• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA

Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan, hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi ”sumber integrasi” bagi seluruh komponen warga negara.

Dengan kata lain, kajian agama sipil yang ”top-down” adalah suatu penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil

religion.

Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya ”rasa keberagamaan” itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir orang Jawa.1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam bagian ini.

Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai. Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas

1 Paul Stange, “The Logic of Rasa in Java”, Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134.

(2)

keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea 3.

Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil, bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme) dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).

Yang Maha Kuasa di Alinea Tiga: Kajian Terhadap Pembukaan UUD 1945

Kajian tentang identitas agama dalam bab ini akan diulas dengan menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. UUD 1945 yang menjadi rujukan adalah pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya. Meski menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan, bahasan dalam sub bab ini juga akan menyinggung perubahan dasar negara yang juga sempat menggunakan UUD Sementara Republik Indonesia (RI) 1950 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

17 Agustus 1945 memberikan dua hal yang pokok dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia.2 Pertama, pernyataan di depan penjajah bahwa umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kedua, kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan Republik Indonesia.

2 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Jogjakarta: Ombak dan Media

(3)

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara

saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Atas nama Bangsa Indonesia

Soekarno-Hatta

Semangat yang tercermin dalam proklamasi adalah pernyataan bahwa hari itu semua bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Teks proklamasi merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.3 Soekarno dan Hatta didaulat mewakili bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan Hatta mewakili bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama yang dianut oleh penduduknya.

Tentang kedudukan proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjelaskan bahwa ia tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah

proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of independence.4 Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman

3 Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet: Tafsir Postkolonial atas

Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011),

48.

4 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan

(4)

tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi, tidak memiliki arti.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang Dasar 1945.

Sebagai sebuah teks, pembukaan UUD 1945 baru terumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tapi, teks ini tentu saja bukanlah suatu yang begitu saja muncul. Ia hadir dari sebuah rangkaian proses dalam perdebatan sidang BPUPKI. Setidaknya hal itu bisa kita tangkap sejak Soekarno mengucapkan pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Pidato itulah yang kemudian memantik BPUPKI membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia.

Panitia kecil itulah yang kemudian berhasil membuat naskah pembukaan,

preambule yang kemudian dianggap sebagai gentlemen agreement antara paham

nasionalisme dan pendukung Islam. Muhammad Yamin kemudian mengusulkan agar kesepakatan yang dibuat oleh tim kecil itu sebagai Piagam Jakarta (Jakarta

Charter). Naskah ini yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia

memancing perdebatan, terutama yang berkaitan dengan tujuh kata di alinea empat.

Dari naskah yang sederhana itu, kemudian tersusunlah naskah baru yang diberi nama Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM). PIM merupakan perluasan dari Piagam Jakarta. Tiga alinea pertama dari Piagam Jakarta dikembangkan dalam PIM menjadi delapan alinea. Alinea keempat dari Piagam Jakarta yang

(5)

kemudian disiapkan menjadi pembukaan dari UUD 1945. Jadi, kalau proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan PIM, maka Pembukaan UUD 1945 yang kita miliki hanyalah alinea keempat saja dari Piagam Jakarta.

Dalam perjalanannya, BPUPKI yang telah mempersiapkan baik PIM maupun UUD 1945, ternyata tidak dapat melaksanakan rencananya sesuai dengan yang diharapkan. Ini disebabkan karena sejak tanggal 15 Agustus 1945, teks proklamasi yang digunakan tidak menggunakan PIM akan tetapi suatu teks yang disusun kemudian oleh Soekarno-Hatta dengan para pemuda tanggal 17 Agustus 1945 jam 03.00 pagi hari dalam bentuk dua kalimat yang sederhana.

Sesudah proklamasi dibacakan, PPKI bersidang untuk kali yang pertama. Karena proklamasi sudah dilakukan dengan teks yang pendek, maka seluruh naskah yang bernama Piagam Jakarta itu kemudian hendak dijadikan Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya alinea keempat dari Piagam Jakarta. Dalam proses itulah, muncul keberatan dari para wakil Protestan dan Katolik yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Indonesia Timur terhadap tujuh kata dari naskah tersebut.

Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat diusahakan penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan wakil pemimpin Islam sebelum sidang PPKI, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan yang dilakukan terjadi pada alinea ketiga dan keempat. Perubahan dalam alinea keempat terjadi dengan dihapuskannya tujuh kata dari “…berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” dan dirumuskan kembali menjadi “…berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,…”. Perubahan alinea ketiga dilakukan dengan kata Allah dengan kata Tuhan.5

5 John A. Titaley, Nilai-nilai Dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang

(6)

Setelah melihat perjalanan historisnya, kita mengamati nilai yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.6 Alinea pertama memuat kalimat Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Konsep kunci dalam alinea pertama adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan dan penjajahan. Jika diamati secara mendalam, nilai ini hanya akan terlaksana kalau tidak ada penjajahan. Segala bentuk penjajahan akan menghilangkan perikemanusiaan dan keadilan. Hanya kemerdekaan sajalah yang dapat memulihkan harga diri kemanusiaan.

Dalam alinea kedua, kita akan menemukan konsep kunci yakni perjuangan kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur adalah konsep yang berkaitan dengan alinea pertama. Yang perlu diperhatikan adalah perjuangan kemerdekaan dan pintu gerbang kemerdekaan. Perjuangan ini menunjuk kepada upaya mencapai kemerdekaan oleh bangsa Indonesia. Kemerdekaan itu bukanlah hadiah Belanda atau Jepang atau siapa-siapa, melainkan perjuangan. Pintu gerbang kemerdekaan Indonesia itu bukanlah negara Indonesia, karena negara Indonesia saat itu belum memiliki aturan hukum. Karenanya nilai yang ditekankan dalam alinea kedua ini adalah karya nyata manusia Indonesia yang punya kesadaran tinggi terhadap berlakunya hukum.

Alinea ketiga, Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Konsep kunci dalam alinea ini adalah pernyataan pengakuan bahwa adanya rakhmat dan pengakuan kemerdekaan. Jika alinea pertama dan kedua menekankan pada

6 Kajian ini telah ditulis dengan baik dalam, Ibid., 9-24. Penjabaran tentang nilai-nilai

(7)

kerja manusia, alinea ketiga ini adalah pengakuan bangsa Indonesia akan adanya campur tangan Yang Maha Kuasa dalam kemerdekaan Indonesia.

Sementara dalam alinea keempat kita melihat gagasan-gagasan implementasi kemerdekaan itu. Konsep-konsep kunci yang terkandung di dalamnya adalah pemerintah negara, UUD, negara yang berkedaulatan rakyat dan Pancasila. Pemerintah negara ini bertugas untuk melindungi segenap bangsa seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum bukan pribadi, keluarga atau kelompok tertentu; mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. UUD menjadi konsep yang penting bagi suatu negara modern yang demokratis.

