• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Kelincahan

2.1.1 Pengertian Kelincahan

Kelincahan merupakan salah satu dari komponen fisik yang banyak di gunakan dalam berbagai cabang olahraga. Salah satu cabang olahraga yang memerlukan komponen kelincahan yaitu sepakbola. Kelincahan (agility) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa mengubah arah dengan cepat dan tepat saat bergerak tanpa mengalami kehilangan keseimbangan (Muhajir, 2004). Kelincahan merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah posisi dan arah secepat mungkin sesuai dengan situasi yang dihadapi dan dikehendaki (Moh. Gilang, 2007). Menurut pendapat Mochamad Sajoto (1995: 90) mendefinisikan kelincahan sebagai kemampuan untuk mengubah arah dalam posisi di arena tertentu. Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi yang berbeda dalam kecepatan yang tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti kelincahannya cukup tinggi.

Kelincahan merupakan persyaratan untuk mempelajari dan memperbaiki keterampilan gerak dan teknik olahraga, terutama pada gerakan yang membutuhkan koordinasi gerak. Dilihat dari keterlibatannya atau perannya dalam beraktivitas, kelincahan dikelompokan menjadi dua tipe yaitu, kelincahan umum (General Agility) dan kelincahan khusus (Special Agility). Berdasarkan jenis kelincahan tersebut menunjukkan bahwa, kelincahan umum digunakan untuk

(2)

aktivitas sehari-hari atau kegiatan olahraga secara umum yang melibatkan gerakan seluruh tubuh. Sedangkan pada kelincahan khusus merupakan kelincahan yang bersifat khusus yang dibutuhkan dalam cabang olahraga tertentu. Kelincahan yang dibutuhkan memiliki karakteristik tertentu sesuai tuntutan cabang olahraga yang dipelajari dan hanya melibatkan pada segmen tubuh tertentu (Ismaryanti, 2008).

Seorang pemain yang mempunyai kelincahan yang baik memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mudah melakukan gerakan yang sulit, tidak mudah jatuh atau cedera, dan mendukung teknik-teknik yang digunakannya terutama teknik menggiring bola. Ciri-ciri kelincahan dapat dilihat dari kemampuan bergerak dengan cepat, mengubah arah dan posisi, menghindari benturan antar pemain dan kemampuan berkelit dari pemain lawan di lapangan. Kemampuan bergerak mengubah arah dan posisi tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi dalam waktu yang relatif singkat dan cepat (Purwanto, 2004).

Setiap individu dengan kelincahan yang baik memiliki kesempatan lebih baik untuk sukses dalam aktivitas fisik dibandingkan dengan individu yang memiliki kelincahan buruk. Dinyatakan demikian karena kelincahan sendiri merupakan aspek dari beberapa kondisi fisik yang harus dimiliki untuk meningkatkan performance dan menghindari terjadinya injury (Sumiyarsono, 2006).

Berdasarkan dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kelincahan merupakan kemampuan seseorang dalam merubah arah dan posisi tubuhnya dengan cepat, tepat dan efisien pada waktu bergerak, sesuai dengan

(3)

situasi dan kondisi yang dihadapi di lapangan tertentu tanpa kehilangan keseimbangan tubuh (Widiyanto, 2012).

2.1.2 Peranan Kelincahan dalam Sepakbola

Dalam pelatihan olahraga, untuk dapat mencapai prestasi yang maksimal harus memperhatikan beberapa faktor. Salah satunya adalah teknik dasar dalam olahraga tertentu. Begitu juga dalam olahraga sepak bola, apabila kita menguasai teknik dasar dengan baik maka kita dapat bermain dengan baik.

Menurut Irsyad (2014) mengatakan untuk dapat mencapai kerjasama tim yang baik, semua pemain harus menguasai teknik dasar dan keterampilan bermain sepak bola. Adapaun teknik dasar dalam permainan sepak bola yang perlu dikuasai olah para pemain adalah menendang bola, menggiring bola, menahan dan menghentikan bola, menyundul bola, melempar bola, dan merebut bola. Hal ini membuktikan bahwa prioritas komponen kondisi fisik pada cabang olahraga sepak bola yaitu kekuatan, kelincahan, kecepatan, ketahanan aerobik dan anaerobik dan kelentukan (Sadikun, 1992).

Kecepatan dan kelincahan sangat dibutuhkan oleh seseorang pemain sepak bola dalam menghadapi situasi tertentu dan kondisi pertandingan yang menuntut unsur kecepatan, kelincahan, kekuatan otot tungkai, dan daya tahan dalam bergerak untuk menguasai bola maupun dalam bertahan menghindari benturan yang mungkin terjadi. Bagi seorang pemain sepakbola situasi yang berbeda-beda selalu dihadapi dalam setiap pertandingan, juga seorang pemain sepak bola menghendaki gerakan yang indah dan cepat sering dilakukan unsur kecepatan dan kelincahanlah yang sangat ditentukan untuk gerakan tersebut (Ardona, 2014).

(4)

2.1.3 Mekanisme dan Fisiologi Kelincahan

Kelincahan merupakan salah satu komponen biomotorik yang didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat. Kelincahan terjadi karena adanya gerakan tenaga yang eksplosif (Ruslan, 2012). Kelincahan juga merupakan kombinasi antara power dengan flexibility. Besarnya tenaga ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan otot tergantung dari kekuatan dan kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari daya rekat serabut-serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf (Lestari, 2015).

Seseorang yang bisa mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti kelincahannya cukup tinggi. Elastisitas otot sangat penting karena semakin panjang otot tungkai yang bisa terulur, semakin kuat dan cepat otot dapat memendek atau berkontraksi. Dengan diberikan pelatihan maka otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan dari otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Dengan meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan (Pratama et al., 2014).

(5)

Pelatihan fisik yang teratur akan menyebabkan terjadinya hipertropi fisiologi otot, yang dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan pembuluh darah kapiler, saraf tendon dan ligamen, dan jumlah total kontraktil terutama protein kontraktil myosin meningkat secara proposional. Perubahan pada serabut otot tidak semuanya terjadi pada tingkat yang sama, peningkatan yang lebih besar terjadi pada serabut otot putih (fast twitch) sehingga terjadi peningkatan kecepatan kontraksi otot. Sehingga meningkatnya ukuran serabut otot yang pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan kontraksi otot sehingga menyebabkan peningkatan kelincahan (Womsiwor, 2014). Selain itu, terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005).

Pemberian pelatihan fisik secara teratur dan terukur dengan takaran dan waktu yang cukup, akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis yang menuju pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan fisik. Jenis pelatihan fisik yang diberikan secara cepat dan kuat, akan memberikan perubahan yang meliputi peningkatan subtrak anareobik seperti ATP-PC, kreatin dan glikogen serta peningkatan pada jumlah dan aktivitas enzim (McArdle, 2010).

Jadi, telah dibuktikan secara teoritis bahwa dengan dilakukan pelatihan fisik maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki (Lestari, 2015).

