• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK SEMEN AYAM ARAB PADA FREKUENSI PENAMPUNGAN YANG BERBEDA SKRIPSI GILANG SURYA PRATAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK SEMEN AYAM ARAB PADA FREKUENSI PENAMPUNGAN YANG BERBEDA SKRIPSI GILANG SURYA PRATAMA"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

i

KARAKTERISTIK SEMEN AYAM ARAB PADA FREKUENSI

PENAMPUNGAN YANG BERBEDA

SKRIPSI

GILANG SURYA PRATAMA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ii

RINGKASAN

GILANG SURYA PRATAMA. D14070268. Karakteristik Semen Ayam Arab

pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi

dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc. Agr.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

Perkembangbiakan ayam Arab masih dilakukan dengan cara alami, dan dibiarkan kawin dengan sendirinya, sehingga perbanyakan bibit baik untuk keperluan penelitian maupun usaha komersial masih terbatas. Inseminasi Buatan (IB) merupakan alternatif pemecahan masalah tentang pengadaan bibit dalam waktu singkat dan untuk memperbanyak ternak bibit unggul atau untuk keperluan penelitian. Manajemen penampungan semen sangat penting dilakukan pada peternakan pembibitan yang menerapkan teknik IB. Seekor pejantan yang sudah dewasa kelamin setiap saat dapat mengeluarkan semen, namun untuk menghasilkan semen yang berkualitas dibutuhkan suatu pengaturan frekuensi penampungan semen yang tepat. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari karakteristik semen ayam Arab serta untuk mengetahui frekuensi penampungan semen yang tepat untuk pelaksanaan IB pada ayam Arab.

Penelitian ini menggunakan sembilan ekor ayam Arab Silver pejantan berumur 33 minggu dengan kisaran bobot badan seragam (Koefisien Keragaman = 9,55 %). Sembilan ekor pejantan ini dibagi menjadi tiga secara acak (A, B, C), dimana tiga ekor mendapat perlakuan penampungan semen satu kali per minggu (A), tiga ekor lainnya dengan penampungan semen dua kali per minggu (B), dan tiga ekor lainnya dengan penampungan semen tiga kali per minggu (C). Pengamatan meliputi evaluasi makroskopis (warna, ph, volume, dan konsistensi semen), dan evaluasi mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitras, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per ejakulat). Pengamatan berlangsung selama enam minggu (Desember 2010 – Januari 2011) dan dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian menggunakan rancangan percobaan RAL, dimana terdapat tiga taraf perlakuan dan tiga ulangan yang diamati selama enam minggu. Data yang diperoleh kemudian dianalisis ragam dengan bantuan program Minitab 14.

Hasil statistik menunjukkan bahwa seluruh peubah yang diamati tidak menunjukkan perbedaaan nyata antara ketiga perlakuan (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ayam Arab dengan penampungan semen satu kali per minggu, dua kali per minggu, dan tiga kali per minggu menghasilkan kartakteristik semen yang sama. Hasil evaluasi semen yang didapatkan yaitu : semen berwarna putih susu dengan konsistensi kental ; pH semen berkisar antara 6,8 – 7,1 ; volume semen berkisar antara 0,08 – 0,09 ml dengan gerakan massa sangat baik (+++) ; motilitas > 70% dengan abnormalitas spermatozoa < 25% ; konsentrasi > 4,5 milyar sel/ ml dan jumlah spermatozoa per ejakulat > 400 juta sel. Hasil tersebut menunjukkan ayam Arab memiliki kualitas semen yang cukup baik dan tidak menunjukkan penurunan kualitas walaupun penampungan semen dilakukan sebanyak 3x dalam seminggu. Kata-kata kunci : semen, ayam Arab, frekuensi penampungan

(3)

iii

ABSTRACT

Semen Characteristics of Arab Rooster at Different Collecting Frequencies

Pratama, G. S., R. Afnan and C. Sumantri

Chicken breeding is generally still multiplied in a natural way. Artificial insemination (AI) in poultry is used to multiply the breeds of livestock or for research purposes. Management of collecting semen is very important to carry out in applying AI techniques. A sexually mature rooster can produce semen at any time. However, to produce high quality of semen, the setting of frequency of semen collection is needed. Therefore, based on the reproductive potency of Arab chicken and the benefits obtained through the AI, this research was done to determine the semen quality and to know the proper frequency in collecting semen for AI. Nine roosters of Arab Silver Chicken were used in this study. Nine roosters were then randomly divided into three treatments of semen collection interval (A, B, C). The results show that the frequency of semen collecting in 1, 2 and 3 times a week had no influence in quality of semen (P>0,05). Volume of semen, motility, concentration and abnormality of spermatozoa were not different between treatments.

(4)

iv

KARAKTERISTIK SEMEN AYAM ARAB PADA FREKUENSI

PENAMPUNGAN YANG BERBEDA

GILANG SURYA PRATAMA D14070268

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

v Judul : Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang

Berbeda

Nama : Gilang Surya Pratama NIM : D14070268

Menyetujui,

Tanggal Ujian : 29 Juli 2011 Tanggal Lulus : Pembimbing Utama,

Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. NIP.19680625 200801 1 010

Pembimbing Anggota,

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 19591212 198603 1 004

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1989 di Bogor. Penulis adalah anak sulung dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Achmad Rosyawanto dan Ibu Imas Nurjannah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Panaragan I Kota Bogor pada tahun 2001. Pendidikan menengah pertama di SLTPN 6 Kota Bogor diselesaikan pada tahun 2004 dan pendidikan menengah atas di SMAN 6 Kota Bogor diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis pernah menjadi anggota organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER) periode 2008-2009. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Nusantara Polo Club (NPC) pada tahun 2010, di BPPKH Cinagara pada tahun 2009, dan di PT Soma Unggas pada tahun 2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk MK. MPRP, MK. TPTU, dan MK. Teknologi Hasil Ikutan Ternak pada semester genap tahun ajaran 2010-2011.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kepada ALLAH SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-NYA yang tidak terhingga sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di Fakultas Peternakan ini. Shalawat dan salam dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan dan suri tauladan kita.

Skripsi dengan judul Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik semen ayam Arab pada frekuensi penampungan yang berbeda serta untuk mengetahui frekuensi penampungan semen yang tepat untuk pelaksanaan inseminasi buatan pada ayam Arab. Penulis berharap agar penelitian ini dapat dilanjutkan pada tingkat taraf penampungan semen yang lebih intensif dan dilakukan pada ayam yang berumur 1-1,5 tahun.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, semoga ALLAH SWT memberikan rahmat dan karunia-NYA kepada kita semua. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-baiknya.

Bogor, Juli 2011

(8)

viii DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Ayam Arab ... 3

Organ Reproduksi Ayam Jantan ... 5

Spermatogenesis ... 6

Morfologi Spermatozoa Unggas ... 8

Metabolisme Spermatozoa ... 10

Fisiologi Semen Unggas ... 11

Penampungan Semen pada Ayam ... 11

Evaluasi Semen ... 12

Karakteristik Semen ... 13

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Semen ... 16

MATERI DAN METODE ... 18

Lokasi dan Waktu ... 18

Materi ... 18

Ternak, Kandang dan Pakan ... 18

Alat dan Bahan ... 18

Prosedur ... 18

Persiapan Kandang dan Pemeliharaan ... 18

Penampungan dan Evaluasi Semen Segar ... 19

Peubah yang Diamati ... 20

Rancangan dan Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

(9)

ix

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

UCAPAN TERIMA KASIH ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jadwal Mingguan Penampungan Semen 19

2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi

Penampungan yang Berbeda 23

3. Hasil-hasil Penelitian pH Semen Ayam Arab 24

4. Hasil-hasil Penelitian Rata-rata Volume Semen Ayam Arab 25 5. Hasil Pengamatan Volume Semen Ayam Arab pada Frekuensi

Penampungan yang Berbeda 25

6. Hasil-hasil Penelitian Gerakan Massa Spermatozoa Ayam Arab 27 7. Hasil-hasil Penelitian Motilitas Spermatozoa Ayam Arab 29 8. Hasil Pengamatan Motilitas Spermatozoa Ayam Arab pada

Frekuensi Penampungan yang Berbeda 29

9. Hasil-hasil Penelitian Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab 31 10. Hasil Pengamatan Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab pada

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Organ Reproduksi dan Urinasi Unggas Jantan 7

2. Spermatogenesis pada Ayam 8

3. Struktur Spermatozoa Unggas 9

4. Macam-macam Bentuk Abnormalitas Spermatozoa Unggas 16 5. Grafik Mingguan Volume Semen pada Frekuensi Penampungan

Satu Kali per Minggu (A), Dua Kali per Minggu (B), dan Tiga

Kali per Minggu (C) 26

6. Pengamatan Gerakan Massa Spermatozoa Ayam Arab 28 7. Pengamatan Motilitas Spermatozoa Ayam Arab 29 8. Grafik Mingguan Motilitas Spermatozoa pada Frekuensi

Penampungan Satu Kali per Minggu (A), Dua Kali per Minggu

(B), dan Tiga Kali per Minggu (C) 30

9. Grafik Mingguan Konsentrasi Spermatozoa pada Frekuensi Penampungan Satu Kali per Minggu (A), Dua Kali per Minggu

(B), dan Tiga Kali per Minggu (C) 32

10. Pengamatan Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab 32 11. Pengamatan Abnormalitas Spermatozoa Ayam Arab 34

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Rekapitulasi Data Rataan dan Standar Deviasi Menggunakan Aplikasi Ms. Excel ... 40 2. Hasil Komputasi Uji Asumsi untuk Setiap Peubah yang Akan

Dianalisis Ragam ... 42 3. Hasil Analisis Ragam Menggunakan Program Aplikasi Minitab

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam Arab merupakan ayam tipe petelur yang memiliki tingkat efisiensi pakan dan kemampuan memproduksi telur yang tinggi. Perkembangbiakan ayam Arab ini pada umumnya masih dilakukan dengan cara alami, dan dibiarkan kawin dengan sendirinya, sehingga perbanyakan bibit baik untuk keperluan penelitian maupun usaha komersial masih terbatas.

