• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penambangan Timah Terhadap Keadilan Sosial dan Kerusakan Lingkungan 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Penambangan Timah Terhadap Keadilan Sosial dan Kerusakan Lingkungan 1"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak  Penambangan  Timah  Terhadap    Keadilan  Sosial  dan  

Kerusakan  Lingkungan

1

 

 

Ikhsan  Fuady2   e-­‐mail:  sandyca5@yahoo.co.id   Retno  Dewi2   dewi_yuzirwan@yahoo.co.id  

 

I. Pendahuluan Latarbelakang

Pergeseran lebijakan tatakelola pertambangan timah telah menjadi potensi pertumbuhan ekonomi pada daerah bangka. Akan tetapi pada sisi lain pergeseran tatakelola dan perizinan tambang juga memiliki dampak yang sangat kompleks bagi sosial ekomoni serta lingkungannya.

UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendesentralisasikan urusan Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral ke Daerah, namun semangat desentralisasi sektor pertambangan tersebut tidak sinkron dengan pengaturan mengenai pertambangan karena UU yang digunakan masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak reformasi bergulir, sektor pertambangan tidak mendapat panduan regulasi yang jelas. Baru pada tahun 2009 keluar UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, Mineral dan Batubara. Sementara Peraturan Pemerintah (PP) yang diperintahkan pembentukannya oleh UU No.4/2009 baru keluar pada Tahun 2010 yakni PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, dan PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kekosongan pengaturan terkait pertambangan dari awal reformasi tahun 1998 sampai keluarnya UU tentang pertambangan pada tahun 2009 telah dimanfaatkan daerah penghasil tambang untuk memberikan izin usaha pertambangan dengan tanpa panduan dari Pemerintah Pusat. Usaha pertambangan di daerah yang dilakukan secara leluasa di daerah tanpa ada pengawasan yang ketat oleh Pemerintah Pusat ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan memicu konflik antara penduduk lingkar tambang dengan investor tambang. Sementara itu publik di daerah pertambangan tidak merasakan adanya perbaikan/peningkatan kesejahteraan. Tidak adanya transparansi terkait anggaran didaerah menyebabkan publik tidak mendapatkan informasi yang jelas seberapa besar daerah mendapat keuntungan dari sektor tambang dan ke mana keuntungan tersebut dibelanjakan.

                                                                                                                         

1  Makalah Seminar “Membangun Teori Sosial Hijau Keindonesiaan”. Seminar diselenggarakan 2  Mahasiswa Program Doktoral PS Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah

Pascasarjana IPB.  

(2)

Perumusan Masalah

Pergeseran tatakelola pertambangan timah telah memicu kontroversi baik pada aspek perizinan, output ataupun dampak dari perizinan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan ini mucul pertanyaan siapakah yang diuntungkan dari kebijakan pemerintah terhadap perizinan penambangan timah ini. Berdasarkan latarbekang di atas, penulis mencoba merumuskan beberapa perumusan masalah sebagai berikut;

a. Seperti apa kebijakan pemerintah dalam memberikan perizinan tambang? b. siapa yang mendapat manfaat dari perizinan tambang timah tersebut? c. Seperti apa dampak dari pemberian izin tambang tersebut?

II. Tinjauan Teoritik Etika Lingkungan

Sebagai makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia itu sendiri adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan. Manusia adalah bagian dari lingkungan. Perilaku positif manusia dapat menyebabkan lingkungan tetap lestari sedangkan perilaku negatifnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

Etika manusia terhadap sesuatu adalah kebiasaan hidup yang baik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup yang baik sebagai manusia, perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia untuk mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik dan penting. Dengan demikian etika berisi prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku.

Etika lingkungan hidup memfokuskan tentang perilaku manusia terhadap alam serta hubungan antara semua kehidupan alam semesta. Etika lingkungan (etika ekologi) adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Prinsip etika lingkungan adalah: semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Etika lingkungan dapat dikategorikan kedalam etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk. Etika lingkungan dapat dibedakan menjadi

(3)

etika lingkungan dangkal (shallow environmental ethics), etika lingkungan moderat (moderate environmental ethics) dan etika lingkungan dalam (deep environmental ethics). Di sini hanya akan dibicarakan yang pertama dan yang ketiga. Karena yang kedua merupakan peralihan antara yang pertama dan yang kedua.