(6)

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelincahan

Faktor yang mempengaruhi kelincahan dapat dibagi menjadi 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, tipe tubuh, umur, jenis kelamin, berat badan sedangkan untuk faktor eksternal terdiri dari suhu, dan kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat. Berikut merupakan uraian dari faktor-faktor tersebut:

1. Faktor Internal a) Genetik

Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan bahan yang paling mendasar dalam menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013).

b) Umur

Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali hubungannya dengan kekuatan otot, di mana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000).

(7)

Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).

c) Tipe Tubuh

Tipe tubuh umumnya diklasifikasikan berdasarkan tiga konsep utama atau dimensi-dimensi tipe tubuh, yaitu: muscularity, linearity, dan fatness. Tiga komponen tersebut diistilahkan berturut-turut sebagai: mesomorf, ectomorf, dan endomorph. Tipe tubuh merupakan kapasitas fisik umum dan hanya sebagai satu indikasi kecocokan seorang atlet dengan prestasi yang tinggi. berat badan dan tipe memainkan peranan penting dalam pemilihan cabang olahraga tertentu.

Orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi ramping (ectomorf) cenderung kurang lincah seperti halnya orang yang bentuk tubuhnya bundar (endomorf). Sebaliknya, orang yang bertubuh sedang namun memiliki perototan yang baik (mesomorf) cenderung memiliki kelincahan yang lebih baik (Lestari, 2015). Secara khusus oleh Craig yang sependapat dengan Bloomfield (dalam Pyke, 1991) menyatakan bahwa atlet atletik yang bertipe ectomesomorf cenderung lebih lincah dibanding yang bertipe endomesomorf.

(8)

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus untuk menghitung IMT adalah, IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 (Arga, 2008). IMT normal sebesar 18,5-22,9 kg/m2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008).

e) Jenis Kelamin

Dilihat dari gender kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).

(9)

2. Faktor Eksternal

a. Suhu dan Kelembaban Relatif

Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas membuat seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin membuat seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan bisa menimbulkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.

b. Arah dan kecepatan angin

Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung di lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Lestari, 2015). Dalam penelitian ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya atau tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat.

c. Ketinggian tempat

Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dtk. Hal ini akan mempengaruhi penampilan atlet. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar (Lestari 2015).

(10)

Pelatihan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kelincahan. Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002).

Selain faktor internal dan eksternal di atas komponen biomotorik kelincahan juga dipengaruhi oleh berbagai unsur. Kelincahan termasuk suatu gerak yang rumit, di mana dalam kelincahan unsur-unsur yang lain seperti kekuatan, kecepatan, keseimbangan, koordinasi neuromuscular, dan fleksibilitas. Dibawah ini penulis akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kelincahan tersebut:

1. Kekuatan

Kekuatan merupakan kemampuan tubuh mengerahkan tenaga untuk menahan beban yang diberikan. Kekuatan otot yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu otot tungkai, karena harus menahan berat tubuh. Kekuatan otot saling berhubungan dengan system neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi, semakin banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot (Nurba 2015).

(11)

2. Kecepatan

Kecepatan adalah kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Muhajir 60:2006). Kecepatan merupakan kemampuan bergerak secara berturut-turut untuk menempuh suatu jarak dalam satu selang waktu. Pada jarak tempuh yang sama, semakin singkat waktu tempuh, kecepatan yang dihasilkan akan semakin baik.

Terdapat 2 tipe kecepatan yaitu a. Kecepatan reaksi

Kecepatan reaksi adalah kapasitas awal pergerakan tubuh untuk menerima rangsangan secara tiba-tiba atau cepat

b. Kecepatan bergerak

Kecepatan bergerak adalah kecepatan berkontraksi dari beberapa otot untuk menggerakan anggota tubuh secara cepat.

3. Kecepatan reaksi

Reaksi adalah kemampuan seseorang segera bertindak secepatnya, dalam menanggapi rangsangan-rangsangan yang datang lewat indera, saraf, atau feeling lainnya (Sajoto, 1988:59). Kecepatan reaksi merupakan waktu yang diperlukan untuk memberikan respon kinetic setelah menerima perintah atau rangsangan

4. Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan seseorang mengendalikan organ-organ saraf ototnya, selama melakukan gerakan-gerakan yang cepat, dengan

(12)

perubahan titik bobot badan yang cepat pula baik dalam keadaan statis maupun dalam gerak dinamis (Sajoto, 1988:58).

Keseimbangan terbagi menjadi dua : a. Keseimbangan Statis

Keseimbangan statis adalah kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan dalam posisi tetap.

b. Keseimbangan Dinamis

Keseimbangan dinamis adalah kemampuan mempertahankan keseimbangan pada waktu melakukan gerak satu posisi kearah posisi lain.

5. Koordinasi Neuromuscular

Dalam bukunya Nurhasan (2005:21) mengemukakan bahwa komponen koordinasi menjadi dasar bagi usaha belajar yang bersifat sensomotorik. Makin tinggi tingkat kemampuan koordinasi makin cepat dan efektif dalam mempelajari suatu gerakan.

Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005:139) “Koordinasi merupakan hasil perpaduan kinerja dari kualitas otot, tulang dan persendian dalam menghasilkan satu gerakan yang efektif dan efisien”.

Kemampuan koordinasi sangat mendukung pernguasaan keterampilan dasar gerak. Koordinasi meliputi tangan, kaki, tangan-kaki, mata-tangan-kaki, telinga-mata-kaki, dan seterusnya.

(13)

Fleksibilitas adalah kemampuan tubuh untuk menggunakan otot dan persendian dengan rentang yang luas. Seorang atlet yang tidak memiliki keluntukan dia akan cenderung akan sedikit sulit dalam melakukan gerakan apalagi dengan gerakan yang kompleks sehingga akan terlihat kaku. Sebaliknya seorang atlet yang memiliki kelentukan dia akan lebih mudah dalam melakukan gerakan dan lebih efisien dan dapat mengurangi risiko cidera (Nurba, 2015).

Ciri-ciri latihan kelentukan adalah meregang persendian, dan mengulur sekelompok otot. Kelentukan ini sangat diperlukan oleh setiap atlet agar mereka mudah mempelajari berbagai gerak, meningkatkan ketrampilan, mengurangi risiko cedera, dan mengoptimalkan kekuatan, kecepatan, dan koordinasi (Sukadiyanto, 2005).

2.1.5 Hubungan Komponen Biomotorik Terhadap Kelincahan

Karakteristik kelincahan sangat unik. Menurut Jensen & Fisher (1979) kelincahan tersusun atas komponen-komponen koordinasi, kekuatan, kelentukan, waktu reaksi dan power. Koordinasi berkenaan dengan gerakan-gerakan khusus, merupakan komponen terpenting kelincahan.Jika koordinasi seseorang jelek, maka ia tidak akan memiliki kelincahan yang baik walaupun memiliki ciri-ciri bawaan yang lain.

Kekuatan, seseorang yang kekuatanya kurang memadai, maka ia akan lamban dalam mengontrol gerakan tubuh yang efektif. Kelentukan merupakan hal yang pokok dalam keluasan, kelancaran, dan kelenturan gerakan sehingga dapat diperoleh suatu gerakan yang efektif. Waktu reaksi, sangat diperlukan dalam

(14)

situasi-situasi permainan di mana atlet harus merespon dengan cepat suatu rangsang dari luar dengan tindakan yang terampil.