Inovasi teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan alternatif pemecahan masalah tentang pengadaan bibit dalam waktu singkat serta digunakan untuk memperbanyak ternak bibit unggul atau untuk keperluan penelitian. Inseminasi buatan pada ayam merupakan suatu proses pemasukan semen ke dalam saluran reproduksi ayam betina dengan bantuan manusia. Pelaksanaan IB pada ayam masih terasa asing bagi peternak kecil, padahal prospek dan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan IB ini cukup baik. Keuntungan yang akan diperoleh dengan melaksanakan IB antara lain : (1) mempertinggi efisiensi penggunaan pejantan unggul, (2) menghemat biaya, menghemat tenaga pemeliharaan dan menghindari bahaya, (3) pejantan yang dipakai telah mengalami seleksi terlebih dahulu secara teliti, (4) mencegah penularan penyakit, dan (5) meningkatkan efisiensi reproduksi (Toelihere, 1993).

Manajemen penampungan semen sangat penting dilakukan oleh peternakan pembibitan yang menerapkan teknik IB. Seekor pejantan yang sudah dewasa kelamin setiap saat dapat mengeluarkan semen, tetapi untuk menghasilkan semen yang berkualitas baik diperlukan pengaturan frekuensi penampungan semen yang tepat. Frekuensi ejakulasi pada perkawinan alam ataupun frekuensi penampungan semen pada pelaksanaan IB akan mempengaruhi volume dan konsentrasi semen (Toelihere, 1993).

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata pada frekuensi penampungan semen terhadap karakteristik semen. Penelitian Hulfah (2007) menemukan bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda (1x, 3x, dan 5x seminggu) pada ayam Kampung, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada volume semen, pH semen, dan konsentrasi spermatozoa. Hal yang sama ditemukan pada penelitian McDaniel dan Sexton (1977) yang mendapati bahwa

(14)

2 frekuensi penampungan semen yang berbeda pada pejantan Leghorn berpengaruh nyata terhadap volume semen dan konsentrasi semen. Penelitian Malecki et al. (1997) juga mendapati bahwa frekuensi penampungan semen yang berbeda pada burung unta mempengaruhi total volume semen (P<0,01) dan total jumlah spermatozoa (P<0,05).

Ayam Arab memiliki daya adaptasi yang tinggi pada iklim Indonesia dan pejantannya diketahui memiliki libido yang tinggi. Beberapa penelitian seperti yang dikerjakan oleh Iskandar et al. (2006) dan Nataamijaya et al. (2003) menunjukkan bahwa ayam Arab jantan dewasa memiliki karakteristik volume semen per ejakulasi dan gerakan massa spermatozoa yang baik, motilitas dan konsistensi spermatozoa tinggi, pH semen netral, dan persentase spermatozoa abnormal relatif rendah.

Berdasarkan potensi produksi dan data reproduksi ayam Arab serta informasi mengenai pengaruh frekuensi penampungan semen terhadap kualitas semen, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mempelajari pengaruh frekuensi penampungan semen yang berbeda terhadap karakteristik semen ayam Arab.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik semen ayam Arab pada frekuensi penampungan yang berbeda serta mengetahui frekuensi penampungan semen yang tepat untuk pelaksanaan inseminasi buatan.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Arab

Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang asal muasalnya adalah ayam lokal Eropa. Beberapa jenis ayam lokal petelur unggul di Eropa antara lain Bresse di Perancis, Hamburg di Jerman, Mesian di Belanda, dan Braekels di Belgia. Ayam Braekels adalah jenis ayam lokal petelur introduksi yang paling dikenal di Indonesia (Sulandari et al., 2007).

Tubuh ayam Braekels berwarna putih dengan kombinasi totol-totol hitam yang berbaris di sekujur tubuhnya, bagian kakinya memiliki pigmen warna hitam, jengger berwarna merah, dan terdapat bercak putih di telinganya. Ayam berjengger kembang ini ditemukan dan diternakkan pertama kali oleh Ulysses Aldrovandi (1522-1605) di Bologna, Italia dan sejak tahun 1599 ayam bernama latin Gallus turcicus ini diberi nama Braekels. Akhir-akhir ini, ayam Braekels sering disebut dengan Camoine serta di Inggris dan Amerika dikenal ayam Braekels yang berwarna silver dan gold. Ayam Arab terdiri dari dua jenis, yaitu ayam Arab Silver (Brakel kriel silver) dan ayam Arab Golden (Brakel kriel gold), namun dalam perkembangannya di masyarakat ayam Arab Silver lebih banyak dikenal dan dibudidayakan (Sulandari et al., 2007).

Konon, ayam Arab pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh seseorang yang pulang dari ibadah haji di Arab Saudi, membawa delapan butir telur tetas kemudian ditetaskan dan dikembangkan di Batu, Malang, Jawa Timur. Ayam ini kemudian dibesarkan dan diumbar di pekarangan rumah sehingga ada yang kawin dengan ayam lokal. Perkawinan silang ini memperlihatkan produksi telur dari hasil kawin silang dengan ayam Arab lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur ayam lokal lainnya (Sulandari et al., 2007).

Ayam Arab kemudian berkembang dengan cepat di Surabaya dan terakhir di Jakarta, tetapi strain aslinya (parent stock) sudah tidak ada. Ayam Arab yang ada sekarang adalah ayam Arab hasil kawin silang dengan ayam lokal. Strain asli ayam Arab yang dikembangkan di Indonesia adalah ayam Arab Silver (Sulandari et al., 2007).

Secara genetis ayam Arab tergolong rumpun ayam lokal pendatang yang unggul, karena memiliki kemampuan memproduksi telur yang tinggi. Masyarakat

(16)

4 pada umumnya memanfaatkan ayam Arab ini untuk menghasilkan telur, bukan daging karena ayam Arab memiliki warna kulit yang kehitaman dan daging yang tipis dibanding ayam lokal biasa, sehingga dagingnya kurang disukai (Sulandari et al., 2007).

Penampilan ayam Arab lebih menarik dibandingkan ayam lokal biasa, produktivitas telur tinggi, dan bentuk dan warna telur sama dengan ayam lokal. Ayam Arab Silver memiliki bobot badan jantan dewasa sekitar 1,4 – 2,3 kg dan betina mencapai 0,9 – 1,8 kg, sedangkan ayam Arab Golden memiliki bobot badan jantan dewasa 1,4 – 2,1 kg dan betina sekitar 1,1 – 1,6 kg. Produksi telur ayam Arab dapat mencapai 300 butir per tahun dengan bobot telur 30-35 g dan kerabang berwarna putih. Selama usia produktif (1 - 2 tahun) ayam Arab betina hampir setiap hari bertelur. Jika pakan yang diberikan cukup berkualitas, produksi telur bisa mencapai 75 – 85% (Sulandari et al., 2007). Ayam ini termasuk tipe ayam kecil sehingga konsumsi pakan relatif lebih efisien dan ayam ini hampir tidak memiliki sifat mengeram sehingga waktu bertelur panjang. Ayam Arab jantan memiliki libido seksualitas yang tinggi serta mudah dikawinkan dengan ayam-ayam lain dan dalam waktu 15 menit dapat kawin sebanyak tiga kali (Sulandari et al., 2007).

Menurut hasil penelitian Iskandar et al. (2006), karakteristik semen segar ayam Arab jantan dewasa adalah sebagai berikut : volume 0,3 ± 0,072 ml, berwarna putih, konsistensi agak kental sampai kental, konsentrasi spermatozoa 2200 ± 372 juta/ml, pH 6,95 ± 0,32, gerakan massa (+++) sampai (++++), motilitas 80%, spermatozoa hidup 84 ± 4,48% dan abnormalitas spermatozoa 14,75 ± 1,28%. Nataamijaya et al. (2003) menyatakan bahwa karakteristik semen ayam Arab adalah sebagai berikut : volume per ejakulasi yaitu 0,26 ± 0,01 ml, semen berwarna putih susu, konsistensi semen kental, kerapatan sel sperma densum, gerakan massa spermatozoa (+++) (baik) dan motilitas spermatozoa 4,02±0,00 (skala 0-5). Isnaini (2000) menunjukkan bahwa semen ayam Arab yang diperoleh dalam keadaan segar yaitu : volume 0,24 ml; pH 7,4; konsentrasi 216 x 106/ ml; gerakan massa (+++); motilitas individu 80,2 % dan spermatozoa hidup 91,5 %.