Etika Lingkungan Dangkal (Shallow environmental ethics)

Etika lingkungan dangkal merupakan pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan fungsi lingkungan sebagai sarana penyelenggaraan kepentingan manusia dan bersifat antroposentris. Etika lingkungan dangkal biasa diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik. Dalam hal ini, alam hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Pokok-pokok penekanan dalam etika antroposentris adalah sebagai berikut.

• Manusia terpisah dari alam.

• Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.

• Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.

• Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia. • Norma utama adalah untung rugi.

• Mengutamakan rencana jangka pendek.

• Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara miskin.

• Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi. Ragam etika antroposentris:

1. Etika antroposentris yang menekankan segi estetika alam (etika lingkungan harus dicari pada kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika).

2. Etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus (mendasarkan etika lingkungan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia).

Etika Lingkungan Dalam (Deep Environmental Ethics)

Dalam pandangan etika ini, alam sesungguhnya memiliki fungsi kehidupan, patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik (etika lingkungan ekstensionisme atau preservasi). Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama, kepentingan manusia dan kepentingan alam itu sendiri. Berikut adalah hal-hal yang ditekankan dalam etika lingkungan.

• Manusia adalah bagian dari alam

• Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang

• Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang

(4)

• Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai • Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati • Menghargai dan memelihara tata alam

• Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem

• Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Ragam etika lingkungan:

1. Etika Neo-Utilitarisme. Etika ini merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang dipelopori Pete Singer yang menekankan kebaikan untuk semua sehingga kebaikan etika lingkungan ditujukan untuk seluruh mahluk.

2. Etika Zoosentrisme. Etika ini menekankan perjuangan hak-hak binatang (pembebasan binatang) dengan tokoh Charles Brich. Menurut etika ini, binatang memiliki hak menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan dan menjadikan rasa senang/penderitaan binatang sebagai salah satu standar moral.

3. Etika Biosentrisme. Etika ini menekankan kehidupan sebagai standar moral dengan salah satu tokohnya adalah Kenneth Goodpaster. Hal yang dijadikan tujuan bukanlah rasa senang atau menderita tetapi kemampuan atau kepentingan untuk hidup. Dengan menjadikan kepentingan untuk hidup sebagai standar moral, maka yang dihargai secara moral bukan hanya manusia dan hewan, melainkan seluruh makhluk hidup yang ada. 4. Etika Ekosentrisme. Etika ekosentrisme menekankan keterkaitan seluruh

organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu mamiliki keterkaitan satu sama lain secara mutual dan memandang bumi sebagai suatu pabrik terintegrasi berisi organsime yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ekosentrisme mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.

5. Hak Asasi Alam. Makhluk hidup selain manusia tidak memiliki hak pribadi, namun makhluk hidup membutuhkan ekosistem atau habitat untuk hidup dan berkembang.Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.

Beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan dan tuntunan bagi perilaku manusia dalam berhadapan dengan alam.

(5)

1. Sikap Hormat terhadap Alam (Respect For Nature). Hormat terhadap alam merupakan prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Setiap anggota komunitas ekologis, termasuk manusia, berkewajiban menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies serta menjaga keterkaitan dan kesatuan komunitas ekologis.

2. Prinsip Tanggung Jawab (Moral Responsibility For Nature). Manusia mempunyai tanggung jawab terhadap alam semesta (isi, kesatuan, keberadaan dan kelestariannya).

3. Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity). Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian yang menyatu dari alam semesta dimana manusia sebagai makhluk hidup memiliki perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain. 4. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian terhadap Alam (Caring For

Nature). Manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi yang muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.

Konsep dan Teori Environmental Justice

Perkembangan padigama Environmental Justice atau keadilan lingkungan telah muncul akibat dari berkembangnya wacana tentang lingkungan. Perkembangan wacana kesadaran akan lingkungan memunculkan suatu gerakan sosial dari masyarakat sebagai dampak adanya ketidak adilan dalam masyarakat (Taylor, 2000). Selanjutnya Taylor (2000), membagi garis besar isu keadilan lingkunan menjadi beberapa prinsip, yaitu

1. Prinsip ekologis, meliputi (a) ecocentric dengan cara membangun kembali saling ketergantungan spiritual untuk kesucian bumi, Menegaskan kesatuan ekologi dan saling ketergantungan dari semua spesies; (b) stewardship , etika tanah), dengan cara etis penggunaan lahan dan sumber daya terbarukan, keeimbangan dan bertanggung jawab atas tanah dan sumber daya terbarukan; (c) mengurangi konsumsi, tanggung jawab pribadi, dengan cara komitmen pribadi untuk membuat pilihan untuk mengkonsumsi sesedikit mungkin isi sumber daya bumi. komitmen pribadi untuk menghasilkan limbah sesedikit mungkin; (d) akses ke sumber daya alam dan menyediakan akses yang adil untuk semua untuk berbagai sumber daya pendidikan; dan (e) lingkungan, melalui pendidikan lingkungan yang menekankan isu-isu sosial untuk sekarang dan generasi masa depan dan pendidikan lingkungan berdasarkan apresiasi dan perspektif beragam budaya.