Reaksi yang cepat ditunjukkan dengan adanya gerakan-gerakan yang cepat yang seringkali memungkinkan seorang atlet mengecoh lawan. sangat mem-pengaruhi kelincahan, karena dengan tidak adanya yang memadai, tubuh tidak akan dapat memproyeksikan arah gerakan secara tepat. Oleh karena itu dalam meningkatkan kelincahan,perlu juga dilatih.

Gambar 2.1 Ilustrasi Keterkaitan Kemampuan Biomotorik ( Bompa, 1993: 6)

2.1.6 Pengukuran Kelincahan

Kelincahan sangat dibutuhkan ketika seseorang dalam berolahraga karena akan melakukan pergerakan dalam keadaan berdiri atau dalam keadaan berlari merubah arah secara cepat dan tepat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan illinois agility run test. Secara umum berlari akan menimbulkan kontraksi otot dan hal ini terjadi karena adanya proprioceptive yang bekerja pada saat proses berlari.

(15)

Namun berlari dilapangan yang luas sangat berbeda dengan berlari dilintasan illinois agility run test.

Berlari dilintasan illinois agility run test. membutuhkan fleksibilitas, keseimbangan, kecepatan reaksi, kekuatan otot dan koordinasi neuromuscular hal tersebut membutuhkan juga konsentrasi yang tinggi dengan kata lain dibutuhkan adaptasi neuromuscular karena saat berlari bolak-balik diantara cone terjadi gerakan yang kompleks dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangan (Apriyadi, 2014).

Test yang digunakan dalam penelitian ini adalah illinois agility run test., test ini lebih efektif digunakan dari pada shuttle run dan zig-zag run untuk mengetahui kelincahan, karena dalam illinois agility run test. mencakup semua unsur dalam kelincahan seperti kecepatan, koordinasi dan fleksibilitas (Mujito, 2013). Pada kelincahan ini terdapat kriteria nilai berdasarkan jenis kelamin, dan menurut Mujito (2013) nilai normatif kelincahan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kategori Kelincahan dengan Illinois Agility Run Test

Sumber: Mujito 2013

No Kategori Pria Wanita

1 Baik Sekali < 15,2 <17,0

2 Baik 16,1-15,2 17,9-17,0

3 Sedang 18,1-16,2 21,7-18,0

4 Kurang 18,3-18,2 23,0-21,8

(16)

Prosedur pengukuran kelincahan dengan menggunakan illinois agility run test sebagai berikut :

a. Tandai area lapangan dengan luas 10 x 5 meter, kemudian letakkan 4 cone pada setiap ujung lapangan. Ujung kiri lapangan yang terdapat sebuah cone diberi tanda start dan ujung kanan lapangan yang terdapat sebuah cone diberi tanda finish.

b. Letakkan 4 cone lainnya pada area pertengahan lapangan, dan setiap cone jaraknya 3,3 meter.

c. Orang coba mulai berdiri di depan cone start, kemudian asisten menjelaskan jalur lari yang harus dilakukan sampai finish.

d. Pada saat asisten memberi aba-aba “go” maka orang coba harus lari secepat mungkin mengikuti jalur lari sampai finish, sementara asisten menjalankan stopwatch.

e. Selama lari, orang coba tidak boleh menyentuh cone.

f. Waktu yang ditempuh sampai finish dicatat dan dicocokkan dengan tabel Illinois Agility Run Test.

g. Tiap test melakukan 2 kali ulangan h. Dan kemudian diambil hasil terbaik.

(17)

Gambar 2.2 http://www.rehab.research.va.gov/jour/2013/507/jrrd-2012-05-0096.html

2.1.7 Takaran Pelatihan

Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).

1. Intensitas

Intensitas pada latihan kelincahan merupakan ukuran terhadap aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari kemampuan maksimalnya. dalam takaran pelatihan kelincahan intensitas yang digunakan adalah intensitas sub-maksimum sampai maksimum. Intensitas tersebut diukur berdasarkan posisi, jarak, dan jumlah tiang yang digunakan (Nala, 2011).

2. Volume

Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set.

(18)

a) Repetisi

Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk latihan kelincahan repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011).

b) Set

Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 1987). Untuk latihan kelincahan set yang dianjurkan adalah 3-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 5 set (Nala, 2011).

c) Istirahat

Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kelincahan. Waktu istirahat yang dianjurkan adalah selama 1-3 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011).

3. Frekuensi

Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam pelatihan kelincahan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1996)

Pada penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini

(19)

mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik akan kembali ke keadaan semula (Nala, 1998). Latihan ini dilaksanakan 4 minggu agar mengasilkan efek yang optimal.

2.2 Kajian Anatomi dan Fisiologi Pada Tungkai 2.2.1 Anatomi Otot Tungkai

Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap kelincahan. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah: 1. Group Otot Ekstensor Knee dan FleksorHip (Quadriceps Femoris)

Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu:

Gambar 2.3 Grup otot quadriceps femoris (Watson, 2002) a) Otot Rectus Femoris

Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum

(20)

(caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1 (Watson, 2002).

b) Otot Vastus Lateralis

Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).

c) Otot Vastus Medial

Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002).

d) Otot Vastus Intermedius

Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga merupakan otot tipe II (Watson, 2002).

2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)

Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:

(21)

Gambar 2.4 Grup otot hamstring (Watson, 2002) a) Otot Biceps Femoris

Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002).

b) Otot Semitendinosus

Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002).

c) Otot Semimembranosus

Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002).

3. Grup Otot Plantar FleksorAnkle

Gambar 2.5 Grup otot plantar fleksor ankle (Watson, 2002) a) Otot Gastrocnemius

Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf.

(22)

Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002).

b) Otot Soleus

Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut slow-twitch (Hamilton, 2002).

4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle

Gambar 2.6 Grup otot dorsi fleksor ankle (Watson, 2002) a) Tibialis Anterior

Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi

(23)

fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002).

b) Extensor Digitorum Longus

Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada gerakan dorsi fleksi anklejoint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002).

c) Extensor Hallucis Longus

Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2012).

Selain otot tungkai, otot yang berperan dalam gerakan kelincahan adalah otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai pembentuk bokong.

(24)

Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga bagian belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat.

Gambar 2.7 otot gluteus maximus (Watson, 2002) b. Gluteus medius dan minimus

Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius eksorotasi femur.

(25)

2.2.2 Fisiologi Otot Rangka

Otot merupakan jaringan yang mampu secara aktif mengembangkan ketegangan. Karakteristik ini memungkinkan otot skeletal dapat melakukan fungsi penting dalam mempertahankan postur tubuh tegak, menggerakkan anggota gerak tubuh, dan meredam terjadinya shock. Ada empat sifat jaringan otot, yaitu: ekstensibilitas, elastisitas, irritabilitas, dan kemampuan mengembangkan ketegangan (tension) (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

Tubuh manusia tersusun atas 434 otot yang membentuk 40% - 45% dari berat tubuh orang dewasa. Sekitar 75% pasangan otot bertanggung jawab terhadap gerakan tubuh dan postur tubuh. Otot rangka sering disebut dengan otot skelet, otot bergaris atau otot lurik merupakan otot yang berfungsi untuk menggerakkan tulang. Apabila otot ini dilihat dibawah mikroskop maka susunannya terdiri dari serabut-serabut panjang yang mengandung banyak inti sel, dan terlihat adanya garis terang yang diselingi dengan garis gelap yang melintang. Otot mempunyai hukum “All or none law” hukum berlaku untuk 1 serabut otot, artinya bila 1 serabut otot dirangsang, maka akan berkontraksi bila rangsangan yang diterima lebih tinggi dari nilai ambang rangsang, otot tidak akan berkontraksi bila nilai rangsangnya kurang dari ambang rangsang (Guyton dan Hall, 2008).