(17)

5

Organ Reproduksi Ayam Jantan

Menurut Toelihere (1993), organ reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis dengan epididimis, sepasang duktus deferens (vas deferens) dan sebuah alat kopulasi yang disebut phallus, yang seluruhnya terletak di dalam rongga perut. Fungsi dari organ reproduksi ayam jantan adalah untuk memproduksi dan menyalurkan spermatozoa ke dalam alat reproduksi betina (Gilbert, 1980). Alat kopulatori pada kalkun dan ayam terdiri dari dua papila (phallus) dan organ kopulatori rudimenter yang terletak pada lubang kloaka. Organ ini cukup berkembang dengan baik dan dapat ereksi secara alami pada bebek dan angsa tetapi tidak pada kalkun dan ayam (Ensminger, 1992). Unggas jantan tidak memiliki kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap, akan tetapi semen unggas dari vas deferens sudah diencerkan dengan cairan dari badan-badan vaskuler yang terletak dekat ujung posterior vas deferens (Toelihere, 1993).

Menurut Setijanto (1998), phallus dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu phallus non protudens dan phallus protudens. Phallus non protodens dibentuk dari penebalan mukosa corpus phallicum medianum yang terletak di dasar protodaeum. Phallus protudens berupa penjuluran dari dasar protodens yang hanya akan tampak bila dalam keadaan ereksi. Fungsi utama dari phallus adalah sebagai alat kopulasi.

Testis unggas terletak di atas rongga perut, sepanjang bagian punggung dan dekat dengan ujung anterior ginjal dan tidak pernah turun ke skrotum pada bagian luar tubuh (Nesheim et al., 1979). Testis tersebut melekat pada bagian dorsal dari rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium. Testis ayam berbentuk bulat oval seperti kacang dengan warna pucat kekuningan. Berat sebuah testis pada ayam jantan tipe berat mencapai 15 – 20 g, sedangkan pada tipe petelur berat testis berkisar antara 8 – 12 g. Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu : 1) menghasilkan sepermatozoa, dan 2) mensekresikan hormon kelamin jantan (testosteron) (Toelihere, 1993).

Testis memiliki saluran-saluran kecil yang jumlahnya sangat banyak dan berbelit-belit. Saluran ini disebut seminiferous tubules (tubuli seminiferi) yang muncul dalam kelompok yang dipisahkan oleh membran tipis yang memanjang ke dalam dari membran sekitar organ. Saluran ini akhirnya mengarah ke duktus deferens, yaitu suatu pembuluh yang menyalurkan sperma ke luar tubuh. Duktus

(18)

6 deferens adalah saluran yang melekat di sepanjang medio ventral ginjal dan terletak kuat secara zig–zag pararel dengan ureter. Masing-masing duktus deferens mengembang menjadi papila kecil, yang bersama-sama berfungsi sebagai organ intromitten (Nesheim et al., 1979). Vas deferens atau duktus deferens berfungsi untuk mengangkut semen dari testis dan epididimis ke alat kopulatoris dan juga berfungsi sebagai reservoir semen (Toelihere, 1993).

Tubuli seminiferi terdiri atas beberapa lapisan sel spermatogonia yang akan menghasilkan spermatozoa. Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone), sedangkan testosteron diproduksi oleh sel-sel interstisial dari sel leydig atas pengaruh ICSH (Interstitial Cell Stimulating Hormone) (Toelihere, 1993).

Epididimis pada ayam berbentuk pipa pendek dan pipih dengan diameter sekitar 3 mm yang terletak di dorsal medial testis. Saluran reproduksi ayam tidak memiliki epididimis seperti mamalia yang memiliki caput, corpus dan cauda, namun pada testis ayam terdapat bagian exstremitas cranialis dan caudalis (Setijanto, 1998). Epididimis mempunyai empat fungsi utama, yaitu transport, konsentrasi, maturasi, dan penyimpanan sperma (Toelihere, 1993). Organ reproduksi dan urinasi pada unggas jantan ditunjukkan pada Gambar 1.

Spermatogenesis

Spermatozoa merupakan sel gamet pejantan yang dibentuk di dalam tubuli seminiferi pada testis. Spermatozoa yang sudah terbentuk seluruhnya merupakan perpanjangan sel yang terdiri dari kepala yang hampir seluruhnya terdiri dari kromatin, dan ekor yang memberikan daya gerak sel (Garner dan Hafez, 1980). Spermatozoa dibentuk melalui proses spermatogenesis, yaitu suatu proses kompleks yang meliputi pembelahan dan diferensiasi sel dan dimulai pada saat hewan mencapai dewasa kelamin. Selama proses tersebut, jumlah kromosom direduksi dari diploid (2n) menjadi haploid (n) pada setiap sel, dan terjadi reorganisasi komponen-komponen inti sel dan sitoplasma secara meluas. Spermatogenesis meliputi spermatositogenesis yaitu pembentukan spermatosit primer dan sekunder dari spermatogonia tipe A serta spermiogenesis yaitu pembentukan spermatozoa dari spermatid. Spermatositogenesis dikendalikan oleh FSH dari adenohypophysa dan spermiogenesis berada dibawah pengaruh LH dan testosteron (Toelihere, 1985).

(19)

7 Spermatosit primer mulai muncul di dalam tubuli seminiferi pada ayam jantan berumur sekitar enam minggu dan berlangsung terus selama 2-3 minggu. Spermatosit sekunder mulai muncul pada minggu ke-10 sebagai hasil pembelahan meiosis dari spermatosit primer. Spermatosit sekunder membelah diri menjadi spermatid pada umur 12 minggu yang selanjutnya mengalami metamorfosis menjadi spermatozoa. Spermatid dan spermatozoa terlihat di dalam tubuli seminiferi menjelang minggu ke-20 dan pada periode ini tubuli seminiferi berkembang pesat (Toelihere, 1993). Proses Spermatogenesis pada ayam ditunjukkan pada Gambar 2.

(20)

8 Gambar 2. Spermatogenesis pada Ayam (Etches, 1996)

Morfologi Spermatozoa Unggas

Spermatozoa merupakan perpanjangan dari sel haploid yang dihasilkan dari proses spermatogenik dan pematangan pada pejantan dan merupakan sel khusus dengan fungsi terbatas, yaitu untuk membawa informasi genetik ke sel telur betina (Garner dan Hafez, 1980). Walaupun berbeda spesies, spermatozoa pada hewan ternak dan vertebrata lainnya memiliki struktur yang sama, yaitu memiliki akrosom, nukleus, dan terpasang flagella dengan mitokondria, annulus, dense fibers, dan selubung yang berserat (Garner dan Hafez, 1980).

Sperma merupakan suatu sel kecil, kompak dan sangat khas yang tidak bertumbuh atau membagi diri. Secara esensial, sperma terdiri dari kepala yang membawa materi herediter paternal, dan ekor sebagai sarana penggerak. Ukuran dan bentuk spermatozoa berbeda pada berbagai jenis hewan, namun memiliki struktur

(21)

9 morfologi yang sama (Toelihere, 1985). Bentuk dan ukuran spermatozoa antara bangsa unggas cukup sama dan konsisten, tetapi sperma unggas berbeda dengan sperma mamalia karena lebih kecil, lebih panjang, kepala berfilamen dan tidak memiliki butiran kinoplasmik (Gilbert, 1980).

Sperma unggas memiliki bentuk kepala yang silindris memanjang dengan akrosom yang meruncing. Kepala sperma pada unggas sedikit melengkung dengan ukuran panjang 12 – 13 µm dan diselimuti akrosom (2 µm). Ekor spermatozoa terdiri dari leher, bagian tengah, bagian utama dan ujung. Bagian tengah ekor memiliki panjang 4 µm, dan selebihnya dari panjang sperma 100 µm terdiri dari bagian ekor dan pada bagian terlebar sperma berukuran 0,5 µm (Gilbert, 1980).

Bagian tengah dan ekor spermatozoa tersusun dari mitokondria dan sitoskeleton sel yang menyebabkan spermatozoa bergerak motil (Etches, 1996). Menurut Toelihere (1985), akrosom mengandung suatu enzim yang dibutuhkan spermatozoa pada saat fertilisasi yaitu proakrosin, hialuronidase, zona lisin esterase, dan asma hidrolase. Struktur spermatozoa unggas ditunjukkan pada Gambar 3.

