• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Air bermanfaat bagi kehidupan manusia antara lain untuk kebutuhan konsumsi, kebutuhan irigasi, pertanian, industri, konsumsi rumah tangga, wisata, transportasi sungai, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan air bersih meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan akan air bersih salah satunya dipenuhi dengan airtanah, oleh sebab itu airtanah sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Kelangkaan airtanah di suatu tempat akan menyadarkan manusia betapa berharganya air yang mungkin tidak dirasakan saat air tersedia dalam jumlah yang melimpah. Kondisi peresapan air pada suatu lahan berkaitan erat dengan keberadaan air, terutama airtanah. Permasalahan yang sering muncul pada umumnya diindikasikan oleh kekeringan atau kesulitan memperoleh air bersih terutama pada musim kemarau.

Daerah yang perlu dirawat kondisi hidrologinya salah satunya berupa Daerah Aliran Sungai atau sering disingkat dengan DAS. DAS perlu dijaga karena terdapat keterkaitan antara aspek-aspek dalam DAS baik bagian hulu, tengah maupun hilir. Setiap bagian dari DAS memiliki fungsi dan peran masing-masing. Daerah hulu berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dan mempunyai fungsi perlindungan dari keseluruhan DAS, daerah tengah merupakan daerah peralihan dari hulu ke hilir sedangkan daerah hilir merupakan output sistem DAS dan menjadi cermin dari fenomena yang terjadi di bagian hulu dan tengah.

Apabila masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS yang bersangkutan adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir yang tinggi dan kekeringan maka dipandang perlu untuk dilakukan penilaian tentang tingkat kekritisan peresapan daerah resapan terhadap air hujan. Paradigma yang digunakan adalah semakin besar tingkat resapan (infiltrasi) maka semakin kecil tingkat air larian, sehingga debit banjir dapat menurun dan sebaliknya aliran dasar (base-flow) dapat naik, demikian pula cadangan airtanahnya (Dephut, 2009).

(2)

2 Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting.

Alih fungsi lahan dari lahan yang seharusnya menjadi kawasan lindung yang dijadikan sebagai kawasan budidaya berupa lahan pertanian maupun permukiman mempengaruhi peresapan air pada daerah resapan air. Bertambahnya jumlah penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan hidup termasuk papan, secara umum telah mengakibatkan perubahan kondisi peresapan air yang pada akhirnya menurunkan kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan (infiltrasi) yang berguna sebagai sumber airtanah. Kondisi peresapan air adalah kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan yang berguna sebagai sumber air (Syahbani, 2001).

Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.

Pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan dengan suatu wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air mulai dari masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit wilayah yang dimaksud adalah daerah aliran sungai. Oleh karena itu, langsung maupun tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada hakekatnya juga pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012). Berdasarkan konsep tersebut diketahui adanya keterkaitan antar wilayah, artinya dalam suatu DAS kondisi yang ada pada suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi di wilayah lain.

(3)

3 DAS Oyo terdiri dari beberapa Sub DAS seperti Oyo Hulu I dan II, Oyo bagian hilir dan Tengah, Mujung, Urang, Pentung, G. Jompong, Widoro, Juwet/Ngalang dan Prambutan memiliki kondisi fisik topografi, litologi serta vegetasi yang sangat kompleks dan sebagian besar hujan yang turun terkumpul menjadi aliran permukaan sehingga mengakibatkan banjir di pertemuan sungai Opak-Oyo sampai ke hilirnya. Berdasarkan fungsinya, sebagian penggunaan lahan yang dimiliki di sekitar Sungai Oyo disarankan menjadi kawasan fungsi lindung. Namun kenyataan menunjukkan bahwa ±60% lahan digunakan untuk pertanian karena sekitar 76% penduduknya hidup dari sektor pertanian (BPDAS, 2003). Hal ini menunjukkan adanya alih fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya yang mana perlu dikaji lebih dalam mengenai dampak yang akan diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan tersebut terhadap daerah resapannya.

Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan yang luas. Citra Landsat 8 merupakan citra resolusi menengah yang cukup up to date sehingga diharapkan dapat sesuai untuk menyadap parameter penentu kekrititisan daerah resapan.

