• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON PRODUKSI SAPI MADURA DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON PRODUKSI SAPI MADURA DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PRODUKSI SAPI MADURA DAN SAPI

PERANAKAN ONGOLE TERHADAP PERUBAHAN

KONDISI LINGKUNGAN

(The Productivity Responses to Environmental Change in Madura and

Ongole Crossbred Cattle)

ONY SURYAWAN1,MALIKAH UMAR2,SULARNO DARTOSUKARNO1,EDY RIANTO1danAGUNG PURNOMOADI1

1

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang 2

Fakultas Pertanian Universitas Madura

ABSTRACT

The total of eight cattle composed of each four Madura cattle (body weight 147.75 kg CV = 9.86%) and Ongole Crossbred cattle (body weight 167.75 kg; CV= 13.45%) were used in this study aimed at knowing the response of productivity on environmental change in Madura and Ongole Crosbred cattle. These cattle were given Napier grass ad libitum and concentrate feed (at 1.75%BW) made up of pollard, soybean meal and rice bran. The parameters measured were: correlation between temperature, relative humidity (RH) and feed intake (kg and in %BW), and feed conversion rate (FCR) for 10 weeks observation. The weekly responses were analyzed descriptively and using the correlation value (r) between temperature and RH and feed intake, body weight gain and FCR of each breed. The high r value indicated the strength of correlation between environment and production parameters, and vice versa. The results showed that the r value between temperature and feed intake in two breeds (Madura = 0.0876; Ongole Crossbred = 0.0727) was not different (P > 0.05), as well as the r value between RH and feed intake (Madura = 0.1268; Ongole Crossbred = 0.2294). The strength of these correlations was low, and therefore the conclusion from this study was both cattle breeds (Madura and Ongole Crosbred) have similar responses to the environmental change.

Key Words: Madura Cattle, Ongole Crossbred Cattle, Productivity Response

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui respon produksi sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (PO) terhadap perubahan kondisi lingkungan dengan menggunakan masing-masing 4 ekor sapi Madura dengan bobot badan awal 147,75 kg (CV = 9,86%) dan 4 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) dengan bobot badan awal 167,75 kg(CV = 13,45%). Sapi sapi ini dipelihara dengan pakan berupa rumput gajah (diberikan secara ad libitum) dan konsentrat (diberikan 1,75% dari bobot badan) yang terdiri dari pollard, bungkil kedelai, dedak padi. Parameter yang diamati adalah hubungan (korelasi) antara temperatur dan kelembaban (RH) dengan konsumsi BK (dalam kg dan dalam %BB), dan konversi pakan (FCR) selama 10 minggu. Respon mingguan dianalisa secara deskriptif dan dengan menggunakan nilai korelasi (r) antara temperatur dan kelembaban dengan konsumsi BK, PBB dan FCR yang diperoleh dari masing-masing bangsa sapi. Nilai r yang tinggi menunjukkan tingginya hubungan lingkungan terhadap parameter produksi, dan sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai korelasi (r) antara temperatur dengan konsumsi BK pakan pada kedua bangsa sapi (Madura = 0;0876; PO = 0,0727) tidak berbeda nyata (P > 0,05), demikian juga dengan nilai korelasi (r) antara kelembaban dengan konsumsi BK (Madura= 0,1268; PO= 0,2294). Nilai korelasi tersebut diatas sangat lemah, sehingga dari penelitian dapat disimpulkan bahwa sapi Madura dan PO mempunyai respon yang sama baik terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Kata Kunci: Sapi Madura, Sapi PO, Respon Produksi

PENDAHULUAN

Hasil penelitian tentang sapi Madura dan perbandingannya terhadap sapi Peranakan

Ongole (PO) menunjukkan adanya kesamaan pada kemampuan produksi yang ditunjukkan oleh pencapaian pertambahan bobot badannya (MALIKAH-UMAR et al., 2007). Namun di

(2)

dalam penelitian tersebut terdapat fenomena menarik yaitu adanya kecenderungan bahwa kemampuan mengkonversi pakan pada sapi Madura lebih rendah daripada sapi PO. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sapi Madura membutuhkan 0,6 kg pakan lebih banyak dibandingkan dengan sapi PO untuk menghasilkan 1 kg BB.