(22)

10

Metabolisme Spermatozoa

Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), energi yang digunakan untuk pergerakan spermatozoa berupa adenosin triphosphat (ATP) yang terdapat pada ekor spermatozoa. Toelihere (1993) menambahkan bahwa energi untuk motilitas sperma berasal dari perombakan ATP di dalam selubung mitokondria melalui reaksi-reaksi penguraiannya menjadi adenosin diphosphat (ADP) dan adenosin monophosphat (AMP). Reaksi metabolisme tersebut adalah sebagai berikut :

Fosfatase

ATP ADP + HPO3¯ + Energi

Fosfatase

ADP AMP + HPO3¯ + Energi

Energi yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut dapat digunakan untuk energi mekanik (pergerakan spermatozoa) dan energi kimia (biosintesis) dan energi yang tidak terpakai akan dibuang sebagai kalor (panas). Metabolisme spermatozoa berlangsung melalui proses glikolisis dan respirasi. Glikolisis adalah reaksi terurainya 6-karbon monosakarida menjadi asam laktat. Monosakarida yang digunakan dalam reaksi tersebut adalah glukosa dan fruktosa. Respirasi adalah penggunaan oksigen oleh spermatozoa pada saat proses metabolisme untuk mengembalikan ikatan fosfat pada ATP (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Sekurang-kurangnya ditemukan empat bahan organik di dalam semen yang dapat dipakai secara langsung ataupun tidak langsung oleh sperma sebagai sumber energi. Bahan-bahan tersebut adalah fruktosa, serbitol, GPC (gliseril fosforil colin/ plasma semen) dan plasmalogen. Fruktosa, serbitol dan GPC adalah kandungan atau isi dari plasma semen, sedangkan plasmalogen adalah bahan organik yang terdapat di dalam sel spermatozoa. Keempat zat tersebut dapat dipergunakan secara langsung oleh sperma apabila tersedia oksigen, kecuali GPC yang harus bereaksi dahulu dengan enzim tertentu di dalam sekresi saluran reproduksi betina. Berdasarkan hal tersebut, pembentukan ATP sebagai pemberi energi dapat terjadi pada keadaan tanpa oksigen oleh fruktosa dan dengan oksigen melalui respirasi dan fruktolisis (perombakan fruktosa) (Toelihere, 1993).

Derajat pengikatan atau pemakaian fruktosa oleh spermatozoa optimal pada pH 6 – 8. Oksidasi asam laktat tidak dapat berlangsung dalam keadaan anaerob dan

(23)

11 seluruh fruktosa akan dikonversi menjadi asam laktat. Spermatozoa akan bergantung seluruhnya pada perombakan fruktosa menjadi asam laktat sebagai sumber energi pada keadaan anaerob (Toelihere, 1993)

Fisiologi Semen Unggas

Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari dua bagian, yaitu spermatozoa atau sel kelamin jantan dan plasma semen yang merupakan suatu cairan semi gelatin. Spermatozoa dihasilkan di dalam testis, sedangkan plasma semen merupakan campuran sekresi yang dibuat oleh epididimis dan kelenjar kelamin pelengkap. Perbedaan anatomi kelenjar-kelenjar pelengkap pada berbagai jenis hewan akan menyebabkan perbedaan volume dan komposisi semen hewan tersebut (Toelihere, 1993).

Plasma semen memiliki pH sekitar 7,0 dan tekanan osmosis yang sama dengan darah (ekuivalen dengan 0,9 % NaCl). Fungsi utama plasma semen adalah sebagai media pembawa spermatozoa dari saluran reproduksi jantan ke dalam saluran reproduksi betina. Plasma semen merupakan larutan esensial yang terdiri dari garam dan beberapa asam amino. Plasma semen unggas mengandung kadar klorida yang rendah dan hampir kekurangan fruktosa, sitrat, ergotionin, inositol, fosforil kolin, dan gliserofosforil kolin dengan anion utamanya adalah glutamat (Gilbert, 1980). Semen ayam mengandung kadar glukosa dan fruktosa yang rendah dan memiliki lebih banyak asam glutamat dan glisin dan sedikit asam aspartik (Toelihere, 1993).

Penampungan Semen pada Ayam

Metode penampungan atau pengoleksian semen untuk pelaksanaan inseminasi buatan terdapat tiga cara, yaitu dengan bantuan vagina buatan, metode pengurutan (massage), dan menggunakan elektroejakulator. Metode penampungan semen yang paling sering digunakan pada ayam yaitu dengan metode pengurutan (massage), yaitu melakukan pengurutan pada bagian punggung ayam ke arah belakang hingga ujung kaudal tepat di bawah tulang pubis. Pemijatan ujung kaudal tersebut harus dilakukan secara cepat dan kontinyu dengan tekanan tertentu sampai terjadi ereksi yang ditandai dengan keluarnya papila dari kloaka dan kaki yang

(24)

12 meregang. Pejantan dipijat secara ritmik dengan jari tangan hingga ejakulasi terjadi dan efek ejakulatoris berhenti (Toelihere, 1993).

Menurut Etches (1996), teknik penampungan semen yang efektif pada unggas dibedakan berdasarkan bangsa. Penampungan semen lebih efektif dengan menggunakan rangsangan pijatan di daerah abdominal pada bangsa gallinaceus seperti ayam dan kalkun, sedangkan pada unggas air (itik, angsa, dan entog) lebih efektif menggunakan cara intercepting yaitu menampung semen saat pejantan melakukan kopulasi.

Produksi semen yang didapatkan dengan metode pengurutan sering menghasilkan semen yang berkualitas rendah karena semen yang diejakulasikan sering tercampur dengan urin atau feses sehingga akan merusak spermatozoa. Selain itu, ejakulat yang diperoleh dengan metode pengurutan sering tercampur dengan cairan bening atau disebut transundat kloaka. Cairan ini sulit dihindari pada saat pengoleksian semen dan dapat mengganggu viabilitas spermatozoa (Toelihere, 1985).

Evaluasi Semen

Evaluasi semen dibutuhkan dalam penerapan inseminasi buatan untuk dua alasan, yaitu : 1) mendapatkan informasi mengenai kualitas semen dari setiap pejantan, dan 2) konsentrasi spermatozoa dan volume semen dibutuhkan untuk memperhitungkan kebutuhan bahan pengencer untuk pelaksanaan inseminasi dengan dosis tertentu. Walaupun evaluasi semen bertujuan untuk memperkirakan kapasitas pembuahan dari sel sperma, namun pengujian mengenai morfologi sperma dan aktivitas metabolis sperma kurang berkorelasi dengan kapasitas pembuahan (Etches, 1996)

Evaluasi semen harus dilakukan sesegera mungkin setelah penampungan dan ejakulat harus dijaga dan diperlakukan secara wajar sebelum diperiksa. Evaluasi semen bukanlah suatu penilaian kesuburan ternak, tetapi hanya untuk mengetahui kualitas semen yang dihasilkan seekor pejantan (Toelihere, 1993). Menurut Toelihere (1993), beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam evaluasi semen adalah : 1) air dan urin merusak spermatozoa dengan menimbulkan tingkat osmotik yang berbeda, 2) jumlah darah dan serum yang berlebihan akan berpengaruh buruk terhadap spermatozoa, 3) pemanasan atau pendinginan yang terlampau cepat akan mematikan

(25)

13 spermatozoa, 4) guncangan atau pengocokan yang terlampau keras akan merusak spermatozoa, dan 5) penyinaran langsung sinar matahari harus dihindari.

Evaluasi semen harus meliputi keadaan umum semen, yaitu volume, konsentrasi, dan motilitas. Evaluasi ini perlu dilakukan untuk menentukan kualitas semen, daya reproduksi pejantan, dan untuk menentukan kadar pengenceran semen. Evaluasi lebih detail meliputi penghitungan sel-sel abnormal, pewarnaan untuk menentukan sel hidup dan mati, penentuan daya metabolisme spermatozoa, dan penentuan resistensi sel spermatozoa terhadap kondisi-kondisi merugikan (Toelihere, 1993).

Evaluasi kualitas semen yang paling jelas adalah warna. Semen seharusnya berwarna putih dan terlihatnya warna lain mengindikasikan adanya kontaminasi. Warna kekuningan dan ada endapan putih mengindikasikan adanya kontaminasi feses, sedangkan berwarna merah kecoklatan menandakan adanya sel eritrosit. Setiap kontaminan akan menurunkan kapasitas pembuahan dari semen, dan laju penurunannya tergantung pada konsentrasi kontaminan, ada tidaknya kontaminan lain, tingkat pengenceran, waktu dari koleksi semen menuju inseminasi, dan jumlah spermatozoa yang digunakan dalam inseminasi. Peluang untuk memperoleh fertilitas yang baik adalah jika semen yang dikoleksi berwarna putih (Etches, 1996).

Karakteristik Semen

Semen ayam merupakan campuran dari spermatozoa dan cairan yang disekresikan oleh tubuli seminiferi, epididimis, dan vas deferens. Warna semen merupakan gambaran dari kenormalan dan kekentalannya. Warna semen dapat tercemar oleh feses, transundat kloaka, dan butir darah merah. Warna semen, konsistensi semen, dan konsentrasi spermatozoa saling berhubungan. Warna semen akan semakin intensif dan konsistensi semen akan semakin kental dengan semakin tingginya konsentrasi spermatozoa. Konsistensi semen bervariasi, yaitu dari suspensi keruh dan tebal sampai suatu cairan encer (Toelihere, 1993).

Volume semen unggas relatif sedikit dengan jumlah berbeda-beda dan konsentrasi spermatozoa yang cukup tinggi (Toelihere, 1993). Volume semen unggas yang rendah disebabkan karena unggas tidak mempunyai kelenjar aksesoris seperti pada mamalia, sehingga volume plasma semen rendah (Ensminger, 1992). Perbedaan volume semen per ejakulat dipengaruhi oleh perbedaan bangsa, umur, ukuran tubuh,

(26)

14 nutrisi pakan, frekuensi penampungan semen, lama periode siang hari, suhu lingkungan, serta defisiensi vitamin A dan E (Toelihere, 1993). Tingkat fertilitas tidak dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya volume semen (Etches, 1996).

Derajat keasaman atau pH semen unggas adalah sedikit basa dengan kisaran 7,0 - 7,6 . Nilai pH dapat menurun dengan peninggian suhu dan penambahan waktu pada penyimpanan (Toelihere, 1993). Aktivitas pH banyak dipengaruhi oleh aktivitas enzim spermatozoa. Apabila pH semen dipertahankan pada keadaan normal, maka laju metabolisme spermatozoa akan tinggi. Derajat keasaman atau pH semen yang mengarah ke basa atau asam akan menurunkan laju metabolisme spermatozoa. Semen yang terkontaminasi oleh kuman dan semen yang banyak mengandung spermatozoa mati akan meningkatkan pH semen karena terbentuk amoniak di dalam semen. Semen yang mengalami penyimpanan dan peningkatan suhu akan mengalami penurunan pH. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas spermatozoa yang menguraikan fruktosa pada kondisi anaerob. Penguraian fruktosa menyebabkan terbentuknya asam laktat pada semen (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Gerakan massa spermatozoa adalah gerakan spermatozoa dalam satu kelompok yang mempunyai kecenderungan bergerak bersama-sama ke satu arah sehingga gerakan tersebut terlihat seperti gelombang yang tebal atau tipis dan bergerak cepat atau lambat. Gerakan massa ini tergantung pada konsentrasi sperma di dalam semen dan pergerakan individu spermatozoa (Toelihere, 1993).

Motilitas spermatozoa menunjukkan presentase spermatozoa yang bergerak motil progresif. Penilaian motilitas spermatozoa digunakan untuk menilai tingkat kesanggupan spermatozoa membuahi sel telur (ovum) (Toelihere, 1993). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), penghitungan motilitas spermatozoa dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penghitungan secara kualitatif dilakukan secara perbandingan dan hasilnya tidak mutlak. Perhitungan tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa dan hasil perhitungan bersifat subjektif. Metode kuantitatif digunakan agar diperoleh hasil penghitungan motilitas spermatozoa yang objektif. Semen dengan motilitas rendah pada umumnya akan memiliki fertilitas rendah, tetapi semen dengan motilitas tinggi tidak selalu memiliki fertilitas yang tinggi (Etches, 1996).

(27)

15 Lebih dari 80% ejakulat pada unggas menunjukkan motilitas sperma yang progresif. Sperma unggas tetap mempunyai daya gerak dalam kisaran suhu yang luas dari 2 °C - 43 °C dan pergerakan meninggi dengan peningkatan suhu (Toelihere, 1993). Spermatozoa yang didinginkan pada suhu 2 °C akan kembali motil ketika dihangatkan kembali, tetapi motilitas hilang secara permanen setelah spermatozoa dipanaskan beberapa jam pada suhu 40 °C. Motilitas spermatozoa unggas dapat dipertahankan lebih lama pada lingkungan yang netral sampai sedikit basa. Derajat keasaman atau pH yang paling baik untuk mengadakan motilitas spermatozoa berkisar antar 6,5 - 8. Salisbury dan Vandemark (1985) menyatakan bahwa tingkat motilitas spermatozoa progresif in vitro dipengaruhi oleh kepadatan pengencer, suhu lingkungan, dan umur spermatozoa.

Konsentrasi spermatozoa menggambarkan sifat-sifat semen dan digunakan sebagai salah satu kriteria penentuan kualitas semen. Konsentrasi spermatozoa juga menentukan jumlah ternak betina yang dapat diinseminasi dengan ejakulat yang dihasilkan. Konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh frekuensi penampungan semen, libido, pakan, suhu, dan musim (Toelihere, 1993). Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh perkembangan seksual, tingkat kedewasaan pejantan, kualitas pakan, umur, musim, dan perbedaan letak geografis. Kekentalan atau konsistensi semen akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi spermatozoa.

Abnormalitas spermatozoa dibagi menjadi dua bagian, yaitu abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena kelainan-kelainan pada tubuli seminiferi dan gangguan testikuler (Toelihere, 1993). Abnormalitas primer dapat disebabkan oleh gangguan patologis, panas, perlakuan suhu dingin pada testis, defisiensi pakan, perubahan musim, temperatur yang berubah-ubah, faktor keturunan, penyakit, pengaruh lingkungan yang buruk, kejutan dingin (cold shock), dan tekanan osmosis (osmotic shock) pada saat pembentukan spermatozoa (Salisbury dan Vandemark, 1985). Abnormalitas sekunder terjadi setelah sel sperma meninggalkan tubuli seminiferi, yaitu dalam perjalanan melalui epididimis dan vas deferens serta pada saat ejakulasi seperti agitasi, pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang terlalu cepat, kontaminasi dengan air, urin, dan antiseptik (Toelihere,1993). Spermatozoa abnormal yang paling banyak ditemukan pada semen

(28)

16 unggas adalah spermatozoa dengan ekor melingkar, ekor patah, dan spermatozoa tanpa ekor, sedangkan kelainan bentuk kepala jarang ditemukan. Abnormalitas spermatozoa yang terjadi pada ekor dapat menghambat pergerakan dan menurunkan fertilitas spermatozoa (Toelihere, 1993). Macam-macam bentuk abnormalitas spermatozoa unggas ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Macam-macam Bentuk Abnormalitas Spermatozoa Unggas. A: Normal; B: Ekor Melingkar; C: Ekor Patah; D: Tanpa Ekor; E: Kepala Melingkar; F: Kepala Berkait; G: Kepala Pecah; H: Kepala Kecil; I: Kepala Tumpul; J: Kepala Bengkok; K: Kepala Seperti Balon; L: Bagian Tengah Filliformis (Parker et al., 1968).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Semen

Volume semen yang dihasilkan unggas relatif sedikit dan berbeda-beda menurut bangsa unggas, tetapi memiliki konsentrasi spermatozoa yang cukup tinggi. Menurut Toelihere (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas semen adalah makanan, nutrisi makanan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi, serta libido dan faktor psikis.

Peninggian suhu testis karena infeksi penyakit, luka lokal, demam yang tak kunjung reda karena penyakit dan peninggian suhu udara karena kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan kegagalan pembentukan dan penurunan produksi spermatozoa. Frekuensi ejakulasi yang terlampau sering dalam satu satuan waktu yang relatif pendek cenderung untuk menurunkan libido, volume semen, dan jumlah spermatozoa per ejakulat. Rangsangan atau stimulasi yang diberikan pada pejantan

(29)

17 untuk mempertinggi libido dapat meninggikan volume semen dan konsentrasi sperma motil per ejakulat (Toelihere, 1993).

Produksi sperma distimulasi oleh peninggian periode siang hari, sedangkan berkurangnya periode siang hari akan berpengaruh sebaliknya (Toelihere, 1993). Semakin lama periode siang hari maka aktivitas reproduksi bekerja semakin lama sehingga akan menghasilkan produksi sperma dalam jumlah yang tinggi. Suhu lingkungan juga dapat mempengaruhi produksi semen, suhu sampai 30 °C dapat membahayakan produksi sperma. Makanan merupakan faktor yang esensial terhadap produksi semen, kekurangan vitamin A dan vitamin E dalam pakan dapat menghambat produksi semen (Toelihere, 1993).

(30)

18

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Evaluasi semen dilakukan di Laboratorium URR (Unit Rehabilitasi Reproduksi), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011.

