• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam berbagai hal. Salah satunya adalah budaya yang berkembang dalam masyarakat adat sebagai kekayaan nasional. Masyarakat adat secara tradisi terus berpegang pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenaran dan kesakralannya serta menjadi pegangan hidup anggotanya yang diwariskan secara turun temurun. Nilai-nilai tersebut saling berkaitan dalam sebuah sistem. Koentjaraningrat (1989: 190), mengatakan bahwa :

Dalam setiap masyarakat, baik kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.

Kebudayaan itu sendiri mengalami dinamika baik secara internal (internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, inovasi dan discovery) maupun eksternal (akulturasi dan asimilasi). Menghadapi dinamika sosial, tidak semua warga masyarakat dapat mengikuti perubahan dengan baik. Koentjaraningrat (1989: 234) mengatakan :

Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, serta enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu tidak dapat menyesuaikan peribadinya dengan lingkungan sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan masyarakatnya.

(2)

Walaupun demikian, Koentjaraningrat (1989: 235) mengatakan bahwa “penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor yang sangat penting, karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan yang positif maupun yang negatif”. Penyimpangan positif dapat menyebabkan perubahan budaya (culture change), seperti melahirkan perubahan dan pembaharuan adat istiadat yang kuno. Tidak semua budaya yang berkembang dalam masyarakat harus dilestarikan apabila bertentangan dengan nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang berfungsi sebagai agen perubahan. Sedangkan penyimpangan negatif dapat melahirkan konflik dan disintegrasi sosial, penyakit jiwa dan sebagainya, sehingga penyimpangan ini harus dicegah secara preventif, persuasif dan hukuman yang melibatkan berbagai pranata sosial yang ada dalam masyarakat.

Kampung Kuta berdasarkan penelitian Praja (2009) sangat memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga mampu menjaga sumber daya alam dari eksploitasi yang berlebihan. Kepedulian masyarakat adat terhadap alam menyebabkan kebudayaan yang berkembang tidak terpisahkan dari alam yang mereka huni. Hal ini sejalan dengan teori ekologi budaya yang diperkenalkan oleh Julian H. Steward (Susilo 2009:47). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi merupakan campuran (mixed product) yang berproses lewat dialektika. Menurut Susilo (2009:47), “keduanya memiliki peran besar dan saling mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia tetapi

(3)

pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan”.

Sebagai sebuah kampung adat, Kampung Kuta memiliki sejarah atau lebih tepatnya disebut asal usul. Asal-usul Kampung Kuta merupakan salah satu mitos yang berkembang dalam masyarakat Ciamis. Mitos tersebut bersumber pada tradisi lisan yang dituturkan secara turun temurun. Tradisi lisan merupakan salah satu sumber penulisan sejarah lokal dengan beragam kelemahannya. Walau demikian, menurut Widja (1991: 63), “tradisi lisan bagaimana pun juga punya arti penting dalam usaha merekonstruksi masa lampau suatu masyarakat atau komunitas tertentu”. Hal itu didukung oleh Wildan dkk. (2005: 65), “adapun mengenai benar atau tidaknya isi cerita atau mitos tersebut bukan suatu permasalahan. Setidaknya mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mitis”.

Dalam mitos Kampung Kuta berdasarkan hasil penelitian Praja (2009) terdapat nilai luhur berupa kejujuran, kesederhanaan dan kecintaan tokoh adat terhadap alam dan masyarakatnya. Hal ini harus direspon oleh para pengembang dan pelaksana kurikulum dengan menjadikan sejarah lokal sebagai bagian dari pembelajaran kurikuler IPS atau paling tidak ditempatkan dalam muatan lokal. Termasuk dalam hal ini, menjadikan sejarah kampung adat Kuta sebagai salah satu materi yang diberikan dalam Mata Pelajaran IPS.

Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat memiliki nilai sosial-budaya yang dapat dikaji untuk dikembangkan dalam pembelajaran. Masyarakat

(4)

adat sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial (solidaritas) dalam melakukan segala aktivitas hidupnya. Menurut Durkheim (Pasya, 1999: 20), ‘solidaritas ini menunjukkan suatu keadaan hubungan antara individu dengan/ atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, diperkuat oleh pengalaman emosional bersama’. Selain memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat memiliki budaya luhur lain yang berupa gotong-royong, musyawarah, dan kerukunan. Perilaku prososial (prosocial behavior) tersebut masih melekat kuat dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat heterogenitas, aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Masyarakat adat juga kaya dengan beragam budaya dalam bentuk kesenian tradisional, baik berupa seni tari, seni suara maupun seni gamelan. Kekayaan seni budaya yang dimiliki masyarakat adat tentu tidak boleh dibiarkan lenyap ditelan arus globalisasi. Seni tarik suara maupun seni gamelan sangat kaya dengan nilai yang berhubungan dengan kearifan manusia dalam membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan antar manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi muda dalam mengarungi hidup di era global dengan beragam pengaruh, baik positif maupun negatif.

Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dijadikan kajian dari sebuah masyarakat adat adalah kearifan lokal (local wisdom) dalam melakukan pengelolaan lingkungannya. Sebuah nilai penting yang dimiliki masyarakat adat dalam aktivitas yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi alam. Nilai

(5)

budaya yang berupa kearifan manusia dalam mengelola alam tersebutlah yang kemudian diyakini merupakan cara yang paling ampuh dalam mengelola alam.

Dalam mengembangkan hubungan dengan alam, masyarakat adat telah memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (SPTL) atau indigenous knowledge. Adimihardja (2008: 1), mengatakan bahwa ”SPTL mudah dipahami secara awam, dengan sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan perkembangan dari bagian keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu”. Selanjutnya dijelaskan, “dasar-dasar pengetahuan itu bersumber dari nilai tradisi dan adaptasinya dengan nilai-nilai dari luar”. Pendapat tersebut paling tidak mengandung dua makna; pertama, masyarakat sesederhana apapun pasti memiliki kecerdasan dalam menjalani kehidupannya. Kedua, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak mengalami dinamika.

Sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang berkembang dalam masyarakat adat salah satunya pengetahuan tentang cara bercocok tanam sesuai dengan tanda-tanda alam. Sebagai contoh kapan mereka harus mulai menggarap sawah yang mengacu pada perhitungan waktu katiga (musim kemarau), kapat (musim hujan). Permulaan mengolah sawah dengan perhitungan waktu tersebut, sekarang ini tentu telah mengalami perubahan dengan bergesernya musim yang sulit diprediksi. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.

Selain diwujudkan dalam sistem pengetahuan dan teknologi di atas, kecerdasan lokal masyarakat adat ditunjukkan dengan menjadikan hutan sebagai

(6)

tempat yang dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan hutan tetap lestari. Hutan bagi masyarakat adat merupakan simbol keberlangsungan kehidupannya.

Terlepas dari unsur mistis yang ada di dalamnya, pemahaman tentang nilai-nilai tersebut sangat penting dimiliki oleh peserta didik, kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya masyarakat tradisional yang dikembangkan dalam konteks kekinian, sangat penting untuk dijadikan kajian dalam pembelajaran IPS sehingga terinternalisasi pada diri peserta didik. Tentu setelah dikaji secara ilmiah, mengapa nilai-nilai tersebut harus diwarisi oleh mereka.

Nilai-nilai budaya lokal yang mulai terabaikan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini adalah sebuah isu penting untuk diangkat dalam pembelajaran IPS. Hal ini merupakan usaha untuk mencari solusi alternatif guna menyikapi dampak globalisasi yang makin merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat di mana pun keberadaannya. Menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya tentu memerlukan berbagai pendekatan untuk menghadapinya. Dengan demikian segenap potensi yang dimiliki oleh sebuah bangsa harus dioptimalkan, termasuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat. “Sistem budaya lokal merupakan modal sosial (social capital) yang besar, telah tumbuh-berkembang secara turun-temurun yang hingga kini kuat berurat-berakar di masyarakat” (Hikmat, 2010: 169).

