• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera 2.1.1 Taksonomi

Di dalam ilmu biologi, suatu jenis hewan atau tumbuhan dapat diklasifikasikan kedalam satu golongan tertentu. Pengelompokkan tersebut antara lain didasarkan atas persamaan bagian tubuh yang dimiliki kelompok hewan tersebut, dari yang bersifat umum menuju pada kesamaan yang lebih khusus. Ilmu mengenai pengelompokkan ini disebut taksonomi. Sistem klasifikasi yang digunakan saat ini merupakan sebuah perkembangan dari sistem pengelompokan yang diusulkan seorang ahli biologi terkemuka, Carl Linneaus, pada abad ke-18. Secara global, hanya dikenal satu spesies harimau, yaitu Panthera tigris, namun spesies ini dipisahkan menjadi sembilan subspesies yang berbeda, yang dikelompokkan atas dasar perbedaan morfologi, genetik, biogeografi, serta ekologinya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Tiga dari sembilan subspesies harimau tersebut telah dinyatakan punah.

Harimau sumatera merupakan salah satu dari enam subspesies harimau yang masih ada di dunia hingga saat ini. Menurut Wozencraft (1993), klasifikasi taksonominya di masukkan kedalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Carnivora, family Felidae, genus Panthera, dan spesies Panthera tigris (Linnaeus, 1758), serta subspesies Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929).

Selain harimau sumatera yang menghuni belantara di Pulau Sumatera, ada lima subspesies harimau lainnya yang masih tersisa di dunia yakni:

a. Harimau siberia (Panthera tigris altaica Temminck, 1844) yang mendiami wilayah timur jauh Rusia;

b. Harimau bengal (Panthera tigris tigris Linnaeus, 1758) yang hidup di wilayah-wilayah India, Bhutan, Nepal dan Bangladesh;

(2)

12

c. Harimau indocina (Panthera tigris corbetti Mazak, 1968) yang berada di wilayah Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja dan Myanmar;

d. Harimau cina selatan (Panthera tigris amoyensis Hilzheimer, 1905) yang diperkirakan mendiami kawasan pegunungan di Cina bagian selatan, meskipun belum ada bukti baru tentang keberadaannya di habitat alaminya;

e. Harimau malaya (Panthera tigris jacksoni Luo et al., 2004) yang berhabitat di semenanjung Malaysia.

Tiga subspesies harimau yang telah dinyatakan punah adalah sebagai berikut:

a. Harimau bali (Panthera tigris balica Schwarz, 1912) yang hanya pernah ada di Pulau Bali, yang dipercaya terakhir kali ditemukan terbunuh pada tahun 1937;

b. Harimau kaspia (Panthera tigris virgata Illiger, 1815) yang pernah hidup di wilayah-wilayah Afghanistan, Iran, Turki, Mongolia, dan kawasan Asia Tengah di Rusia. Subspesies harimau ini punah pada tahun 1950-an;

c. Harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) yang sebelumnya pernah mendiami hutan belantara Pulau Jawa dan diyakini terakhir kali terlihat pada tahun 1972.

2.1.2 Morfologi

Semua subspesies harimau secara umum memiliki ciri morfologi yang hampir sama. Menurut Kitchener (1999), untuk membedakan antar subspesies harimau dapat dilihat dari perbedaan ukuran tubuh, pola loreng, warna dasar tubuh, serta karakter tulang tengkoraknya. Harimau sumatera merupakan subspesies yang ukuran tubuhnya paling kecil di antara harimau yang masih ada saat ini, dengan tinggi pundak hanya sekitar 75 cm, sehingga sangat cocok untuk hidup di dalam hutan. Variasi ukuran panjang tubuh jantan dewasa dari kepala hingga ekor antara 220-255 cm dengan kisaran berat antara 100-140 kg. Betina dewasa memiliki variasi ukuran panjang antara 215-230 cm, dengan kisaran berat 75-110 kg (Mazak 1981). Namun,

(3)

13

Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa harimau sumatera jantan dewasa yang pernah ditangkap dalam penelitiannya di Provinsi Jambi beratnya mencapai 150 kg. Kisaran panjang ekor harimau antara 90-120 cm, sedangkan ukuran telapak kakinya berbeda-beda sesuai dengan umur. Sebagai pembanding, harimau siberia yang merupakan subspesies harimau terbesar di dunia memiliki kisaran berat tubuh antara 180-306 kg (jantan) dan 100-167 kg (betina) (Mazak 1981).

Pola loreng dan warna dasar tubuh harimau juga berbeda-beda. Warna dasar tubuh harimau sumatera paling gelap dibandingkan subspecies harimau lainnya. Rambut pada bagian atas tubuhnya memiliki gradasi warna dari kuning tua atau jingga hingga coklat kemerahan, dengan dihiasi pola loreng-loreng hitam yang rapat sehingga kadang-kadang terlihat seperti double. Pola loreng hitam pada harimau dapat dijadikan penanda individu seperti halnya sidik jari pada manusia, karena pola loreng tersebut berbeda antara satu individu harimau dengan individu lainnya (ITWS 2005). Bahkan, menurut Franklin et al. (1999), pola loreng pada sisi kiri dan sisi kanan badan seekor harimau juga berbeda (Gambar 2).

