• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. tenun yang berasal dari Bali telah beberapa kali dilakukan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. tenun yang berasal dari Bali telah beberapa kali dilakukan."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian yang mengangkat produk pariwisata, terutama kain tenun yang berasal dari Bali telah beberapa kali dilakukan. Namun nampaknya penelitian akan keberadaan maupun potensi kain tenun Cepuk yang berasal dari Nusa Penida ini masih sangat minim, atau paling tidak bisa dikatakan belum pernah dilakukan, terutama yang menyangkut pengembangannya dalam peningkatan pariwisata budaya. Penelitian yang tergabung dalam sebuah buku mengenai Wastra (Kain) Bali (Seraya, 1987), menyebutkan kalau kain-kain produksi masyarakat Bali yang utama diperuntukkan sebagai pakaian adat dan sebagai sarana upacara keagamaan. Kain-kain tersebut umumnya diproduksi dengan alat tenun tradisional, meskipun beberapa diantaranya saat ini telah juga diproduksi menggunakan alat tenun yang lebih modern. Dalam penelitian lainnya dalam buku yang sama disebutkan juga kalau antusias masyarakat untuk mengetahui mengenai sejarah dan koleksi museum Bali yang berkaitan dengan Wastra Bali sangatlah besar, sehingga perlu adanya peningkatan pemahaman dengan penerbitan penelitian-penelitian lainnya dalam bisa kain tradisional Bali.

Seakan menjawab tantangan tersebut, salah satu penelitian yang berkaitan dengan kain textile, terutama kain tenun tradisional Bali, adalah penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati (1997). Dengan judul penelitian “Peranan Kain Gringsing dalam Pariwisata di Desa Tenganan Bali”, Sulistyawati membahas

(2)

13

mengenai keberadaan kain Gringsing dalam kehidupan tradisional dan juga fungsinya dalam kehidupan sosial budaya. Dengan lebih jauh penelitian ini membahas pentingnya kain Gringsing dalam kehidupan masyarakat sebagai produk budaya karena sarat akan nilai, diantaranya: nilai guna dalam hubungannya dalam pemakaian dan keindahan, nilai makna atau simbolik, serta nilai asesoris yaitu dalam konteks kehidupan sosio kultural.

Memang telah banyak contoh kalau kain tenun tradisional telah menjadi sebuah industri menjanjikan bagi masyarakat. Salah satu tambahan penelitian mengenai hal itu dilakukan oleh Sitorus (2000) yang mengkaji usaha kain tenun di masyarakat Toba. Hasil penelitiannya menunjukkan kalau golongan masyarakat lokal merupakan penggerak perekonomian daerah sekaligus sebagai penggerak transformasi sosial dalam komunitas lokal. Kultur agraris di Batak Toba telah mereproduksi mempengaruhi keluarga para pengusaha-pengusaha tersebut, dimana penganutan dan pengalaman etos kerja para petani Batak Toba seperti bekerja untuk pendidikan generasi penerus sehingga mencapai keberhasilan yang produktif, kekayaan dan kehormatan, telah berimplikasi negatif terhadap keberlangsungan usaha tenun Baliage di daerah itu. Bagaimana tidak, anak-anak yang telah mengenyam pendidikan tinggi tidak lagi berminat untuk menekuni dan menggantikan profesi orang tua mereka, sehingga suksesi kepemimpinan dalam perusahan keluarga mereka menjadi gagal.

Dari beberapa penelitian diatas dapat dikatakan kalau keberadan kain tenun tradisional telah memegang peranan penting untuk beberapa dimensi, seperti kepada tenaga kerja, industri itu sendiri, serta terhadap keberlangsungan

(3)

14

pariwisata di sebuah daerah yang perekonomiannya sedikit banyak tergantung dari produk pariwisata semacam kain tenun ini. Untuk menambah beberapa referensi penelitian tentang kain tenun kedepannya, maka penelitian kali ini juga membahas bagaimana potensi kain tenun tradisional ini terhadap pariwisata budaya yang sedang juga digiatkan oleh pemerintah.