Karena itu, nilai-nilai yang dimiliki dalam pembukaan UUD 1945 adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, kerja keras, intervensi Tuhan, yang seluruhnya bersumber dari kesederajatan kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat merubah (transform) perilaku bangsa Indonesia dari kecenderungan untuk berperilaku primordialnya kepada perilaku nasionalnya.

Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan di alenia ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945, Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada redaksi pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah dirubah dengan Tuhan. Kata Pudja, ”Ayat 3 ”Atas berkat Rahmat Allah” diganti Tuhan saja, ”Tuhan Yang Maha Kuasa””.7 Usul Pudja ditangkap Soekarno yang kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan

7 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

(8)

”Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan”.8 Setelah itu, Soekarno kemudian membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata ”Tuhan” pada sidang 18 Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Editor buku ”Risalah Sidang BPUPKI” mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu.9

Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari 1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang BPUPKI, terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara no. 75 tahun 1959 halaman 3, alinea ketiga tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Ini berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPKI yakni, ”Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”.10

Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni

8 Ibid. 9 Ibid., 538.

10 Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945 (Bandung:

(9)

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI 1950.

Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh ”Allah Yang Maha Kuasa”. Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta. Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu sama-sama memunculkan kata ”Tuhan”. Dalam Konstitusi RIS, kalimat lengkapnya berbunyi ”Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”. Dalam UUD Sementara, kalimat di alinea berbunyi ”Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.11

Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada di Indonesia.12 Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna untuk kelompok tertentu saja.

Sebutan Allah sebagai identitas Yang Maha Kuasa, sangat khas dengan tiga kelompok agama, Islam, Kristen dan Katolik. Memasukan Allah dalam pembukaan UUD 1945, seolah-olah hanya ingin menunjukan bahwa perjuangan kemerdekaan itu hanya dilakukan oleh tiga kelompok itu saja. Padahal

11 Kutipan Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara diambil dari ____, 3

Undang-undang Dasar Republik Indonesia (Pustaka Mahardika, tt), 43 dan 104.

12 Putu Setia, “Refleksi Agama-agama atas 50 tahun Kemerdekaan: Perspektif Hindu,”

dalam Tim Balitbang PGI (ed), Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia

(10)

hakikatnya kemerdekaan ini adalah karya bersama dari semua rakyat Indonesia yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan.

I Gusti Ketut Pudja datang sebagai wakil dari wilayah Sunda Kecil (Bali) yang beragama Hindu-Bali. Dalam tradisi Hindu-Bali, Allah itu sesuatu yang tidak dikenal. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, ”tradisi” tidak secara jelas dibedakan dari agama.13 Tradisi yang dalam beberapa bagian kehidupan masyarakat Bali menjadi religious worldview, merujuk pada tatanan kosmis yang ilahi dan aturan kemasyarakatan seperti yang diajarkan oleh para leluhur.14

Tidak seperti halnya agama-agama dunia yang memiliki dasar kepercayaan serta simbol yang memberikan makna bagi orang dari berbagai latar belakang kebudayaan, agama Bali benar-benar bersifat lokal seperti yang terwujud dalam upacara yang dikhususkan bagi kelompok tertentu, leluhurnya dan wilayahnya.15 Bagi mereka, tujuan utama bukanlah pada kebenaran dogma (orthodoxy) tetapi kebenaran perilaku (orthopraxy). 16

Karena agama yang diekspresikan masyarakat Bali sangatlah lokal, maka penyebutan terhadap identitas Yang Maha Kuasa pun berbeda-beda. Dalam kitab suci Weda sendiri Yang Maha Esa ini disebut dengan banyak nama antara lain, Agni, Indra, Vayu, Surya, Mitra, Varuna, Prajapati, Amsa, Daksa, Parjanya, Vivasvat, Visvakarma, Savitri dan lain-lain. 17 Kalau di Bali sendiri penamaan terhadap Yang Maha Kuasa itu tidak tunggal. Tuhan itu satu, hanya orang bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya sebagai Sinaring Jagad (Penyinar Bumi), juga Sang Hyang Widhi Wasa.

13 Michael Picard, “What’s in A Name?: Agama Hindu Bali in the Making”, dalam Martin

Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and

Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 62.

14 Ibid.

15 Ibid. Wawancara Ari Dwipayana, 10 September 2012, I Ketut Sumartha, 7 November

2012.

16 Ibid. Wawancara I Putu Gelgel, 8 November 2012.

17 Made Titib, “Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Ketut Wiana, Bagaimana Umat Hindu

(11)

Penamaan Widhi Wasa itu sendiri dipopulerkan oleh para zending (penyebar Kristen) di Bali. Ketika Kristen masuk Bali, ada pendekatan kultural terhadap masyarakat, penerjemahan Alkitab dan mereka mempopulerkan nama yang sudah ada dalam tradisi masyarakat Bali itu. 18

Penyebutan nama Tuhan itu penting untuk masyarakat tertentu, tapi bagi yang lain tentu tidak. Sebutan itu jelas menjadi identitas sebuah komunitas. Ketika bersepakat untuk membentuk satu negara, mencari formula yang lebih umum tentang siapa itu Yang Maha Kuasa, jauh lebih penting. Usulan Pudja itu strategis untuk negara, bukan kepentingan Hindu-Bali semata. Itu sebagai identitas keindonesiaan yang disepakati untuk mengatasi sekian penamaan.19

Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. Ia dinarasikan dalam nama ”Tuhan”. Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat diterima oleh semua agama dan pemeluknya.

Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa Indonesia.

Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk

18 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012, John Titaley, 31 Oktober 2012. 19 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012.

(12)

menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.

Secara teoritis, John Hick mengatakan bahwa Tuhan adalah ”The Eternal

One”.20 Penggambaran ini dibedakan dalam dua bentuk asosiasi. Pada satu sisi menyatakan satu dari tradisi mistis, dimana itu bisa merupakan satu dari tradisi Plotinus atau satu tanpa yang kedua dari Upanishad, dan di sisi lain adalah Yang Suci dari pengalaman teistik, dimana itu bisa merupakan Yang Suci bangsa Israel atau pemujaan teistik India.21

”The Eternal One”, bagi Hick, menjadi dasar bersama dari semua tradisi agama besar.22 Realitas Tuhan ini tidak terhingga dan melampaui batas pemikiran manusia, bahasa dan pengalaman. Kenyataan ini kemudian direspon, dikonseptualisasi, dan diekspresikan secara beragam karena keterbatasan jalan yang dimungkinkan karena dasar manusia yang terbatas pula.