Otot rangka mempunyai fungsi untuk menggerakkan anggota tubuh memberikan bentuk pada tubuh, melindungi organ tubuh yang lebih dalam. Otot rangka terdiri atas serabut/fibers, myofibril, sarkomer. Secara mikroskopis sel, membran yang membungkus serabut otot disebut dengan sarkolema. Pada bagian dalam dari sel otot rangka terdapat cairan intraseluler (sarcoplasma) yang terisi

(26)

banyak dengan molekul-molekul glikogen, protein myoglobin dan mitokondria. Sarkoplasma pada tiap serabut otot mengandung mitokondira dan terdapat serabut myofibril. Myofibril mengandung 2 tipe protein yang menghasilkan pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal. Myofibril terbuat dari molekul protein yang panjang yang disebut dengan myofilamen. Myofilamen terdiri dari dua jenis yaitu thick myofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin myofilamen yang berwarna lebih terang (Sherwood, 2006)..

Pada setiap serabut otot terdapat ratusan hingga ribuan myofibril. Setiap myofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen tebal (myosin) dan 3000 filamen tipis (actin), yang merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab untuk melakukan kontraksi otot sesungguhnya (Guyton dan Hall, 2008). Pada myosin dan actin akan membentuk suatu bagian yang saling bersambung dalam myofibril yang disebut sarcomer. Pada daerah tengah sarcomere akan terlihat lebih gelap yang disebut dengan A-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan I-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line. Secara mikroskopis, terlihat adanya perubahan struktur bands (A bands, I bands) dan garis di dalam otot skeletal selama kontraksi otot. Pada sarkomer terbagi antara 2 Z lines, yang merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Setiap sarkomer dibagi menjadi dua oleh suatu M line. A band berisi filamen myosin yang kasar dan tebal serta dikelilingi oleh 6 filamen actin yang tipis dan halus. Pada I band berisi hanya filamen actin yang tipis. Pada pusat A band terdapat H zone yang hanya berisi filamen myosin yang tebal. Ketika otot melakukan kontraksi, filamen actin yang tipis dari salah satu ujung sarkomer akan

(27)

bergerak satu sama lain. Z line akan bergeerak ke arah A bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I bands akan menjadi menyempit dan H zone menjadi menghilang. Jumlah serabut otot pada tiap-tiap orang berbeda, jumlah serabut otot yang sama saat lahir akan dipertahankan hingga dewasa kecuali jika terjadi injury maka jumlah serabutnya akan menurun atau bahkan akan menghilang. Peningkatan ukuran serabut otot dapat bertambah ketika diberikan resistance training (Sherwood, 2006).

Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik. Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi konsentrik merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).

Kelelahan otot terjadi akibat adanya aktivitas fisik dengan intensitas yang tinggi dan berlangsung singkat yang disebabkan oleh akumulasi produksi asam laktat di dalam otot dan darah. Ketika melakukan aktivitas dengan intensitas yang tinggi maka akan terjadi kontraksi otot di dalam serabut otot fast twitch (FT). Serabut otot FT lebih cepat mengalami kelelahan dibandingkan serabut otot slow twitch (ST) dikarenakan serabut otot FT mempunyai kemampuan sistem anaerobik yang tinggi dan sistem aerob yang rendah sehingga mempercepat penumpukan dari asam laktat. Hal tersebut menyebabkan lebih cepat terjadi kelelahan otot (Sherwood, 2006).

(28)

Gambar 2.9 Struktur otot (Sumber: Donatelli, 2007) 2.2.3 Biomekanika Pada Tungkai Bawah

Biomekanik merupakan sebuah ilmu yan mempelajari tentang gerak tubuh pada manusia pada sub bab ini akan menjelaskan pembagian dari biomekanika tungkai bawah pada hip, knee dan ankle sebagai berikut :

1. Hip Joint

a. Osteokinematika Hip Joint

Hip joint merupakan triaxial yang memiliki 3 pasang gerakan (3 DKG) yaitu fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, dan endorotasi-eksorotasi. Gerakan yang paling luas adalah fleksi hip dan yang paling terbatas adalah ekstensi/hipereskstensi hip (Sudaryanto dan Anshar, 2011). Fleksi-ekstensi terjadi pada bidang sagital di sekitar aksis medio-lateral dengan gerak rotasi spin tidak murni. Abduksi-adduksi terjadi dalam bidang frontal di sekitar axisantero-posterior dengan gerak rotasi spin. Endorotasi-eksorotasi terjadi pada bidang transversal di sekitar aksis vertikal dengan gerak rotasi spin pada posisi tungkai dianggap sebagai permukaan kerucut yang tidak beraturan dan apex-nya terletak pada caput femoris (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

(29)

Fleksi hip adalah gerakan femur ke depan dalam bidang sagital. Jika knee lurus maka luas gerakan fleksi hip dibatasi oleh ketegangan otot hamstring. Gerakan fleksi hip yang luas dilakukan dengan knee dalam posisi fleksi dimana pelvic akan backward tilt untuk melengkapi/menyempurnakan gerakan fleksi pada hip joint. ROM fleksi hip dengan posisi ekstensi knee adalah sebesar 00 - 900, sedangkan ROM fleksi hip dengan posisi fleksi knee adalah sebesar 00 – 1200 (gerak aktif) dan 00 – 1400 (gerak pasif). Fleksi hip dihasilkan oleh kontraksi otot iliopsoas yang dibantu oleh otot rectus femoris (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

Ekstensi adalah gerakan kembali dari fleksi sedangkan hiperekstensi adalah gerakan femur ke belakang dalam bidang sagital. Gerakan ini sangat terbatas, kecuali pada akrobatik yang memungkinkan terjadi rotasi femur keluar sehingga gerakannya cukup luas. Faktor penghambat hiperekstensi hip adalah ketegangan ligamen iliofemoral pada bagian depan sendi. ROM ekstensi/hiperekstensi hip adalah 00 – 200 (gerak aktif) dan sebesar 00 – 300 (gerak pasif). Otot yang bekerja pada gerakan ini adalah otot gluteus maximus yang dibantu oleh grup otot hamstring (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

Abduksi hip adalah gerakan femur ke samping dalam bidang frontal sehingga paha bergerak jauh dari midline tubuh. ROM abduksi akan terjadi lebih besar jika femur berotasi keluar. Abduksi dibatasi oleh kerja otot-otot adductor dan ligamen pubofemoral. ROM abduksi hip sebesar 00 – 450 (gerak pasif) dan 00 – 300 (gerak aktif). Otot yang bekerja pada gerakan abduksi adalah otot gluteus medius et minus dan tensor fascia latae beserta traktus iliotibialis, yang dibantu oleh otot sartorius (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

