitaan Hoax yang melanggar Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang
Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
3. Sanksi hukuman dalam Islam terhadap pelaku penyebar berita Hoax.
4. Pandangan hukum pidana Islam terhadap pemberitaan Hoax.
8
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya ilmiah dengan batasan :
1. Rumusan Larangan Pemberitaan Hoax yang ketentuannya di atur dalam Pasal
28 ayat (1) Undang–Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemberitaan Hoax di Indonesia
berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang–Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Rumusan Masalah
Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran yang tertuang dalam latar belakang masalah tersebut maka diperlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut :
1 Bagaimana Rumusan Larangan Pemberitaan Hoax dalam Pasal 28 ayat (1)
Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ?
2 Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan Hoax
9
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi secara mutlak. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan penelitian atau tulisan yang sedikit kemiripan dalam penelitian yang dilakukan penulis, diantaranya yaitu penelitian :
Skripsi karya Desi Tri Astutik yang berjudul ”Tindak Pidana Kejahatan
Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif UU Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”. Dalam penelitian tersebut penulis menitik beratkan pembahasan mengenai kejahatan
Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif UU Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fikih Jinayah. skripsi di atas lebih membahas presepsi atau pendapat dari tokoh dalam UU ITE dalam prespektif jinayah dimana dalam analisis yang di gunakan hanya membahas tentang undang-undang dan kejahatan elektronik berdasarkan hukum fiqh jinayah. Skrispsi ini memiliki kesamaan dengan penelitian penulis, yaitu sama sama membahas tentang kejahatan mayantara. Sedangkan perbedaannya
adalah dalam penelitian ini, penulis fokus membahas mengenai Hoax yang di
10
Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
dan hukum pidana Islam.15
Kemudian penelitian ini juga hampir sama dengan Tesis yang ditulis oleh Marissa Amalia Shari Harahap, yang berjudul “Analisis Penerapan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Tindak Pidana Siber”. Penelitian ini terfokus pada penyeleseian tindak pidana siber di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga mengetahui dan menganalisis
tentang ketentuan pidana Undang-Undang tersebut.16 Dalam penelitian ini
memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana siber serta penjabarannya tentang bagaimana ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sedangkan Dalam hal ini penulis fokus membahas
mengenai Hoax yang di lakukan di dunia maya di tinjau dalam Pasal 28 Ayat
(1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronikdan hukum pidana Islam.
Kemudian penelitian ini juga hampir sama dengan Tesis yang ditulis oleh Clara Novita, yang berjudul “Literasi Media Baru Dan Penyebaran
Informasi Hoax studi Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam
Penyebaran Informasi Hoax Periode Januari-maret 2015”.17 Penelitian ini
15 Desi Tri Astutik, ”Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif UU
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, 2012).
16 Marissa Amalia, “Analisis Penerapan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Dalam Tindak Pidana Siber”, (Tesis--Universitas Inonesia, 2011).
17 Clara Novita, Literasi Media Baru Dan Penyebaran Informasi Hoax studi Fenomenologi Pada
11
terfokus pada penyebaran informasi Hoax pada whatsapp dalam prespektif
ilmu komunikasi. dalam hal ini penulis fokus membahas mengenai Hoax yang
di lakukan di dunia maya di tinjau dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum pidana Islam.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis antara lain :
1. Untuk mengetahui Rumusan Larangan Pemberitaan Hoax dalam Pasal 28 ayat
(1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan
Hoax Yang Ketentuannya Diatur Dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang – Undang
Republik Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
G. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Secara Teorotis (Keilmuan)
12
informasi pembanding bagi peneliti lama yang serupa namun berbeda sudut pandang. Serta berfungsi juga sebagai tambahan literatur perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Serta dapat juga dijadikan bahan acuan dan landasan pemahaman dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada penelitian berikutnya tentang hal-hal yang berkenaan
dengan Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberitaan Hoax Yang
Ketentuannya Diatur Dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai inspirasi dan alternatif pencegahan bagi masyarakat untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan yang dapat melanggar Undang-Undang ITE, memberikan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca mengenai kabar
Hoax serta bagaimana bentuk pelanggararnnya yang diatur dalam Pasal
28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
H. Definisi Operasional
13
1. Hukum Pidana Islam : Menurut Hukum Pidana Islam perbuatan
menyebarkan berita Hoax termasuk dalam Jarimah Takzir.
2. Pemberitaan Hoax : Pemberitaan atau informasi hoax yang berupa berita
bohong atau fitnah yang di sebarkan melalui internet dan media sosial
I. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah metode yang akan diterapkan dalam
penelitian yang akan dilakukan.18 Dalam hal ini meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang menekankan sumber informasinya dari buku-buku , jurnal dan literatur yang berkaitan atau relevan dengan objek penelitian.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan Sumber yang bersifat autoritatif
artinya punya otoritas. Sumber hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.19 Sumber primer
dalam penulisan ini diambil dari Undang-Undang Informasi Dan
14
Transaksi Elektronik yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber yang diperoleh dari bahan pustaka yang berhubungan dengan judul sebagai pendukung kelengkapan peneilitan yang berasal Sumber rujukan seperti buku,
majalah, koran, jurnal, dan internet.20
Sumber data sekunder yang digunakan penulis antara lain :
1) Abdul Wahab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang : Dina
Utama
2) Ahmad Mawardi Muslich. 2006. Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
3) Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta : Logung Pustaka.
4) Maskum. 2017. Kejahatan Cyber Crime. Jakarta : Kencana
Pranada Media Group.
3. Teknik Pengelolahan Data
Data yang di dapat dari dokumen dan sudah terkumpulkan di
lakukan analisa, berikut tahapan-tahapannya :21
20 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 13.
