• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENENTUAN PRODUK IMPOR YANG AKAN DIKENAKAN RETALIASI: STUDI KASUS SAFEGUARDS INDIA TERHADAP PRODUK IMPOR SATURATED FATTY ALCOHOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENENTUAN PRODUK IMPOR YANG AKAN DIKENAKAN RETALIASI: STUDI KASUS SAFEGUARDS INDIA TERHADAP PRODUK IMPOR SATURATED FATTY ALCOHOL"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

ANALISIS

PENENTUAN PRODUK IMPOR YANG AKAN DIKENAKAN RETALIASI: STUDI

KASUS SAFEGUARDS INDIA TERHADAP PRODUK IMPOR SATURATED

FATTY ALCOHOL ASAL INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

(2)

ii

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga seluruh kegiatan analisis “Analisis Penentuan Produk Impor yang akan Dikenakan Retaliasi: Studi Kasus Safeguards India Terhadap Produk Impor Saturated Fatty Alcohol Asal” dapat dilaksanakan dengan baik hingga dituangkan dalam bentuk laporan akhir.

Analisis ini merupakan bentuk dukungan terhadap unit teknis di lingkungan Kementerian Perdagangan, terutama Direktorat Pengamanan Perdagangan Ditjen Daglu dalam rangka mengamankan akses perdagangan Indonesia di negara tujuan ekspor. Tindakan safeguards India yang tidak memenuhi ketentuan WTO telah merugikan ekspor saturated fatty alcohol Indonesia ke India sehinga harus dilawan. Perlawan terhadap tindakan safeguards India tersebut juga dimaksudkan agar India lebih berhati-hati dalam menerapkan tindakan pengamanan perdagangan dan patuh terhadap ketentuan WTO. Pemilihan produk yang akan diretaliasi merupakan langkah antisipatif apabila Indonesia pada akhirnya nanti mengenakan tindakan retaliasi perdagangan terhadap India.

Akhirnya, kami berharap semoga hasil analisis ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan, meskipun kami menyadari masih banyak langkah-langkah penyempurnaan yang perlu dilakukan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka terhadap saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan laporan ini. Selanjutnya kami sampaikan apresiasi dan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam kegiatan ini.

Jakarta, September 2015

(3)

iii

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

ABSTRAK

ANALISIS PENENTUAN PRODUK IMPOR YANG AKAN DIKENAKAN RETALIASI: STUDI KASUS SAFEGUARDS INDIA TERHADAP PRODUK IMPOR

SATURATED FATTY ALCOHOL ASAL INDONESIA

Penelitian ini pada dasarnya ditujukan untuk menentukan produk impor Indonesia dari India yang diprioritaskan untuk dikenakan tindakan retaliasi. Tindakan retaliasi merupakan salah satu bentuk upaya pengamanan akses perdagangan Indonesia karena India telah mengenakan safeguards produk impor saturated fatty alcohol yang tidak sesuai dengan ketentuan WTO. Metode pemilihan produk menggunakan indeks komposit dengan mempertimbangkan lima komponen, yaitu: ketergantungan impor Indonesia terhadap India, ketergantungan ekspor India di pasar Indonesia, karakteristik produk, kemampuan produksi domestik, dan alternatif negara pemasok. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa Oth parts and accessories of vehicles (HS 87.14.10.9090) menempati urutan pertama untuk dapat dikenakan retaliasi.

Kata kunci: tindakan retaliasi, produk impor, dan indeks komposit

ABSTRACT

ANALYSIS ON DETERMINATING RETALIATED IMPORT PRODUCTS: A CASE STUDY OF THE INDIA’S SAFEGUARDS ON IMPORT PRODUCT OF

SATURATED FATTY ALCOHOL FROM INDONESIA

This research is essentially devoted to determine Indonesia’s imported products from India which would be prioritized for the retaliation. The retaliation is a response form Indonesian to secure the trade access because India have imposed safeguards on imported saturated fatty alcohol that do not comply with the WTO rules. In order to choose the prioritized products, this research use composite index considering five components, i.e.: Indonesia’s import dependence to India, India’s export dependence in Indonesian market, product characteristics, domestic production ability, and alternative suppliers. The results show that Oth parts and accessories of vehicles (HS 87.14.10.9090 ) ranks first to be targetted for retaliation. Keywords: retaliation, import products, and composite index

(4)

iv

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Analisis ... 2

1.3 Manfaat Analisis ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Ketentuan WTO mengenai Tindakan Retaliasi atas Safeguards yang Dilakukan oleh Negara Lain ... 3

2.2 Konsep Tindakan Retaliasi ... 7

2.3 Kasus-kasus Retaliasi ... 10

2.4 Ketentuan Tindakan Retaliasi di Beberapa Negara ... 11

2.4.1 Uni Eropa ... 11

2.4.2 Amerika Serikat ... 12

2.4.3 Indonesia ... 13

2.5 Problematika Tindakan Retaliasi (Penangguhan Konsesi) ... 14

BAB III METODOLOGI ... 16

3.1 Metode Analisis ... 16

3.2 Kriteria Produk Prioritas Retaliasi ... 16

3.3 Variabel dan Sumber Data ... 18

3.4 Metode Pembentukan Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi ... 20

3.4.1 Penilaian (Scoring) Variabel... 20

3.4.2 Sub-Indeks Produk Prioritas Retaliasi ... 25

3.4.3 Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi ... 26

BABIV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA-INDIA ... 27

4.1 Perkembangan Perdagangan bilateral Indonesia-India ... 27

4.2 Safeguards Saturated Fatty Alcohol India ... 29

(5)

v

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4.4 Nilai Impor yang Akan Diretaliasikan ... 37

BAB V PENENTUAN PRODUK DAN HASIL PERHITUNGAN INDEKS ... 39

5.1 Alternatif Produk Impor Indonesia dari India untuk Dikenakan Retaliasi... 39

5.2 Indeks Produk Prioritas Retaliasi berdasarkan Komponen Penyusunnya .... 40

5.2.1 Sub-Indeks Ketergantungan Impor Indonesia terhadap India ... 40

5.2.2 Sub-Indeks Ketergantungan Ekspor India di Pasar Indonesia ... 41

5.2.3 Sub-Indeks Karakteristik Produk ... 42

5.2.4 Sub-Indeks Kemampuan Produksi Domestik ... 43

5.2.5 Sub-Indeks Alternatif Negara Pemasok ... 44

5.3 Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 47

6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(6)

vi

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Kasus Retaliasi di WTO ... 10

Tabel 3.1 Variabel, Data dan Sumber Data yang Digunakan ... 18

Tabel 4.1 Neraca Perdagangan Indonesia dengan India ... 29

Tabel 4.2 Kronologi Pengenaan Safeguard Produk Impor Saturated Fatty Alcohol oleh India ... 31

Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Penyelidikan Directorate General of Safeguards India terkait Kerugian Serius/Ancaman Kerugian Akibat Lonjakan Impor Saturated Fatty Alcohol ... 33

Tabel 4.4 Nilai Ekspor Saturated Fatty Alcohol Indonesia ke Dunia ... 35

Tabel 4.5 Volume Ekspor Saturated Fatty Alcohol Indonesia ke Dunia ... 36

Tabel 4.6 Rincian Produk Ekspor Saturated Fatty Alcohol Indonesia ke India ... 37

Tabel 4.7 Nilai Impor Saturated Fatty Alcohol India dari Indonesia ... 39

(7)

vii

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tindakan Retaliasi dan Ekuilibrium Penawaran-Permintaan ... 9

Gambar 3.1 Tahapan Pembentukan Indeks Komposit... 16

Gambar 3.2 Neraca Komponen Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi ... 17

Gambar 4.1 Struktur Ekspor Non Migas Indonesia ke India ... 30

Gambar 4.2 Dampak Safeguards India terhadap Ekspor Saturated Fatty Alcohol Indonesia... 38

Gambar 5.1 Sub-Indeks Ketergantungan Impor Indonesia terhadap India ... 42

Gambar 5.2 Sub-Indeks Ketergantungan Ekspor India di Pasar Indonesia ... 43

Gambar 5.3 Sub-Indeks Karakteristik Produk ... 44

Gambar 5.4 Sub-Indeks Kemampuan Produksi Domestik ... 45

Gambar 5.3 Sub-Indeks Alternatif Negara Pemasok ... 46

(8)

1

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada bulan Mei 2015, Indonesia telah menyampaikan notifikasi kepada Council for Trade in Goods WTO mengenai permohonan suspensi konsesi dan kewajiban lainnya terhadap India (G/SG/N/12/IDN/2). Pemberitahuan ini dibuat sehubungan dengan tindakan pengamanan (safeguards) yang diberlakukan oleh India terhadap impor produk saturated fatty alcohol sejak tanggal 28 Agustus 2014. Suspensi akan diberlakukan mulai tanggal 27 Agustus 2017 apabila India memutuskan untuk memperpanjang masa penerapan tindakan safeguards sesuai dengan Pasal 7 Perjanjian Safeguards atau setelah tanggal keputusan dari Dispute Settlement Body (DSB) WTO bahwa tindakan pengamanan perdagangan yang diberlakukan oleh India tidak sesuai dengan ketentuan WTO. Suspensi konsesi akan terus berlaku hingga tindakan safeguards India tersebut dicabut.