(30)

Adduksi hip adalah gerakan kembali dari abduksi. Hiperadduksi hanya dapat terjadi jika tungkai sisi kontralateral digerakkan keluar. Pada hiperadduksi yang luas, ligamen capitis (teres) femoris menjadi tegang. ROM adduksi hip sebesar 00 – 300 (gerak pasif) dan sebesar 00 – 200 (gerak aktif). Otot yang bekerja pada gerakan ini adalah grup otot adductor, pectineus, dan gracilis (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

Eksorotasi adalah suatu rotasi femur sekitar aksis longitudinal sehingga knee berputar keluar. Eksorotasi juga merupakan suatu rotasi femur sekitar aksis sagital sehingga knee berputar ke dalam. ROM eksorotasi biasanya lebih besar daripada endorotasi. ROM eksorotasi hip adalah 00 – 400/600, sedangkan otot yang bekerja dalam posisi tungkai lurus adalah enam otot yang pendek yaitu obturator internus externus, gemellus superior dan inferior, quadratus femoris dan piriformis, serta dibantu oleh otot gluteus medius et minimus. Berbeda dengan posisi tungkai fleksi knee dimana otot yang bekerja adalah grup otot adductor, pectineus, gracilis, dan sartorius (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

Endorotasi hip adalah gerak rotasi femur sekitar aksis longitudinal sehingga knee terputar ke dalam. Endorotasi juga merupakan gerak rotasi femur disekitar aksis sagital sehingga knee terputar keluar. ROM endorotasi dan eksorotasi dipengaruhi oleh derajat torsi femoral. ROM endorotasi hip adalah 00 – 300/400, sedangkan otot yang bekerja dalam posisi tungkai lurus adalah grup otot adductor dan pectineus, dan dalam posisi tungkai fleksi knee adalah keenam otot rotator yang pendek yang dibantu oleh tensor fascia latae(Anshar and Sudaryanto, 2011)..

(31)

b. Arthrokinematika Hip Joint

Caput femoris berbentuk konveks seperti bola yang melekat pada collum femoris, dengan arahnya adalah menghadap anterior, medial, dan superior. Sedangkan asetabulum berbentuk konkaf dengan arahnya menghadap anterior, lateral, dan inferior. Pada setiap gerakan hip joint, caput femoris selalu bergerak (slide) berlawanan arah dengan gerakan angular (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Terjadinya gerakan abduksi dan adduksi akan menimbulkan jarak dalam diameter longitudinal terhadap permukaan sendi. Gerakan ekstensi, internal, dan eksternal rotasi menimbulkan jarak dalam diameter transversal. Gerakan fleksi dan ekstensi menimbulkan gerakan spin dalam sendi, antara caput femur dengan lunate surface acetabulum (Neumann, 2002).

Tabel 2.2 Hubungan gerak angular dengan artrhokinematika caput femur

Sumber: (Sudaryanto dan Anshar , 2011)

Gerakan angular femur Arthrokinematika caput femur

terhadap acetabulum Fleksi Posterior/spin Ektensi Anterior/spin Abduksi Inferior Adduksi Superior Endorotasi Posterior Eksorotasi Anterior

(32)

2. Knee Joint

a. Biomekanika Knee Joint

Aksis gerak fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi, yaitu melewati condylus femoris. Sedangkan gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada daerah condylus medialis (Kapandji, 1995). Secara biomekanik, beban yang diterima sendi lutut dalam keadaan normal akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral, sehingga resultannya akan jatuh di bagian sentral sendi lutut (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

b. Osteokinematika

Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerakan fleksi dan ekstensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak sendi fleksi antara 120-130 derajat, bila posisi hip fleksi penuh, dan dapat mencapai 140 derajat, bila hip ekstensi penuh, untuk gerakan ekstensi, lingkup gerak sendi antara 0 – 10 derajat gerakan putaran pada bidang rotasi dengan lingkup gerak sendi untuk endorotasi antara 30 – 35 derajat, sedangkan untuk eksorotasi antara 40-45 derajat dari posisi awal mid posision. Gerakan rotasi ini terjadi pada posisi lutut fleksi 90 derajat (Kapandji, 1995), gerakan yang terjadi pada kedua permukaan tulang meliputi gerakan rolling dan sliding. Saat tulang femur yang bergerak maka, gerakan rolling ke arah belakang dan sliding ke arah depan (berlawanan arah). Saat fleksi, femur rolling ke arah belakang dan sliding ke belakang, untuk gerakan ekstensi, rolling ke depan dan sliding ke belakang. Saat tibia yang bergerak fleksi adapun ekstensi maka rolling maupun sliding bergerak searah, saat fleksi maka rolling maupun sliding bergerak searah, saat fleksi rolling dan sliding ke arah belakang,

(33)

sedangkan saat ekstensi rolling dan sliding bergerak ke arah depan (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

c. Artrokinematika

Artrokinematika pada sendi lutut di saat femur bergerak rolling dan sliding berlawanan arah, disaat terjadi gerak fleksi femur rolling ke arah belakang dan sliding-nya ke depan, saat gerakan ekstensi femur rolling kearah depannya sliding-nya ke belakang. Jika tibia bergerak fleksi ataupun ekstensi maka rolling maupun sliding terjadi searah, saat fleksi menuju dorsal, sedangkan ekstensi menuju ventral (Kapandji, 1995).

3. Ankle Joint

a. Biomekanika Ankle Joint

Sistem Sendi Sendi pergelangan kaki terdiri dari tiga persendian, yaitu : (1) tibio fibularis distalis, (2) talocrularis joint, (3) subtalaris joint (Norkin dan White, 1995). Sendi tibiofibularis distal dibentuk oleh incisura fibularis tibia dengan facies articularis fibula. Sendi tibiofibularis proksimal dan distal diperkuat oleh membrane interoseus yang terletak di antara tibia dan fibula. Sendi talocrularis dibentuk oleh ujung distal fibula yang membentuk opermukaan cekung dengan talus yang permukaannya cembung Sendi subtalar dibentuk oleh talus dan calcaneus (Sudaryanto dan Anshar, 2011).

b. Osteokinematika Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar flexi, dorsal flexi, eversi dan inversi

c. Arthrokinematika Dalam keadaan normal besarnya gerakan dorsal flexi adalah 20˚, sedangkan plantar flexi adalah 50˚ dan gerakan eversi yaitu 20˚, gerakan

(34)

inversi 40˚ (Russe, 1975) Luas gerak sendi ankle untuk gerak plantar flexi sebesar 50 derajat dan gerak dorsi flexi sebesar 20 derajat yang diukur pada posisi anatomis. Sedangkan untuk gerak inversi sebesar 40 derajat dan eversi sebesar 20 derajat. Bila penulisan disesuaikan dengan standar ISOM maka untuk gerak dorsi flexi dan plantar flexi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan eversi tertulis (S) 20-0-40 (Russe, 1975). Dilihat dari aspek arthrikinematika selama dorsi fleksi ankle, talus akan sliding kearah posterior dan fibula bergerak kearah proksimal dan lateral, selama plantar fleksi ankle talus sliding kearah anterior dan fibula bergerak ke arah distal dan sedikit ke anterior. Saat inversi calcaneus sliding kearah lateral dan pada saat eversi calcaneus sliding ke medial (Norkin dan White, 1995)