Materi Ternak, Kandang dan Pakan

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ayam Arab Silver pejantan berumur 33 minggu sebanyak sembilan ekor dengan kisaran bobot badan seragam (Koefisien Keragaman = 9,55%). Pemeliharaan ayam selama penelitian menggunakan kandang individu berukuran 60 cm x 40 cm x 75 cm (panjang x lebar x tinggi). Pakan yang digunakan adalah Pakan Komplit Butiran Ayam Hobi Dewasa CP 594 produksi PT Charoen Pokphand dengan kandungan nutrisi sebagai berikut :

Kadar air maksimal 13,0 %

Protein 17,5 – 19,5 % Lemak minimal 3,0 % Serat maksimal 8,0 % Abu maksimal 7,0 % Kalsium minimal 0,9 % Fosfor minimal 0,6 %

Energi metabolis 2500 – 2600 kkal/kg

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk mengoleksi dan mengevaluasi semen adalah spuit 1 cc ; tabung Eppendorf 1,5 cc ; mikroskop elektrik ; pipet plastik ; gelas objek; gelas penutup ; kamar hitung Neubauer Chamber ; mikropipet 10 µl dan 100 µl ; pemanas elektrik ; dan kertas pH. Bahan-bahan yang digunakan adalah NaCl fisiologis, formolsalin, kertas tissue, alkohol 70%, aquadest, dan eosin negrosin 2%.

Prosedur Persiapan Kandang dan Pemeliharaan

Persiapan kandang dilakukan satu minggu sebelum pemeliharaan dimulai, meliputi pembersihan dan desinfeksi kandang, pembuatan kandang individu, dan

(31)

19 persiapan kandang individu. Kandang tersebut didesinfeksi dengan penyemprotan formalin 5% setelah kandang individu selesai dibuat dan siap dimasuki ayam. Sembilan ekor ayam jantan dengan penampilan eksterior baik dipilih, ditimbang bobot badannya, dan ditempatkan ke dalam kandang individu satu hari setelah desinfeksi. Sembilan ekor ayam jantan ini kemudian dibagi menjadi tiga secara acak (A, B, C) dengan masing-masing terdiri dari tiga ekor dan diberi taraf perlakuan yang berbeda, yaitu penampungan semen satu kali per minggu (A), dua kali per minggu (B), dan tiga kali per minggu (C).

Ayam diberikan vitamin anti stres selama tiga hari pertama setelah masuk kandang untuk mengurangi stres karena perpindahan kandang. Pencukuran bulu ayam dilakukan di sekitar kloaka untuk memudahkan saat penampungan semen. Ayam diadaptasikan dahulu selama dua minggu pertama setelah ayam masuk kandang agar terbiasa dikoleksi semennya dengan cara pengurutan di bagian punggung sampai pangkal ekor.

Ayam selama pemeliharaan diberi pakan sebanyak 100 g/ekor/hari dan air minum tersedia bebas dengan dua kali pemberian, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Suhu dan kelembaban diukur menggunakan termohigrometer pada pagi dan sore hari serta saat penampungan semen dilakukan. Vaksin ND diberikan setiap empat minggu sekali dan vitamin (vita stres) diberikan ketika ayam terpapar keadaan ekstrim seperti suhu terlalu panas (lebih dari 30 °C) untuk mencegah stres.

Penampungan dan Evaluasi Semen Segar

Penampungan semen dilakukan selama enam minggu dan waktu penampungan disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jadwal Mingguan Penampungan Semen

Perlakuan Selasa Rabu Kamis Jumat

A - - - X

B X - X -

C X X - X

Keterangan A : ayam dengan penampungan semen satu kali per minggu B : ayam dengan penampungan semen dua kali per minggu C : ayam dengan penampungan semen tiga kali per minggu X : dilakukan penampungan semen

(32)

20 Penampungan semen dilakukan dengan metode pengurutan di bagian punggung (dorsal). Bagian sekitar bibir dan bawah kloaka dilakukan pencukuran bulu sebelum memulai penampungan untuk memudahkan saat penampungan. Bagian sekitar bibir dan kloaka tersebut dibersihkan dari kotoran yang menempel dengan tissue yang dibasahi NaCl fisiologis saat akan menampung semen.

Cara pengurutan (massage) dilakukan dengan memijat punggung ayam jantan sampai pangkal ekor dengan jemari tangan kanan, kemudian diteruskan naik sampai ke bagian ekor. Telapak tangan kolektor membentuk sudut 30 - 40° dari punggung ayam jantan. Perabaan harus halus dan tepat agar ayam terangsang sehingga ekor terangkat, kaki agak meregang, kloaka membuka dan terlihat sepasang papila (phallus nonprotudens) menonjol. Tangan kanan secara cepat memfiksir, menggenggam dan sedikit mengangkat pangkal ekor, jari tengah dan ibu jari menekan dasar kloaka dan tetap menahan agar kedua papila tetap menonjol.

Metode tersebut dilakukan dengan tekanan tertentu sampai keluar cairan kental berwarna putih (semen). Semen segera ditampung dengan menggunakan spuit 1 cc dan segera dibawa ke Laboratorium URR untuk dilakukan pengamatan makroskopis dan mikroskopis.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi evaluasi makroskopis (warna, pH, volume dan konsistensi semen) serta evaluasi mikroskopis (gerakan massa, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, abnormalitas spermatozoa, dan jumlah spermatozoa per ejakulat).

Pengamatan Warna, pH, Volume dan Konsistensi Semen. Pengamatan warna,

pH, volume, dan konsistensi semen dilakukan secara makroskopis. Pengamatan warna dan volume semen dilakukan dengan melihat dan mengukur semen secara langsung pada spuit 1 cc. Pengamatan konsistensi semen dilakukan melalui perkiraan kekentalan dengan memiringkan spuit berisi semen. Pengukuran pH dilakukan menggunakan kertas pH dengan cara meneteskan 1 µl semen ke kertas pH kemudian nilai pH dibaca sesuai indikator perubahan warna.

Pengamatan Gerakan Massa dan Motilitas Spermatozoa. Pengamatan ini

(33)

21 dilakukan melalui penilaian justifikasi. Pengamatan gerakan massa spermatozoa dilakukan dengan meneteskan 5 µl semen di atas gelas objek kemudian diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10. Penilaian dilakukan dengan melihat gelombang spermatozoa dan dinilai dengan (-) jika tidak ada gelombang dan tidak ada gerakan individual (buruk), (+) jika tidak terlihat gelombang melainkan hanya gerakan individual motil progresif (sedang), (++) jika gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban (baik), (+++) jika terlihat gelombang besar, banyak, gelap, tebal, dan aktif berpindah-pindah tempat (sangat baik) (Toelihere, 1993). Pengamatan motilitas progresif spermatozoa dilakukan dengan meneteskan 5 µl semen di atas gelas objek kemudian diteteskan 2-3 tetes NaCl fisiologis. Gelas objek ditutup dengan gelas penutup dan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penilaian ditentukan dengan memperkirakan jumlah spermatozoa yang motil progresif terhadap jumlah total spermatozoa.

Pengamatan Konsentrasi Spermatozoa. Pengamatan konsentrasi spermatozoa

diawali dengan mengencerkan semen sebanyak 500 kali dengan formolsalin (1 µl semen ditambah 499 µl formolsalin). Semen yang telah diencerkan disentuhkan pada kedua ujung kamar hitung Neubauer Chamber (ujung atas dan bawah) yang telah ditutup dengan gelas penutup. Semen yang telah disentuhkan dibiarkan mengalir di bawah gelas penutup sampai daerah hitung terisi. Kamar hitung Neubauer Chamber diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penghitungan jumlah spermatozoa dilakukan pada lima kamar hitung menurut arah diagonal (sudut kiri atas, sudut kanan atas, sudut kiri bawah, sudut kanan bawah, dan tengah) yang masing-masing mempunyai 16 ruangan kecil. Penghitungan konsentrasi berdasarkan rumus berikut :

Konsentrasi spermatozoa per ml semen = jumlah spermatozoa terhitung x 25 x 106

Pengamatan Abnormalitas Spermatozoa. Pengamatan abnormalitas spermatozoa

dilakukan secara mikroskopis. Pengamatan ini dimulai dengan membuat preparat ulas. Preparat ulas dibuat dengan meneteskan 1 µl semen yang ditambah 4-5 tetes larutan eosin negrosin 2% pada gelas objek. Campuran semen tersebut diaduk hingga homogen dengan ujung gelas objek lain kemudian dibuat preparat ulas setipis mungkin pada gelas objek yang berbeda (gelas objek yang baru) dan dikeringkan

(34)

22 menggunakan pemanas elektrik. Preparat ulas diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penghitungan dilakukan dengan menghitung 200 spermatozoa dalam 10 lapang pandang yang berbeda. Persentase spermatozoa abnormal dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah spermatozoa abnormal

Abnormalitas Spermatozoa = x 100% Jumlah total spermatozoa

Jumlah Spermatozoa per Ejakulat. Pengamatan jumlah spermatozoa per ejakulat

dihitung dengan cara mengalikan volume semen dengan konsentrasi spermatozoa.

Rancangan dan Analisis Data

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga taraf perlakuan, yaitu frekuensi penampungan semen satu kali per minggu (A), dua kali per minggu (B), dan tiga kali per minggu (C). Setiap perlakuan terdiri dari tiga ekor sebagai ulangan dan pengamatan dilakukan selama enam minggu. Data yang diperoleh kemudian dianalisis ragam dengan bantuan aplikasi Minitab 14.

