• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nama kriminologi pertama kali ditemukan oleh P.Topinard ( ),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nama kriminologi pertama kali ditemukan oleh P.Topinard ( ),"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kriminologi dan Kejahatan 1. Pengertian Kriminologi

Nama kriminologi pertama kali ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Prancis. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah Kriminologi berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu yang

mempelajari tentang penjahat dan kejahatan

.

1Asal mula perkembangan kriminologi tidak dapat disangkal berasal dari penyelidikan C. Lamborso (1879). Bahkan Lamborso menurut Pompe dipandang sebagai salah satu tokoh revolusi dalam sejarah hukum pidana.

Namun ada beberapa pendapat lain yang mengemukakan bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari Lamborso melainkan dari Adhole Quetelet, seorang dari belgia yang memiliki keahlian di bidang matematika. Bahkan, dari dialah berasal “statistic kriminil” yang kini dipergunakan terutama

oleh pihak kepolisian di semua Negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan kejahatan di negaranya.2

1 Alam, AS dan Ilyas, A. 2010, Pengantar Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi. hlm 1 2 Romli Atasasmita. 2010. Teori dan kapita Selekta Kriminologi. Bandung. Refika Aditama. hlm 9

(2)

13 Pengertian Kriminologi dan Kejahatan Menurut Bonger, dikutip oleh Abintoro Prak3, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala

kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoretis atau murni). Wolfgang, dikutip oleh Wahju Muljono4, membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya. Sedangkan etiologi kriminal (criminal aetiology) adalah ilmu yang menyelidiki atau yang membahas asal-usul atau sebab-musabab kejahatan (kausa kejahatan).

Selanjutnya Moeljanto berpendapat bahwa kriminologi adalah untuk mengerti apa sebab-sebab sehingga orang berbuat jahat. Apakah memang karena bakatnya adalah jahat, ataukah didorong oleh keadaan masyarakat disekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun ekonomis. Ataukah ada sebab lain. Jika sebab-sebab itu diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat, agar orang lain tidak lagi berbuat demikian, atau orang lain tidak akan melakukannya. kriminologi biasanya dibagi menjadi tiga bagian :

1. Criminal Biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya. 2. Criminal Sosiology, yang mencoba mencari sebab-sebab dalam

lingkungan masyarakat dimana penjahat itu berada.

3 Abintoro Prakoso. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta. Laksbang Grafika. hlm 11 4 Wahju Muljono. 2012. Pengantar Teori Kriminologi. Yogyakarta. Pustaka Yustisia. hlm 35

(3)

14 3. Criminal Policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus

dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.5

Objek studi kriminologi mencakup tiga hal yaitu penjahat, kejahatan dan reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan.6

1. Kejahatan.

Apabila kita membaca KUHP ataupun undang-undang khusus, kita tidak akan menjumpai suatu perumusan tentang kejahatan. Sehingga para sarjana hukum memberikan batasan tentang kejahatan yang digolongkan dalam tiga aspek, yakni7:

a. Aspek yuridis.

Menurut Muljanto, kejahatan adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dinamakan perbuatan pidana. Sedangkan menurut R. Soesilo, kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu bertentangan atau tidak undang-undang tersebut terlebih dahulu harus ada sebelum peristiwa tersebut tercipta.

b. Aspek sosiologis

Kejahatan dari aspek sosiologis bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia sebagai mahluk yang bermasyarakat perlu dijaga dari setiap

5 Moeljanto. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. hlm 14

6 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2001. Kriminologi. Jakarta. Rajawali Pers. hlm 11

7 Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil. Kelompok Studi Hukum dan

(4)

15 perbuatan - perbuatan masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai kehidupan yang dijunjung oleh masyarakat.

c. Aspek psikologis

Kejahatan dari aspek psikologis merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma - norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut merupakan kelakuan yang menyimpang (abnormal) yang sangat erat kaitannnya dengan kejiwaan individu.

2. Pelaku

Pelaku merupakan orang yang melakukan kejahatan, sering juga disebut sebagai penjahat. Studi terhadap pelaku bertujuan untuk mencari sebab - sebab orang melakukan kejahatan. Secara tradisional orang mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek biologis, psikhis dan sosial ekonomi. Biasanya studi ini dilakukan terhadap orang-orang yang dipenjara atau bekas terpidana. 3. Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan.

Studi mengenai reaksi terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan - perbuatan atau gejala yang timbul dimasyarakat yang dipandang merugikan atau membahayakan masyarakat luas. Sedangkan studi mengenai reaksi terhadap pelaku (penjahat) bertujuan untuk mempelajari pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan masyarakat terhadap pelaku kejahatan.

(5)

16 Sedangkan menurut A.S Alam ruang lingkup pembahasan kriminologi meliputi tiga hal pokok, yaitu8 :

1. Proses proses pembutan hukum pidana dan hukum acara pidana. Pembahasan dalam pembuatan hukum pidana (making laws), meliputi :

a. Definisi Kejahatan b. Unsur-unsur Kejahatan

c. Relativitas pengetian kejahatan d. Penggolongan Kejahatan e. Statistic Kejahatan

2. Etiologi criminal, yang membahas teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws), meliputi :

a. Alian-aliran kriminologi b. Teori-teori Kriminologi

c. Berbagai Prespektif Kriminologi

3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reachting toward the breaking laws), meliputi :

a. Teori Penghukuman

b. Upaya - upaya penanggulangan / pencegahan kejahatan baik berupa tindakan preventif, represif dan rehabilitatif.

Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan respresif tetapi hal ini juga reaksi terhadap calon

(6)

17 pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan. Manfaat dipelajarinya kriminologi ialah kriminologi memberikan sumbangannya dalam penyusunan perundang-undangan baru (Proses Kriminalisasi), menjelaskan sebab - sebab terjadinya kejahatan yang pada akhirnya menciptakan upaya - upaya pencegahan terjadinya kejahatan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kriminologi mempelajari mengenai kejahatan, yaitu norma-norma yang termuat di dalam peraturan pidana, yang kedua mempelajari tentang pelakunya, yaitu orang yang melakukan kejahatan, dan yang ketiga adalah reaksi masyarakat terhadap kejahatan pelaku. Hal ini bertujuan untuk mempelajari tentang pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala-gejala yang timbul dimasyarakat yang dipandang sebagai sebagai hal yang merugikan atau membahayakan masyarakat luas.

2. Pengertian Kejahatan dan Jenis-Jenis Kejahatan

Kejahatan seringkali diartikan sebagai suatu perilaku yang melakukan pelanggaran aturan-aturan hukum, akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu perilaku yang bertentangan dengan nilai- nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana).

R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau

(7)

18 dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.9Sebuah perilaku yang dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 (dua) faktor yaitu :

1) Mens Rea ( adanya niatan dari pelaku ), dan

2) Actus Reus ( perilaku terpaksa tanpa paksaan dari orang lain )

Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya.10 Bagaimanapun juga kejahatan dalam arti hukum adalah yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan hanya semata – mata merupakan batasan undang – undang, artinya ada perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh undang – undang tidak menyatakan sebagai kejahatan begitu pula sebaliknya.11

Jenis – jenis Kejahatan dapat digolongkan atas beberapa pengolongan sebagai berikut :12

9 Syahruddin. 2003. Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya. Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. hlm 1

10 Nugroho. 2015. “ Mengapa Orang Melakukan Kejahatan ”. http://nugroho.com. diakses, tanggal

4 Januari 2020

11 Ibid

12 A.S Alam. 1985, Kejahatan dan Sistem Pemidanaan. Ujung Pandang. Fakultas Hukum. UNHAS.

(8)

19 1. Pengolongan kejahatan yang didasarkan pada motif pelaku. Hal ini

dikemukakan menurut pandangan Bonger :

a. Kejahatan ekonomi (economic crimes) misalnya penyelundupan. b. Kejahatan Seksual (sexual crime), misalnya perbuatan zina Pasal 284

KUHP.

c. Kejahatan politik (politic crime), misalnya pemberontakan Partai komunis Indonesia.

d. Kejahatan diri (moscellaneus crimes), misalnya penganiayaan yang motif dendam.

2. Penggolongan kejahatan yang didasarkan kepada berat ringannya suatu ancaman pidana yang dapat dijatuhkan, yaitu :

a. Kejahatan, yakni semua Pasal - Pasal yang tersebut di dalam buku KUHP, seperti pembunuhan, pencurian dan lain-lain.

b. Pelanggaran, yakni semua Pasal - Pasal yang di sebut dalam buku III KUHP, misalnya saksi didepan persidangan memakai jimat pada waktu ia harus memberikan keterangan dengan sumpah, dihukum dengan hukuman kurung selama-lamanya sepuluh hari hari dan denda tujuh ratus lima puluh rupiah.

c. Penggolongan kejahatan untuk kepentingan statistik, sebagai berikut : (1) Kejahatan terhadap orang (crimes against person) misalnya

pembunuhan, penganiayaan dan lain - lain.

(2) Kejahatan terhadap harta benda (crimes against property) misalnya pencurian, perampokan dan lain – lain.

(9)

20 (3) Kejatan terhadap kesusilaan umum (crime against public decency)

misalnya perbuatan cabul.

3. Penggolongan Kejahatan untuk membentuk teori. Penggolongan didasarkan akan adanya kelas - kelas kejahatan dan beberapa menurut proses penyebab kejahatan itu, yaitu cara melakukan kejahatan teknik - teknik dan organisasinya dan timbul kelompok - kelompok yang mempunyai nilai tertentu. Kelas - kelas tersebut sebagai berikut :13

a. Profesional crimes, yaitu suatu kejahatan yang dilakukan sebagai mata pencaharian tetapnya dan mempunyai keahlian tertentu untuk profesi itu, misalnya pemalsuan uang.

b. Organized crimes, yaitu suatu kejahatan yang terorganisir, misalnya pemerasan, perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang.

c. Occasional crimes, yaitu suatu kejahatan karena adanya suatu kesepakatan, misalnya pencurian di rumah secara bersama. 4. Penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh nilai-nilai sosiologi yang

dikemukakan oleh sebagai beikut :

a. Violent personal criems, yaitu kejahatan kekerasan terhadap orang, misalnya pembunuhan (murder), pemerkosaan (rape), dan penganiayaan (assault).

(10)

21 b. Occasio property crimes, yaitu kejahatan harta benda karena kesepakatan, misalnya pencurian kendaraan bermotor, pencurian di toko - toko besar.

c. Occupational crimes, yaitu kejahatan karena kedudukan atau jabatan, misalnya korupsi.

d. Politic crime, yaitu kejahatan politik, misalnya pemberontakan, sabotase, perang gerilya dan lain – lain. e. Public order crime, yaitu kejahatan terhadap ketertiban

umum yang biasa disebut dengan kejahatan tanpa korban, misalnya pemabukan, wanita melacurkan diri.

f. Convensional crime, yaitu kejahatan konvensional, misalnya perampokan (robbery) pencurian kecil - kecilan (larceny) dan lain – lain.

g. Organized crime, yaitu kejahatan yang terorganisir, misalkan perdagangan wanita untuk pelacuran, perdangangan obat bius.

h. Provesional crime, yaitu kejahatan yang dilakukan sebagai profesinya, misalkan pemalsuan uang, pencopet dan lain -lain.

3. Teori Sebab-Sebab Kejahatan

Teori - teori sebab kejahatan menurut A.S Alam dikelompokkan menjadi sebagai berikut:14

(11)

22 a) Teori Differential Association (Sutherland) : teori ini mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat.

b) Teori Anomie : Emile Durkheim, ia menekankan mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral yang menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan kerap kali terjadi konflik norma dalam pergaulan. c) Teori Kontrol Sosial : teori ini merujuk kepada pembahasan

delinkuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis:antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Kontrol sosial dibedakan menjadi dua macam kontrol, yaitu personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Sedangkan sosial kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan

(12)

norma-23 norma atau peraturan-peraturan menjadi lebih efektif. Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga.

d). Teori Labeling (Howard Beckers): teori label berangkat dari anggapan bahwa penyimpangan merupakan pengertian yang relatif. Penyimpangan timbul karena adanya reaksi dari pihak lain yang berupa pelabelan pelaku penyimpangan dan penyimpangan perilaku tertentu.

4. Teori Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan

Dalam faktor penyebab terjadinya kejahatan adalah di sebabkan oleh keadaan masyarakat. Mereka menganggap bahwa kejahatan tersebut ada karena pengaruh atau faktor ekonomi, lingkungan sangat buruk, dalam keadaan yang sangat buruk itu manusia menjadi egois. Seiring dengan hal tersebut diatas, menurut Sutherland dan Cressey bahwa15 kejahatan adalah hasil dari faktor - faktor yang beraneka ragam dan bermacam - macam, dan bahwa faktor - faktor ini untuk selanjutnya tidak disusun menurut ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminal memang tidak ada teori ilmiah.

(13)

24 Kaitan tersebut menurut Sahetapaty16 dalam mencari usaha timbulnya kejahatan memberikan pedoman dengan mengemukakan bahwa untuk menganalisa kejahatan di Indonesia apakah menyangkut kuasanya, dampak atau hubungan antara sipelaku kejahatan dengan sikorban kejahatan harus berpangkal dan berlatar belakang keadaan sosial, budaya dan keadaan masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan yang sangat berpengaruh adalah sebagai berikut :

1. Faktor Kejiwaan

Orang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderungan anti sosial. Selanjutnya masalah emosional erat hubungannya dengan masalah sosial yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Apabila orang tidak mampu mencapai keseimbangan atara emosi dan kehendak masyarakat maka orang itu akan semakin jauh dari kehidupan masyarakat umum. Sehingga semakin lama semakin tertekan karena kehendak sulit untuk dicapai. Sejumlah faktor kejiwaan tertentu memainkan peranan penting yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan tetapi tidak selamanya kejahatan itu dilakukan oleh orang-orang yang menderita sakit jiwa. Itu berarti faktor kejiwaan merupakan penyebab umum dari setiap kejahatan.

2. Faktor Lingkungan

Pembentukan tingkah laku seseorang disamping dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan sehari-hari tempat seseorang tinggal termasuk

(14)

25 pula lingkungan kerja (tempat kerja). Hubungan tersebut, Gerson. W. Bewengan mengemukakan bahwa :17 Lingkungan keluarga merupakan

suatu lembaga yang bertugas menyiapkan kepentingan sehari-hari, lingkungan tersebut memegang peranan utama sebagai permulaan pengalaman untuk menghadapi masyarakat yang lebih luas, selain faktor tersebut juga faktor lingkungan sehari-hari menurut A.S. Alam mengatakan bahwa,18 orang menjadi jahat karena itu lebih bergaul

dalam waktu yang lama dengan penjahat sehingga nilai-nilai yang dimiliki penjahat itu dituruti, dengan nilai-nilai yang baik dimasyarakat luas tidak lagi diindahkan. Menurut A.Lacasannge adalah seorang guru besar dalam ilmu kedokteran di perguruan tinggi Lion, berpendapat bahwa sebab terjadinya atau faktor penyebab terjadinya kejahatan adalah tidak lain dari keadaan sosial disekeliling manusia. Keadaan sosial atau lingkungan adalah suatu pembenih kejahatan.19

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi banyak mempunyai hubungan dengan kejahatan seperti pencurian, penganiayaan, pembunuhan dan lain sebagainya. Namun faktor ini pun tidak menutup kemungkinan mempunyai pengaruh sebagai faktor pengangguran ketidakadilan penyebaran pendapatan dan kekayaan yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini di akui oleh Bonger beliau berpendapat bahwa20 memang benar bahwa kondisi ekonomi

17 Bawengan,G.W. 1977.Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta.Prada Paramita. hlm 90 18 Alam, A.S. 2010. Pengantar Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi Books. hlm 21

19 Bonger, W.A. 1995.Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta. Ghalia. hlm 76 20 Ibid, hlm 32

(15)

26 mempunyai pengaruh terhadap kejahatan. Namun, harus diperhatikan bahwa kondisi ekonomi itu hanya merupakan sebahagian dari faktor-faktor lain juga memberikan peransang dan mendorong kearah kriminalitas. Menurut Bawengan berpendapat bahwa latar belakang ekonomi kiranya lebih terarah pengaruhnya terhadap kejahatan yang menyangkut harta benda.Kesulitan ekonomi utamanya yang kondisi ekonominya buruk, apabila harga tiba-tiba naik jangkauan ekonomi menjadi lemah ditambah lagi jumlah tanggungan keluarga dan sebagainya, yang akan mempengaruhi standar hidup menjadi lemah hal ini akan menyebabkan timbulnya kejahatan sebagai jalan keluar.21 4. Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan di pandang sangat mempengaruhi diri individu baik keadaan jiwa, tingkah laku dan terutama pada tingkat intelegensi kejahatan sering dilambangkan karena pendidikan yang rendah dan kegagalan dalam sekolah juga dikembangkan kepada pendidikan keluarga yang miskin. Menurut Bawengan bahwa: Kejahatan dan kenakalan dapat pula merupakan akibat dari pada kurangnya pendidikan dan kegagalan - kegagalan lembaga pendidikan yang sama hal dengan kegagalan yang disebabkan kondisi lingkungan keluarga. Memang benar bahwa kondisi ekonomi mempunyai pengaruh terhadap kejahatan, namun harus diperhatikan bahwa kondisi ekonomi itu hanya merupakan sebagian dari sejumlah faktor-faktor lain yang juga memberi

(16)

27 perangsangan dorongan kearah kriminalitas. Melihat dari beberapa salah satu faktor yang menimbulkan kejahatan, bahwa salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya kejahatan, yaitu faktor lapangan kerja, menyebabkan timbulnya pengangguran,berhubungan dengan sempitnya lapangan pekerjaan untuk menampung para penganggur, maka sering terjadi gangguan keamanan, terutama tidak terjaminya ketenangan hak milik seseorang. Dengan tingginya pengangguran yang terjadinya timbul berbagai macam kejahatan, misalnya pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.22

B. Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. 23

Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik. Sedangkan dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut dengan “straf baar feit” atau delict. Menurut Roeslan Saleh, perbuatan

pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang

22 Ibid

23 Andi Hamzah. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia.

(17)

28 dikehendaki oleh hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Sedangkan menurut Tresna, peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.24

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :

a. Unsur Subyektif,

Merupakan hal-hal yang melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

1) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 2) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; 3) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan dimana tindak pidana itu dilakukan.

1) Memenuhi rumusan undang-undang

24 Roeslan Saleh. 2003. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta. Aksara Baru.

(18)

29 2) Bersifat melawan hukum

3) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian

Tindak Pidana Pencurian adalah salah satu bentuk tindak pidana yang diatur dalam bab XXII Buku II KUHP ialah tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, yang memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok diatur Pasal 362 KUHP :

“ Barang siapa mengambil suatu benda yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut dengan melawan hukum, karena bersalah melakukan pencurian, dipidana dengan pidana selamalamanya lima tahun atau dengan denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah ”

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri dari unsur subjektif dan unsur-unsur objektif, yang sebagai berikut : a. Unsur Subjektif adalah dengan maksud menguasai benda tersebut secara

melawan hukum.

b. Unsur Objektif adalah sebagai berikut : 1) Barang siapa (hij)

2) Mengambil (wegnemen) 3) Sesuatu benda (eeniggoed)

(19)

30 4) Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain (dat geheel

of gedeeltelijk aan een ander toebehoort)

Agar seseorang dinyatakakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut haus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat pada Pasal Tindak pidana yang terdapat dalam rumusan Pasal 362 KUHP.

Walaupun pembentukan undang-undang tidak menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana pencurian seperti yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa tindak pidana pencurian tersebut harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena undang-undang pidana kita yang berlaku tidak menganal lembaga tindak pidana pencurian yang dilakukan dengan tidak sengaja atau culpoos diefstaf. 25

Seperti yang telah diketahui bahwa, unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah : hij, yang di terjemahkan orang ke dalam bahasa Indonesia dengan kata barang siapa. Kata hij tersebut menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362, maka karena bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau pidana denda setinggi - tingginya Sembilan ratus rupiah. 26 Karena yang dapat terlibat dalam suatu tindak pidana mungkin ada beberapa orang, dan sesuai dengan peranan

25 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang. 2009. Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta.

Sinar Grafika. hlm 2

(20)

31 masing - masing di dalam tindak pidana tersebut, dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP undang - undang telah memberikan suatu sebutan tertentu bagi mereka, yakni:27

a) Pleger bagi mereka die het feit pleegt atau bagi mereka yang melakukan tindak pidana.

b) Doen pleger, bagi mereka die het feit door een ander doet plegen atau bagi mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana.

c) Mededader, bagi mereka die het feit mede pleegt atau bagi mereka yang turut melakukan tindak pidana.

d) Uitloker, bagi mereka die het feit opzettelijk uitlokt atau bagi mereka yang dengan sengaja telah mengerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

e) Medeplithtige, bagi mereka die opzettelijk behulpzaam is bij of lot

het plegen van het misdriff atau bagi mereka yang dengan sengaja

telah memberikan bantuannya pada waktu suatu kejahatan dilakukan oleh orang lain atau agar orang lain dapat melakukan suatu kejahatan.

Bahwa yang dimaksud dengan kata hij atau barangsiapa di dalam rumusan tindak pidana dalam KUHP ialah pelaku atau dader. Unsur objektif kedua dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP ialah wegnemen atau mengambil. Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum, unsur mengambil ini

(21)

32 merupakan het voornaamste elemen atau merupakan unsur terpenting atau unsur yang terutama dalam tindak pidana pencurian.28

Unsur ketiga dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah eenig goed atau suatu benda. Berdasarkan menurut Simons, bahwa:

“Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan (seseorang yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi objek tindak pidana pencurian.”

Dari kata segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan diatas disimpulkan, bahwa yang dapat menjadi objek tindak pidana pencurian itu hanyalah benda - benda yang ada pemiliknya saja.29

Unsur keempat dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP ialah dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaaan orang lain. Mengenai benda-benda kepunyaan orang lain itu menurut Simons, tidaklah perlu bahwa orang lain tersebut harus diketahui secara pasti, melainkan cukup jika pelaku mengetahui bahwa benda - benda yang diambilnya itu bukan kepunyaan pelaku.30

Pada tindak pidana pencurian, sebuah benda kepunyaan seseorang itu dapat berada pada orang lain karena benda tersebut telah diambil oleh orang lain dengan maksud untuk menguasainya secara melawan hukum. Menurut penulis, perbuatan mengambil sebuah benda milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara

28 Van Bemmelen dan Van Hattum. Hand-end Leerbook I. hlm 273

29 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang. 2009. Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta.

Sinar Grafika. hlm 22

(22)

33 melawan hukum itu bukanlah merupakan suatu haknya melainkan merupakan suatu pelangaran hukum.

Kata - kata memiliki secara melawan hukum itu sendiri mempunyai arti lebih karena termasuk dalam pengertiannya antara lain ialah cara untuk dapat memiliki suatu benda. Memiliki barang orang lain secara melawan hukum itu juga dapat terjadi jika penyerahan seperti yang dimaksud itu telah terjadi karena perbuatan-perbuatan yang sifatnya melanggar hukum, misalnya dengan cara menipu, dengan cara memalsukan surat kuasa, dan sebagainya.31

3. Jenis - Jenis Tindak Pidana Pencurian

Menurut Buku KUHP merumuskan beberapa jenis tindak pidana pencurian, antara lain:32

a. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP). Pencurian biasa ini terdapat dalam UU pidana yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana sebanyakbanyak lima tahun atau dengan denda sebanyak-banyak Sembilan ribu rupiah”.

Dari pengertian Pasal 362 KUHP maka unsur dari pencurian ini adalah sebagai berikut :

1) Tindak pidana yang dilakukan adalah mengambil. Mengambil untuk dikuasainya maksudnya untuk penelitian mengambil barang

31 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang. Op.cit. hlm 33

32 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra Adikarya Bakti.

(23)

34 itu dan dalam arti sempit terbatas pada pergerakan tangan dan jari-jarinya, memegang barangnya dan mengalihkannya ke lain tempat. Maka orang itu belum di katakana mencuri akan tetapi ia baru mencoba mencuri.

2) Yang diambil adalah barang, yang dimaksud dengan barang pada definisi ini pada dasarnya adalah setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomis, karena jika tidak ada nilai ekonomisnya, sukar dapat di terima akal bahwa seseorang akan membentuk kehendaknya mengambil sesuatu itu sedang diketahuinya bahwa yang akan diambil itu tiada nilai ekonomisnya. 3) Status barang itu sebagian atau seluruhnya menjadi milik orang

lain. Barang yang di curi itu sebagian atau seluruhnya harus milik orang lain, misalnya dua orang memiliki barang bersama sebuah sepeda itu, dengan maksud untuk dimiliki sendiri. Walaupun sebagian dari barang itu miliknya sendiri, namun ia dapat dituntut juga dengan Pasal ini.

4). Tujuan perbuatan itu adalah dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Maksudnya memiliki ialah: melakukan perbuatan apa saja terhadap barang itu seperti halnya seorang pemilik, apakah itu akan dijual, dirubah bentuknya, diberikan sebagai hadiah kepada orang lain, sematamata tergantung pada kemauannya.

(24)

35 b. Pencurian dengan pemberatan. Dinamakan juga dengan pencurian dikualifikasi dengan ancaman hukuman yang lebih berat jika dibandingkan dengan pencurian biasa, sesuai dengan Pasal 363 KUHP maka bunyinya sebagai berikut :

(1) “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun”.

c. Pencurian ringan. Pencurian ini adalah pencurian dalam bentuk pokok, hanya saja barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh ribu, yang penting diperhatikan pada pencurian ini adalah walaupun harga yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh ribu rupiah namun pencuriannya dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dan ini tidak bisa disebut dengan pencurian ringan. Pencurian ringan dijelaskan dalam Pasal 364 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.

Sesuai dengan jenis perinciannya, maka pada pencurian ringan hukuman penjaranya juga ringan dibanding jenis pencurian lain. d. Pencurian dengan Kekerasan. Sesuai dengan Pasal 365 KUHP maka

bunyinya adalah sebagai berikut :

(1) Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikiuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada orang, dengan

(25)

36

maksud untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan, supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicuri tetap tinggal di tempatnya.

(2) Dipenjara pidana selama-lamanya dua belas tahun dijatuhkan ke-1 : Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau dipekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. Ke-2 : jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orangatau lebih. Ke-3 : jika yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau jabatan palsu. Ke-4 : jika perbuatan itu berakibat ada orang luka berat.

(3) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun jika perbuatan itu berakibat ada orang mati.

(4) Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang luka atau mati dan perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih dan lagi pula disertai salah satu hal yang diterangkan dalam No.1 dan No.3

4. Faktor - Faktor Dan Upaya Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana

Faktor adalah hal keadaan, peristiwa yang ikut menyebabkan, mempengaruhi terjadinya sesuatu atau penyebab terjadinya suatu masalah.33 Ada beberapa faktor

yang menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan. Pertama adalah faktor yang berasal atau terdapat dalam diri si pelaku yang maksudnya bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari dalam diri si pelaku itu sendiri yang didasari oleh faktor keturunan dan kejiwaan (penyakit jiwa).

Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal atau terdapat di luar diri pribadi si pelaku. Maksudnya adalah bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari luar diri si pelaku itu sendiri yang

(26)

37 didasari oleh faktor rumah tangga dan lingkungan. Abdul Syani membagi dua faktor yang menimbulkan terjadinya tindak pidana, yaitu 34:

a. Faktor internal

Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu yang meliputi, yaitu :

1) Sifat khusus dari individu, seperti : daya emosional, rendahnya mental dan anomi.

2) Sifat umum dari individu, seperti : umur, gender, kedudukan didalam masyarakat, pendidikan dan hiburan b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor berpokok pangkal pada lingkungan diluar dari diri manusia (ekstern), terutama hal-hal yang mempunyai hubungan dengan timbulnya kriminalitas. Pengaruh faktor-faktor luar inilah yang menentukan bagi seseorang untuk mengarah kepada perbuatan jahat lain :

1) Faktor ekonomi, dipengaruhi oleh kebutuhan hidup yang tinggi namun keadaan ekonominya rendah.

2) Faktor agama, dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan agama.

3) Faktor bacaan, dipengaruhi oleh bacaan buku yang dibaca.

(27)

38 4) Faktor film, dipengaruhi oleh film/tontonan yang

disaksikan.

5) Faktor lingkungan/pergaulan, dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya.

6) Faktor keluarga, dipengaruhi oleh kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua.

Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, lembaga sosial masyarakat, maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan dalam mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi permasalahan tertentu. Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal, kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau upaya - upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan atau upaya - upaya untuk perlindungan masyarakat.35

Menurut Baharuddin Lopa bahwa upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif).36 Langkah - langkah preventif menurut Baharuddin Lopa meliputi :

35 Barda Nawawi Arif. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta. Kencana. hlm 77

36 Baharuddin Lopa, Moch Yamin. 2001. Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Bandung. hlm

(28)

39 1. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran,

yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.

2. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

3. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.

4. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif.

5. Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum.37

Seperti yang dikemukakan oleh E.H. Sutherland dan Cressey yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu :38

1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan Yakni suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual 2. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali (the first crime) Yakni

satu cara yang ditujukan untk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode preventif (prevention).

37 Ibid. hlm 16

(29)

40 Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.

1. Upaya preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi kejahatan ulang. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis. Barnest dan Teeters menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yakni :39

a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan - dorongan sosial atau tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

b. Memusatkan perhatian kepada individu - individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-ganguan biologis dan psikologis atau kurang

(30)

41 mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas tampak bahwa kejahatan dapat ditanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi harus dilakukan. Sementara dari faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja. Jadi dalam upaya preventif itu adalah melakukan suatu usaha yang positif, serta menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang, selain itu dilakukan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.

2. Upaya Represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

(31)

42 Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana Indonesia, yang didalamnya terdapat lima sub sistem yaitu sub sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional.40 Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut :

a. Perlakuan (treatment).

Dalam penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitik beratkan pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yakni :41

1) Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang-orang yang belum terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan

40 Abdul Syani. 1987. Sosiologi Kriminologi. Makassar. Pustaka Refleksi. hlm 137 41 Ibid. hlm 139

(32)

43 2) Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan

Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititik beratkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul dalam masyarakat seperti sedia kala. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi di kemudian hari. b. Penghukuman (punishment)

Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana.42 Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan, hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin, bukan pembalasan dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan.

(33)

44

C. Pengertian Kendaraan Bermotor

Pengertian kendaraan bermotor di Indonesia menurut Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) adalah :

“Kendaraan Bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel”

Pengertian kendaraan bermotor diatas, bahwa yang dimaksud dengan kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan atau berjalan, kendaraan ini biasanya dipergunakan untuk sebagai alat pengangkutan umum dan barang atau sebagai alat transportasi. Kendaraan bermotor sangat penting digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka pabrik kendaraan bermotor semakin berkembang pesat khususnya setelah perang dunia II, Jepang misalnya, Negara tersebut merupakan salah satu Negara maju di dunia berkat kemajuan ilmu dan tegnologinya termasuk di bidang produsen kendaraan bermotor, selain itu kendaraan bermotor di Indonesia merupakan lambang status sosial dimasyarakat.

Sebagai wujud nyata dari keberhasilan pembangunan, masyarakat di Indonesia semakin hari semakin banyak yang memiliki kendaraan bermotor, akan tetapi dilain pihak pula ada sebagian besar golongan masyarakat yang tidak mampu untuk menikmati hasil kemampuan teknologi ini. Hal inilah yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial didalam masyarakat, perbedaan semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya berbagai macam kejahatan diantaranya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Kejahatan ini adalah termasuk kejahatan terhadap harta benda yang menimbulkan kerugian.

(34)

45

D. Tinjauan Viktimologi Tentang Peran Korban Dalam Terjadinya Kejahatan 1. Viktimologi

Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia suatu kenyataan social.43

Viktimologi merupakan ilmu pengetahuan ilmiah yang mempelajari kedudukan dan peranan korban kejahatan dalam peristiwa kejahatan, dalam hukum dan dalam masyarakat. Pengertian ini tidak hanya aspek hukum tapi juga aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, emosional, rasional, insidental, dan situasional. Dalam viktimologi, kedudukan dan peranan korban tidak hanya pasif dan tidak bersalah, namun juga bisa aktif atau menjadi penyebab suatu kejahatan tertentu.

Viktimologi merupakan pelengkap atau penyempurnaan dari teori-teori etimologi kriminal yang ada, menjelaskan mengenai masalah terjadinya berbagai kejahatan atau penimbulan korban kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional dan bertujuan memberikan dasar pemikiran guna mengurangi dan mencegah penderitaan dan kepedihan di dunia ini. Antara lain: ingin dicegah pelaksanaan politik kriminal yang dapat menimbulkan berbagai kejahatan atau viktimisasi (penimbulan korban) lain lebih lanjut antara yang terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan. Menurut Bambang Waluyo :44

43 Rena Yulia. 2010. Viktimologi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta.

Graha Ilmu. Hlm 43

44 Bambang Waluyo. 2011. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Jakarta.

(35)

46 “Apabila berbicara mengenai korban kejahatan, pada awalnya tentu korban orang perseorangan atau individu. Pandangan begini tidak salah, karena untuk kejahatan yang lazim terjadi di masyarakat memang demikian. Misalnya pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dan sebagainya.”

Menurut Arif Gosita :45

“Objek studi atau ruang lingkup perhatian viktimologi terbagi menjadi 6

(enam), yaitu sebagai berikut :

a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalitas; b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal;

c. Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimasi kriminal atau kriminalitas. Seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan sebagainya;

d. Reaksi terhadap viktimasi kriminal;

e. Respon terhadap suatu viktimasi kriminal, argumentasi kegiatan – kegiatan penyelesaian suatu viktimasi atau viktimologi, usaha - usaha prevensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan;

f. Faktor-faktor viktimogen/kriminogen. Manfaat Viktimologi Menurut Rena Yulia :46

45 Arif Gosita. 2009. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Universitas Trisakti. hlm 329

46 Rena Yulia. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta.

(36)

47 “Manfaat viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal

utama dalam mempelajari manfaat studi korban. Manfaat viktimologi tersebut adalah sebagai berikut :

1) Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukum;

2) Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana;

3) Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Manfaat viktimologi dapat memahami kedudukan korban sebagai dasar sebab musabab terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Dalam usaha mencari kebenaran dan dalam usaha mengerti akan permasalahan kejahatan.

2. Korban Kejahatan

Pengertian korban secara yuridis tercantum dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Yang disebut korban adalah :

a. Setiap orang;

b. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau; c. Kerugian ekonomi;

d. Akibat tindak pidana.

(37)

48 “Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.”

Dalam Peraturan pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, Pasal 1 angka (3) dan Pasal 1 angka (5) mendefinisikan korban sebagai berikut : “Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, penguruangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban dan ahli warisnya.”

Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannyaa sebagai target (sasaran) kejahatan. Menurut Mendelsohn berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:47

a. Yang sama sekali tidak bersalah; b. Yang jadi korban karena kelalaiannya; c. Yang sama salahnya dengan pelaku; d. Yang lebih bersalah dari pelaku;

e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).

Mengacu pada pengertian korban diatas, bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang berupa perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita

(38)

49 akibat dari perbuatan - perbuatan yang menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi diri atau kelompoknya.

3. Peran Korban Dalam Terjadinya Kejahatan

Dalam kajian viktimologi terdapat perspektif dimana korban bukan saja bertanggung jawab dalam kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki keterlibatan dalam terjadinya kejahatan.

Menurut Stephen Schafer, ditinjau dari persfektif tanggung jawab korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut :48

a. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;

b. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama- sama; c. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat

mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;

d. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)

48 Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Denpasar.

(39)

50 merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;

e. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat;

f. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan;

g. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.

Sedangkan ditinjau dari Prespektif keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka Ezzat Abdel Fattah,49 menyebutkan beberapa bentuk, yakni sebagai berikut :

a. Nonparticipating victims adalah mereka yang tidak menyangkal/ menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;

(40)

51 b. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu; c. Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan

atau pemicu kejahatan;

d. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;

e. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri;

Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang,50 sebagai berikut :

a. Primary victimization, yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok); b. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok,

misalnya badan hukum;

c. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;

d. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;

(41)

52 e. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi. Berdasarkan hal di atas maka menunjukkan bahwa dalam suatu kejahatan terdapat keterlibatan dan tanggung jawab korban sendiri sehingga terjadi kejahatan. Masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peran korban dalam timbulnya suatu kejahatan.

Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah “pengamatan meluas terpadu”. Segala sesuatu harus diamati secara meluas terpadu

(makro-integral) di samping diamati secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mengenai sesuatu, terutama mengenai relevansi sesuatu.

Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan, mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial , justru harus pula dianggap sebagai pihak yang mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk turut memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

(42)

53 kejahatan. Hentig,51 seperti yang dikutip Bambang Waluyo beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah :

a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi; b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan lebih besar;

c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara si pelaku dan si korban;

d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban.

51 Bambang Waluyo. 2011. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah pemberian pre test maka dilakukan penyuluhan dalam bentuk materi presentasi yang membahas tentang kasus HIV/AIDS di Bandung Barat, penyebaran HIV/AIDS di Bandung

“Penjurusan diperkenalkan sebagai upaya untuk lebih mengarahkan siswa berdasarkan minat dan kemampuan akademiknya” (Bimo Walgito, 2010: 45). Di SMA, siswa-siswa yang

Keluarga Tn. D menyatakan apabila ada anggota keluarga yang sakit biasanya hanya dibelikan obat diwarung terlebih dahulu, jika tidak ada perubahan kondisi dari

Anammox (anaerobic ammonia oxidation) adalah suatu proses baru dimana nitrit digunakan sebagai aseptor electron dalam konversi ammonium menjadi gas nitrogen.. Proses

Alasan penulis mengambil tema kekerasan dalam televisi karena, penulis ingin menyajikan kembali tayangan televisi dengan sudut pandang berbeda, yaitu dalam bentuk seni patung

Berdasarkan dari hasil analisis dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, ekosistem tumbuhan bawah di blok puyer pada plot A, B, dan C dari Bulan Desember

Berdasarkan dari studi kasus dalam penelitian yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan MBS atau pengimplementasiannya pada

Dengan adanya program – program yang dilakukan Museum Sonobudoyo Yogyakarta seperti pada Tabel 1.6 merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam kegiatan pemasaran