Kepercayaan terhadap adanya “the Eternal One”, sudah berkembang pada agama-agama primitif. Cuma, penggambaran terhadap “the Eternal One” itu berbeda dengan yang diajarkan Yesaya, Yesus, Gautama, Muhammad, Kabir atau Nanak. Tuhan, dalam kepercayaan mereka lebih ditekankan pada pengertian kekuatan gaib yang ada di sekeliling untuk ditakuti atau wujud yang tak dapat diduga.23

Catatan penting dari Hick adalah bahwa tuntutan kesadaran primitif tentang Tuhan yang dibuat atas kehidupan manusia adalah untuk memelihara dan memajukan manusia dari kelompok kecil ke negara besar. Tuhan itu sendiri sebenarnya dikonsepsikan berbeda antara agama Teistik dan non Teistik. Agama Teistik lebih menekankan konsep tentang Tuhan dalam artian personal.

20 John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 42 21 Ibid.

22 Ibid. 23 Ibid., 43-44.

(13)

Sementara di sisi lain, agama non-Teistik, trans-Teistik dan a-Teistik menggambarkan Tuhan sebagai non-personal.

Dengan meminjam kerangka Immanuel Kant, Hick membedakan antara nomena (noumenon) dan fenomena (phenomena).24 Nomena merupakan Tuhan yang dalam kediriannya melampau lingkup bahasa dan pikiran manusia. Fenomena sifatnya pluralistik, karena ia merupakan respon manusia terhadap realitas mutlak itu. Pluralitas fenomena terdiri dari personae Tuhan dalam agama-agama Teistik dan konkretisasi konsep Yang Mutlak dalam agama-agama non Teistik.25

Wajar jika kemudian Hick mengatakan bahwa ”God Has Many Names”. Atau dalam bahasanya mistikus muslim, Sayyed Hussein Nasr, “The One in The

Many”.26 Noumena ditanggapi oleh fenomena yang plural. Apa yang absolut itu dipahami secara berbeda, sehingga dibahasakan secara plural pula dalam aspek budaya manusia yang berlainan.

Seperti dikutip oleh Joy Mills dalam “The One and The Many”, Nasr mengatakan, “The doctrine of oneness is unique. There cannot be two Absolutes.

There is only the One within a particular sacred universe”.27 Lalu Nasr menambahkan “We thirst for the Absolute, that reality which constitutes deep down the essence of human nature. Human beings cannot live with pure relativity, which is why, when they are cut off from the real Absolute, they absolutize the relative”.28

24 Ibid., 52-53.

25 Hick mencontohkan bahwa kesadaran tentang Tuhan dari Agama Teistik itu biasa

disebut Yahweh, Allah, dan Allah dan Bapa Yesus Kristus, Krishna, Shiva dan lainnya. Sementara dalam agama non-Teistik misalnya tentang kesadaran non personal tentang Tuhan dalam Brahman dari Hindu Advaitik, Nirvana dari Budha Theravada dan Sunyata dari Buddha Mahayana. Ibid., 53.

26 Seyyed Hossein Nasr, “The One in The Many”, Artikel dipresentasikan pada Parliament

of the World’s Religions di Chicago, 2 September 1993 dikutip Joy Mills, “The One and The Many”,

Makalah dipresentasikan pada European Congress, Bosön Sport Center, Sweden, July 1995.

27 Joy Mills, “The One and The Many”. . . 28 Ibid.

(14)

Apakah kemudian Tuhan bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam alinea tiga pembukaan UUD 1945 itu teis ataukah non-teis? Penganut agama-Agama Abrahamik tentu akan menafsirkannya dengan model teistik. Tetapi penganut Buddha atau Hindu lebih cenderung menafsirkannya secara non-teistik. Sehingga, Tuhan yang dimaksud dalam alinea tiga tidak semata-mata merujuk pada salah satu dari teistik atau non-teistik.

Pancasila Sebagai Agama Sipil: Integrasi, Legitimasi dan Suara Kenabian

Beberapa karya tentang agama sipil di Indonesia, pada umumnya menyimpulkan Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Ini bisa dilihat misalnya dalam tulisan Matti Justus. Schindehütte,29 Susan Selden Purdy,30 atau Karel A. Steenbrink.31 Beberapa penulis di Indonesia juga kurang lebih mengungkapkan kesimpulan yang sama.32 Dengan menggunakan pendekatan Jose Casanova, Benjamin Fleming Intan melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya sebagai public religion.33 Dengan begitu maka penemuan Pancasila sebagai agama sipil sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa penulis. Dengan begitu, maka tulisan ini hanyalah menuliskan kembali posisi Pancasila sebagai agama sipil itu seperti yang telah dikemukakan penulis sebelumnya.

29 Matti Justus. Schindehütte, “Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens”, Thesis (Ph.D, Hamburg University, 2005).

30 Susan Selden Purdy, “Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:

Pancasila and civil religion in Indonesia”, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

31 Karel A. Steenbrink, “The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of

Religion” dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical

Survey (New York: Oxford University Press, 1999).

32 Elma Haryani, ”Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi

Agama”, Tesis Universitas Gajah Mada, 2005, Nafisul Atha, ”Pancasila dan Agama Sipil”, Tesis UIN Jogjakarta, 2005.

33 Benyamin Fleming Intan, ““Public Religion” and the Pancasila-based State of

Indonesia: A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1998)”, (Ph.D Disertasi, Boston College Department of Theology, 2004).

(15)

Diskursus mengenai agama sipil di Indonesia, dalam pengertian Bellah, salah satunya tergaris dari dasar negara Pancasila. Pancasila sendiri tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Lima pilar yang menjadi dasar negara Indonesia, bisa ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4.

Seperti yang tergambar dari komposisi yang menjadi kerangkanya, Pancasila tidaklah merefleksikan satu arus semata. Meski ada aspek keagamaan dalam Pancasila, tetapi agama apa yang menjadi dasar dari Pancasila tidaklah dirumuskan secara spesifik. Itu artinya, setiap pemeluk keyakinan keagamaan bisa mengambil sudut pandang imannya atau theologizing dalam menghayati Pancasila.

Pembahasan ini akan melihat posisi Pancasila dari dua sudut pandang. Jika mengikuti alur sejarah yang telah berjasa melahirkan Pancasila, maka penulis melihat bahwa ada dua asas mendasar yang menjadi tiang penyangganya.

Pertama, landasan politik. Kedua, prinsip etika.34 Secara politik Pancasila bisa digambarkan sebagai landasan kehidupan bernegara yang memayungi berbagai kepentingan ideologi dan politik yang berbeda. Sementara prinsip etika berarti Pancasila adalah sumber moralitas bahwa yang menunjukkan bahwa kehidupan bangsa Indonesia tidaklah merupakan sebuah proyeksi berbangsa dan bernegara yang lepas dari moralitas.

Secara politik, peran Pancasila sebagai civil religion dikarenakan ia telah berhasil menjadi solusi atas persoalan relasi agama dan negara yang sangat rumit di Indonesia. Sementara secara etika, Pancasila menjadi landasan bahwa bangsa Indonesia memiliki fundamen yang kuat berakar dalam tradisi dan budaya bangsa yang kemudian menjadi Indonesia.

Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Hipotesa awal yang hendak

34 Penulis kemudian menemukan paparan serupa tentang hal ini dalam Faisal Ismail,

Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila

(16)

dibangun dalam sub bab ini bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Dalam kajian agama sipil (terutama yang disinggung Bellah) agama sipil adalah sejenis elemen pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial. Pancasila menjadi pemersatu dari elemen-elemen agama maupun non agama.

Penjelasan tentang posisi Pancasila sebagai agama sipil bisa dilihat pertama-tama dari statusnya sebagai dasar negara dan ideologi. Sebagai ideologi, Pancasila tentu saja tidak merepresentasikan kelompok primordial tertentu. Ia memayungi semua kelompok primordial tersebut. Hubungan konstitusional antara agama dan negara di Indonesia sebenarnya jelas, dimana agama dan negara berada di ruang yang berbeda tapi tidak terpisah. Anasir-anasir mengenai agama, jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia. Tetapi, meski memuat anasir-anasir tersebut, konstitusi tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara. Ruang antara agama dan negara itu, selain membangun konsensus juga menyisakan perdebatan serta tarik menarik tafsir atas hubungan agama dan negara di Indonesia.

Secara umum, gagasan agama sipil muncul untuk menjalankan tiga fungsinya; alat integrasi, legitimasi dan memunculkan suara kenabian.35

Klaim integratif dari agama sipil seperti yang digambarkan Bellah pada kasus Amerika merupakan fungsi yang sangat mendasar. Integrasi menghendaki hadirnya harmoni dan ketertiban. Agama sipil menjadi “lem perekat” kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan. Gagasan Durkheim menjadi sangat relevan untuk menakar Pancasila sebagai agama sipil. Mereka yang berbeda keyakinan, suku dan klannya ini memiliki kesadaran bersama, yang itu kemudian menjadi otoritas moral.

Dalam skema Durkhemian ini, Pancasila membutuhkan pra kondisi struktural bagi sebuah bentuk integrasi yang efektif; tingkat perbedaan yang

35 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:

(17)

berdampak pada kebutuhan kerjasama dalam masyarakat yang lebih luas.36 Tapi, lanjut Purdy, memahami apa yang digagas oleh Durkheim tidak hanya pada soal integrasinya semata, tapi komponen moral yang ada di dalamnya.37 Perspektif Durkheimian ini digunakan Bellah saat mencermati Agama Tokugawa di Jepang. Kata Bellah, masyarakat Jepang dicirikan oleh kesetiaan kelompok di satu sisi dan pencapaian individual serta kolektif di sisi lain.38 Keseragaman budaya dan keyakinan akan kesetaraan yang merupakan prasyarat bagi sebuah negara modern, sudah disiapkan oleh Jepang di era Tokugawa.39

Dalam kasus Pancasila, fungsi integrasi ini diperankan untuk mengatasi perbedaan etnis, etos kebudayaan dan pluralitas agama. Perbedaan-perbedaan itu disatukan dalam wadah negara-bangsa di bawah satu kode moral bersama. Mencari dasar filosofis bersama itu tentu tidak mudah karena Indonesia harus memulainya dengan melewati berbagai tantangan seperti perang kemerdekaan, tarikan ideologi dan lainnya.

Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila mendapatkan klaim sebagai integrasionis. Pancasila mengakui adanya keragaman. Namun, bersamaan dengan pengakuan terhadap adanya keragaman, Pancasila menilai bahwa kemajemukan itu ada dalam bingkai yang satu.

Pancasila, jika kita mengaitkan dengan ide Durkheim (juga Rousseau) merupakan solusi untuk memecahan masalah ketertiban.40 Khusus untuk Durkheim problem tentang ketertiban itu kemudian dihubungkan dengan moralitas. Bagi Durkheim, sebagaimana dikutip Cristi, sebuah negara demokratis merupakan kendaraan utama dimana nilai-nilai individualisme moral

36 Ibid., 16. 37 Ibid.

38 Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-industrial Japan, terj. Wardah

Hafidz dan Wiladi Budiharga, “Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), xxi.

39 Ibid.

40 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and

(18)

diimplementasikan.41 Durkheim menggambarkan negara sebagai “organ pemikiran sosial”, “ego” kesadaran bersama.42 Pancasila hadir untuk pengembangan moral dari anggota-anggota individualnya. Sebagai agen moral, Pancasila berperan untuk menjamin dan memajukan hak-hak yang menyatu dalam moral individu.43

Selain sebagai alat integrasi, fungsi Pancasila sebagai agama sipil terlihat dari perannya sebagai legitimator. Weber menunjukan bahwa hubungan positif antara pemimpin dan yang dipimpin, menempati posisi penting bagi kinerja efektif sebuah sistem sosial.44

Legitimasi sebuah aturan dapat dijamin dalam dua prinsip. Pertama, jaminan bisa bersifat subjektif murni, baik itu bersifat afektual, value-rational ataupun bersifat keagamaan. Kedua, legitimasi sebuah aturan juga bisa dijamin oleh harapan dampak eksternal yang spesifik, atau oleh situasi kepentingan.45 Dasar dari legitimasi itu sendiri bisa muncul dari tradisi, afektual (khususnya emosi), iman, nilai-rasional, dan hukum.

Weber berargumen, validitas klaim legitimasi didasarkan pada salah satu atu kombinasi lebih dari satu dari tiga model “ideal types” otoritas legitimasi. Dalam tipologinya itu, Weber membagi otoritas dalam 3 jenis klasifikasi analitis:

Pertama, otoritas rasional-legal yang dilegitimasi oleh “suatu

kepercayaan pada legalitas peraturan-peraturan yang diundangkan dan pada hak orang-orang yang diberi otoritas memimpin di bawah peraturan-peraturan tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah”;

Kedua, otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari “suatu

kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada

41 Ibid.

42 Dikutip Ibid. 43 Ibid.

44 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power . . . 22.

45 Max Weber, Economy and Society, edited by Gunther Roth and Claus Wittich; trans.

(19)

dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu”;

Ketiga, otoritas karismatik dengan legitimasinya terletak pada “ketaatan

dan kesetiaan terhadap seorang individu yang dipandang memiliki karakter yang patut diteladani, heroik dan memiliki kesucian luar biasa, yang juga terdapat pada pola-pola atau tatanan normatif yang disingkapkan atau ditahbiskan olehnya”. Menurut Weber, karisma dan otoritas karismatik menunjuk pada “suatu sifat tertentu dari seorang individu pribadi, yang karena sifatnya ini dia dipandang luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang dikarunia kemampuan-kemampuan adikodrati dan adi-insani, atau setidaknya dikaruniai kuasa atau sifat yang khas dan luar biasa. Kuasa dan sifat ini sangat luar biasa sehingga tidak dapat diperoleh orang biasa, tetapi dipandang sebagai teladan yang berasal dari Yang Ilahi, dan berdasarkan kuasa dan sifat ini pribadi yang bersangkutan diperlakukan sebagai seorang ‘pemimpin.’”46

Dalam sebuah negara yang mengalami krisis akibat perang dan pertarungan ideologi, maka diperlukan satu alat legitimasi. Agama sipil diperlukan untuk mengisi ruang dimana legitimasi diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat. Pancasila dihadirkan dalam kapasitasnya untuk menempati posisi demikian.

Dimensi terakhir dari agama sipil adalah profetis. Bellah menyatakan agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.47 Dimensi keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman sejarahnya dalam terang realitas transenden.48

46 Ibid.

47 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World

(University of California Press, 1980), 171.

48 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial

(20)

Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih dekat dengan prinsip Katolik. Dalam Habits of the Heart dan The Good Society, Bellah berbicara mengenai “public church”, term yang dia pinjam dari Martin Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.

Kalau kita melihat kembali gagasan utama dari agama sipil, maka nomenklatur agama menempati posisi yang utama. Mengutip Marty, Bellah menuturkan kalau agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik menugaskan para pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan ilahiah bagi bangsa Amerika. Peter L. Berger menyebut agama menunjukan perannya sebagai “world-maintaining” dan “world-shaking” force.49

Dalam situasi ini, Pancasila terbangun dari banyak elemen yang salah satunya adalah agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu “prophetic dimension” dari Pancasila. Pancasila adalah kalimatun sawa (titik temu) warga Indonesia yang berbeda asal-usul suku bangsa dan agamanya. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan eksplisit menyebut bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia ini tak hanya karena kekuatan fisik, tapi juga

49 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion,

(21)

Atas Berkat Rahmat Tuhan. Ada kuasa transenden yang turut campur dalam kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai agama sipil, tentu saja penting untuk melihat isi dari Pancasila tersebut. Elemen apa saja yang terkandung dalam Pancasila. Dan apakah posisi Pancasila sebagai common denominator di Indonesia selaras dengan pengertian Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Percakapan pertama tentang dasar negara muncul saat berlangsungnya sidang BPUPKI. Dalam perbincangan mengenai apa yang menjadi dasar bersama bangsa Indonesia, Soekarno menawarkan lima pilar dalam pidato 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Tetapi, jauh sebelumnya, hemat penulis, penelusuran terhadap akar ideologi Pancasila ini mengantar kita pada masa di mana Soekarno melontarkan ide tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.50

Soekarno mula-mula memperkenalkan ketiga akar ideologis yang membentuk Pancasila (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme), pada tahun 1926 yang ia tulis di “Suluh Indonesia Muda” dengan judul yang sama. Soekarno mengatakan bahwa sebagai negara jajahan, negara Indonesia memiliki tiga sifat, Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.51

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna jika berseteru satu dengan yang lainnya.52 Ketiga gelombang ini bisa bekerjasama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat ditahan terjangnya. Dan itulah kewajiban yang mesti dipikul oleh bangsa Indonesia.

Berhasil atau tidaknya bangsa Indonesia menjalankan kewajiban yang berat itu bukanlah sebuah tujuan. Tetapi itu bukan berarti bahwa bangsa ini

50 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005). 51 Ibid., 2.

(22)

harus putus asa, melainkan harus terus berupaya menyatukan tiga gelombang tadi. Sebab persatuanlah yang kelak akan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dari tiga ideologi itu, Soekarno kemudian mengembangkannya menjadi lima dasar (Pancasila) yang ia kenalkan saat Sidang BPUPKI 1Juni 1945. Pada sidang itu, Soekarno memberikan pidato tentang dasar negara Indonesia. Dalam kesempatan itu, Soekarno memperluas spektrum ideologi yang ia tulis pada 1926, meski sokogurunya tetap pada tiga fondasi awal. Lima prinsip dasar itu adalah Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan.53

Soekarno kemudian menjelaskan masing-masing dari dasar negara itu. Kebangsaan Indonesia, menurut Soekarno bukanlah satu golongan yang hidup dengan perasaan bersama dan ingin bersatu di atas tanah kecil Minangkabau, Madura, Jogja atau Sunda saja. “Tetapi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia dari ujung Utara Sumatera hingga Irian. “Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble” sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia orangnya adalah 70.000.000 tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu”.

Dasar kedua yang ditawarkan Soekarno adalah internasionalisme. Tapi, kata Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur bersama-sama dengan internasionalisme. Jadi prinsip yang pertama (nasionalisme) dan kedua (internasionalisme) ini saling berkait erat.

Prinsip ketiga yang disinggung oleh Soekarno adalah mufakat, perwakilan dan permusyawaratan. Indonesia, kata Soekarno bukanlah negara untuk satu orang saja. Negara Indonesia bukan untuk satu orang, bukan satu negara untuk

(23)

satu golongan, walaupun golongan kaya. “Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu,” terang Soekarno.

Dasar yang keempat adalah kesejahteraan. Soekarno memimpikan tidak ada kemiskinan di negara Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa di Barat kaum Kapitalis begitu merajalela. Meski ada demokrasi disitu, tetapi tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi sama sekali.

Yang terakhir, Soekarno menyinggung tentang ide Ketuhanan. Bagi Soekarno bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. “Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia Negara yang bertuhan,” kata Soekarno.54

Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan yang lainnya.

Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara yang ber-Ketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.55 Dengan menggunakan azas itulah segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.56

54 Ibid., 101. 55 Ibid.

56 Ibid., 102. Setelah menawarkan kelima dasar itu, Soekarno kemudian menawarkan

kepada peserta sidang untuk memilih apakah lima prinsip itu yang akan dipakai sebagai dasar negara. Soekarno juga memberikan pilihan dengan memerasnya kembali dan hanya menjadi trisila atau tiga sila yakni Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan kemudian ia menyaringnya, hingga pada satu prinsip, ekasila yaitu Gotong Royong.

(24)

Dengan menggunakan kata Ketuhanan dan tidak merujuk pada agama tertentu, Soekarno bermaksud untuk menjadikan Pancasila (terutama Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi semua warga negara Indonesia tanpa membedakan identitas agamanya. Jadi Ketuhanan menjadi semacam prinsip moral-etis dimana kehidupan bersama yang dilandaskan atas semangat kekeluargaan adalah merupakan pengeJawantahan dari prinsip pengabdian kepada Tuhan.

Soekarno menggunakan kata Tuhan dengan maksud memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk menafsirkan kata ini. Bisa jadi ia adalah Tuhan yang telah menurunkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam keyakinan umat Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Ia adalah sumber dari segala kebaikan.

Istilah Ketuhanan yang diungkapkan Soekarno, secara prinsipil bukanlah konsep Ketuhanan yang rumit, melainkan konsep yang sangat sederhana dan berusaha untuk dijaga jaraknya dari anasir-anasir monotheistik itu. Soekarno menyadari bahwa beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang berbeda-beda adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah makna terdalam dari apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ”...hendaknya

ber-Tuhan. Tuhannya sendiri”.57 Hemat penulis, rumusan Pancasila dengan melihat penggambarannya terhadap ide Ketuhanan tersebut menjadi salah satu ide dasar yang ditransformasikan dalam religiusitas sipil.

Setelah Soekarno mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu pilar negara, tim kecil yang berjumlah sembilan orang kemudian merumuskan menjabarkan Ketuhanan itu dengan menambahkan tujuh kata setelahnya. Sehingga sila tersebut berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.

(25)

Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus 1945 malam, Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia Timur. Mereka tidak bisa menerima dimuatnya Piagam Jakarta pada Mukaddimah Undang-undang Dasar. Jika tidak dirubah, mereka siap untuk tidak bergabung dengan Republik yang baru berumur sehari itu.

Tanggal 18 Agustus, Hatta kemudian memanggil empat anggota PPKI yang dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim.58 Hatta menyampaikan keberatan dari masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan tujuah kata itu diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga sila pertama itu menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lima prinsip yang disampaikan Soekarno sempat ditawarkan untuk menjadi tiga, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kata Soekarno ia menginginkan konsep demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu

politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan

yang kemudian dinamakannya sebagai sosio-demokrasi. Penjelasan sederhananya bisa dilihat di bawah ini.59

58 Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS,

1999), 34. B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 35.

59 Dikutip dari John A. Titaley, Pola Pemikiran Sosial dan Politik Aliran di Indonesia,

(26)

1926 1945 Islamisme Nasionalisme Ketuhanan Kesejahteraan Demokrasi Internasionalisme Nasionalisme Ketuhanan Sosio-Demokrasi Sosio-Nasionalisme Pancasila Trisila Marxisme Ekasila Gotong -Royong

Sebagai agama sipil, Pancasila berbeda dengan uraian agama sipil di Amerika yang dikaji Bellah. Kita melihat bahwa unsur yang ada di dalamnya begitu kaya. Pancasila tidak hanya berbicara tentang masalah agama semata. Seperti yang kita cermati dari usulan Soekarno, agama menjadi salah satu unsur pembentuk saja. Ada faksi lain seperti ideologi Marxisme dan nasionalisme.

Elemen-elemen Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan agama inilah yang membentuk Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menekankan tentang pentingnya pertautan antara satu dengan lainnya.

Konseptualisasi ide tentang Pancasila berpokok pada moralitas dan haluan kebangsaan yang bisa dijelaskan melalui lima penegasan.60

Pertama, religiositas sebagai sumber etika dan spiritualitas begitu penting

dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ia tak pernah lepas dari kenyataan hidup. Bangsa Indonesia selalu berusaha mendefinisikan perilakunya dengan takaran agama dan keyakinannya. Disini konsep pemisahan secara ketat antara agama

60 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,

(27)

dan negara tidak berlaku. Dalam konstitusi, negara didaulat untuk menjamin hak tiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Penegasan kedua adalah bahwa kemanusiaan universal bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi elan bagi etika politik kehidupan bangsa dalam membangun hubungan dunia. Dua tujuan ditempuh melalui dasar ini. Ke luar, bangsa Indonesia dituntut untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Etika yang jadi prasyaratnya adalah “adil” dan “beradab.”

Ketiga, aktualisasi nilai Pancasila itu didasarkan atas semangat kebangsaan

yang kuat. Di sini, Indonesia dipahami sebagai negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Penghargaan terhadap pluralisme atau keragaman agama, budaya dan bahasa menjadi landasan pokok dari negara persatuan ini. Tetapi dalam keragamannya itu, Indonesia berupaya mencari titik temu yang termanifestasi dalam Pancasila.

Keempat, dalam kosmologi Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,

dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam kenyataaannya harus menjunjung tinggi semangat kedaulatan dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Visi ini hendak menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tidak merupakan sebentuk mayoritarianisme, tetapi kerangka etika politik yang dibingkai oleh hikmat/kebijaksanaan. Ia tidak hanya sekadar demokrasi, tetapi sosial-demokrasi.

Kelima, dalam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, kemanusiaan,

kebangsaan serta permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial ini tereJawantah dalam keseimbangan antara jasmani dan rohani, peran manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dan juga kesimbangan antara hak sipil, politik, ekonomi,

(28)

sosial dan budaya. Gagasan ini ada dalam diskusus sosial-demokrasi di Eropa dan mengakar dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat Indonesia. Prinsip keadilan dalam Pancasila seperti menjadi jalan ketiga dalam membangun keadilan sosial.61 Jika dua aliran utama dalam keadilan adalah liberal-individualisme dan egalitarian-sosialisme, maka sila kelima Pancasila mendamaikan dua teori besar tersebut. Keadilan Pancasila menjadikan kesejahteraan warga masyarakat sebagai titik pijak sekaligus tujuannya. Tetapi ia berbeda dengan egalitarian-sosialisme yang mengekang kebebasan individual. Kesederajatan (egalitarian-sosialisme) diperlakukan seimbang dengan kebebasan (liberal-individualisme).

Dengan menegaskan tentang elemen pembentuk Pancasila, kita bisa melihat bahwa dalam beberapa titik, agama sipil di Indonesia memiliki kesamaan dengan ide Bellah. Ia berfungsi sebagai alat integrasi dari pluralitas agama budaya, suku dan bahasa serta nilai-nilai lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Pancasila juga ada dalam posisi sebagai alat legitimasi. Dalam kapasitasnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum. Segala produk perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan payungnya, Pancasila. Di sisi lain Pancasila juga memiliki dimensi profetiknya. Pancasila diyakini tidak hanya berdimensi kemanusiaan, tetapi di dalamnya mengandung semangat transendensi yang luhur. Ada nilai Ketuhanan yang menjadi fondasi etika bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai agama sipil agak sedikit berbeda dengan gagasan agama sipil Bellah di Amerika. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,62 konteks ide Bellah berkaitan dengan konteks kesejarahan Amerika yang menjadi tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya.

61 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Universitas Kristen

Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007), 220-221.