Penelitian ini mengambil daerah yang diteliti berupa Sub DAS Oyo yang memiliki karakteristik wilayah yang sangat kompleks. Perubahan penggunaan lahan yang ada dapat mempengaruhi kondisi daerah resapan atau tingkat kekritisan daerah resapannya. Apabila telah diketahui kondisinya maka hasilnya dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan DAS sehingga DAS dalam kondisi baik dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta meminimalisir fluktuasi aliran sungai yang bisa berakibat banjir maupun kekeringan.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi daerah resapan dalam suatu DAS sangat mempengaruhi ketersediaan airtanah maupun kondisi peresapan dari DAS itu sendiri. Kondisi daerah resapan dapat dinilai dari infiltrasi yang ada baik infiltrasi potensial maupun infiltrasi aktualnya. Infiltrasi potensial dinilai dari kondisi fisik yang mana Sub DAS Oyo memiliki kondisi fisik yang sangat kompleks dan sebagian

(4)

4 besar air hujan mengalir menjadi aliran permukaan sehingga sering mengakibatkan banjir di pertemuan sungai Opak-Oyo sampai ke hilirnya. Penggunaan lahan juga mempengaruhi tingkat infiltrasi di suatu DAS berupa infiltrasi aktual. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dapat mengakibatkan kondisi resapan yang kurang baik sehingga penilaian mengenai kondisi resapan di Sub DAS Oyo perlu dilakukan.

Penelitian mengenai kekritisan daerah resapan pada Sub DAS memerlukan data yang mampu memberikan informasi spasial yang up to date dengan cakupan yang luas. Data penginderaan jauh berupa citra resolusi menengah Landsat 8 digunakan untuk menyadap informasi tersebut. Citra Landsat 8 ini digunakan untuk perolehan parameter seperti penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi untuk pembuatan model kondisi kekritisan daerah resapan di Sub DAS Oyo. Pengolahan data dan pembuatan model kekritisan daerah resapan dilakukan dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG) sehingga lebih cepat dan efisien serta membantu menyelesaikan masalah spasial kondisi peresapan Sub DAS Oyo. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini antara lain:

1. Bagaimanakah peran citra Landsat 8 dapat membantu menyadap parameter penentu kekrititisan daerah resapan.

2. Bagaimanakah potensi peresapan air di Sub DAS Oyo.

3. Bagaimanakah hubungan pola sebaran keruangan antara infiltrasi Sub DAS Oyo dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS tersebut.

1.3 Tujuan

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 dalam menyadap parameter penentu kekritisan daerah resapan.

2. Memetakan kondisi daerah resapan dalam Sub DAS Oyo.

3. Melihat hubungan antara pola sebaran keruangan infiltrasi Sub DAS Oyo dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo.

(5)

5 1.4 Manfaat

Diharapkan penelitian tentang pemetaan kondisi kekritisan daerah resapan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran bagaimana citra resolusi menengah Landsat 8 dapat digunakan untuk memetakan kondisi daerah resapan suatu DAS.

2. Memberikan informasi mengenai kekritisan daerah resapan Sub DAS Oyo. 3. Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam rangka pengelolaan

DAS.

1.5 Telaah Pustaka 1.5.1 Penginderaan Jauh

Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan sutau objek. Penginderaan jauh dilakukan tanpa kontak langsung sehingga diperlukan media supaya objek atau gejala tersebut dapat diamati dan “didekati” oleh si penafsir. Media ini berupa citra (image atau gambar). Komponen yang ada pada sistem penginderaan jauh diantaranya yaitu sumber tenaga (aktif dan pasif), panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, interaksi panjang gelombang dengan obyek, obyek itu sendiri, atmosfer dan sensor satelit.

Gambar 1.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994) (Sumber: http://geodesi-engineer.blogspot.com)

(6)

6 Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap sumber tenaga dalam salah satu komponen penginderaan jauh. Ada obyek yang menyerap (absorption), memantulkan (reflection) dan meneruskan (transmition) tenaga-tenaga tersebut. Sifat-sifat obyek/interaksi terhadap gelombang elektromagnetik tersebutlah yang ditangkap oleh sensor satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Hasil dari interaksi komponen-komponen tersebut berupa citra penginderaan jauh.

Citra dapat diperoleh melalui perekaman fotografis, yaitu pemotretan dengan kamera, dan dapat juga diperoleh melalui perekaman non-fotografis, misalnya dengan pemindai atau penyiam (scanner). Perekaman fotografis menghasilkan foto udara, sedangkan perekaman lain menghasilkan citra non-foto. Citra foto udara selalu berupa hard copy (barang tercetak) yang diproduksi dan direproduksi dari master rekaman yang berupa film. Citra non-foto biasanya terekam secara digital dalam format asli, dan memerlukan komputer untuk presentasinya. Citra non foto juga dapat (dan perlu) dicetak menjadi hard copy, untuk keperluan interpretasi secara visual.

Data penginderaan jauh diperoleh dari suatu satelit, pesawat udara balon udara atau wahana lainnya. Data-data tersebut berasal rekaman sensor yang memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang di hasilkan (Richards dan Jia, 2006).

Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi, 2001).

Pemanfaatan teknik Penginderaan Jauh untuk hidrologi pada dasarnya akan meringankan pekerjaan, biaya dan tenaga yang dikeluarkan apabila dilakukan secara terestrial. Namun demikian perlu diperhatikan segala keterbatasan dari citra satelit sendiri bila digunakan untuk menggali informasi parameter-parameter hidrologi, baik dalam hal karakteristik citra (misalnya: skala, jenis citra) maupun dalam hal keterbatasan metodologinya. Oleh karena itu pemanfaatan citra satelit

(7)

7 untuk studi hidrologi biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel lahan yang dapat dikaitkan dengan proses-proses hidrologi.

1.5.2 Citra Landsat 8

Satelit Landsat 8 merupakan satelit penginderaan jauh milik NASA yang telah diluncurkan pada hari Senin tanggal 11 Februari 2013. Satelit Landsat 8 dibawa oleh roket Atlas V ini telah diluncurkan dengan sukses dari Vandenberg Air Force Base di California. Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1). Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22 Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983; Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012, USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5 generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003. Landsat 8 memiliki kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi, dari 15 meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 kanal. Dalam satu harinya satelit ini akan mengumpulkan 400 scenes citra atau 150 kali lebih banyak dari Landsat 7. (Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id)

Gambar 1.2 Landsat 8

(8)

8 Tabel 1.1. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI)

Spectral Band Wavelength Resolution

Band 1 - Coastal/Aerosol 0.433 - 0.453 µm 30 m

Band 2 – Blue 0.450 - 0.515 µm 30 m

Band 3 – Green 0.525 - 0.600 µm 30 m

Band 4 - Near Infrared 0.630 - 0.680 µm 30 m Band 5 - Near Infrared 0.845 - 0.885 µm 30 m Band 6 - Short Wavelength Infrared 1.560 - 1.660 µm 30 m Band 7 - Short Wavelength Infrared 2.100 - 2.300 µm 30 m Band 8 – Pankromatik 0.500 - 0.680 µm 15 m

Band 9 – Cirrus 1.360 - 1.390 µm 30 m

Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id

Tabel 1.2. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Thermal InfraRed Sensor

Spectral Band Wavelength Resolution Band 10 - Long Wavelength

Infrared

10.30 - 11.30 µm 100 m

Band 11 - Long Wavelength Infrared

Band 11 - 11.50 - 12.50 µm

100 m

Sumber: http://www.geomatika.its.ac.id

1.5.3 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis atau SIG secara sederhana dapat diartikan sebagai sistem manual atau digital (dengan menggunakan komputer sebagai alat pengolahan dan analisis) yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan menghasilkan informasi yang mempunyai rujukan spasial atau geografis (Projo Danoedoro: 1996). SIG memiliki rujukan spasial (keruangan) yang dapat berujud lokasi (titik, garis, area), distribusi, serta terintegrasikan dengan data atribut yang berkaitan dengan tiga unsur penting geografis tersebut secara keruangan.

SIG muncul sebagai jawaban atas sejumlah keterbatasan peta yang dihasilkan dengan teknik kartografi manual. Keterbatasan itu meliputi pembuatan, penyimpanan, pemanfaatan, dan pembaruan/modifikasi peta sesuai dengan perkembangan dan keperluan yang dikehendaki. Peta konvensional yang dihasilkan dari proses kartografi manual bersifat statis, sukar untuk diolah kembali, sukar untuk dipadukan (integrated) antara beberapa peta tematik, terbatas kapasitas penanganannya, sukar untuk menyimpan dan memanipulasi

(9)

9 datanya, usaha untuk memperoleh informasi baru dari peta konvensional yang ada juga sulit dilakukan apabila data yang akan dipadukan dalam jumlah besar.

Perencanaan pembangunan atau pengambilan keputusan yang berkaitan dengan spasial diperlukan analisis data yang bereferensi geografis. Analisis ini harus didukung oleh sejumlah konsep-konsep ilmiah dan sejumlah data yang handal. Data/informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan harus dipilih dan diolah melalui pemrosesan yang akurat. SIG merupakan sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial atau koordinat-koordinat geografi. SIG memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan menampilkan dan menganalisa data.

SIG menyediakan sejumlah komponen atau subsistem antara lain: 1. Masukan data (data input)

Subsistem masukan data adalah fasilitas dalam Sistem Informasi Geografi yang digunakan untuk memasukan data dan merubah data dari bentuk data asli ke dalam bentuk data yang dapat diterima dan dipakai dalam SIG. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan 3 cara, yakni:

a. Pelarikan (scanning)

Pelarikan atau penyiaman adalah proses pengubahan data grafis kontinyu menjadi data diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel). Data hasil penyiaman disimpan dalam bentuk raster. Data raster ini dapat diubah menjadi data vektor melalui proses digitasi.

b. Digitasi

Digitasi adalah proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam struktur vektor. Pada struktur vektor ini data disimpan dalam bentuk titik (point), garis (lines) atau segmen, data poligon (area) secara matematis-geometris (Lo, 1986). Contoh tipe data titik adalah kota, lapangan terbang, pasar. Tipe data garis diantaranya adalah sungai, jalan, kontur topografik. Tipe data poligon/area antara lain ditunjukkan oleh bentuk-bentuk penggunaan lahan, klasifikasi tanah, daerah aliran sungai. Tipe data ini bergantung pada skalanya.