21Andi prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Prespektif Rancangan Penelitian,
15
a. Editing, yaitu mengadakan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari data-data primer atau sekunder untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup baik
dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya,22
yakni tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pemberitaan
Hoax di Indonesia berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang
Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis mengenai
Pemberitaan Hoax di Indonesia berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang –
Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ditinjau dari Hukum Pidana Islam.
c. Analizing, yaitu tahapan analisis terhadap data, mengenai hukuman
Pemberitaan Hoax di Indonesia berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang –
Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ditinjau dari hukum pidana Islam.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan adalah dengan pengumpulan data literatur, yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan bahasan sanksi pidana. Bahan-bahan pustaka yang digunakan di sini adalah buku–buku yang ditulis oleh para pakar atau ahli hukum terutama dalam bidang hukum pidana dan hukum hukum pidana Islam.
16
Sesuai dengan bentuk penelitiannya yakni kajian pustaka
(library research), maka penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai buku yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, kemudian memilih secara mendalam sumber data kepustakaan yang relevan dengan masalah yang dibahas.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif,23 yang di maksud
untuk memperoleh data yang sedetail mungkin mengenai pemberitan
Hoax di Indonesia dalam prespektif hukum pidana Islam.
Data yang di peroleh kemudian di kumpulkan dan disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan melakukan pembacaan, penafsiran, dan analisis terhadap
sumber-sumber data yang diperoleh yang berkaitan denganPasal 28 ayat
(1) UU ITE, kemudian Pasal-Pasal tersebut akan diterapkan dari segi sanksi dan kriterianya pada objek yang akan diteliti oleh penulis. Serta dianalisis juga dalam perspektif hukum pidana Islam dengan bantuan
sumber-sumber data sekunder yakni berupa buku, majalah, situs internet
serta data lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji.
17
J. Sistematika Pembahasan
Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing mengandung sub bab. penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab I : Menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II : Bab kedua berisi bab ini membahas tentang Hoax dalam Prespektif
Hukum Pidana Islam.
Bab III : Bab ketiga berisi tentang pemberitaan Hoax dalam informasi dan
transaksi elektronik serta Bagaimana pemberitaan Hoax yang
ketentuannya di atur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Bab IV : Bab ini membahas tentang analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Pemberitaan Hoax Yang Ketentuannya Diatur Dalam Pasal
28 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
18
BAB II
HOAX DALAM PRESPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
A.Konsepsi Ghibah Dalam Hukum Pidana Islam
Ghibah berasal dari bahasa arab ghaaba yaghibu ghaiban yang berarti
ghaib, tiada hadir.1 Kata
ﺔﺒﻴﻐﻟا
akar kataب-ي-غ
yang dalam kitab Maqayisal-lughah diartikan sebagai “sesuatu yang tertutup dari pandangan.2 Asal kata
ini memberi pemahaman adanya unsur “ketidakhadiran seseorang” dalam
ghibah, yakni orang yang menjadi obyek pembicaraan. Kata ghibah dalam
bahasa indonesia mengandung arti umpatan, yang diartikan sebagai perkataan
yang memburuk-burukan orang.3
Dan ghibah secara syar’i yaitu menceritakan tentang seseorang yang tidak
berada di tempat dengan sesuatu yang tidak di sukainya. Baik menyebutkan aib
badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatanyya, urusan agamanya, dan
urusan dunianya.4 Sebagaimana dalam hadits di jelaskan tentang ghibah yaitu:
ﺎﻣ نورﺪﺗأ " ﻞﻗ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر نأ ،ةﺮﻳﺮﻫ ﰊأ ﻦﻋ
ا
ﻪﻟﻮﺳرو ﷲ : ﻮﻠﻗ " ﺔﺒﻴﻐﻟ
ﻣ ﻲﺧأ ﰲ نﺎﻛ نإ ﺖﻳأﺮﻓأ : ﻞﻴﻗ " ﻩﺮﻜﻳ ﺎﲟ كﺎﺧأ كﺮﻛذ " لﺎﻗ .ﻢﻠﻋأ
نﺎﻛ نإ " ﻞﻗ ؟ لﻮﻗأ ﺎ
7 ﺪﻘﻓ ،لﻮﻘﺗ ﺎﻣ ﻪﻴﻓ ﻦﻜﻳ ﱂ نإ و .ﻪﺘﺒﺘﻏا ﺪﻘﻓ ،لﻮﻘﺗ ﺎﻣ ﻪﻴﻓ
." ﻪﺘ
“ Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Tahukah kalian apa Ghibah itu? Sahabat menjawab Allah dan Rasul-nya yang
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), 304.
2 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, mu’jam maqayis al-lughah, (Bairut Lebanon : dar
al-fikr jilid 4) 340.
19
lebih mengetahui. Beliau bersabda : “kamu menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, “ Beliau ditanya : Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan? Beliau menjawab : kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah menggibahnya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya.5
Berdasarkan Hadist di atas ghibah di artikan menyatakan tentang sesuatu
yang terdapat pada diri seorang muslim di saat ia tidak berada di tempat, dan
apa yang di sebutkan memang ada pada orang tersebut tetapi ia tidak suka hal
tersebut dinyatakan. Adapun jika yang disebutkan tidak ada padanya, berarti
telah memfitnahnya.