(29)

Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan. Kebebasan beragama menjadi impian para imigran yang datang ke Amerika. Mereka membutuhkan satu dasar bersama. Meski kemudian dirumuskan satu agama sipil, tetapi fondasinya adalah agama, lebih khusus lagi Kekristenan.

Ide tentang Tuhan seperti yang diucapkan oleh Kennedy pada dasarnya memang bukan suatu yang eksklusif. Tuhan disana tidak merujuk pada denominasi tertentu. Namun, betapapun inklusifnya diskursus tentang “Tuhan” seperti yang diungkapkan oleh Bellah, jelas ia masih merujuk pada pola teistik.

Situasi ini berbeda dengan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia. Shank misalnya dengan baik menunjukan bahwa agama sipil itu merupakan ikatan solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak beriman, teis dan ateis. Di sini, pengertian Shank tentang agama sipil lebih dekat dengan Pancasila. Ini relevan dengan Mc.Guire yang menyebut agama sipil sebagai non-official religion atau Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai

quasi-religion.

Penjelasan mengenai Pancasila sebagai agama sipil (sebagai hasil kontrak sosial) juga berada dalam kerangka kontrak sosial yang berbeda dengan pengertian Rousseau. Dalam garis kesejarahan, posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, melainkan historis. Kontrak sosial yang dibuat dengan Pancasila sebagai dasarnya, adalah kontrak dari mereka yang mengalami penindasan dan perjuangan menuju kemerdekaan.63

Indonesia berbeda dengan konsepsi kontrak sosial seperti ujarannya Rousseau. Kontrak sosial Rousseau didasari oleh munculnya kesenjangan antara mereka yang kaya dan miskin yang merupakan mayoritas. Kondisi ini membuat hidup menjadi tidak nyaman. Yang kaya terus menerus melindungi hartanya dan

(30)

yang miskin berusaha merongrongnya. Dalam situasi ini tak ada kebebasan dan kesamaan.64 Kontrak sosial muncul dalam situasi seperti ini. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia dimana kontrak terjadi antara mereka yang bersama-sama menginginkan kemerdekaan.

Yang menyamakannya adalah tujuan akhir. Baik Rousseau maupun kontrak sosial bangsa Indonesia sama-sama menghendaki kebebasan, kesederajatan, saling peduli dan persatuan. Kesamaan yang lain adalah keduanya bersepakat tentang kehendak bersama (general will) yang mendorong masyarakatnya menciptakan kebaikan bersama (common good).65

Pancasila dalam Analisis Budaya

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno, Georg Mc T. Kahin dan Bernard Dahm mengemukakan hal yang sama. Menurut mereka, Soekarno adalah seorang penganut sintesa. Kahin mengatakan bahwa tidak ada penjelasan prinsip lain dimana disana ditemukan penjelasan yang memadai tentang gagasan demokrasi barat, Islam modernis, Marxis dan ide demokratis dan komunalistik desa asli, yang merupakan dasar umum pemikiran sosial dari bagian yang besar dari elit politik Indonesia setelah perang.66 Sementara Dahm menilai kalau pidato tersebut merupakan ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan politik yang telah dikembangkannya hingga tahun 1945. Harry J. Benda mentikberatkan analisis kalau pidato Soekarno itu lebih sebagai usaha untuk merangkul kekuatan Islam Politik yang mulai menguat pada hingga tahun 1944-1945.67 Soekarno memberikan perhatiannya kepada kekuatan Islam agar mereka tidak menuntut negara Islam untuk Indonesia. Usaha Soekarno untuk

64 Ibid. 65 Ibid., 176.

66 George Mc Turnar Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Jakarta: Sinar

Harapan, 1995), 155.

67 Hary J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese

(31)

merangkul kekuatan Islam dengan maksud menjelaskan tentang “semua buat semua”, sudah ia lakukan sebelum sidang BPUPKI.

Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno ini penulis akan membaca dengan analisis budaya. Dahm, ketika menganalisis lima sila dari Soekarno ini, ia mengaitkannya dengan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Tidak dapat disangkal bahwasanya lima prinsip yang termuat dalam Pancasila itu sudah hidup dan menjadi tulang punggung dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide tentang nasionalisme ada dalam beberapa partai politik dan juga Budi Utomo,

perhimpunan-perhimpunan di daerah; internasionalisme yang

berperikemanusiaan bisa ditemukan dalam Islam dan komunis; gagasan demokrasi dalam pengertian mufakat, yang mewakili semua golongan, terutama minoritas, harapan akan keadilan sosial ada dalam benak kaum Marxis serta kepercayaan akan Tuhan ada dalam golongan-golongan agama dan mereka yang “memerlukan” Tuhan.68

Meski ada sekian gagasan, menurut Dahm hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu. Dahm mengatakan

Tetapi hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu, di mana aliran-aliran itu diuraikan seperti oleh sebuah prisma dan kemudian digabungkan kembali secara harmonis untuk membentuk satu pola baru dan saluran itu adalah Soekarno sendiri.69

Konsepsi ini yang sesungguhnya mengakar dalam konsep kekuasaan masyarakat Jawa. Benedict Anderson menggambarkan setidaknya empat karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu

68 Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: LP3ES, 1987), 418. 69 Ibid.

(32)

pengabsahan.70 Kekuasaan itu konkret dalam pengertian bahwa bagi orang Jawa kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba bersifat ilahi, ada dalam setiap aspek dunia alami, batu, kayu, awan dan api. Kekuasaan juga bersifat homogen, sama jenisnya sama sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain. Dalam pandangan orang Jawa alam semesta tidak bertambah luas dan tidak juga bertambah sempit. Karena kekuassaan yang terdapat di dalamnya selalu tetap. Dan yang terakhir, dalam pandangan Jawa, karena kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri lebih dahulu ada daripada hadirnya konsekuensi perbuatan; baik dan buruk.71

Konsepsi ini yang membedakannya dengan ide kekuasaan Barat. Dalam

Habits of the Heart, Bellah menunjukan konstruksi kekuasaan yang multijalur itu

dalam masyarakat Amerika. Menurut Bellah

Cultures are dramatic conversations about thing that matter to their participants, and American culture is no exception. From its early days, some Americans have seen the purpose and goal of the nation as the effort to realize the ancient biblical hope of a just and compassionate society. Others have struggled to shape the spirit of their lives and the laws of the nation in accord with the ideals of republican citizenship and participation. Yet others have promoted dreams of manifest destiny and national glory. And always there have been the proponents, often passionate, of the notion that liberty means the spirit of enterprise and the right to amass wealth and power for one-self.72

70 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia

(Cornell University Press, 1990), 22-23. Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam

Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986).

71 Bennedict Anderson, Language and Power . . . Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan

Jawa. . . 24-25

72 Robert N. Bellah, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life

(33)

Bellah melanjutkan bahwa tema-tema tentang kesuksesan, kebebasan dan keadilan semuanya ditemukan dalam tiga sokoguru budaya bangsa Amerika, Biblikal, Republikan dan Individualis modern yang satu dengan lainnya saling bertukar makna dan melakukan percakapan sekarang.73 Model kekuasaan seperti ini kontras dengan pemikiran orang Jawa.

Pernyataan Anderson tentang konsepsi kekuasaan dalam masyarakat Jawa yang homogen itu, kata R. William Liddle, hanya memfokuskan pikiran kita pada sebuah kepercayaan yang berkaitan dengan konsepsi kebatinan Jawa yang menyisakan pertanyaan tentang kegunaannya pada masa sekarang.74 Ide kekuasaan seperti itu berusaha untuk menjelaskan bahwa hanya ada satu jalur dari sekian banyak jalur di dalam struktur budaya politik Indonesia.75

Dengan menggunakan pendekatan analisa budaya, Eka Darmaputera menunjukan bahwa Pancasila tidak bisa dipahami kecuali dalam kerangka keIndonesiaan, tidak dalam perspektif barat misalnya. Menurut Darmaputera, Pancasila merupakan rumusan teoritis dan abstrak dari satu warisan budaya yang dalam.76 Kebudayaan Indonesia yang berjasa melahirkan Pancasila itu, jika kemudian dicarikan sentrumnya, maka kita akan bertemu dengan Jawa. Kata Niels Mulder, Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara penduduk Indonesia yang amat beraneka.77

Dalam masyarakat Jawa, etika kekuasaan disarikan dari prinsip hidup mereka yang sangat menekankan pada tiga konsep dasar; keserasian, cocok dan rasa. Keserasian menekankan agar konflik bisa dihindari dengan menekankan keseimbangan yang bersifat status-quo. Sementara “cocok” menekankan

73 Ibid, 28.

74 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 4. 75 Ibid., 5.

76 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK, 1988), 129. 77 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984),

(34)

pemeliharaan akan ketertiban78 yang kemudian membagi tindakan manusia menjadi pantes dan ora pantes. Sementara konsep rasa menekankan pada aspek terdalam kehidupan manusia.79 Tiga konsepsi dasar itu yang menjadi faktor integratif masyarakat Jawa yang sesungguhnya plural jika dilihat dari kategori struktur sosialnya Clifford Geertz.

Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi.80 Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang akar-akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket kraton itu.81 Geertz tidak menafikan bahwa kerap terjadi konflik dalam tiga lapisan masyarakat ini. Ketegangan yang cukup kuat terjadi antara kaum santri dan dua kelompok lainnya.82 Kebencian juga dikobarkan oleh petani terhadap kaum aristokrasi yang eksploitatif serta kelompok pedagang santri. Berbeda halnya dengan model konflik santri dan dua kelompok lain yang relatif terbuka, pertentangan ideologi antara abangan dan priyayi cenderung lebih tertutup. Para priyayi biasanya lebih menjaga jarak dari kelompok abangan meski mereka menganggap praktek mistik abangan itu “hanya takhayul” dan menilai mereka terlalu cepat mudah percaya. Sebaliknya, abangan menganggap bahwa teori mistik kalangan priyayi itu sesuatu yang di luar pemahaman abangan. Respek

78 Tentang harmoni sosial di kampong Jawa bisa disimak dalam Patrick Guinnes,

Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung (Oxford University Press, 1986).

79 Eka Darmaputera, Pancasila . . . 92

80 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka

Jaya), 1981.

81 Ibid., 6-8. 82 Ibid., 477.

(35)

ditunjukan oleh abangan terhadap kepercayaan kelompok priyayi, tapi tidak dengan gaya hidupnya.

Yang terlihat jelas dalam hubungan abangan-priyayi adalah konflik kelas. Priyayi menuduh orang desa tak tahu tempatnya dan berpotensi mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Dalam situasi ini, pandangan abangan soal kelas hampir sama dengan santri. Mereka menentang priyayi atas hak istimewanya. Abangan melihat priyayi tidak pada jarak yang jauh dengan kekuasaan yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Priyayi tidak melihat abangan sebagai masa terdiferensiasi yang animistis dan dapat diatur oleh wakil-wakil mereka.

Terlepas dari perbedaan di level struktur sosial, ada hal yang memersatukan elemen-elemen sosial dalam masyarakat Jawa ini. Menurut Geertz itu ada dalam rasa satu kebudayaan.83 Kata Geertz hal itu dilihat dari dua kacamata.84 Pertama, perasaan bahwa masa sekarang mengalami kemerosotan jika dilihat dari masa lalu, khususnya jika dilihat dari ukuran tradisional, praktek yang dipakai oleh orang tua mereka dahulu. Kedua, rasa kebangsaan yang sedang tumbuh dan memainkan sentimen harga diri bangsa dan menjadi penghadang bagi disintegrasi sosial. Alasan inilah yang pada gilirannya menjadi faktor integratif.

Geertz mengatakan

Semua orang Jawa, santri, priyayi, abangan, menganggap bahwa beberapa kebenaran umum tertentu sudah terbukti dengan sendirinya seperti halnya di balik pembagian atas Katolik, Protestan dan Yahudi, orang Amerika semuanya berpegang pada nilai-nilai tertentu yang mencakup semua yang dalam banyak hal misalnya, membuat seorang Katolik Amerika pandangan dunianya lebih mirip dengan seorang Protestan Amerika, daripada dengan, katakanlah seorang Katolik Spanyol. Perhatian yang tinggi terhadap formalitas status;

83 Ibid., 488. 84 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Titrasi ini digunakan apabila reaksi antara kation dengan EDTAlambat atau apabila indicator yang sesuai tidak ada. EDTA berlebih ditambahkan berlebih dan yang bersisa dititrasi

sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba7tiba mengerem sehingga membuat ertebrae dalam keadaan "leksi, dislokasi "raktur sering

Menurut Yasidah Nur Istiqomah, Abdul Fadlil pada judul penelitiannya Sistem Pakar untuk Mendiagnosa Penyakit Saluran Pencernaan Menggunakan Metode Dempster Shafer

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan sistem informasi geografis terkait posisi spasial dan informasi tentang sebaran Sekolah Menengah Atas

Hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa struktur corporate gov- ernance yang

Pelaksanaan tindakan merupakan implementasi kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Observasi tidak dipisahkan dengan

Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama (language acquisition) di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar,

Model Hubungan Konstruk Kinerja Kepala Sekolah (tahun 2007) Desertasi. Menurut guru, model konstruk kinerja kepala sekolah punya dimensi kepemimpinan, manajemen,