(10)

10 c. Tabulasi

Basis data dalam SIG dikelompokkan menjadi dua, yakni basis data grafis dan basis data non-grafis (atribut). Data grafis adalah peta itu sendiri, sedangkan data atribut adalah semua informasi non-grafis, seperti derajat kemiringan lereng, jenis tanah, dan lain-lain. Data atribut ini disimpan dalam bentuk tabel, sehingga sering disebut basis data tabuler. Data tabel ini kemudian dikaitkan dengan data grafis untuk keperluan analisis.

2. Pengelolaan data

Pengelolaan data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari input data. Beberapa langkah penting lainnya, seperti pengorganisasian data, perbaikan, pengurangan, dan penambahan dilakukan pada subsistem ini.

3. Manipulasi dan Analisis data

Fungsi subsistem ini adalah untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG. Untuk merubah format data, mendapatkan parameter dan proses dalam pengelolaan dapat dilakukan pada subsistem ini. Beberapa fasilitas yang biasa terdapat dalam paket SIG untuk manipulasi dan analisis, meliputi empat unsur, yakni: fasilitas penyuntingan, interpolasi spasial, tumpang susun, modeling, dan analisis data (Danoedoro, 1996).

Fasilitas yang terdapat pada Sistem Informasi Geografi antara lain: a. Penyuntingan

Sebenarnya, sebagian fungsi penyuntingan telah dilakukan dalam subsistem manajemen data (khususnya data spasial), tetapi ada yang belum dikerjakan secara detail, yakni pemutakhiran (up dating) data. Sebagai contoh antara lain, peta pola persebaran pemukiman untuk tahun terbaru tidak perlu digitasi ulang, tetapi cukup diperbaharui dengan menambah data baru.

b. Interpolasi spasial

Interpolasi spasial merupakan jenis fasilitas SIG yang rumit, bahkan dapat dikatakan bahwa langkah ini tidak dapat dilakukan secara manual. Setiap titik pada koordinat tertentu dalam peta memuat sejumlah informasi koordinat dan nilai-nilai tertentu suatu variabel yang dikehendaki. Misal, pemasukan data

(11)

11 berupa posisi koordinat dan kemiringan lereng, dapat diinterpolasi. Hasil dari proses interpolasi tersebut adalah peta kontinyu dimana setiap titik pada peta digital tersebut menyajikan informasi berupa nilai riil.

c. Tumpang susun (overlay)

Tumpang susun ini sebenarnya merupakan langkah di dalam SIG yang dapat dilakukan secara manual, tetapi cara manual terbatas kemampuannya. Bila peta yang akan ditumpangsusunkan lebih dari 4 lembar peta tematik, maka kan terjadi kerumitan besar dan sukar dirunut kembali dalam menyajikan satuan-satuan pemetaan baru (Danoedoro, 1996). Software SIG yang berbasis raster dapat melakukan proses tumpang susun secara lebih cepat daripada software SIG berbasis vektor. Proses tumpang susun lebih cepat pada SIG berbasis raster karena proses ini dilakukan antar pixel dari masing-masing input data peta pada koordinat yang sama, tidak harus merumuskan lagi topologi baru untuk satuan pemetaan baru yang dihasilkan dari proses ini sebagaimana yang terjadi pada SIG berbasis vektor.

d. Pembuatan Model dan Analisis data

Bila input data telah masuk dan tersusun dalam bentuk basis data, maka proses pembuatan model (modeling) dan analisis data menjadi efisien, dapat dilakukan kapan saja dan dapat dipadukan dengan input peta baru. Bagian inilah terletak manfaat SIG yang besar, yakni ketika seluruh data telah tersedia dalam bentuk digital.

4. Keluaran data (data output)

Subsistem ini berfungsi untuk menayangkan (displaying) informasi baru dan hasil analisis data geografis secara kuantitatif maupun kualitatif. Wujud keluaran ini berupa peta, tabel atau arsip elektronik (file). Keluaran data ini tidak hanya ditayangkan pada monitor, tetapi selanjutnya perlu disajikan dalam bentuk cetakan (hardcopy), dengan maksud agar dapat dibaca, dianalisis, dan diketahui persebarannya secara visual (data peta).

Peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi yang dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak

(12)

12 dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna.

Manfaat Sistem Informasi Geografis (SIG) antara lain:

a. Memudahkan dalam melihat fenomena kebumian dengan perspektif lebih baik.

b. Mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta bahkan data statistik.

c. Mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. d. Menyongsong pembangunan di masa mendatang yang semakin lama akan

semakin penting. Informasi yang dihasilkan SIG merupakan informasi keruangan dan kewilayahan untuk inventarisasi data keruangan yang berkaitan dengan sumber daya alam.

1.5.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004). Dengan demikian, DAS merupakan satuan wilayah alami yang memberikan manfaat produksi serta memberikan pasokan air melalui sungai, tanah, dan atau mata air, untuk memenuhi berbagai kepentingan hidup, baik untuk manusia, flora maupun fauna. Untuk memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan perlu disusun sistem perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang

(13)

13 terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi kelembagaan, maupun teknologi yang terus berkembang.

Sub Daerah Aliran Sungai adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS-Sub DAS. DAS mempunyai suatu keterkaitan antara faktor biotik, abiotik dan budaya serta interaksi yang saling berpengaruh dari DAS bagian hulu, tengah dan hilir. Faktor biotik merupakan makhluk hidup yang menempati ruang DAS, faktor abiotik merupakan permukaan lahan DAS tersebut sedangkan budaya adalah sifat dan perilaku masyarakat dan perilaku masyarakat terhadap kawasan DAS.

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau (Dephut, 2008).

1.5.5 Infiltrasi

Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi termasuk dalam gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler. Gaya kapiler mendorong air untuk bergerak ke segala arah sementara gaya gravitasi mendorong air untuk bergerak mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah.

Laju infiltrasi (infiltration rate) adalah kecepatan infiltrasi nyata yang berubah-ubah sesuai dengan variasi intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi adalah kecepatan infiltrasi maksimum yang tergantung dari sifat permukaan tanah. Nilai laju infiltrasi (f) dapat kurang atau sama dengan kapasitas infiltrasi (fp).

Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sedangkan jika intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Asdak, 2001).

(14)

14 Secara singkat, Seyhan (1990) dalam Asdak, 2001 menyebutkan faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah :

a. Karakteristik hujan

Hal ini menyangkut intensitas hujan yang terjadi pada suatu tempat. Apabila intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah, maka infiltrasi akan terus melaju sama dengan laju curah hujan.

b. Kondisi permukaan tanah

Kondisi tersebut terkait material permukaan ataupun topografinya. Pada permukaan tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian partikel halus oleh air sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan menurunkan laju infiltrasi. Kemiringan tanah juga mempengaruhi karena pada kondisi yang miring, air memiliki kemungkinan meresap lebih kecil dibanding kondisi yang landai, bergelombang hingga datar. Selain itu penggolongan tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi antara lain dengan terasering atau pembajakan kontur dan yang menurunkan laju infiltrasi adalah dengan pengolahan permukaan vegetasi. Hal tersebut dikarenakan kenaikan atau penurunan cadangan permukaan.

c. Kondisi penutup permukaan

Penutup permukaan berupa vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan melindungi tanah dari dampak tetesan hujan. Sedangkan dengan mengubah penutup permukaan menjadi bangunan atau jalan akan mengurangi kapasitas infiltrasi.

d. Transmibilitas tanah

Beberapa sifat tanah seperti struktur tanah, kemantapan struktural, faktor biotik dan sifat penampang tanah merupakan faktor yang mempengaruhi pori yang besar dan transmibilitas tanah. Infiltrasi berbanding terbalik dengan kadar lengas tanah, hal ini terjadi dengan berbagai cara, diantaranya adalah kandungan air yang meningkat mengisi ruang pori dan mengurangi kapasitas tanah untuk infiltrasi air selanjutnya. Apabila hujan membasahi permukaan suatu tanah yang kering maka gaya kapiler akan menarik air dengan laju yang lebih tinggi dibanding laju oleh gaya gravitasi, dan

(15)

15 meningkatnya airtanah menyebabkan pengembangan koloid dan mengurangi ruang pori.

e. Karakteristik air yang berinfiltrasi

Karakteristik air tesebut antara lain suhu air dan kualitas air. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada bulan-bulan musim panas laju infiltrasi lebih tinggi, namun hal ini tentu disebabkan juga oleh faktor lain, bukan hanya karena faktor suhu air. Kualitas air berhubungan dengan kekeruhan, pada air yang mengandung partikel debu halus saat infiltrasi akan menyumbat ruang pori yang lebih halus dalam tanah sehingga akan mengurangi laju infiltrasi.

1.5.6 Daerah resapan

Menurut Sayogyo (1982), daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap kawasan peresapan air penting bagi kelestarian ekosistem dan menjaga kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia.