2.3 Stretching

2.3.1 Konsep Dasar dan Konsep Neurofisiologis Stretching

Sebelum menerapkan teknik stretching ada beberapa konsep dasar dan konsep neurofisiologis yang berperan penting saat terjadi stretching otot seperti propioseptor, stretch refleks dan komponennya, reaksi pemanjangan otot dan juga resiprokal inhibisi sehingga mendapatkan hasil yang bagus (Wismanto, 2011).

a. Proprioseptor

Propioseptor juga disebut dengan nama mekanoreseptor yang merupakan sumber dari seluruh propiosepsi yaitu persepsi tentang gerak dan posisi tubuh. Propioseptor mendeteksi setiap perubahan gerak dan posisi tubuh, tegangan atau

(35)

usaha yang terjadi di dalam tubuh. Propioseptor dapat ditemukan diseluruh akhir serabut saraf pada sendi, otot, dan tendon. Propioseptor yang berhubungan dengan stretching otot terletak di tendon dan di serabut otot (Wismanto, 2011).

Spindel otot atau reseptor stretch merupakan propioseptor pertama dan terutama di dalam otot. Adalah organ sensoris utama pada otot yang terdiri dari serabut kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal. Spindel otot terdiri dari dua serabut yang sensitif terhadap perubahan panjang otot. Spindel otot berfungsi memonitor kecepatan dan durasi penguluran sehingga pada saat otot terulur maka serabut intrafusal dan ekstrafusal akan terulur. Pada saat otot di stretch secara aktif dengan perlahan dan lembut, spindel otot tidak terstimulasi optimal. Bila di stretch secara tiba-tiba, maka spindle otot akan terstimulasi dan berkontraksi dan menahan perubahan panjang pada otot karena adanya stretch reflex pada muscle spindle (Wismanto, 2011).

Propioseptor kedua yang ikut berperan selama proses stretching otot terjadi berlokasi di tendon dekat dengan akhir serabut otot yang disebut dengan golgi tendon organ yaitu suatu mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot dan memiliki treshold yang sangat lambat untuk melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai treshold yang tinggi saat dilakukan penguluran secara pasif. Golgi tendo organ dikelilingi oleh ujung serabut ekstrafusal yang peka terhadap tegangan otot yang disebabkan oleh pemberian pasif stretching (Wismanto, 2011).

(36)

Pada saat otot berkontraksi akan mengakibatkan peningkatan tegangan pada tendon dimana golgi tendon terletak. Golgi tendon organ sensitif terhadap perubahan tegangan dan menilai rata-rata tegangan dalam otot. Bila penyebaran tegangan meluas maka golgi tendon organ melaju dan menimbulkan rileksasi otot. Ketika otot di stretch secara aktif dengan perlahan dan lembut, maka golgi tendon akan terstimulasi optimal, sehingga penguluran akan terjadi pada serabut otot serta fascia dimana jumlah sarkomer bertambah dan fascia terulur. Tipe ketiga dari propioseptor disebut dengan pacinian corpuscle yang terletak dekat dengan golgi tendon organ dan bertanggung jawab untuk mendeteksi perubahan gerak dan tekanan dalam tubuh (Wismanto, 2011).

b. Stretch refleks dan Komponenya

Pada saat otot terulur maka spindel otot juga terulur. Spindel otot akan melaporkan perubahan panjang dan seberapa cepat perubahan panjang itu terjadi serta memberikan sinyal ke medula spinalis untuk meneruskan informasi ini ke susunan saraf pusat. Spindel otot akan memicu stretch refleks yang biasa disebut juga dengan refleks miostatis untuk mencoba menahan perubahan panjang otot yang terjadi dengan cara otot yang diulur tadi kemudian berkontraksi. Semakin tiba-tiba terjadi perubahan panjang otot maka akan menyebabkan otot berkontraksi semakin kuat. Fungsi dasar spindel otot ini membantu memelihara tonus otot dan mencegah cidera otot. Salah satu alasan untuk mempertahankan suatu penguluran dalam jangka waktu yang lama adalah pada saat otot dipertahankan pada posisi terulur maka spindel otot akan terbiasa dengan panjang otot yang baru dan akan mengurangi sinyal tadi (Sudarsono, 2011).

(37)

Secara bertahap reseptor stretch akan terlatih untuk memberikan panjang yang lebih besar lagi terhadap otot. Alasan yang mendasari stretch refleks mempunyai dua komponen adalah karena terdapat dua serabut otot intrafusal yaitu serabut rantai nuklear (nuclear chain fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen statis dan serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) yang bertanggung jawab untuk komponen dinamis. Serabut rantai nuklear (nuclear chain fibers) panjang dan tipis dan segera memanjang pada saat diulur. Pada saat serabut ini diulur saraf stretch refleks akan meningkatkan tingkat sinyalnya yang diikuti dengan segera peningkatan panjang otot. Hal ini merupakan komponen statis stretch refleks. Serabut tas nuklear (nuclear bag fibers) berkumpul ditengah otot sehingga mereka lebih elastis. Nerve ending stretching pada serabut ini terbungkus di daerah tengah yang memanjang dengan cepat saat serabut otot terulur (Wismanto, 2011).

c. Respon Mekanik dan Neurofisiologis pada Otot terhadap Stretching

Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan (Kischner dan Colby, 1990).

Respon mekanik otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Ketika otot secara pasif diregang, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara

(38)

drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) motorneuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang parallel (Irfan, 2008).

2.3.2 Mekanisme Stretching terhadap kelincahan

Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek secara patologis maupun non patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (Kischner dan Colby, 2007). Pada saat otot diregang, maka terjadi pemanjangan pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension akan meningkat secara drastis. Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ (Irfan, 2008) .

Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut afferent primer merangsang α (alpha) motorneuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi

(39)

kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang parallel (Irfan, 2008).

Menurut Appleton (1998) stretching sudah terbukti mampu untuk meningkatkan fleksibilitas daripada otot baik pasif, aktif, dinamik, PNF dan lain-lain. Dari hasil pemberian stretching menambah lingkup gerak sendi yang diakibatkan oleh pemanjangan otot hal itu akan memberikan fleksibilitas yang baik. Fleksibilitas yang baik memudahkan untuk bisa melakukan gerakan dengan cepat dan efisien dikarenakan ruang lingkup gerak yang baik dan itu akan berdampak pada peningkatan kelincahan.

2.4 Agility Ladder Exercise

2.4.1 Pengertian Agility Ladder Exercise

Latihan agility ladder adalah bentuk latihan yang dilakukan dengan cara melompat dan berlari dengan menggunakan satu atau dua kaki dengan melewati tali yang berbentuk tangga yang menempel di tanah. Saat melakukan latihan ladder semakin cepat kaki pemain beranjak dari tanah, semakin baik reaksi waktu dan kemampuan untuk mengubah arah (Nurba, 2015).