2. Prinsip keadilan, meliputi (a) ekuitas antar generasi dengan pembangunan berkelanjutan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya serta memprioritas ulang terhadap gaya hidup kita untuk memastikan kesehatan dunia alam untuk kepentingan generasi masa depan; (b) Intragenerational ekuitas, melalui mengenali kebutuhan untuk kebijakan ekologi perkotaan, membersihkan dan membangun kembali kota-kota dalam keseimbangan dengan alam, mengenali kebutuhan untuk kebijakan ekologi pedesaan dan membersihkan dan membangun kembali daerah pedesaan dalam keseimbangan dengan alam; (c)

(6)

Hak, kebebasan, dan menghormati untuk terbebas dari kehanncuran ekologi; (d) tindakan tegas ketidakadilan lingkungan yang merupakan pelanggaran hukum internasional).

3. Prinsip otonomi, meliputi (a) perjanjian dan, kedaulatan; (b)penentuan nasib sendiri dengan menegaskan hak politik, ekonomi, dan budaya dan penentuan nasib sendiri dari semua orang-orang, menegaskan kedaulatan rakyat pribumi dan penentuan nasib sendiri dan Self – penyembuhan Hubungan

4. Budaya, yakni menghargai dan merayakan budaya dan bahasa masing-masing, menghormati integritas budaya dari semua komunitas, menghargai dan merayakan sistem kepercayaan masing-masing tentang dunia alam.

Kesadaran untuk Environmental Justice atau keadilan lingkungan telah tumbuh baru-baru ini, tetapi masih sangat sedikit telah menjadi perhatian untuk diimplementasikan terutama yang mengacu pada tuntutan gerakan sosial. Sebagian pemahaman keadilan lingkungan masih mengacu pada masalah ekuitas, atau distribusi penyakit dan manfaat lingkungan. Tapi mendefinisikan keadilan lingkungan sebagai ekuitas tidak lengkap. Aktivis, masyarakat, dan organisasi non -pemerintah (LSM) meminta lebih dari hanya distribusi. Keadilan yang dituntut oleh keadilan lingkungan global mesti memenuhi tiga unsur: ekuitas dalam distribusi risiko lingkungan, pengakuan keragaman dan pengalaman masyarakat yang terkena dampak, dan partisipasi dalam proses politik dalam membuat dan mengelola kebijakan lingkungan Dalam rangka untuk mengembangkan teori hak keadilan, kita harus mengungkap selubung ketidaktahuan, tempat di mana kita tidak tahu kekuatan kita sendiri dan kelemahan atau tempat kita sendiri dalam skema sosial, menghadirkan gagasan peradilan yang adil, disetujui semua orang yang memiliki hak politik, dan distribusi yang harus menguntungkan semua orang sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial di masyarakat (Schlosberg, D. 2004). Keadilan lingkungan adalah perlakuan yang adil dan keterlibatan yang berarti dari semua orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal negara, atau penghasilan sehubungan dengan pengembangan, implementasi, dan penegakan hukum lingkungan hidup, peraturan, dan kebijakan.

Beberapa ahli lain menyebut keadilan lingkungan sebagai pergerakan di lapisan masyarakat bawah (grassroot) yang memperjuangkan perlakuan yang sama bagi masyarakat tanpa memandang suku bangsa, budaya, sosial ekonomi, dalam hal pembangunan, implementasi dan penegakan hukum, peraturan dan kebijakan. Perlakuan adil berarti pula tidak boleh ada seorangpun atau kelompok tertentu yang lebih dirugikan oleh suatu dampak lingkungan. Berdasarkan definisinya, Environmental Justice mengandung tiga aspek sebagai berikut:

• Aspek keadilan prosedural: keterlibatan seluruh pihak (masyarakat) dalam arti yang sebenarnya;

• Aspek keadilan subtantif: hak untuk tinggal dan menikmati lingkungan yang sehat dan bersih; dan

• Aspek keadilan distributif: penyebaran yang merata dari keuntungan yang diperoleh dari lingkungan.