Dalam notifikasi tersebut, Indonesia juga menegaskan bahwa konsultasi dalam pengertian Pasal 12.3 Perjanjian Safeguards belum terjadi. Konsultasi tidak bisa dilaksanakan karena India telah mengambil langkah yang sangat tidak biasa dengan menggunakan backdating tanggal pengenaan tindakan pengamanan perdagangan definitif, yaitu tanggal 28 Agustus 2014. Padahal tanggal tersebut merupakan tanggal dikenakannya bea masuk safeguards sementara untuk importasi produk tersebut oleh India. Dengan demikian, India telah mengenakan tindakan safeguards definitif tanpa memberikan kesempatan bagi anggota WTO yang terkena dampaknya untuk melakukan konsultasi tindakan pengamanan yang diusulkan oleh India dan tanpa kemungkinan menyesuaikan tindakan safeguards atas keberatan dari anggota WTO tersebut. Indonesia juga memandang bahwa berbagai aspek lain dari tindakan safeguards tidak konsisten dengan kewajiban India di bawah Pasal XIX GATT 1994 dan Perjanjian Safeguards. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia berhak untuk menangguhkan penerapan konsesi yang

(9)

2

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

secara substansial setara atau kewajiban lain di bawah GATT 1994, sebagaimana diatur dalam Pasal 8.2 dan 8.3 Perjanjian Safeguards.

Terlepas dari langkah hukum lanjutan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait tindakan safeguards India atas importasi produk saturated fatty alcohol, Direktorat Pengamanan Perdagangan Ditjen Daglu Kementerian Perdagangan, selaku institusi yang bertanggung jawab mengamankan akses perdagangan di negara tujuan ekspor, berupaya melakukan langkah-langkah antisipatif apabila Indonesia pada akhirnya nanti mengenakan tindakan retaliasi perdagangan terhadap India. Dalam hal ini, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri BPPKP Kemendag diminta bantuannya untuk mengidentifikasi alternatif produk-produk impor Indonesia dari India yang dapat dikenakan tindakan retaliasi.

1.2 Tujuan Analisis

Tujuan analisis ini adalah sebagai berikut:

1 Menghitung besaran nilai impor yang akan dikenakan retaliasi;

2 Menyusun kriteria-kriteria dalam pemilihan produk impor yang akan dikenakan retaliasi;

3 Menentukan prioritas produk impor Indonesia dari India yang dapat dikenakan tindakan retaliasi;

1.3 Manfaat Analisis

Analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Perdagangan, terutama Direktorat Pengamanan Perdagangan Ditjen Daglu dalam memilih produk impor Indonesia dari India yang akan dikenakan retaliasi. Selain itu, metode yang digunakan dalam analisis ini diharapkan dapat menjadi semacam template standar apabila Indonesia akan melakukan tindakan retaliasi terhadap anggota WTO yang lain.

(10)

3

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketentuan WTO mengenai Tindakan Retaliasi atas Safeguards yang

Dilakukan oleh Negara Lain

Secara prinsip, tindakan pengamanan perdagangan (safeguards) tidak dapat ditargetkan pada produk impor dari negara tertentu saja. Hal ini dikarenakan yang menjadi dasar pengenaan tindakan pengamanan adalah produk impor yang mengalami lonjakan dari manapun produk tersebut berasal. Pengecualian hanya diberikan kepada negara asal impor yang berstatus negara berkembang, yaitu untuk negara-negara berkembang yang pangsa impornya tidak melebihi 3% atau secara kumulatif tidak melebihi 9% dari total impor. Suatu tindakan pengamanan perdagangan seharusnya tidak berlangsung lebih dari empat tahun, meskipun hal ini dapat diperpanjang hingga delapan tahun, yang direkomendasikan oleh suatu otoritas nasional yang berwenang mengangani safeguards setelah ada pembuktian bahwa industri domestik mengalami kerugian dan membutuhkan penyesuaian struktural. Tindakan pengamanan perdagangan yang dikenakan untuk periode lebih dari satu tahun harus semakin diliberalisasi. Sebagai contoh, dengan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan yang semakin kecil.

World Trade Organization (WTO) tidak melarang anggotanya untuk melakukan safeguards apabila lonjakan impor secara tidak terduga berakibat pada kerugian industri domestik. Namun demikian, ketika sebuah negara membatasi impor untuk melindungi produsen dalam negeri, maka pada prinsipnya negara tersebut harus memberikan sesuatu sebagai balasannya. Dalam Perjanjian Safeguards WTO dinyatakan bahwa negara pengekspor (atau negara-negara pengekspor) dapat mencari kompensasi melalui konsultasi. Jika tidak tercapai kesepakatan, negara pengekspor dapat membalas (retaliasi) dengan mengambil tindakan yang ekuivalen/setara - misalnya, dengan menaikkan tarif impor dari negara yang menerapkan tindakan pengamanan. Dalam beberapa situasi, negara pengekspor harus menunggu selama tiga tahun setelah tindakan pengamanan dilakukan.

(11)

4

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Dengan demikian, sebelum tindakan retaliasi dilakukan harus terlebih dahulu dilakukan konsultasi dalam rangka memperoleh kompensasi. Hal ini didasarkan pada suatu gagasan teoritis bahwa mitra dagang yang tidak terlibat dalam praktik perdagangan yang tidak adil tidak seharusnya menanggung biaya tindakan yang diambil oleh negara pengimpor untuk melindungi industri (Patterson, 2002).

Tindakan retaliasi perdagangan telah diatur dalam Ketentuan Safeguards WTO pasal 8 sebagaimana berikut:

Article 8: Level of Concessions and Other Obligations

1. A Member proposing to apply a safeguard measure or seeking an extension of a safeguard measure shall endeavour to maintain a substantially equivalent level of concessions and other obligations to that existing under GATT 1994 between it and the exporting Members which would be affected by such a measure, in accordance with the provisions of paragraph 3 of Article 12. To achieve this objective, the Members concerned may agree on any adequate means of trade compensation for the adverse effects of the measure on their trade.

2. If no agreement is reached within 30 days in the consultations under paragraph 3 of Article 12, then the affected exporting Members shall be free, not later than 90 days after the measure is applied, to suspend, upon the expiration of 30 days from the day on which written notice of such suspension is received by the Council for Trade in Goods, the application of substantially equivalent concessions or other obligations under GATT 1994, to the trade of the Member applying the safeguard measure, the suspension of which the Council for Trade in Goods does not disapprove.

3. The right of suspension referred to in paragraph 2 shall not be exercised for the first three years that a safeguard measure is in effect, provided that the safeguard measure has been taken as a result of an absolute increase in imports and that such a measure conforms to the provisions of this Agreement

Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1, negara yang menerapkan tindakan pengamanan perdagangan seharusnya menawarkan kompensasi yang memadai bagi negara-negara yang telah terpengaruh oleh langkah tersebut. Dalam hal ini, negara harus berusaha untuk mempertahankan konsesi dan kewajiban lainnya pada suatu tingkat substansial setara secara vis à vis dengan negara-negara yang terkena dampak. Dalam Pasal 8 disediakan kesempatan melakukan konsultasi untuk menyepakati suatu kompensasi yang sesuai dan memadai. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan bersama, negara pengekspor yang terpengaruh akibat tindakan

(12)

5

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

safeguards dapat mengambil tindakan balasan (retaliasi). Oleh karena itu, negara yang terkena bebas untuk menangguhkan konsesi dan kewajiban lainnya yang secara substansial setara/sepadan (Pasal 8 ayat 2). Hak tersebut tidak dapat dieksekusi dalam tiga tahun tahun pertama sejak tindakan safeguards diaplikasikan, dengan syarat bahwa tindakan safeguards dilakukan berdasarkan peningkatan impor secara absolut/mutlak dan telah sesuai dengan Ketentuan Safeguards (Pasal 8 ayat 3).

Dari penjabaran di atas, dapat disampaikan kembali bahwa istilah retaliasi (pembalasan) tidak dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan WTO. WTO menggunakan istilah yang netral yaitu berupa penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya (suspension of concessions or other obligations). Retaliasi digunakan sebagai langkah terakhir apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa/berseteru tidak dapat mencapai suatu kesepakatan yang saling memuaskan (Malacrida, n.d.). Dikarenakan retaliasi melibatkan tindakan yang secara sengaja ditujukan untuk mendiskriminasikan anggota tertentu, maka retaliasi hanya dapat dilakukan pada kondisi yang tidak normal dan harus mendapatkan otorisasi secara multilateral serta diimplementasikan secara temporer.