Fitnah sendiri dalam kamus besar bahasa indonesia di artikan sebagai
suatu perkataan bohong atau tanpa dasar kebenarannya yang disebarkan dengan
maksuk menjelekkan orang seprti pencemaran nama baik atau dalam bentuk
kehormatan lainnya.6 Hal senda juga dikemukakan oleh abdul mujid, ia
menyatakan bahwa fitnah adlah menyiarkan berita tanpa dasar kebenaran yang
hakikatnya hendak merugikan orang lain.7
Pengertian diatas tanpak berbeda dengan arti yang digunakan dalam
bahasa arab fitnah menurt bahasa arab lebih dimaknai kepada sifat tertentu
5 File mausuu’atul hadits, Shahih Muslim ﺔﺒﻴﻐﻟا ﱘﺮﲢ ب> no 2589, Sunan Abu Dawud ﺔﺒﻴﻐﻟا ﰲ ب> no
4874, ﺔﺒﻴﻐﻟا ﰲ ءﺎﺟﺎﻣ ب> no 2741, Sunan At-Tirmidzi, ﺔﺒﻴﻐﻟا ﰲ ءﺎﺟﺎﻣ ب> no 1999.
6 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 318. 7 Tim Penyusun, Ensiklopedi Al Quran Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta : Dana Sakti Prima
20
untuk di bakar (berupa benda – benda logam: emas atau perak), dengan tujuan
di peroleh kemurniannya.8
Allah berfirman dalam surat Adz Dzariyat menjelaskan hukuman fitnah
adalah :9
َن ُ َ ۡ ُ ِر ٱ
َ َ ۡ ُ َمۡ َ
ِ ٱ اَ ٰ َ ۡ ُ َ َ ۡ ِ ْا ُ!وُذ
َن ُ$ِ%ۡ&َ ۡ'
َ( ۦِ*ِ+ ُ ُ, ي
.
(Hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka
(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan"
B.Dasar Pengharaman Hoax Dalam Hukum Pidana Islam
Al-Qur’an dan Hadist telah memperingatkan tentang ghibah dan
melarang perbuatan tersebut. Berdasarkan firman Allah Swt di dalam surah
al-Hujurat ayat 12:10
ِّ012ٱ َ0ِّ3 4ٗ6ِ7
َ, ْا ُ8ِ َ ۡ9ٱ ْا ُ َ3اَء َ0 ِ ٱ َ;< َ=>َ
ْا ُ''َ
?
َ
@ َو ۖٞ ۡCِإ ِّ012ٱ َEۡ&َF نِإ
َ
Gَ ۡHَ
@َو
َ
ِ*IِJ
َ
أ َ ۡ
L َMُN
َ
ۡ
Oَ ن
َ
أ ۡ ُNُPَQ
َ
أ <Gِ ُR
S ۚ ًVۡ&َF ُ ُVۡ&F
َ
َ3
َۚWٱ
ْا ُXYٱَو ُۚه ُ[ُ ۡ ِ\َ]َ ٗ ۡI
نِإ
َWٱ
ٞ IِQر ٞبا َ_
`
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Dan sabda rasulullah Saw :11
8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Amanah, (Bandung Pustaka Kartini), 167. 9 Qs. Adz Dzariyat, 51, 13 – 14.
21
ﺪﺣ .نﺎﺒﻴﺷ ﻦﺑ دﻮﺳ ﻷا ﺎﻨﺛ ﺪﺣ .ﻊﻴﻛو ﺎﻨﺛ ﺪﺣ .ﺔﺒﻴﺷ ﰉأ ﻦﺑ ﺮﻜﺑ ﻮﺑأ ﺎﻨﺛ ﺪﺣ
ﻦﻋ ,راﺮﻣ ﻦﺑ ﺮﲝ ﲏﺛ
ﻩﺪﺟ
ﻤNا )) ل ﺎﻘﻓ .ﻦﻳﲑﻘﺑ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﺔﻠﻟا ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا ﺮﻣ : لﺎﻗ ةﺮﻜﺑ ﰊأ
ﰲ ن>ﺬﻌﻳ ﺎﻣو .ن> ﺬﻌﻳأ ﺎ
((ﺔﺒﻴﻐﻟا ﰲ بﺬﻌﻴﻓ ﺮﺧ ﻻا ﺎﻣأو .لﻮﺒﻟا ﰲ بﺬﻌﻴﻓ ﺎﳘﺪﺣأ ﺎﻣأ .ﲑﺒﻛ
“Dari Abu Bakar ibn Abi syaibah dari waki’ dari al-aswad ibn syaiban dari bahr ibn mirar dari kakeknya abi barkah bakrah berkata, rasulullah saw. Lewat di depn kuburan seraya bekata : kedua penghuni kuburan akan disiksa dan mereka di siksa bukan karena dosa besar. Di siksa karena kencing sedangkan yang satu lagi di siksa karena masalah hibah.
Ghibah termasuk larangan haram yaitu berdosa bagi yangmelakukannya,
untuk itu ghibah harus di tinggalkan. Sebagaimana firman Allah QS al-an’am
ayat 120:12
ْاوُرَذَو
َ\ِ;ٰ َa
ٱ
ِ ۡCِ
b
ۡ
ُ*َ ِc َdَو
ۚٓۥ
نِإ
ٱ
َ0 ِ
َن ُ8ِ'ۡ َ
ٱ
َ ۡgِ
b
ۡ
ُِ َhۡXَ
ْا ُiَj َ[ِ+ َنۡوَkۡ%ُIَl
َن
`m
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”.