2.2 Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini membahas beberapa pengertian yang berkaitan dengan penelitian. Hal itu sangat diperlukan untuk memaparkan dengan lebih jelas apa yang sedang dibicarakan, sehingga mempermudah dalam penyampaian makna yang diteliti untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik, terarah, dan lebih fokus. Terdapat empat konsep yang yaitu potensi, pengembangan daya tarik wisata, pariwisata budaya dan pariwisata berkelanjutan. Keempat konsep tersebut jugamemberikan informasi lebih detail tentang apa yang sedang dibedah dalam penelitian ini. Masing-masing konsep dipaparkan secara singkat sebagai berikut ini.

2.2.1 Potensi

Kata potensi menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau kekuatan atau kesanggupan atau daya. Kalau potensi dalam dunia pariwisata dapat dipaparkan oleh Gunn (1994:26), yang menyebut kalau suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil dapat secara optimal tercapai kalau sudah memenuhi 4 standar, yaitu mempertahankan kelestarian lingkungan, meningkatkan

(4)

15

kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, mampu menjamin kepuasan pengunjung, serta mampu meningkatkan keterpaduan dan unit pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangan.

Ditambahkan oleh Smith (1989:592) keberhasilan produk wisata juga sangat tergantung pada konsumen yang memberikan penilaian setelah sebelumnya terlibat di dalam produk tersebut. Sedangkan kalau produk wisata dari segi perencanaan dapat dilihat dari pendapat Coltman (1989:2) dalam bukunya, Tourism Marketting”, yang menyebut kalau perencaan tersebut merupakan perpaduan antara apa yang disebut sebagai tangible dan intangible yang menjadi satu komponen yang dikhususkan bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata untuk memperoleh kepuasan.

Dihubungkan dengan pengertian kata potensi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan pariwisata, berarti mengarah pada tersedianya sumber daya alam dan budaya yang mengandung nilai ekonomi bagi kelangsungan masyarakat. Itu juga berarti potensi yang dimiliki oleh daerah tentu saja memiliki keunggulan tersendiri baik dalam bidang potensi pariwisata alam, budaya, maupun potensi sektor lainnya. Maka sehubungan dengan penelitian ini, potensi yang dibicarakan adalah potensi kain Cepuk sebagai kain tenun tradisional, terutama yang diproduksi di Desa Tanglad Nusa Penida, sebagai sarana pengembangan pariwisata budaya yang diharapkan bisa membantu perekonomian masyarakat setempat dan kemakmuran bersama.

(5)

16

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan kalau potensi merupakan sesuatu hal yang dapat dikembangkan dan dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dalam hal ini potensi kain Tenun Cepuk adalah nilai yang dimiliki oleh kain Tenun jenis ini yang dapat diberdayakan dan dikembangkan sehingga dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat Nusa Penida, dan umumnya bagi pariwisata Bali dan Indonesia.

Sesungguhnya memang tidak bisa diragukan lagi kalau kain Tenun tradisional Indonesia memiliki potensi yang amat sangat besar. Kekayaan alam Indonesia telah menginspirasi beragam pengerajin terdahulu untuk mengembangkannya kedalam suatu produk budaya, baik itu dalam bentuk pahat, tari, musik, dan juga kain.

Kain Tenun endek yang sudah termasyur baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Bali, kain ini menjadi ciri seragam para pegawai Pemda yang bertujuan untuk melestarikan budaya bangsa. Tidak hanya itu, kain tenun endek ini juga diproduksi masal karena mampu dipadu padankan dengan busana lain untuk kegiatan formal dan informal. Fleksibilitas kain ini juga membuatnya semakin banyak diterima oleh masyarakat banyak.