Pada umumnya pengelolaan terhadap kawasan peresapan air dikaitkan dengan suatu wilayah yang memungkinkan berlangsungnya suatu sistem tata air mulai dari masuknya air hujan, proses meresapnya air dan keluarnya aliran. Unit wilayah yang dimaksud adalah Daerah Aliran Sungai. Oleh karena itu, baik langsung maupun tidak langsung pengelolaan kawasan peresapan air pada hakekatnya juga pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Menurut Sautterland (1972), pengelolaan DAS adalah pengelolaan terhadap seluruh sumberdaya alam dari suatu DAS untuk melindungi, memelihara dan memperbaiki hasil air. Sedangkan menurut Brooks et al (1991), memberikan definisi lebih detail yaitu proses mengarahkan dan mengorganisir lahan dan penggunaan sumberdaya lainnya untuk memberikan barang-barang dan jasa yang

(16)

16 diinginkan tanpa menyalahi kondisi sumberdaya tanah dan air. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (PP No. 37 Tahun 2012). Berdasarkan konsep tersebut diketahui adanya keterkaitan antar wilayah, artinya dalam suatu DAS kondisi yang ada pada suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi di wilayah lain.

1.6 Penelitian Sebelumnya

Dulbahri (1992) melakukan penelitian tentang pemanfaatan foto udara inframerah berwarna untuk kajian agihan dan pemetaan airtanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan unit geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh, mengevaluasi kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi termasuk mata air dan melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan sumberdaya airtanah di Daerah Pengaliran Sungai Progo. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara inframerah berwarna skala 1:30.000 dan cek lapangan. Penelitian ini menghasilkan peta keberadaan dan agihan airtanah dan deskripsi unit daerah airtanah.

Syahbani (2003) melakukan penelitian tentang penggunaan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk penilaian kondisi resapan Sub DAS Garang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknik penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS dan memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara pankromatik skala 1:30.000 dan overlay parameter fisik lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala 1:25.000. Karakteristik fisik yang digunakan berupa tekstur tanah, curah hujan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan yang diberi skor tertentu berdasarkan pengaruhnya terhadap infiltrasi.

(17)

17 Sigit (2010) melakukan penelitian tentang kajian foto udara dan sistem informasi geografis untuk pemetaan kondisi peresapan air Sub DAS Wedi Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketelitian interpretasi foto udara dan mengetahui sebaran potensi peresapan air di daerah penelitian serta menganalisis sebaran tersebut secara keruangan. Metode yang digunakan berupa interpretasi foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991 skala 1:50.000, survey terbatas untuk uji lapangan dan tumpangsusun peta parameter. Penelitian ini merupakan penelitian yang sama dengan Syahbani dimana dalam penelitian ini terdapat tambahan parameter berupa jenis batuan, vegetasi, dan pengelolaan lahan. Penelitian ini menghasilkan peta kondisi peresapan air skala 1:50.000.

Lestari (2011) melakukan penelitian tentang pemanfaatan citra ASTER dan Sistem Informasi Geografis untuk pemetaan lokasi potensial dan distribusi spasial daerah resapan (recharge area), kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai Gadjah Wong Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan, memetakan daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan air dan mengkaji kesesuaian antara laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan airtanah. Metode yang digunakan berupa interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju resapan dengan sistem informasi geografis. Penelitian ini menghasilkan informasi potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan distribusi spasial daerah resapan serta peta kesesuaian daerah resapan yang mana kelas kesesuaian tidak sesuai paling luas yaitu seluas 48.26% dari total daerah penelitian.

(18)

18 Tabel 1.3 Tabel perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian penulis

Peneliti (tahun)

Daerah Tujuan Data yang

digunakan Metode Hasil Dulbahri (1992) Daerah Pengaliran Sungai Progo

- Menentukan unit geohidrologi airtanah melalui teknik penginderaan jauh

- Mengevaluasi kemampuan teknik penginderaan jauh untuk menentukan unit geohidrologi termasuk mata air

- Melakukan pemetaan potensi keberadaan dan agihan sumberdaya airtanah

Foto udara inframerah berwarna skala 1:30.000

Interpretasi foto udara dan cek lapangan

Peta keberadaan dan agihan airtanah dan deskripsi unit daerah airtanah Twosan Syahbani (2003) Sub DAS Garang, Semarang

- Menerapkan teknik penginderaan jauh untuk memperoleh data karakteristik fisik DAS

- Memetakan kondisi resapan Sub DAS Garang

Foto udara pankromatik skala 1:30.000

Interpretasi foto udara (penggunaan lahan) dan overlay parameter fisik lahan (tanah, curah hujan dan kemiringan lereng)