C.Hukuman Hoax Dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fikihdengan istilah Jinayah
atau Jarimah bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Hukum pidana atau
fikihJinayah. JinayahMerupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syarak
karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal
(intelegensi). Sebagian fukaha menggunakan kata Jinayah untuk perbuatan
yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai,
22
menggugurkan kandungan dan lain sebagainnya. Dengan demikian istilah
fikihJinayah sama dengan hukum pidana.13
Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Mawardi sebagai
berikut “Segala larangan shara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan
meninggalkan hal-hal yang mewajibkan) dengan diancam hukuman had atau
takzir”.14
Dapat diambil pengertian bahwa kata Jarimah identik dengan
pengertian yang disebut dalam hukum positif sebgai tindak pidana atau
pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran
hukum. Dalam hukum positif, contoh-contoh Jarimah pencurian, Jarimah
pembunuhan dan sebagainya diistilahkan dengan tindak pidana pencurian,
tindak pidana pembunuhan, dan sebagainya.15
2. Unsur dan Syarat Tindak Pidana
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila
unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang
khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus
hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara Jarimah satu
dengan jarimah yang lain. Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum
jarimah adalah sebagai berikut :16
a. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas)
13 Makhrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: logung pustaka, 2004), 2. 14 Imam Al-Mawardi, Al - Ahkam As - Sulthaniyyah,(Penerbit As-Sa’adah Dan Al-Wathan,cet. I)
206.
23
b. Unsur materiil (sifat melawan hukum)
c. Unsur moril (pelakunya mukallaf)
Selain ketiga unsur tersebut diatas yang harus ada dalam suatu tindak
pidana yang merupakan unsur-unsur umum terdapat juga unsur-unsur khusus
yang ada pada masing-masing tindak pidana. Yang dimaksud dengan unsur
khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana tertentu dan
berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis
jarimah yang lainnya.17
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur umum dan
unsur khusus pada jarimah itu ada perbedaan. Unsur umum jarimah
ancamannya hanya satu dan sama pada setiap jarimah, sedangkan unsur
khusus bermacam macam serta berbeda-beda pada setiap jenis tindak pidana
(jarimah).
Bahwa seorang yang melakukan tindak pidana harus memenuhi
syarat-syarat yaitu berakal, cukup umur, mempunyai kemampuan bebas
(muchtar).18
Tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam
kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan
yang diperintahkan, adapun syarat-syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua
macam, yaitu : Pelaku sanggup memahami nas-nas syarak yang berisi hukum
17 Makhrus Munajat, Dekontruksi hukum pidana islam..., 11.
18 Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta: Bulan
24
taklifi dan Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan
dijatuhi hukuman.
Sedangkan syarat perbuatan yang dapat dipidanakan ada tiga macam,
yaitu:19
a. Perbuatan itu mungkin terjadi.
b. Perbuatan itu disanggupi oleh mukalaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukalaf, baik untuk mengerjakannya maupun
meninggalkannya.
c. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukalaf dengan sempurna.
3. Jarimah Takzir
Takzir menurut bahasa berasal dari kata azza>ra yang mempunyai
persamaan kata dengan ma>na‘a wa radda yang artinya mencegah dan
menolak; adda>ba yang artinya mendidik; azza>ma wa al-waqqa>ra yang artinya
mengagunkan dan menghormati; dan a‘ana wa qawwa>wa nas ara yang
artinya membantunya, menguatkan dan menolong.20
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah pengertian
adda>ba (mendidik) dan ma>na‘a wa al-radda> (mencegah dan menolak).21
karena takzir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dengan takzir karena hukuman tersebut sebenarnya untuk mencegah dan
19 Ahmad Wardi Muslich, Dekontruksi Hukum Pidana Islam (Sleman: logung pustaka, 2004), 31. 20 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248.
25
menghalangi orang yang berbuat jarimah tersebut untuk tidak mengulangi
kejahatannya lagi dan memberikan efek jera. 22
Kata takzir lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti memberi
pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman Hudud. Sedangkan menurut
syarak, takzir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk
kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman Hudud dan
tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah seperti makan pada
siang hari pada bulan Ramadan tanpa ada uzur, meninggalkan salat menurut
jumhur ulama, riba. Maupun kejahatan adami, seperti mencuri dengan
jumlah curian yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa
mengandung unsur al-hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat
penyimpanan yang semestinya), korupsi, pencemaran dan tuduhan selain
zina dan sebagainya.23
Dalam hal ini Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa takzir (sanksi
disiplin) adalah menjatuhkan takzir terhadap dosa-dosa yang di dalamnya
tidak terdapat hudud (hukuman shar’i ).24Adapun perbedaan antara jarimah
hudud dan jarimah takzir adalah sebagai berikut:25
a. Dalam jarimah hudud, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan maupun
ulil amri> (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan jarimah hudud dan
22 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 11.
23 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
2007), 523.
24 Imam Al-Mawardi, Al - Ahkam As - Sulthaniyyah,(Penerbit As-Sa’adah Dan Al-Wathan,cet. I)
206. (Ibnu firjaun, tabsiratul hukkam fil usulil aqdiyyah wa manahijul ahkam, jld. II) (Fadli Bahri) 266.
26
terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya bisa menjatuhkan sanksi
yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam jarimah takzir, kemungkinan
pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulil amri>, bila hal itu
lebih maslahat.
b. Dalam jarimah takzir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat kejahatan.
Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah
kejahatan material.
c. Pembuktian jarimah hududdankisasharus dengan sanksi atau pengakuan,
sedangkan pembuktian jarimah takzir sangat luas kemungkinannya.
d. Hukumanhudud maupun kisas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,
karena syarat menjatuhkan hudud si pelaku harus sudah balig, sedangkan
takzir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu boleh.
1) Unsur–Unsur Jarimah Takzir
Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan
unsur khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak
pidana berlaku pada semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya
berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang
satu dengan yang lain.26
26 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
27
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum
untuk Jarimah itu ada tiga macam, yaitu:27
a) Unsur formal, yaitu adanya nas(ketentuan) yang melarang perbuatan
dan mengancamnya dengan hukuman. Contohnya dalam surah al
Maidah: 38
ﺎَﻤِﺑ َۢءٓﺍ َﺰَﺟ ﺎَﻤُﻬَﻳِﺪۡﻳَﺃ ْﺍ ٓﻮُﻌَﻄۡﻗﭑَﻓ ُﺔَﻗ ِﺭﺎﱠﺴﻟٱ َﻭ ُﻕ ِﺭﺎﱠﺴﻟٱ َﻭ
ٌﺰﻳ ِﺰَﻋ ُ ﱠcٱ َﻭ ِۗﱠcٱ َﻦِّﻣ ٗﻼَٰﻜَﻧ ﺎَﺒَﺴَﻛ
ٞﻢﻴِﻜَﺣ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.28
b) Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk Jarimah,
baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat
(negatif). Contohnya dalam jarimah zina unsur materiilnya adalah
perbuatan yang merusak keturunan, dalam jarimah qadhaf unsur
materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina.
c) Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukalaf, yakni
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana
yang tidak ditentukan sanksinya oleh Al-quran maupun Hadis disebut
sebagai jarimah takzir. Contohnya tidak melaksanakan amanah,
27 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 28.
28
menggelapkan harta, menghina orang, menghina agama, menjadi saksi
palsu, dan suap.
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam hukuman takzir diberlakukan
terhadap setiap bentuk kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman
hudud dan kewajiban membayar kafarat di dalamnya, baik itu berupa
tindakan pelanggaran terhadap hak Allah SWT maupun pelanggaran
terhadap hak individu ( adami ).29
Adapun menurut Ahmad Wardi Muslich bahwa jarimah takzir
terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman
h}ad maupun kafarat. Pada intinya, Jarimah takzir ialah perbuatan
maksiat.30
Menurut Ibnul Qayyim perbuatan maksiat ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:31
a. Perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman
hudud tanpa ada kewajiban membayar kafarat, seperti pencurian,
menenggak minuman keras, zina dan qadhaf . Sehingga dengan
adanya hukuman h}ad tersebut, maka hukuman takzir sudah tidak
diperlukan lagi.
b. Perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban
membayar kafarat saja, tidak sampai terkena hukuman hudud,
29 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
2007) 259.
30 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) 249.
31 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
29
seperti melakukan koitus (persetubuhan) di siang hari bulan
Ramadan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, kebalikan dari
pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyah, juga seperti melakukan
koitus pada saat berihram.
c. Perbuatan maksiat yang pelakunya tidak dikenakan ancaman
hukuman hudud dan tidak pula terkena kewajiban membayar
kafarat, seperti mencium perempuan asing, mengonsumsi darah dan
babi, dan sebagainya. Bentuk kemaksiatan ketiga inilah pelaku
dapat dikenakan hukuman takzir.
Para ulama juga memberi contoh perbuatan maksiat yang pelakunya
tidak bisa dikenai takzir, seperti seseorang yang memotong jari sendiri.
Pemotongan jari sekalipun milik sendiri itu jelas suatu maksiat, namun
tidak dapat dikenakan takzir kepada pelakunya sebab tidak mungkin
dilaksanakan kisas . Sesungguhnya dalam kasus tersebut tidak ada
halangan untuk dilaksanakan takzir, karena pelaku telah
menyia-nyiakan diri sendiri, padahal menjaga diri sendiri adalah wajib
hukumnya.32
Adapun syarat supaya hukuman takzir bisa dijatuhkan adalah hanya
syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman takzir bisa dijatuhkan
kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang
tidak memiliki ancaman hukuman hudud, baik laki-laki maupun
perempuan, muslim maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah
30
berakal (mumayyi>z). Karena mereka semua selain anak kecil adalah
termasuk orang yang sudah memiliki kelayakan dan kepatutan untuk
dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayyi>z, maka ia di
takzir, namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai
bentuk mendidik dan memberi pelajaran.33
Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddu>l Muhta>r memberikan
ketentuan dan kriteria dalam hukuman takzir yaitu setiap orang yang
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak
(tanpa alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan atau
isyarat, baik korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir.34
Sedangkan ruang lingkup dalam takzir yaitu sebagai berikut:35
1) Jarimah hudud atau kisas diat yang terdapat syubhat dialihkan ke
sanksi takzir.
2) Jarimah hudud atau kisas diat yang tidak memenuhi syarat akan
dijatuhi sanksi takzir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan dan percobaan zina.
3) Jarimah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak
ditentukan sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan
amanah, saksi palsu, riba , suap, dan pembalakan liar.
33 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam ..., 531. 34 Ibid., 532.
31
4) Jarimah yang ditentukan ulil amri> untuk kemaslahatan umat, seperti
penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,
pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
ada dalam Jarimah takzir adalah setiap bentuk kejahatan (maksiat) yang
tidak ada ancaman hukuman hudud dan kewajiban membayar kafarat di
dalamnya, perbuatan jarimah hudud atau kisas yang unsurnya tidak
terpenuhi, dan melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain
tanpa hak (meresahkan masyarakat umum).
2) Macam-Macam HukumanTakzir
Dalam hukum Islam, hukuman takzir terbagi menjadi beberapa
macam. Pada pembahasan ini akan disebutkan beberapa hukuman takzir
yang terpenting yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Selain itu,
harus diingat bahwa prinsip-prinsip hukum Islam tidak menolak untuk
mengambil hukuman lain apapun juga yang dapat mewujudkan tujuan
hukuman dalam hukum Islam.
a. Hukuman Mati
Pada dasarnya, hukuman takzir menurut hukum Islam bertujuan
untuk mendidik. Hukuman jarimah takzir diperbolehkan jika ketika
diterapkan biasanya akan aman dari akibatnya yang buruk. Artinya,
32
tidak boleh ada hukuman mati (qatl) atau pemotongan anggota badan
(qaf) dalam hukuman jarimah takzir.36
Sebagian besar fukaha memberikan pengecualian dari aturan
umum tersebut, yaitu memperbolehkan penjatuhan hukuman mati
sebagai hukuman takzir manakala kemaslahatan umum menghendaki
demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa
ditolak kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti menjatuhkan
hukum mati kepada mata-mata, penyeru bid'ah (pembuat fitnah), dan
residivis yang berbahaya.37
Hukuman mati yang dianggap sebagai hukuman takzir.