Model Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Gasperz (1991) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + ℇij Keterangan :

i = perlakuan penampungan semen (satu kali per minggu, dua kali per minggu, tiga kali per minggu)

j = ulangan (ayam ke-1, ayam ke-2, ayam ke-3)

Yij = nilai kualitas semen dari ayam ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i µ = nilai tengah umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

ℇij = pengaruh galat percobaan pada ayam ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0 = Frekuensi penampungan semen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap karakteristik semen ayam Arab.

H1 = Frekuensi penampungan semen yang berbeda berpengaruh terhadap karakteristik semen ayam Arab.

(35)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, pH, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per ejakulat) pada ayam Arab dengan frekuensi penampungan semen yang berbeda disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

Peubah Perlakuan

A B C

Warna Putih susu Putih susu Putih susu

Konsistensi Kental Kental Kental

pH 6,87 ± 0,10 7,09 ± 0,23 6,99 ± 0,23 Volume (ml) 0,091 ± 0,03 0,085 ± 0,06 0,088 ± 0,01 Gerakan massa +++ +++ +++ Motilitas progresif (%) 75,72 ± 4,28 73,52 ± 3,41 74,79 ± 1,09 Abnormalitas (%) 23,40 ± 4,48 24,57 ± 2,17 23,81 ± 1,83 Konsentrasi (x 106 /ml) 4753,12±501,58 4749,41±960,56 5125,39±1309,47 Jumlah spermatozoa per ejakulat (x 106) 441,81 ± 136,80 411,53 ± 299,94 447,04 ± 77,43 Keterangan :

A = Ayam dengan penampungan semen satu kali per minggu B = Ayam dengan penampungan semen dua kali per minggu C = Ayam dengan penampungan semen tiga kali per minggu (-) = buruk (+) = sedang

(++) = baik (+++) = sangat baik

Warna dan Konsistensi Semen

Hasil pengamatan warna dan konsistensi semen antara ayam dengan penampungan semen satu kali, dua kali, dan tiga kali per minggu adalah sama, yaitu berwarna putih susu dengan konsistensi kental. Menurut Toelihere (1993), semen ayam berwarna putih dengan konsistensi bervariasi dari suatu suspensi keruh dan tebal sampai suatu cairan encer. Menurut Etches (1996), semen unggas seharusnya berwarna putih dan jika terlihat warna lain menunjukkan adanya kontaminasi. Semen dapat tercemar oleh feses, transundat kloaka, dan butir darah merah. Warna,

(36)

24 konsistensi, dan konsentrasi semen saling berhubungan. Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa, semakin kental konsistensi semen dan semakin keruh warna semen.

Nilai pH Semen

Nilai pH semen yang didapatkan dalam penelitian ini antara ketiga perlakuan relatif sama yaitu berkisar antara 6,8 – 7,1. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Nilai pH semen yang rendah dapat diakibatkan oleh suhu tinggi ketika penyimpanan semen selama perjalanan dari kandang menuju laboratorium pengamatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993) yang menyatakan bahwa nilai pH dapat menurun selama penyimpanan akibat peninggian suhu dan penambahan waktu. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan aktivitas spermatozoa yang menguraikan fruktosa pada kondisi anaerob. Penguraian fruktosa menyebabkan terbentuknya asam laktat pada semen (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Semakin banyak asam laktat yang terbentuk maka pH semen akan semakin rendah dan spermatozoa akan banyak yang mati. Semakin banyak spermatozoa yang mati maka pH akan semakin meningkat karena terbentuk amoniak di dalam semen. Menurut Toelihere (1993), semen segar pada ayam biasanya bersifat agak basa dengan rata-rata pH berkisar antara 7,0 sampai 7,6. Menurut Lake (1971), spermatozoa masih dapat bertahan pada pH terendah dengan kisaran 6,8. Hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai pH semen ayam Arab sebagai pembanding disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil-hasil Penelitian pH Semen Ayam Arab

Peneliti pH Semen Ayam Arab

Iskandar et al. (2006) 6,95 ± 0,32 Mulyadi (2007) Isnaini (2000) 7,27 ± 0,16 7,4 Volume Semen

Volume semen unggas relatif sedikit dan berbeda-beda menurut bangsa unggas, tetapi memiliki konsentrasi sperma cukup tinggi (Toelihere, 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume semen antara ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi penampungan yang berbeda

(37)

25 tidak berpengaruh terhadap volume semen yang dihasilkan. Rataan volume semen dari ketiga perlakuan ini relatif rendah, sekitar 0,08 - 0,09 ml yang tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Mulyadi (2007) yang mendapati volume semen ayam Arab sebesar 0,10 ± 0,03 ml. Penelitian Iskandar et al. (2006) menunjukkan bahwa volume semen ayam Arab mencapai 0,3 ± 0,072 ml. Toelihere (1993) menyatakan bahwa volume semen ayam berkisar antara 0,3 hingga 1,5 ml. Hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai volume semen ayam Arab sebagai pembanding disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil-hasil Penelitian Rata-rata Volume Semen Ayam Arab

Peneliti Rata-rata Volume Semen Ayam Arab (ml)

Nataamijaya et al. (2003) 0,26 ± 0,01

Iskandar et al. (2006) 0,30 ± 0,072

Mulyadi (2007) 0,10 ± 0,03

Isnaini (2000) 0,24

Tabel 5. Hasil Pengamatan Volume Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

Frekuensi Penampungan Volume Semen (ml)

Satu kali per minggu 0,091 ± 0,03

Dua kali per minggu 0,085 ± 0,06

Tiga kali per minggu 0,088 ± 0,01

Volume semen yang didapatkan dari penelitian ini relatif rendah (0,08 -0,09 ml) karena pejantan yang digunakan adalah pejantan muda berumur 33 minggu dan belum pernah dikawinkan secara alami. Menurut Toelihere (1993), ayam bangsa petelur, mencapai berat dewasa testes pada umur 24 – 26 minggu dan hewan muda dan berukuran kecil dalam satu spesies menghasilkan volume semen yang rendah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa umur pejantan yang baik untuk dikoleksi semennya adalah pada umur 1 - 1,5 tahun (48 – 72 minggu), seperti yang disebutkan Sastrodihadjo dan Resnawati (2003) bahwa umur pejantan ayam buras 40 – 80 minggu merupakan penghasil semen terbaik.

(38)

26 Gambar 5. Grafik Mingguan Volume Semen pada Frekuensi Penampungan Satu Kali per Minggu (A), Dua Kali per Minggu (B), dan Tiga Kali per Minggu (C)

Volume semen yang rendah yang dihasilkan dalam penelitian ini juga diduga karena ayam belum terbiasa dikoleksi semennya. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, terlihat bahwa tiga minggu pertama volume semen yang dihasilkan sangat rendah dari ketiga perlakuan, namun setelah minggu ketiga terlihat bahwa volume semen yang dihasilkan terus meningkat sampai minggu ke enam. Peningkatan volume semen ini dapat disebabkan karena seiring bertambahnya waktu, ayam semakin terlatih untuk dikoleksi semennya. Menurut Toelihere (1993), seekor pejantan yang terlatih akan memiliki libido yang tinggi dan libido yang tinggi dapat meningkatkan volume semen yang dihasilkan.

Ayam yang digunakan dalam penelitian ini juga sebelumnya tidak pernah dikawinkan secara alami, sehingga tingkat libido seksualitasnya sangat rendah. Menurut Toelihere (1993), libido akan mempengaruhi kuantitas semen. Walaupun libido tidak menggambarkan kriteria fertilitas pejantan, namun percobaan-percobaan terdahulu membuktikan bahwa rangsangan yang diberikan untuk mempertinggi libido dapat meninggikan volume semen dan konsentrasi sperma motil per ejakulat (Toelihere, 1993).

Menurut Ensminger (1992), volume semen unggas yang rendah disebabkan karena unggas tidak mempunyai kelenjar aksesoris seperti pada mamalia, sehingga volume plasma semennya rendah, tetapi menurut Etches (1996), tinggi atau

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Minggu 6

V o lu m e (m l) Minggu ke-Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

(39)

27 rendahnya volume semen tidak akan mempengaruhi tingkat fertilitas. Menurut Toelihere (1993), volume semen per ejakulat berbeda-beda dalam jenis ternak itu sendiri menurut bangsa, umur, ukuran tubuh, tingkatan makanan, frekuensi penampungan, dan berbagai faktor lain.

Suhu rata-rata selama penelitian juga sangat mempengaruhi produksi semen. Siang hari suhu dapat mencapai 32 °C, dan ketika penampungan semen dilakukan, suhu dalam kandang mencapai 29 – 32 °C. Menurut Toelihere (1993), suhu sampai 30 °C dapat membahayakan produksi semen dan peninggian suhu udara karena kelembaban tinggi dapat menyebabkan kegagalan pembentukan dan penurunan produksi spermatozoa. Menurut Etches (1996), suhu lingkungan yang tinggi akan berdampak langsung pada proses spermatogenesis pada ayam karena testis ayam berada di dalam tubuh bersuhu 41 °C dan tidak memiliki mekanisme termoregulasi.