Retaliasi harus dalam bentuk suspensi konsesi atau kewajiban lainnya. Oleh karena itu, anggota WTO yang berkeberatan (complaining member) dengan tindakan trade remedies anggota WTO yang lain dimungkinkan untuk membalas dengan tidak melakukan kewajiban tertentu WTO terhadap anggota tersebut (responding member). Biasanya, negara yang berkeberatan akan memilih untuk menangguhkan kewajiban sedemikian rupa sehingga dapat membatasi perdagangan dari responding member (misalnya dengan memberlakukan bea masuk yang lebih tinggi atau pembatasan kuantitatif). Dalam hal ini, besarnya nilai perdagangan yang akan direstriksi oleh responding member tidak boleh melebihi dari nilai perdagangan yang telah dikenakan tindakan pengamanan perdagangan oleh responding member.

Ketentuan mengenai penangguhan konsesi diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) WTO. Berdasarkan Artikel 22 DSU, kompensasi dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan yang bersifat sementara, yaitu

(13)

6

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

rekomendasi dan aturan yang bersangkutan tidak diimplementasikan dalam waktu wajar yang telah ditentukan. Dalam hal menentukan konsesi dan kewajiban lainnya yang akan ditangguhkan, pihak yang berkeberatan atau yang mengajukan harus mengikuti prinsip dan prosedur sebagai berikut sesuai Artikel 22 ayat 3):

a. Sektor yang akan ditangguhkan konsesi atau kewajibannya harus sama dengan sektor yang terbukti terkena dampak nullification atau impairment. b. Jika hal tersebut tidak memungkinkan secara praktis dan tidak efektif, diperbolehkan menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya pada sektor lain yang masih dalam satu kerangka perjanjian kerjasama yang bersangkutan.

c. Jika sektor lainnya dalam satu kerangka perjanjian kerjasama juga tidak memungkinkan secara praktis dan tidak efektif, dan kondisi yang terjadi cukup serius, maka diperbolehkan menagguhkan konsesi atau kewajiban lainnya pada sektor di luar perjanjian kerjasama dimaksud.

d. Dalam melaksanakan prinsip-prinsip tersebut di atas, pihak yang bersangkutan harus mempertimbangkan:

i. Perdagangan yang terjadi di sektor tersebut, atau sektor-sektor dalam kerangka perjanjian kerjasama dimaksud yang telah terbukti terkena dampak nullification atau impairment, dan pentingnya perdagangan tersebut bagi pihak yang bersangkutan.

ii. Elemen ekonomi yang lebih luas yang berhubungan dengan atau yang terkena dampak dari nullification atau impairment, dan konsekuensi ekonomi yang lebih luas atas penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya yang akan dilakukan.

e. Dalam hal pihak yang berkeberatan ingin mengajukan permohonan izin untuk dapat menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3), harus menyertakan alasan yang mendasarinya.

f. Sektor yang dimaksud adalah:

i. Sektor barang: seluruh barang;

ii. Sektor jasa: sektor yang berada dalam Services Sectoral Classification List;

(14)

7

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

iii. Sektor HAKI: yang berada dalam Section 1, atau Section 2, atau Section 3, atau Section 4, atau Section 5, atau Section 6 dalam Bagian II, atau kewajiban dalam BAgian III, atau Bagian IV dalam Agreement on TRIPS.

g. Kerangka perjanjian kerjasama yang dimaksud adalah:

i. Sektor barang: seluruh perjanjian kerjasama yang berada dalam daftar Annex 1A WTO Agreement;

ii. Sektor jasa: GATS;

iii. Sektor HAKI: Agreement on TRIPS.

Selain itu, lebih lanjut ketentuan Arikel 22 mengatur bahwa tingkat penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya harus ekuivalen atau setara dengan tingkat kerugian yang diderita (level of the nullification or impairment). Namun, permohonan untuk penagguhan konsesi atau kewajiban lainnya tersebut tidak akan diberikan jika di dalam kerangka perjanjian kerjasama yang bersangkutan terdapat larangan untuk tindakan tersebut.

2.2 Konsep Tindakan Retaliasi

Bown dan Ruta (2008) menyatakan bahwa WTO dalam mengizinkan suatu tindakan retaliasi mendasarkan pertimbangannya pada kerangka ekonomi. Model ekonomi yang menggambarkan tindakan retaliasi pada dasarnya merujuk pada model politik-ekonomi yang dibangun oleh Bagwell dan Staiger (2001) yang menunjukkan bahwa prinsip utama tindakan timbal balik (reciprocity) dan non-diskriminasi dari sistem WTO memungkinkan negara-negara terbebas dari Prisoner’s dilemma.

Lebih lanjut, Bown dan Ruta (2008) menjelaskan tentang tindakan retaliasi dengan mengggunakan pendekatan timbal balik. Diasumsikan ada dua negara besar, negara penuntut atau complainant (C) dan negara responden (R). Barang X adalah barang yang diimpor oleh negara responden dari negara penuntut, dan barang Y adalah barang yang diimpor oleh negara penuntut dari negara repsonden, dan barang tersebut diperdagangkan dalam pasar persaingan sempurna. Gambar 2.1 menunjukkan pasar untuk Barang X. Panel a dan c dalam Gambar 2.1 menunjukkan permintaan barang X (Dx dan Dx*) dan penawaran barang X (Sx dan Sx*) di masing-masing negara R dan negara C, sementara panel b menunjukkan penawaran ekspor barang X

(15)

8

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

(Xx*) dan permintaan impor (Mx*) di pasar internasional. Karena adanya perbedaan harga relatif barang X, negara C memproduksi lebih banyak barang X dibanding kebutuhannya, sehingga selebihnya diekspor, maka Xx* = Sx*- Dx*. Di sisi lain, negara R mengkonsumsi lebih banyak dari yang adpat diproduksinya sehingga mengimpor kekuarangnnya, Mx= Dx -Sx.

Pada tarif awal (efisien), harga dunia dan volume yang diperdagangkan ditentukan oleh pertemuan antara penawaran ekspor (Xx*) dan permintaan impor (Mx0) atau berada di titik E0 dalam Gambar 2.1.b, yang dinotasikan sebagai Px0 ≡ Px (τE) dan Qx0 ≡ Qx (τE). Lalu diasumsikan, negara R mengubah kebijakan perdagangannya secara unilateral dari level awal ke level τ1, dimana τ1 <τE (kebijakan restriktif). Perubahan kebijakan di negara R tersebut menyebabkan peningkatan harga domestik X di negara R dan penurunan harga X di pasar internasional. Reaksi dari para eksportir akibat peningkatan biaya tersebut adalah terciptanya kelebihan permintaan di negara R dan kelebihan penawaran di pasar internasional. Karena perubahan harga yang terjadi tersebut, produser di negara R memasok lebih banyak barang X dan mengkonsumsi lebih sedikit (Gambar 2.1.a), sementara di negara C sebaliknya (Gambar 2.1.c) Hal ini menyebabkan pergeseran kurva permintaan impor di pasar internasional dari posisi awal di Mx0 ke Mx1 (Gambar 2.1.b). Dengan demikian, ekulibrium baru berada di E1 dimana ekspor dan impor lebih rendah dibanding posisi awal. Dampak dari tindakan restriksi tersebut adalah penurunan volume perdagangan dari Qx0 menjadi Qx1≡ Qx (τ1) dan penurunan harga dari Px0 (τE) menjadi Px1 (τ1).

(16)

9

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 2.1. Tindakan Retaliasi dan Ekuilibrium Penawaran-Permintaan Sumber: Bown dan Ruta (2008)

Jika dalam hal ini negara C menuntut untuk melakukan tindakan pembalasan (retaliasi) terhadap tindakan negara R menaikkan tarif impor, maka sejauh mana retaliasi yang berhak dituntut oleh negara C? Dengan menggunakan pendekatan timbal balik (reciprocity), negara C diizinkan untuk mengajukan kebijakan retaliasi berupa tindakan restriksi terhadap barang Y yang diimpor dari negara R, atau pengenaan tarif sebesar τ*Ret , sehingga nilai ekspor dan impor diantara kedua negara menjadi stabil kembali:

Px0 (τE)

Qx0(τE) - Qx (τ1)



Py0 (τ*E)

Qy0(τ*E) - Qy Ret(τ*Ret)



……….(1) dimana:

Py0 (τ*E) = harga ekspor awal barang Y, Qy0(τ*E) = volume impor awal,

Qy Ret(τ*Ret) = volume impor tindakan restriksi.

Persamaan (1) di atas menunjukkan level retaliasi yang disetujui oleh WTO. Nilai perdagangan tersebut sebesar area yang diarsir dalam Gambar 1.b, yang setara dengan jumlah area yang diarsir di Gambar 1.a atau dengan jumlah area yang diarsir di Gambar 1.b.

(17)

10

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

2.3 Kasus-kasus Retaliasi

Dalam hal sengketa perdagangan yang diputuskan dalam sistem penyelesaian sengketa di WTO tidak menghasilkan resolusi, negara yang berkeberatan berhak mengajukan permohonan (request) untuk tindakan retaliasi. Hingga akhir tahun 2013, terdapat 36 permohonan tindakan retaliasi. Kasus tersebut antara lain retaliasi Selandia Baru dan AS terhadap Kanada terkait sengketa susu dan produk susu, retaliasi Uni Eropa dan Jepang terhadap AS atas peraturan pre-GATT Anti Dumping Act 1916, dan retaliasi Ekuador dan AS terhadap Uni Eropa terkait sengketa yang dikenal sebagai Banana Wars.

Negara yang paling banyak melakukan permohonan retaliasi adalah Kanada, Uni Eropa, Jepang dan AS. Jumlah permohonan terbanyak dilakukan oleh Kanada yakni 7 permohonan, diikuti oleh Uni Eropa dan AS masing-masing 6 permohonan.

Tabel 2.1. Daftar Kasus Retaliasi di WTO

Sumber: Bown dan Ruta (2008)

Dalam kasus Banana Wars atau EC-Banana III yang dimulai pada tahun 1995, negara yang mengajukan retaliasi adalah AS dan Ekuador atas kebijakan European Communities (EC) dalam membagi dan mengelola kuota-tarif produk pisang yang dianggap melanggar ketentuan WTO yang seharusnya bersifat non-diskriminasi. Uni Eropa memiliki kebijkan impor yang cukup rumit dimana adanya preferensi tertentu dalam mengimpor pisang dari

Case Title Agreements/Provisions Infringed

Award by the Arbitrators EC—Bananas (U.S.) GATT Art. XIII $191.4 million EC-Bananas (Ecuador) GATT Art. XIII $201.6 million EC-Hormones (U.S.) SPS Agreement $116.8 million EC-Hormones (Canada) SPS Agreement C$11.3 million U.S.- Antidumping Act of 1916 (EC) GATT Art. VI,

Antidumping Agreement

no specific amount U.S.-Continuing Dumping and Subsidy Offset Act (Byrd

Amendment) (Brazil,

Canada, Chile, EC, India, Japan, Korea, Mexico)

GATT Art. VI,

Antidumping Agreement, SCM Agreement

0.72 * value of payments

U.S.- Internet Gambling (Antigua and Barbuda)

(18)

11

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

negara bekas koloninya. Pada September 1995, AS, Guatemala, Mexico, dan Honduras mengajukan permohonan konsultasi dengan Uni Eropa, kemudian diikuti oleh Ekuador. Setelah dilakukan panel, dikeluarkan laporan terkait temuan bahwa Uni Eropa melanggar ketentuan WTO dan The Appelate Body memberikan waktu 15 bulan bagi Uni Eropa untuk melaksanakan hasil panel tersebut. AS meminta penangguhan konsesi sebesar USD 520 juta, namun Uni Eropa meminta untuk diadakan arbitrasi. Hasil arbitrasi memutuskan bahwa AS diberikan penangguhan sebesar USD 191,4 juta. Pada tahun 1999, AS mengenakan tarif impor 100% atas 8 pos produk yang berasal dari Uni Eropa yang nilainya setara dengan USD 191,4 juta (Sek, 2002).

Dalam memilih daftar produk untuk diretaliasi, AS menginginkan untuk meningkatkan tarif atas produk dari Uni Eropa yang mendukung rezim pisang di Uni Eropa. Salah satu produk yang masuk dalam daftar retaliasi adalah “bath preparations, other than bath salts”. Sebelum adanya kenaikan tarif, bea masuk impor atas produk ini yang berasal dari Uni Eropa sebesar 4,9% ad valorem. Eksportir utama dari Uni Eropa adalah perusahaan di Inggris dan Perancis, yang juga merupakan pendukung utama rezim pisang di Uni Eropa. Dalam satu tahun setelah pengenaaan bea masuk impor 100% atas produk itu, impor bath preparations AS asal Inggris turun drastis 83% dari USD 7,6 miliar menjadi USD 1,3 miliar dan impor asal Perancis turun 45% dari USD 7,5 miliar menjadi USD 4,1 miliar.

2.4 Ketentuan Tindakan Retaliasi di Beberapa Negara

2.4.1 Uni Eropa

Uni Eropa memiliki peraturan yang mengakomodasi tindakan retaliasi, yakni Peraturan Parlemen dan Dewan Eropa (EU) No.654/2014. Peraturan ini berlaku setelah Uni Eropa mendapat izin untuk melakukan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya dari WTO, dalam hal adanya sengketa perdagangan di bawah WTO Dispute Settlement Understanding atau di bawah perjanjian internasional lainnya baik bilateral maupun regional. Selain itu, peraturan ini diterapkan untuk rebalancing sebuah konsesi atau kewajiban lainnya atas penerapan kebijakan safeguards yang dilakukan negara lain, dan juga diterapkan dalam hal tidak ada penyesuaian pengganti yang disepakati ketika

(19)

12

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

memodifikasi konsesi yang sebelumnya telah disepakati oleh negara anggota WTO.

Pelaksanaan dari peraturan tersebut adalah pengenaan tindakan kebijakan perdagangan (Pasal 4 Ayat 1 EU No.654/2014). Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 EU No.654/2014, tindakan kebijakan perdagangan tersebut dapat mencakup pengangguhan konsesi tarif dan pengenaan bea masuk baru, termasuk penegakkan kembali tarif MFN atau lebih dari tarif MFN atau penambahan biaya lain untuk impor atau ekspor barang; pengenaan atau peningkatan pembatasan kuantitatif (quantitative restrictions) atas impor atau ekspor barang, baik berupa kuota, lisensi impor dan ekspor, atau bentuk lainnya; dan penangguhan konsesi terhadap barang, jasa, dan pasokan dalam area pengadaan publik melalui pengecualian negara yang bersangkutan sebagai pemasok pengadaan publik atau dikenakan penalti pada saat lelang.

2.4.2 Amerika Serikat

Dasar hukum tindakan retaliasi di Amerika Serikat (AS) diatur dalam Section 301 Trade Act 1974. Ketentuan tersebut memberikan AS dengan kewenangan untuk menegakkan perjanjian perdagangan, menyelesaikan sengketa perdagangan, dan membuka pasar luar negeri untuk barang dan jasa AS. Dalam hal ini, AS dapat menjatuhkan sanksi perdagangan terhadap negara-negara asing yang melanggar perjanjian perdagangan atau terlibat dalam praktek-praktek perdagangan yang tidak adil lainnya. Ketika negosiasi untuk menghapus praktek/kebijakan perdagangan yang tidak sesuai ketentuan internasional gagal, AS dapat mengambil tindakan untuk menaikkan bea masuk produk impor sebagai sarana untuk menyeimbangkan konsesi yang hilang.

Daftar produk yang akan dikenakan kenaikan tarif terkait hal tersebut kemudian disebut sebagai "retaliation list". Produk disertakan pada daftar pembalasan secara hati-hati dipilih untuk meminimalkan dampak buruk pada konsumen AS, perusahaan, dan pekerja. I&A’s Office of Trade Negotiations and Analysis bertanggung jawab untuk menyusun semua daftar pembalasan yang diimplementasikan United States Trade Representative –USTR (www.trade.gov).

(20)

13

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Untuk meningkatkan efektivitas tindakan retaliasi, AS merevisi sebagian ketentuan sebagaimana tertuang dalam Section 407 Trade and Development Act 2000 (P.L 106-200). Melalui ketentuan ini, USTR harus melakukan review dan revisi daftar sektor atau produk yang dikenakan retaliasi secara berkala apabila negara lain gagal mengimplementasikan keputusan sengketa WTO. Review daftar produk dilakukan 120 hari setelah diimplementasikan dan dikaji kembali setelahnya setiap 180 hari. Revisi periodik daftar pembalasan ini sering disebut sebagai “carousel retaliation”. Namun, USTR tidak akan merevisi daftar tersebut jika USTR menilai bahwa negara yang bersangkutan akan mengimplementasikan rekomendasi WTO yang telah disepakati atau jika USTR dan negara yang bersangkutan sepakat bahwa revisi tersebut tidak dibutuhkan (Sek, 2002).. Revisi dilakukan dengan cara yang paling mungkin menghasilkan dalam hal implementasi negara yang bersangkutan atau untuk mencapai jalan keluar yang memuaskan

2.4.3 Indonesia

Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) "Agreement Establising the World Trade Organization", maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua ketentuan yang ada didalamnya telah menjadi bagian dari legislasi nasional Indonesia. Namun demikian, ketentuan terkait tindakan retaliasi belum sepenuhnya diadosi secara menyeluruh oleh Indonesia. Dasar hukum untuk pengenaan tindakan retaliasi atau pembalasan telah tercantum dalam Pasal 23C Undang-Undang (UU) No.17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa Bea Masuk Pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. Dalam hal ini, Bea Masuk Pembalasan merupakan tambahan bea masuk yang dipungut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Namun demikian, belum ada peraturan turunannya yang mengatur lebih lanjut, khususnya terkait persyaratan, mekanisme, dan kelembagaan (institusi yang terlibat) dalam mengimplementasikan

(21)

14

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

tindakan retalisasi. Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun 2011 hanya mengatur mengenai tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguards). Bahkan, UU terbaru tentang Perdagangan (UU No.7/2014) tidak menyinggung mengenai tindakan retaliasi. Tindakan pengamanan perdagangan masih terbatas pada upaya-upaya defensif melindungi industri domestik dari barang-barang impor, baik melalui tindakan safeguards, anti-dumping, maupun anti-subsidi.

Berdasarkan ketentuan hukum yang ada di Indonesia, maka bentuk tindakan retaliasi masih terbatas pada pengenaan tambahan tarif. Pengenaan dalam bentuk kuota maupun kombinasi tarif-kuota belum bisa diterapkan di Indonesia karena tidak ada landasan hukumnya, meskipun tidak dilarang di WTO. Bahkan, ketentuan WTO memungkinkan untuk melakukan retaliasi silang (cross retaliation) bukan hanya pada penangguhan konsesi pada arus barang tetapi dapat pula penangguhan konsesi pada arus jasa, investasi, dan hak kekayaan intelektual.

2.5 Problematika Tindakan Retaliasi (Penangguhan Konsesi)

Retaliasi sebagai salah satu jalan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di WTO dan dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, retaliasi dianggap sebagai alat untuk melakukan penyeimbangan kembali dari permasalahan yang ada baik untuk negara-negara yang menggunakan retaliasi atau WTO itu sendiri. Dalam teori Adam Smith, pelaksanaan retaliasi merupakan strategi promosi perdagangan yang dilakukan suatu negara. Merujuk pada dasar pemikiran ini, WTO telah berupaya untuk menegakkan sistem hukum guna merespon setiap pelanggaran sebelum diadakannya DSU. Selama kurun waktu terakhir, hanya terjadi tiga kali DSU dalam permasalahan kasus retaliasi. Dimungkinkan tindakan retaliasi akan terus berkembang kedepannya.

Perkembangan tindakan retaliasi dimasa yang akan datang dianggap sebagai sesuatu hal yang buruk karena akan melemahkan norma WTO dan kedudukan hukum didalamnya. Salah satu kelemahan yang akan terlihat adalah hilangnya hak kekayaan intelektual serta sanksi perdagangan di WTO

(22)

15

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

yang inheren akan menyebabkan ketidakstabilan didalamnya. Berdasarkan hal tersebut WTO akan melemahkan dalam pemberian dukungan dalam perdagangan bebas (Charnovitz, 2002).

Secara keseluruhan penerapan tindakan retaliasi merupakan sesuatu bentuk penyeimbangan yang memberikan insentif terhadap peraturan dari WTO. Namun, terdapat pandangan yang berbeda mengenai penyeimbangan tersebut. Perbedaan ini didasari atas anggapan bahwa penerapan tindakan retaliasi merupakan suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap dasar hukum yang ada dalam WTO itu sendiri. Karena setelah dilakukan tindakan retaliasi semua perjanjian yang telah dilakukan akan kembali pada keadaan sebelum peraturan perjanjian awal. Dalam pendapat lainnya, peraturan DSU dijelaskan bahwa setiap anggota tidak dapat memperoleh pembebasan atas perjanjian yang dibuat dalam WTO jika negara tersebit dikenakan tindakan pembalasan.

Meskipun dalam penerapannya, WTO memberikan kelonggaran dalam menentukan negara tujuan yang akan dikenakan tindakan pembalasan. Namun, setiap negara harus memikirkan aspek yang akan ditimbulkan ketika hal tersebut diterapkan seperti halnya aspek politik dan ekonomi karena masuk dalam ranah yang sensitif dalam hubungan anatar negara. Seperti halnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Eropa yang mencoba melaksanakan retaliasi ini. Keduanya harus sama-sama memastikan kemampuan dari kebutuhan dalam negeri masing-masing. Sehingga dalam mematuhi peraturan atas retaliasi tersebut tidak terdapat kendala dalam penerapannya (Robert Z.Lawrence, 2003).

Penerapan tindakan retaliasi ini memberikan gambaran akan dua hal yang berbeda mengenai peran dan peraturan dari WTO itu sendiri. Dari sisi positif, retaliasi digunakan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan sengketa. Sedangkan dilihat dari sisi negatif, penerapan ini akan melemahkan norma dan kedudukan hukum yang ada pada WTO. Serta melemahkan peran WTO dalam perdagangan bebas.

(23)

16

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metode Analisis

Analisis ini dilakukan dengan menekankan pada penggunaan data-data sekunder untuk menentukan produk prioritas retalisasi melalui pembentukan suatu indeks komposit. Adapun tahapan pembentukan indeks komposit dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Tahapan Pembentukan Indeks Komposit

Selain menggunakan data sekunder, dalam analisis ini juga menggunakan data primer yang diperoleh melalui diskusi terbatas maupun kunjungan lapangan (wawancara) dengan stakeholder terkait. Diskusi ditujukan untuk membahas kriteria pemilihan produk yang akan diretaliasi sekaligus mengklarifikasi temuan awal hasil pengolahan data. Sementara itu, kunjungan lapangan diperuntukkan untuk melakukan klarifikasi temuan awal serta mendapatkan input untuk penyempurnaan hasil tersebut. Dengan demikian hasil kajian penyusunan indeks komposit perlindungan anak menjadi komprehensif sesuai dengan yang diharapkan.

3.2 Kriteria Produk Prioritas Retaliasi

Penentuan produk impor yang akan diretaliasi diprioritaskan pada produk penting/strategis bagi India di pasar Indonesia maupun produk ekspor strategis India secara umum. Di sisi lain, produk tersebut memiliki dampak yang relatif kecil bagi industri domestik Indonesia bila importasi dari India dibatasi, dengan mempertimbangkan alternatif pemenuhan dari dalam negeri

• Merumuskan kriteria-kriteria (komponen) untuk pemilihan produk Merumuskan Kriteria • Mencari variabel-variabel yang relevan • Input data

Identifikasi

Variabel • Melakukan penilaian terhadap imput data pada masing-masing variabel Penilaian (Scoring) • Normalisasi data/indeks • Menghitung rata-rata

nilai pada tiap-tiap komponen serta agregasinya • Meranking indeks

Perhitungan Indeks

(24)

17

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

maupun importasi dari negara selain India, khususnya dari kawasan yang sama. Kriteria pemilihan produk prioritas retaliasi dibagi ke dalam lima komponen utama, yaitu: (1) ketergantungan impor Indonesia terhadap India; (2) ketergantungan ekspor India terhadap pasar Indonesia; (3) karakteristik produk; (4) kemampuan produksi domestik; dan (5) alternatif negara pemasok. Kriteria dan variabel yang digunakan dalam penentuan produk prioritas untuk dikenakan retaliasi secara lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Komponen Indeks KompositProduk Prioritas Retaliasi

Masing-masing komponen kriteria memiliki tujuan yang spesifik. Komponen 1 dimaksudkan untuk mencari produk impor Indonesia dari India yang memiliki nilai impor tinggi tetapi secara relatif memiliki tingkat ketergantungan impor dari India rendah. Komponen 2 dimaksudkan untuk menentukan produk ekspor India ke Indonesia yang memiliki ketergantungan terhadap pasar Indonesia yang tinggi, baik dari nilai, trend, maupun pangsa relatifnya. Berkebalikan dengan Komponen 1 yang melihat dari sisi importir

Kriteria Pemilihan Produk

1. Ketergantungan Impor Indonesia terhadap India Nilai Impor Pangsa Impor Relatif Trend Impor 2. Ketergantungan Ekspor India di Pasar Indonesia Nilai Ekspor Pangsa Ekspor Relatif Trend Ekspor 3. Karakteristik Produk AIFTA India AIFTA Indonesia LARTAS Kelompok Produk BEC 4. Kemampuan Produksi Domestik Rasio Ekspor/Impor Neraca 5. Alternatif Negara Pemasok ASEAN ASEAN+1 Asia

Tujuan 1 Tujuan 2 Tujuan 3 Tujuan 4 Tujuan 5 Diprioritaskan pada

produk yang sensitif (strategis/penting) terhadap India namun tidak bagi Indonesia, serta yang tidak membebani industri domestik

Diprioritaskan pada produk yang mampu diproduksi domestik dan bersaing di pasar ekspor

Diprioritaskan pada pemasok dari negara-negara satu kawasan yang telah memiliki hambatan perdagangan rendah (FTA), biaya transportasi lebih murah, serta memiliki karakteristik geografis mirip dengan India

Diprioritaskan produk India yang memiliki ketergantungan terhadap pasar Indonesia yang tinggi, baik dari nilai maupun pangsa relatifnya Diprioritaskan produk

yang memiliki nilai impor tinggi tetapi secara relatif (ketergantungan dari India) rendah

Tujuan Utama:

(25)

18

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

(Indonesia), Komponen 2 melihat seberapa penting produk yang diperdagangkan dari sisi eksportir (India). Komponen 3 dimaksudkan untuk mencari produk yang sensitif (strategis/penting) bagi India namun relatif tidak sensitif (dampak minimal) bagi Indonesia, baik bagi industri domestik pengguna bahan baku impor maupun pada konsumen akhir. Komponen 4 dimaksudkan untuk mengetahui apakah produk yang akan diretaliasi memiliki produsen domestik dan mengukur seberapa besar kemampuan produksi domestik apabila produk tersebut dikurangi impornya. Semakin besar kemampuan produksi yang direpresentasikan dengan nilai ekspor, maka semakin besar peluang produk tersebut untuk dapat dikenakan tindakan retaliasi. Terakhir, Komponen 5 dimaksudkan untuk mengetahui alternatif pemasok dari luar negeri selain dari India. Dalam hal ini, diprioritaskan pada pemasok dari negara-negara satu kawasan yang telah memiliki hambatan perdagangan rendah yang berkomitmen dalam suatu Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) serta biaya transportasi lebih murah. Negara tetangga India di kawasan Asia (memiliki karakteristik geografis relatif sama) juga menjadi alternatif pemasok terutama terkait dengan produk ekspor pertanian dimana produksi (masa tanam dan panen) dipengaruhi oleh musim.

3.3 Variabel dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam analisis meliputi data kuantitatif dan data kualitatif yang bersumber dari data sekunder. Sesuai dengan komponen-komponen kriteria pemilihan produk prioritas, variabel dan sumber data yang digunakan seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Variabel, Data dan Sumber Data yang Digunakan

No. Kriteria/Variabel Data Sumber Data

1 Ketergantungan Impor Indonesia terhadap India

Nilai Impor Nilai impor Indonesia dari India tahun 2014 pada tingkat klasifikasi HS-10 digit

BPS

Pangsa Impor Relatif Nilai impor Indonesia dari India dan Dunia tahun 2014

BPS Trend Impor Trend nilai impor Indonesia

tahun 2012-2014

(26)

19

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2 Ketergantungan Ekspor

India terhadap Pasar Indonesia

Nilai Ekspor Nilai ekspor India ke Indonesia tahun 2014 dengan menggunakan HS yang bersesuaian (4-8 digit) Ministry of Commerce, India, www.gtis.com

Pangsa Ekspor Relatif Nilai ekspor India ke Indonesia dan Dunia tahun 2014

Ministry of

Commerce, India,

www.gtis.com

Trend Ekspor Trend nilai ekspor Indonesia tahun 2012-2014

Ministry of

Commerce, India,

www.gtis.com

3 Karakteristik Produk

AIFTA India Status liberalisasi produk India dalam AIFTA

ASEAN - India Free Trade Area,

www.asean.org

AIFTA Indonesia Status liberalisasi produk Indonesia dalam AIFTA sesuai PMK 221/2012

Kementerian Keuangan,

www.kemenkeu.go.id

LARTAS Peraturan-peraturan terkait impor di Indonesia (Kemendag, Kemenperin, BPOM, dsb) INSW, www.eservice.insw.g o.id

Kelompok Produk BEC Klasifikasi produk impor BPS 4 Kemampuan Produksi

Domestik

Rasio Ekpor/Impor Nilai ekspor Indonesia ke Dunia dan nilai impor Indonesia dari Dunia tahun 2014

BPS

Neraca Neraca perdagangan

Indonesia dengan Dunia masing-masing produk

BPS

5 Alternatif Negara Pemasok

ASEAN Pangsa nilai impor Indonesia dari negara anggota ASEAN

BPS ASEAN+1 Pangsa nilai impor Indonesia

dari negara-negara yang memiliki FTA dengan ASEAN

(27)

20

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

selain India (meliputi Jepang, Korea Selatan, RRT, Australi, dan Selandia Baru)

Asia Pangsa nilai impor Indonesia dari negara-negara Asia (meliputi Pakistan,

Bangladesh, Hongkong, dan Taiwan)

BPS

3.4 Metode Pembentukan Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi

Produk prioritas yang akan dikenakan retaliasi ditentukan dengan mengacu pada nilai indeks komposit tertinggi, Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi (IKPPR). IKPPR dibentuk dari nilai rata-rata 5 (lima) sub-indeks penyusunnya sesuai dengan kriteria pemilihan produk prioritas retaliasi pada sub-bab sebelumnya, yaitu: (1) sub-indeks ketergantungan impor Indonesia; (2) sub-indeks ketergantungan ekspor India; (3) sub-indeks karakteristik produk; (4) sub-indeks kemampuan domestik; dan (5) sub-indeks alternatif negara pemasok. Pembentukan sub-indeks dihitung dari rata-rata nilai masing-masing variabel penyusunnya yang telah dinormalisasi (skala 0-1). Namun sebelumnya, dilakukan penilaian (scoring) data pada tiap-tiap variabel berdasarkan tujuan yang ingin dicapai.

3.4.1 Penilaian (Scoring) Variabel

Secara umum, penilaian variabel menggunakan skala Linkert antara 1 dan 7 yang dijustifikasi berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Semakin tinggi tingkat kesesuaian data dengan tujuan maka semakin tinggi pula skor yang diberikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa variabel tidak menggunakan skala Linkert karena data yang digunakan telah mencerminkan perbedaan level pada masing-masing alternatif produk. Adapun penilaian masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut:

1) Nilai Impor: data nilai impor Indonesia dari India (CIF) ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma.

2) Pangsa Impor Relatif: persentase nilai impor Indonesia dari India terhadap nilai impor Indonesia dari Dunia pada produk yang sama.

(28)

21

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Pangsa Impor Relatif (%) Skor (Skala Linkert)

80 – 100 1 60 – 79.9 2 45 – 59.9 3 30 – 44.9 4 20 – 20.9 5 10 – 19.9 6 0 – 9.9 7

3) Trend Impor: Pertumbuhan rata-rata nilai impor Indonesia dari India periode 2012-2014, dihitung dengan rumus Compound Annual Growth Rate (CAGR).

Trend Impor (%) Skor (Skala Linkert)

> 100 7 50 s.d 100 6 30 s.d 49.9 5 15 s.d 29.9 4 0 s.d 14.9 3 -0,15 s.d. -0,1 2 < -15 1

4) Nilai Ekspor: data nilai ekspor India ke Indonesia (FOB) ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma.

5) Pangsa Ekspor Relatif: persentase nilai ekspor India ke Indonesia terhadap nilai ekspor India ke Dunia pada produk yang sama.

Pangsa Ekspor Relatif (%) Skor (Skala Linkert)

80 – 100 7 60 – 79.9 6 45 – 59.9 5 30 – 44.9 4 20 – 20.9 3 10 – 19.9 2 0 – 9.9 1

6) Trend Ekspor: Pertumbuhan rata-rata nilai ekspor India ke Indonesia periode 2012-2014, dihitung dengan rumus Compound Annual Growth Rate (CAGR). Data produk ekspor dengan India sebagai reporter (GTIS) tidak semuanya lengkap selama periode 2012-2014 yang kemungkinan besar disebabkan perubahan nomenklatur kode HS. Oleh karena itu, apabila data yang tersedia tahun 2013 dan

(29)

22

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

2014 maka dihitung pertumbuhan dua tahun tersebut. Sementara itu, apabila hanya terdapat data di tahun terakhir, maka trend impor diasumsikan sama dengan pertumbuhan 0% (skor 3).

Trend Impor (%) Skor (Skala Linkert)

> 100 7 50 s.d 100 6 30 s.d 49.9 5 15 s.d 29.9 4 0 s.d 14.9 3 -0,15 s.d. -0,1 2 < -15 1

7) AIFTA India: Dalam rangka mencari produk sensitif/strategis bagi India, maka produk perdagangan India yang tidak diikutsertakan dalam liberalisasi AIFTA diberi skor tertinggi. Dengan asumsi bahwa produk tersebut merupakan produk yang dilindungi (dari persaingan bisnis) oleh Pemerintah India.

Status AIFTA Skor (Skala Linkert)

EL (exclusion list) 5

ST (sensitive track) 3

NT-1 (normal track) 2

NT-2 (normal track) 1

8) AIFTA Indonesia: Dalam rangka mencari produk yang relatif tidak sensitif (tidak memicu gejolak stakeholder domestik) bagi Indonesia, maka produk perdagangan Indonesia yang diikutsertakan dalam liberalisasi AIFTA dengan jalur normal (penurunan tarif signifikan) diberi skor tertinggi.

Status AIFTA Skor (Skala Linkert)

EL (exclusion list) 1

HSL ( high sensitive track) 2

SL (sensitive list) 3

NT-1 (normal track) 5

9) LARTAS (Larangan dan Pembatasan): Variabel ini menglasifikasikan apakah produk impor Indonesia termasuk kategori bebas impor ataukah dilakukan pengaturan/pembatasan melalui peraturan yang berlaku. Untuk barang yang diatur dinilai lebih lanjut

(30)

23

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

berdasarkan julah regulasi. Semakin banyak regulasinya, semakin kecil skornya. Pengaturan yang ketat merepresentasikan sensitivitas publik (public interest) terhadap produk tersebut sehingga diupayakan untuk tidak dikenakan retaliasi.

Kategori LARTAS Skor (Skala Linkert)

Bebas (tidak ada regulasi impor) 5

Pembatasan 1 (diatur dengan 1 peraturan) 4 Pembatasan 2 (diatur dengan 2 peraturan) 3 Pembatasan 3 (diatur dengan 3 peraturan) 2

10) Kelompok Produk Board Econoomic Category (BEC): Agar tidak membebani industri domestik yang pada umumnya masih menggunakan bahan baku impor (belum tersedia di domestik, dari segi kualitas maupun kuantitas), maka produk impor yang sangat dibutuhkan oleh industri diberi skor terendah.

Kategori BEC Skor (Skala Linkert)

Barang konsumsi 5

Bahan baku penolong 4

Barang modal 2

11) Rasio Ekspor/Impor: Persentase nilai ekspor Indonesia ke Dunia terhadap nilai impor Indonesia dari Dunia untuk produk yang sama. Dalam hal ini diasumsikan bahwa produk-produk yang masuk dalam klasifikasi HS-10 digit yang sama merupakan produk yang identik. Semakin tinggi Rasio Ekspor/Impor semakin besar kemampuan domestik untuk substitusi impor. Apabila tidak ada nilai ekspornya maka Rasio Ekspor/Impor bernilai nol. Rasio Ekspor/Impor kemudia diberi skor sesuai tabel berikut:

Rasio Ekspor/Impor (%) Skor (Skala Linkert)

>80 7 60 – 79.9 6 45 – 59.9 5 30 – 44.9 4 20 – 20.9 3 10 – 19.9 2 0 – 9.9 1

(31)

24

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

12) Neraca: Variabel ini digunakan untuk memberikan bobot yang berbeda terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia, apakah dikarenakan nilai ekspor yang lebih kecil dari nilai impor (kapasitas produksi berorientasi ekspor masih rendah) atau memang tidak ada nilai ekspornya (tidak memiliki daya saing di pasar internasional).

Neraca Skor (Skala Linkert)

Surplus 5

Defisit 3

Tidak Ekspor 1

13) ASEAN: Persentase nilai impor Indonesia dari negara-negara anggota ASEAN terhadap nilai impor Indonesia dari Dunia.

Pangsa Impor dari ASEAN (%) Skor (Skala Linkert)

80 – 100 7 60 – 79.9 6 45 – 59.9 5 30 – 44.9 4 20 – 20.9 3 10 – 19.9 2 0 – 9.9 1

14) ASEAN+1: Persentase nilai impor Indonesia dari negara-negara yang memiliki FTA dengan ASEAN selain India terhadap nilai Impor Indonesia dari Dunia. Kelompok negara ini meliputi Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Australia, dan Selandia Baru.

Pangsa Impor dari ASEAN+1 (%) Skor (Skala Linkert)

80 – 100 7 60 – 79.9 6 45 – 59.9 5 30 – 44.9 4 20 – 20.9 3 10 – 19.9 2 0 – 9.9 1

15) Asia: Persentase nilai impor Indonesia dari negara negara-negara Asia (negara-negara tetangga India, selain ASEAN dan ASEAN+1) terhadap nilai Impor Indonesia dari Dunia. Kelompok negara ini meliputi Pakistan, Bangladesh, Hongkong, dan Taiwan.

(32)

25

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Pangsa Impor dari Asia (%) Skor (Skala Linkert)

80 – 100 7 60 – 79.9 6 45 – 59.9 5 30 – 44.9 4 20 – 20.9 3 10 – 19.9 2 0 – 9.9 1

3.4.2 Sub-Indeks Produk Prioritas Retaliasi

Setiap variabel yang telah diberikan skor kemudian dinormalisasi agar memiliki proporsi nilai yang sama. Formula yang digunakan untuk melakukan normalisasi data adalah sebagai berikut:

, = ...(2) Dimana:

, : Nilai yang telah dinormalisasi pada skala antara nol hingga 1

(satu)

: Nilai yang akan dinormalisasi pada variabel : Nilai minimal dari variabel

: Nilai minimal dari variabel

Setelah semua variabel dinormalisasi, kemudian dihitung indeks untuk masing-masing komponen (subs-indeks) dengan rata-rata aritmatik atas variabel yang bersesuaian.

= ∗ ∑ , ...(3) Dimana:

: Indeks Produk Prioritas Retaliasi pada komponen : Nilai masing-masing variabel penyusun komponen : Jumlah variabel penyusun komponen

Untuk mengetahui prioritas produk yang akan diretaliasi, masing-masing sub-indeks diranking berdasarkan nilai tertinggi.

(33)

26

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

3.4.3 Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi

Metode yang digunakan untuk menghitung Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi (IKPPR) pada dasarnya sama dengan pembentukan Sub-Indeks Produk Prioritas Retaliasi (IPPR). IKPPR dihitung dengan rumus rata-rata aritmatik dari keseluruhan IPPR (5 komponen). Hasi perhitungan tersebut kemudian diranking berdasarkan nilai tertinggi untuk mengetahui produk yang menjadi prioritas utama dengan mempertimbangkan semua variabel yang digunakan. Formula dalam menghitung IKPPR adalah sebagai berikut:

= ∗ ∑ ...(4) Dimana:

: Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi : Nilai masing-masing sub-indeks

(34)

27

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB IV

GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA-INDIA

4.1 Perkembangan Perdagangan bilateral Indonesia-India

Selama periode 2010-2014, nilai total perdagangan Indonesia dengan Indonesia tumbuh 3,8% per tahun (Tabel 4.1). Nilai total perdagangan kedua negara pada tahun 2014 mencapai 16,2 miliar dengan produk utama yang diperdagangkan berupa non migas (97,5%). Ekspor Indonesia ke India tahun 2014 mencapai USD 12,2 miliar dengan trend pertumbuhan 4,1% per tahun untuk periode lima tahun terakhir. Sementara itu, impor Indonesia dari India tahun 2014 hanya sebesar USD 3,9 miliar dengan trend pertumbuhan 2,8% per tahun. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan India pada tahun 2014, sebesar USD 8,3 miliar. Selama periode 2010-2014, Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan dengan India, yang terutama ditopang oleh surplus non migas. Jika dibandingkan dengan tahun 2010, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan India tahun 2014 mengalami peningkatan 1,7 miliar (1,3 kali lipat).

Seiring dengan perekonomian India yang tumbuh moderat sebesar 7,5% pada Triwulan I-2015 dan 7,0% pada Triwulan II-2015, total ekspor Indonesia ke India pada Januari-Juli 2015 juga mengalami perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 8,3% dibandingkan periode yang sama 2014. Laju impor Indonesia dari India untuk Januari-Juli 2015 menurun tajam sebesar 32,8% yang berimplikasi pada peningkatan surplus perdagangan Indonesia dengan India menjadi USD 5,6 miliar.

(35)

28

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 4.1. Neraca Perdagangan Indonesia dengan India (Miliar USD)

Sumber: BPS (diolah Pusatin Kemendag)

Struktur produk ekspor non migas Indonesia ke India masih didominasi oleh produk-produk industri, namun demikian pangsa ekspornya dari tahun ke tahun cenderung menurun (Gambar 4.1). Pada tahun 2004, produk industri sangat dominan dalam struktur ekspor non migas Indonesia ke India dengan pangsa mencapai 76,3%. Sementara itu, kontribusi produk industri di tahun 2014 hanya sebesar 49,4%. Sebaliknya, kontribusi produk hasil tambang terus meningkat dari 20,9% di tahun 2004 menjadi 49,2% di tahun 2014. Sementara itu, pangsa ekspor produk pertanian terhadap ekspor non migas Indonesia ke India konstan pada kisaran kurang dari 2,0% selama periode 2004-2014. 2014 2015 TOTAL PERDAGANGAN 13.21 17.66 16.80 17.00 16.20 3.77 9.29 9.02 -2.88 MIGAS 0.66 0.40 0.34 0.22 0.41 -14.41 0.34 0.15 -56.72 NON MIGAS 12.55 17.26 16.46 16.78 15.79 4.41 8.95 8.88 -0.85 EKSPOR 9.92 13.34 12.50 13.03 12.25 4.08 6.75 7.32 8.34 MIGAS 0.06 0.06 0.05 0.02 0.03 -24.63 0.02 0.08 379.49 NON MIGAS 9.85 13.28 12.45 13.01 12.22 4.20 6.74 7.24 7.41 IMPOR 3.29 4.32 4.31 3.96 3.95 2.81 2.54 1.70 -32.78 MIGAS 0.60 0.34 0.29 0.19 0.39 -13.33 0.32 0.07 -79.70 NON MIGAS 2.70 3.98 4.02 3.77 3.56 5.17 2.21 1.64 -25.97 NERACA PERDAGANGAN 6.62 9.01 8.19 9.07 8.30 4.68 4.22 5.61 33.07 MIGAS -0.53 -0.29 -0.24 -0.17 -0.36 -11.98 -0.30 0.02 105.22 NON MIGAS 7.16 9.30 8.43 9.24 8.66 3.82 4.52 5.60 23.75 Trend(%) 2010-2014 Jan-Jul Perub.(%) 2015/2014 Uraian 2010 2011 2012 2013 2014

(36)

29

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 4.1. Struktur Ekspor Non Migas Indonesia ke India Sumber: BPS (diolah)

4.2 Safeguards Saturated Fatty Alcohol India

Directorate General of Safeguards, Department of Revenue, Ministry of Finance, Government of India, sebagai otoritas yang berwenang menangani penyelidikan safeguards, pada tanggal 13 Februari 2013 melakukan inisiasi penyelidikan safeguards terhadap importasi produk saturated fatty alcohol dengan panjang rantai karbon C8, C10, C12, C14, C16, dan C18 termasuk tunggal, campuran dan tidak dicampur (tidak termasuk isomer bercabang) yang meliputi campuran dari kombinasi berbagai panjang rantai karbon, C12-C14, C12-C16, C12-C18, C14 dan C16-18-C16 yang masuk ke India dengan periode investigasi 2010-11 hingga 2013-14 (tahunan). Produk saturated fatty alcohol tersebut diklasifikasikan dalam pos tarif No. 38.237.010, 38.237.020, 38.237.040 , 38237090 dan 29051700 dari Customs Tariff Act 1975. Bea masuk safeguards sementara telah dikenakan sebesar 20% ad valorem untuk 200 hari sejak tanggal 28 Agustus 2014. Hasil akhir penyelidikan Direktorat Jenderal Safeguards India membuktikan terjadinya kenaikan impor yang menyebabkan kerugian industri domestik sehingga ditetakanlah tindakan safeguards definitif untuk periode 28 Agustus 2014 hingga 27 Februari 2017. Ringkasan kronologi tindakan safaguard saturated fatty alcohol oleh India sejak inisiasi penyelidikan hingga penetapan tindakan safeguards definitif dapat dilihat pada Tabel 4.2.