Seperti diketahui, populasi sapi Madura saat ini semakin menurun padahal kebutuhan akan daging di Indonesia semakin meningkat. Pemakaian devisa untuk mengimpor sapi dari Australia seyogyanya harus mulai dialihkan untuk memberdayakan bangsa sapi lokal, diantaranya sapi Madura, yang telah terbukti unggul dalam beradaptasi dengan lingkungan tropis dan resisten terhadap penyakit daerah tropis. Keunggulan sapi lokal diantaranya telah dilaporkan oleh PURNOMOADI et al. (2004) bahwa sapi PO lebih efisien dalam pemanfaatan energi dibanding sapi Peranakan Limousin, terutama pada kondisi pakan yang berkualitas rendah sampai sedang. Sifat-sifat unggul sapi lokal pada kemampuan beradaptasi di lingkungan tropis yang keras tersebut tidak dimiliki oleh sapi impor. Kemampuan beradaptasi tersebut sangat menentukan kemampuan mengubah pakan menjadi bobot badan (konversi pakan), dan kemampuan ini berbeda diantara bangsa. Demikian pula dengan sapi Madura. Oleh sebab itu, perlu kiranya diteliti respon sapi Madura terhadap perubahan lingkungan dibandingkan dengan sapi PO. Manfaat yang diharap adalah dapat memberi dasar bagi pengembangan potensi sapi Madura agar maksimal.

MATERI DAN METODE

Penelitian tentang Perubahan Penampilan Produksi sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (PO) sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan yang dipelihara secara intensif dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Ternak Potong dan Kerja, Fakultas

Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini berlangsung selama 16 minggu, yang dimulai pada minggu ke-2 bulan September 2006 sampai dengan Januari 2007.

Materi yang digunakan adalah 4 ekor sapi Madura dengan bobot badan awal 147,75 ± 14,57 kg (CV = 9,86%) dan 4 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) dengan bobot badan awal 167,75 ± 22,57 kg (CV = 13,45%) dengan kisaran umur 1,5 tahun. Sapi Madura berasal dari Pamekasan Madura, sedangkan sapi PO didatangkan dari pasar Hewan Ambarawa Kabupataen Semarang. Peralatan yang digunakan meliputi timbangan ternak merk Sima kapasitas 2000 kg dengan tingkat ketelitian 1 kg, timbangan gantung merk Pocket Scale kapasitas 50 kg dengan ketelitian 0,5 kg untuk menimbang hijauan, timbangan elektrik merk Accura berkapasitas 6 kg dengan ketelitian 2 g untuk menimbang konsentrat. Peralatan lain adalah hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, chopper untuk mencacah hijauan, mixer untuk mencampur bahan pakan penyusun konsentrat, serta peralatan kandang pendukung lainnya.

Penelitian dilakukan dalam 4 periode yaitu periode persiapan (2 minggu); periode adaptasi (4 minggu), periode pendahuluan (2 minggu) dan periode perlakuan (10 minggu). Periode perlakuan diawali dengan penimbangan bobot badan ternak untuk mengetahui bobot badan awal sapi. Penimbangan ternak selanjutnya dilakukan satu minggu sekali pada pagi hari sebelum diberi pakan. Konsentrat diberikan dua kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 WIB dan 15.00 WIB. Rumput gajah dan air minum diberikan secara ad libitum. Penimbangan sisa pakan dilakukan setiap pagi hari, selisih antara pemberian dengan sisa digunakan sebagai data konsumsi yang dikonversikan ke dalam bahan kering.