Gerakan Massa Spermatozoa

Spermatozoa dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk bergerak bersama-sama membentuk gelombang. Gerakan ini disebut sebagai gerakan massa spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan massa spermatozoa dari ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi penampungan tidak berpengaruh terhadap gerakan massa spermatozoa. Ketiga perlakuan ini menunjukkan gerakan massa spermatozoa (+++) yang artinya “sangat baik”, yaitu memiliki gelombang besar, banyak, gelap, tebal, dan aktif berpindah tempat. Hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai gerakan massa spermatozoa ayam Arab disajikan pada Tabel 6.

Gerakan massa berkaitan dengan konsentrasi dan motilitas spermatozoa. Konsentrasi dan motilitas spermatozoa yang tinggi akan menyebabkan gelombang tebal bergerak cepat (Toelihere, 1993). Penelitian ini mendapatkan hasil yang sesuai dimana rataan konsentrasi spermatozoa yang didapat sangat tinggi yaitu lebih dari 4,5 milyar sel per ml dengan rataan motilitas diatas 70% sehingga gerakan massa tampak tebal dan bergerak cepat.

(40)

28 Tabel 6. Hasil-hasil Penelitian Gerakan Massa Spermatozoa Ayam Arab

Peneliti Gerakan Massa Spermatozoa Ayam Arab Nataamijaya et al. (2003) (+++) / sangat baik

Mulyadi (2007) (+++) / cukup

Isnaini (2000) (+++) / sangat baik

Pengamatan gerakan massa dengan gelombang yang tampak tebal dan bergerak cepat ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengamatan Gerakan Massa Spermatozoa Ayam Arab

Motilitas Spermatozoa

Motilitas spermatozoa yang didapatkan dalam penelitian ini antara ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi penampungan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap motilitas spermatozoa. Rataan motilitas yang didapatkan dalam penelitian ini berkisar antara 73–75 %, tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Mulyadi (2007) yang mendapati motilitas spermatozoa ayam Arab sebesar 77,84 ± 8,49 %.

Penelitian Iskandar et al. (2006) mendapati motilitas spermatozoa ayam Arab mencapai 80 %. Nilai motilitas yang berbeda ini disebabkan karena pengamatan dilakukan secara pendugaan sehingga hasil yang diperoleh akan bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengalaman individu yang melakukan pengamatan. Hasil-hasil

(41)

29 penelitian sebelumnya mengenai motilitas spermatozoa ayam Arab disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil-hasil Penelitian Motilitas Spermatozoa Ayam Arab

Peneliti Motilitas Spermatozoa Ayam Arab (%)

Iskandar et al. (2006) 80

Mulyadi (2007) 77,84 ± 8,49

Isnaini (2000) 80,2

Tabel 8. Hasil Pengamatan Motilitas Spermatozoa Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

Frekuensi Penampungan Motilitas Spermatozoa (%)

Satu kali per minggu 75,72 ± 4,28

Dua kali per minggu 73,52 ± 3,41

Tiga kali per minggu 74,79 ± 1,09

Pengamatan motilitas spermatozoa pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 7.

(42)

30 Nilai motilitas spermatozoa yang didapatkan dalam penelitian ini setiap minggunya bervariasi antar ketiga perlakuan (Gambar 8.), namun pola pada grafik yang terlihat menunjukkan adanya peningkatan dari minggu ke-1 hingga ke minggu ke-6. Variasi nilai motilitas ini disebabkan karena seiring bertambahnya waktu ayam semakin terbiasa dikoleksi semennya sehingga produksi semen yang dihasilkan semakin baik. Selain itu, penilaian dilakukan secara subjektif sehingga pengalaman pengamat akan mempengaruhi nilai pengamatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Vandemark (1985) yang menyatakan bahwa metode penghitungan motilitas spermatozoa dilakukan secara perbandingan dan hasilnya tidak mutlak.

Gambar 8. Grafik Mingguan Motilitas Spermatozoa pada Frekuensi Penampungan Satu Kali per Minggu (A), Dua Kali per Minggu (B), dan Tiga Kali per Minggu (C)

Konsentrasi Spermatozoa

Penilaian konsentrasi spermatozoa sangat penting dilakukan karena faktor tersebut menggambarkan sifat-sifat semen dan dipakai sebagai salah satu kriteria penentuan kualitas semen (Toelihere, 1993). Hasil pengamatan konsentrasi spermatozoa dalam penelitian ini tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan (P>0,05) dengan nilai berkisar antara 4,7 – 5,1 milyar sel/ ml semen. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya yang mendapati konsentrasi semen ayam Arab sebesar 0,2 – 3,9 milyar sel/ ml.

Menurut Etches (1996), konsentrasi spermatozoa ayam tipe petelur ringan berkisar antara 5 – 7,5 milyar sel/ ml, sedangkan menurut Ensminger (1992) dan

64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 76,00 78,00 80,00 82,00

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Minggu 6

M o ti li ta s (% ) Minggu ke-Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

(43)

31 Sastrodihardjo dan Resnawati (2003), konsentrasi spermatozoa ayam berkisar antara 1,75 – 3 milyar sel / ml. Menurut Toelihere (1993), konsentrasi spermatozoa ayam bervariasi antara 0,03 – 11 milyar sel/ ml tergantung bangsa, umur, ukuran badan, frekuensi penampungan, lama periode siang hari, suhu lingkungan, dan nutrisi pakan. Hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai konsentrasi spermatozoa ayam Arab sebagai pembanding disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil-hasil Penelitian Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab

Peneliti Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab (milyar sel / ml)

Iskandar et al. (2006) 2,2 ± 0,372

Mulyadi (2007) 3,92 ± 1,21

Isnaini (2000) 0,216

Tabel 10. Hasil Pengamatan Konsentrasi Spermatozoa Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

Frekuensi Penampungan Konsentrasi Spermatozoa (x106/ ml)

Satu kali per minggu 4753,12±501,58

Dua kali per minggu 4749,41±960,56

Tiga kali per minggu 5125,39±1309,47

Berdasarkan perbandingan antara konsentrasi spermatozoa ayam Arab pada Tabel 9 dengan konsentrasi spermatozoa ayam Arab pada pada Tabel 10, maka rataan konsentrasi spermatozoa dalam penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan konsentrasi spermatozoa ini dapat disebabkan oleh perbedaan libido, umur, pakan, dan frekuensi penampungan. Seperti yang disebutkan Toelihere (1993), bahwa konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh perbedaan frekuensi penampungan semen, libido, pakan, suhu, dan musim. Salibury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa konsentrasi spermatozoa dipengaruhi oleh perkembangan seksual, tingkat kedewasaan pejantan, kualitas pakan, umur pejantan, musim, dan perbedaan letak geografis.

Pengamatan konsentrasi spermatozoa setiap minggunya selama enam minggu menunjukkan hasil yang bervariasi tetapi cenderung sedikit meningkat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Hal ini dapat disebabkan karena ayam semakin terbiasa dikoleksi semennya sehingga konsentrasi semen yang dihasilkan semakin baik.

Gambar

Gambar 1. Organ Reproduksi dan Urinasi Unggas Jantan (Ensminger, 1992)
Gambar 3. Struktur Spermatozoa Unggas (Ensminger, 1992)
Gambar 4.  Macam-macam Bentuk Abnormalitas Spermatozoa Unggas. A: Normal;
Tabel 2.  Hasil  Evaluasi  Karakteristik  Semen  Ayam  Arab  pada  Frekuensi  Penampungan yang Berbeda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian penokohan dalam novel Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer dapat dirancang sebagai pembelajaran sastra di SMA sesuai KD

Pada tabel diskripsi dari variabel Y dapat disimpulkan bahwa nasabah Bank Muamalat Kediri setuju dengan loyalitas nasabah sebanyak 195 suara atau 59% responden. Setelah

 Pd kuda terbuka pd bagian rostral ke caudal sinus.. maxillare dan melanjut ke caudal ke sinus

Berdasarkan hasil observasi, lembar wawancara, dan analisis yang telah dilakukan, upaya yang menjadi prioritas dalam meningkatkan kualitas produk konfeksi di

Berdasarkan hasil wawancara di atas penulis menyimpulkan dari berlangsungnya akad tersebut baik ibu Siti selaku pemilik lahan dan bapak Rizal sebagai penggarap keduanya sama – sama

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa komunitas lamun campuran pada tiap-tiap stasiun di Pulau Bone Batang memiliki komposisi jenis yang sama. Namun,

Dapat dikatakan bahwa rekrutmen politik sebagai awal mula usaha partai politik untuk mencapai tujuannya. Rekrutmen politik juga menentukan siapa sajakah yang akan

Secara khusus objektif kajian ini adalah untuk mendalami proses akulturasi nilai-nilai persaudaraan Islam yang dilakukan oleh dayah kepada pelajar, usaha-usaha