• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PELAKSANAAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PELAKSANAAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

63

Seger Harianto

MTs Ma’arif NU Waropen Papua Email : seger@harianto@gmail.com

Abstrak : Manajemen berbasis sekolah merupakan usaha untuk menumbuhkan pendidikan dari bawah berakar dari masyarakat, atas inisiatif masyarakat, dikelola masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Dengan ini memberikan kewenangan sekolah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh lembaga yang bersangkutan. Dari studi langsung di lapangan, ada tiga faktor penyebab mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, antara lain bahwa kebijakan pendidikan kurang memperhatikan proses pendidikan, penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik, dan peran serta masyarakat terutama orang tua hanya terbatas pada dukungan dana. Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah. Secara filosofis sekolah yang lebih memahami bagaimana situasi atau kondisi sekolah. Tujuan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan yang meliputi manajemen sekolah, pembelajaran aktif kreatif efektif, dan menyenangkan (PAKEM) dan peran serta masyarakat (PSM). Dalam penelitian digambarkan implementasi manajemen berbasis sekolah di MTs Ma’arif Waropen Papua, termasuk faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Fokus penelitian MBS di MTs Ma’arif Waropen Papua adalah untuk mengetahui implementasi MBS dari pihak manajemen sekolah dalam hal ini kenerja kepala sekolah, kinerja guru dan peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai penelitian deskriftif kualitatif, data utama adalah kata-kata dan tindakan dari kepala sekolah, Wakil kepala sekolah, guru, pengurus komite sekolah, serta tata usaha. Penggalian data melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Hasilnya menunjukkan, Pertama, bahwa pelaksanaan MBS dilihat dari kinerja kepala sekolah berbagai tugas dan fungsinya seperti sebagai manajer, administrator, supervisor, pemimpin, innovator, dan motivator dapat berjalan cukup baik. Kedua, bahwa kinerja guru dinilai melalui aspek-aspek seperti kelengkapan program mengajar, penyajian materi pelajaran, evaluasi dan analisis hasil belajar murid serta program perbaikan dan pengayaan dan Ketiga, bahwa partisipasi masyarakat belum sepenuhnya menunjukkan kerjasama yang baik dengan pihak pengelola sekolah.

Kata Kunci : implementasi, kebijakan, Managemen Berbasis Sekolah

Model manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah model pengelolaan pendidikan yang mencoba diterapkan oleh sekolah- sekolah negeri maupun swasta, tidak terkecuali dengan MTs Ma’arif Waropen. Berdasarkan observasi awal implementasi konsep MBS yang demokratis, berciri pada pemberian wewenang luas pada sekolah untuk mengatur pendidikan dan pengajaran sebagai aspirasi dari masyarakat kepada sekolah. Ini merupakan inti dari konsep MBS. Bahwa MTs Ma’arif Waropen adalah salah satu lembaga yang mencoba memelopori dan menerapkan konsep MBS.

MTs Ma’arif Waropen sudah berdiri cukup lama. Sebuah lembaga yang memiliki banyak prestasi yang sangat membanggakan baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Walaupun lembaga pendidikan di bawah

naungan yayasan ma’arif, namun kebijakan yang dilakukan tentu saja didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dalam bidang administrasi, proses pendidikan, proses pengelolaan dan lain sebagainya. Karena orientasi kurikulum sekarang mengacu pada peningkatan kualitas manajemen yang berbasis sekolah, maka penekanan pengembangan yang semula berorientasi pada kuantitas berubah menjadi kualitas, mandiri, dan disentralisasi. Namun realitasnya bahwa belum sepenuhnya sekolah ini mampu melaksanakan school based

management atau MBS yang diharapkan

dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dari uraian di atas ada beberapa hal yang mendasari mengapa penelitian ini mengambil lokasi di MTs Ma’arif Waropen, yaitu:

(2)

1. Belum ada penelitian terdahulu membahas tentang bagaimana implementasi MBS di MTs Ma’arif Waropen.

2. Tingkat kelulusan siswa pada setiap ujian nasional mengalami peningkatan.

3. Berdasarkan observasi awal, tenaga pengajar di sekolah tersebut telah menjalankan aktivitas mengajar dengan konsep PAIKEM.

4. Diduga besarnya jumlah siswa pada sekolah tersebut mengindikasikan bahwa minat, partisipasi, dan apresiasi masyarakat terhadap sekolah ini sangatlah besar. 5. Belum diketahui ketersediaan dan kesiapan

input-input pendidikan yang mendukung keterlaksanaan program manajemen peningkatan berbasis sekolah diduga belum memadai.

6. Belum diketahui keterbukaan manajemen sekolah, segi dana maupun program belum sesuai dengan yang dikehendaki.

7. Diduga iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, komunitas sekolah dengan masyarakat belum terlaksana dengan baik.

8. Belum terdeteksi efektifitas partisipasi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam penggalian dana sekolah.

9. Diduga belum maskimal akuntabitas sekolah kepada stakeholders.

10. Diduga belum memadai upaya untuk memecahkan berbagai faktor-faktor penghambat dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah di MTs Ma’arif Waropen

Desentralisasi Pendidikan

Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai syarat lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004). Dipertegas pula “Bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan

kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998:117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem tersebut adalah kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan”.

Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk

School Base community, diyakini dapat

meningkatkan efisiensi, relevansi. pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yang memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.

Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola secara baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas.

Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek

(3)

yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited).

Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991:47) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Selanjutnya Gaffar (1989 : 59), mengemukakan bahwa : “Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistemik dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang.

Substansi manajemen pendidikan lebih memusatkan diri pada substansi yang berkaitan dengan proses pendidikan, yaitu manajemen pengajaran, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat dan layanan-layanan khusus.

Mugatroyd dan Morgan (dalam Mantja, 2002 : 131) mengemukakan empat gagasan dasar yang sangat sentral bagi keefektifan manajemen persekolahan. Pertama, adalah bahwa lembaga pendidikan merupakan mata rantai yang menghubungkan pelanggan

(customer client) dan pemasok (supplier),

Kedua, yang merupakan gagasan kunci adalah semua hubungan antara pelanggan dan pemasok ditengahi oleh proses. Ketiga, orang yang paling melakukan perbaikan adalah mereka yang dekat dengan pelanggan dalam

proses tersebut. Keempat, bahwa untuk menjamin terdapatnya dukungan perbaikan performansi kualitas terhadap sekolah dipersyaratkan kepemimpinan yang bervisi, yang mendukung dan meningkatkan kinerja terhadap mereka yang dekat (familiar) dengan klien.

Konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)

Istilah Manajemen berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari .School Based

Management.. Istilah ini pertama kali muncul

di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli:

Menurut E. Mulyasa (2004:24) : .MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Menurut Nanang Fatah (2006:32) MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder.

Menurut Bedjo sudjanto (2005:37) MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua

(4)

warga sekolah yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan. Hal yang penting dalam implementasi /pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri.

Kinerja Kepala Sekolah

Peran kepala sekolah sebagai administrator pendidik bertolak dari hakikat administrasi pendidikan, yakni mendayagunakan berbagai sumber (manusia sarana dan prasarana serta berbagai media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif dan efisien guna menunjang pencapaian pendidikan. Secara kongkret pelaksanaan tugas dan fungsi administrator dalam administrasi pendidikan mencakup lingkup substansi administrasi pendidikan

(sekolah) (1) kurikulum atau pengajaran, (2) kesiswaan, (3) perlengkapan, (4)

keuangan., (5) kepegawaian dan (6) hubungan sekolah dan masyarakat (IKIP Malang, 1995). Sehubungan dengan itu tugas-tugas kepala sekolah sebagai administrator, (Burton dalam Mantja 2002) menyarankan bahwa:“Beberapa kompetensi dasar yang perlu dikuasai oleh Kepala Sekolah yakn (1) memahami kurikulum sekolah, (2) membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam kelas, (3) mengadakan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya untuk keefektifan pelaksanaan pengajaran di sekolah khususnya para orang tua murid, (4) mampu menciptakan hubungan baik guru dengan murid di sekolahnya,(5) mengelolah sarana dan fasilitas sekolah; dan (6) mampu melaksanakan program kerja pengajaran”. Kinerja Guru Dalam Proses Belajar Mengajar

Pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan profesional kesejawatan yang baik, harmonis, dan objektif. Secara sistematis pengembangan kejawatan memerlukan :

a. Wadah/kelembagaan, untuk pengembang an kesejawatan adalah kelompok yang

merupakan organ yang bersifat non-struktural dan lebih bersifat formal.

b. Bentuk kegiatan kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan dimana antara anggota sejawat biasa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada umumnya.

c. Mekanisme, kegiatan kelompok dilaksana kan secara rutin dan berkesinambungan. d. Standar profesional guru, pada dasarnya

kelompok yang diuraikan di atas merupakan wadah aktivitas profesional untuk meningkatkan kemampuan profesional guru.

Partisipasi Masyarakat

Sekolah merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah. Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu. Metodologi Penelitian

Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan analisis implementasi pelaksanaan manajemen berbasis Sekolah dalam proses belajar mengajar pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Objek yang diteliti adalah kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan partisipasi masyarakat terhadap proses belajar mengajar, sedangkan subjeknya adalah kepala sekolah, guru dan masyarakat.

Penelitian ini dilaksanakan pada MTs Ma’arif Waropen Papua dengan pertimbangan bahwa Sekolah Menengah Pertama telah memiliki kewenangan dan tanggung jawab pada tahap awal pelaksanaan manajemen berbasis sekolah.

(5)

Berdasarkan variabel yang diteliti dan dianalisis, pelaksanaan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah.

Pada variabel manajemen berbasis sekolah akan diteliti tentang bagaimana kinerja kepala sekolah dengan berbagai sub variabelnya, kinerja guru dengan sub variabelnya dan kinerja partisipasi masyarakat dengan sub variabelnya.

2. Faktor pendukung dan penghambat dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah di MTs Ma’arif Waropen Papua akan dijabarkan secara mendalam dalam penelitian ini.

Instrumen Penelitian

Pengukuran variabel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa daftar pertanyaan yang meliputi: (1) instrumen kinerja kepala sekolah, (2) instrumen kinerja guru, (3) instrumen partisipasi masyarakat.

Populasi dan Sampel.

Populasi penelitian ini adalah seluruh komponen yang terdapat pada MTs Ma’arif Waropen Papua Kabupaten Umum yang terlibat langsung dengan aktivitas pembelajaran berjumlah 40 guru.

Pemilihan sampel dilakukan secara bertujuan (purposive) dengan hanya memilih sebahagian orang sebagai sampel. Sumber data penelitian ini terdiri dari kepala sekolah, guru, anggota komite sekolah sebagai perwakilan orang tua/wali yang masing-masing terdapat pada MTs Ma’arif Waropen Papua Kabupaten Umum. Responden diambil dari kepala sekolah, 24 guru, 24 anggota komite yang mewakili orang tua wali atau seluruhnya 49 Dengan perincian sebagai berikut:

a. Kepala sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan mengenai usaha-usahanya dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di MTs Ma’arif Waropen Papua.

b. Wakil kepala sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan tentang

upaya-upaya yang dilakukan dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di MTs Ma’arif Waropen Papua

c. Guru-guru, yaitu untuk memperoleh keterangan sebagai pelaksana langsung dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di MTs Ma’arif Waropen Papua.

d. Wakasek kurikulum dan pengajaran dan Wakasek Kesiswaan

e. Kapala Tata Usaha

f. Orang tua siswa dalam hal ini yang diwakili Komite sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan sejauh mana perannya sebagai wakil dari orang tua siswa dan patner sekolah dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah di MTs Ma’arif Waropen Papua. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisa faktor pendukung dan penghambat maka digunakan metode analisis SWOT yaitu Strength (kekuatan), weaknes (kelemahan), opportunity (peluang), treath (ancaman). Penulis menggunakan instrumen pengumpulan data yang berupa pertanyaan kepada responden, penulis juga melakukan pencatatan data-data yang ada di MTs Ma’arif Waropen Papua.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Implementasi MBS

1. Faktor Pendukung

Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut :

a. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan.

b. Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah

c. Gotong Royong Dalam Kekeluargaan d. Potensi Kepala Sekolah.

e. Organisasi Formal dan Optimal f. Organisasi Profesi

(6)

g. Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan h. Input Manajemen

Pada buku pedoman implementasi manajemen berbasis Sekolah yang diterbitkan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Jakarta, 2002, bahwa faktor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari a. Kepemimpinan dan manajemen Sekolah

yang baik.

b. Keadaan social ekonomi dan penghayatan masyarakat terhadap pendidikan.

c. Dukungan pemerintah.

d. Profesionalisme, faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan hasil kerja Sekolah

2. Faktor Penghambat

Beberapa hambatan yang dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS) pada MTs Ma’arif NU Waropen Papua yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut:

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat.

Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban.

2. Tidak Efisien.

Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok.

Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis. 4. Memerlukan Pelatihan.

Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru.

Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan faktor pendukung dan penghambat yang dikemukan diatas maka ada beberapa Strategi yang dapat diterapkan diterapkan di MTs Ma’arif Waropen Papua untuk meningkatakan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS yaitu :

1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.

3. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah.

KESIMPULAN

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada MTs Ma’arif Waropen Papua Kabupaten Umum diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Kinerja kepala sekolah terhadap berbagai tugas dan fungsi kepala sekolah seperti kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator supervisor, leader, inovator dan motivator berjalan maksimal.

2. Kinerja guru dilihat dari empat aspek yang dinilai yakni kelengkapan program mengajar guru, penyajian materi pelajaran evaluasi dan analisis hasil belajar murid serta program perbaikan dan pengayaan.

(7)

3. Partisipasi masyarakat terhadap pihak pengelola sekolah belum sepenuhnya menunjukkan kerjasama yang baik diakibatkan oleh rendahnya kemampuan akademik masyarakat berorganisasi (komite sekolah) sehingga memiliki keterbatasan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik seperti, perumusan misi, visi dalam

perencanaan dan mekanisme pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah. 4. Adapun faktor pendukung diterapkannya

manajemen berbasis sekolah di MTs Ma’arif NU Waropen Papua antara lain: adanya kerjasama antara kepala sekolah dengan semua pihak-pihak yang ada di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1987. Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Media Sarana Press Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas

Abustam, Idrus, Djaali dan Rahman Asfah, M. 1996. Pedoman Praktis Penelitian dan Penulisan

Karya Tulis Ilmiah. Ujung Pandang Lembaga Penelitian IKP Ujung Pandang.

Arikunto, Suharsimi, 2002 Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, Cet ke-12.

Bastian, Reza Aulia. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama. Berkepanjangan, ICW, 2004

Burhanuddin, 1998. Desentralisasi Manajemen Pendidikan. Malang : UNM

Danuredjo. 1977. Otonomi Indonesia Ditinjau dalam Rangka Kedaulatan. Jakarta : Penerbit Laras Depdiknas, 2001 MPMBS, Konsep & Pelaksanaan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Depdiknas. 2001. Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta Depdiknas.

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press

Fatah, Nanang, 2003 Konsep Management Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung Pustaka Bani Quraisy.

Fattah, Nanang, 2000, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Fiske, Edward. B. 1998. Desentralisasi Pengajaran. (Terjemahan Ahli Bahasa Basillius

Bengoteku). Jakarta: Grasindo.

Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Jalal, Fasli, Supriadi dan Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta : Adi Cita.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam segi waktu eksekusi dapat disimpulkan bahwa pertama, penggunaan blockfull pada HDFS memberikan waktu eksekusi yang lebih baik, kedua, tidak ada

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN HELLISON UNTUK MENGEMBANGKAN NILAI TANGGUNG JAWAB DALAM PEMBELAJARAN SENAM.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Menurut Sutedi , (2011:220) perangkat tes dikatakan memiliki reliabilitas jika dapat mengukur secara ajeg, artinya meskipun berkali-kali tes tersebut digunakan pada sampel

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengemudi sepeda motor

Kesahihan hadits di atas dapat memberi keyakinan dan penerangan bahwa barang siapa yang meniru atau menjadikan orang-orang jahiliah sama ada dari kalangan Yahudi, Nasrani atau

Implementasi Pendidikan Agama Islam untuk membina akhlak siswa di Madrasah.. Tarbiatul Athfal Nangka hulu melalui pengajian kitab

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah persepsi nilai, emotional branding , dan kepercayaan merek berpengaruh kepada loyalitas pengguna sepeda

First of all, the teaching program encouraged students to be able in comprehending reading text and producing a text which related