20.9 49.2 76.3 49.4 2.9 1.4 0% 20% 40% 60% 80% 100% 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(37)

30

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 4.2. Kronologi Pengenaan Safeguard Produk Impor Saturated Fatty Alcohol oleh India

No. Tanggal Tindakan Keterangan

1 19 Februari 2014 Direktorat Jenderal Safeguards India mengumumkan dimulainya penyelidikan safeguards (F.No.D-22011/26/2013)

Investigasi safeguards dimulai tanggal 13 Februari 2014

2 19 Februari 2014

Delegasi India melakukan notifikasi ke WTO mengenai dimulainya penyelidikan safeguards (G/SG/N/6/IND/34 tertanggal 20 Februari 2014)

Investigasi dimulai tanggal 13 Februari 2014 dengan periode invesigasi 2010-11 hingga 2013-14 (tahunan)

3 26 Mei 2014 Direktorat Jenderal Safeguards India mengeluarkan hasil sementara penyelidikan safeguards

Rekomendasi bea masuk safeguards sementara sebesar 20% ad valorem selama 200 hari

4 28 Agustus 2014

Kementerian Keuangan India menetapkan bea masuk safeguards

sementara (SG Notification No. 03/2014-Customs)

Bea masuk safeguards sementara sebesar 20% ad valorem, selama 200 hari sejak ditetapkan (28 Agustus 2014) 5 9 Oktober

2014

Direktorat Jenderal Safeguards India menerbitkan hasil akhir penyelidikan safeguards (F.No.

D-22011/26/2013/pt.)

Bea masuk safeguards tahun pertama sebesar 20% ad valorem; tahun kedua sebesar 18% ad valorem; dan enam bulan pada tahun berikutnya sebesar 12% ad valorem. Fatty Alcohol dengan rantai karbon murni C8 dikeluarkan dari pengenaan safeguards 6 20 Oktober

2014

Delegasi India melakukan notifikasi pengenaan safeguards ke WTO (G/SG/N/8/IND/26/Suppl.1; G/SG/N/10/IND/17/Suppl.1; G/SG/N/11/IND/12/Suppl.1 tertanggal 22 Oktober 2014)

Sesuai dengan hasil akhir penyelidikan tanggal 9 Oktober 2014

(38)

31

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

7 13 Maret 2015 Kementerian Keuangan India menetapkan bea masuk safeguards definitif (SG Notification No. 1/2015-Customs)

Dikenakan selama 2 tahun 6 bulan sejak pengenaan bea masuk safeguards sementara (28 Agustus 2014) dengan bea masuk sebesar: 20% ad valorem, periode 28 Agustus 2014 - 27 Agustus 2015; 18% ad valorem, periode 28 Agustus 2015 - 27 Agustus 2016; 12% ad valorem, periode 28 Agustus 2017 - 27 Februari 2017.

8 25 Maret 2015 Delegasi India melakukan notifikasi safeguards definitif ke WTO (G/SG/N/8/IND/26/Suppl.2; G/SG/N/10/IND/17/Suppl.2; G/SG/N/11/IND/12/Suppl.2 tertanggal 30 Maret 2015)

Besaran dan jangka waktu yang dinotifikasikan ke WTO sama dengan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan India tanggal 13 maret 2015

Sumber: Dirangkum dari berbagai sumber

Hasil akhir penyelidikan Directorate General of Safeguards yang dinotifikasikan dalam dokumen No. D-22011/26/2013/pt tertanggal 9 Oktober 2014 terkait dengan kerugian serius/ancaman kerugian yang dialami industri domestik akibat lonjakan impor saturated fatty alcohol pada dasarnya sama dengan temuan sementara penyelidikan sebagaimana dinotifikasikan delegasi India ke WTO tanggal 20 Oktober 2014. Selama periode penyedikan, volume impor saturated fatty alcohol mengalami lonjakan secara absolut maupun secara relatif terhadap produksi petisioner maupun produksi total India (Tabel 4.3). Pihak India mengklaim bahwa lonjakan impor tersebut telah menyebabkan kerugian serius industri domestik yang diantaranya diindikasikan dengan penurunan penjualan domestik secara absolut maupun relatif serta terjadinya peningkatan kerugian finansial yang dialami oleh produsen domestik.

(39)

32

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 4.3. Ringkasan Hasil Penyelidikan Directorate General of Safeguards India terkait Kerugian Serius/Ancaman Kerugian Akibat

Lonjakan Impor Saturated Fatty Alcohol

Indikator 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 2014-2015* Impor (MT) 19.843 34.142 51.055 57.616 79.957 Trend (indeks) 100 172 257 290 403 Produksi PD domestik 68.605 49.585 67.837 93.297 60.746 Pangsa impor terhadap

produksi DI (%) 29 69 75 62 132

Produksi total India 118.374 96.307 112.582 143.232 113.278 Pangsa impor terhadap

produksi total (%) 17 35 45 40 71 Total Permintaan 45.165 56.104 71.519 81.123 100.273 Penjualan PD domestik 17.080 15.285 12.891 14.777 10.376 Trend (Indeks) 100 89 75 87 61 Pangsa Pasar DI (%) 38 27 18 18 10 Profit/Loss (Indeks) 100 -266 -2.796 -2.232

Keterangan: PD = produsen domestik/petisioner; *April-Juni

Sumber: Committee on Safeguards WTO (2014b) dan Directorate General of Safeguards, Government of India (2014b)

Selama periode penyelidikan, Perusahaan maupaun Pemerintah Indonesia selaku pihak yang berkepentingan telah menyampaikan keberatannya terkait kasus safeguards India atas impor fatty alcohol. PT Musim Mas telah memberikan tanggapan dua kali yaitu setelah dimulainya inisiasi penyelidikan safeguards serta tanggapan tertulis yang disampaikan setelah penyelenggaraan public hearing. Sementara itu, Pemerintah Indonesia telah memberikan tanggapan tertulis yang disampaikan setelah penyelenggaraan public hearing sebagaimana didokumentasikan dalam laporan hasil akhir penyelidikan. Beberapa tanggapan yang disampaikan antara lain bahwa peningkatan impor fatty alcohol disebabkan oleh pemberian konsesi tarif dalam ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA) dan hal tersebut tidak termasuk dalam perkembangan yang tidak terduga (unforseen development). Selain itu, hubungan kausal antara lonjaka impor dengan kerugian industri domestik tidak tepat karena industri tersebut berorientasi

Gambar

Gambar 2.1. Tindakan Retaliasi dan Ekuilibrium Penawaran-Permintaan
Tabel 2.1. Daftar Kasus Retaliasi di WTO
Gambar 3.1. Tahapan Pembentukan Indeks Komposit
Gambar 3.2. Komponen Indeks Komposit Produk Prioritas Retaliasi  Masing-masing  komponen  kriteria  memiliki  tujuan  yang  spesifik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menanggapi permasalahan yang timbul dalam pembelajaran matematika di universitas seperti yang telah diuraikan di atas, terutama berkaitan dengan kemampuan

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut Nomor 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan

[r]

Dalam penelitian ini didasarkan pada teori: produktivitas, kualitas layanaan, dan akuntabilitas yang disesuaikan dengan PERMENPANRB No : Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pedoman

Nilam Safiro Fithri (D03215025), 2019, Manajemen Sarana Dan Prasarana Pendidikan Dalam Meningkatkan Kreativitas Siswa Di Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 1Taman

Renang gaya dada ( chest stroke ) atau gaya katak adalah berenang dengan posisi dada menghadap ke permukaan air. Kedua belah kaki menendang ke arah luar sementara kedua belah

Prioritas dipimpin oleh Agency Manager (AM). Kantor Cabang Asuransi Jiwa Perorangan, Kantor Cabang Asuransi. Jiwa Kumpulan, dan Kantor Cabang Asuransi

Kajian tentang penggunaan power point .... Penggunaan media power