HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DALAM KELOMPOK SEBAYA
DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA DI SMA KARTIKA 1-5 PADANG
Isna Asyri Syahrina Ruri Handayani
Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan antara konformitas dalam kelompok sebaya dengan perilaku agresif pada remaja. Pengambilan data dilakukan pada remaja di SMA Kartika 1-5 Padang kelas XI dan XII. Populasi penelitan berjumlah 767, dan jumlah sampel sebanyak 256 dengan menggunakan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah korelasional.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala konformitas dan skala perilaku agresif. Skala konformitas diperoleh aitem valid sebanyak 52 dari 100 aitem dan skala perilaku agresif diperoleh aitem valid sebanyak 50 dari 100 aitem. Hasil reliabilitas pada skala konformitas adalah sebesar 0,8708 dan skala perilaku agresif sebesar 0,8361. Hasil korelasi antara konformitas dan perilaku agresif sebesar 0.353. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sebanyak 32 (12.5%) orang memiliki tingkat konformitas yang tinggi, 224 (87.5%) orang memiliki tingkat konformitas yang sedang, dan 0 (0%) orang tingkat konformitas rendah. Sedangkan untuk perilaku agresif 28 (10.94%) orang memiliki tingkat perilaku agresif yang tinggi, 228 (89.06%) orang memiliki perilaku agresif yang sedang, dan 0 (0%) orang memiliki perilaku agresif yang rendah. Sumbangan efektif (KP) pada penelitian ini sebesar 13%.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas dalam kelompok sebaya maka semakin tinggi juga perilaku agresif pada remaja, sebaliknya semakin rendah tingkat konformitas dalam kelompok sebaya maka semakin rendah juga perilaku agresif pada remaja.
Kata Kunci : Konformitas, Kelompok sebaya, Perilaku agresif, Remaja
Salah satu fungsi utama kelompok teman sebaya menurut Santrock (2003) adalah untuk menyediakan berbagai informasi dunia diluar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.
Peran teman sebaya mempunyai arti yang sangat besar bagi remaja karena remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan bergabung dengan teman sebayanya. Remaja cenderung tidak ingin berbeda dengan teman-teman atau kelompoknya sehingga remaja akan bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompoknya. Remaja yang menjadi anggota kelompok ini akan cenderung melakukan konformitas agar sesuai dengan norma yang ada
Menurut Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Sedangkan dalam Baron dan Byrne (2003), mengatakan konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Biasanya remaja yang cenderung konform terhadap kelompok sebayanya akan berperilaku sesuai dengan yang menjadi standar yang ada dalam kelompok sebayanya. Menurut Santrock (2003), Konformitas terhadap tekanan kelompok sebaya dapat menjadi positif yang melibatkan aktivitas sosial yang baik dan merupakan keinginan untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti teman-temannya dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan. Namun demikian, konformitas menurut Santrock
positif, remaja menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, coret mencoret, dan mempermainkan orang tua dan guru merupakan akibat dari konformitas yang negatif.
Belakangan ini, media masa sering memuat tentang kasus-kasus pelanggaran dan kekerasan yang terjadi dikalangan remaja. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal seperti mencaci maki maupun kekerasan fisik seperti, memukul, meninju dan sebagainya (www.e-psikologi.com, 18 April 2008). Pada kalangan remaja aksi kekerasan ini biasa dikenal sebagai tawuran pelajar, di kota padang saja selama bulan Maret 2008 telah terjadi empat kali kasus perkelahian pelajar (www.padangekspres.co.id, 18 April 2008). Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresif dari seorang individu atau kelompok (www.e-psikologi.com, 18 April 2008).
Menurut Sears, dkk ( 2006), mendefenisikan agresi sebagai tindakan yang melukai orang lain dan dimaksudkan untuk itu. Faktor penentu perilaku agresif yang utama adalah rasa marah dan proses belajar masa lampau. Proses belajar ini bisa melalui langsung terhadap respon agresif atau melalu imitasi.
Konformitas
Konformitas dapat terjadi dalam beberapa
bentuk dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan
remaja. Menurut Santrock (2003), konformitas
muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah
laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata
maupun yang dibayangkan oleh mereka.
Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan
bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh
sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah
laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang
ada. Tekanan untuk melakukan konformitas berakar
dari kenyataan bahwa di berbagai konteks ada
aturan-aturan eksplisit ataupun yang tak terucap
yang mengindikasikan bagaimana kita seharusnya
atau sebaiknya bertingkah laku. Aturan-aturan ini
dikenal sebagai norma sosial dan aturan-aturan ini
seringkali menimbulkan efek yang kuat pada
tingkah laku.
Menurut Chaplin (2002), conformity
(konformitas) adalah kecenderungan untuk
memperbolehkan satu tingkah laku seseorang
dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah
berlaku. Lebih lanjut, konformitas merupakan ciri
pembawaan kepribadian yang cenderung
membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk
menguasai diri.
Menurut Baron dan Byrne (2003) ada 3
faktor yang mempengaruhi konformitas, yaitu:
1. Kohesivitas dan Konformitas
Kohesivitas dapat didefinisikan sebagai derajat
ketertarikan yang dirasakan oleh individu
terhadap suatu kelompok yang berpengaruh.
Ketika Kohesivitas tinggi, ketika individu suka
dan mengagumi suatu kelompok orang-orang
tertentu, tekanan untuk melakukan konformitas
bertambah besar. Lagi pula individu tahu bahwa
salah satu cara untuk diterima oleh orang-orang
tersebut adalah dengan menjadi seperti mereka
dalam berbagai hal. Sebaliknya, ketika
kohesivitas rendah, tekanan terhadap
mengubah tingkah lakunya untuk menjadi sama
dengan orang-orang yang tidak benar-benar
disukai atau kagumi. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa kohesivitas
memunculkan efek yang kuat terhadap
konformitas, sehingga hal ini jelas-jelas
merupakan suatu penentu yang penting
mengenai sejauh mana kita akan menuruti
bentuk tekanan sosial ini.
2. Konformitas dan Ukuran kelompok
Studi-studi terkini malah menemukan bahwa
konformitas cendrung meningkat seiring dengan
meningkatnya ukuran kelompok hingga delapan
orang anggota tambahan atau lebih. Jadi tampak
bahwa semakin besar kelompok tersebut, maka
semakin besar pula kecendrungan seseorang
untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti
kita akan menerapkan tingkah laku yang
berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
3. Norma sosial
Menurut Hurlock (2002), konformitas
terhadap standar budaya kawula muda mempunyai
dua efek serius dan mendasar, yaitu:
1. Konformitas menyebabkan alienasi
(keterasingan) dan protes terhadap budaya
dewasa.
2. Konformitas merupakan persiapan yang buruk
untuk memasuki masyarakat biasa yang ditandai
dengan nilai-nilai dewasa. Para remaja yang
harus mengikuti standar budaya kawula muda
bila ingin diterima oleh kelompok sebayanya
harus mempelajari standar perilaku dan
nilai-nilai yang nantinya harus diubah sebelum
mereka diterima oleh budaya dewasa.
METODE
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas I sampai kelas 3 SLTP Negeri 7 Semarang, karena siswa-siswi kelas 1 sampai kelas 3 SLTP termasuk dalam kelompok usia remaja awal. Populasi dalam penelitian ini berbentuk kelas-kelas yang terdiri dari 18 kelas.
Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Cluster Random Sampling.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varian satu jalur, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan dua populasi.
HASIL
Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan kecenderungan fobia sosial antara remaja awal yang mempunyai tipe kepribadian ekstrovert dengan remaja awal yang mempunyai tipe kepribadian introvert. Hal ini ditunjukkan oleh F sebesar 15, 132 dan nilai p<0,01. Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang penulis ajukan.
Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian ekstrovert (A1) sebesar 96,512 dan rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian introvert (A2) sebesar 106,200. Hal ini berarti remaja awal dengan tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan fobia sosial yang lebih tinggi dibandingkan remaja awal dengan tipe kepribadian ekstrovert.
Sumbangan efektif atau peranan tipe kepribadian terhadap kecenderungan fobia sosial ditunjukkan oleh R2 sebesar 0,166. Dengan
kecenderungan fobia sosial sebesar 16,6 %, sehingga masih terdapat 83,4 % faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia sosial di luar variabel tipe kepribadian seperti jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, gaya hidup dan status sosial ekonomi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada perbedaan yang sangat signifikan kecenderungan fobia sosial antara remaja awal bertipe kepribadian ekstrovert dengan remaja awal bertipe kepribadian introvert, ditunjukkan dengan besarnya F = 15,132 dan p< 0,0 1.
2. Remaja awal bertipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan fobia sosial yang lebih tinggi daripada remaja awal bertipe kepribadian ekstrovert. Hal tersebut ditunjukkan dengan rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian introvert sebesar 106,200 yang lebih besar dibanding rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian ekstrovert sebesar 96,512.
3. Sumbangan efektif variabel tipe kepribadian terhadap kecenderungan fobia sosial sebesar 16,6 % yang ditunjukan oleh R2 sebesar 1,166 sehingga masih terdapat 83,4 % faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia social di luar variabel
tipe kepribadian.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mengajukan saran sebagai berikut :
1. Bagi siswa, sebagai subjek penelitian yang kebetulan mempunvai tipe kepribadian introvert dan mempunyai kecenderungan fobia sosial yang tinggi maka, perlu secara khusus ditangani oleh para orang tua, guru dan psikolog. Cara penanganannya antara lain melalui kelompok belajar atau kegiatan keterampilan dan olah raga sehingga dengan kebersamaan, rasa kepercavaan akan tercipta hubungan komunikasi dengan orang lain. Akhirnya akan terjadi keterbukaan diri yang mengarah pada pemahaman diri yang lebih baik. Dengan demikian akan menurunkan tingkat introversinya dan kecenderungan fobia sosial akan berkurang yang pada akhirnya akan relatif lebih sehat mentalnya. Sedangkan bagi subjek yang bertipe kepribadian ekstrovert, dipertahankan dan
dipupuk terus sifat sosiabilitasnya sehingga tidak akan ada kecenderungan fobia sosial dalam dirinya.