Di Indonesia, hak atas lingkungan telah diadopsi di berbagai ketentuan perundangan, baik konstitusi negara pascaamandemen maupun undang-undang negara. Dalam UUD 1945 amandemen II, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: ''Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

(7)

tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan.'' Pasal 5 dan 8 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, berbunyi: ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.'' Bukan hanya itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan hal yang sama pada Pasal 3 yang berbunyi, ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.''

III. PEMBAHASAN

Perizinan/regulasi usaha pertambangan timah dari masa ke masa, dari rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan selanjutnya selalu mengalami polemik dan permasalahan yang tidak kunjung selesai. Konstestasi aktor dari yang berkepentingan terhadap pertambangan timah, membuka ruang menjadikan komoditas mineral timah menjadi barang bersifat comman property. Dalam perjalanannya bahan tambang timah yang bersifat comman property tidak serta merta semua fihak mampu memiliki akses dan berpartisipasi terhadap mineral timah ini.

a. Kebijakan Pemerintah Terkait Perizinan Pertambangan Timah

Rujukan tatakelola sumberdaya alam dan agraria di Indonesia tertuang pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, UUD 1945. Tekanan terbesar terkait sumberdaya alam diletakkan dalam pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengelolaan sumberdaya timah nampak bersandar pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dalam undang-undang ini sebenarnya tidak secara tegas mengungkapkan mineral timah, selebihnya juga pertanggung jawaban kepada Kementerian ESDM; di samping undang-undang teknis pertambangan lain sebagai pendukung. Selanjutnya dalam undang-undang yang sama menyebutkan pula bahwa setiap proses eksplorasi penambangan diwajibkan meminta izin kepada “pemilik” wilayah. Jika berada di wilayah kabupaten/kota maka izinnya kepada bupati/walikota dan jika wilayah administrasi berada provinsi maka yang berhak mengeluarkan izin adalah gubernur.

Sinkronisasi demikian terkait dengan rujukan yang dibuat dan tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini hakikatnya adalah menyangkut desentralisasi pusat kepada daerah atau presiden kepada gubernur dan diteruskan ke bupati/kota di wilayah masing-masing. Artinya secara berjenjang tatacara perizinan diberikan kepada sesuatu yang paling berkuasa di setiap jenjang wilayah. Tetapi jauh sebelum beberapa regulasi tersebut di atas diterbitkan, adanya SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 yang menyatakan bahwa timah bukan lagi komoditas strategis yang perdagangannya diawasi dan menjadi monopoli PT Timah Tbk dan mitranya (PT Tambang Timah dan PT Koba Tin); yang padahal kebijakan menteri tersebut merupakan bentuk responsif negara terhadap keterpurukan ekonomi negara akibat krisis moneter dan keuangan berkepanjangan tahun 1997. Dua tahun berikutnya SK dari kementerian yang sama keluar dengan No. 294/MP/Kep/10/2001 di mana

(8)

secara tegas tidak memuat lagi tataniaga komoditas timah sebagai komoditas strategis. Dengan demikian timah kemudian menjadi barang bebas yang perdagangannya tidak lagi diawasi dan diatur. Perkembangan regulasi tersebut diinterpretasi dan dipahami secara berbeda di Bangka.

Dampak adanya regulasi yang mengatur pengelolaan timah ini menyebabkan tumbuh suburnya pertambangan timah yang ada, baik yang memiliki perizinan IUP ataupun tidak, serta penambangan dalam skala besar maupun pertambangan rakyat skala kecil (pertambangan inkonvensional). Berdasarkan data yang direlease oleh PT. Timah Tbk. Pertumbuhan dan ekspansi pertambangan timah mengalami pertumbuhan yang signifikan, akan tetapi jumlah lahan yang tersedia cenderung menurun. Data izin pertambangan, luas area pertambangan, dan unit fasilitas produksi digambarkan pada tabel 1.

Tabel 1. Data izin usaha pertambangan, luas area pertambangan, dan jumlah unit fasilitas produksi tahun 2009 sampai 2012.