Namun adalah kain batik yang, bisa dibilang, mampu menjangkau segmen pasar dunia dengan penggemar yang sangat luar. Di dalam negeri, kita bisa melihat kain ini digunakan oleh berbagai kalangan, baik itu dari masyarakat kelas bawah, pejabat, karyawan, sampai kalangan atas, bahkan presiden sendiri menggunakannya sebagai bahan pakaian formal untuk menjamu atau untuk mengahadiri acara kenegaraan. Sungguh tidak perlu disangsikan lagi potensi kain

(6)

17

tradisional bangsa kita dikancah internasional (Koran online kompas, antara news).

2.2.2 Pengembangan Daya Tarik Wisata

Pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna (Poerwadarminta, 2002). Pengertian tersebut ditambahkan oleh Bedudu (1994) yang mendefinisikan pengembangan sebagai hal, cara, atau hasil cara mengembangkan. Jadi berdasarkan kedua pengertian tersebut, pengembangan dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menjadikan ada dari yang tidak ada, lalu menjadikan yang telah ada tersebut menjadi lebih baik, kemudian meningkatkannya menjadi lebih baik lagi, dan proses tersebut berlanjut seterusnya.

Sehubungan dengan dunia pariwisata, menurut Yoeti (1996) dalam pengembangan objek parwisata terdapat tiga faktor yang sangat menentukan, yaitu 1) tersedianya objek dan daya tarik pariwisata, 2) adanya fasilitas dan aksesibilitas berupa sarana dan prasarana penunjang sehingga memungkinkan wisatawan mengunjungi suatu daerah atau kawasan wisata yang dimaksud, 3) tersedianya fasilitas amenities, yaitu fasilitas kepariwisataan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga faktor yang menjadi bagian pengembangan pariwisata tersebut tentu saja menjadi bagian dari manajemen yang menitik beratkan pada implementasi potensi daya tarik wisata yang harus dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu, dan tentu saja berupa langkah sistematis yang dapat mengarah pada pencapaian hasil nyata. Hasil yang diharapkan dengan

(7)

18

perencanaan pengembangan pariwisata secara spesifik ini adalah untuk mencapai sasaran dan tujuan dari rencana yang telah dimaksud sebelumnya.

Pendapat tersebut diatas senada dengan pendapat Sumarwoto (1997:120) yang menyebut kalau pengembangan pariwisata bertujuan untuk mengembangkan produk dan layanan yang berkualitas, seimbang, dan bertahap. Kemudian ditambahkan Paturusi (2001) kalau pendekatan perencanaan dalam pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, pengembangan merupakan bagian dari sebuah upaya untuk memajukan, memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kepariwisataan terhadap daya tarik wisata sehingga dapat dikunjungi wisatawan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, serta bagi masyarakat di daerah tersebut, dalam hal ini manfaat bagi masyarakat desa Tanglad, Nusa Penida.

2.2.3 Pariwisata Budaya

Definisi pariwisata budaya telah dikemukakan oleh Geriya (1996), sebagai suatu jenis kepariwisataan yang dikembangkan dengan bertumpu pada kebudayaan. Dalam kegiatan kepariwisataan terdapat sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatawan, antara lain: Kerajinan, Tradisi, Sejarah suatu tempat/daerah, Arsitektur, Makanan lokal/tradisional, Seni dan musik, Cara hidup suatu masyarakat, Agama, Bahasa, dan Pakaian lokal/tradisional (Shaw dan William, 1997).

(8)

19

Kesepuluh elemen tersebut tampaknya sudah relevan dengan rencana pengembangan pariwisata budaya yang sudah dan sedang dilaksanakan di Bali. Pariwisata budaya di Bali sendiri telah ditetapkan sebagai landasan pengembangan kepariwisataan yang tertuang dalam peraturan daerah nomor 3 tahun 1991, dimana dalam Bab 1 pasal 1 disebutkan kalau pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang didalamnya tersirat satu cita-cita adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara selaras, serasi, seimbang.

Masih dalam peraturan pemerintah yang dimaksud, pada pasal 3 disebutkan kalau tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, meningkatkan norma-norma, dan nilai-nilai kebudayaan agama dan alam bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah, dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan (Disparda Provinsi Bali, 2000). Memang dapat dilihat dari pengertian tersebut kalau kepariwisataan telah memberikan dampak yang baik untuk penyelamatan dan pelestarian warisan budaya kita (Ardika, 1999:6). Hal tersebut terlihat dari banyaknya pemesanan, sebagai contoh, barang-barang kerajinan khas Bali, sehingga para pengerajin terus menerus mempertahankan

(9)

20

peniruan terhadap bentuk khas tersebut, sehingga konsep pelestarian selalu terjaga.

Dilihat dari sudut pandang wisatawan, pariwisata budaya merupakan aktifitas yang memungkinkan wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat istiadat, tradisi religiusnya, dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam warisan budaya yang belum dikenalnya (Borley, 1996:181).

Dari beberapa penjelasan diatas terlihat adanya hubungan yang sangat terkait antara pariwisata dengan budaya dalam konsep pariwisata budaya. Keduanya terkait dengan saling membutuhkan da nada proses timbal balik satu sama lainnya sehingga keduanya dapat meningkat secara selaras, serasi dan seimbang (Ardika, 1999). Karena itu pariwisata dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, yang berarti industri pariwisata tidak cukup dilihat dari bentuk pembinaan dan pembangunan infrastruktur, tetapi juga menyentuh kehidupan sosial budaya dan adat istiadat masyarakatnya.

2.2.4 Pariwisata Berkelanjutan

Menurut lembaga pariwisata dunia PBB, UNWTO (2016), pariwisata berkelanjutan mengandung arti pariwisata yang sangat mempertimbangkan tingkat ekonomi, impak terhadap sosial dan budaya, mempertimbangkan keinginan wisatawan, industri, serta juga lingkungan dan komunitas pendukung baik dari waktu saat ini maupun di masa yang datang. Ditambahkan lagi kalau garis besar perkembangan dan pengaturan pariwisata berkelanjutan sangat mampu diaplikasikan kepada semua bentuk pariwisata, karena prinsip berkelanjutan yang

(10)

21

dimaksud mampu merangkul aspek lingkungan, ekonomi, dan sosio-budaya dari pariwisata itu sendiri. Selanjutnya keseimbangan harus dijaga terus menerus antara ketiga dimensi itu untuk memperoleh konsep berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama.

Memang harus disadari kalau pariwisata menjadi industri yang paling berkembang di dunia, dan menjadi tulang punggung pendapatan dari banyak Negara di seluruh dunia. Disamping itu pariwisata juga menyediakan banyak lahan pekerjaan bagi jutaan orang yang secara tidak langsung mampu merevitalisasi ekonomi lokal di sebuah Negara. Namun pariwisata juga memberikan efek buruk seperti kesenjangan sosial, hilangnya beberapa warisan budaya, ketergantungan ekonomi dan degradasi terhadap ekologi (Unesco, 2016). menurut Unesco juga banyak orang sedang mencari konsep bertanggung jawab untuk mengurangi efek buruk dari pesatnya perkembangan pariwisata dan sekaligus mencari bentuk luburan yang lebih bertanggung jawa. Maka lahirlah berbagai pariwisata alternatif semacam pariwisata budaya, ekowisata, dan pariwisata alam.

Dengan berbagai fenomena yang dijabarkan diatas terlihat pentingnya menjaga keberadaan dan potensi yang terkandung pada kain Tenun Cepuk ini agar tetap dapat dinikmati oleh generasi penerus masyarakat Nusa Penida, sekaligus dapat menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi pariwisata di pulau tersebut dan untuk masyarakat sekitarnya.

(11)

22 2.3 Landasan Teori

Terdapat tiga teori yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu teori pengembangan daya tarik wisata, teori perencanaan pariwisata, dan teori community based tourism.

2.3.1 Pengembangan Daya Tarik Wisata

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009, Daya Tarik Wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Menurut Spillane (1994. dalam Demartoto. 2008) ada lima unsur penting yang terlibat dalam suatu objek wisata yaitu:

1. Attraction atau hal – hal yang menarik perhatian wisatawan. Segala hal yang menarik tersebut dijelaskan pada bagian selanjutnya.

2. Facilities atau fasilitas - fasilitas yang diperlukan. Fasilitas yang dimaksud bisa berupa tempat parkir ataupun toilet umum yang memudahkan wisatawan dalam kunjungan mereka.

3. Infrastructure atau infrastruktur dari objek wisata yang bisa berupa akses jalan menuju daerah atau objek wisata.

4. Transportation atau jasa pengangkutan termasuk didalamnya bis antar kota, becak, delman, mobil pariwisata, maupun angkot.

(12)

23

5. Hospitality atau keramahtamahan. Salah satu faktor yang membuat para wisatawan nyaman dalam berkunjung disebuah tempat wisata adalah karena keramahan pemilik rumah, dalam hal ini warga sekitar, dalam menyambut mereka.

Adapun jenis-jenis daya tarik wisata menurut Pemerintahan di bagi menjadi tiga macam, yaitu :

a) Daya Tarik Wisata Alam

Daya Tarik Wisata Alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alami maupun setelah ada usaha budi daya. Potensi wisata alam termasuk didalamnya Flora fauna; keunikan dan kekhasan ekosistem, misalnya eksistem pantai dan ekosistem hutan bakau; Gejala alam, misalnya kawah, sumber air panas, air terjun dan danau; Budidaya sumber daya alam, misalnya sawah, perkebunan, peternakan, usaha perikanan.

b) Daya Tarik Wisata Sosial Budaya

Daya Tarik Wisata Sosial Budaya seperti museum, situs peninggalan sejarah, upacara adat, seni pertunjukan dan kerajinan yang semuanya itu dapat dikembangkan menjadi objek wisata.

c) Daya Tarik Wisata Minat Khusus

Ini adalah jenis daya tarik wisata yang baru dikembangkan di Indonesia. Wisata ini lebih diperuntukkan bagi para wisatawan yang mempunyai motivasi khusus. Maka dari itu para wisatawan yang memiliki daya tarik wisata khusus ini

(13)

24

biasanya harus memiliki keahlian tertentu seperti misalnya wisata berburu, mendaki gunung, arung jeram, pengobatan, dan agrowisata.

Perencanaan dan pengelolaan ketiga daya tarik wisata tersebut diharapkan berdasarkan pada kebijakan rencana pembangunan nasional maupun regional. Dan tentu saja setiap kegitan seperti itu selalau diawali dengan perencanaan matang dari tim perencana dan pengembang untuk menyusun rencana kebijakan yang sesuai dengan area yang bersangkutan.

Dalam hal pengembangan daya tarik wisata tersebut, Ismayanti (2009: 147) memaparkan bahwa daya tarik wisata merupakan fokus utama penggerak pariwisata di sebuah destinasi. Dalam arti, daya tarik wisata sebagai penggerak utama yang memotivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat. Potensi daya tarik wisata memiliki beberapa tujuan diantaranya; (a) memperoleh keuntungan baik dari segi ekonomi berupa devisa negara dan pertumbuhan ekonomi serta dari segi sosial berupa peningkatan kesejahteraan rakyat dan menghapuskan kemiskinan, b) menghapuskan kemiskinan dengan pembukaan lapangan pekerjaan dan mengatasi pengangguran, (c) memenuhi kebutuhan rekreasi masyarakat, sekaligus mengangkat citra bangsa dan memperkukuh jati diri bangsa, memupuk rasa cinta tanah air melalui pengusahaan daya tarik dalam negeri, (d) melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya, sekaligus memajukan kebudayaan melalui pemasaran pariwisata, (e) mempererat persahabatan antar bangsa dengan memahami nilai agama, adat istiadat dan kehidupan masyarakat.

(14)

25 1.3.2 Teori Perencanaan Pariwisata

Perencanaan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum melaksanakan kegiatan. Dalam hal ini Murphy (dalam Andriotis. 2000) menyebutkan kalau perencanaan berhubungan dengan antisipasi dan pengaturan terhadap perubahan yang terjadi dalam sebuah sistem kegiatan untuk meningkatkan keuntungan dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam hal ini peran perencanaan adalah menyusun runtutan dari beberapa kegiatan yang dibuat untuk mencapai sebuah atau menyeimbangkan beberapa tujuan.