Gambar 2. Harimau sumatera betina individu yang sama menunjukkan pola loreng yang berlainan di kedua sisi tubuhnya. Foto didapat ketika melakukan observasi lapangan di kawasan hutan Ulu Masen, Januari 2010 (Dok: Dolly Priatna/PHKA/ZSL).

Seperti kucing pada umumnya, cakar harimau dapat dikeluar-masukkan (retractable) ke dalam kantung cakar. Harimau menggunakan cakarnya untuk

(4)

14

mencengkeram hewan mangsanya ketika berburu dan mencakar pohon sebagai penanda daerah teritorialnya. Mata harimau mempunyai pupil bulat dengan selaput pelangi berwarna kuning. Selain itu, kumis pada harimau sumatera juga lebih panjang dibandingkan dengan kumis harimau subspesies lainnya. Kumis pada harimau berfungsi sebagai sensor ketika berada di dalam gelap atau semak-semak yang rapat (Phoenixzoo 2011).

2.1.3 Perilaku

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang berasal dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, perlindungan, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 1990). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978 diacu dalam Alikodra 1990).

Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, mendeteksi adanya bahaya, serta menghindar atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial seperti ini timbul akibat adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, daerah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial. Sistem hierarki dan teritorialisme ini kemudian mengendalikan perilaku agresif intraspesifik secara terbatas, yang memungkinkan terbentuk dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984).

2.1.3.1 Perilaku Makan dan Berburu

Secara umum, hewan mangsa yang menjadi pakan harimau adalah babi hutan, sapi liar (gaur) serta berbagai spesies hewan dari golongan ungulata.

(5)

15

Semua hewan mangsa tersebut merupakan hewan-hewan yang hidup di dalam hutan dan padang rumput, yang kisaran beratnya antara 30-900 kg. Biasanya, harimau liar memakan hewan buruannya yang masih segar, dan mereka mampu memakan sekitar 18 kg daging pada satu waktu. Setelah mengkonsumsi daging sebanyak itu, biasanya harimau tidak akan makan lagi selama beberapa hari (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Pendapat lain (Wibisono 2006) menyatakan bahwa harimau mengkonsumsi daging antara 5-6 kg setiap hari, yang sebagian besar (sekitar 75%) berasal dari hewan-hewan mangsa golongan ungulata seperti rusa (Sunquist et al. 1999). Sebagai satwa predator terbesar di hutan Sumatera, harimau memangsa hewan dari famili Cervidae dan Suidae sebagai pakan utamanya (Seidensticker 1986), seperti rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) dan babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis hewan lain yang lebih kecil sebagai alternatif, seperti kancil (Tragulus javanicus Osbeck, 1765) atau napu (T. napu F. Cuvier, 1822), beruk (Macaca nemestrina Linnaeus, 1766), landak (Hystrix brachyura Linnaeus, 1758), trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822), beruang madu (Helarctos malayanus Horsfield, 1825), dan kuau raja (Argusianus argus Linnaeus, 1766). Namun, ada kecenderungan bahwa harimau lebih menyukai hewan mangsa bertubuh besar (Bagchi et al. 2003).

Harimau adalah pemburu penyergap. Mereka akan mengintai mangsanya, mendekati sedekat mungkin, dan kemudian menyergap hewan mangsanya dari belakang. Mereka biasanya menggigit leher atau tenggorokan untuk merobohkan hewan mangsanya. Gigitan pada leher dapat memutuskan saraf tulang belakang, yang biasanya digunakan dalam merobohkan hewan mangsa berukuran kecil atau sedang. Sedangkan gigitan pada tenggorokan akan menyebabkan sesak napas, dan digunakan saat menangkap hewan mangsa yang lebih besar. Setelah terbunuh, hewan mangsa tersebut biasanya akan disimpan di tempat yang aman, kemudian hewan hasil buruan tersebut

(6)

16

akan dikonsumsi selama beberapa hari tergantung pada ukuran hewan mangsanya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Harimau bengal (P. t. tigris) di Nepal berburu mangsa setiap 5-6 hari sekali. Setelah memperoleh hewan buruan, mereka akan tetap berada di sekitar hasil buruannya selama 1-4 hari. Setelah itu, mereka akan meninggalkan sisa hasil buruannya untuk kembali berburu hewan mangsa lainnya (Seidensticker 1986). Di India, harimau bengal diperkirakan memangsa sekitar 50 ekor hewan ungulata dalam setiap tahunnya (Karanth et al. 2004). Seekor harimau betina membutuhkan antara 5-6 kg daging segar setiap hari (Sunquist 1981). Mereka dapat menangkap kijang yang beratnya sekitar 20 kg setiap tiga hari, atau seekor rusa yang beratnya 200 kg setiap beberapa minggu (Sunquist et al. 1999).

Berdasarkan penelitian di Malaysia, kebutuhan makan harimau indocina (P. t. corbetti) betina berkisar antara 1.613-2.041 kg per tahun, sedangkan jantan berkisar antara 1.936-2.448 kg (Kawanishi & Sunquist 2004).