Uraian Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Izin usaha pertambangan

Jumlah Izin 114 110 115 117 117

Luas Wilayah penambagan (ha) 522.460 591.325 512.764 513.042 512.655

Fasilitas Produksi

Jumlah Tambang Darat (unit) 20 30 25 25 25

Jumlah Kapal Keruk (unit) 14 12 11 11 9

Jumlah Kapal Isap

Perusahaan(unit) 1 6 10 15 17

Jumlah Tanur(unit) 11 11 12 12 12

Untuk penambangan rakyat dari tahun ke tahun pertumbuhannya mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2006 penambangan rakyat yang memiliki izin usaha pertambangan sebanyak 125 izin usaha dengan luas wilayah pertambangan sebesar 521.066,44 ha yang tersebar di 10 wilayah pertambangan (Tabel 2). Untuk pertambangan rakyat yang bersifat perorangan dan tanpa izin, tahun 2001 merupakan tahun puncak perkembangan Tambang Inkonvensional, dimana mereka hampir tersebar di seluruh pulau Bangka dan Belitung. Pada akhir tahun 2001, jumlah TI yang beroperasi memang sulit ditentukan, namun dari yang pernah di laporkan terdapat 1.320 badan usaha serta 4.671 usaha timah perorangan di pulau Bangka. Jumlah TI yang terdaftar pada asosiasi tambang timah rakyat hingga akhir tahun 2005 berjumlah 14.345 TI, yang merupakan usaha perorangan bukan badan usaha dan beroperasi pada lahan dalam areal KP PT Timah. Dalam prediksi kasar jumlah TI yang beroperasi di kepulauan Bangka Belitung berjumlah 18.000 unit. Data dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Tahun 2008 memperlihatkan bahwa dari sekitar 70.000 unit tambang di kepulauan Bangka, hanya sekitar 30 % yang memiliki izin ( Hayati 2011).

(9)

Tabel 2. Jumlah izin usaha pertambangan dan luas area pertambangan, 2007

Sumber: Laporan BPK 2007

b. Distribusi Manfaat Pertambangan Timah

Peraturan peraturan tentang pengelolaan bahan tambang timah,baik UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba maupun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi ruang yang selebar lebarnya kepada swasta untuk melakukan penambangan timah baik di daratan maupun di lautan. Peraturan yang dibuat mengundang banyak fihak swasta baik dari dalam maupun dari luar daerah Bangka Belitung untuk mengeksplorasi timah di daerah ini.

Izin penambangan dan eksplorasi ini telah membawa perubahan yang besaran pada tataran masuarakat. Masyarakat yang memiliki modal akan memiliki akses terhadap sumberdaya alam timah untuk di eksplorasi. Sementara masyarakat lapisan bawah hanya sebagai penonton/partisipan pasif dari kegiatan eksplorasi ini. Izin eksplorasi telah menimbulkan permasalahan sosial sendiri dengan menimbulkan status sosial baru dan kesenjangan yang semakin melebar.

Masyarakat pemilik modal yang mampu mengeksplorasi pertambangan serta pemilik modal dalam pengelolaan pertambangan dalam skala besar menikmati dari ada kebijakan yang pro kapitalis ini. Penambangan skala besar telah menjadikan tumbuhnya perekonomian baru yang sebagaian besar dinikmati oleh para pemilik tambang.

Pada sisi lain penambangan yang dilakukan telah menjadikan masyarakat lokal yang tidak memiliki akses termarjinalkan. Petani dan nelayan menjadi fihak utama yang termarjinalkan dari kegiatan pertambangan disebabkan menurunnya/terbatasnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian serta terganggunya ekosistem perikanan tangkap di lautan.

c. Dampak Operasi Penambangan Timah

Perubahan regulasi dalam tatakelola pertambangan timah telah menjadikan timah sebagai komditas bersifat comman property. Berbagai pihak yang mengakses dan

(10)

mengelola pertambangan timah menyebabkan kondisi wilayah bangkabelitung over eksploration. Kegiatan penambangan telah merambah pada daerah aliran sungai (DAS), hutan produksi, hutan lindung, lahan pertanian, hingga lautan. Kegiatan penambangan timah setidaknya menimbulkan dampak negatif yang besar setidaknya dalam tiga hal;

1. aspek lingkungan, 2. aspek ekonomi, 3. aspek sosial.

Tambang rakyat memiliki peran yang besar terhadap kerusakan lingkungan. Tambang rakyat ini (TI) tidak hanya di lokasi penambangan wilayah daratan, tetapi juga terjadi hingga ke pantai dengan adanya TI Apung. TI menjadi penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 150.000 hektar atau 30% luas wilayah hutan Bangka Belitung. Di kawasan pantai dan hutan bakau, terjadi kerusakan akibat lumpur dari lokasi TI. Bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja tanpa adanya upaya untuk mereklamasi, sehingga menjadi bolong-bolong pada permukaan tanah yang disebut sebagai ”kolong”. TI juga merusak daerah aliran sungai, hutan lindung dan hutan produksi. TI saat ini tidak hanya dilakukan di kawasan baru saja, tetapi juga dilakukan di kawasan bekas PT Timah. Sementara pada lahan bekas tambang PT Timah sedang dilakukan reklamasi, sehingga proses reklamasi menjadi tidak terlaksana.