Sebagaimana telah diketahui, hukuman mati hanya dikenakan
terhadap empat tindak pidana hudud: tindak pidana zina, gangguan
keamanan, murtad, pemberontakan, dan satu pada tindak pidana
kisas, yaitu pembunuhan sengaja. Apabila ditentukan bahwa tindak
pidana takzir yang dijatuhi hukuman mati mencapai lima bentuk,
seluruh tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati oleh hukum Islam
tidak lebih dari sepuluh tindak pidana, hal ini pun menurut golongan
yang memperbolehkan hukuman mati sebagai hukuman takzir.
Adapun menurut golongan yang tidak memperbolehkan hukuman
36 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid III (alie yafie, et al), (bogor : PT
kharisma ilmu, tt) 87.
33
mati sebagai hukuman takzir tindak pidana yang dijatuhi hukuman
mati tidak lebih dari lima bentuk saja.38
Inilah di antara keistimewaan hukum Islam yang tidak dimiliki
oleh sistem hukum lainnya. Hukum Islam tidak berlebihan dalam
menjatuhkan hukuman mati dan tidak mengharuskannya tanpa ada
kebutuhan.
b. Hukuman Dera
Hukuman dera merupakan salah satu hukuman pokok dalam
hukum Islam dan juga merupakan hukuman yang ditetapkan untuk
tindak pidana hudud dan takzir. Hukuman ini bahkan merupakan
hukuman yang diutamakan bagi tindak pidana takzir yang berbahaya.
39
1) Batas Tertinggi (Maksimal) Hukuman Dera
Sebagian fukaha berpendapat bahwa jumlah minimal hukuman
dera adalah tiga kali karena jumlah ini adalah jumlah yang paling
sedikit yang dapat mencegah seseorang kembali berbuat tindak
pidana. Akan tetapi, sebagian fukaha tidak menetapkan adanya
batas minimal dalam hukuman dera karena adanya pengaruh
pencegahan pada diri seseorang dapat berbeda-beda menurut
perbedaan kondisi dan keadaan mereka.40
38 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid III, …, 88. 39 Ibid.
40 Ibnu Hamam, Syarh Fathul Qadir Jilid Iv,& Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, At-Turuqul Hukmiyyah
34
Tidak ada ketentuan dalam hukum Islam yang melarang hukuman
dera dijadikan hukuman atas tindak pidana takzir meskipun ada
sebagian fukaha yang mengutamakan agar hukuman dera bukan
yang lainnya dijatuhkan atas tindak pidana yang sejenisnya dijatuhi
hukuman hudud. Contohnya, mereka menjatuhkan hukuman dera
terhadap pencuri yang tidak ada hukuman hududnya, terhadap
pelaku zina, dan pelaku qazai yang tidak ada hadnya. Menurut
mereka, bahkan tindak pidana yang sejenisnya tidak wajib dijatuhi
hukuman hudud juga dapat dijatuhi hukuman dera atau hukuman
takzir lainnya. Menurut mereka, hukuman dera adalah hukuman
yang paling dapat mendidik dan mencegah dilakukannya tindak
pidana yang berbahaya. Sudah tentu, tindak pidana sejenisnya yang
dijatuhi hukuman hudud adalah tindak pidana yang paling
berbahaya.41
c. Hukuman Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam, yaitu
hukuman kawalan terbatas (waktunya) dan hukuman kawalan tidak
terbatas.42
1) Hukuman Kawalan Terbatas
Hukum Islam menetapkan hukuman-kawalan-terbatas untuk
pidana takzir biasa dan juga pidana ringan atau biasa.
35
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa para fukaha
lebih mengutamakan hukuman dera daripada hukuman lain atas
pidana yang sangat berbahaya atau pelakunya sangat berbahaya
yang tidak hanya dapat diberantas dengan hukuman dera.
Batas terendah hukuman ini ialah satu hari, sedangkan batas
tertinggi tidak ada kesepakatan di antara fukaha. Sebagian ulama
berpendapat bahwa batas tertingginya tidak lebih dari enam
bulan, sebagian yang lain berpendapat bahwa tidak lebih dari satu
tahun, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa batas tertinggi
diserahkan kepada penguasa.
Ulama yang membatasi dengan batas tertinggi tersebut
adalah ulama Syafi'iyah. Mereka mensyaratkan agar batas
tertingginya tidak lebih dari satu tahun karena mereka
menganalogikannya dengan hukuman pengasingan dalam hudud
zina. Lamanya pengasingan tidak lebih dari satu tahun. Karena
itu, hukuman kurungan tidak boleh lebih dari satu tahun sehingga
pelaku bukan tindak pidana hudud (pelaku tindak pidana takzir)
tidak dijatuhi hukuman hudud. Akan tetapi, mazhab lain tidak
menganalogikan hukuman kurungan dengan hukuman
pengasingan.43
Diperbolehkan mengumpulkan hukuman kurungan dengan
hukuman pukulan (dera) jika penjatuhan salah satu hukuman
36
semata tidak cukup membawa hasil. Akan tetapi, dalam keadaan
ini, ulama Syafi'iyah mensyaratkan agar penjatuhan hukuman ini
bersifat saling menyempurnakan kekurangan hukuman yang lain.
Misalnya, apabila pelaku didera setengah deraan yang ditentukan,
setengahnya lagi dijatuhi hukuman kurungan. Apabila pelaku
didera sebanyak seperempat deraan, tiga perempatnya dijatuhi
hukuman kurungan. Demikian seterusnya. Sungguhpun demikian,
para fukaha lainnya tidak mensyaratkan hal ini. Karena itu,
mereka membolehkan menghukum pelaku dengan jumlah deraan
yang ditentukan sebagai hukuman takzir kemudian menjatuhkan
hukuman kurungan kepada mereka untuk jangka waktu yang
cukup dapat mendidik pelaku dan memperingatkan orang lain.
Hukuman kurungan, sebagaimana hukuman yang lain,
disyaratkan dapat memperbaiki (memberikan pengajaran) dan
mendidik pelaku secara umum. Adapun jika hukuman kurungan
diduga kuat tidak akan dapat mendidik dan memperbaiki pelaku,
hukuman ini ditolak dan pelaku harus dijatuhi hukuman lain.44
Sikap hukum Islam terhadap hukuman kurungan sangat
berbeda dengan sikap hukum konvensional. Dalam hukum
konvensional, hukuman kurungan adalah hukuman utama bagi
semua tindak pidana, baik tindak pidana biasa maupun berbahaya.
Adapun dalam hukum Islam, hukuman kurungan merupakan
37
hukuman kedua yang dijatuhkan atas tindak pidana-tindak pidana
biasa. Hukuman kurungan juga merupakan hukuman yang bersifat
pilihan yang diserahkan kepada hakim, apakah dijatuhkan atau
tidak. Hakim baru boleh menjatuhkan hukuman kurungan apabila
itu bermanfaat. Akibat perbedaan tersebut, jumlah terpidana
kurungan di negara yang mempraktikkan hukum Islam sangat
sedikit, sedangkan jumlah terpidana kurungan di negara yang
mempraktikkan hukum konvensional sangat banyak.
Pada realitasnya, masalah penjara dan para tahanannya
merupakan masalah utama yang dihadapi oleh para pakar hukum
konvensional. Akibat dijadikannya hukuman kurungan sebagai
hukuman utama bagi hampir setiap tindak pidana, jumlah
penghuninya akan semakin bertambah sehingga penjara akan
penuh dan sesak. Akibat lain, rumah penjara menjadi tempat
sekolah kejahatan meskipun tujuan didirikannya adalah untuk
mencegah tindak pidana. Akan tetapi, berkumpulnya para
tahanan dalam penjara memungkinkan mereka untuk bertukar
pengalaman dan pengetahuan tentang kejahatan. Pengalaman
menunjukkan bahwa hukuman penjara tidak cukup dapat
menumpas orang yang perlu ditumpas terpidana yang diharapkan
bisa baik justru menjadi rusak.45
38
Untuk mengurangi kecacatan (segi-segi negatif) hukuman
kurungan, sebagian pembaru berupaya membuat beberapa sistem.
Akan tetapi, semua upaya itu tetap memiliki banyak sisi negatif
dan kerusakan serta tidak mampu menutupi kecacatan hukuman
penjara yang utama. Di antara sistem (usaha) tersebut adalah
memisahkan (memencilkan) para terhukum di waktu malam dan
mengumpulkanya di waktu siang dengan diharuskan diam
(dilarang bicara). Akan tetapi, sistem ini menuntut banyak biaya
yang memberatkan keuangan negara dan memberikan hukuman
yang kejam dan kontinu terhadap para terhukum dengan
melarangnya berbicara dan berkomunikasi. Demikian juga sistem
memencilkan tahanan pada waktu siang dan malam hari
merupakan sistem yang menghabiskan banyak biaya negara,
tetapi sedikit hasilnya. Sistem ini bahkan bisa mengakibatkan
para tahanan menjadi dungu, gila, dan bisa membuatnya bunuh
diri. Peraturan lain lagi adalah sistem bertingkat atau sistem
Irlandia, yaitu dimulai dengan pemencilan pada malam hari,
sedangkan pada siang harinya dapat berkumpul dengan tahanan
yang lain dengan dilarang berbicara. Peraturan ini mengumpulkan
dua kecacatan (sisi negatif) dua sistem sebelumnya.46
Adapun hukuman kurungan dalam hukum Islam tidak
sampai menimbulkan akibat-akibat tersebut karena hukuman
39
tersebut hanya dijatuhkan terhadap sebagian tindak pidana biasa
dan pelaku tindak pidana permulaan serta untuk waktu yang tidak
lama; itu pun jika hakim melihat hukuman kurungan tersebut
dapat mencegah si pelaku kembali melakukannya. Dengan begitu,
jumlah tahanan menjadi sedikit, masa tahanan mereka di penjara
tidak lama, akhlak mereka tidak rusak, dan tidak saling
menularkan tindak pidana. Hilanglah sebab-sebab kecacatan (sisi
negatif) hukuman kurungan dalam hukum konvensional dengan
diterapkan nas-nas hukum Islam.
2) Hukuman Kawalan (Kurungan) Tidak Terbatas
Telah disepakati oleh para fukaha bahwa orang yang dikenai
hukuman kurungan tidak terbatas ini adalah orang yang
berbahaya, orang yang terbiasa melakukan tindak pidana-tindak
pidana (mu'tadu>l ijra>m), orang yang biasa melakukan tindak
pidana pembunuhan, penganiayaan, dan pencurian, atau orang
yang tindak pidananya tidak dapat dicegah dengan hukuman
biasa. Dalam hukuman kurungan tidak terbatas, terhukum terus
dikurung sampai ia menampakkan tobat dan baik prihadinya atau
sampai ia mati.47
Telah disepakati bahwa masa hukuman kurungan tidak
ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas,
bahkan sampai terhukum mati. Artinya, hukuman baru akan
40
berakhir dengan kematian si terhukum atau tobatnya sebelum
mati atau menjadi baik pribadinya.48
Pada masa kini, hukuman tidak terbatas merupakan unsur
renting (‘unsurul al jawhari>) dalam mengambil tindakan
keamanan (mesures de surete) dan merupakan hukuman yang
didasarkan atas ilmu psikologi dan ilmu sosial untuk
memberantas kejahatan.