2.1.3.2 Perilaku Sosial

Harimau dewasa adalah hewan penyendiri (soliter) yang membangun daerah jelajahnya sendiri di areal dimana terdapat mangsa yang cukup, kawasan tempat berlindung (cover), serta tersedianya air untuk mendukung kehidupannya. Kesulitan dalam pencarian hewan mangsa di habitatnya, telah menjadikan harimau lebih efisien untuk berburu secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, harimau cenderung untuk tidak membentuk kelompok sosial seperti pada singa. Kelompok sosial pada harimau hanya terjadi pada seekor harimau betina dewasa dengan anak-anaknya, dan kelompok keluarga ini akan bertahan selama 2-3 tahun, sampai anak-anak harimau tersebut mampu untuk hidup mandiri (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

2.1.3.3 Perilaku Penguasaan Wilayah

Perilaku penguasaan wilayah pada satu lansekap juga dilakukan oleh harimau seperti halnya terjadi pada satwa karnivora lainnya. Baik harimau

(7)

17

jantan maupun betina akan menujukkan perilaku penguasaan wilayahnya dengan cara menyemprotkan air seni (urin) yang bercampur dengan aroma bau (scent) yang diproduksi oleh kelenjar sekresi, pada pohon atau belukar di sepanjang rute penjelajahannya. Hal ini dilakukan oleh seekor harimau sebagai cara mendeklarasikan wilayah teritorialnya terhadap individu harimau lainnya. Selain itu, harimau juga meninggalkan tanda bekas cakaran (scratch) pada pohon serta kotoran (feces) pada tempat-tempat yang mudah terlihat sebagai penanda wilayahnya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Smith et al. (1989) dan Sriyanto (2003) berpendapat bahwa perilaku penandaan wilayah pada harimau berkaitan dengan perilaku defekasi (membuang kotoran) yang biasanya diikuti dengan urinasi (kencing).

Penguasaan wilayah yang dilakukan oleh harimau tidak eksklusif, yang mana beberapa individu harimau mungkin saja menggunakan jalur yang sama namun pada waktu yang berbeda. Menurut Karanth (1995) wilayah teritorial seekor harimau jantan dapat mengalami tumpang-tindih (overlap) dengan dua sampai empat individu betina. Wilayah teritorial harimau jantan jarang tumpang-tindih, namun kadang-kadang ada harimau jantan muda pelintas (transient) atau jantan yang kalah bersaing melintas di dalam wilayah satu harimau jantan dalam rangka pencarian wilayah baru yang akan dijadikan daerah jelajah tetapnya.

2.1.3.4 Perilaku Kawin dan Berkembang Biak

Di kebun binatang, baik harimau jantan maupun betina dapat hidup hingga usia 20-an tahun. Kematangan seksual pada harimau betina tercapai ketika mereka berumur sekitar 3-4 tahun, sedangkan jantan sekitar usia 4-5 tahun (Nowak 1991). Harimau betina dapat melahirkan anak hingga umur sekitar 15 tahun. Di daerah yang beriklim sedang (temperate), estrus pada harimau betina terjadi secara bermusim. Di daerah beriklim tropis, estrus pada harimau betina terjadi sepanjang tahun kecuali ketika mereka sedang hamil atau membesarkan anak. Harimau betina akan memberikan signal kesiapannya untuk kawin dengan cara meninggalkan tanda-tanda aroma bau

(8)

18

(scent) serta suara auman. Selanjutnya, kopulasi-kopulasi singkat antara harimau jantan dan betina terjadi terus-menerus selama jangka waktu sekitar lima hari. Harimau termasuk satwa ovulator yang terinduksi (induced ovulator) sehingga harus dirangsang melalui kopulasi yang sering agar terjadi kehamilan (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Periode kehamilan harimau betina adalah sekitar 103 hari. Harimau jantan tidak tinggal dengan betina setelah perkawinan. Individu jantan juga tidak berpartisipasi dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Jumlah anak harimau pada setiap kelahiran biasanya 2-3 ekor, namun seekor anak umumnya mati sesaat setelah dilahirkan. Anak-anak harimau dilahirkan dalam keadaan buta dengan berat tubuh antara 0,7-1,0 kg, tergantung pada subspesies harimau (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

Anak-anak menyusu pada induk harimau selama 6-8 minggu, kemudian setelah masa itu induk harimau akan mengajak anak-anak untuk makan hewan buruan bersama-sama. Anak-anak harimau akan mulai belajar berburu hewan mangsa sendiri pada usia sekitar 18 bulan. Setelah kawin dan melahirkan anak-anaknya, harimau betina tidak akan mengalami estrus lagi, hingga anak-anaknya berumur antara 1,5-3 tahun, dimana pada usia tersebut anak-anaknya telah memiliki keterampilan yang cukup untuk memulai hidup sendiri. Harimau betina muda cenderung untuk membangun daerah jelajahnya yang berdekatan dengan wilayah induknya (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007).

2.1.4 Distribusi

Hingga awal tahun 1900-an, rentang wilayah penyebaran harimau (Panthera tigris) dunia mencakup 70 derajat pada garis lintang dan 100 derajat pada garis bujur, serta tersebar di 30 negara yang dikenal saat ini yaitu mulai dari Turki dan Armenia di wilayah barat daratan Asia hingga ke Indonesia, kemudian ke timur jauh Rusia, serta hingga ke ujung selatan India (Sanderson et al. 2006). Namun, Dinerstein et al. (2006) dan Sanderson et al. (2006) memperkirakan bahwa wilayah penyebaran harimau dunia yang

(9)

19

tersisa saat ini hanya tinggal sebesar 7% dari total luas berdasarkan sejarah penyebaran geografisnya (Gambar 3).

Gambar 3. Peta sejarah distribusi harimau (cokelat muda) dan wilayah pe-nyebaran saat ini (hijau) di seluruh dunia (Dok: STF).

Pada awal abad ke-19, harimau sumatera (P. t. sumatrae) juga penyebarannya masih ditemukan hampir di seluruh kawasan berhutan di sepanjang Pulau Sumatera, terutama di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Namun, daerah penyebaran harimau sumatera saat ini terbatas pada fragmen-fragmen hutan yang kebanyakan ukurannya kecil serta terpisah antara satu dengan lainnya. Pada kawasan-kawasan tersebut harimau sumatera menyebar pada ketinggian 0-2.000 meter dari permukaan laut (dpl) (O‟Brien et al. 2003), tetapi kadang-kadang ditemukan juga pada ketinggian lebih dari 2.400 meter dpl (Linkie et al. 2003). Menurut Griffiths (1994), hutan dataran rendah (ketinggian < 600 m dpl) dapat mendukung populasi harimau dua kali lebih besar dari pada dataran tinggi. Di Sumatera, terbukti bahwa kelimpahan harimau berkurang seiring dengan naiknya elevasi

(10)

20

kawasan dari permukaan laut (Linkie et al. 2006, Wibisono 2006, Wibisono et al. 2009).

Penyebaran suatu spesies pada suatu wilayah dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya sejarah evolusi spesies, perubahan geografis, interaksi antar spesies dan respon lingkungan, serta dampak aktivitas manusia pada suatu wilayah (Jarvis 2000). Namun, penyebaran harimau sumatera saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia, terutama seperti kegiatan konversi kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, pemukiman, serta kegiatan pembangunan infrastuktur lainnya (Soehartono et al. 2007). Smirnov & Miquelle (1999) menyatakan bahwa penyebaran dan kepadatan hewan mangsa juga merupakan faktor yang turut mempengaruhi penyebaran harimau pada suatu wilayah.

Keberadaan harimau sumatera di alam belum seutuhnya diketahui dengan akurat. Perpaduan antara kajian-kajian sebelumnya (Faust & Tilson 1994, Seal et al. 1994, Sanderson et al. 2006) dengan beberapa hasil survey terkini, memprediksi bahwa saat ini harimau sumatera setidaknya tersebar di 19 fragmen kawasan konservasi dan kawasan-kawasan hutan lainnya, yang letaknya masing-masing terpisah satu sama lain (Soehartono et al. 2007). Namun, analisis yang dilakukan Wibisono & Pusparini (2010) menyebutkan bahwa harimau sumatera terbukti masih ditemukan pada 27 fragmen habitat yang ukurannya lebih dari 250 km2 (Gambar 4).

2.1.5 Populasi

Sekitar satu abad lalu, di dunia masih terdapat sekitar 100.000 ekor harimau yang berkeliaran pada berbagai habitat di wilayah sejarah penyebarannya (GTI 2010). Jumlah populasi harimau saat ini terus menurun seiring dengan berkurangnya luas habitat harimau dunia yang mencapai 93% (Dinerstein et al. 2006, Sanderson et al. 2006). Penurunan tersebut terutama diakibatkan oleh perdagangan ilegal bagian tubuh harimau untuk obat-obatan tradisional, penangkapan atas harimau-harimau yang berkonflik (Tilson et al. 1994, Sunquist et al. 1999), berkurangnya hewan mangsa (Seidensticker

(11)

21

1986, Karanth & Stith 1999), serta hilangnya habitat alami (Dinerstein et al. 2006). Jumlah populasi harimau di dunia saat ini diperkirakan hanya tinggal sekitar 3.000-3.500 ekor yang hidup pada habitat alaminya (Sanderson et al. 2006, Morrel 2007, GTI 2010).

Gambar 4. Peta distribusi harimau di Pulau Sumatera pada lima tahun ter-akhir (Wibisono & Pusparini 2010).

Borner (1978) pernah memperkirakan bahwa jumlah populasi harimau sumatera ketika itu sekitar 1.000 ekor. Kemudian pada tahun 1985 perkiraan tersebut menurun menjadi 800 ekor harimau yang hidup di 26 kawasan konservasi dan hutan lindung lainnya (Santiapillai & Ramono 1987). Penilaian status distribusi dan populasi yang dilakukan tahun 1992 lalu, menunjukkan bahwa populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal sekitar 500 individu (Tilson et al. 1994). Melihat pada semakin

(12)

22

tingginya ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau saat ini, para ilmuwan dan pakar konservasi percaya bahwa jumlah harimau sumatera di alam telah mengalami penurunan yang drastis dalam beberapa dekade terakhir (Wibisono & Pusparini 2010). Bahkan diyakini jumlah harimau sumatera di alam saat ini hanya tinggal sekitar 300 ekor (Soehartono et al. 2007).

Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik, serta faktor-faktor lingkungan (Noss et al. 1996). Selain itu, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian anak, tingginya tingkat ancaman, serta rendahnya populasi hewan mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi satu spesies di alam (Alikodra 1990). Menurut Karanth et al. (2002), secara alamiah populasi harimau di alam tergolong rendah. Di hutan daratan rendah Sumatera kepadatan populasi harimau berkisar antara 1-3 ekor/100 km2, sedangkan di hutan dataran tinggi atau pegunungan kepadatan populasinya sekitar 1 ekor/100 km2 (Santiapillai & Ramono 1993). Jenis-jenis hewan mangsa yang mendukung penyebaran populasi harimau sumatera diantaranya adalah rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil atau napu serta beruk (Franklin et al. 1999, O‟Brien et al. 2003).

2.2 Habitat dan Daerah Jelajah 2.2.1 Habitat

Habitat adalah satu atau serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh satwa atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi satu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam komponen termasuk pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup serta melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984).

Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar seperti pelindung (cover atau shelter), pakan, air, tempat berkembang biak

(13)

23

dan areal teritori. Teritori merupakan suatu tempat yang dipertahankan oleh spesies satwaliar tertentu dari gangguan spesies lainnya. Tempat berlindung (cover) memberikan perlindungan pada satwaliar dari kondisi cuaca yang ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora (pemakan buah), karnivora dan sebagainya. Kadang-kadang kebiasaan makan individu spesies satwaliar tertentu sangat beragam tergantung pada kesehatan, umur, musim, habitat dan ketersediaan pakan. Akses spesies satwaliar terhadap ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan populasi, cuaca, kerusakan habitat dan suksesi tumbuhan (Owen 1980).

Menurut Alikodra (1990), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri atas vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya.

Harimau (Pantera tigris) merupakan salah satu predator terbesar yang penyebarannya dahulu hampir meliputi seluruh daratan Asia hingga beberapa pulau di Indonesia (Nowell & Jackson 1996). Harimau juga merupakan satwa teresterial yang menempati beragam tipe habitat, diantaranya hutan taiga dan boreal, hutan musim (deciduous forest), hutan tropis, hutan bakau, hutan rawa gambut, dan padang rumput aluvial (Sunquist et al. 1999, Sanderson et al. 2006).

Seperti halnya subspesies harimau lainnya, harimau sumatera juga mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam, sepanjang tersedia cukup mangsa, sumber air (Schaller 1967, Sunquist & Sunquist 1989, Sunquist et al. 1999) dan hutan sebagai tempat berlindung (cover), serta terhindar dari ancaman potensial. Harimau di Sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, serta menghuni berbagai

(14)

24

tipe habitat mulai hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan bakau, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka. Namun, harimau sumatera cenderung lebih menyukai hutan dataran rendah sebagai habitatnya karena hutan ini dapat mendukung biomassa hewan-hewan ungulata besar (Santiapillai & Ramono 1993), seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjak) yang merupakan hewan mangsa harimau sumatera (Dinata & Sugardjito 2008). Menurut Griffiths (1994), keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 meter dpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 900-1.700 meter dpl. Kajian Dinata & Sugardjito (2008) menunjukkan bahwa habitat hutan yang dekat dengan alur sungai, aman dari perburuan hewan mangsa serta bebas dari kegiatan penebangan pohon, seprtinya merupakan merupakan lokasi yang ideal bagi kehidupan harimau sumatera.

Kehilangan habitat (Kinnaird et al. 2003, Linkie et al. 2003) dan perburuan untuk perdagangan bagian-bagian tubuh harimau (Kenney et al. 1994, Plowden & Blowes 1997) telah menyebabkan penyebaran dan populasi harimau sumatera menurun, serta telah membuat harimau sumatera semakin terdesak pada sisa-sisa habitat hutan yang ada. Bahkan diduga kuat hal tersebut juga yang telah mengakibatkan dua subpesies harimau jawa dan harimau bali menjadi punah di alam (Sunquist et al. 1999).

2.2.2 Daerah Jelajah

Daerah jelajah atau home range adalah satu wilayah yang biasa dikunjungi dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas satwaliar (Owen 1980). Daerah jelajah ini merupakan wilayah yang secara tetap dikunjungi satwaliar karena dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur serta tempat kawin (Boughey 1973, Pyke 1983). Owen (1980) juga menyatakan bahwa daerah jelajah satu individu satwaliar dapat diketahui melalui penangkapan, penandaan, dan pelepasan kembali satwaliar tersebut.

(15)

25

Selain itu, daerah jelajah dapat diketahui melalui tanda-tanda satwaliar seperti feses, jejak tapak kaki dan sebagainya. Daerah jelajah satwaliar yang individunya dapat dibedakan melalui tanda-tanda khusus, seperti harimau berdasarkan pola belangnya, dapat ditentukan melalui survey kamera-trap (Maddox at al. 2004, 2007).

Secara umum, daerah jelajah harimau berkisar antara 26-78 km2, kecuali harimau siberia yang daerah jelajahnya bisa mencapai 310 km2 (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Ukuran daerah jelajah harimau sangat tergantung pada keberadaan dan jumlah hewan mangsa yang tersedia. Oleh karenanya, ketersediaan hewan mangsa memainkan peran penting dalam menetukan daerah jelajah individu harimau (Aheams et al. 2001). Luas daerah jelajah harimau sumatera jantan bervariasi antara 40-250 km2, sedangkan betina antara 15-25 km2. Namun, menurut hasil penelitian Franklin et al. (1999), ukuran daerah jelajah harimau sumatera jantan telah diketahui sekitar 110 km2 dan betina mempunyai kisaran ukuran daerah jelajah antara 50-70 km2. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas jelajah harimau sumatera adalah ketersediaan hewan mangsa. Semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau.

Daerah jelajah harimau juga tidak eksklusif, artinya bisa saja satu jalur harimau digunakan oleh beberapa individu yang berbeda pada waktu yang berlainan. Selain itu, daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara indvidu harimau. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa biasanya tumpang-tindih dengan daerah jelajah dua hingga tiga betina dewasa. Sementara itu, jarang terjadi tumpang-tindih daerah jelajah antar harimau jantan dewasa.

2.3 Penggunaan Ruang

Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa lair dengan habitatnya (Legay & Zie 1985 diacu dalam Muntasib 2002). Tata cara tentang bagaimana satwaliar menggunakan ruang (space use atau

(16)

26

penggunaan spasial) di habitatnya dapat mempengaruhi beberapa aspek biologi, termasuk pola pemanfaatan sumberdaya dan persaingan intra-spesifik (Oli et al. 2002). Perilaku spasial pada satwaliar mungkin dapat memediasi interaksi yang bersifat kompetitif di antara individu dalam satu spesies, yaitu dapat mengurangi biaya atau kerugian atas adanya perjumpaan intra-spesifik, serta dapat memaksimalkan kemampuan/kecocokan (fitness) (Wilson 1975). Perilaku spasial juga telah diketahui dapat memainkan peran penting dalam pengaturan populasi satwaliar (Krebs 1978). Pada mamalia, pola keruangan tersebut umumnya dikaji dengan cara mempelajari dinamika daerah jelajahnya (Oli et al. 2002).

Mace & Harvey (1983) serta Alikodra (1990) menyatakan bahwa ukuran daerah jelajah akan semakin luas seiring dengan semakin bertambahnya ukuran tubuh satwa. Namun, kepadatan populasi berkorelasi negatif dengan luas daerah jelajah (Maza et al. 1973, O'Farrell 1974, Massei et al. 1997, Olie et al. 2002). Krebs & Davis (1993) berpendapat bahwa penyebaran geografis dan ketersediaan makanan dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi pola pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor-faktor kesejahteraan yang spesifik, serta komponen faktor-faktor kesejahteraan (Bailey 1984).

Bagi satwa foliovora, tipe habitat terutama tipe vegetasi sangat menentukan tingkat kesejahteraan bagi kehidupannya. Namun, bagi satwa karnivora, yang menjadi faktor penentu kesejahteraannya adalah kualitas habitat, terutama kelimpahan hewan mangsanya. Menurut Mutasib (2002), setiap spesies akan memerlukan faktor-faktor kesejahteraan khusus, misalnya harimau, selain sangat bergatung pada keberadaan hewan mangsa mereka juga memerlukan sumber air (Sunquist & Sunquist 1989) dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap hewan mangsanya (Lynam et al. 2000).

(17)

27

Daya dukung suatu habitat satwaliar dapat ditingkatkan melalui letak dan komposisi komponen-komponennya sehingga terbentuk lebih banyak titik pertemuan antara berbagai komponen habitat (covey). Pada suatu tempat dengan luasan yang sama dapat mempunyai covey yang berbeda, selain itu tempat-tempat yang mempunyai lebih banyak covey akan lebih tinggi daya dukungnya terhadap kehidupan satwaliar (Alikodra & Soedargo 1985 diacu dalam Alikodra 1990). Menurut Wahyu (1995 diacu dalam Muntasib 2002), mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang paling banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

2.4 Translokasi

IUCN mendefinisikan translokasi sebagai perpindahan satu individu atau populasi liar yang disengaja dari daerah jelajahnya untuk membentuk daerah jelajah baru di wilayah yang baru. Sementara itu menurut Griffith et al. (1989), translokasi dalam dunia konservasi satwaliar berarti menangkap dan mengangkut satwaliar dari satu lokasi, kemudian melepas-liarkannya di lokasi lain. Translokasi juga dapat diartikan sebagai kegiatan pelepasan satwaliar ke alam dalam upaya untuk membentuk, membangun kembali, atau menambah populasi suatu spesies. Selain itu, translokasi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengurangi resiko katastrofi atau bencana kepunahan pada spesies satwaliar dengan populasi tunggal, untuk memperbaiki heterogenitas genetik dari spesies yang populasinya terpisah-pisah satu sama lain, serta untuk membantu pemulihan alami dari satu spesies, atau untuk membangun kembali populasi spesies apabila terdapat hambatan yang menghalangi mereka untuk melakukannya secara alamiah (Shirey & Lamberti 2010).

Hingga saat ini translokasi juga sering dimanfaatkan sebagai satu alat untuk memitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, karena menurut Griffith et al. (1989) dan Wolf et al. (1997) translokasi pada satwa karnivora besar merupakan suatu alat mitigasi konflik yang dapat mengurangi resiko

(18)

28

kematian pada satwa yang terlibat konflik, serta sebagai tambahan individu satwaliar dalam membangun kembali populasi liarnya. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, translokasi digunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi pemangsaan hewan ternak oleh satwa karnivora besar, seperti beruang cokelat (Ursus arctos) dan beruang hitam (U. americana) (Armistead et al. 1994, Blanchard & Knight 1995), kucing besar liar (Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998, Goodrich & Miquelle 2005), dan serigala (Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1998). Namun, biasanya pada kasus mitigasi konflik satwaliar, translokasi biasanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir seperti halnya eutanasia (Treves & Karanth 2003).

Menurut Linnell et al. (1997), secara umum satwa karnivora yang ditranslokasikan akibat terlibat konflik, menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dan kemampuan reproduksinya rendah, serta cenderung untuk mengulangi pemangsaan hewan ternak di lokasinya yang baru. Meskipun tingkat kematian individu yang ditranslokasikan juga tinggi, translokasi untuk kepentingan ini akan terus digunakan, karena menurut persepsi masyarakat translokasi merupakan suatu cara mitigasi konflik yang tidak mematikan sehingga menjadi alat pengelolaan konflik yang populer (Craven et al. 1998), khususnya bagi spesies satwa langka atau yang terancam punah (Linnell et al. 1997).

Kegiatan translokasi juga telah dilakukan pada harimau dengan menggunakan cara dan tingkat keberhasilan yang berbeda. Goodrich & Miquelle (2005) melaporkan bahwa di timur jauh Rusia pernah dilakukan translokasi yang melibatkan empat ekor harimau siberia, yang ditangkap setelah memangsa hewan ternak pada tahun 2004. Dua harimau diantaranya dilepas-liarkan setelah mereka dikarantina selama sekitar 8 dan 13 bulan (soft release) karena kondisi kesehatan tidak baik. Sementara, dua ekor lainnya di lepas-liarkan segera setelah ditangkap (hard release). Namun, dua dari empat harimau tersebut mati ditembak setelah kembali menimbulkan konflik. Dalam kasus ini, Goodrich & Miquelle (2005) menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui bahwa pada lokasi dimana harimau akan

(19)

dilepas-29

liarkan memiliki populasi harimau lokal yang sangat rendah, sehingga persaingan atas sumberdaya yang ada menjadi lebih kecil.

Seidensticker et al. (1976) menerangkan bahwa telah dilakukan translokasi terhadap seekor harimau jantan di India. Harimau bermasalah tersebut dilepas-liarkan di areal baru di hutan lindung Sundarbands, India, segera setelah tertangkap. Namun, beberapa waktu kemudian harimau tersebut ditemukan tewas akibat terluka setelah bertarung dengan harimau lokal. Oleh sebab itu diperlukan adanya kegiatan identifikasi untuk menentukan lokasi translokasi yang tepat, serta mengetahui organisasi sosial harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran.

Pada awal tahun 2011, untuk pertama kalinya dilakukan translokasi harimau yang terlibat konflik di Nepal. Di Bangladesh, pada bulan Pebruari 2011 lalu telah dilaksanakan translokasi pertama yang melibatkan seekor harimau betina yang tertangkap akibat memasuki kawasan pemukiman.

Kegiatan translokasi harimau untuk kepentingan program reintroduksi telah berhasil pada harimau bengal di India. Pada tahun 2004, pernah dinyatakan bahwa Suaka Margasatwa Sariska telah kehilangan semua populasi harimaunya akibat perburuan liar besar-besaran yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah India memutuskan untuk mereintroduksi harimau bengal dengan cara mentranslokasikan sepasang harimau dari Suaka Margasatwa Ranthambhore pada tahun 2008 (WPSI 2008). Kedua harimau betina dan jantan tersebut dilepas-liarkan setelah tiga dan delapan hari dikarantina, namun akhirnya keduanya berhasil menentukan daerah jelajah tetapnya masing-masing, serta dapat berburu hewan mangsa di habitatnya yang baru. Sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak tujuh ekor harimau ditranslokasikan ke Suaka Margasatwa Sariska. Namun, harimau jantan dewasa yang pertama kali dilepas-liarkan di tahun 2008 yang lalu, ditemukan mati diracun oleh orang yang tidak bertanggung-jawab pada November 2010 yang lalu.

Di Indonesia, kegiatan translokasi harimau sumatera seluruhnya dilakukan dalam rangka untuk mengatasi atau mengurangi konflik konservasi

(20)

30

harimau sehingga pengiriman harimau-harimau bermasalah ke lembaga konsevasi ex-situ dapat diminimalkan. Kegiatan translokasi seperti ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dibantu lembaga mitranya, Sumatran Tiger Conservation Program (STCP), di Riau pada tahun 2003. Dalam periode antara tahun 2003-2007, telah ditranslokasikan lima ekor harimau ke areal hutan Senepis, di kawasan pesisir timur Provinsi Riau. Harimau-harimau tersebut seluruhnya ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat desa di provinsi tersebut. Namun, tingkat keberhasilan dari upaya ini tidak dapat diketahui dengan pasti.

Upaya translokasi harimau sumatera lainnya juga dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan translokasi harimau yang pertama di provinsi ini dilaksanakan pada awal tahun 2008 oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dibantu para mitra kerjanya. Harimau jantan dewasa yang ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat, dilepas-liarkan dengan bantuan helikopter di tengah hutan pegunungan di perbatasan antara dua kabupaten. Setelah itu, pada bulan Desember 2008 kembali ditranslokasikan dua ekor harimau (jantan dan betina) sumatera bermasalah ke dua areal hutan yang berbeda di Aceh. Sayangnya, harimau betina yang dilepas-liarkan di hutan dataran tinggi di provinsi tersebut diketahui mati terjerat oleh perangkap yang sengaja dipasang masyarakat untuk menagkap babi hutan yang menjadi hama pertanian, setelah tujuh bulan dilepas-liarkan.

Pada pertengahan tahun 2008, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh berbagai pihak, kembali mentranslokasikan lima ekor harimau yang terlibat konflik dengan masyarakat di Aceh Selatan, ke kawasan TN. Bukit Barisan Selatan di Lampung. Dua ekor dilepas-liarkan pada bulan Juli 2008, dan dua lainnya dilepas-liarkan pada awal tahun 2010 (Gambar 5). Namun, satu ekor lainnya dinyatakan tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali ke alam bebas.

Pada Juni 2009, BKSDA Sumatera Barat bersama dengan lembaga mitra mentranslokasikan harimau bermasalah ke salah satu hutan di wilayah TN Kerinci Seblat. Namun sayangnya harimau jantan muda tersebut

(21)

31

ditemukan mati terjerat di tengah hutan setelah satu minggu dilepas-liarkan. Setelah itu, kembali pihak BKSDA Sumatera Barat dibantu mitra-mitra kerjanya mentranslokasikan seekor harimau jantan pada Desember 2010. Harimau sumatera tersebut dilepas-liarkan di satu daerah di dalam kawasan TN. Kerinci Seblat, sekitar satu bulan setelah ditangkap akibat terpersosok dan terjebak di dalam perangkap lubang yang dipasang masyarakat untuk menangkap rusa.

Gambar 5. Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juli 2008 (Dok: Hasbi Azhar & Rizal Pahlevi/Artha Graha Peduli).

(22)

32

2.5 Model Kesesuaian Habitat

Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang- biak dalam waktu jangka panjang. Dengan demikian, model kesesuaian habitat dapat didefinisikan sebagai sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk dapat mendukung kehidupan dan perkembang-biakan satwa (Nursal 2007).

De La Ville et al. (1998 diacu dalam Nursal 2007) menjelaskan bahwa model kesesuaian habitat adalah sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu habitat untuk menyediakan kebutuhan spesies tertentu. Tujuan umum dari sebuah model adalah sebagai panduan dalam mengambil keputusan pengelolaan (Shenk & Franklin 2001 diacu dalam Nursal 2007). Model kesesuaian habitat dapat digunakan untuk menentukan prioritas konservasi (Margules & Austin 1994 diacu dalam Guisan & Zimmermann 2000), serta dapat menghasilkan pengetahuan biologi untuk menjelaskan distribusi suatu spesies dan mengevaluasi aktivitas lahan.

Sklar & Hunsaker (2001) menyatakan bahwa model ekologi biasanya dibuat untuk satu atau dua tujuan dalam rangka lebih memahami sistem ekologi, atau untuk mengevaluasi pengaruh dari perubahan keadaan untuk membuat satu keputusan atau sekumpulan kebijakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebuah model spasial dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki satu atau lebih variabel bebas yang merupakan fungsi suatu ruang atau sesuatu yang dapat dihubungkan dengan variabel bebas ruang lainnya.

Box (1976 diacu dalam ver Hoef et al. 2001) mengemukakan bahwa semua model ekologi yang dibangun tidak mungkin ada yang benar-benar tepat karena semua model mengandung kesalahan. Constanza & Sklar (1985 diacu dalam Sklar & Hunsaker 2001) berpendapat bahwa semakin kompleks suatu model maka akan semakin besar data observasi dan data simulasi yang dibutuhkan. Akibatnya model tersebut menjadi semakin kurang akurat atau semakin tidak pasti.

Gambar

Gambar 3. Peta  sejarah  distribusi  harimau  (cokelat  muda)  dan  wilayah  pe- pe-nyebaran saat ini (hijau) di seluruh dunia (Dok: STF)
Gambar 4. Peta  distribusi  harimau  di  Pulau  Sumatera  pada  lima  tahun  ter- ter-akhir (Wibisono &amp; Pusparini 2010)
Gambar 5. Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh  ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juli 2008 (Dok:

Referensi

Dokumen terkait

Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar Sunita (2013) menyatakan bahwa anak-anak dapat mempengaruhi orang tua dalam membeli produk yang berarti anak-anak

Produk salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat volume penjualan sebagai barang atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan apakah sesuai dengan tingkat kebutuhan

Analisis cost-volume-profitdapat digunakan untuk memprediksi volume penjualan yang akan mempengaruhi laba perusahaan, sehingga dapat digunakansebagai alat perencanaan

Konsep diri akademik yang dimiliki mahasiswa turut mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa, dimana jika mahasiswa memandang positif terhadap kemampuan yang dimilikinya maka

Adanya dukungan sosial dan hubungan yang baik dengan teman atau keluarga merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi perbedaan reaksi individu terhadap stres.. Individu

Simanullang (2004) dalam penelitian yang berjudul “Strategi Pengembangan Pariwisata di Objek Wisata Danau Toba” menyatakan bahwa investasi merupakan suatu tindak lanjut dari

Pengujian hipotesa dalam penelitian ini melalui tahapan analisis regresi berganda, yang menyatakan bahwa variabel pelayanan prima secara simultan mempengaruhi

Pengamatan spekel dilakukan dengan menggunakan konfigurasi sistem optik yang benar, agar memiliki fungsi penyebaran titik yang cukup luas untuk menjamin bahwa banyak wilayah objek yang