Pentingnya perencanaan tersebut juga diaplikasikan dalam dunia pariwisata. Ditambahkan Andriotis, tujuan perencanaan pariwisata adalah untuk memastikan menambah pendapatan dan lapangan pekerjaan, serta untuk memastikan konservasi sumberdaya dan kepuasan pengunjung. Namun sering kali perencanaan pariwisata yang telah dibuat mengalami kendala baik karena kurang matangnya segi perencanaan maupun faktor lainnya. Maka dari itu perencanaan terus-menerus berevolusi sampai menemukan titik perencanaan yang mampu memenuhi tujuan yang dimaksud.

Berikut adalah lima tahapan evolusi perencanaan pariwisata menurut Tosun dan Jenkins (1998) yang dikutip oleh Andriotis (2000):

1. Unplanned tourism development era: dalam tahapan ini perencanaan pariwisata disebut sebagai kegiatan yang kurang terencana dan kerap disebut perencanaan “tidak biasa, tidak popular dan ide yang tidak diinginkan”.

(15)

26

2. Beginning of partly supply-oriented tourism planning stage: tahapan ini diberi karakteristik dengan adakalanya pembangunan infrastruktur dasar seperti hotel, restoran, transportasi, dan lainnya

3. Entirely supply-oriented tourism planning stage: dalam tahapan ini perencanaan diarahkan pada pembentukan fasilitas untuk memuaskan peningkatan wisatawan meskipun tidak menghiraukan permasalahan yang ditimbulkan.

4. Market or demand-oriented tourism development planning stage: Dalam tahapan ini perencanaan pariwisata fokus pada jumlah wisatawan dalam jumlah besar dan bagaimana cara memuaskan mereka

5. Contemporary planning approach stage: tahapan ini terjadi akibat peningkatan jumlah kedatangan wisatawan dan pendekatan perencanaan yang kurang baik, serta permasalahan lingkungan, sosio-budaya dan ekonomi yang timbul sehingga menarik perhatian para pengembang dan perencana.

Namun perlu disadari juga kalau perencanaan pariwisata yang dibuat harus juga mampu membuat konsep pariwisata menjadi berkelanjutan, yang mampu menyeimbangkan aspek pembangunan ekonomi, sosial dan budaya tanpa harus membahayakan lingkungan. Singkatnya, pembangunan pariwisata yang sama tinggi dengan keseimbangan lingkungan.

(16)

27

Menurut Angelevska-Najdeska dan Rakicevik (2012), konsep perkembangan berkelanjutan adalah berdasarkan empat prinsip dasar, yaitu:

1. Prinsip Ketahanan Lingkungan, adalah ketahanan yang melibatkan perawatan dalam bidang proses vital ekologi dan sumber daya serta keberagaman biologis.

2. Prinsip Ketahanan Sosial, adalah ketahanan yang berhubungan dengan nilai-nilai tradisional sebuah komunitas sambil meningkatkan identitas mereka. 3. Prinsip Ketahanan, yang berhubungan dengan perkembangan budaya yang

berhubungan dengan komunitas manusia, yang juga memiliki impak pada penguatas identitas mereka.

4. Prinsip Ketahanan Ekonomi yang mampu menyediakan pengeluaran dan sumber daya yang efektif yang mampu diatur agar bisa digunakan oleh generasi penerus nanti.

Sejatinya perencanaan pariwisata berkelanjutan dibuat untuk melestarikan lingkungan. Perencanaan tersebut dibuat untuk menangkal segala aktivitas pariwisata berlebihan yang menggunakan sumber daya secara intensif dan berlebihan disebuah tempat tanpa adanya upaya pelestarian sebelumnya. Perencanaan dan upaya pelestarian bisa di analisis melalui dua aspek, yaitu segala hal yang menyangkut komunitas lokal dan segala konsep yang menyangkut kualitas pariwisata (Maga, 2003. dalam Angelevska-Najdeska dan Rakicevik, 2012).

(17)

28

Dijelaskan lebih lanjut oleh Maga kalau aspek pertama adalah upaya untuk melibatkan komunitas lokal dalam proses perencanaan dan pembangunan pariwisata, terutama kalau pengembangan aspek pariwisata yang dimaksud memberikan keuntungan kepada masyarakat dimana komunitas pariwisata itu terjadi. Kalau aspek itu dipenuhi, maka pendekatan perencanaan yang diambil harus dilakukan di daerah setempat (lokal). Yang kedua adalah mengenai kualitas pariwisata, dimana suksesnya pengembangan pariwisata ditinjau dari aspek pemasaran, dan juga mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat dan lingkungan. Perlu diingat juga kalau pariwisata yang berkualitas tidak serta merta berarti pariwisata yang mahal, melainkan tingkah laku yang baik terhadap nilai uang, menjaga sumber daya pariwisata, dan juga hormat pada lingkungan setempat.

1.3.3 Teori Community Based Tourism

Community Based Tourism (CBT) adalah pariwisata berbasis kemasyarakatan. Pembangunan berbasis kemasyarakatan tidak hanya bisa diaplikasikan untuk pembangunan bidang pariwisata saja, namun sudah merambah bidang lainnya seperti pembangunan Negara sekalipun. Konsep pembangunan berbasis masyarakat ini memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan masyarakat dan elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dalam bidang pariwisata, Community Based Tourism (CBT) diharapkan mampu melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pemberdayaan pengembangan pariwisata, dengan mengelola budaya lokal, baik itu faktor alam, kuliner, kerajinan, maupun sosial budaya yang bisa dikemas secara mandiri oleh

(18)

29

masyarakat. Diharapkan CBT dapat menjadi pengalaman tersendiri bagi wisatawan karena bisa terlibat langsung dengan masyarakat setempat.

Menurut Suansri (2003, dalam Utomo, 2012) ada beberapa prinsip dari Community Based Tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut: 1) mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam pariwisata, 2) melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya, 3) mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan, 4) meningkatkan kualitas kehidupan, 5) menjamin keberlanjutan lingkungan, 6) melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal, 7) mengembangkan pembelajaran lintas budaya, 8) menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia, 9) mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional kepada anggota masyarakat, 10) memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat, dan 11) menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas sudah jelas memang kalau CBT sangat berbeda dengan pengembangan pariwisata lainnya yang terkadang hanya fokus pada pembangunan infrastuktur atau hal-hal fisik yang ada dalam elemen pariwisata. Namun CBT lebih menekankan pada aspek pelaku, dalam hal ini masyarakat, dan memberdayakan potensi lokal yang dimiliki oleh mereka, sekaligus menjadikan mereka sebagai pelaku utama yang langsung memberdayakan apapun potensi lokal yang mereka miliki.

(19)

30

Ditambahkan Utomo (2012), dalam pembangunan Community Based Tourism ada 5 aspek yang harus diberdayakan, yakni : 1) aset sosial yang dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti: budaya, adat-istiadat, hubungan sosial, dan juga gaya hidup; 2) sarana dan prasarana, yaitu bagaimana sarana dan prasaran objek wisata tersebut apakah sudah ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan; 3) organisasi, yaitu apakah telah ada organisasi masyarakat yang mampu secara mandiri mengelola objek dan daya tarik wisata tersebut; 4) aktivitas ekonomi, yaitu bagaimanakah aktivitas ekonomi dalam rantai ekonomi pariwisata di komunitas tersebut, apakah secara empiris telah memberikan keuntungan ekonomi yang terdistribusi di antara penduduk lokal, ataukah manfaat tersebut masih dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu; 5) proses pembelajaran, yang merupakan satu hal yang tak kalah pentingnya dari komunitas tersebut dalam mewujudkan objek dan daya tarik wisata.

1.4 Model Penelitian

Model penelitian dibawah ini menggambarkan keterkaitan erat antara kegiatan menenun dengan pariwisata. Kain tenun Cepuk produksi desa Tanglad Nusa Penida layak untuk dikembangkan sebagai atraksi budaya, sebagai penyedia (supply), dan pariwisata sendiri adalah sebagai bagian yang membutuhkan (demand). Kegiatan saling membutuhkan tersebut diharapkan dapat menimbulkan rasa kekeluargaan, kebersamaan, serta persatuan.

Peran serta para stakeholder dalam hal ini pelaku pariwisata dan pemerintah agar dapat mempromosikan kepada wisatawan, sehingga kain tenun Tradisional Cepuk Tanglad Nusa Penida semakin dikenal oleh mereka yang

(20)

31

berkunjung, maupun para calon wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Diharapkan juga agar salah satu pilihan atraksi budaya ini dapat dikemas dengan baik agar menjadi pengalaman baru yang belum ada sebelumnya. Adapun kegiatan menenun ini bisa juga dijadikan bahan pembanding di daerah-daerah lain yang pernah dikunjungi, dengan Bali sebagai ikon pariwisata budaya yang kerap memiliki potensi-potensi yang dapat terus dikembangkan kedepannya.

Model penelitian ini merupakan gambaran dari peneliti yang berfungsi agar memudahkan menjelaskan alur, mekanisme, dan tujuan, serta pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini, yang semuanya digambarkan dalam bentuk bagan. Model penelitian potensi tenun tradisional cepuk Tanglad Nusa Penida sebagai sarana pengembangan pariwisata budaya dapat dikembangkan dengan tidak terlepas dari peran serta beberapa pihak, termasuk didalamnya pemerintah, masyarakat, stakeholder, dan juga wisatawan, sehingga tenun tradisional Cepuk bisa direkomendasikan menjadi sarana pengembangan pariwisata budaya di Nusa Penida

(21)
(22)

32

Potensi Tenun Tradisional Cepuk Sebagai Sarana Pengembangan Pariwisata Budaya di Nusa Penida

Masalah:

1. Faktor Penunjang Penghambat. 2. Strategi Pengembangan. 3. Program Pengembangan. SWOT Teori: 1. Pengembangan Daya Tarik Wisata. 2. Perencanaan Pariwisata. 3. Community Based Tourism. Strategi SO Pengembangan Daya Tarik dan Lingkungan Strategi ST Pengembangan Pariwisata Budaya Berkelanjutan Strategi WO Pengembangan Promosi Strategi WT Pengembangan SDM

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Pelanggan menginformasikan apa yang ingin dilakukan atau menyampaikan keluhannya kepada staf administrasi, lalu staf administrasi menerima informasi keluhan atau apa

Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program antara lain: (1) kebijakan pengelolaan limbah industri komponen alat berat (PLIKAB) sebagai landasan

Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan pemilihan arah 0 o dan arah rotasi pada korelasi linier sirkular dan regresi linier sirkular dapat dilakukan secara

Pada tahapan ini dalam proses pengumpulan data yang dikerjakan pada saat penelitian di lapangan terhadap penggunaan telepon genggam android untuk di jadikan

Berikut hasil rekapitulasi kuisioner tertutup kepentingan atribut untuk Kipas angin KAD-927 PL dapat dilihat pada tabel 4.5.. Tabel 4.5 Rekapitulasi Kuesioner

Pada penelitian ini digunakan metode kuantitatif, dengan penggunaan data sekunder berupa data Citra MODIS surface reflectance bulan April tahun 2008, 8-harian

Mereka juga mengemukakan bahwa pendekatan asli terhadap konsep keselarasan adalah bahwa kehilangan hara dapat diminimumkan dengan pencocokan pola ketersediaan hara dengan

Peningkatan daya tertinggi terjadi pada rpm 5000, yaitu sebesar 0.4 Hp dari yang awalnya 5.2 Hp saat menggunakan valve head tulip menjadi 5.6 Hp saat menggunakan valve