Menurut pendapat Nasrul (2010) “Latihan ladder membantu dalam meningkatkan kecepatan, keseimbangan, ketepatan dan koordinasi”. Latihan agility ladder membantu dalam semua cabang olahraga, dan karenanya telah menjadi salah satu program latihan yang paling popular di dunia olahraga.

(40)

Latihan ladder drill lebih menggunakan otot-otot tungkai atas dan bawah. Maka dari itu, saat berlatih di area agility ladder diperlukan keseimbangan, konsentrasi, koordinasi, dan adaptasi neuromuscular yang baik. Gerakan latihan agility ladder termasuk gerakan latihan sederhana, seperti dengan langkah maju, mundur, serta gerakan menyamping secara kuat, mengangkat lutut tinggi sambil berlari ke samping (Nurba, 2015).

Agility ladder exercise mempunyai tiga konsep aplikasi yaitu Jumping on ladder, latihan ini berfungsi untuk meningkat koordinasi gerakan kaki, dan memperkuat stabilitas lutut. Steping on the ladder berfungsi untuk meningkatkan agility, melatih keseimbangan dan stabilitas lutut, Bouncing on the ladder merupakan latihan untuk melatih koordinasi mata dengan kaki dan seluruh tubuh, meningkatkan balance serta stabilisasi lutut, dengan teknik aplikasi atlet lompat tiga kotak ke depan dan mundur dua kotak, lalu lanjut kembali melompat tiga kotak ke depan dan seterusnya (Mutiarningsih, 2011).

2.4.2 Aplikasi Agility Ladder Lateral Run

Prosedur pelaksanaan agility ladder untuk meningkatkan kelincahan sebagai berikut :

a. Persiapakan agility ladder

(41)

c. Setelah diberi aba-aba, melangkahkan kaki satu persatu secara menyamping dalam lintasan agility ladder dari titik awal hingga akhir kemudian kembali ke titik awal daripada agility ladder. Latihan ini dilakukan dengan 3 sesi. Setiap sesi istirahat selama 3 menit. Target waktu setiap sesinya 20 detik. Peningkatan intesitas dapat dilakukan dengan meningkatkan pengulangan dan sesi latihan (Apriyadi, 2014).

Gambar 2.10 Agility Ladder Lateral Run (http://www.tayha.org912)

2.4.3 Mekanisme Ladder agility terhadap kelincahan

Agility ladder exercise merupakan latihan anaerobik dalam bentuk berlari. Secara umum berlari akan menimbulkan kontraksi otot. Namun, berlari di lapangan yang luas sangat berbeda dengan berlari dilintasan ladder. Berlari dilintasan ladder membutuhkan keseimbangan yang bagus, konsentrasi yang tinggi dan koordinasi yang tinggi atau dengan kata lain dibutuhkan adaptasi neuromuscular karena saat bergerak dari kotak satu ke kotak lainnya atau gerakan yang kompleks dengan cepat dan tanpa kehilangan keseimbangan. (Mutiarningsih, 2011).

Pada saat pemain melakukan latihan ladder agility akan meningkatkan aktivasi neuromuscular junction dan meningkatkan kecepatan konduksi saraf sehingga terjadi peningkatan koordinasi neuromuscular. Hal ini dikarenakan

(42)

latihan ladder agility dapat meningkatkan kecepatan kaki, koordinasi, kecepatan, serta agility. Latihan ini akan meningkatkan kecepatan konduktifitas saraf sehingga menyebabkan meningkatnya koordinasi intermuscular. Meningkatnya koordinasi intermuscular akan meningkatkan kecepatan reaksi pada tungkai pemain kemudian akan membentuk efektifitas dan efisiensi gerakan. Selain itu pada sisi lain, adanya proses reorganisasi dan adaptasi terjadinya peningkatan fungsi-fungsi sensorik memungkinkan reduksi terhadap kompensasi gerak. Peningkatan kekuatan otot diperlukan untuk efektifitas gerak dan reduksi terhadap resisten. Adanya kerja otot yang sinergis akan meningkatkan koordinasi gerak yang dapat menghasilkan gerakan efisien dan efektif sehingga dapat terjadi peningkatan kelincahan (Nurba, 2015).

2.5 Neural Mobilization

2.5.1 Pengertian Neural Mobilization

Neural mobilization adalah teknik manipulatif dengan menggerakkan jaringan saraf dan meregangkan, baik dengan gerakan relatif ke sekitarnya (mechanical interface) atau dengan pengembangan ketegangan (Nasef, 2011). Mechanical interface adalah sebagian besar jaringan yang secara anatomis berdekatan dengan jaringan saraf yang dapat bergerak secara bebas dari sistem saraf.

Mobilisasi saraf merupakan suatu bentuk pemeriksaan dan terapi untuk kondisi gangguan mekanik atau dinamik dari jaringan saraf atau pada jaringan

(43)

yang berada di sekitar jaringan saraf (jaringan interface) dengan prinsip

berdasarkan pada severity yaitu (berat ringan keluhan), irritability (perangsangan) dan nature of symptom yaitu gejala patologinya (Buttler, 1991). Berbagai faktor seperti trauma, jaringan parut/ scar tissue dan perubahan sendi yang mengalami arthritis dapat mempengaruhi mobilitas saraf karena mereka berjalan melalui otot dan pembungkus otot/ fascia di dalam tubuh. Tes penekanan saraf/ neural tension test banyak digunaan oleh fisioterapis untuk memeriksa mobilitas saraf. Contoh tes mobilisasi saraf pada kuadran bawah, antara lain :

1. Straight leg raise (SLR) 2. Prone knee bend (PKB) 3. Slump test

Mobilisasi saraf sendiri berarti penggunaan berbagai macam tes tersebut (kadang - kadang dengan modifikasi) untuk penggunaan terapi selain juga untuk pemeriksaan/asesmen. Istilah mobilisasi saraf sendiri masih rancu karena memasukkan tes penekanan saraf juga pergerakan meluncur saraf/ neural gliding dalam satu istilah. Tujuan dari gerakan meluncur saraf/ neural gliding sendiri adalah untuk memfasilitasi gerakan saraf yang kemungkinan terhambat tanpa menekannya namun sekarang istilah yang digunakan untuk mencakup gerakan penekanan dan peluncuran saraf disebut neurodynamics (Sudarsono, 2011).

Neural mobilization dirancang untuk memobilisasi jaringan saraf dalam tubuh dengan teknik gerakan lembut. Teknik tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan fungsi optimal dari system saraf dan mengembalikan mobilitas saraf pada lengan atau tungkai dengan cara

(44)

mengarahkan lengan atau kaki pasen ke bermacam pola gerakan yang sangat spesifik untuk membiarkan saraf bergerak bebas sehingga fungsi normal saraf dapat kembali dan mewujudkan pain free movement pada struktur saraf yang mengalami penekanan, iritasi, dan inflamasi kronik. Teknik ini juga berpengaruh terhadap jaringan lunak di sekitar struktur saraf seperti kulit, pembuluh darah, otot, ligament, dan tendon. Sebuah studi mengindikasi bahwa mobilisasi saraf dapat meningkatkan aliran darah pada pembuluh saraf tepi. Pada penelitian ini menggunakan metode slump stretch (Sudarsono, 2011).

