• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia dalam Kondisi Diperdamaikan dengan Allah: Suatu Pendekatan Theologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manusia dalam Kondisi Diperdamaikan dengan Allah: Suatu Pendekatan Theologis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

https://e-journal.stt-star.ac.id/index.php/asteros

Volume 8, No 1, Juli 2020 (54 – 64)

Manusia dalam Kondisi Diperdamaikan dengan Allah: Suatu Pendekatan Theologis

Binsan Sitohang

Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Riau

Abstrak: Pendamaian bukanlah kata yang mendominasi Alkitab, namun ide tentang hal ini secara

terus menerus menguasai Alkitab. Inti dari pemberitaan Alkitab adalah bahwa Allah berkenan mendamaikan dunia dengan diri-Nya dalam puncaknya melalui Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menebus manusia yang berdosa. Pendamaian yang diprakarsai Allah ini dimulai dengan pemilihan Israel sebagai umat Allah dan sekaligus mencurahkan perhatian dan pemeliharaan dan diberkatinya tanpa pamrih. Dalam peristiswa historis, aksi pendamaian Allah yang sangat tepat untuk diketengahkan ialah peristiswa pembebasan Israel dari perbudakan di negeri Mesir. Melalui pembebasan ini Allah menetapkan Israel menjadi umat-Nya dan mengutus mereka ketengah-tengah bangsa-bangsa lain untuk memberitakan pendamaian dan pelepasan yang mereka terima dari Allah. Pendamaian yang diprakaarsai Allah ini bukan saja kepada manusia yang berdosa, melainkan juga untuk alam semesta yang telah rusak sebagai akibat keserakahan manuisa mencara keuntungan sesaat. Karena itu manusia yang telah diperdamaikan dengan Allah harus menghadirkan dirinya menjadi inisiator dan pelaku dalam membangun dan melestarikan alam.

Kata kunci: Allah; diperdamaikan; pendamaian

PENDAHULUAN

Antropologi menjadi tidak lengkap apabila tidak disertai pembicaraan tentang kondisi manusia setelah ia diperdamainkan dengan Allah, sungguhpun pokok tentang perdamaian itu sendiri sering kali dimasukkan dalam pembahasan Soteorologi. Pokok ini secara khusus membahas keadaan dan keberadaan manusia setelah ia dipulihkan kembali hubungannya dengan Allah.

Pokok di atas pada garis besarnya melibatkan sub-sub pokok sbb: 1. Tempat sentral pendamaian dalam Alkitab .

2. Dua macam pendamaian dalam Alkitab. 3. Lebih jauh tentang pendamaian soteris. 4. Lebih jauh tentang pendamaian kosmis.

Dalam membahas masing-masing sub pokok, penulis juga memasukkan refleksi dan aplikasi dari pokok yang di bahas, di mana dalam refleksi penulis berupaya memperlihatkan keterikatan pokok yang diajarkan dengan hal-hal yang secara situasional dihadapi oleh para gereja dewasa ini. Namanya saja refleksi, karena itu ia bertumpu pada pengamatan subyektif penulis. Anda pun diharap dapat merekfleksikan pokok di atas dengan situasi hidup anda/gereja seperti yang anda lihat dewasa dan amati.

(2)

Tempat Sentralpendamaian Dalam Alkitab

Pendamaian bukanlah kata yang mendominir Alkitab. Sungguhpun demikian ide tentangnya terus menerus menguasai Alkitab. Apa yang sebenarnya merupakan inti pemberitaan Alkitab, tidak lain dari pada kebenaran bahwa Allah berkenan mendamaikan dunia dengan diri-Nya. Perjanjian Lama tidak termuat istilah pendamaian. Tetapi konkretisasi dari tindakan pendamaian Allah sangat jelas tercermin dalam pemberitaan-Nya. Dalam kitab Kejadian, riwayat penciptaan serentak memproklamirkan bahwa Allah sedang merealisasikan karya perdamaian-Nya di dalam dunia. Lalu, demikian menurut kitab Kejadian, karya perdamaian Allah itu dilanjutkan dengan pemeliharaan dan pemerintahan Allah atas ciptaan-Nya itu dapat bekerja menurut fungsi yang ia kehendaki. Di samping fakta di atas, pengamatan Perjanjian Lama terhadap karya perdamaian Allah terutama difokuskan pada perjanjian (berith) yang Allah jalin dengan Israel, namun Allah sendiri yang menjadi subyek pelaku atas perjanjian itu.1

Israel hanya menjadi sasaran berkat atau kutuk sebagai akibat dari di tepati atau dilanggarnya perjanjian dengan Allah tersebut. Konsekwen dalam perjanjian yang Ia sendiri prakarsai, Allah mencurahkan ke atas Israel perhatian dan pemeliharaan dan diberkatinya tanpa pamrih. Tetapi berkali-kali Israel jatuh ke dalam penyembahan kepada berhala, dan dengan cara ini perjanjian Allah telah mereka hancurkan. Namun, setiap kali perjanjian itu hancur, setiap kali pulalah Allah bertindak memuliakannya. Di sini kita menemui ketetapan dari ucapan Barth, sebagai berikut:

The history of man from the very first and the same is true of the history of every individual man-consisted not in the keeping but the breaking of the convenant, not in the receiving but the rejecting of the promise, not in the fulfilling but the transgressing of the command, not in the gratitude which correspons to grace of

God but in a senseless and purposeless rebellion against it....”2.