(7)

Berhubungan dengan hal itu, Susilo (2008: 161) mengatakan bahwa “penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan lokal tradisional, karena ia membantu penyelamatan lingkungan”. Lingkungan hidup memang sedang mengalami degradasi sebagai dampak negatif dari lompatan petumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali serta globalisasi. Ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang hidup semakin luas, sehingga berdampak terhadap pengurangan ruang hijau yang berupa hutan dan lahan pertanian karena dijadikan areal pemukiman. Jumlah populasi yang terus meningkat mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan dan konsumsi sumber daya alam (SDA). Dalam beberapa kasus, luas hutan berkurang karena adanya kejahatan yang berupa illegal logging, tetapi pengurangan luas areal hutan juga tidak terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk.

Globalisasi merupakan salah satu penyebab menurunya kualitas lingkungan. Bahkan Capra (2009: 165) menjelaskan bahwa “kerusakan lingkungan tak hanya efek samping, tetapi juga merupakan bagian integral dari rancangan kapitalisme global”. Fokus utama globalisasi adalah peningkatan produktivitas ekonomi tetapi mengabaikan keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan. Susilo (2010: 69) mengatakan, “…antroposentris yang berinteraksi dengan industrialisme, konsumerisme, modernisme, dan perkembangan pesat teknologi, menjadi sebab kerusakan lingkungan” . Globalisasi telah membangun pandangan yang keliru tentang pentingnya pelestarian alam. Ralph Metzner (Susilo, 2010: 70) mengatakan, ‘paduan suara yang semakin berkembang menunjukkan bahwa akar dasar malapetaka lingkungan terletak dalam sikap, nilai, persepsi, dan pandangan

(8)

dunia yang kita pegang’. Dapat disimpulkan, globalisasi telah menyebabkan kerusakan lingkungan baik di daratan, perairan maupun udara. Salah satu contohnya, daratan dengan penggundulan hutan, perairan dengan limbah industri, dan udara dengan polusi udara baik karena industri maupun kendaraan bermotor.

Selain menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan alam (ekologis), globalisasi telah menimbulkan efek samping lain yang tidak diharapkan berupa pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan budaya asing yang seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut oleh peserta didik. Mereka lebih hafal dan akrab dengan budaya Barat dari pada budaya bangsanya sendiri. Kekaguman generasi muda terhadap budaya Barat terlihat dari berbagai bentuk imitasi yang dilakukan mulai dari cara berpakaian hingga pola tingkah laku yang sudah mendekati tradisi Barat tetapi sering mengabaikan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini merupakan bentuk ketidakmampuan individu masyarakat menghadapi dinamika sosial-budaya melalui proses belajar dari budaya asing baik akulturasi maupun asimilasi. Dalam konteks global, fenomena ini seolah merupakan tumbal sebuah zaman. Menurut Alma (2010: 143), “bagi Indonesia, masuknya nilai-nilai Barat yang menumpang arus globalisasi… merupakan ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di negeri ini”. Oleh karena itu, kerarifan lokal merupakan hal penting yang harus diwariskan kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

Kearifan lokal menurut Atmodjo (1986: 37) merupakan kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif, artinya disesuaikan dengan suasana dan kondisi setempat. Kemampuan demikian sangat relevan

(9)

dengan tujuan pembelajaran IPS, sebab dengan kemampuan tersebut akan menyebabkan peserta didik dapat memilih dan memilah budaya mana yang sesuai dengan karakteristik budaya sendiri. Kemampuan penyerapan kebudayaan asing yang datang secara selektif tentu memerlukan pengalaman langsung dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajar.

Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah lain dengan masalah-masalah yang berbeda, tentu tidak begitu saja akan menerima warisan itu. “Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut” (Saini, 2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna. Mutakin (2008: 74) mengatakan bahwa “atas dasar tersebut maka muncul pemaknaan bahwa kebudayaan merupakan learned behavior, yang berarti bahwa kebudayaan diperoleh seseorang individu harus dengan proses belajar”. Ini menunjukkan bahwa hanya dengan pembelajaranlah nilai-nilai budaya dapat diwariskan kepada peserta didik. Melalui pengalaman belajarnya, peserta didik akan mewarisi nilai luhur suatu budaya dan melembagakan nilai tersebut dalam dirinya. Melalui pengalaman belajar dari masyarakat, peserta didik dapat mencari, menemukan dan membangun pengetahuannya. Suatu proses yang sangat penting dalam pendidikan.

(10)

Berhubungan dengan lingkungan di mana di dalamnya hidup nilai-nilai budaya, Wahab (2008: 137) mengatakan, “siswa hidup dalam masyarakat dan karena itu siswa perlu mengenal kehidupan masyarakat”. Menurutnya, “salah satu hal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adalah isu-isu sosial”. Berbagai permasalahan sosial tidak terlepas dari fenomena alam atau lingkungan fisik di mana masyarakat tersebut hidup dan berinteraksi. Oleh karena itu Sumaatmadja (2004: 18) mengatakan, “pengajaran IPS yang melupakan masyarakat sebagai sumber dan objeknya, merupakan suatu bidang pengetahuan yang tidak berpijak kepada kenyataan”. Sebagai contoh aplikatif, isu tentang global warming dapat dikaji mulai dari dimensi lokal yang berupa nilai budaya suatu masyarakat adat yang telah terbukti mampu menjaga kelestarian hutan. Kemudian isu tersebut dikembangkan dalam dimensi global berupa pencegahan terhadap pemanasan suhu bumi yang semakin meningkat. Mengadopsi pemikiran Naisbitt (1984: 91), pembelajaran ini mencoba melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan “think globally, act locally”.

Disadari atau tidak, seringkali bencana sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia dalam melakukan eksploitasi terhadap alam sekitarnya. Berbagai bencana tidak terlepas dari kesalahan manusia dalam mengelola dan memanfaatkan alam baik disengaja maupun sebagai efek penggunaan teknologi yang tidak tepat sasaran. Beragam bencana alam sesungguhnya adalah ujian sejauh mana manusia memiliki kecerdasan dalam mengembangkan mitigasi bencana yang dapat mengeliminir resiko dari peristiwa tersebut. Bagi masyarakat Indonesia hal ini penting mengingat secara geografis

(11)

wilayah Indonesia memang rentan terhadap bencana alam. Wilayah Indonesia berada pada jalur pegunungan muda vulkanik, yaitu sirkum Pasifik dan Mediterania serta tempat bertemunya tiga lempeng besar dunia, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Melalui proses pembelajaran, peserta didik belajar terhadap nilai-nilai budaya lokal dalam konteks kehidupan sehari-hari saat ini. Bila masyarakat adat memiliki kearifan terhadap lingkungan dengan mempertahankan hutan keramat, dalam aplikasi yang sederhana, peserta didik dapat belajar menjaga kelestarian alam sesusai dengan lingkungan yang mereka hadapi. Sehingga kebiasaan kecil tetapi penuh makna ini melembaga dalam diri peserta didik dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hal kecil dan lingkungan terdekatlah peserta didik belajar. Berdasarkan teori kognitif dari Bruner (1996), salah satu langkah penting dalam pembelajaran adalah :

Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa serta mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. (Budiningsih, 2004: 50). Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta, khususnya kearifan terhadap lingkungan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III, Pasal 1 (3) yaitu pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini didukung oleh Sagala (2006: 237) yang mengatakan, bahwa “sebagai proses sosial budaya,

(12)

proses pendidikan tersebut merupakan bagian integral dari proses budaya dan sosial yang berlangsung terus menerus tanpa akhir”.

