• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjelaskan tentang beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang mempunyai persamaan teman dengan yang peneliti saat ini.

Penelitian pertama dilakukan oleh Ruanida Murni dan Mulia Astuti (2015) yang meneliti mengenai “Rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas mental melalui unit informasi dan layanan sosial rumah kita”, menjelaskan bahwa penyandang disabilitas mental merupakan individu yang mempunyai hambatan fungsi sosial dalam pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah dan kegiatan sehari-hari. Sehingga dengan dibentuknya unit informasi dan layanan sosial bagi penyandang disabilitas mental membantu untuk mengembalikan fungsi sosial sehari-hari, berkumpul, berbagi dan melakukan berbagai kegiatan dalam suasana yang nyaman dan bersahabat. Penelitian diatas masih satu tema yang sama dengan penelitian peneliti. Namun, perbedaan paling mencolok adalah sedikit membahas tentang rehabilitas medis dan tidak dijelaskan sepenuhnya namun, peneliti membahas bagaiman rehabitas medis yag harus dilakukan.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Aty, Novy dan Ice Yulia (2018) dengan judul “Pengalaman orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pasca pasung dalam melakuakan rehabitasi psikososial”, menjelaskan bahwa individu yang mengalami gangguan jiwa dan dipasung mengalami dampak perubahan fisik, psikologis dan sosial, sehingga rehabilitasi yang dibutuhkan ODGJ adalah

(2)

9

rehabilitasi psikososial. Hal ini dikarnakan rehabilitasi psikososial merupakan pelayanan rehabilitasi untuk meningkatkan proses perbaikan klien yang mengalami gangguan mental dalam mengontrol gejala meliputi peningkatan kemampuan diri untuk dapat kembali ke masyarakat, pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kemandirian dan kualitas hidupnya. Peneltian diatas membahas tentang bagaimana seseorang yang mengalmi gangguan jiwa untuk bisa kembali fungsi sosialnya dalam masyarakat, perbedan dari penelitian ini bagaimana tahapan yang dilakukan dalam rehabilitas sosial dan medis.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ali Nurdin (2018) dalam skripsi berjudul “Progam rehabilitasi mental pasien gangguan mental pada panti rehabiltasi sosial jiwa dan narkoba Purbalingga Jawa Tengah”, menjelaskan bahwa jenis rehabilitasi yang dipakai adalah rehabilitasi sosial serta adanya progam rehabilitasi non-medis yang meliputi ruqyah, istighosah serta minum air karomah. Di panti rehabiltasi sosial jiwa dan narkoba Purbalingga Jawa Tengah ini pengobatan non-medis justru dianggap sebagai cara yang bisa menyembuhkan pasien, sehingga didapatkan hasil dari progam rehabiltasi mental adalah untuk mengisi kembali nilai-nilai spiritualitas pasien untuk bisa lebih dekat dengan Tuhan. Penelitian ini lebih banyak membahas dari sisi agamanya jadi perbedaan yang mencolok penelitian ini yaitu tidak adanya sisi medis dan sosialnya.

2.2 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Menurut Ayuningtyas (2018:3), pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua istilah untuk seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yaitu seseorang yang mempunyai keterbatasan fisik,

(3)

10

mental, sosial, perkembangan, dan kualitas hidup sehingga mempunyai risiko mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang terwujud dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan perilaku.

Menurut Rahmawati (2018: 17-18) mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yaitu orang yang memiliki keterbatasan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang nyata dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan fungsi sebagai manusia.

2.3 Skizofernia

2.3.1 Pengertian Skizofrenian

Menurut Hawari (2004:532) Skizofrenia terdiri dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah, “frenia” yang artinya jiwa. Pendapat lain mengatakan Skizofrenia berarti “kepribadian yang terbelah”, yaitu hilangnya sebagian besar hubungan kesadaran yang logis antara tubuh dan jiwa (disintegrasi). Sehingga yang terjadi beberapa keadaan perilakunya tidak searah dengan keadaan emosinya. Gangguan terbelah maksudnya seseorang tersebut mempunyai kecenderungan tubuhnya hidup pada satu dunia tetapi jiwanya berada di dunia lain yang menyebabkan penderita cenderung dianggap “gila” (Ardani 2013:166).