Dalam peristiwa historis, aksi pendamaian Allah yang sangat tepat untuk diketengahkan ialah dalam peristiwa pembebasan Israel dari perbudakan di negeri Mesir. Melalui pembebasan itu Allah menetapkan Israel menjadi umat-Nya dan mengutus mereka ketengah-tengah bangsa kafir untuk memberitakan pendamaian dan pelepasan yang telah mereka terima dari Allah. Tetapi Israel gagal membawa misi pendamaian Allah kepada bangsa lain yang mengelilingi mereka. Israel memilih untuk menyimpan kasih perdamaian Allah bagi diri mereka sendiri.

Apa yang gagal dilakukan Israel, sanggup dilakukan oleh Kristus. Karena itu, sangatlah tepat untuk dikenakan pada diri Kristus, nubuatan dalam Maleakhi 4:6, yang berbunyi : “ maka Ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapanya supaya jangan takut datang memukul bumi sehingga mereka musnah”. Kristus tidak saja mengomunikasikan pendamaian. Di tengah-tengah ‘konflik’3 penolakan dan oposisi yang lahir sebagai reaksi atas misi pendamaian-Nya, Kristus

1 S.M Siahaan, Perdamaian (Syalom) dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: PERSETIA, 1984), h. 27. 2 Karl Bart, Church Dogmatics, V.IV,1, (Edinburgh: T. & T. Clack, 1961), h. 67.

3 Istilah ini berasal dari Dieter T. Hessel dalam bukunya Reconcilliation an Conflict, h. 35.

(3)

menyerahkan hidup-Nya menjadi tumbal demi terhapusnya konflik diantara Allah dan manusia.

Barangkali gamabaran Perjanjian Baru yang paling tepat melukiskan pendamaian, adalah seperti yang dicontohkan Yesus dalam perumpamaan tersebut seorang ayah yang mempunyai dua anak laki-laki. Tetapi ia kehilangan keduanya. Yang bungsu menghilang ke negeri yang jauh setelah memperoleh warisan yang menjadi haknya.

Sedangkan anaknya yang sulung, walaupun berada dalam rumah ayahnya, terhilang dalam kecongkakan ‘Parisiistis’4. Ketika anaknya yang bungsu jatuh dalam keterlantaran yang parah, ingatannya terbang pada sang ayah yang selalu siap memberikan kasih, perhatian dan kecukupan. Karena itu anak bungsu memutuskan untuk kembali kepada sang ayah. Dari kejatuhan telah dilihatnya ayahnya, dalam kesetiaan dan kesabaran, menantikan ia pulang. Berada dalam pelukan ayah, ia merasakan kedamaian, kehangatan dan pengampunan yang mengalir dari ketulusan hati sang ayah. Memasuki rumahnya kembali, anak bungsu menemukan apa yang selama ini tak pernah di jumpainya ketika ia melanglang ke negeri orang.

Pendamaian memperoleh tempat yang sentral juga dalam teologi Paulus. Pendamaian, menurut Paulus, adalah berdasarkan karya dosa kita “ ( I Kor 15:3), demikian

Paulus mengingatkan kita. Menurut penyelidikan A.M Hunter5 lewat karyanya:

“Memperkenalkan theologia Perjanjian Baru”, kematian Kristus di kayu salib dipandang Paulus dengan berbagai cara: terkadang sebagai bukti unggul kasih Allah kepada orang-orang berdosa (Rm 5:8); Terkadang sebagai penebusan kita oleh Kristus dari kutuk yang ditimpakan atas kita sebagai pelanggar-pelanggar hukum Allah (Gal 3:13); terkadang sebagai suatu kemenangan atas segala gambaran Paulus tentang salib sebagai “jalan pendamaian” (hilasterion) yang direncanakan Allah (Rm 3:25).

Tetapi, pendamaian sebagaimana yang dimaksud Kitab suci, tidak saja terjadi dalam bidang hubungan antara Allah dan manusia (pendamaian Soteris). Pendamaian juga terjadi dalam alam semester (Kol 1:20) (pendamaian Kosmis). Akhirnya, tibalah kita pada kesimpulannya bahwa baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, pendamaian menduduki tempat yang sentral.