2. Bagi para pendidik di tempat penelitian, agar senantiasa membimbing dan mengarahkan siswa-siswinya secara tepat dan jeli dengan kepribadian masing-masing stswa-siswinya. Dan seperti dijelaskan di atas bahwa pihak sekolah harus mengadakan kegiatan-kegiatan baik intra maupun ekstrakurikuler yang variatif dan mengandung unsur-unsur sosiabilitas serta menarik yang disesuaikan dengan trend remaja tapi tetap bersifat edukatif agar siswa-stswi khususnya yang bertipe kepribadian introvert munpu melatih dirinva bersosialisasi sehingga mengurangi kecenderungan fobia sosial.
3. Bagi para pembaca pada umumnya, bahwa bukan berarti setiap individu dengan tipe kepribadian introvert pasti akan mengalami fobia sosial tapi hendaknya mampu mengontrol diri dan mawas diri agar terhindar dari resiko mengalami kecenderungan fobia sosial. Dan apabila pembaca atau orang-orang sekitar mengalami kecenderungan fobia sosial sebaiknya segera intropeksi diri dan berusaha untuk mengatasinya, selain itu jangan segan-segan untuk konsultasi dengan para ahli.
4. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema yang sama diharapkan dapat menambah atau memperhatikan faktor-faktor atau variabel-variabel lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia sosial selain tipe kepribadian seperti jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, gaga hidup dan status sosial ekonomi. Selain itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih luas dan mencapai proporsi yang seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, IR. 1994, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan
i1mu Kesejahteraan Sosial. Dasar-Dasar Pemikiran. Jakarta : PT Raja Grafindo
Perkasa.
Carlson, N. 1998. Discovery Psychology. Massachussetts. : Allyn and Bacon.
Coleman, JC, Butcher, J Nand Carson, RC. 1980. Abnormal Psychology and Modern
life, (6`h Edition). Illinois : Scott, Foreman
and Company.
Djarwanto, 1990, Pokok-pokok Metode Riset dan
Bimbingan Teknik Penulisan Skripsi.
Yogyakarta: Liberty.
Eysenck, HD and Wilson, G. 1982, Know Your
Own Personality. Great Britain : Hazell
Watson & Viney Ltd, Aylesbury, Bucks.
Gunarsa, SD 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta Gunung Mulia.
Hidayat, T. 1977 .Psikologi Remaja. Surakarta HP UNS.
Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan
Suatu Pendekatan Sepanjang
Rent ang Kehi dup an. Edi si kelima.
(Terjemahan oleh Istiwidiyanti). Jakarta : Erlangga.
Ibrahim, AS, 2003. Fobia Sosial Pada K e l o m p o k e k s e k u t i f d i Jakarta.
Tempo interaktifcom
Kaplan, HI dan Sadock, BJ. 1997. Sinopsis
Psikiatri. Ilmu
P e n g e t a h u a n P e r i l a k u Psikiatri Klinis. Edisi kedua. J i l i d 2 ( A l i h
b a h a s a o i e h Widjaya Kusuma). Jakarta Binarupa Aksara.
---. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. (Alih bahasa.: WM. Roan). Jakarta : Widya Medika.
Lewis, D. 1990, Taklukan Fobia Anda.
( Terjemahan oleh Kuniudawati)- Jakarta : Arcan.
Linda, D. 1993. Tingkah Laku Abnormal Suatu
Pendekatan Perkembangan. Semarang :
Fakultas Psikologi Universitas Soegijopranata.
Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional. Marks, I.M. 1987. Cemas
dan Fobia. Jakarta : PT Dian Rakyat.
Monks, FJ, Knoers, AMP dan Haditono, SR.
1994, Psikologi Perkembangan Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Morgan, HG dan Morgan, MH. 1991. Segi
Praktis Psikiatris. Edisi kedua (Alih
bahasa oleh Rudy Hartanto dan I Made Wiguna S). Jakarta : Binarupa Aksara.
Prawoto, WA dan Subardja, FL. 1990. Penelaahan tentang Perasaan dan Penghayatan terhadap L i n g k u n ga n d a r i 2 5 A n a k Remaja Bermasalah. jurnal Psikologi Indonesia. No-3. 29 -- 5ti. Jakarta : ISPSI Pusat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Suadi r man. 198 4. Psikologi dalam.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Supratiknya, A. 1995, Mengenal Perilaku Abnormal.
Yogyakarta : Kanisius.
Suryabrata, S 2000. Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tambunan, NR. 1996. Remaja Mandiri 1. Jakarta : Arcan.
Team Pelayanan Medik, 1983, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. (Edisi 111). Yogyakarta
: RSJ Lalipwa.
Tim Kompas. 2000. Fobia Sosial tak Mudah Dipahami. Kompas : 19 Maret 2000, Halaman 16. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.
Wilson, TG. 1996. Abnormal Psychology
Integrating Perspective. N ew York