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1, terdiri dari rumput gajah (Pennisetum purpureum) telah dilayukan 7 – 10 hari dan konsentrat yang diatur agar

Tabel 1. Komposisi kimia pakan penelitian

Bahan pakan BK PK LK SK Abu BETN

-- %BS -- --- % BK ---

Rumput Gajah 42,48 8,41 2,05 29,10 17,72 42,72

(3)

memberikan protein kasar total ±15%. Konsentrat merupakan campuran dari 44,5% pollard, 9,5% bungkil kedelai dan 46% dedak padi yang diberikan sebesar 1,75%BB. Konsentrat diberikan 2 kali sehari pukul 07:00 dan 16:00 WIB, sedangkan rumput gajah dan air minum diberikan secara ad libitum.

Pengambilan data suhu dan kelembaban lingkungan dalam kandang dilakukan setiap hari pada pukul 06:00, 12:00, 17:00 dan 21:00. Pertambahan bobot badan harian ditentukan dengan cara menghitung selisih bobot awal dengan bobot akhir dibagi lama pengamatan. Konsumsi bahan kering (BK) diukur dengan menghitung selisih jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa, dikalikan dengan kandungan BK pakan tersebut. Konsumsi BK juga dihitung dalam persentase bobot badan sedangkan konversi pakan (FCR) dihitung dari jumlah BK pakan yang dikonsumsi dibagi dengan pertambahan bobot badan selama 10 minggu. Data yang diperoleh kemudian diolah menjadi data mingguan, kemudian mencari nilai hubungan (korelasi) di antara data tersebut.

Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis komparatif dua sampel dengan sampel independen (SUGIYONO, 2006), yaitu membandingkan antara dua kelompok sapi dengan bangsa berbeda yakni membandingkan antara sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole. Parameter yang diamati adalah hubungan (korelasi) temperatur dan kelembaban dengan konsumsi BK (baik dalam kg maupun dalam %BB), dan dengan konversi pakan (FCR). Hubungan perubahan temperatur dan kelembaban dengan konsumsi BK, dan konversi pakan mingguan selama 10 minggu dianalisa secara deskriptif menurut HASAN (2003) di bawah ini, sedangkan data nilai korelasinya (r) di uji dengan t-test sesuai dengan pendapat SUGIYONO (2006). Pedoman penentuan kekuatan korelasi menurut HASAN (2003) adalah sebagai berikut:

Nilai r = 0 – 0,20 = sangat lemah Nilai r = 0,20 – 0,40 = lemah Nilai r= 0,40 – 0,70 = sedang Nilai r = 0,70 – 0,90 = kuat Nilai r = 0,90 – 1 = kuat sekali Nilai r = 1 = sempurna

HASIL DAN PEMBAHASAN

Korelasi antara temperatur atau kelembaban dengan konsumsi BK total (kg) selama pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Nilai korelasi antara temperatur dengan konsumsi BK total (Madura, r = 0,0876; PO, r = 0,727), yang secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Sementara itu, hasil yang sama diperoleh pada hubungan antara kelembaban (RH) dengan konsumsi BK kedua bangsa sapi (sapi Madura, r = 0,1268; sapi PO = 0,2294) yang secara statistik juga tidak berbeda nyata (P > 0,05). Nilai korelasi antara temperatur atau kelembaban dengan konsumsi BK total pada kedua bangsa sapi tersebut berada pada kisaran 0,0 – 0,2, yang menunjukkan tingkat hubungan yang sangat lemah. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan tempat dilakukannya penelitian ini tidak mempunyai hubungan dengan konsumsi BK pakan. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa sapi baik sapi Madura maupun sapi PO mempunyai kemampuan adaptasi yang sudah sangat baik dengan lingkungan tempat penelitian ini berlangsung.