4 French L. Arrington, The Ministry of Reconcilliation, (Grand Rapids, Michigan: Baker Book

House, 1980), h. 26.

5 A.M. Hunter, Memperkenalkan Theologia Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA,

(4)

Dua Macam Pendamaian dalam Alkitab

Pendamaian dalam II Kor 5:18-19

Seperti yang diperlihatkan oleh konteksnya, pendamaian dalam II Kor 5:18-19 merupakan peristiwa yang terjadi dalam ruang hubungan antara Allah dan manusia. Tegasnya, pendamaian dalam II Kor 5:18-19 ditujukan pada manusia, atau seperti istilah yang dipakai Gary D. Long dalam Substitutionary Atonement (pada kritik atas II Kor 5:19) : “rational creation6. Pendamaian yang mengarah kepada manusia seringkali disebut dengan ‘pendamaian soteris7. Lebih lanjut Gary D. Long memberikan batasan dari pendamaian soteris sbb. :

a twofold change in the relationship beetween God and man as wrought objectively through the death of Christ which results in God’s relationship toward his people being change from emnity to love and blessing, and as wrought subjectively in His people by divine bestowal, which result in man relationship toward God being change from enmity to love when the word of reconcilliation is genuinely received

as evidenced by repentance toward the Lord Jesus Christ”.8

Tentang pendamaian soteris ini berikut dimensi-dimensi penting di dalamnya, akan diuraikan tersendiri (bab III).

Pendamaian dalam Kolose 1:20

Kini Paulus berbicara tentang pendamain yang diarahkan kepada seluruh semesta (kosmos). Kata “segala sesuatu” (tapanta) yang Paulus sisipkan membenarkan hal ini. Memang, menjadi keyakinan Paulus bahwa oleh karya pendamaian Kristus, alam semesta dipersatukan kembali dengan Allah. E. Kaemann yang ahli dalam teologi Paulus itu berkata: “di dalam Dia bersatulah kembali solidaritas yang dulunya terpisahk, yaitu yang surgawi dan yang duniawi”9.

LEBIH JAUH TENTANG PENDAMAIAN SOTERIS Catatan Pengantar

Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, pendamaian sotris menunjuk pada peristiwa yang terjadi dalam hubungan antara Allah dan manusia, dimana dalam peristiwa itu Allah bertindak mendamaikan manusia berada dalam kondisi keterhilangannya (Rm 5:-11; Ep 2:13-18; II Kor 5:18-20). Sebenarnya, ada tiga istilah yang Paulus gunakan untuk menggambarkan cara-cara yang melaluinya Allah melaksanakan karya pelepasan dan pendamaian terhadap diri manusia. Pertama, adalah ‘ apolytrosis’ (penebusan – Rm 3:4; Kol 1:14). Istilah ini berasal dari pasar budak dan menunjuk pada uang tebusan atau harga yang harus dibayar atas seorang budak. Kedua, pendamaian digambarkan dengan ‘dikaiosis’ (pembenaran Rm 3:24; 4:25; 5:1; Gal 2:16; Fil 3:9). Istilah ini berasal dari dunia pengadilan. Ketiga adalah ‘ katallage’ yang mencerminkan hubungan antara dua pribadi. Apabila dihubungkan dengan tindakan penyelamatan Allah, maka penebusan

6 Gary D. Long, Substitutionary 7 Ibid

8 Ibid

(5)

menggambarkan seseorang yang semula diperbudak oleh dosa, kini dibebaskan oleh Allah. pembenaran menandakan bahwa seseorang yang tadinya melanggar hukum dan layak untuk menerima hukuman, kini dinyatakan tidak bersalah. Sedangkan pendamaian melukiskan bahwa dua orang yang tadinya bermusuhan kini berdamai kembali.

Pendamaian Sebagai Tindakan Allah

Sungguhpun pendamaian terjdi dalam bidang hubungan pribadi antara Allah dan manusia, ia bukan merupakan hasil negosiasi antara Allah dan manusia. Ucapan Paulus yang berbunyi : “Sebab Allah telah mendamainkan dunia dengan diriNya” (II Kor – 5:19), telah memastikan Allah sebagai satu-satunya pemrakarsa, pelaksana dan penyelesai dan pendamai itu. Sesungguhnya, pendamaian tidak akan dapat kita fahami tanpa mengaitkannya dengan fakta kejatuhan manusia di dalam dosa, keterhilangannya dan permusuhannya dengan Allah. C. K. Barrett10 penafsir Perjanjia Baru itu menandaskan bahwa arti dari kata kerja ‘memperdamaikan’ sangat ditentukan oleh kata benda ‘musuh’. Karena itu dalam bab ini kita tidak mungkin untuk memusatkan perhatian pada pendamaian perseorangan. Pendamaian memang menemukan konteksnya dalam kejatuhan manusia yang diakibatkan oleh dosanya sendiri. Tetapi dosa bukanlah satu-satunya penyebab keterpisahan manusia dengan Allah. kesucian dan kebencian Allah terhadap dosa tidak boleh kita lupakan. Kutukan Allah terhadap dosa tidak boleh kita lupakan.

Kutukan Allah terhadap pemberontakan manusia ikut melatar-belakangi keterhi-langan manusia dari hadapan-Nya. Keadilan Allah memang menuntut di hukumnya orang yang berdosa. Namun harus pula kita mengerti bahwa keadilan Allah sangat tertindih tepat11 dengan kasih, pengampunan dan kesediaanNya menerima kembali yang terkutuk itu. Diatas salib itulah kita melihat kasih dan kutuk bertemu (Mazmur 85:10; Roma 3:26). Philip E. Hughes dalam The Second Epistle to the Corinthians menegaskan sebagai berikut: “Apabila tidak ada kutukan Allah terhadap dosa, maka kasih Allah terhadap dosa, maka kasih Allah di dalam Yesus Kristus tidak akan berguna bagi kebutuhan rohani manusia”12. Kematian Kristus di kayu salib menjadi ‘sarana’ yang dipakai Allah untuk membangun kembali hubungan yang rusak antara diriNya dengan manusia.

Sejalan dengan hal tsb., Roma3:25 memberitakan : “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya...” Bahwa Kristus menjadi jalan pendamaian (hilasmos) merupakan gagasan yang berasal dari Perjanjian Lama. Sekali setahun pada hari Grafirat, Imam Besar mempersembahkankurban lembu dan domba. Kurban grafirat memainkan peranan yang sangat penting dalam ibadah Israel. Ia menjadi pengganti dari kematian anak sulung (Kel 12:21-23). Darah yang terpercik mengartikan bahwa pendamaian dan kehidupan terjadi dalam rumah yang mempersembahkan kurban. Dengan menyebut Yesus sebagai ‘jalan kebenaran’, maka Paulus menunjuk kematian Kristus sebagai: (1)Mati bagi kita (I Kor 15:3; II Kor 5:14; Rm 5:6,8), dan (2) mati

10 C. K. Barrett, The Epistle to the Romans, (London: Adam & Charles Black, 1971), h. 108. 11 Istilah Soedarmo dalam Ikhtisar Dogmatika, h. 85.

(6)

menempatkan tempat kita (II Kor 5:21; Rm 8:23). Karena itu pantas kepadaNya kita menyebut Yesus Salvator Hominum (Yesus Penyelamat manusia).

Pendamaian sebagai yang harus dilayankan

Paulus kemudian berbicara tentang pelayanan pendamaian sebagai tugas yang dipercayakan Allah kepada setiap orang yang telah menerima anugrah pendamaian. Paulus tidak hanya berkata-kata tentang pelayanan pendamaian, namun seluruh hidupnya ia persembahkan bagi misi pendamaian Kristus ditengah-tengah dunia. Tidak satupun dari jemaat-jemaat yang Paulus dirikan lolos dari pertikaian, fitnah dan pergunjingan. Bahkan suratnya yang berada dalam kekacauan . Ia sendiri mengkuatirkan bahwa kunjungannya nanti di Korintus akan disambut dengan perselisihan, iri hati, amarah, dan kepentingan diri sendiri, fitnah, bisik-bisikan, keangkuhan dan kerusuhan (II Kor 12:20). Sungguhpun demikian Paulus tidak akan pernah jemu melayankan pendamaian baik dalam pemberitahuan maupun dalam pemberitaan maupun dalam tindakan. Tentang dirinya Paulus berkata: “kami ini adalah utusan-utusan Kristus”. Dan kepada jemaat yang dilanda krisis damai itu Paulus menyerukan: “berilah dirimu didamaikan dengan Allah”.

Seperti itulah kiranya kehadiran gereja di dalam dunia. Gereja Tuhan yang adalah persekutuan orang-orang yang telah diperdamaikan harus menyadari bahwa eksistensinya di tengah-tengah dunia adalah untuk melanjutkan pelayanan perdamaian yang telah lebih dahulu dimulai oleh Kristus. Hoedemaker dalam karyanya Kristus tak terbagi berbicara tentang eksistensi gereja sbb:

“Pertama, gereja harus ada bukanlah karena sesuatu hukum atau perintah tetapi karena tindakan Allah. tindakan Allah terhadap manusia mendapat wujud dan bentuknya di dalam Yesus Kristus. Dan tindakan Allah melalui Yesus Kristus inilah yang harus diperlihatkan dan di perdengarkan gereja. Tindakan Allah itulah yang menyebabkan gereja ada dan harus ada. Kedua, gereja hadir untuk hidup dan maju di tengah-tengah sejarah dengan bimbingan Roh Kudus. Ia bertugas menyatakan segala kebenaran, artinya bersaksi secara baru tentang seluruh struktur serta tujuan tindakan Allah pada setiap jaman dan keadaan.”13

Karena itu tidak ada alasan bagi gereja untuk berdiam diri dan menjadi apatis. Gereja, menurut Abineno14, bukanlah persekutuan yang aktif, dinamis,dan berperan serta dalam kegiatan pendamaian Allah yang masih dan sedang berlangsung. Tepat untuk dikutip di sini ucapan Dietrich Bonhoeffer15: “Anugrerah Allah yang mahal itu akan menjadi anugerah murahan tanpa pelayanan yang dinamis”. Pertama, pendamaian dilayankan pengan pemberitaan kepada dunia tentang apa yang digenapi oleh Kristus di kayu Salib. Pemberitaan itu tak boleh dibatasi oleh dinding gereja, mimbar, altar atau kursi. Proklamasi pendamaain juga harus diperdengarkan gereja kepada masyarakat luas di luar gedung gereja. Kenyataannya tragis dalam banyak jemaat seperti yang digambarkan

13 L. A. Hoedemaker, Kristus Tak Terbagi, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 19770, h. 42.

14 DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, Diutus Ke dalam Dunia, (Jakarta: DGI. 1973),

H.7.

(7)

Donald Bowdle16 dalam Redemption: Accomplished and Applied ialah di banyak jemaatpengertian pelayanan dicampur-baur dengan kebaktian sekali dalam seminggu, jemaatnya sudah merasa banyak berbuat banyak bagi Tuhannya.

Sebagaimana pendamaian itu melibatkan aspek-aspek seperti: dosa manusia, pertobatan, pembenaran, dan hidup baru, demikian pula dengan isi pemberitaan gereja. Sangat disayangkan, banyak gereja yang takut menempelak dosa jemaat, dan kurang menekankan aspek-aspek tersebut di atas dalam pemberitaanya. Barangkali ada ‘phobia’ (ketakutan) dalam hati para pimpinan gereja untuk dituduh pietis, emosionil, kharismatis dlsb. Pemberitaan gereja harus relevan dengan kebutuhan rohani pendengar-pendengarnya. Banyak pemberitaan-pemberitaan gereja yang hanya menyentuh intelek manusia tetapi tidak menjamah hati. Apabila gereja tidk dengan sadar akan kesalahannya banyak anggota jemaat yang lari ke persekutuan-persekutuan doa, yang dewasa ini sudah tak terhitung banyaknya, walaupun tidak sediki di antara persekutuan-persekutuan doa itu yang mengajarkan dan mempraktekkan hal-hal yang secara theologis tidak dapat dipertanggung jawabkan, seperti: mencari tanda-tanda spektakuler sebagai bukti dipenuhi Roh duniawi, misalnya: roh merokok dll.

Kedua, pendamaian dilayankan dengan merefleksikan pola hidup yang sesuai dengan pengalaman pendamaian, baik dalam hubungan orang percaya dengan Tuhan maupun hubungan orang percaya dengan sesamanya.

Memberikan Diri Untuk Didamaikan Dengan Allah

Pendamaian yang telah dikerjakan dengan sempurna oleh Kristus, kita akan pernah miliki kesediaan kita memenuhi perintah: “berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (II Kor 5:20). Inilah yang dimaksudkan Arrington17 dengan tanggung jawab manusia dalam pendamaian. “berilah dirimu didamaikan dengan Allah”, mencakupi beberapa pengertian di bawah ini: Pertama, menerima berita pendamaian itu sebagai milik kita, lalu mengaplikasikannya dalam hidup seshari. Kedua, menurut Francis Turrettin dalam The Atonement of Christ, “memberikan diri diidamaiakan dengan Allah” berarti pertobatan yang terus menerus dari pihak manusia sebagai konsekuensi dari pendamaian yang Allah anugerahkan kepada kita.18 Ketiga, adalah kesediaan dari pihak manusia untuk terus-menerus hidup dalam persekutuan dengan Allah.

Pendamaian dalam gereja sebagai Tubuh Kristus

Telah dikatakan pada bab terdahulu bahwa gereja adalah utusan (persbuteros) Kristus yang ada dalam dunia untuk melanjutkan misi pendamaian Kristus. Tetapi, pelayanan pendamaian yang Kristus percayakan kepada gereja adalah pelayanan yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kenyataannya tragis mewarnai perjalanan hidup gereja sepanjang sejarahnya, adalah fakta dimana pelayanan pendamaian itu dilaksanakan gereja secara sendiri-sendiri. Usaha yang demikian tidak jarang menimbulkan suasana konfrontatip. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan karakter asli dari pendamaian itu

16 Donald Bowdle, op.cit. h. 110. 17 French L. Arrington, op.cit. h.25.

(8)

sendiri. Bertentangan pula dengan eksistensi gereja sebagai pendamai di tengah-tengah dunia. Sehubungan dengan hal diatas, Gerakan Oikumene di Indonesia dan progaram keesaan gereja dapat dipandang sebagai perwujudan pendamaian di dalam gereja sebagai tubuh Kristus. Tetapi sangat disayangkan, ‘phobia’ terhadap program keesaan itu, masih tumbuh dengan subur di hati banyak pimpinan gereja. Di Indonesia sendiri usaha penyatuan gereja banyak mengalami rintangan, justru dari kalangan gereja sendiri.

Tidak semua denominasi masuk menjadi anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI). PGI masihtidak dianggap sebagai satu-satunya wadah gereja-gereja di Indonesia, hak ini terbukti dengan adanya PII (Persekutuan Injili Indonesia), yang merupakan wadah gereja-gereja yang tidak bergabung dalam PGI. Adapula Dewan Pentakosta Indonesia yang bertujuan mempersatukan gereja-gereja aliran Pentakosta yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan yang terakhir ini sedang memperjuangkan terbentuknya Bimbingan Masyarakat Kristen Pentakosta. Tantangan bagi pelayan pendamaian makin berat. Karena itu gereja harus mengakhiri ‘ketidakbersatuannya’ dan bersama-sama menghadapi tantangan itu. Pesan bulan Oikumene 1985 yang berbunyi: “Marilah kita makin giat memberitakan dan menyaksikan kesukaan itu dalam kehidupan yang serba penuh tantangan ini”19 patut kita hayati dan kita laksanakan.

Pendamaian dalam hubungan antar suku dan golongan di Indonesia

Gereja Tuhan di Indonesia, berada di tengah-tengah kemajemukannya masyarakat dan kepelbagaian suku. Berhubungan dengan kebedaannyayang seperti itu, makan pendamaian haruslah mendapat tempat dalam hubungan antar suku dan golongan. Adanya berbagai suku dan golongan di Indonesia, bukannya tidak menimbulkan masalah. Banyak kerusuhantimbul akibat rusaknya hubungan di antara sukudan golongan. Titik yang paling rawan dalam hubungan antar golongan adalah masalah pribumi dan non-pribumi. Beberapa catatan di sekitar hubungan keduanya dapat kita lihat di bawah ini. Pelajar-pelajar non-pribumi sulit sekali untuk dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Akibatnya mereka memasuki perguruan tinggi swasta, sehingga ada perguruan tinggi yang dijuluki sebagai ‘perguruan tinggi Cina’. Sampai sekarang, Kartu Tanda Penduduk (KTP) Untuk golongan non-pribumi memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan yang pribumi. Dari pihak non-pribumi, sering timbul kecenderungan untuk menjadi eksklusip dan kurang berintegrasi dengan lingkungannya. Kesombongan golongan dan perasaan lebih super dari pribumi juga menjadi ciri-ciri golongan ini. Barangkali benturan dan konflik antar suku bukan hal yang disukai bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang ramah dan cinta damai, tetapi kepentingan golongan yang berbeda itu telah menyebabkan bangsa kita berada dalam suasana seperti yag digambarkan diatas. Berhadapan dengan kenyataan di atas, apa yangsekarang harus dilakukan oleh gereja? Pertama, gereja harus berani dan terus terang menunjukkan kesombongan antar suku dan egoistisme golongan sebagai dosa

19 Dikutip dari Pesan Bulan Oikumene 1985 yang dikeluarkan oleh PERSEKUTUAN

(9)

bangsa kita dan menyerukan pertobatan dari keadaan di atas. Kedua, seperti yang Andreas A. Yewangoe katakan, “Gereja harus untuk terciptanya perubahan struktural”20.

Pendamaian di tengah-tengah agama lain

Dari sudut iman Kristen, kita diyakinkan bahwa Allah orang Kristen tidak sama dengan Allah dalam agama-agama lain. Karena itu, pertanyaan: “samakah semua agama?”, kita menjawab dengan “tidak”. Sungguhpun demikian, orang-orang Kristen tidak boleh menjadi eksklusip. Gereja dengan lapang dada harus bersedia menerima pemeluk-pemeluk agama lain sesama yang juga dikasihi Tuhan dan yang untuk mereka Yesus mati. Demi terciptanya saling pengertian dalam hubungan antar agama, di Indonesia sedang giat-giatnya diserukan “toleransi” dan “dialog” antar agam. Tidak dapat disangkal, dari pihak gereja muncul kecurigaan, bahwa toleransi adalah sinkretisasi dan dialog antar agama adalah pengkhianatan terhadap Amanat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19,20). Refleksi/aplikasi ketakutan seperti diatas tidak perlu terjadi. Djaka dalam Dialog Kristen-Islam Suatu Uraian Theologis menulis, “Melalui dialog, dapat saja terjadi Roh Kudus

mengoreksi geraja dengan memakai agama lain sebagai cermin”21. Disamping itu

sementara dialog berlangsung, gereja wajib bersaksi dan mempertanggung-jawabkan imannya terhadap kepercayaan lain, tetapi “dengan lembut dan hormat” (I Petrus 3:15-16) Akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa dialog antar agama, dimana gereja harus melibatkan diri, “bukanlah alternatif terhadap perintah misi, melainkan suatu tugas yang khusus yang mengalir dari tugas pengabdian gereja”22.

LEBIH JAUH TENTANG PENDAMAIAN KOSMIS Catatan Pengantar

Dalam bab II telah dijelaskan bahwa pendamaian tidak saja mengajarah kepada manusia, tetapi juga kepada kosmos, penebusan Kristus serentak mencakupi alam semesta ditempatkan pada tempatnya semula, sebelumnya kejatuhan manusia ke dalam dosa. Mengerti bahwa Allah telah berdamai dengan alam semesta, maka manusia yang telah diperdamaikan dengan diriNya itu, harus pula berdamai dengan alam semesta yang tidak lain adalah ‘rumahnya’ sendiri selama hidupnya di dunia.

Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendamaian Kosmis

Tadi telah dikatakan bahwa dalam pendamaian kosmis, alam semesta berada dalam tempatnya semula. Tetapi kenyataannya yang kita lihat sekarang menunjukkan bahwa kebenaran dia atas kita, dipandang dari sudut manusia, belum terwujud. Hal ini disebabkan kegagalan manusia untuk mendamaikan dirinya dengan alam semesta. Pelbagai ancaman dan pencemaran yang kini menghimpit manusia, bukan lagi karena kutukan Tuhan terhadap manusia, tetapi sebagai akibat kegagalan di atas. Karenanya, dunia dimana kita hidup, adalah dunia yang terancam oleh berbagai masalah kosmis seperti: Pencemaran

20 Andreas A.Yewangoe, op.cit. h.152.

21 Djaka Soetapa, Dialog Kristen-Islam Suatu Uraian Thenologis, (Yogyakarta: PUSAT

PENELITIAN DAN INOVASI PENDIDIKAN DUTA WACANA, 1981), H. 37.

22 YMW Bakker, Dialog Dengan Islam, seperti yang dikutip Djaka Soetapa dalam dialog

(10)

Lingkungan, kepadatan penduduk, krisis bahan makanan, krisis enerji dan peperangan Kita yang hidup di Indonesia juga tidak luput dari, ancaman serupa. Ibukota Jakarta, misalnya, diberitakan sebagai kota yang paling parah terancam.

Lembaga Studi Pembangunan, seperti yang diberitakan harian Sinar Harapan tertanggal 7 April 1985, mensinyalir bahwa 66% penduduk Jakarta (sekitar 5 juta orang) hidup dalam kemiskinan. Dan sebagian dari mereka menjadi “pencemar-pencemar hidup”23 dengan jadi penodong, pencopet, pelacur, dan pemungut sampah. Masih tentang Jakarta, diberitahukan pula oleh harian yang sama betapa hebatnya ancaman lingkungan oleh buangan limbah insdustri. Tak kurang dari 2000 pabrik telah memperkosa alam dengan pencemaran merkuri di teluk Jakarta. Di dalam kota Jakarata juga dilanda pencemaran berupa kebisingan yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran juga terjadi di hutan-hutan, dengan menebangi pohon-pohon hutan yang kemudian menjadi sebab utama timbulnya banjir.

Masalah-masalah di atas telah menuntut gereja untuk mewujudkan pendamaian kosmis dalam keterlibatan gereja terhadap penanggulangan masalah-masalah yang disebutkan tadi. Dieter T. Hessel dalam Reconcilliation and Conflict berkata, “Reconcilliation directs church’s sosial response”24. Sama seperti pendamaian soteris, missi pendamaian kosmis juga harus dilaksanakan gereja secara bersama-sama, dan bukan sendiri-sendiri.karena itu proyek kesejahteraan dan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PGI harus didukung oleh semua gereja-gereja di Indonesia. Akhirnya, menjadi tanggung jawab gereja Tuhan di Indonesia untuk mengajak seluruh bangsa memperbaiki sikapnya terhadap lingkungan dimana mereka hidup. Berkenaan dengan hal ini, perlu dipikirkan fungsi pendeta, pimpinan jemaat, mahasiswa theologia sebagai motivator-motivator untuk merealisasikan ajakan tersebut. Masih tentang Jakarta, diberitahukan pula oleh harian yang sama betapa hebatnya ancaman lingkungan oleh buangan limbah insdustri. Tak kurang dari 2000 pabrik telah memperkosa alam dengan pencemaran merkuri di teluk Jakarta. Di dalam kota Jakarata juga dilanda pencemaran berupa kebisingan yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran juga terjadi di hutan-hutan, dengan menebangi pohon-pohon hutan yang kemudian menjadi sebab utama timbulnya banjir.

Masalah-masalah di atas telah menuntut gereja untuk mewujudkan pendamaian kosmis dalam keterlibatan gereja terhadap penanggulangan masalah-masalah yang disebutkan tadi. Dieter T. Hessel dalam Reconcilliation and Conflict berkata, “Reconcilliation directs church’s sosial response”25. Sama seperti pendamaian soteris, missi pendamaian kosmis juga harus dilaksanakan gereja secara bersama-sama, dan bukan sendiri-sendiri.karena itu proyek kesejahteraan dan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PGI harus didukung oleh semua gereja-gereja di Indonesia. Akhirnya, menjadi tanggung jawab gereja Tuhan di Indonesia untuk mengajak seluruh bangsa

23 Istilah yang dipakai oleh Lembaga Studi Pembangunan dalam harian Sinar Harapan, 7 April 1985. 24 Dieter T. Hessel, op.cit., h.38.

(11)

memperbaiki sikapnya terhadap lingkungan dimana mereka hidup. Berkenaan dengan hal ini, perlu dipikirkan fungsi pendeta, pimpinan jemaat, mahasiswa theologia sebagai motivator-motivator untuk merealisasikan ajakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arrington, French L., Theministry of Recocilliation, Baker Book House, Grand Rapids, Michigan, 1980.

Barret, C.K., The Epistle to the Romans, Redwood Press Limited, London, 1971. Bowdle, Donald N., Redemption Accoplished And Applied, Pathway Press, Cleveland,

Tennessee, 1972.

Barth, Karl, Church Dogmatics, V.IV. 1, T & T Clark, Edinburg, 1961. D.G.I, Diutus kedalam Dunia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1973.

Hunter, A.M., Memperkenalkan Theologia Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1982.

Hodge, Charles, An Exposition of the second Epistle to the Corintians, Baker Book House, Grand Rapids, Michigan, 1980.

Hessel, Dieter T., Reconciliation and conflict, The Westminster Press, Philadelpia. Hoedemaker, L.A & Dicker, J.S.J., Kristus Tak Terbagi, BPK Gunung Mulia, Jakarta,

1977.

Hughes, Philip E., The Second Epistle to the Corinthians, Wm. B. Eerdsmans Publishing Co., Grand Rapids, Michigan, 1962.

Long, Gary D., Substitutionary Atonement, Grace Abounding Ministries, Inc., Streling, Virginia,1980.

P.G.I., Memasuki Masa Depan Bersama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Pesan Bulan Oikumene, 1985.

Soetapa, Djaka, Dialog Kristen-Islam Suatu Uraian Theologis, PPIP Dutawacana, Yogyakarta, 1981.

Simpson, E.K. And Bruce, F.F., The Epistle to the Ephesians and Colosians, Wm.B. Eerdmans Publishing, Grand Rapids, Michigan, 1980.

Referensi

Dokumen terkait

Baptisan Yohanes atas diri Tuhan Yesus mengawali karya pelayanan Allah dalam diri manusia Yesus Kristus, hingga akhir hidupNya di kayu salib sebagai karya terbesar

Dengan demikian, yang menjadi tujuan penelitian dari artikel ini ialah Pertama, untuk menunjukkan kepada orang percaya bahwa Allah sebagai pribadi, menginginkan

karton pembungkus botol vial tersebut diperlakukan sebagai limbah biasa r 2.3.4.6.7]. Penanganan Limbah

Harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal diri (Stuart,

YAYASAN PENDIDIKAN DARUL ILMI KALTARA TAMAN KANAK-KANAK ANNISA TARAKAN Alamat : Jl.Kusuma Bangsa,RT.27 Pamusian – Tarakan Tengah. Kota Tarakan Kalimantan

Menurut pengetahuan penulis, belum ada penelitian yang membandingkan dosis radiasi yang diterima oleh organ payudara pada pemeriksaan MSCT kepala tanpa dan dengan penggunaan

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan dan corporate social responsibility (CSR) terhadap

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat penyusunan perencanaan pembelajaran pendidikan jasmani, yang meliputi : Program Tahunan, Program