Peta kondisi resapan Sub DAS Garang skala 1:25.000 Agus Anggoro Sigit (2010) Sub DAS Wedi, Klaten, Jawa Tengah

- Menguji ketelitian interpretasi foto udara - Mengetahui sebaran potensi peresapan air - Menganalisis sebaran tersebut secara

keruangan Foto udara pankromatik hitam putih tahun 1991 skala 1:50.000

Interpretasi foto udara, survey terbatas dan tumpangsusun peta parameter (sama halnya dengan Syahbani, ditambah dengan konservasi lahan, kerapatan vegetasi dan jenis batuan)

Peta kondisi peresapan air skala 1:50.000 Rizki Puji Lestari (2011) Kasus di antara Sungai Winongo dan Sungai Gadjah Wong, Yogyakarta

- Mengetahui kemampuan citra ASTER untuk menyadap parameter yang digunakan - Memetakan daerah potensial dan distribusi

spasial daerah resapan air

- Mengkaji kesesuaian antara laju resapan tahunan dengan potensi daerah resapan

Citra ASTER Interpretasi citra ASTER, skoring, dan perhitungan nilai laju resapan dengan sistem informasi geografis Informasi potensi laju resapan tahunan di daerah penelitian, peta daerah potensial dan distribusi

(19)

19

airtanah spasial daerah

resapan serta peta kesesuaian daerah resapan Annisa Kusuma Pradana (2013)

Sub DAS Oyo - Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 untuk menyadap parameter penentu kekritisan daerah resapan

- Memetakan kondisi daerah resapan

- Melihat hubungan antara pola sebaran keruangan antara infiltrasi dengan kondisi kekritisan peresapan Sub DAS Oyo.

Landsat 8 tahun 2013, data sekunder

Interpretasi citra Landsat 8, cek lapangan, overlay parameter pendukung (parameter fisik dan aktual)

Peta kondisi peresapan Sub DAS Oyo skala 1:175.000

(20)

20 1.7 Kerangka Pemikiran

Kondisi peresapan suatu daerah ditentukan oleh proses peresapan air hujan ke dalam tanah. Proses peresapan ini merupakan proses pembaruan cadangan air tanah melalui proses infiltrasi bersumber dari air hujan. Tidak semua tempat di permukaan bumi memiliki kondisi peresapan yang baik, begitu pula dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS dapat dikategorikan ke dalam DAS yang memiliki kondisi baik maupun DAS dengan kondisi tidak baik. DAS dengan kondisi yang baik akan menjalankan fungsi DAS sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kondisi DAS yang tidak baik akan menimbulkan berbagai permasalahan. Kondisi DAS yang tidak baik dapat disebabkan adanya bencana maupun berkaitan dengan daerah resapan yang tidak berfungsi dengan baik. Daerah resapan ini berkaitan dengan infiltrasi yang mana dipengaruhi oleh faktor-faktor alam maupun adanya aktivitas manusia. Proses infiltrasi berperan penting dalam pengisian kembali lengas tanah dan airtanah. Tingkat kekritisan atau kondisi daerah resapan ditentukan oleh faktor-faktor antara lain kemiringan lereng, batuan, jenis tanah, vegetasi, curah hujan, penggunaan lahan dan konservasi. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap proses infiltrasi yang ada.

Kemiringan lereng memiliki pengaruh terhadap peresapan air karena semakin curam suatu lereng maka peresapan akan semakin kecil karena air akan lebih berpotensi menjadi limpasan/aliran permukaan. Sedangkan semakin datar topografinya maka infiltrasi yang terjadi akan semakin besar karena air hujan akan lebih mudah meresap ke dalam tanah. Hal tersebut terjadi layaknya pengaruh gravitasi dan sifat air yang mana air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah.

Batuan dan jenis tanah yang ada mempengaruhi tingkat infiltrasi karena berhubungan dengan permeabilitas (kemampuan tanah meloloskan air dalam keadaan jenuh) yang terjadi. Permeabilitas menentukan koefisien resapan yang ada. Semakin besar permeabilitas maka infiltrasi akan semakin besar. Permukaan tanah yang memiliki material halus akan terjadi pencucian partikel halus oleh air sehingga menyumbat pori permukaan tanah dan menurunkan laju infiltrasi.

(21)

21 Sedangkan untuk permukaan tanah yang memiliki material yang kasar seperti pasir yang mana ukuran porinya besar cenderung mudah meloloskan air sehingga potensi infiltrasinya besar.

Curah hujan merupakan kontibutor utama sebagai masukan air tanah. Infiltrasi akan lebih besar jika curah hujan semakin besar karena air yang masuk lebih banyak. Apabila intensitas hujan lebih kecil dari kapasitas infiltrasi tanah, maka infiltrasi akan terus melaju sama dengan laju curah hujan.

Konservasi lahan dalam hal ini lebih ditekankan pada ada atau tidaknya teras dan kondisi terasnya. Adanya teras akan mempengaruhi besarnya infiltrasi karena teras sendiri berfungsi untuk menahan laju air hujan yang dapat pula mengakibatkan erosi. Apabila terdapat teras, maka air hujan yang masuk cenderung tertahan dan terinfiltrasi ke dalam tanah sedangkan jika tidak terdapat teras maka air hujan cenderung menjadi air larian terutama di daerah yang topografinya bergelombang hingga curam apabila tidak ada teras atau konservasi lahannya maka air hujan sangat mudah menjadi limpasan.

Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk yaitu: perakaran dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan run off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi. Vegetasi dalam hal ini cenderung memperbesar nilai infiltrasi. Vegetasi yang rapat akan mempercepat proses infiltrasi dibandingkan vegetasi yang lebih jarang karena air akan diserap oleh akar-akar tanaman.

Penggunaan lahan merupakan aspek di bawah pengaruh kegiatan manusia, yang mempunyai implikasi yang berbeda pada infiltrasi. Jika aspek alami seperti faktor-faktor yang telah disebutkan mencerminkan kondisi potensial, maka aspek penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktual. Penggunaan lahan yang ada mempengaruhi besarnya infiltrasi. Penggunaan lahan yang lahannya tertutup vegetasi cenderung memiliki infiltrasi yang lebih besar dan melindungi tanah dari dampak tetesan hujan dibandingkan dengan penggunaan lahan sebagai permukiman di mana air hujan akan lebih berpotensi menjadi limpasan. Dengan menumpang-tindihkan faktor-faktor tersebut yang telah diubah menjadi nilai tingkat infiltrasi baik aspek alami maupun aspek aktual, maka dapat dibuat peta

(22)

22 hasil overlaynya sehingga daerah mana yang rawan atau kritis kondisi resapannya dan daerah mana yang tidak kritis kondisi resapannya dapat teridentifikasi. Demikian pula dengan menggunakan matriksnya, maka faktor penyebabnya juga dapat dievaluasi.

Gambar 1.2. Diagram alir kerangka pemikiran

1.8 Batasan Istilah Daerah Aliran Sungai

Adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (Pasal 1 ayat 11 UU Nomor 7 Tahun 2004).

(23)

23 Sub Daerah Aliran Sungai

Adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS-Sub DAS.

Infiltrasi

Merupakan proses masuknya air ke dalam tanah. Infiltrasi termasuk dalam gerak air dalam tanah dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler. (Asdak, 2001).

Daerah resapan

Daerah resapan diartikan sebagai suatu wilayah yang berfungsi lindung bagi daerah di bawahnya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai suplai airtanah. Adapun kawasan peresapan air diartikan sebagai daerah yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air. (Sayogyo, 1982)

Kondisi Peresapan Air

Adalah kondisi kemampuan suatu lahan untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna bagi sumber air.

Gambar

Gambar 1.1 Sistem penginderaan jauh (Sutanto 1994)  (Sumber: http://geodesi-engineer.blogspot.com)
Tabel 1.2. Tabel Sensor Satelit pada Landsat 8 Operational Land Imager (OLI)  Thermal InfraRed Sensor
Foto  udara  inframerah  berwarna skala  1:30.000
Gambar 1.2. Diagram alir kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Perlu perbaikan perbaikan :: Langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar dan atau tidak sesuai Langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar dan atau tidak sesuai urutannya atau

• Sepuluh Barang yang paling banyak Terjual Selama Tujuh Bulan dalam bentuk tabel berikut dengan jenis ukuran dan nilai total pembeliannya.. • Tombol Alert yang bersifat

Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai yang diperoleh sebagai berikut: (1) Rata-rata yang diperoleh dari tes Daya Tahan Jantung Paru Pada Anggota Mapolda Aceh

Jika pandangan aliran hukum positif ini dihubungkan dengan hukum internasional, maka hukum internasional berlaku dan mengikat masyarakat internasional,

Penelitian oleh Arif hidayat tentang komparasi analisis mikrotik halaman filter menggunakan beberapa metode seperti Filtering IP Address, Layer 7 Protocols, Web Proxy,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan maha penyayang, dengan limpah karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini dengan judul

Aktivitas fisik tidak ada hubungan dengan kejadian osteoarthritis genu di Rumah Sakit Islam Surabaya dengan nilai odds ratio untuk aktivitas fisik adalah 0,71 yang berarti bahwa

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbedaan morfologi lapisan, permukaan dan kekerasan yang terbentuk pada baja perkakas H13 Modifikasi setelah