Masih berhubungan dengan nilai budaya yang terdapat di lingkungan, khususnya lingkungan adat, menurut Sudjana dan Rivai (2009: 208-209), banyak keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses belajar, yaitu antara lain :

1) Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan dimana siswa duduk di kelas berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi, 2) Hakikat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami, 3) Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga kebenarannya lebih akurat, 4) Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau berwawancara, membuktikan atau mendemontrasikan, menguji fakta dan lain-lain, 5) Sumber belajar menjadi lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari dapat beraneka ragam seperti lingkungan sosial, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lain-lain, dan 6) Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak asing dengan kehidupan di sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan”

Walaupun keberadaanya sangat esensial, tetapi pembelajaran IPS hingga kini belum banyak memberdayakan nilai-nilai lingkungan sebagaimana mestinya. Sumber pembelajaran IPS masih terbatas pada buku teks dan dominasi guru sebagai sumber belajar. Oleh karenanya, diperlukan usaha untuk mengembangkan sumber pembelajaran berupa nilai-nilai budaya masyarakat dengan cara mengintegrasikannya ke dalam bahan pembelajaran IPS.

Alma (2010: 143) mengatakan, “kesalahan dalam merumuskan strategi mempertahankan eksistensi budaya lokal dapat mengakibatkan budaya lokal semakin ditinggalkan masyarakat yang kini kian gandrung pada budaya yang

(13)

dibawa arus globalisasi”. Salah satu kesalahan dimaksud adalah mengabaikan nilai budaya sebagai sumber belajar. Kesalahan ini juga masih terjadi dalam pembelajaran IPS karena masih belum mendekatkan peserta didik dengan budayanya. Peserta didik belum secara intensif diperkenalkan dengan nilai-nilai budaya lokal sebagai sumber pembelajaran.

Dengan implementasi nilai-nilai budaya, khususnya kearifan lingkungan sebagai sumber belajar diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna bagi peserta didik. Implementasi nilai-nilai budaya masyarakat dalam pembelajaran akan mendekatkan peserta didik dengan lingkungannya yang bersifat konkrit. Sehingga, pembelajaran IPS memiliki tujuan yang lebih tinggi yaitu menghasilkan peserta didik yang berbudaya. Peserta didik yang berbudaya, menurut Sagala (2006: 243), adalah “anak yang berpengetahuan, berilmu, mandiri, sportif, disiplin, terampil, mampu mengatasi masalah serta bersikap dinamis dan oftimis,…”.

Pentingnya implementasi nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran IPS dapat dikaji dari filsafat pendidikan yang mendasarinya yaitu Perenialisme. Perenialisme memandang pendidikan sebagai proses yang sangat penting dalam pewarisan nilai budaya terhadap peserta didik. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat sangat penting ditransfromasikan dalam pendidikan, sehingga diketahui, deterima dan dapat dihayati oleh peserta didik. Perenialisme memandang bahwa masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia yang tidak mungkin diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan waktu manusia dan memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa

(14)

yang akan datang. Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga untuk diwariskan kepada generasi muda.

Walau demikian, pada praktiknya, berbagai aliran filsafat pendidikan secara eklektik digunakan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan, termasuk dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Dalam KTSP 2006 yang berdasarkan filsafat rekonstruksionisme, pentingnya penanaman nilai budaya lokal terlihat dari keharusan pengembang kurikulum memasukan muatan lokal sebesar 20% dalam kurikulum yang disusunnya. Dengan demikian, filsafat rekonstruksionisme dijadikan rujukan dalam pengembangan KTSP karena mampu mengakomodir ketiga aliran filsafat pendidikan lainnya, baik perenialisme, esensialisme maupun progresivisme.

Dalam pendidikan IPS, transformasi budaya bukan berarti melakukan indoktrinasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melainkan mengkajinya secara logis, kritis dan analitis sehingga peserta didik mampu memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata. Pendidikan IPS tidak dapat menafikan nilai-nilai yang berkembang pada masa lalu. Pendidikan IPS juga tidak dapat mengabaikan masa yang akan datang. Dengan demikian, Pendidikan IPS harus mengakomodir segala kebutuhan peserta didik, baik pewarisan nilai budaya, pengembangan intelektual, serta mempersiapkan diri peserta didik untuk masa depan yang lebih baik.

Berkenaan dengan implementasi nilai-nilai budaya masyarakat adat, khususnya kearifaan lingkungan sebagai salah satu sumber pembelajaran IPS, Wahab (2008: 13) mengatakan bahwa “dalam kebijakan kurikulum di Indonesia

(15)

telah dicanangkan pula adanya masukan berupa kurikulum muatan lokal, yaitu kurikulum bermuatan hal-hal yang secara spesifik merupakan kebutuhan masyarakat setempat, local content curriculum”. Kebijakan tersebut lahir dari kesadaran bahwa peserta didik jangan sampai dijauhkan dari akar budaya yang dimilikinya.

Walau demikian kenyataan di lapangan menunjukkan, pengembang dan implementor kurikulum masih sering salah menafsirkan muatan lokal. Muatan lokal masih ditafsirkan terbatas dengan menjadikan bahasa daerah atau kesenian tradisional sebagai mata pelajaran. Padahal pengertian muatan lokal dalam KTSP tidak dapat direduksi seperti itu. Mulyasa (2010: 20) mengatakan bahwa “KTSP harus dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat dan peserta didik”. Bila hal ini dilakukan, Wahab (2008: 13) mengatakan, “hal itu akan membantu melahirkan ‘the real curriculum’, juga mampu menutupi kesenjangan tentang materi yang seharusnya ada dalam kurikulum”.

Berdasarkan hal uraian di atas kemudian diangkat dalam sebuah penelitian yang berjudul “Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari”. Dengan demikian, proses penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu : Pertama, tahap eksplorasi dan identifikasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta, khususnya mengenai nilai kearifan lingkungan. Kedua, penelitian tindakan di SMP Negeri 1 Tambaksari untuk melihat sejauh mana implementasi nilai budaya masyarakat Kuta bermakna bagi pembelajaran IPS

(16)

serta meningkatkan kinerja guru IPS di sekolah tersebut melalui penelitian yang bersifat partisipatori.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini? 2. Bagaimana pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat

adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam?

3. Bagaimana potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber pembelajaran IPS di SMP Tambaksari?

4. Bagaimana hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat Kampung Kuta yang hidup berkembang hingga saat ini. 2. Untuk mengkaji pengaruh nilai kearifaan lingkungan dalam budaya

masyarakat adat Kampung Kuta terhadap pelestarian alam.

3. Untuk mengetahui potensi nilai kearifaan lingkungan dalam budaya masyarakat adat Kampung Kuta dilihat dari perspektif pengembangan sumber pembelajaran IPS di SMP Tambaksari.

(17)

4. Untuk mengetahui hasil pembelajaran melalui implementasi nilai kearifaan lingkungan sebagai salah satu budaya masyarakat adat Kampung Kuta dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang nilai-nilai budaya masyarakat adat Kampung Kuta sebagai salah satu kampung adat yang masih tersisa di Jawa Barat.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan berupa nilai-nilai budaya Masyarakat Kampung Adat Kuta khususnya kearifan lingkungan sebagai sumber belajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tambaksari.

E. Klarifikasi Konsep 1. Kearifan Lingkungan

Kearifan lingkungan atau environmental wisdom adalah kumpulan pengetahuan, kepercayaan, dan kelembagaan masyarakat lokal (Amirullah, 2008)

2. Budaya

Kata budaya dalam tulisan ini memiliki arti yang sama dengan kebudayaan. Koentjaraningrat (1989: 181) mengatakan, “dalam istilah antropologi-budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya di sini hanya dipakai sebagai

(18)

suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan arti yang sama”. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1989: 180), adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.