Menurut Wiramihardja (2007:134) Skizofrenia adalah kelompok keterbasan jiwa (psikosis) yang dikenal dengan penyimpangan-penyimpangan mengenai keadaan realita, mengalami keadaan kacau tanpa aturan, serta dalam

(4)

11

memahami persepsi, pikiran dan kognasi tidak secara keseluruhan. Skizofrenia adalah keterbatasan mental berat yang dikenal dengan gejala-gejala positif maupun negatif. Gejala positif seperti komunikasi yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Sedangkan gejala negaif yang dimaksud seperti berkurangnya kemauan untuk berbicara, menurunnya minat dan dorongan, kurangnya isi pembicaraan, terganggunya hubungan personal (Arif 2006:3).

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian dari Skizofrenia adalah hilangnya sebagian besar hubungan kesadaran yang logis antara tubuh dan jiwa yang dikenal dengan beberapa terjadinya gejala positif maupun negatif yang menyebabkan penderita jauh dari keadaan realitanya.

2.3.2 Tipe Kepribadian Skizofrenian

Hawari (2004:562) mengatakan bahwa gangguan jiwa secara umum dibagi menjadi dua golongan besar yaitu, Psikosa dan Non-Psikosa. Tanda-tanda seseorang yang mengalami psikosa, mengalami dua gejala seperti tidak adanya pemahaman diri (insight) dan keterbatasan menilai kenyataan.

Sedangkan untuk non-psikosa mempunyai dua sub golongan, yaitu Psikosa Fungsional dan Psikosa Organik. Skizofrenia termasuk dalam golongan Psikosa Fungsional. Psikosa Fungsional merupakan gangguan jiwa yang disebabkan keterbatasan fungsi sistem transmisi sinyal penghantar saraf sel-sel saraf dalam susunan saraf pusat (otak), tidak terdapat kelainan sruktural pada sel-sel daraf otak tersebut.

Adapun menurut Semiun (2006: 60-65) mengatakaan bahwa tipe kepribadian Skizofrenia terbagi menjadi beberapa tipe, antara lain:

(5)

12 a. Skizofrenia Tipe Hebefrenik

Seseorang yang menderita skizofrenia tipe hebefrinikk disebut juga disorganized type atau “kacau balau” ditandai dengan gejala-gejala antara lain sebagai berikut :

1) Inkoherensi yakni jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dipahami apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.

2) Alam perasaan (mood affect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi.

3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menampakkan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.

4) Waham tidak jelas dan tidak sistematik dan tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.

5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isinya tidak terorganisir sebagai satu kesatuan.

6) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan- gerakan aneh, penyampaian kalimat yang diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.

b. Skizofrenia Tipe katatonik

Seseorang yang mengalami skizofrenia tipe katatonik menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

1) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau aktivitas spontan sehingga nampak seperti “patung” atau diam membisu.

(6)

13

2) Negativisme katatonik yaitu suatu perlawanan yang nampaknya tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk mendorong dirinya.

3) Kekakuan katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap kaku terhadap semua upaya untuk mendorong dirinya.

4) Kegaduhan katatonik yaitu kegaduhan aktivitas motorik yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.

5) Sikap tubuh katatonik yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh.

c. Skizofrenia Tipe Paranoid

Seseorang yang menderita skozofrenia tipe parnoid menunjukan tanda-tanda sebagai berikut :

1) Waham kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa, misi atau utusan sebagai penyelamat bangsa, dunia atau agama, misi kenabian, atau perubahan tubuh, dan waham cemburu.

2) Halusinasi yang mengandung isi kebesaran.

3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat dan tindak kekerasan.

Seringkali ditemukan kebingungan tentang identitas jenis kelamin dirinya atau ketakutan bahwa dirinya diduga sebagai seorang homoseksual, atau merasa dirinya didekati oleh orang-orang homoseksual.

d. Skizofrenia Tipe Residual

Tipe ini merupakan sisa-sisa dari gejala skizofrenia yang tidak begitu terlihat. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi, penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional.

(7)

14 e. Skizofrenia Tipe Tak Tergolongkan

Tipe ini tidak dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan di atas, hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau tingkah laku kacau.

f. Golongan “Skizofrenia” Lainnya

Selain gambaran gejala klinis skizofrenia yang jelas dengan pengelompokkan tersebut di atas ada pula pengelompokkan gangguan

“skizofrenia” lainnya yaitu :

1) Skizofrenia simplek yaitu suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai terganggunya realitas/RTA dan pemahaman diri/insight yang buruk) yang perkembangannya lambat dan perlahan-lahan dari perilaku yang aneh, ketidakmampuan memenuhi tuntutan masyarakat, dan penurunan kemampuan/keterampilan total. Tidak terdapat waham atau halusinasi.

2) Gangguan skizofreniform (episode skizofrenia akut). Secara klinis si penderita lebih menampakkan gejolak emosi dan kebingungan seperti dalam keadaan mimpi.

3) Gangguan skizoafektif. Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam perasaan disertai waham dan halusinasi. Gangguan alam perasaan yang menonjol adalah perasaan gembira yang berlebihan dan atau kesedihan yang mendalam (depresi) yang silih berganti.

2.3.3 Penyebab Skizofrenian

Penyebab skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Namun, ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan seseorang menderita skizofrenia (University of Maryland Medical Center [UMMC], 2011).

(8)

15

Pada kategori biologi, ada beberapa hal yang menyebabkan responden mengalami skizofernian; diantaranya kurang perawatan kesehatan di masa lalu, kerusakan otak atau abnormalitas, keturunan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, alkohol, ketidakseimbangan zat kimia dalam otak dan kuman atau virus.

Seseorang mengalami skizofernian diawali dengan adanya faktor genetik terhadap skizofernian, diikuti adanya abnormalitas perkembangan neurotransmiter, sehingga mengalami disfungsi otak (Duggal dkk, 2008). Hal ini menyebabkan timbulnya gejala psikosis yang menunjukkan ciri khas dari skizofrenia.

Faktor lain yang menyebabkan skizofrenia pada kategori biologi adalah penyalahgunaan NAPZA ( Narkoba, Psikotropika dan zat adiktif lainnya).

Penyalahgunaan NAPZA dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda psikotik diantaranya halusinasi dan waham. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Pahlasari (2013) menunjukkan 73,38% pengguna NAPZA mengalami tanda-tanda psikotik yaitu gejala halusinasi (45,8%) dan waham (45,8%). NAPZA menyebabkan susunan saraf pusat (SSP) mengalami depresi yang mengakibatkan timbulnya gejala psikotik (Taylor & Stuart, 2016).

Pada kategori psikososial, secara umum skizofrenia disebabkan oleh stres yang dirasakan seseorang. Hubungan antar stres dan gejala psikotik dapat merupakan dampak dari suatu kerentanan yang mendasarinya (Winkel, 2008).

Stres akibat dari kejadian dalam kehidupan dapat berupa kematian orang terdekat, konflik dengan orang di rumah dan tetangga, tidak memiliki pekerjaan, kurangnya penghasil, hidup sendirian (Shishkov, 2012). Stres yang dirasakan seseorang pada kondisi kritis dalam kehidupannya merupakan faktor kritikal dalam perkembangan disfungsi otak terhadap kerentanan psikosis, sedangkan stres saja

(9)

16

merupakan faktor pencetus ekpresi kerentanan biologi terhadap psikosis (Green, 2014). Stress meningkatkan kadar neurotransmiter dopamin (Fortinash, 2004).

Dopamin bersifat merangsang aksi pada sel terutama memantau pergerakan, motivasi, kognisi, dan pengaturan respon emosional (Shives, 2012). Oleh karena itu, peningkatan kadar dopamin mengakibatkan timbulnya tanda-tanda psikotik yang menunjukkan gangguan jiwa dari skizofrenia (Videbeck, 2008).

Pada kategori spiritual, cobaan dari Tuhan atau/dan hukuman dari Tuhan atas perbuatannya terdahulu adalah persepsi terbanyak dari responden terhadap penyebab dirinya mengalami skizofernian.

2.3.4 Gejala Skizofrenian

Gejala umum yang ditemukan pada penderita Skizofernia adalah perilaku yang tidak tepat, kemunduran fungsi sosial, defisit perawatan diri, tidak mampu bekerja, bicara sendiri, mendengar suara-suara, curiga, perilaku agresfi, pemikiran yang tidak biasa dan tidak logis, dan kurang minat dengan aktivitas lingkungan sekitar (Baputty, Hitam dan Sethi, 2008).

Sedangkan Videbeck (2008) membagi gejala Skizofernia menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria diagnostik Diagnosyic and Statistical Manual of Mental Diorder Text Revision (DSM IV – TR) yaitu gejala positif dan negatif.

a. Gejala Positif

Gejala positif diartikan secara umum sebagai tingkah laku yang tidak ditemui diorang normal. Gejala positif muncul dan mendominasi tingkah pasien pada fase (aktif) Skizofernia. Fase aktif dari pasien biasanya berujung kepada rawat inap di rumah sakit atau dirujuk ke ahli karena

(10)

17

mengganggu orang-orang disekitar mereka. Berikut gejala positif Skizofernia menurut Stuart (2013) :

1) Waham (Delusi) merupakan keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak sesuai atau memiliki dasar dalam realitas.

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori salah satu atau pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas.

3) Agresif merupakan perilaku destruktif yang menunjukkan ancaman, kata-kata kasar dan terdapat kontak fisik terhadap orang lain, tetapi masih bisa dikontrol oleh pelaku.

4) Agitasi merupakan bentuk gangguan yang menunjukkan aktivitas motorik berlebihan dan tidak bertujuan atau kelelahan, biasanya dihubungkan dengan keadaan tegang dan ansietas.

5) Perilaku stereotipi merupakan perilaku yang menunjukkan gerakan anggota badan berulang-ulang dan tidak bertujuan.

6) Disorganisasi bicara merupakan berbagai macam bentuk gangguan dalam proses bicara (word salad).

7) Negativisme merupakan suatu sikap yang berlawanan dengan yang diperintahkan kepadanya, dan ada penolakan tanpa alasan.

b. Gejala Negatif

Gejala negatif muncul dan mendominasi pada fase prodromal dan residual dari skizofrenia. Gejala negatif adalah gejala-gejala yang berhubungan dengan tingkah laku pasif pasien namun cenderung tidak dapat dilihat dan diabaikan oleh orang-orang sekitar. Berikut tanda-tanda negatif skizofrenia menurut Stuart (2013):

(11)

18

1) Apatis merupakan perasaan cuek terhadap seseorang, aktivitas, dan peristiwa.

2) Alogia merupakan kecenderungan sangat sedikit bicara atau menyampaikan sedikit substansi makna.

3) Anhedonia merupakan perasaan tidak senang dalam menjalani hidup, aktivitas dan hubungan.

4) Katatonia merupakan imobilisasi karena faktor psikologis, klien tampak tidak bergerak seperti dalam keadaan setengah sadar.

5) Kehilangan motivasi atau tidak adanya keinginan, ambisi, atau dorongan untuk bertindak dan melaksanakan tugas-tugas

6) Afek datar merupakan tidak adanya ekspresi wajah yang menunjukkan emosi.

2.4 Rehabilitasi Sosial

2.4.1 Pengertian Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi berarti pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang terdahulu atau semula. Kata „rehabilitasi‟ berarti perbaikan mental atau moral dan kembalinya klien sebagai anggota masyarakat yang baik dengan berpedoman dan mematuhi agama dengan sukarela atas dorongan dari dalam diri sendiri bukan karna paksaan dari luar sedangkan sosial diartikan segala sesuatu yang mengenai masyarakat; peduli terhadap kepentingan umum.

Jadi rehablitasi sosial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan sosial yang ditujukan untuk membantu mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri pasien sehingga mampu menjalani fungsi sosialnya kembali secara wajar dalam tindak lanjut pasien ke masyarakat (Rahmawati 2018: 14).

(12)

19 2.4.2 Tujuan Rehabilitasi Sosial

Adapun tujuan dari rehabilitasi sosial menurut (Rahmawati 2018: 14) adalah sebagai berikut:

a. Memulihkan atau mengembalikan lagi rasa percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan dirinya dan juga keluarganya.

Selain itu ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) juga dapat menyesuaikan kembali ke dalam lingkungan sosialnya dan masyarakat sekitarnya.

b. Mengembalikan kembali kemauan dan kemampuan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) untuk dapat melakukan aktivitas seperti melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya dengan baik seperti sedia kala.

Menurut Florida (2016:48) Maksud dan tujuan rehabilitasi yaitu, mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuain diri dalam hubungan perseorangan dan sosial sehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna.

Sedangkan menurut Murni (2015: 282-283) tujuan dilaksanakannya rehabilitasi sosial adalah :

a. Terwujudnya hak penyandang disabilitas mental untuk berpartisipasi aktif dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya, sesuai dengan amanat konveksi HakHak Penyandang Disabilitas.

b. Tersedianya berbagai informasi dan layanan sosial, yang meliputi:

bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan, advokasi serta rujukan bagi disabilitas mental.

(13)

20

c. Terwujudnya pemerataan aksesibilitas rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas mental.

d. Membantu terwujudnya harapan penyandang disabilitas mental untuk hidup optimal di tengah masyarakat.

e. Terwujudnya peningkatan potensi dan sumber keluarga dan masyarakat.

f. Hilangnya stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas mental.

g. Terwujudnya pemahaman masyarakat tentang permasalahan penyandang disabilitas mental, termasuk upaya deteksi dini dan penanganannya berbasis masyarakat.

h. Terwujudnya kepedulian, kesempatan dan peluang bagi pemerintah, pemerintah daerah, profesi pekerjaan sosial dan berbagai profesi yang relevan serta masyarakat luas dalam pengembangan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental. Dan diperkuat oleh pernyataan Widati (2011:7) yang mengatakan bahwa, dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa “Tujuan Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan”. fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman.

Dapat disimpulkan tujuan rehabilitasi yaitu, membantu mencapai kemandirian optimal secara fisik, mental, sosial, vokasional, dan ekonomi sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti membantu seseorang tersebut mencapai kapasitas maksimalnya untuk memperoleh kepuasan hidup dengan tetap mengakui adanya kendala-kendala teknis yang terkait dengan keterbatasan teknologi dan sumber-sumber keuangan serta sumber-sumber lainnya.

(14)

21 2.4.3 Jenis Rehabilitasi

a. Rehabilitasi Medis

Rehabilitasi ini memberikan berbagai perawatan secara medis dalam upaya memulihkan kondisi fisik klien. Rehabilitasi medis menawarkan pelayanan kesehatan bagi klien yang mempertemukan tenaga profesional seperti dokter, psikolog, psikiater bahkan pekerja sosial medis. Proses rehabilitasi medis umumnya berlangsung di rumah sakit, khususnya yang memiliki Instalasi Rehabilitasi Medis (IRM).

b. Rehabilitasi Pendidikan

Rehabilitasi pendidikan merupakan upaya pembangunan potensi intelektual klien pada sekolah dan untuk keterampilan.

c. Rehabilitasi Vokasional

Rehabilitasi ini memberikan keterampilan khusus pada klien sesuai minat dan kemampuannya, seperti keterampilan dalam bidang musik, pijat, masak, olahraga, komputer dan lain sebagainya. Rehabilitasi vokasional memerlukan tenaga khusus yang menguasai keterampilan- keterampilan tersebut sehingga dapat mewujudkan tujuan proses rehabilitasi vokasional yaitu kemandirian ekonomi.

d. Rehabilitasi Sosial

Proses rehabilitasi sosial mengupayakan agar klien dapat memulihkan fungsi sosialnya di masyarakat. Proses rehabilitasi sosial juga bertujuan untuk mengintegrasikan klien kembali kepada lingkungan masyarakat. Pada prosesnya, rehabilitasi sosial mengintervensi klien sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari keluarga dan

(15)

22

komunitasnya. Proses tersebut melibatkan sikap klien terhadap keluarga, komunitas bahkan masyarakat. Peranan pekerja sosial, psikolog, psikiater menjadi sangat penting pada proses rehabilitasi ini. Jadi, pada penelitian ini jenis rehabilitasi sosial di RSK HMC.

2.4.4 Tahapan Rehabilitasi Sosial

Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika terdapat 7 tahapan berdasarkan Peraturan Mentri Sosial No.16 Tahun 2019 Pasal 7 Tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial, meliputi:

a. Pendekatan awal sebagai rangkaian yang mengawali keseluruhan dalam proses rehabilitasi sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi serta konsultasi, identifikasi, motivasi, hingga seleksi penerimaan. Kegiatan yang mengawali dalam proses rehabilitasi sosial dilakukan dengan menyampaikan informasi kepada masyarakat, instansi terkait dan organisasi sosial untuk memperoleh dukungan dan data awal.

b. Asesmen, merupakan kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual, budaya dan hasilnya dibahas dalam pembahasan kasus

c. Penyusunan rencana pemecahan masalah merupakan kegiatan penyusunan rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metode, strategi, teknik, tim pelaksana, waktu pelaksana, dan indikator keberhasilan.

(16)

23

d. Intervensi, merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana masalah yang telah disusun.

e. Resosialisasi merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja.

f. Terminasi merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial, terminasi dilakukan antara lain:

1) Korban telah selesai mengikuti rehabilitasi.

2) Keinginan korban sendiri tidak melanjutkan rehabilitasi sosial.

3) Korban meninggal duina

4) Keterbatasan lembaga rehabilitasi sosial sehingga diperlukan sistem rujukan

g. Bimbingan lanjut merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial sebagai upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti proses rehabilitasi sosial, baik didalam maupun diluar lembaga (Permensos No.16 Tahun 2019 Pasal 7 Tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial).

Sedangkan menurut Abidin, pola rehabilitasi dapat diakukan dengan berbagai strategi sesuai dengan setting dan masalah yang dihadapi oleh klien (Abidin, 2019). Lebih lanjut terdapat beberapa Rehabilitation Strategis yang dilakukan diantaranya sebagai berikut:

a. Memberikan konseling kepada klien agar segera pulih dari trauma emosional.

b. Memberikan konseling kepada anggota keluarga.

c. Mencari bantuan profesional dari orang lain spesialis

(17)

24

d. Mencari bantuan dari lembaga seperti LSM, gereja, dan penegak hukum yang pihak berwenang, apabila perlu.

e. Jika perlu, rekomendasikan panti asuhan

f. Berikan pilihan sebagai solusi. Modul Social Work (dalam Abidin, 2019).

Berdasarkan beberapa strategi rehabilitasi tersebut dapat dijelaskan bahwa proses rehabilitasi yang diberikan harus dapat diukur melalui beberapa aktifitas dan partisipasi diri klien, penerimaan lingkungan sosial, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi klien agar mampu berubah menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, konsep rehabilitasi dapat dimaknai sebagai upaya untuk memulihkan, memberfungsikan harga diri, keluarga dan lingkungan sosial, sehingga mampu melaksankan fungsi sosialnya secara wajar (Abidin, 2019).

2.4.5 Fungsi Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi akan membantu seseorang melakukan pengobatan, penyembuhan dan perawatan terhadap gangguan atau penyakit, khususnya terhadap gangguan mental, spiritual dan kejiwaan seperti berdzikrullah, hati dan jiwa menjadi tenang dan damai, spirit dan etos kerja akan bersih dan suci dari gangguan jin, iblis, dan sebagainya. Sedangkan menurut Widati (2011: 13-14) fungsi rehabilitasi terbagi menjadi enam, yaitu:

a. Fungsi pencegahan, melalui program dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi yang dapat menambah kecacatan yang lebih berat/ lebih parah/ timbulnya kecacatan ganda.

b. Fungsi penyembuhan atau pemulihan, melalui kegiatan rehabilitasi organ tubuh yang semula tidak kuat menjadi kuat, yang tadinya tidak berfungsi

(18)

25

menjadi berfungsi, yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak mampu menjadi mampu.

c. Fungsi pemeliharaan atau penjagaan, keterampilan organ gerak atau keterampilan vokasional tertentu yang sudah dimiliki dapat tetap terpelihara atau tetap terjadi melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi yang dilakukan.

d. Fungsi medik, kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas rehabilitasi medik memiliki fungsi untuk mencegah penyakit, menyembuhkan dan meningkatkan serta memelihara status kesehatan seseorang.

e. Fungsi sosial, pesien pada umumnya memiliki masalah sosial, baik yang bersifat primer (misalnya: rendah diri, isolasi diri). Melalui upaya rehabilitasi dapat berfungsi memupuk kemampuan pasien dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

f. Fungsi keterampilan, melalui kegiatan rehabilitasi pesien akan memiliki dasar-dasar keterampilan kerja yang akan menjadi fondasi dalam memilih dan menekuni keterampilan professional tertentu di masa depan.

Referensi

Dokumen terkait

(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2003), hlm.. Takeshima merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Korea Selatan karena hak kepemilikannya. Namun, apabila merujuk pada

yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi dan komplikasi diabetes retinopati di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik selama januari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa, untuk mengetahui respon penggunaan model kooperatif STAD pada siswa kelas X MAN

Ada empat faktor yang mempengaruhi subsidense: vertical “shrinkage” pada lapisan atas akibat pengeringan, perpaduan (konsolidasi) pada lapisan bawah, Oksidasi

Tetang kesesuaian prodi dengan perkembangan IPTEK dalam bidang kerja lulusan Program Studi Manajemen Dakwah memiliki hasil paling tinggi sebesar 76,5% yakni sesuai..

1) Sosialisasi, merupakan kemampuan individu untuk dapat mengenal dan berinteraksi secara baik dalam lingkungan tertentu dan memperoleh nilai- nilai yang sesuai dengan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecemasan bertanding tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan motivasi berprestasi dengan nilai signifikansi sebesar

Pada saat pengguna melakukan prediksi, maka hasil prediksi yang ditampilkan akan diikuti dengan total keseluruhan dari n bulan. Antar muka dari suatu aplikasi merupakan fasilitas