2.5.2 Slump stretch

Slump stretch merupakan salah satu teknik mobilisasi Saraf (Neuro Mobilization atau Neurodynamic) yang tujuannya menggerakan dan mengulur jaringan saraf terhadap jaringan interface di sekitarnya (Ashok, 2011).

Untuk menyelidiki mengapa slump stretching dapat menjadi terapi pada penanganan strain otot hamstring tingkat 1 (Grade 1 hamstring strains), sebuah penelitian menguji efek slump stretch pada aliran keluar simpatis/ sympathetic outflow pada anggota gerak bawah 10 orang normal dan atlet atletik bersama dengan beberapa hal lain, saraf simpatis menyebabkan penyempitan pembuluh darah pada kulit dan pelebaran pembuluh darah pada otot, yang mungkin terlibat pada proses penyembuhan jaringan otot (Cornberg dan Lew, 1989).

Gambaran Telethermographic diambil pada empat lokasi sebelum dan setelah peregangan pada kedua sisi tungkai yang diregang maupun yang tidak. Gambaran ini menunjukkan perubahan pada temperatur kulit sebagai respon

(45)

terhadap refleks. Peningkatan temperatur kulit pada tungkai yang diulur mengindikasikan bahwa efek vasodilator secara signifikan terjadi pada tungkai ini, sementara pada tungkai yang tidak diulur menunjukkan sedikit penurunan temperatur sehingga peneliti berkesimpulan bahwa slump stretching dapat mempunyai efek penghambatan simpatik yang dapat menjadi mekanisme fisiologis yang mendasari untuk efek terapi slump stretch pada strain hamstring tingkat 1 (Sudarsono, 2011).

Studi pada kadaver mengindikasikan bahwa posisi-posisi dimana anggota gerak ditempatkan saat neural tension tests benar – benar memberikan regangan pada struktur saraf. Pada studi dengan tubuh hidup yang utuh kaliper digital digunakan untuk menguji gerakan saraf/ nerve excursion dan ukuran microstrain mengukur regangan ketika upper limb neural tension test dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tes median nerve tension menyebabkan regangan pada median nerve sebesar 7.6% dan tes ulnar-nerve tension test menyebabkan peregangan sebesar 2.1% pada ulnar nerve. Chris Mallac (2006) , pada artikelnya mengenai diagnosis dan penyebab strain hamstring, menemukan bagaimana treatment pada jaringan non saraf menghasilkan perbaikan pada neural test yang sebelumnya positif memiliki gejala neural.

Ellis dan Hing (2008), dalam ulasan sistematis mereka pada uji acak dengan kontrol/ randomised controlled trials, melihat apakah mobilisasi saraf efektif sebagai modalitas terapi. Dari 10 uji yang sesuai dengan kriteria mereka, disimpulkan: ‘Bahwa bukti terbatas untuk mendukung penggunaan mobilisasi

(46)

saraf.’ Dibutuhkan pendekatan yang lebih terstandar dan grup subyek yang homogen.

2.5.3 Aplikasi Slump Stretch Aplikasi :

Dilakukan dengan posisi duduk dengan kedua kaki lurus menempel ke dinding untuk menjamin pergelangan kaki dalam posisi 00dorsofleksi

2. Tangan pasien berada di belakang punggung dengan saling memegang

3. Subjek melakukan fleksi cervical pasif dan memberikan tahanan. Gerakan itu di pertahanankan selama 30 detik dan dilakukan sebanyak 5 kali.

4. Teknik ini diberikan setelah latihan dengan frekuensi 3 kali seminggu.

(47)

2.5.4 Mekanisme Neural Mobilization Terhadap Kelincahan

Slump stretch adalah salah satu teknik neurodynamic pada ekstremitas bawah yang men-stretch seluruh saraf. Dengan diberikan neurodynamic pada jaringan saraf akan mengalami adaptasi terhadap suatu latihan yang dilberikan. Secara efek neurophysiology dari mobilisasi pada spinal menunjukkan bahwa mobilisasi pada jaringan saraf akan meningkatkan aliran darah ke otot dengan aktifnya saraf simpatis dan meningkatkan kecepatan rangsang saraf terutama saraf-saraf yang menginervasi otot tungkai (Sudarsono, 2011).

Adaptasi dari otot, saraf dan kecepatan rangsang saraf merupakan salah satu komponen dalam peningkatan kelincahan. Slump stretch mempengaruhi adaptasi suatu latihan dalam mentransmisikan stimulus dari luar yang dibawa ke susunan saraf pusat untuk diproses menjadi suatu gerakan yang komplek. Sehingga dengan adanya proses adaptasi dari saraf akan memperbaiki kecepatan rangsang saraf ke reseptor di otot terutama reseptor muscle spindel baik saraf sensorik maupun motorik terlibat disini. Innervasi sensor utama terletak pada pusat kantung inti serat intrafusal. Saraf ini berakhir dengan bentuk yang berstuktur seperti koil (ujung anulospiral) disekitar intrafusal dan merupakan reseptor aktual untuk mendeteksi perubahan dalam perpanjangan intarfusal. Karena intrafusal ujungnya melekat kuat pada dinding sel dari serat otot rangka, setiap perubahan dalam ukuran serat otot rangka diakibatkan oleh perubahan panjang intrafusal dan juga gerakan dalam ujung yang berbentuk koil pada sensor reseptor (Sudarsono, 2011).

Gambar

Gambar 2.1 Ilustrasi Keterkaitan Kemampuan Biomotorik ( Bompa, 1993: 6)
Tabel 2.1 Kategori Kelincahan dengan Illinois Agility Run Test
Gambar 2.3  Grup otot quadriceps femoris (Watson, 2002)  a)  Otot Rectus Femoris
Gambar 2.4 Grup otot hamstring (Watson, 2002)  a)  Otot Biceps Femoris
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu: 1) Keseimbangan statis yang merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh dimana center of gravity (COG) tidak

a. Pada leasing , masalah jangka waktu perjanjiannya merupakan fokus uatama karena dengan berakhirnya jangka waktu, lessee diberikan hak opsi. Sementara itu, pada sewa

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama saat posisi tegak untuk mempertahankan posisi seimbang dalam keadaan statik

1) Waham (Delusi) merupakan keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak sesuai atau memiliki dasar dalam realitas. 2) Halusinasi merupakan persepsi sensori salah

Serat otot yang mengalami spasme memiliki struktur yang tidak teratur, yang jika dalam waktu lama dapat otot dapat berubah menjadi taut band atau kontraktur pada otot

Power merupakan salah satu komponen fisik yang memiliki peran penting bagi setiap cabang olahraga terutama yang memerlukan daya ledak otot yang tinggi. 41) “Power

Daya tahan otot adalah kemampuan otot rangka atau sekelompok otot untuk meneruskan kontraksi pada periode atau jangka waktu yang lama dan mampu pulih dengan cepat

Daya otot yang besar memungkinkan seseorang dapat berlari sprint dengan jarak 100 m dalam waktu 10 detik pertama, sedangkan untuk perlombaan ketahanan jangka