Korelasi antara temperatur dan kelembaban dengan konsumsi BK (konsumsi BK dalam %BB) ditampilkan pada Tabel 2. Nilai korelasi antara temperatur dengan tingkat konsumsi BK (%BB) pada sapi Madura (r = 0,2318) dan pada sapi PO (r = 0,1737) tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hasil yang sama juga diperoleh pada korelasi antara kelembaban dengan tingkat konsumsi BK (%BB) pada sapi Madura (r = -0,2416) dan pada sapi PO (r = -0,1204) yang juga tidak berbeda nyata (P > 0,05). Kedua nilai korelasi, baik antara temperatur dengan konsumsi BK (%BB), maupun antara kelembaban dengan konsumsi BK (%BB) pada sapi Madura dan PO menunjukkan tingkat hubungan yang sedang. Sementara itu, nilai korelasi antara kelembaban dengan tingkat konsumsi mempunyai nilai negatif yang berarti arah hubungan yang berlawanan. Artinya ketika kelembaban naik, maka tingkat konsumsi akan menurun. Selain menunjukkan bahwa kedua bangsa sapi ini mempunyai respon yang sama terhadap lingkungan, hasil ini juga menunjukkan bahwa tingkat konsumsi pakan (% BB) lebih mudah terpengaruh oleh temperatur dan kelembaban daripada konsumsi pakan (kgBK).

(4)

Gambar 1 dan 2 menggambarkan hubungan besar perubahan temperatur dan kelembaban (RH) dalam kandang bersama dengan perubahan konsumsi pakan setiap minggu selama pengamatan. Nilai perubahan yang ditampilkan merupakan selisih minggu pengamatan dengan minggu sebelumnya. Dari Gambar tersebut tampak bahwa secara umum sesuai dengan teori yang ada selama ini bahwa peningkatan temperatur atau kelembaban memberikan penurunan pada konsumsi pakan. Hubungan negatif ini tampak dengan jelas pada

minggu ke-1 – 6, namun terjadi perkecualian pada minggu ke-8 – 10 dimana konsumsi BK pakan bergerak searah dengan perubahan kelembaban. Anomali hubungan pada minggu ke-8 – 10 ini belum terjelaskan, namun dari pengamatan data lingkungan diketahui bahwa pada minggu ke-8 – 10 tersebut kelembaban justru mencapai di atas 80%, sedang minggu sebelumnya di bawah 80% akibat mulai banyaknya turun hujan. Seperti telah dijelaskan di depan, penelitian ini berlangsung dari September 2006 hingga Januari 2007.

Tabel 2. Nilai korelasi (r) temperatur dan kelembaban dengan konsumsi BK dan konversi pakan

Parameter Sapi Madura Sapi PO Ket

Korelasi antara temperatur dengan

BK Total, kg 0,0876 0,0727 ns

BK Total, %BB 0,2318 0,1737 ns

Konversi pakan 0,2874 -0,0493 ns

Korelasi antara kelembaban dengan

BK Total 0,1268 0,2294 ns

BK Total, %BB -0,2416 -0,1204 ns

Konversi pakan -0,1403 0,0038 ns

ns = Tidak berbeda nyata pada taraf 5% (P > 0,05)

Gambar 1. Perubahan temperatur lingkungan (dalam kandang) mingguan dan perubahan konsumsi BK pada

sapi Madura dan sapi PO. Perubahan dihitung dengan mengurangkan nilai minggu pengamatan dengan minggu sebelumnya

-20 -10 0 10 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Minggu ke-kon s um si B K , kg -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 T e m p e rat ur , C Temp BK, Madura BK, PO

(5)

Gambar 2. Perubahan kelembaban (dalam kandang) mingguan dan perubahan konsumsi BK pada sapi

Madura dan sapi PO. Perubahan dihitung dengan mengurangkan nilai minggu pengamatan dengan minggu sebelumnya

Hubungan antara kondisi lingkungan dengan konversi pakan

Tabel 2 juga menampilkan korelasi antara temperatur dan kelembaban lingkungan dalam kandang dengan konversi pakan (FCR). Nilai korelasi antara temperatur dengan FCR pada sapi Madura (r = 0,2874) dan sapi PO (r = -0,0493), secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal yang sama juga diperoleh untuk nilai korelasi antara kelembaban dengan FCR pada sapi Madura (r = -0,1403) dan sapi PO (r = -0,0038), juga tidak berbeda nyata (P > 0,05). Nilai korelasi antara temperatur dengan FCR pada sapi Madura dan PO serta korelasi RH dengan FCR pada sapi Madura menunjukkan tingkat hubungan yang sedang, tetapi pada sapi PO menunjukkan tingkat hubungan yang rendah. Meskipun secara statistik semua nilai korelasi tersebut antara Madura dan PO tidak berbeda nyata, namun secara deskriptif dari tingkat kekuatan korelasi dapat diartikan bahwa sapi Madura lebih kuat dipengaruhi lingkungan daripada sapi PO.

Dari semua nilai korelasi tersebut di atas, nilai korelasi antar paramemeter pada sapi Madura mempunyai nilai lebih besar dibandingkan sapi PO. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan mempengaruhi sapi Madura lebih kuat daripada sapi PO. Atau dengan kata lain, sapi Madura lebih sensitif atau responsif terhadap perubahan lingkungan (temperatur dan kelembaban) daripada sapi PO, pada pemeliharaannya sapi Madura

memerlukan manajemen lingkungan yang lebih konstan/stabil agar memberikan penampilan terbaiknya.

KESIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini adalah sapi Madura dan PO mempunyai respon yang sama baik terhadap perubahan kondisi lingkungan baik terhadap temperatur maupun terhadap kelembaban. Namun, dari pengamatan mingguan selama penelitian ini secara deskriptif tampak bahwa sapi Madura lebih responsif atau lebih mudah dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mas Heri, Ipunk, Nanik dan Satria atas bantunnya dalam pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

HASAN, I. 2003. Pokok-pokok Materi Statistik 1. Statistik Deskriptif. Edisi Kedua. PT Bumi Aksara, Jakarta.

MALIKAH-UMAR, M. ARIFIN dan A.PURNOMOADI. 2007. Produktivitas sapi Madura sebanding dengan sapi Peranakan Ongole. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor (in press). -20 -10 0 10 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Minggu ke-konsumsi B K , kg -8.0 -4.0 0.0 4.0 8.0 Kelembaban, R H % RH BK, Madura BK, PO

(6)

PURNOMOADI, A., M.Y. EFFENDI, E. RIANTO, K. HIGUCHI and M.KURIHARA. 2004. Methane production of Ongole Crossbred and Limousin Crossbred young bulls under intensive feeding management in Indonesia. Proc. the 11th Asian-Australian Association on Animal Production Conference, Vol. II September 2004. Kualalumpur, Malaysia. hlm. 216 – 218.

SUGIYONO. 2006. Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Kesembilan. Penerbit Alfabeta, Bandung.

TILLMAN,A.D.,H.HARTADI,S.REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1 dan 2 menggambarkan hubungan  besar perubahan temperatur dan kelembaban  (RH) dalam kandang bersama dengan  perubahan konsumsi pakan setiap minggu  selama pengamatan
Gambar 2.  Perubahan kelembaban (dalam kandang) mingguan dan perubahan konsumsi BK pada sapi  Madura dan sapi PO

Referensi

Dokumen terkait

Perkebunan Nusantara III ( PERSERO ) Medan telah dapat menentukan harga pokok produksi kelapa sawit dengan baik, sehingga biaya yang diperoleh akurat dan telah sesuai

Kombinasi HPMC K4M – amilum kulit pisang agung dan konsentrasi natrium bikarbonat maupun interaksinya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan, floating

Pada masa kabinet bersatu Jilid II dikeluarkanlah kembali Peraturan Presiden yang berkaitan dengan sekretariat kabinet yakni Peraturan Presiden 82 Tahun 2010 45 ,

arti memiliki cukup memiliki motif untuk menolong orang lain (merasa sedih dan iba melihat orang yang membutuhkan pertolongan namun hanya ingin menolong orang tertentu

TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RUAS JALAN KRASAK – PRINGAPUS)..

Jurnal atau yang lebih sering dikenal jurnal umum adalah catatan akuntansi yang pertama kali dibuat yang gunanya untuk melakukan pencatatan seluruh

It is argued that Indonesia needs to improve the role of National Innovation System in order to gain more from the implementation China and ASEAN free trade area. Keywords:

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data hasil validasi produk pengembangan oleh tiga orang dosen ahli pembelajaran fisika. Data tersebut dikumpulkan