Di lautan selain tambang rakyat, perusahaan swasta dan PT. Timah memiliki andil yang besar terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistem di lautan. Penambangan Pada daerah mangrove telah menjadikan ekosistem perikanan tangkap terganggu.

Dampak dari pertambangan didaratan telah menjadikan hutan gundul dan meninggalakan bekas galian tambang yang gersang. Penambangan rakyat biasanya membuang limbah (tailing) kesungai mennyebabkan sedimentasi pada daerah aliran sungai (DAS). Dampak dari kegiatan menambangan ini adalah menjadikan sebagian besar daerah di bangka belitung menjadi daerah yang langganan banjir.

Pada aspek sosial, kegiatan pertambangan, memiliki dampak negatif sosial masyarakat. Kegiatan penambangan telah menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin melebar serta timbulnya budaya konsumerisme dalam masyarakat. Timbulnya kelas sosial baru rawan akan terjadinya kecemburuan sosial dan juga memicu konflik baik karena perebutan kawasan pertambangan ataupun pergesekan kepentingan.

Pada aspek ekonomi, pertambangan telah menjadikan pertumbuhan ekonomi baru di daerah Bangka Belitung. Akan tetapi juga memiliki dampak negatif berupa tingginya inflasi yang menyebabkan harga-harga barang meningkat. Dampak dari tingginya harga barang akan terasa oleh masyarakat non petambang, terlebih pada petani dan nelayan yang merupakan masyarakat lapisan bawah yang termarjinalkan.

IV. Penutup

Urusan pertambangan, energi dan sumberdaya mineral yang didesentralisasikan ternyata telah membuat kerusakan yang masif di daerah-daerah yang kaya akan sumberdaya alam. Potensi tambang yang dieksplorasi dari

(11)

perut bumi tidak/belum membawa kemanfaatan untuk kesejahteraan rakyat sekalipun masyarakat di lingkar tambang. Kemanfaatan hanya dirasakan oleh segelintir elit daerah dan investor pertambangan baik domestik maupun asing.

Daftar Pustaka

Anonim. 2007. Hasil Pemeriksaan Semester Ii Tahun Anggaran (Ta) 2007 Atas Pengendalian Kerusakan Pertambangan Umum Dan Penerimaan Royalti Tahun 2003-2007 Pada Pt. Timah Tbk Dan Pt. Koba Tin Di Jakarta Dan Pangkal Pinang. Laporan Pemeriksaan BPK. Pangkal Pinang.

Hayati, T. 2011. Perizinan Pertambangan Di Era Reformasi Pemerintahan Daerah Studi Tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka. [disertasi]. Sekolah pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta

Hendra, J. 2012. Kontestasi Aktor Dalam Perebutan Sumberdaya Timah Di Bangka. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Gambar

Tabel 1. Data izin usaha pertambangan, luas area pertambangan, dan jumlah unit  fasilitas produksi tahun 2009 sampai 2012
Tabel 2. Jumlah izin usaha pertambangan dan luas area pertambangan, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Karena fungsinya yang memungkinkan aplikasi Java mampu berjalan dibeberapa platform sistem operasi yang berbeda dan secara luas dimanfaatkan dalam

Tujuan: Mengetahui apakah ada pengaruh tindakan tonsiloadenoidektomi terhadap kadar serum insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan nilai body mass index (BMI) pada anak

“Tujuan penegakan disiplin seringkali tidak mendapat respons yang positif dari siswa hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu: a) kepemimpinan guru atau kepala sekolah

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis dan mengetahui: Apakah ada pengaruh pengawasan dan iklim kerja secara bersama- sama terhadap

Beranjak dari pengalaman dalam melakukan kegiatan berorganisasi selama ini Insya Allah akan dapat berguna pada saat menjadi salah seorang anggota Bawaslu (bila saya

Maka dalam mendeskripsikan realitas atas banyaknya perceraian yang terjadi dengan berbagai alasan sebagai faktor dasar terjadinya perceraian, penulis menilik salah

terhadap kewirausahaan. Sedangkan secara parsial pengaruh inovasi terhadap kewirausahaan menunjukan pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan