• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL SYARIAH

(PPUK-SYARIAH)

(2)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL SYARIAH

(PPUK-SYARIAH)

USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI

(3)

KATA PENGANTAR

Cetakan Syariah

Dalam rangka mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Bank Indonesia memberikan bantuan teknis dalam bentuk pelatihan dan penyediaan informasi. Salah satu informasi yang disediakan oleh Bank Indonesia adalah buku pola pembiayaan. Sampai saat ini, telah tersedia 76 judul komoditi. Buku pola pembiayaan tersebut semua mengunakan sistem konvensional (suku bunga).

Untuk mendukung perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang makin pesat pada tahun-tahun terakhir ini, Bank Indonesia mengusahakan penyediaan buku pola pembiayaan dengan sistem syariah. Buku pola pembiayaan syariah yang disediakan merupakan konversi dari data dan informasi buku yang sudah diterbitkan. Oleh karena itu bagi peminat yang ingin memanfaatkannya diharapkan dapat menyesuaikan dengan kondisi saat ini.

Dari 76 judul buku pola pembiayaan yang sudah tersedia, Bank Indonesia mengkonversikan ke sistem syariah sebanyak 15 judul buku pada tahun 2006 dan 4 judul buku pada tahun 2007. Satu diantara buku pola pembiayaan yang dikonversikan ke sistem syariah adalah usaha konveksi pakaian jadi. Sedangkan produk pola pembiayaan yang digunakan adalah murabahah (jual beli)

Dalam penyusunan pola pembiayaan dengan sistem syariah, Bank Indonesia memperoleh bantuan dari banyak pihak antara lain PT. Bank Syariah Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk, PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mega Indonesia dan berbagai nara sumber korespodensi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Atas sumbang pikir dan bantuan kelancaran penyusunan buku pola pembiayaan syariah ini, Bank Indonesia cq Biro Pengembangan UMKM - Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (BUMKM-DKBU) menyampaikan terimakasih.

Sedangkan bagi pembaca yang ingin memberikan kritik, saran dan masukkan bagi penyempurnaan buku ini atau ingin mengajukan pertanyaan terkait dengan buku ini dapat menghubungi: Biro Pengembangan UMKM - Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (BUMKM-DKBU) menyampaikan terimakasih.

Gedung Tipikal (TP), Lt. V

Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110

Telp: (021) 381-8581, Fax: (021) 351 – 8951 Email: Bteknis_PUKM@bi.go.id

Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan UMKM dan Lembaga Keuangan Syariah.

Jakarta, Desember 2007

(4)

RINGKASAN EKSEKUTIF

USAHA KONVEKSI PAKAIAN JADI

No UNSUR PEMBIAYAAN URAIAN

1 Jenis Usaha Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) Usaha

Konveksi Pakaian Jadi.

2 Kelompok sasaran proyek Pengusaha konveksi yang mempunyai lahan dan bangunan sendiri akan mengembangkan usahanya dalam PKT konveksi pakaian jadi. 3 Dana yang Diperlukan Untuk membiayai usaha konveksi:

a. Investasi = Rp. 84.550.000,- b. Modal Kerja = Rp. 4.701.846,- c. Total = Rp. 89.251.846,-

4 Sumber Dana Diperoleh dari Lembaga Keuangan Syariah dan

dana dari pengusaha

5 Jangka Waktu Pembiayaan 3 tahun tanpa Masa Tenggang Waktu 6 Tingkat Margin Pembiayaan 8,5% p.a., flat

7 Periode Pembayaran Pembiayaan Angsuran pokok pembiayaan dan margin dibayarkan sesuai dengan siklus usaha konveksi pakaian jadi

8 Jaminan pembiayaan

Alternatif kemungkinan jaminan pembiayaan: a. Jaminan fisik dari pengusaha konveksi dan

atau perusahaan mitra kerja.

b. Jaminan non fisik dari perusahaan Mitra Usaha

c. Subtitusi kolateral seperti tabungan asuransi

9 Eligibilitas usaha kecil Plasma (pengusaha konveksi) dipilih melalui seleksi Koperasi, Perusahaan Mitra Usaha dan Bank.

10 Bentuk Kelompok Suatu kelompok pengusaha konveksi yang

didasarkan atas produk (channeling). 11 Mekanisme pencairan dan

penyaluran pembiayaan

Koperasi sebagai pelaksana (executing) atau penyalur (channeling).

12 Mekanisme Pengembalian Pembiayaan

Perusahaan Mitra Usaha bekerja sama dengan Koperasi memotong langsung kewajiban angsuran anggota Koperasi dari imbalan jasa pemotongan dan penjahitan (makloon).

(5)

No UNSUR PEMBIAYAAN URAIAN

13 Tanggungjawab 1. Dalam hal Koperasi sebagai Pelaksana

Pembiayaan maka tanggung jawab pembiayaan berada di Koperasi dan atau perusahaan Mitra Usaha yang menjadi Avalist.

2. Dalam hal Koperasi sebagai Penyalur Pembiayaan maka tanggung jawab pembiayaan berada di pengusaha konveksi dan atau perusahaan Mitra Usaha yang menjadi Avalist.

14 Keunggulan PKT PKT ini memberikan benefit kepada:

1. Bank dapat menyalurkan pembiayaan dengan lebih aman.

2. Perusahaan Mitra dapat meningkatkan skala usahanya dengan meminimumkan investasi peralatan, lahan, bangunan, sumber daya manusia pada proses pemotongan dan penjahitan produk sehingga perusahaan Mitra Usaha dapat berkonsentrasi pada pengembangan perdagangan (trading) saja.

3. Pengusaha Konveksi mendapat jaminan kontinyuitas pekerjaan pemotongan dan penjahitan produk. Di samping itu

pengusaha konveksi mendapat

kemungkinan bantuan jaminan

pembiayaan.

4. PKT ini dapat memberikan tambahan lapangan pekerjaan. Di samping itu pemerintah dimungkinkan untuk mendapatkan tambahan pendapatan daerah maupun devisa.

5. Industri hulu dan hilir seperti tekstil, asesoris dan pengrajin kain majun dapat berkembang

15 Kelayakan usaha 1. Total margin yang diperoleh dari

pembiayaan investasi dan modal kerja adalah Rp.9.524.250,-

2. Usaha konveksi pakaian jadi mampu menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban pembiayaan kepada LKS.

3. Dengan demikian, usaha konveksi pakaian jadi layak untuk diusahakan.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ………...………...… i RINGKASAN EKSEKUTIF ……… ii DAFTAR ISI ………... iv DAFTAR TABEL ………..……. vi DAFTAR GAMBAR ………... vi DAFTAR WEBSITE ……… vi BAB I PENDAHULUAN ...……….…………... 1 1.1 Latar Belakang ……….………... 1

1.2 Prospek Mendirikan Proyek Kemitraan Terpadu Industri Pakaian Jadi ………… 2

1.3 Penjelasan Tentang Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) …. 3 1.4 Masalah yang Dihadapi oleh Industri TPT ……….. 4

1.5 Tujuan ……… 5

BAB II PROYEK KEMITRAAN TERPADU ... 7 2.1 Organisasi ... 7

2.2 Pola Kerjasama ... 8

2.3 Mekanisme Proyek kemitraan Terpadu ... 8

BAB III ASPEK PEMASARAN ... 11 3.1 Peluang Pasar ……….………... 11

3.2 Pasokan Permintaa kepada Negara Kuota ……….………... 12

3.3 Pasokan Permintaa kepada Negara non-Kuota ……….………... 13

3.4 Kompetisi dari Negara Lain ……….………... 14

3.5 Masalah Berkaitan dengan Pemasaran Pakaian Jadi ………. 14

BAB IV ASPEK PRODUKSI ... 15 4.1 Bahan Baku ……….………... 15

4.2 Proses Produksi ……….………... 17

4.3 Mesin dan Peralatan ……….………... 18

4.4 Tenaga Kerja ……….………... 18

4.5 Lahan dan Bangunan ………... 19

BAB V ASPEK KEUANGAN ..………... 21 5.1 Fleksibilias Produk Pembiayaan Syariah ……….... 21

(7)

5.6 Proyeksi Produksi dan Pendapatan ………... 28

5.7 Proyeksi Laba Rugi ………... 28

5.8 Proyeksi Arus Kas (Cash Flow) dan Kelayakan Proyek ………... 28

5.9 Perolehan Margin ………... 29

BAB VI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP .. 31

6.1 Aspek Sosial Ekonomi ……….………... 31

6.2 Dampak Terhadap Lingkungan Hidup ………... 32

LAMPIRAN 5.2.1 Karakteristik Usaha Konveksi Pakaian Jadi ... 22

5.2.2 Pola Pembiayaan ... 22

5.2.3 Produk Murabahah ... 22

5.3 Asumsi dan Parameter ………... 24

5.4 Komponen dan Struktur Biaya ………... 24

4.4.1 Biaya Investasi ... 24

4.4.2 Biaya Operasional ... 25

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Akhir Tahun 1996 ... 2 Tabel 5.1 Asumsi dan Parameter untuk Analisa Keuangan Usaha Konveksi Pakaian

Jadi ...

24 Tabel 5.2 Biaya Investasi Usaha Konveksi Pakaian Jadi ... 25 Tabel 5.3 Biaya Operasional Usaha Konveksi Pakaian Jadi ...

26 Tabel 5.4 Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja ... 27 Tabel 5.5 Proyeksi Produksi dan Pendapatan ... 28

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Skema Pola Kerjasama ... 8 Gambar 2.1 Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu ... 8

DAFTAR WEBSITE

1. http//www.islamicfinanceonline.com 2. http//www.ifsb.org 3. http//www.isdb.org 4. http//www.bankislam.com.my 5. http/www.lariba.com 6. http/www.amss.net

(9)
(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri Tekstil dan Produk Tekstil disingkat industri TPT Indonesia terdiri atas beberapa jenis industri yang membentuk sebuah rangkaian struktur dari hulu ke hilir. Rangkaian mencakup industri serat dan benang (fiber), pemintalan, penenunan dan perajutan, percetakan atau pengecapan serta industri pakaian jadi (garmen). Industri pemintalan dan penenunan tradisional sudah ada di Indonesia sejak zaman Belanda.

Dengan disahkannya undang-undang PMA dan PMDN tahun 1967/68 mulai berkembang industri-industri pemintalan dan industri fiber, terutama serat sintetis yang menyediakan bahan baku untuk memproduksi tekstil jadi. Industri pakaian jadi mulai berkembang pertengahan tahun 70-an, yakni sewaktu produsen tekstil dalam negeri telah mampu menyediakan tekstil jadi untuk diolah menjadi pakian jadi. Para pengusaha TPT mulai mengekspor sebagian dari hasil produksinya pada awal tahun 80-an. Total nilai ekspor produk TPT dari Indonesia pada tahun 1982 misalnya sebesar US $160 juta atau lebih kurang 2 % dari total nilai ekspor barang TPT tahun 1998 yang sebesar US $ 8 miliar.

Krisis monoter di Indonesia telah membawa akibat kepada memburuknya situasi nasional, terutama sektor perbankan, sektor konstruksi serta industri yang mengandalkan komponen impor untuk pasar dalam negeri. Banyak perusahaan tidak mampu lagi beroperasi dan beberapa perusahaan telah memberhentikan sebagian para pekerjanya, sehingga hal ini akan meningkatkan jumlah pengangguran dengan dampak sosial yang lebih luas.

Sudah barang tentu, krisis tersebut harus diatasi, agar akibat yang lebih parah tidak akan terjadi. Oleh karena itu harus dicari terobosan dan peluang untuk membangkitkan perekonomian nasional. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan lebih lanjut adalah industri tekstil dengan komoditi pakaian jadi yang berorientasi ekspor. Skala usaha yang dipilih adalah usaha kecil yang dilengkapi dengan peralatan modern. Untuk mengatasi beberapa kendala atau kelemahan usaha kecil diantaranya masalah pemasaran dan manajemen, maka operasional industrinya akan dilakukan dengan pola kemitraan terpadu dengan usaha menengah dan besar yang memproduksi dan mengekspor pakaian jadi. Proyek kemitraan saling menguntungkan para pihak bermitra,

(12)

Pendahuluan

perusahaan besar, menengah, kelompok pengusaha konveksi pakaian jadi serta bank pemberi pembiayaan.

1.2. Prospek Mendirikan Proyek Kemitraan Terpadu Industri Pakaian Jadi

Sejak pertengahan dasa warsa 1980-an Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) bersama karet dan kayu lapis merupakan penghasil devisa utama produk ekspor non-migas yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan industri padat karya. Sejumlah data tentang industri TPT (garmen) dapat dilihat dari tabel 1.1. sebagai berikut:

Tabel 1.1. Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Akhir Tahun 1996 Industri Besar/Sedang Industri Kecil Industri Rumah tangga

Jumlah perusahaan (unit) 5.130 38.932 357.020

Jumlah tenaga kerja (orang) 1.523.610 381.901 457.403 Pengeluaran untuk tenaga kerja (Rp) 4.341 miliar 394 miliar 77 miliar Nilai produk/harga pasar (Rp) 48.333 miliar 3.491 miliar 1.224 miliar Sumber BPS: Statistik Indonesia 1996

Definisi perusahaan besar adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih. Perusahaan menengah atau sedang mempunyai pekerja antara 20 s.d. 99 orang. Sedangkan perusahaan kecil mempunyai pekerja antara 5 s.d. 19 orang dan usaha rumah tangga 1 s.d. 4 pekerja. Total nilai produksi industri tekstil dan pakaian jadi dengan harga pasar sebesar Rp. 53.048 miliar pada tahun 1996. Dari jumlah nilai produksi sebagian diekspor dengan harga FOB US $ 6. 425.573.000 atau sekitar Rp. 14.000 miliar. Berdasarkan data statistis tahun 1996, sekitar 27% dari nilai produksi produk tekstil dan pakaian jadi diekspor dan sisanya dijual kepada konsumen dalam negeri.

Para produsen besar dan menengah telah lama bekerjasama dengan perusahaan kecil dan industri rumah tangga dengan pola makloon, yaitu perusahaan besar memberikan pesanan dan memasok bahan baku (kain) kepada perusahaan kecil dan industri rumah tangga. Dengan pola produksi makloon para produsen kecil menerima upah borongan yaitu perusahaan besar membayar sesuai dengan jumlah produk yang dibuat oleh para produsen kecil.

(13)

Berdasarkan angka di atas nilai produksi maupun pengeluaran kepada tenaga kerja cukup rendah digolongan industri kecil dan industri rumah tangga dibandingkan dengan perusahaan besar dan menengah.

Pola kemitraan terpadu yang diusulkan dalam MK-PKT ini adalah kerjasama antara produsen besar-menengah pakaian jadi, yang bergerak sebagai eksportir dengan kelompok kecil dan industri rumah tangga pakaian jadi, yang selanjutnya disebut usaha konveksi. Perusahaan besar-menengah akan membantu usaha konveksi memperoleh pembiayaan (untuk MK-PKT dalam bentuk KKPA) untuk mengembangkan usahanya. Kelompok usaha konveksi yang bermitra dengan usaha besar-menengah akan memakai pembiayaan yang diberikan untuk membeli sarana dan prasarana produksi modern yang cocok untuk menghasilkan pakaian jadi kualitas konveksi peserta PKT akan mampu memproduksi pakaian jadi kualitas ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan pasar dalam negeri. Perusahaan besar menengah dapat memperluas kapasitasnya sebagai eksportir melalui kerjasama dengan satu atau lebih kelompok usaha konveksi.

Untuk mempermudah segala kegiatan kerjasama antar kelompok usaha konveksi peserta PKT dengan perusahaan besar menengah (UB/UM), sebaiknya lokasi kelompok usaha konveksi peserta PKT berada dalam satu sentra atau satu tempat berdekatan dengan perusahaan besar. Pengembangan sentra konveksi bertujuan untuk memperkuat kemampuan masing-masing peserta PKT memproduksi pakaian jadi kualitas ekspor. Inti dari proyek kemitraan terpadu konveksi pakaian jadi adalah untuk mengembangkan usaha kecil dan industri rumah tangga tradisional menjadi usaha kecil modern melalui kerjasama dengan UB/UM yang mengekspor pakaian jadi.

1.3. Penjelasan tentang Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT)

Pemberdayaan usaha kecil melalui kemitraan usaha berlandaskan pada Pancasila, Undang Dasar 1945, Undang No.25 tahun 1992 tentang Pra koperasioan dan Undang-Undang No. 44 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Disamping undang-undang tersebut program kemitraan usaha antara usaha besar/menengah dengan usaha kecil diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Teknis serta Bank Indonesia sesuai dengan Program Kemitraan Terpadu.

Model PKT yang disusun oleh Bank Indonesia, memberikan petunjuk kepada perbankan untuk melaksanakan penilaian atas model proyek kemitraan terpadu yang membutuhkan pembiayaan investasi maupun pembiayaan modal kerja, khususnya pembiayaan usaha kecil (atau dikenal dengan istilah KUK) yang dibiayai dengan dana bank sendiri maupun dengan dana

(14)

Pendahuluan

likuiditas Bank Indonesia, misalnya KKPA dan atau dengan dana dari lembaga keuangan dari luar negeri, yang disebut two-step-loan.

Model PKT merupakan upaya memacu dan membangkitkan minat bank untuk mengembangkan hubungan dengan para pengusaha pakaian jadi kecil anggota-anggota koperasi primer (kopinkra) yang bermitra dengan usaha garmen skala menengah/besar yang bergerak sebagai produsen maupun eksportir garmen. Bank dapat membiayai proyek kemitraan terpadu tersebut dengan KKPA dengan jumlah yang dibutuhkan masing-masing proyek kemitraan terpadu industri garmen kecil.

Para perusahaan garmen peserta PKT adalah perusahaan industri garmen kecil dan industri rumah tangga yang dapat memperluas usahanya di salah satu sentra industri garmen. Model usaha yang diuraikan untuk dikembangkan dalam model PKT ini adalah perluasan dari usaha yang ada dengan tujuan menciptakan usaha mandiri yang menghasilkan produk garmen kualitas ekspor.

Para peserta PKT, akan memenuhi kewajibannya sesuai dengan Nota Kesepakatan antara kedua pihak bermitra. Para perusahaan kecil industri pakaian jadi akan berusaha untuk memenuhi sasaran produksi sesuai dengan bimbingan teknis dari staf ahli di perusahaan besar.

1.4. Masalah yang Dihadapi oleh Industri TPT

Industri TPT menghadapi berbagai keterbatasan dan hambatan yang masih harus di atasi. Kendala dan keterbatasan internal adalah:

a. Mutu produk tekstil dan pakaian jadi Indonesia umumnya belum bisa menembus pasar bebas yang konsumennya berselera tinggi seperti Jepang. Kenyataan ini juga mengakibatkan harga per unit produk masih relatif rendah.

b. Industri TPT masih tergantung pada komponen impor, terutama untuk memproduksi produk kualitas ekspor.

c. Industri pakaian jadi di Indonesia masih berperan sebagai ”tukang jahit” bagi para pialang TPT internasional, karena desain, pemilihan warna, potongan masih didikte oleh pialang luar negeri. d. Perusahaan TPT kecil di Indonesia belum berperan dalam industri TPT yang masih sangat tergantung pada ”konglomerat” yang menguasai sebagian besar dari pasar ekspor maupun segmen pasar menengah ke atas dalam negeri.

e. Pengaturan tata niaga, terutama pembagian kuota dinilai para produsen barang TPT masih jauh dari ”beres”

(15)

Sedangkan hambatan ekternal, berupa sikap proteksionis beberapa negara maju yang membatasi ekspor produk tekstil dan pakaian jadi dari negara-negara berkembang melalui penetapan kuota dan bea masuk. Pengaturan kuota dilakukan negara tersebut melalui Multi Fiber Agreement (MFA) dan World Trade Organization (WTO). Pada masa depan sistem kuota sedikit-sedikit akan diabaikan sesuai dengan ketentuan WTO. Meskipun demikian, Indonesia harus mampu menciptakan pasar baru untuk TPT di negara non-kuota, supaya pertumbuhan industri TPT Indonesia dapat ditingkatkan.

1.5. Tujuan

Model PKT atau pola pemberian pinjaman dimaksudkan untuk memberikan petunjuk kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama kepada bank pemberi pembiayaan yang akan menyalurkan pembiayaan kepada usaha kecil. Dengan adanya lending model ini diharapkan akses usaha kecil untuk mendapatkan pembiayaan perbankan akan lebih besar dan pengembangan usahanya akan dapat dilakukan sejalan dengan potensial demand.

Model PKT ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi perbankan syariah/lembaga keuangan syariah yang berminat terhadap pola pembiayaan model Proyek Kemitraan Terpadu /PKT.

(16)

Pendahuluan

(17)

BAB II

PROYEK KEMITRAAN TERPADU

2.1. Organisasi

Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) merupakan strategi kerjasama kemitraan dalam bidang usaha industri pakaian jadi yang melibatkan empat pihak yaitu:

a. Anggota Koperasi Pengusaha Konveksi Pakaian Jadi b. Koperasi Primer

c. Perusahaan Menengah atau Besar Eksportir sebagai Mitra Usaha d. Bank Pemberi Kredit

Masing – masing pihak memiliki peranan sesuai bidang usahanya. Hubungan antar anggota koperasi pengusaha konveksi pakaian jadi dengan perusahaan Mitra Usaha merupakan hubungan kemitraan Inti-Plasma. Perusahaan Mitra Usaha menyediakan desain dan bahan baku serta pengendalian mutu (quality control). Sedangkan pengusaha konveksi menyediakan jasa pemotongan dan penjahitan. Kemitraan ini dilakukan dengan maksud untuk menciptakan keuntungan semua pihak melalui produksi pakaian jadi dengan kualitas ekspor yang mempunyai nilai tambah lebih besar daripada produk yang dibuat oleh usaha kecil dan industri rumah tangga yang berjalan sendiri.

1. Anggota Koperasi Konveksi

Dengan pola kemitraan ini pengusaha konveksi mendapat jaminan pekerjaan jasa pemotongan dan penjahitan kontinyu dan pasti dari mitra usaha, tanpa harus mengeluarkan modal kerja. Disamping itu pengusaha konveksi memperoleh bantuan jaminan kredit dan Mitra Usaha dalam hal mengajukan permohonan kredit kepada bank.

2. Koperasi Primer

Dalam kemitraan ini koperasi sebagai badan hukum mengupayakan pemanfaatan pembiayaan bank bagi pengembangan usaha anggotanya. Selanjutnya koperasi bersama mitra usaha membantu bank dalam administrasi realisasi dan pengembalian pembiayaan. Dari kegiatan ini koperasi akan mendapatkan sejumlah imbalan sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Perusahaan Mitra Usaha

(18)

Proyek Kemitraan Terpadu

a. Perusahaan dapat lebih berkonsentrasi pada pengembangan perdagangan saja. b. Perusahaan dapat mengurangi investasi alat produksi

c. Perusahaan dapat mengurangi dampat negatif masalah tenaga kerja di bidang produksi 4. Bank

Berdasarkan evaluasi kelayakan proyek dengan pola kemitraan antara pengusaha konveksi dengan mitra usaha, bank dapat menyalurkan skim pembiayaan dengan aman. Dalam model kemitraan ini skim pembiayaan yang digunakan adalah skim pembiayaan Koperasi Primer kepada Anggotanya (KKPA).

2.2. Pola Kerjasama

Kemitraan antara pengusaha konveksi dengan perusahaan Mitra Usaha dilaksanakan dengan pola kemitraan pengusaha konveksi mengadakan perjanjian kerjasama dengan perusahaan mitra usaha diketahui oleh koperasi. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Skema Pola Kerjasama

2.3. Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu

Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :

Keterangan: Pengusaha Konveksi Koperasi Primer Perusahaan Mitra Usaha INTI Perusahaan

Mitra Usaha Nota Kesepakatan KOPERASI PRIMER PENGUSAHA KONVEKSI AVALIST

Pasokan bahan baku, pembinaan teknis Pendapatan bersih Anggota Koperasi

Pemasaran Hasil

Pembayaran Angsuran

Aspek Kelayakan Usaha

BANK

(19)

a. Kerjasama kemitraan antara Perusahaan Mitra Usaha dengan pengusaha konveksi anggota koperasi diwujudkan dalam bentuk Nota Kesepakatan.

b. Kebutuhan dana dalam kemitraan tersebut diajukan oleh koperasi kepada bank pelaksana dengan jaminan bahan baku, jaminan pasar dan jaminan tambahan (avalist) dari Perusahaan Mitra Usaha

c. Mekanisme pengembalian pembiayaan dikelola oleh koperasi dan Perusahaan Mitra Usaha dengan cara memotong langsung dari pendapatan pengusaha konveksi yang selanjutnya disetorkan kepada bank pelaksana oleh Mitra Usaha.

d. Koperasi bekerjasama dengan perusahaan mitra usaha membantu bank dalam pelaksanaan administrasi kredit.

(20)

Proyek Kemitraan Terpadu

(21)

BAB III

ASPEK PEMASARAN

3.1. Peluang Pasar

Sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) termasuk pakaian jadi, disebut industri TPT, menghasilkan produk yang merupakan komoditi adalah ekspor Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam tahun 1993 nilai ekspor telah mencapai 5.791 miliar dolar lebih dan meningkat terus sehingga pada tahun 1998 mencapai sekitar 8 miliar dolar.

Amerika Serikat adalah importir produk TPT dari Indonesia terbesar dengan sekitar 33% dan total nilai ekspor TPT selama periode 1992 s.d. 1998. Negara Uni Eropa adalah importir kedua, kalau dihitung dari total nilai ekspor TPT. Sekitar 29% dari total ekspor produk tekstil dan pakaian jadi dibeli oleh negara Uni Eropa, terutama oleh Inggris, Jerman, Itali, Perancis dan Belanda. Jepang adalah importir ketiga dengan impor sebesar 8% dari total nilai ekspor TPT Indonesia. Sisa ekspor produk TPT (30%) dikirim ke banyak negara antara lain Singapura, Saudi Arabia, Hongkong, Australia.

Bahan baku yang dipakai oleh industri TPT terdiri dari chemical fiber misalnya poliester dan rayon dan man made fibers, yaitu kapas wol dan sutra. Pola pemakaian chemical fiber di Indonesia agak berbeda dengan rata-rata negara produsen TPT lain. Produksi TPT di luar negeri rata-rata menggunakan bahan baku dengan pola 47% kapas, 47% poliester, dan 6% rayon. Di Indonesia penggunaan bahan baku 37% kapas, 51% poliester dan 12% rayon. Indonesia adalah produsen poliester besar, sebagian hasil produksi poliester diekspor, sesudah kebutuhan industri TPT dalam negeri terpenuhi. Sedangkan kebutuhan kapas dan rayon harus diimpor dan Indonesia adalah negara importir kapas yang paling besar di dunia.

Nilai impor bahan baku dan barang jadi tekstil dan garmen pada periode 1993 s.d. 1997 adalah dalam tahun 1993 sebesar 1,916 miliar dolar lebih, dan dalam tahun 1997 mencapai 2,165 miliar dolar lebih. Produk pakaian jadi impor kena bea masuk (BM) rata-rata 25%. Tarif BM akan dikurangi menjadi rata-rata 15% pada tahun 1999.

Jadi, bila dibandingkan dengan nilai impor maka ekspor Tekstil dan Produk Tekstil masih terdapat surplus sebesar masing-masing dalam tahun 1993 adalah 4,055 miliar dolar lebih dan dalam tahun 1997 sebesar 5,843 miliar dolar lebih. Diagram berikut menunjukkan perkembangan ekspor impor TPT dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1997.

(22)

Aspek Pemasaran 0 2000 4000 6000 8000 10000 1993 1994 1995 1996 1997 1998*

Nilai Ekspor & Impor Tekstil dan Produk Tekstil (US Dolar)

Ekspor Impor

Catatan: Data s.d. Mei 1998

3.2. Pasokan Permintaan kepada Negara Kuota

Salah satu sistem pemasaran dalam komoditi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), diantaranya produk pakaian jadi adalah menggunakan kuota yaitu penetapan jumlah produk yang harus dipenuhi oleh pemegang produsen kepada pembeli. Sehingga dalam hal komoditi pakaian jadi ini, pasarnya bersifat captive market yaitu pasar yang sudah pasti pembelinya asalkan kualifikasi produk telah dipenuhi.

Negara di Eropa Barat, Amerika Serikat dan Kanada memberikan kuota baru setiap tahun kepada produsen TPT di Indonesia. Pemerintah melalui Direktorat Ekspor Ditjen Perdagangan Internasional (Depperindag) diberikan tugas untuk membagi alokasi kuota tetap TPT. Ekspor TPT ke negara kuota diperkirakan akan mencapai sekitar US $ 4 miliar tahun 1998 atau naik 17% dibandingkan dengan tahun 1997. Pemerintah menggodok penyempurnaan alokasi kuota kepada produsen TPT untuk tahun 1999.

Pertumbuhan kuota sebesar 6% tahun 1999 diperuntukkan khusus bagi pengusaha tekstil dan garmen kecil serta operasinya. Proses menyeleksi perusahaan kecil dan koperasi yang layak untuk menerima kuota ekspor TPT akan selesai bulan Januari 1999. Sesuai dengan redormasi di bidang ekonomi pembagian kuota kepada produsen TPT akan dibagi sangat transparan. Kuota tetap diberikan kepada produsen/eksportir yang telah merealisir kuota yang diberikan tahun sebelumnya. Para produsen pakaian jadi dalam negeri biasanya jual-beli sebagian dari kuotanya kepada produsen lain tergantung pada jumlah dan jenis produk yang dipesan oleh langganan luar

(23)

negeri. Berikut ini ditunjukkan grafik perkembangan ekspor pakaian jadi ke berbagai negara di Amerika dan Eropa.

0 1000 2000 3000 4000 5000 1993 1994 1995 1996 1997 1998*

Nilai Ekspor Pakaian Jadi (US Dolar)

Ekspor

Dari grafik tersebut di atas terlihat bahwa secara umum nilai ekspor komoditi pakaian jadi cenderung naik, apalagi dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini dimana dolar semakin kuat, maka pengusaha eksportir pakaian jadi relatif dapat menikmati keuntungan yang lebih besar.

3.3. Pasokan Permintaan Kepada Negara Non Kuota

Indonesia adalah negara eksportir produk tekstil dan garmen dengan jumlah besar kepada negara yang secara bebas mengimpor barang TPT. Para produsen pakaian jadi di Indonesia telah lama mempunyai hubungan tetap dengan importir di Singapura dan Taiwan berfungsi sebagai re-eksportir kepada negara kuota.

Saudi Arabia bersama negara lain di Teluk Persia merupakan pasar produk pakaian jadi dari Indonesia yang cukup penting. Banyak negara di Afrika misalnya Nigeria, Tanzania, Afrika Selatan sejak tiga tahun lalu sampai saat ini menjadi negara importir produk garmen dari Indonesia dengan jumlah besar. Sebagian besar dari nilai ekspor produk TPT kepada negara tersebut merupakan produksi perusahaan tekstil dan pakaian jadi kecil dan industri rumah tangga. Banyak pembeli dari negara tersebut datang sendiri ke Jakarta untuk membeli langsung pakaian jadi dari perusahaan grosir di Tanah Abang, Mangga Dua dan Pasar Cipulir. Pada tahun 1998 nilai ekspor produk TPT kepada negara non-kuota tersebut sebesar US $ 2,4 miliar. Peluang untuk meningkatkan pakaian jadi kepada negara non-kuota tersebut sangat besar.

(24)

Aspek Pemasaran

4.4. Kompetisi dari Negara Lain

Pasar dunia produk tekstil dan pakaian jadi mencapai US $ 250 miliar pada tahun 1996. Ditinjau dari persaingan antar negara, kompetisi dalam perdagangan produk tekstil dan pakaian jadi Indonesia menghadapi negara-negara pesaing diantaranya adalah China, India, Bangladesh, Vietnam, Malaysia dan Thailand. Dibandingkan dengan China merupakan negara eksportir barang tekstil dan garmen terbesar, Indonesia masih jauh tertinggal. Pada tahun 1996, China mampu mengekspor produk takstil dengan nilai US $ 12,8 miliar dan produk garmen dengan nilai US $ 22,2 yaitu ekspor TPT dari China mencapai US $ 35 miliar atau 14% dari total pasar dunia. Dari total pasar pakaian jadi dunia US S 120 miliar, China menempati posisi pertama negara eksportir yang menguasai 18% pangsa pasar. Sementara Indonesia baru berada pada posisi ke-7 untuk pakaian jadi dengan pangsa pasar 3%.

Indonesia sebetulnya berpeluang untuk memperbesar pangsa pasarnya, karena industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia mempunyai kapasitas produksi lebih tinggi dari pada total produksi pada tahun 1998. Karena depresiasi nilai rupiah terhadap US $ dari Rp. 2.400 bulan Juli 1997 menjadi Rp. 7.900 pada bulan Desember 1998, produk tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia mampu bersaing dengan harga maupun kualitas dengan produk sejenis dari negara-negara pesaing.

3.5. Masalah Berkaitan dengan Pemasaran Pakaian Jadi

Pembiayaan impor bahan baku yang dibutuhkan industri TPT menjadi masalah pada tahun 1997, karena bank di luar negeri menolak membuka Letter of Credit dengan sejumlah bank umum di Indonesia. Masalah tersebut akan diatasi oleh Pemerintah dengan pembentukkan Lembaga Pembiayaan Ekspor (LPE), meskipun mekanisme kerja lembaga tersebut masih pada tahap perencanaan.

(25)

BAB IV

ASPEK PRODUKSI

Berbagai produk tekstil yang banyak diproduksi oleh industri konvenksi/garmen dalam pola kemitraan adalah pakaian jadi baik untuk pria, wanita dan anak-anak serta produk lainnya seperti sprei, sarung bantal, taplak meja, pakaian sholat dan sebagainya.

Adapun bahan baku untuk produk-produk tersebut juga terdiri dari berbagai macam mulai dari bahan katun sampai sutera. Produk tersebut selain dibuat sendiri oleh perusahaan juga dibuat oleh pengrajin di sekitar lokasi pabrik yang selalu mendapat supervisi dari perusahaan, sehingga kualitas produk tetap terkontrol.

Salah satu faktor keberhasilan usaha di bidang industri produk tekstil dan garmen adalah kondisi peralatan. Semakin baik kondisi dan kecanggihannya, akan semakin tinggi kapasitas dan kualitas produk yang dihasilkannya. Di samping itu juga faktor keterampilan pengrajin mutlak diperlukan.

Oleh karena itu kombinasi keduanya merupakan syarat yang saling menunjang. Mengingat usaha ini dapat melibatkan banyak tenaga kerja atau pengrajin, maka strategi pengembangan melalui kemitraan antara industri kecil/pengrajin dengan usaha menengah ataupun usaha besar merupakan alternatif yang cukup efisien.

4.1. Bahan Baku

Di dalam pola kemitraan ini peranan perusahaan inti yang sangat penting adalah penyediaan kain sebagai bahan baku utama dalam industri pakaian jadi. Penyedian bahan baku oleh perusahaan inti lebih diutamakan mengingat adanya keharusan keseragaman kualitas produk yang akan dihasilkan. Di samping itu juga untuk menjaga kontinuitas pengadaan bahan baku. Berbagai cara pengadaan bahan baku yang selama ini dilakukan tergantung dari hubungan kemitraan usaha ini seperti tampak dalam bagan di bawah ini:

INTI: Industri Tekstil PLASMA: Pengusaha Konveksi 1

Industri Tekstil INTI:

Industri Besar Garmen PLASMA: Pengusaha Konveksi 2

(26)

Aspek Produksi

Keterangan:

a. Perusahaan inti biasanya berfungsi sebagai produsen maupun pedagang dan eksportir pakaian jadi.

b. Jika industri batik terdiri dari banyak produsen kecil yang telah menjadi anggota koperasi primer pengadaan bahan baku maupun ekspor produk jadi bisa melalui koperasi.

c. Tidak ada masalah dalam pengadaan bahan baku ini, karena jumlah dan jenisnya cukup banyak dan mudah diperoleh, sehingga kontinuitas pengadaan bahan baku selalu terjamin. Kapasitas produksi perusahaan tekstil di Indonesia jauh lebih besar daripada hasil produksinya.

d. Pembelian bahan baku sebagian besar dilakukan dengan cara tunai. Tetapi kadangkala mendapat kesempatan untuk memanfaatkan bahan baku terlebih dahulu yang nantinya akan diperhitungkan dengan penjualan produk jadi.

Adapun harga bahan baku bervariasi tergantung kepada jenis dan sumbernya. Tabel di bawah sekedar menunjukkan informasi harga bahan baku yang selama ini dipergunakan oleh perusahaan kecil konveksi:

Jenis Harga (Rp/unit)

1. Kain (bahan baku utama) 4.000 s/d 20.000/meter

2. Bahan lain 1.500 s/d 10.000/meter

PLASMA: Pengusaha Konveksi PLASMA: Pengusaha Konveksi PLASMA: Pengusaha Konveksi INTI: Industri Menengah Garmen INTI: Industri Menengah Garmen INTI: Industri Batik Industri Tekstil Industri Batik 3 4 5

(27)

Mengingat bahwa kemitraan ini bersifat makloon, maka dalam perhitungan dan analisa keuangan yang berpengaruh hanya bahan lain. Sedangkan bahan baku utama tidak diperhitungkan dalam analisa ini.

4.2. Proses Produksi

Dalam kemitraan ini, maka industri kecil konveksi/garmen dapat melakukan kegiatan produksi setelah mendapatkan model yang diberikan oleh perusahaan inti.

Pada kasus dimana diperlukan produk pakaian jadi yang memerlukan perlakuan tambahan misalnya dengan motif bordir, maka setiap produk baru perlu direncanakan desainnya terlebih dahulu. Kemudian dihitung harga pokok produksinya. Apabila perusahaan mempunyai peralatan yang bisa digunakan untuk membuat produk tersebut, maka desain tersebut dicoba untuk dibuat. Jikalau perusahaan tidak memiliki peralatan yang memadai, biasanya desain tersebut dapat diorderkan kepada perusahaan lain yang memiliki peralatan lengkap.

Di dalam model ini, peranan industri kecil (plasma) pada kegiatan produksi bisa mencapai taraf optimal, karena mulai dari pemotongan bahan, penjahitan hingga menjadi pakaian jadi akan dilaksanakan oleh industri kecil sebagai plasma.

Sementara perusahaan ini berperan menyediakan bahan baku dan membuat model pakaian yang akan diproduksi serta kegiatan kontrol kualitas, finishing dan pengemasan. Dengan demikian dalam proses produksi pakaian jadi ini harus ditunjang dengan mesin dan peralatan yang lengkap.

Selanjutnya alur proses produksi yang umumnya dilaksanakan oleh industri kecil perusahaan konveksi adalah sebagai berikut:

Bahan Baku/Pembatu siap pakai Pengukuran dan Pemotongan kain Penjahitan Pembuatan lubang kancing Pemasangan Asesoris Produk Jadi

(28)

Aspek Produksi

4.3. Mesin dan Peralatan

Mengingat bahwa kegiatan produksi setiap unit usaha kecil (plasma) dari bahan baku sampai dengan produk jadi seperti digambarkan di atas, maka keperluan mesin dan peralatan yang diperlukan adalah:

 Mesin jahit biasa (dengan dinamo) = 5 unit  Mesin jahit (type juki atau sejenisnya) = 10 unit

 Mesin obras = 1 unit

 Mesin pembuat lubang kancing (itik) = 1 unit

 Mesin potong kain = 1 unit

Fungsi dari mesin-mesin tersebut, secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut:

a. Mesin jahit dengan peralatan dinamo, digunakan untuk menggabungkan potongan-potongan kain sesuai dengan bagian masing-masing. Kapasitas produk yang dapat dihasilkan dengan mesin ini adalah 20 potong/hari.

b. Mesin jahit type juki dan sejenisnya, kegunaan utama juga seperti mesin jahit biasa namun kapasitas produk yang dapat dihasilkan secara normal adalah 30 potong/kain.

c. Mesin obras, digunakan untuk tepian kain yang telah dijahit. Standar umum penggunaan mesin obras ini bisa menghasilkan 400 potong/hari.

d. Mesin pembuat lubang kancing, jelas digunakan untuk membuat lubang kancing. Biasanya mesin ini secara umum dikenal dengan mesin itik.

e. Mesin potong, digunakan untuk memotong kain yang telah dipola, dengan mesin potong ini dalam sekali memotong dapat dihasilkan 30 s/d 50 potong sekaligus.

Mesin-mesin tersebut terdiri dari berbagai merek yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Selanjutnya dalam pengadaanmnya tidak terdapat kesulitan yang berarti, karena disetiap ibukota propinsi bisa dipastikan terdapat dealer atau agen penjualan mesin tersebut.

4.4. Tenaga Kerja

Kebutuhan tenaga kerja dalam industri konveksi pakaian jadi ini disesuaikan dengan skala usahanya. Untuk setiap industri kecil diperlukan 18 orang tenaga kerja lapangan, dan 3 orang

(29)

tenaga kerja tak langsung. Setiap tenaga kerja langsung diharapkan mengoperasikan sebuah mesin yang diperlukan dalam proses produksi.

Adapun kualifikasi tenaga kerja tidak memerlukan jenjang pendidikan formal tertentu, namun sebaiknya memiliki keterampilan khusus dalam bidang penjahitan dan diutamakan telah memperoleh pelatihan keterampilan di bidang tersebut. Di samping itu, mereka juga harus memiliki ketekunan, ketelitian, kesabaran dan semangat kerja yang tinggi. Diutamakan untuk dapat memenuhi kualifikasi tersebut, tenaga kerja di bidang penjahitan adalah wanita. Sebagai standar umum, untuk tenaga kerja yang terampil diharapkan dapat menjahit atau menghasilkan 20 potong pakaian jadi dalam waktu 1 hari kerja (8 jam/hari).

Dengan jumlah tenaga kerja langsung mencapai 18 orang (memotong, menjahit, mengobras dan membuat lubang kancing) diharapkan dapat memproduksi pakaian jadi 400 potong/hari. Sistem pemanfaatan tenaga kerja tersebut, ditinjau dari cara pemberian imbalan ada 2 cara, yaitu:

a. Borong kerja, untuk tenaga kerja langsung. b. Upah harian, untuk tenaga kerja tidak langsung.

Sedangkan upah kerja yang diberikan minimal harus sesuai dengan upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah. Di dalam contoh ini upah minimal yang diberikan adalah Rp. 6000,- per orang/hari; dengan mesin ini adalah 20 potong/hari.

5.5. Lahan dan Bangunan

Untuk menunjang kegiatan produksi ini, setiap unit usaha memerlukan lahan serta bangunan untuk tempat tenaga kerja. Untuk memudahkan kegiatan pembinaan dan supervisai dari perusahaan Inti kepada Plasma, sebaiknya lokasi usaha plasma diupayakan berkelompok dan berdekatan dengan perusahaan Intinya. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan lokasi usaha plasma berjauhan dengan perusahaan inti asalkan perusahaan inti harus menyediakan tenaga khusus dalam rangka supervisi kualitas produk.

Lokasi dan bangunan tempat kerja bisa seperti Lingkungan Industri Kecil (LIK), Perkampungan Industri Kecil (PIK) atau dapat juga di sentra-sentra industri seperti konsep yang diperkenalkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Dimungkinkan pula kelompok-kelompok industri kecil ini berada di desa-desa dikaitkan dengan konsep pembangunan pemukiman Rumah Sangat Sederhana (RSS). Di dalam model ini sebagian besar pendanaan bagi peruntukan lahan dan bangunan diharapkan berasal dari dananya sendiri.

(30)

Aspek Produksi

Untuk 1 (satu) unit usaha kecil konveksi, dengan sejumlah mesin yang disediakan diperlukan lahan tanah seluas 200 meter persegi dan bangunan dengan luas 100 meter persegi.

Utilitas lain yang diperlukan adalah fasilitas listrik, minimal untuk setiap unit usaha disediakan daya listrik sebesar 4.400 watt (1 phase). Biaya untuk pengadaan sumber daya listrik ini dimasukkan ke dalam biaya investasi bangunan.

(31)

BAB V

ASPEK KEUANGAN

Analisa aspek keuangan membantu pihak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memperoleh gambaran tentang prospek usaha yang akan dibiayai. Aspek keuangan juga dapat membantu pihak nasabah (pengusaha) dalam mengelola dana pembiayaan untuk usaha bersangkutan.

5.1. Fleksibilitas Produk Pembiayaan Syariah

Berbeda dengan produk pembiayaan konvensional yang hanya mengenal satu macam produk yaitu pembiayaan dengan sistem perhitungan suku bunga. Pola syariah mempunyai keragaman produk pembiayaan dan perhitungan keuntungan (perolehan hasil) yang fleksibel.

Untuk produk syariah banyak ragamnya, diantaranya mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah dan murabahah (lampiran1). Dari produk tersebut, setiap produk juga masih mempunyai turunannya. Oleh karena itu, pada pola pembiayaan syariah satu usaha bisa memperoleh pembiayaan lebih dari satu macam produk.

Sedangkan untuk menghitung tingkat keuntungan yang diharapkan bisa menggunakan sistem margin atau nisbah bagi hasil. Margin merupakan selisih harga beli dengan harga jual sebagai besar keuntungan yang diharapkan. Nisbah bagi hasil adalah proporsi keuntungan yang diharapkan dari suatu usaha. Pada perhitungan nisbah bagi hasil dapat menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing/PLS) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing). Profit sharing , nisbah bagi hasil diperhitung -kan setelah dikurangi seluruh biaya (keuntungan bersih). Sementara revenue sharing perhitungan nisbah berbasis dari pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasionalnya.

Keragaman produk pembiayaan dan perhitungan tingkat keuntungan ini dapat memberi keluwesan/fleksibilitas baik untuk LKS maupun nasabah untuk memilih produk pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing - masing. Bagi pihak LKS, pemilihan ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dan tingkat resiko terhadap nasabah dan usahanya. Sehingga bisa terjadi untuk usaha yang sama, mendapat produk pembiayaan maupun besaran margin atau nisbah per nasabahnya berbeda.

(32)

Aspek Keuangan

5.2. Pemilihan Pola Usaha

5.2.1. Karakteristik Usaha Konveksi Pakaian Jadi

Produk yang dipilih adalah pakaian jadi. Produk pakaian jadi merupakan salah satu produk dari industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Secara pasar, pakaian jadi mempunyai pasar yang pasti (captive market) karena produk yang dihasilkan dipasarkan sesuai dengan nilai kuota yang ditetapkan. Umumnya pengusaha sudah mempunyai hubungan tetap dengan importir di negara – negara tujuan ekspor. Berdasarkan kondisi tersebut, maka usaha konveksi pakaian jadi berpeluang untuk dikembangkan.

5.2.2. Pola Pembiayaan

Merujuk pada sistem keuangan syariah yang mempunyai banyak ragam produk pembiayaan, maka pada aspek keuangan ini akan disajikan contoh produk pembiayaan dengan cara murabahah (jual beli). Pertimbangannya adalah karena produk ini sudah banyak diterapkan dalam praktek oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan masyarakat pemakai pun sudah mengenal serta mengakses pola pembiayaan tersebut.

Produk murabahah juga sebagai upaya untuk mitigasi resiko baik terhadap usaha maupun nasabah, karena pada produk pembiayaan ini margin secara pasti ditentukan diawal akad. Di samping itu, pembiayaan murabahah juga memberi pilihan pada LKS maupun nasabah apakah pembiayaan akan digunakan untuk membiayai seluruh komponen usaha (biaya investasi dan modal kerja/eksploitasi) atau hanya untuk komponen-komponen tertentu.

Dalam analisis keuangan dipilih pola usaha industri konveksi pakaian jadi. Jangka waktu analisis keuangan didasarkan pada umur proyek yakni lima tahun. Pada contoh perhitungan ini, akan disampaikan pembiayaan untuk membeli komponen-komponen tertentu bagi usaha baru (strat up) yaitu untuk kebutuhan biaya investasi dan modal kerja. Pembiayaan bagi usaha baru adalah untuk pengadaan mesin-mesin dan pembelian bahan penolong dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.

5.2.3. Produk Murabahah

Produk pembiayaan murabahah (jual beli) merupakan produk yang paling banyak dimanfaatkan baik oleh lembaga keuangan syariah maupun oleh nasabah. Untuk mengenal produk murabahah lebih jauh, berikut disampaikan penjelasan tentang produk murabahah yang diambil dari Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005

(33)

tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan murabahah harus memenuhi rukun yaitu ada penjual (bai’), ada pembeli (musytari), obyek barang yang diperjual belikan jelas, harga (tsaman) dan ijab qabul (sighat).

Syarat-syarat yang berlaku pada murabahah antara lain:

1. Harga yang disepakati adalah harga jual, sedangkan harga beli harus diberitahukan.

2. Kesepakatan margin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah selama periode akad.

3. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah ke bank /Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan kesepakatan.

4. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

5. Dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka akad murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

6. Pembayaran secara murabahah dapat dilakukan secara tunai atau dengan cicilan.

7. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka (urbun) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah. Dalam hal bank meminta nasabah untuk membayar uang muka maka berlaku ketentuan:

a. Jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang ditanggung oleh bank, maka bank dapat meminta pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah,

b. Jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan nasabah menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut. Jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

(34)

Aspek Keuangan

5.3. Asumsi dan Parameter

Periode proyek diasumsikan selama lima tahun, periode proyek ini ditentukan dari umur ekonomis mesin-mesin yang digunakan dalam usaha industri konveksi pakaian jadi. Gambaran kondisi dan perkembangan keuangan usaha ini dihitung dengan menggunakan asumsi-asumsi dan parameter yang ditetapkan berdasarkan hasil penelitian terkait dan pengamatan lapangan. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan aspek keuangan disajikan pada tabel 5.1. dan lampiran 2.

Tabel 5.1. Asumsi dan Parameter Untuk Analisa Keuangan Usaha Konvensi Pakaian Jadi

Uraian Satuan Unit Rp/ Unit

Produksi berdasarkan sistem ongkos produksi

1. Kapasitas produksi per hari 400 2. Jumlah hari produksi per bulan 26

3. Ongkos produksi per potong 2,000

4. Kenaikan harga jual produk % per tahun 5% 5. Kenaikan harga beli bahan % per tahun 5%

6. Kenaikan upah % per tahun 5%

7. Upah Minimum Regional per hari 6,000 8. Upah Tenaga Langsung per potong

a. Upah jahit 400

b. Upah obras 50

c. Upah potong 50

9. Tingkat margin pembiayaan 8.5%

10. Jangka waktu pembiayaan tahun 3 11. Jangka waktu proyek tahun 5

*) data penelitian tahun 1998

5.4. Komponen dan Struktur Biaya

Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha konveksi pakaian jadi dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya modal kerja (eksploitasi). Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal pendirian usaha yang meliputi lahan usaha, bangunan dan peralatan. Biaya modal kerja/eksploitasi adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi dalam hal ini pada awal proyek.

5.4.1. Biaya Investasi

Biaya investasi atau disebut juga sebagai biaya tetap adalah biaya dalam pengertian short run, yaitu biaya yang tidak berubah (selalu sama), atau tidak terpengaruh terhadap besar kecilnya produksi. Biaya investasi dalam usaha konveksi pakaian jadi meliputi biaya tanah, bangunan dan

(35)

peralatan. Komponen biaya investasi usaha konveksi pakaian jadi disajikan pada Tabel 5.2 atau lampiran – 3.

Tabel 5.2. Biaya Investasi Usaha Konveksi Pakaian Jadi

U raian U n it H arg a p er To tal N ilai N ilai

U n it (R p ) B iay a (R p ) Eko n o m is Pen y u su tan

1. Tanah (meter) 200 100,000 20,000,000

2. Bangunan 100 300,000 30,000,000 20 1,500,000

3. Mesin dan Alat

a. Mesin jahit biasa 5 600,000 3,000,000 5 600,000

b. Mesin juki 10 2,850,000 28,500,000 5 5,700,000

c. Mesin obras 1 1,000,000 1,000,000 5 200,000

d. Mesin potong 1 1,750,000 1,750,000 5 350,000

e. Mesin itik 1 300,000 300,000 5 60,000

To tal B iay a In v estasi 84,550,000 8,410,000

*) data penelitian tahun 1998

5.4.2. Biaya Operasional

Biaya eksploitasi atau biaya modal kerja selalu tergantung pada besar kecilnya produksi per periode waktu. Biaya operasional ini meliputi biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja.

Sementara itu, modal kerja awal yang dibutuhkan sebesar Rp. 4.701.846,- di mana modal kerja awal ini merupakan kebutuhan dana yang diperlukan untuk membiayai aktivitas konveksi pakaian jadi selama 7 hari kerja (pertama), yang merujuk pada sistem pembayaran kontrak. Biaya Operasional selengkapnya ditampilkan pada tabel 5.3 atau lampiran 4.

(36)

Aspek Keuangan

Tabel 5.3. Biaya Operasional Usaha Konveksi

Uraian Unit Harga per Total Unit (Rp) Biay a (Rp) 1. Biaya langsung

a. Bahan penolong

Benang jahit dan bahan lain 1 1,000 1,000 b. Upah jahit 1 400 400 c. Upah obras 1 50 50 d. Upah potong 1 50 50 Sub Total 1,500 2. Biaya tidak langsung

a. Gaji pemilik per bulan 490,000 490,000 b. Gaji karyawan tetap per bulan 468,000 468,000 c. Biaya makan per bulan 156,000 156,000 d. Biaya pemasaran per bulan 350,000 350,000 e. Biaya listrik per bulan 400,000 400,000 SuB Total 1,864,000

*) data penelitian tahun 1998

Kebutuhan Biaya langsung

1. Jangka waktu satu kali siklus produksi 7 hari 2. Rencana produksi per hari 400 potong Jadi kebutuhan biay a langsung adalah 4,200,000

Kebutuhan Biaya tidak langsung

1. Jangka waktu perputaran modal kerja/ minggu 7 hari 2. Jumlah hari kerja per bulan 26 hari Jadi lebutuhan biay a tidak langsung adalah 501,846 Kebutuhan total modal kerja (7 hari) adalah 4,701,846 Kebutuhan biay a operasional tahun pertama (Rp)

a. Bahan penolong 131,040,000 b. Upah langsung 65,520,000

c. Gaji 13,368,000

d. Pemasaran dan transportasi 4,200,000 e. Listrik 4,800,000 f. Besar margin pembiayaan 3,174,750 g. Penyusutan 8,410,000

(37)

5.5. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Kebutuhan dana untuk usaha konveksi pakaian jadi terdiri dari kebutuhan investasi dan modal kerja. Dana investasi dan modal kerja tersebut ada yang bersumber dari pembiayaan LKS dan dana milik sendiri. Dana yang dibutuhkan untuk investasi awal sebesar Rp. 84.550.000,-. Sedangkan kebutuhan modal kerja untuk 1 kali siklus produksi (7 hari) sebesar Rp. 4.707.846,-.

Pada contoh pembiayaan usaha baru, kebutuhan dana investasi untuk pengadaan peralatan (mesin-mesin) diasumsikan berasal dari pembiayaan LKS Sedangkan pada kebutuhan biaya modal kerja, hanya untuk pengadaan bahan penolong yang berasal dari pembiayaan LKS. Komponen-komponen biaya yang lain diasumsikan sebagai bagian dari kontribusi pengusaha yang bersangkutan.

Selanjutnya, keperluaan dana untuk usaha konveksi pakaian jadi ditampilkan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja Usaha Konveksi Pakaian Jadi

No Rincian Biaya Proyek Total Biaya (Rp)

1 Dana investasi yang bersumber dari

a. Pembiayaan 34.550.000

b. Dana sendiri 50.000.000

Jumlah dana investasi 84.550.000

2 Dana modal kerja yang bersumber dari

a. Pembiayaan 2.800.000

b. Dana sendiri 1.901.846

Jumlah dana modal kerja* 4.701.846

3 Total dana proyek yang bersumber dari

a. Pembiayaan 37.350.000

b. Dana sendiri 51.901.846

Jumlah dana proyek 89.251.846

Pembayaran angsuran pembiayaan dalam perhitungan kelayakan diasumsikan se-cara tetap dengan cara jumlah pembiayaan dibagi lama waktu pembiayaan sesuai dengan siklus produksinya. Sedangkan pengadaan peralatan dan bahan penolong diasumsikan telah dimiliki dan tersedia pada LKS. Pengadaan peralatan dan bahan tersebut, pihak LKS dapat berkerjasama dengan pihak lain dengan akad yang terpisah dari akad murabahah ini.

(38)

Aspek Keuangan

Hasil (Output) usaha konveksi pakaian jadi adalah pakaian jadi yang siap dipasarkan (ekspor). Setiap hari dengan kapasitas yang ada dapat diproduksi sebanyak 400 potong pakaian dengan asumsi hari kerja efektif adalah 26 hari per bulan.

Pada tahun pertama, hasil penjualan pakaian jadi merujuk pada kapasitas produksinya adalah sebesar Rp. 262.080.000,-. Hasil penjualan ini diasumsikan meningkat setiap tahunnya sejalan dengan peningkatan harga bahan penolong dan upah tenaga kerja, yaitu sebesar 5%. Produksi dan pendapatan usaha konvensi pakaian jadi dapat dilihat pada tabel 5.5 atau lampiran 5.

Tabel 5.5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Uraian

1. Produksi per hari 400

2. Produksi per bulan 10,400

3. Produksi per tahun 4,160,000

4. Pendapatan per tahun

a. Tahun - 1 262,080,000

b. Tahun - 2 5% 275,184,000

c. Tahun - 3 5% 288,943,200

d. Tahun - 4 5% 303,390,360

e. Tahun - 5 5% 318,559,878

Pendapatan untuk satu tahun

*) data penelitian tahun 1998

Total

5.7. Proyeksi Laba Rugi

Hasil proyeksi rugi laba menunjukkan bahwa usaha konveksi pakaian jadi ini sudah mampu menghasilkan keuntungan sejak tahun pertama. Secara rata-rata pada contoh perhitungan untuk usaha baru, keuntungan yang diperoleh setelah memperhitungkan pajak adalah Rp. 31.767.524,- dengan tingkat profit on sales sebesar 10,97%. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6.

5.8. Proyeksi Arus Kas (Cash Flow) dan Kelayakan Proyek

Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan pakaian jadi. Untuk arus keluar meliputi biaya investasi, biaya operasional, juga termasuk angsuran pembiayaan dan pajak penghasilan.

(39)

Evaluasi kelayakan untuk usaha konveksi pakaian jadi dengan pembiayaan murabahah dapat diukur dari tingkat kemampuan membayar kewajiban kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Hal ini dapat diketahui karena pada produk murabahah besarnya margin sudah ditentukan di awal akad, sehingga pada analisa laba rugi dan arus kas dapat dihitung kemampuan membayar berdasarkan dari pendapatan yang diperoleh usaha tersebut. Pada arus kas diketahui bahwa pada tingkat margin 8,5% untuk usaha baru usaha ini mampu membayar kewajiban pembiayaannya dan menghasilkan keuntungan. Dengan demikian usaha konveksi pakaian jadi tersebut layak untuk dilaksanakan dan bisa dipertimbangkan untuk memperoleh pembiayaan.

Pada analisa kelayakan dapat juga memakai beberapa indikator yang umum digunakan pada perhitungan konvensional. Indikator tersebut meliputi IRR (Internal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio), PBP (Pay Back Period). Nilai IRR bisa menjadi indikator untuk mengukur kelayakan usaha, semakin tinggi nilai IRR maka usaha tersebut semakin berpeluang untuk menciptakan keuntungan. Meskipun demikian, indikator tersebut hanya sebagai alat bantu untuk menilai kelayakan suatu usaha. Besaran margin ataupun bagi hasil, harus ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak yaitu LKS dan nasabah.

Proyeksi arus kas untuk kelayakan usaha konveksi pakaian jadi selengkapnya ditampilkan pada lampiran 7.

5.9. Perolehan Margin

Pola pembiayaan syariah yang digunakan dalam usaha konveksi pakaian jadi adalah murabahah (jual beli). Pada kesempatan ini ditampilkan satu contoh alternatif pembiayaan yaitu usaha baru (start up). Hasil perhitungan dengan tingkat margin 8,5% untuk usaha baru menghasilkan margin sebesar Rp. 9.524.250,- dalam jangka waktu tiga tahun pembiayaan. Tingkat margin ini diberlakukan flat (tetap) per tahun, selama waktu pembiayaan yang disepakati. Selengkapnya, perhitungan perolehan margin dapat dilihat pada lampiran 8.

Penentuan besaran margin, diutamakan berdasarkan pada base line data (data rujukan) untuk setiap komponen usaha / sektor ekonomi. Tetapi karena pada saat ini data tersebut belum tersedia, maka nilai margin mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari praktek umum yang diterapkan oleh perbankan syariah dan kesetaraan dengan suku margin Bank Indonesia (SBI). Data pola pembiayaan pada perbankan syariah dapat dilihat pada lampiran 9.

(40)

Aspek Keuangan

(41)

BAB VI

ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

6.1. Aspek Sosial Ekonomi

Dampak positif dari PKT konveksi ditinjau dari sisi perusahaan mitra usaha dan anggota koperasi adalah sebagai berikut:

a. Perusahaan mitra usaha dapat meningkatkan omset penjualan pakaian jadi dengan meminimumkan investasi peralatan potong dan peralatan jahit, lahan dan bangunan serta investasi sumber daya manusia. Perusahaan mitra usaha juga dapat meminimumkan dampak negatif pengelolaan perburuhan.

b. Perusahaan mitra usaha dapat konsentrasi pada usaha perdagangan saja, sehingga memungkinkan untuk menggali lebih luas potensi pasar domestik maupun pasar ekspor. c. Anggota koperasi mendapat jaminan pekerjaan menjahit dari perusahaan mitra usaha sehingga

dapat berkonsentrasi pada produksi dan baku mutu produk.

d. Anggota koperasi dalam kaitannya dengan permohonan pembiayaan kepada bank mendapat bantuan jaminan kredit dari perusahaan mitra usaha.

e. Pemanfaatan pembiayaan murah dapat mengurangi biaya bunga sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan pendapatannya.

f. Ditinjau dari sisi penciptaan lapangan kerja, usaha konveksi pakaian jadi menyerap relatif cukup banyak tenaga kerja sehingga secara nasional dapat membantu menyelesaikan masalah pengangguran. Sebagai contoh, dalam model ini per anggota koperasi memperkerjakan 21 tenaga kerja terdiri dari 18 tenaga kerja langsung dan 3 tenaga kerja tidak langsung.

g. Dengan adanya kemungkinan perusahaan mitra usaha memperluas pasar domestik dan ekspor, maka secara nasional dapat diharapkan adanya peningkatan pendapatan pekerja, pendapatan daerah maupun devisa negara.

h. Rata-rata pekerja dapat menghasilkan 20 potong per hari atau upah tenaga kerja Rp. 10.000,- per hari

(42)

Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Terhadap Lingkungan Hidup

i. Jika PKT konveksi ini dapat dikembangkan lebih luas maka usaha hulu dan hilir seperti produk tekstil, benang jahit dan bahan baku pembantu seperti kancing dan asesoris serta pengrajin kain keset dan lap mobil dari kain majun (kain sisa potongan) dapat lebih berkembang.

6.2. Dampak terhadap Lingkungan Hidup

a. Limbah potongan kain dapat dimanfaatkan oleh pengrajin keset dan lap mobil sehingga secara umum limbah padat dari usaha konveksi dapat dikatakan tidak ada.

b. Proses produksi usaha konveksi bebas dari penggunaan bahan kimia berbahaya sehingga tidak mencemari lingkungan.

c. Tingkat kebisingan dari usaha konveksi juga relatif tidak tinggi dibandingkan usaha lainnya sehingga secara umum juga tidak menimbulkan polusi udara. Satu-satunya kemungkinan bahaya yang dapat ditumbuhkan oleh usaha konveksi adalah bahaya kebakaran, tetapi adanya baku prosedur keamanan kerja dan penggunaan alat-alat pemadam kebakaran, maka bahaya tersebut dapat dikurangi dan diantisipasi.

d. Sehingga secara keseluruhan usaha konveksi pakaian jadi dapat digolongkan pada usaha ramah lingkungan.

(43)

L A M P I R A N

Lampiran 1. Pengenalan Pola Pembiayaan Syariah

Pembiayaan Syariah

Bank syariah menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Ini di dorong oleh makin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memilih produk yang halal. Pun karena jumlah penduduk Muslim di Indonesia yang paling banyak di dunia, merupakan potensi bagi keuangan syariah untuk menjadi bagian dalam pembiayaan ekonomi masyarakat.

Prinsip pembiayaan syariah yang mendasar adalah:

1. Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana.

2. Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan pembiayaan maupun dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil yang menyertai pembiayaan tersebut.

Untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut agar dapat berjalan jauh dari prasangka, manipulasi, korupsi dan kolusi maka dibutuhkan informasi yang memadai. Informasi ini menjadi data pendukung yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang proposional. Jenis informasi yang dimaksud antara lain:

1. Informasi data nasabah

2. Informasi data penjualan / pembelian / penyewaan riil 3. Proyeksi laporan keuangan

4. Akad pembiayaan

Lebih lanjut penjelasan dari informasi yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: a. Informasi data nasabah

Menyeleksi calon nasabah yang dapat dipercaya untuk memperoleh pembiayaan dilakukan melalui uji kelayakan nasabah. Uji kelayakan bentuknya berupa form pengisian yang memuat data pribadi dan data usaha calon nasabah. Pengisian form dilakukan melalui wawancara secara individual dan kunjungan ke tempat tinggal dan tempat usaha.

Informasi dari uji kelayakan ini sebagai pertimbangan apakah calon bisa menjadi nasabah atau tidak. Sekaligus juga menentukan jenis pembiayaan yang sesuai untuk nasabah bersangkutan. b. Informasi data penjualan / pembelian / penyewaan riil

Informasi data penjualan/pembelian/ penyewaan riil merupakan data usaha yang sudah terjadi di lapangan. Data riil ini menjadi dasar perhitungan dari akad yang sudah disepakati. Dengan demikian tereliminer kerugian baik yang dirasakan oleh debitur maupun kreditur karena pelaksanaan akad dilandasi dengan data riil.

(44)

Lampiran

Informasi ini bentuknya berupa form isian, yang diisi secara rutin sesuai dengan siklus usahanya oleh nasabah. Contoh bentuk form yang diberikan sesuai dengan jenis usahanya dan kebijakan LKS masing-masing.

c. Proyeksi laporan keuangan

Proyeksi laporan keuangan merupakan pelengkap informasi dalam menentukan persetujuan usulan pembiayaan usaha dari nasabah. Proyeksi dari laporan keuangan yang dimaksud terdiri dari proyeksi arus kas, proyeksi laba (rugi) dengan analisa kelayakan seperti NPV, IRR, BEP, B/C ratio, PBP, dll.

Proyeksi ini dibuat atas dasar asumsi-asumsi yang relatif tetap sepanjang umur usaha yang dibiayai. Sedangkan dalam hukum syariah semua transaksi harus riil. Oleh sebab itu dalam menentukan besaran nominal untuk bagi hasil tidak bisa merujuk pada hasil proyeksi (relatif tetap) tetapi harus merujuk pada transaksi riil (relatif berfluktuasi sesuai dinamika usahanya). d. Akad pembiayaan

Akad pembiayaan merupakan kesepakatan antara shahibul maal dan mudharib. Akad ini sebagai landasan hukum syariah bagi transaksi pembiayaan. Akad pembiayaan sesuai dengan jenis pembiayaan usaha nasabah.

Produk pembiayaan syariah bermacam-macam, sebagaimana tersaji pada tabel di bawah ini:

Tabel Pengenalan Produk Syariah

Prinsip Dasar Jenis – Jenis

Bagi Hasil (Profit Sharing)

Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing and Participation)

Adalah penanaman dana dari shahibul maal (pemilik modal) untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua shahibul maal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing

Al-Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment)

Adalah akad kerjasama antara 2 pihak di mana pihak shahibul maal menyediakan modal dan pihak mudharib menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi berdasarkan nisbah sesuai dengan kesepakatan. Pembagian nisbah dapat menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) Al-Muzara’ah (Harverst-Yield Profit Sharing)

Adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen

(45)

Al Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield)

Adalah bentuk sederhana dari Al-muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan.

Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen

Jual Beli (Sale and Payment Sale)

Bai’ Al Murabahah (Deferred Payment Sale)

Adalah akad jual beli antara sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati Barang yang dimaksud adalah barang yang diketahui jelas kuantitas, kualitas dan spesifikasinya

Bai’ as Salam (in front Payment Sale)

Adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dengan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh

Bai’ Al – Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture) Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan Sewa (Operational

Lease and Financial Lease)

Al-Ijarah (operational Lease)

Adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa

AL- Ijarah Al Muntahia bit – Tamlik (Financial Lease with Purchase Option)

Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa

Jasa (Fee-Based Services)

Al Wakalah (Deputyship)

Adalah penyerahan, pedelegasian atau pemberian mandat kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan

Al-Kafalah (Guaranty)

Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, atau mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berbegang pada tanggungjawab orang lain sebagai penjamin.

Al-Hawalah (Transfer service)

Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya

(46)

Lampiran

Ar-Rahn (Mortgage)

Adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterima.

Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis Al-qardh (soft and Benevolent Loan)

Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan

(47)

Lampiran 2. Asumsi dan Parameter untuk Analisa Keuangan Industri Konveksi Pakaian Jadi *)

Uraian Satuan Unit Rp/Unit Produksi berdasarkan sistem ongkos produksi

1. Kapasitas produksi per hari 400 2. Jumlah hari produksi per bulan 26

3. Ongkos produksi per potong 2,000 4. Kenaikan harga jual produk % per tahun 5%

5. Kenaikan harga beli bahan % per tahun 5% 6. Kenaikan upah % per tahun 5%

7. Upah Minimum Regional per hari 6,000 8. Upah Tenaga Langsung per potong

a. Upah jahit 400

b. Upah obras 50

c. Upah potong 50

9. Tingkat margin pembiayaan 8.5% 10. Jangka waktu pembiayaan tahun 3 11. Jangka waktu proyek tahun 5

Gambar

Tabel 1.1.  Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Akhir Tahun 1996  Industri  Besar/Sedang  Industri Kecil  Industri  Rumah tangga
Gambar 2.2.  Mekanisme Proyek Kemitraan Tepadu
Tabel 5.1.  Asumsi dan Parameter Untuk Analisa Keuangan Usaha Konvensi Pakaian Jadi
Tabel 5.2.  Biaya Investasi Usaha Konveksi Pakaian Jadi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Calla: (Pointing at the paper which has a drawing house) When, Koko (Brother) Agung house, have to color it?. Agung: I

Suatu bangunan agar dapat berdiri kokoh harus ditopang oleh struktur bawah dan struktur atas yang kuat, maka dari itu perlu dilakukan desain secara rinci dan

Pentingnya perawatan payudara sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ASI maka dalam penelitian ini menganalisa hubungan frekuensi perawatan payudara

Dalam melakukan kegiatan promosi di awal berdirinya perusahaan, pengusaha melakukannya dengan cara lisan atau langsung terjun dalam masyarakat untuk memasarkan

1) Jurusita/jurusita pengganti melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap status barang yang disengketakan. 2) Apabila barang tersebut merupakan barang yang sudah

(7) Dalam hal Wabah, KLB, dan/atau KKM terjadi secara nasional maka pembentukan tim atau disebut dengan nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat

“Sejauh ini kontrol pemerintah setempat sudah epektif yang dimana para remaja sudah berkurang menyalahgunakan obat komix dikarenakan para penjual sudah tidak terlalu banyak

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan cangkang telur dan abu sekam padi dengan variasi suhu sinter terhadap densitas dan kekerasan pada keramik..