Hukum konvensional mempunyai banyak cara untuk tidak
menentukan masa hukuman tak terbatas. Di antaranya ada yang
tidak menentukan masa hukuman tak terbatas secara mutlak,
dimana hakim tidak menentukan masa hukuman ketika
mengeluarkan keputusan. Akan tetapi, penguasa yang mengawasi
pelaksanaan hukuman (al-sultah al-mushrifah 'alat-tan-fiz) itulah
yang menentukan masa hukuman berdasarkan keadaan terhukum.
Masa hukumannya dapat pendek jika keadaan terhukum menjadi
baik, tetapi terkadang sampai mati jika keadaan terhukum tidak
dapat diharapkan menjadi baik.49
Di antara hukum-hukum konvensional ada yang tidak
menentukan masa hukuman secara relatif, dimana hakim
menentukan batas terendah hukuman yang tidak boleh kurang dan
batas tertingginya yang tidak boleh dilebihi. Setelah itu,
48 Ibid.
41
kekuasaan eksekutif boleh membebaskan terhukum dalam masa
yang terletak antara keduanya jika keadaan terhukum menjadi
baik sesudah menjalani masa terendah hukuman. Jika tidak juga
menjadi baik, ia menjalani masa hukuman sampai batas tertinggi.
d. Hukuman Pengasingan (at-Tagri>b wal-Ib'ad)
Hukuman pengasingan telah dibicarakan ketika membahas
tindak pidana zina. Menurut Abu Hanifah, hukuman pengasingan
adalah hukuman takzir, sedangkan imam mazhab lain
memandangnya sebagai hudud. Adapun untuk selain tindak pidana
zina, telah disepakati bahwa hukuman pengasingan adalah hukuman
takzir. Hukuman ini dijatuhkan jika perbuatan pelaku dapat
memengaruhi orang lain (menjalar) atau membahayakan dan
merugikan orang lain.50
Menurut sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, masa
pengasingan dalam tindak pidana takzir tidak boleh lebih dari satu
tahun. Alasan mereka, hukuman pengasingan dalam tindak pidana
zina gai>r muhsan adalah hukuman hudud yang masanya satu tahun. \
Mengenai tempat pengasingan, terpidana tidak ditempatkan di
tempat tertentu, tetapi menurut sebagian fukaha, terhukum bisa
diletakkan di bawah pengawasan dan dibatasi kebebasannya. Dalam
hal ini, terjadi perbedaan pendapat. Fukaha yang menetapkan masa
berakhirnya pengasingan, mereka bersepakat bahwa pelaku tidak
42
dapat kembali ke negeri asalnya sebelum masa pengasingannya
berakhir, sedangkan menurut fukaha yang tidak menetapkan masa
berakhirnya, pelaku tidak dapat kembali ke negeri asalnya sebelum ia
menampakkan tobat dan keadaannya menjadi baik.
Kebanyakan pakar hukum konvensional pada masa kini
menyerukan penerapan hukuman pengasingan karena mereka
meyakini bahwa hukuman kurungan dak dapat memperbaiki pribadi
terhukum serta merehabilitasi dirinya dalam masyarakat seperti
sebelum melakukan tindak pidana. Suatu hal yang mustahil manakala
seorang pelaku dikurung, meskipun ia telah bertobat, untuk dapat
merehabilitasi dirinya ditempat ia melakukan pidana. Dengan
demikian, pelaku akan terus terbuang dari masyarakat sehingga
memaksanya untuk bergabung dengan para pelaku tindak pidana dan
para perusak. Adapun adanya pengasingan ini, dari satu sisi, akan
menghindarkan masyarakat dari kelompok penjahat ini, sedangkan
disisi lain dapat merehabilitasi diri pelaku dalam masyarakat yang
baru ditempatinya tersebut.51
e. Hukuman Salib
Dalam tindak pidana gangguan keamanan/perampokan
(hirabah), hukuman salib adalah hukuman hudud. Menurut sebagian
fukaha. pelaku disalib setelah dieksekusi mati, sedangkan menurut
yang lain, pelaku disalib hidup-hidup kemudian dihukum mati dalam
43
keadaan tersalib. Adanya ketetapan bahwa hukuman salib atas
perompak adalah hukuman hudud mendorong fukaha untuk
mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman takzir.52
Untuk hukuman takzir, hukuman salib sudah pasti tidak
dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. Si terhukum disalib
hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang
wudhu untuk mengerjakan salat, tetapi terhukum salat dengan cara
isyarat. Mengenai masa penyaliban, fukaha mensyaratkan agar tidak
lebih dari tiga hari.
Tidak boleh dilupakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman
yang tidak bersifat lazim, tidak seperti hukuman hudud atau kisas.
Karena itu, apakah hukuman salib dijalankan atau tidak diserahkan
kepada penguasa eksekutif (al-hayah al-tashri'iyyah). Jika penguasa
tersebut memandang bahwa hukuman salib layak untuk diterapkan
pada sebagian atau seluruh tindak pidana, ia dapat menjalankannya,
tetapi jika ia memandangnya tidak layak untuk diterapkan, ia tidak
menjalankannya.
f. Hukuman Peringatan (al-Wa'zu) dan Hukuman yang Lebih Ringan
darinya
Dalam hukum Islam, hukuman peringatan termasuk kategori
hukuman takzir. Hakim boleh hanya menghuku