3. Masyarakat Adat

Terminilogi istilah, “masyarakat adat” berdasarkan hasil kongres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 15-22 Maret 1999. Hasil kongres tersebut menyatakan :

Masyarakat adat dimaksud sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”(Syafa’at, et.al. 2008: 28).

4. Sumber Pembelajaran

Menurut Rohani (2004: 161), “sumber belajar adalah segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan proses atau aktivitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, di luar peserta didik (lingkungan) yang melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung. Bahkan dalam pembelajaran IPS, Sumaatmadja (2004: 13) mengatakan bahwa “segala gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat, dapat dijadikan sumber dan materi IPS”.

(19)

F. Paradigma Penelitian

Paradigma sebagai konsep pertama kalinya dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”. Dalam penelitian, paradigma merupakan dasar untuk menyeleksi masalah dan pola untuk memecahkan masalah tersebut. Moleong (1989: 9) mengatakan, “paradigma adalah sekumpulan longggar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian”. Wiriaatmadja (2008: 85) mengatakan, “kerangka pemikiran atau paradigma adalah pandangan dunia atau worldview dari peneliti untuk memahami asumsi-asumsi metodologis sebuah studi secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis”.

Senada dengan dengan kedua pendapat di atas, Nasution (2003: 2) mengatakan bahwa “paradigma adalah suatu perangkat kepercayaan, nilai-nilai, suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma mengarahkan peneliti”. Dalam paradigma kualitatif menurut Wiriaatmadja (2008: 10), “asumsi-asumsi ontologi menunjukkan bahwa kenyataan seperti yang dilihat oleh para peserta penelitian adalah subjektif dan majemuk, sedangkan secara epistemologi, para peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, secara aksiologi sangat berbobot nilai, dan bias”.

Mengkaji rumusan-rumusan paradigma di atas, terlihat bahwa paradigma penelitian sangat sentral untuk mewujudkan hasil penelitian yang kredibel. Untuk itu dikembangkanlah paradigma penelitian yang dapat digambarkan sebagai berikut :

(20)

Bagan 1.1 : Paradigma Penelitian Masyarakat Adat Kampung Kuta 1. Menghargai Nilai Kearifan Lingkungan 2. Adaptasi Nilai Kearifan Lingkungan 3. Aplikasi Nilai Kearifan Lingkungan 1. Filsafat PIPS 2. Hakikat PIPS 3. Tujuan PIPS Seleksi Pembelajaran 1, 2 Dst Sumber Belajar Kearifan Lingkungan Masyarakat Adat Kuta

Metode Pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 5 terlihat bahwa kuat tarik belah dari mortar polimer yang dibuat dengan variasi komposisi antara agregat halus dengan epoksi sebesar 20%, 25%, 30%, 35%, 40% dari berat

Nuansa musik dalam karya ini juga mengalami perubahan, dimana nuansa awal lagu Kacang Dari yang sangat sederhana agar anak dapat mengantuk dan terlelap mengalami

Dari beberapa pengertian mengenai anggaran sektor publik yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa anggaran adalah tindakan

Pada tahun 1976 merupakan era baru bagi bangsa Indonesia karena dengan dikeluarakanya peraturan Pemerintah No. Habibie, untuk mengembangkan segala potensi yang ada dan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja yang merupakan hak dan kewajiban nasabah, apa saja hak dan kewajiban bank dan bagaimana bentuk

lihat bahwa gelombang S sintetik yang dihitung dari model bumi PREMAN memberikan polaritas gelombang S negatif (ke arah bawah), sedangkan data terukur menunjukkan pola- ritas

Dalam pemeriksaan ini didapatkan adanya peningkatan spesifisitas (dibanding-kan dengan pemeriksaan tumor marker tunggal) yang berguna sebagai alat diagnosa,

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana