• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. terutama asap rokok. Menurut World Health Organization (WHO), kanker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. terutama asap rokok. Menurut World Health Organization (WHO), kanker"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II KAJIAN TEORI A. Kanker Paru

Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen, terutama asap rokok. Menurut World Health Organization (WHO), kanker paru merupakan penyebab kematian utama dalam kelompok kanker. Kanker paru memerlukan penanganan yang tepat. Buruknya diagnosis penyakit ini berkaitan dengan jarangnya penderita datang ke dokter karena penyakitnya masih berada pada stadium awal (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003:1). Menurut Zhou, et al (2002: 2) hanya 15% kasus kanker paru yang ditemukan sejak stadium awal. Deteksi dini dan penanganan yang tepat pada pasien yang menderita kanker paru diharapkan mampu mengurangi angka kematian yang diakibatkan oleh kanker paru dan dapat meningkatkan angka harapan hidup.

1. Penyebab Kanker Paru

Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, tetapi paparan zat yang bersifat karsinogen merupakan faktor penyebab utama. Kejadian kanker paru sangat berkaitan dengan merokok. Asap rokok yang telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker dengan 63 jenis bersifat karsinogen dan beracun (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003: 2). Menurut American Cancer

(2)

11

sebesar 80%, dimana perokok pasif 20% sampai 30% beresiko terkena kanker paru. Selain faktor utama penyebab kanker paru, terdapat faktor lain seperti polusi udara, paparan radon, genetik dan lingkungan (Urman & Hosgood, 2015: 491).

2. Jenis Kanker Paru

Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu (Varalakhsmi, 2013: 63): a. Small Cell Lung Cancer (SCLC)

SCLC adalah jenis kanker paru yang tumbuh lebih cepat daripada jenis kanker NSCLC, akan tetapi pertumbuhan SCLC lebih dapat terkendali dengan kemoterapi. Sekitar 20% kasus kanker paru adalah SCLC, atau sekitar 30.000 pasien setiap tahunnya terdiagnosis penyakit tersebut.

b. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)

Sekitar 75%-80% kasus kanker paru adalah NSCLC. Terdapat 3 tipe NSCLC, yaitu:

1) Adenokarsinoma

Adenokarsinoma adalah jenis dari NSCLC yang paling umum dari kanker paru dan lebih banyak muncul pada wanita. Kanker tipe ini berkembang dari sel-sel yang memproduksi lendir pada permukaan saluran udara.

(3)

12

Jenis ini paling umum dari kanker paru serta paling banyak terjadi pada pria dan orang tua. Karsinoma skuamosa berkembang dalam sel yang mengisi saluran udara, dan kanker ini tumbuh relatif lambat. 3) Karsinoma sel besar

Pertama kali muncul biasanya di saluran pernapasan yang lebih kecil dan dapat menyebar dengan cepat. Tipe ini sering disebut juga karsinoma tidak berdiferensiasi karena bentuk sel kanker ini bundar besar.

3. Tahapan Klasifikasi Stadium Kanker Paru

Menurut Global Bioscience (2013) tahapan kanker paru adalah sebagai berikut:

a. Tahap Perkembangan SCLC

1) Tahap terbatas merupakan tahapan kanker yang hanya ditemukan pada satu bagian paru-paru saja dan pada jaringan disekitarnya.

2) Tahap ekstensif merupakan tahapan kanker yang ditemukan pada jaringan dada di luar paru-paru ataupun ditemukan pada organ-organ tubuh yang jauh.

b. Tahap Perkembangan NSCLC

1) Tahap tersembunyi merupakan tahap ditemukannya sel kanker pada dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat bronkoskopi, tetapi tidak terlihat adanya tumor di paru-paru.

2) Stadium 0 merupakan tahap ditemukannya sel-sel kanker hanya pada lapisan terdalam paru-paru dan tidak bersifat invasif.

(4)

13

3) Stadium I merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan pada paru-paru dan belum menyebar ke kelenjar getah bening sekitarnya.

4) Stadium II merupakan tahap kanker yang ditemukan pada paru-paru dan kelenjar getah bening di dekatnya.

5) Stadium III merupakan tahap kanker yang telah menyebar ke daerah di sekitarnya, seperti dinding dada, diafragma, pembuluh besar atau kelenjar getah bening di sisi yang sama atau pun sisi berlawanan dari tumor tersebut.

6) Stadium IV merupakan tahap kanker yang ditemukan lebih dari satu lobus paru. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ tubuh lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan tulang.

4. Gejala Kanker Paru

Gambaran penyakit kanker paru terdiri dari keluhan subjektif dan gejala objektif. Keluhan utama dapat berupa batuk-batuk atau tanpa dahak, batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit menelan, dan terdapat benjolan di pangkal leher. Gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar, dan berat badan berkurang juga merupakan ciri dari adanya kanker paru. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003: 3)

5. Deteksi Dini Kanker Paru

Kanker paru dapat terdeteksi dengan melakukan beberapa cara, yaitu biopsy dengan pemeriksaan mikroskopik menggunakan contoh jaringan tubuh. Computed tomography (CT) atau pemeriksaan radiologi dengan

(5)

14

menggunakan X-ray dapat digunakan untuk menghasilkan citra bagian tubuh tertentu, sedangkan magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk pemeriksaan tanpa X-ray namun menggunakan medan magnet dan frekuensi radio (Agency for Toxic Subtances and Disease Registry, 2013: 4).

Penelitian yang dilakukan oleh Udeshani (2011: 425) yang menyatakan bahwa pada umumnya deteksi kanker paru dilakukan melalui pemeriksaan radiologi atau CT. Deteksi dini kanker paru yang diperoleh dari hasil CT adalah proyeksi radiografi dari paru. Paru-paru yang tidak sehat akan terdapat nodul di paru-paru pada citra foto paru. Nodul tersebut tidak selalu menjadi indikasi kanker paru karena nodul yang muncul dapat juga disebabkan oleh penyakit paru lain seperti tuberculosis atau pneumonia.

Menurut (Japanese Society of Radiology Technology, 1997) nodul yang terdeteksi pada paru-paru dikategorikan menjadi dua yaitu non

cancerous nodule (tumor jinak) dan cancerous nodule (tumor ganas). Tumor

jinak yang terdapat pada jaringan paru tidak akan menyerang selain organ paru karena tumor jinak hanya menyerang satu tempat dan tidak menyebar ke organ tubuh lainnya Agency for Toxic Subtances and Disease Registry (2013:1) menyatakan bahwa tumor jinak bukanlah kanker karena tumor jenis ini bisa diangkat dan tidak kambuh kembali, sedangkan tumor ganas adalah sel kanker yang menyebar dan membahayakan organ dan jaringan yang ada di sekitar tumor tersebut. Pertumbuhan tumor ganas pada jaringan paru sangat berbahaya apabila tidak dapat dikendalikan, karena sel kanker ini dapat menyebar hingga keluar organ paru dan berkembang.

(6)

15 B. Preprocessing Citra

Teknik image enhancement atau operasi pengolahan citra merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan kualitas citra. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas tampilan citra atau menonjolkan ciri tertentu dalam citra. Citra yang digunakan dalam pengolahan ini adalah citra grayscale. Citra

grayscale merupakan citra digital dengan warna yang dimiliki adalah warna

hitam, keabuan, dan putih. Tingkatan keabuaan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih. Citra grayscale memiliki kedalaman warna 8 bit (256 komposisi warna keabuan).

Pengolahan citra dapat dilakukan dengan beberapa operasi, yaitu operasi titik, operasi spasial, dan operasi transformasi (Rinaldi Munir, 2004: 83). Operasi titik dikenal juga dengan nama operasi pointwise yang terdiri dari pengaksesan pixel pada lokasi yang diberikan, memodifikasinya dengan operasi-operasi lanjar (linear) atau nirlanjar (non linear) dan menempatkan nilai pixel baru pada lokasi yang bersesuaian di dalam citra yang baru. Operasi diulangi untuk keseluruhan pixel di dalam citra. Setiap pixel mewakili tidak hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan sebuah bagian berupa kotak yang merupakan bagian terkecil (sel) (Darma Putra, 2010: 35).

Secara sistematis, operasi titik dapat dinyatakan sebagai (Gambar 2.1):

( ) * ( )+ (2.1)

(7)

16 citra input

citra output

operasi linier maupun nonlinier

Gambar 2.1 Operasi Titik (Rinaldi Munir, 2004: 42)

Operasi titik merupakan suatu teknik operasi pengolahan citra yang bertujuan untuk memodifikasi histogram citra masukan agar sesuai dengan karakteristik yang diharapkan. Histogram citra adalah grafik yang menggambarkan penyebaran nilai-nilai intensitas pixel pada suatu citra atau bagian tertentu di dalam citra (Rinaldi Munir, 2004: 83). Beberapa teknik operasi pengolahan citra melalui operasi titik adalah intensity adjustment,

histogram aqualization, dan thresholding. Teknik operasi titik yang

digunakan pada tugas akhir ini adalah operasi titik intensity adjustment.

Intensity adjustment bekerja dengan cara melakukan pemetaan linier

terhadap nilai intensitas pada histogram awal menjadi nilai intensitas pada

histogram yang baru. Histogram dapat digunakan untuk menentukan suatu

konstanta yang merupakan faktor penyesuaian pada operasi titik intensity

adjustment. Secara matematis, operasi titik intensity adjustment ditulis

sebagai berikut.

( ) ( )

(8)

17

dengan ( ) adalah citra setelah penyesuaian dan ( ) adalah citra sebelum penyesuaian, sedangkan b adalah suatu konstanta yang merupakan faktor penyesuaian. Jika b positif, kecerahan gambar bertambah, sebaliknya jika b negatif kecerahan gambar berkurang (Rinaldi Munir, 2004: 92).

Menurut Darma Putra (2010: 121), proses penyesuaian dilakukan dengan menambahkan atau mengurangkan nilai setiap pixel dengan suatu konstanta. Apabila nilai pixel setelah penyesuaian melebihi nilai maksimum intensitas yang mungkin untuk citra grayscale (nilai maksimum intensitas adalah 255), maka nilai pixel tersebut akan dijadikan 255. Demikian pula sebaliknya, jika nilai pixel hasil penyesuaian lebih kecil dari 0 (nol), maka nilai pixel tersebut dijadikan 0.

Perintah umum pada Matlab R2010a untuk melakukan operasi titik

intensity adjustment adalah sebagai berikut:

J = imadjust(I,[low_in,high_in),[low_out,high_out])

dimana, low_in merupakan nilai intensitas yang akan dipetakan sebagai low_out dan high_in merupakan nilai intensitas yang akan dipetakan sebagai high_out. Berikut contoh penggunaan teknik operasi titik intensity

(9)

18

(a) (b)

Gambar 2.2. (a) Citra N1.jpg sebelum dilakukan operasi titik. (b) Data histogram citra N1.jpg sebelum dilakukan operasi titik

(a) (b)

Gambar 2.3. (a) Citra N1.jpg setelah dilakukan operasi titik. (b) Data histogram citra N1.jpg setelah dilakukan operasi titik Perintah yang dimasukkan pada Matlab adalah:

I=imread(‘N1.jpg’);

J=imadjust(I,[0.15 0.9],[0 1]);

figure, imshow(I); figure, imhist (I); figure, imshow(J); figure, imhist (J);

Citra N1.jpg yang ditunjukkan pada (Gambar 2.2(a)) merupakan citra dengan nilai kekontrasan yang rendah. Berdasarkan histogramnya (Gambar 2.2(b)), dapat diketahui bahwa citra tersebut memiliki pixel yang rendah pada

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 0 50 100 150 200 250 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 0 50 100 150 200 250 F re ku ensi ni lai ke abua n pixe l

Nilai keabuan pixel

F re ku ensi ni lai ke abua n pixe l

(10)

19

intensitas di bawah 40 dan di atas 225. Nilai-nilai keabuan pixel pada

histogram (Gambar 2.2(b)) belum merata dari rentang 0 sampai 255, oleh

karena itu melalui operasi titik intensity adjustment nilai-nilai keabuan pixel akan direntangkan dari 0 sampai 255 seperti pada (Gambar 2.3 (b)), dengan kata lain seluruh nilai keabuan pixel terpakai secara merata.

C. Ekstraksi Citra

Salah satu teknik ekstraksi citra adalah Gray Level Co-occurrence

Matrix (GLCM). GLCM banyak digunakan dalam klasifikasi citra dan

fitur-fitur yang diperoleh dari GLCM dapat membantu memahami rincian gambar secara keseluruhan dalam hal tekstur (Gadkari, 2004: 8). Ekstraksi citra yang dilakukan dengan metode GLCM dapat menghasilkan 14 fitur ekstraksi yaitu

energy, contrast, correlation, sum of square variance, invers difference moment, sum average, sum entropy, sum variance, entropy, difference variance, difference entropy, maximum probability, homogeneity, dan dissimiliraity.

1. Energy

Energy adalah fitur yang bekerja dengan mengukur konsentrasi pasangan

intensitas pada matriks koakurensi. Rumus energy (E) adalah sebagai berikut (Sharma & Mukharjee, 2013: 331):

* ( )+ (2.2) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

(11)

20

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. Nilai energi semakin besar apabila pixel yang memenuhi syarat matriks intensitas berkumpul pada beberapa koordinat dan mengecil apabila letaknya menyebar.

2. Contrast

Contrast merupakan perbedaan intensitas antara nilai tertinggi (terang) dan

nilai terendah (gelap) dari pixel yang saling berdekatan. Suatu contrast merupakan ukuran variasi antar derajat keabuan dari suatu daerah citra (Gadkari, 2014: 13). Rumus contrast (C) adalah sebagai berikut (Kalas, 2010: 19):

( )( ) (2.3) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. Nilai contrast membesar jika dipengaruhi oleh variasi intensitas dalam citra tinggi. Nilai contrast semakin kecil apabila variasi rendah.

3. Correlation

Correlation suatu citra menunjukkan ukuran ketergantungan linear derajat

keabuan (grayscale) citra, sehingga dapat menujukkan adanya struktur linear dalam citra yang dirumuskan sebagai berikut (Mohanaiah, et al, 2013:2):

(12)

21 dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

*( ) ( )+

(nilai rata-rata elemen kolom pada histogram citra), *( ) ( )+

(nilai rata-rata elemen baris pada histogram citra), *( ) ( )+

(standar deviasi elemen kolom pada histogram citra), {( ) ( )}

(standar deviasi elemen baris pada histogram citra).

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 4. Sum of square (variance)

Variance adalah ukuran statistik yang mengukur tingkat keragaman suatu pixel pada citra. Rumus sum of square variance (SSV) adalah sebagai

berikut (Anami & Burkpalli, 2009: 11):

( )( ) (2.5) dengan,

rata-rata ∑ ∑ ( ),

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

(13)

22 5. Inverse Difference Moment (IDM)

IDM adalah ukuran dari homogenitas lokal. Nilai IDM tinggi ketika derajat keabuan (grayscale) lokal seragam dan invers dari GLCM tinggi (Mohanaiah, et al, 2013: 2). Rumus IDM adalah sebagai berikut (Sharma & Mukharjee, 2013: 331): ∑ ∑ ( ) ( ) (2.6) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 6. Sum average

Sum average adalah fitur yang menunjukkan seberapa banyak nilai

rata-rata pixel yang ada dalam citra. Rumus sum average (SA) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

{( ) ( ( ))} (2.7) dengan,

( ) ∑ ∑ ( )

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

(14)

23 7. Sum entropy

Sum entropy adalah fitur yang menunjukkan seberapa banyak derajat

keabuan (grayscale) yang acak. Rumus sum entropy (SE) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

( ) { ( )} (2.8) dengan,

( ) ∑ ∑ ( )

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 8. Sum variance

Sum variance menunjukkan seberapa banyak level keabu-abuan yang

bervariasi dari nilai rata-rata (Sharma & Mukharjee, 2013: 331). Rumus

sum variance (SV) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

( ) ( ) (2.9) dengan,

= sum entropy,

( ) ∑ ∑ ( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

9. Entropy

Entropy adalah fitur untuk mengukur ketidakteraturan dari distribusi

(15)

24

dibutuhkan untuk mengkompres citra (Mohanaiah, et al, 2013: 2). Rumus

entropy (EN) dari suatu citra adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973:

619):

( ) * ( )+ (2.10) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 10. Difference variance

Difference variance adalah fitur yang menunjukkan perbedaan tingkat

keragaman suatu pixel pada citra. Rumus difference variance (DV) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

( ( )) (2.11)

dengan,

( ) ∑ ∑ ( ) ( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 11. Difference entropy

Difference entropy adalah fitur yang menunjukkan ketidakteraturan dalam

suatu citra. Rumus difference entropy (DE) adalah sebagai berikut (Haralick, et al, 1973: 619):

( ( )) { ( ( ))} (2.12) dengan,

(16)

25

( ) ∑ ∑ ( ) ( )

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 12. Maximum probability

Maximum probability menunjukkan derajat keabuan (grayscale) yang

memenuhi relasi pada persamaan entropy dan dirumuskan sebagai berikut (Anami & Burkpalli, 2009: 11):

* ( )+ (2.13)

dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 13. Homogeneity

Homogeneity memberikan nilai yang merupakan ukuran kedekatan dari

distribusi elemen di GLCM ke diagonal GLCM dan dirumuskan sebagai berikut (Sharma & Mukharjee, 2013: 331):

∑ ∑ ( ) (2.14) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra. 14. Dissimiliraity

Dissimiliraity menunjukkan perbedaan tiap pixel dan dirumuskan sebagai

(17)

26

( ) (2.15) dengan,

( ) menunjukkan pixel pada baris ke- dan kolom ke- dengan

banyak derajat keabuan (grayscale) yang diperoleh dari citra.

D. Neural Network (NN)

NN merupakan sistem pengolahan informasi yang memiliki karakteristik menyerupai jaringan saraf biologis (Fauset, 1994: 3). NN juga merupakan jaringan untuk memodelkan cara kerja otak manusia. NN adalah sebuah arsitektur yang terdiri dari banyak neuron yang bekerja bersama untuk memberikan respon pada input (Yeung, et al, 2010: 1). Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar dalam pengoperasian NN. Terdapat 3 lapisan penyusun NN yaitu lapisan input (input layer), lapisan tersembunyi

(hidden layer), dan lapisan output (output layer) (Siang, 2005: 23).

1. Lapisan input

Neuron pada lapisan input menerima input dari luar yang berupa gambaran dari suatu permasalahan.

2. Lapisan tersembunyi (hidden layer)

Lapisan tersembunyi tersusun atas neuron-neuron yang berperan meneruskan sinyal dari lapisan input. Neuron pada lapisan tersembunyi merupakan suatu sistem pemrosesan dimana terjadi pemrosesan informasi yang dapat meningkatkan kemampuan NN dalam menyelesaikan masalah

(18)

27

yang lebih kompleks. Output dari lapisan tersembunyi tidak dapat diamati secara langsung.

3. Lapisan output

Output dari lapisan output merupakan hasil NN atau solusi dari

permasalahan yang digambarkan pada lapisan input.

Model NN ditentukan oleh tiga hal (Fausett, 1994: 3) yaitu, arsitektur jaringan, algoritma pembelajaran, dan fungsi aktivasi. Fungsi aktivasi merupakan salah satu hal yang menentukan karakteristik dari NN. Arsitektur jaringan merupakan pola hubungan yang terjalin antar neuron. Sedangkan algoritma pembelajaran merupakan metode untuk menentukan bobot-bobot pada jaringan.

1. Arsitektur Jaringan

Arsitektur jaringan akan menentukan keberhasilan target yang dicapai karena tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan arsitektur yang sama. Beberapa arsitektur jaringan yang sering dipakai dalam jaringan saraf antara lain (Siang, 2005: 24):

a. Jaringan Lapisan Tunggal (Single Layer)

Single layer adalah sekumpulan input neuron yang dihubungkan

langsung dengan sekumpulan outputnya. Arsitektur single layer ditunjukkan oleh (Gambar 2.4). Beberapa neuron pada lapisan input dan lapisan output saling terhubung dan memiliki bobot masing-masing (Kriesel, 2005: 74)

(19)

28

Gambar 2.4 Arsitektur Jaringan Lapisan Tunggal (Single Layer) b. Jaringan Lapisan Banyak (Multi Layer)

Jaringan multi layer memiliki satu atau lebih lapisan yang terletak diantara lapisan input dan lapisan output (memiliki satu atau lebih lapisan tersembunyi). Jaringan multi layer juga dapat menyelesaikan permasalahan yang lebih sulit dari lapisan single layer. Model jaringan multi layer dapat dilihat pada (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Arsitektur Jaringan Lapisan Banyak (Multi Layer) 𝑍𝑝 𝑍 𝑉𝑝𝑛 𝑉 𝑛 𝑉𝑝𝑖 𝑉 𝑖 𝑉𝑝 𝑉 𝑋𝑖 𝑋𝑛 𝑋 𝑊𝑚𝑝 𝑊𝑚 𝑊𝑗𝑝 𝑊𝑗 𝑊 𝑝 𝑊 𝑌𝑗 𝑌𝑚 𝑌

Lapisan Lapisan Tersembunyi Lapisan Output

⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ 𝑊𝑚𝑛 𝑊𝑗𝑛 𝑊 𝑛 𝑊𝑚𝑖 𝑊𝑗𝑖 𝑊 𝑖 𝑊𝑚 𝑊𝑗 𝑊 𝑌𝑚 𝑌𝑗 𝑌 𝑋𝑖 𝑋𝑛 𝑋

(20)

29 c. Jaringan Lapisan Kompetitif

Jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif memiliki bentuk yang berbeda dengan jaringan lapisan single layer maupun jaringan multi layer, dimana neuron yang satu dengan neuron yang lainnya saling terhubung. (Gambar 2.6) berikut merupakan salah satu contoh aksitektur jaringan kompetitif.

Gambar 2.6 Arsitektur Jaringan Lapisan Kompetitif

2. Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi digunakan untuk mengaktifkan setiap neuron yang ada pada jaringan. Fungsi aktivasi akan menentukan output suatu unit (mengubah sinyal input menjadi sinyal output) yang akan dikirim ke unit lain. Ada beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan dalam jaringan saraf tiruan (Fausett, 1994: 17-19), antara lain:

a. Fungsi Undak Biner (Hard Limit)

Jaringan dengan lapisan tunggal sering menggunakan fungsi undak (step function) untuk mengkonversikan input dari suatu variabel yang bernilai kontinu ke suatu output biner (0 atau 1). Fungsi ini sering digunakan pada

1 1 1 1 𝜖 𝜖 𝜖 𝜖 𝜖 𝐴 𝐴𝑖 𝐴𝑗 𝐴𝑚 𝜖

(21)

30

jaringan dengan lapisan tunggal. Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi undak biner adalah hardlim. (Gambar 2.7) adalah fungsi undak biner (hard limit) dengan rumus sebagai berikut:

( ) { (2.16)

Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Undak Biner (Hard Limit) b. Fungsi Bipolar (Symetric Hard Limit)

Fungsi bipolar mirip dengan fungsi undak biner, perbedaannya terletak pada nilai output yang dihasilkan. Nilai output bipolar berupa 1 dan -1 (Gambar 2.8). Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi bipolar adalah hardlims. Fungsi bipolar dirumuskan sebagai berikut:

( ) { (2.17)

Gambar 2.8 Fungsi Aktivasi Bipolar (Symetric Hard Limit) 𝜃 1 y x -1 1 y x 0

(22)

31 c. Fungsi Identitas (Linier)

Fungsi linier memiliki nilai output yang sama dengan nilai inputnya (Gambar 2.9). Fungsi identitas sering dipakai apabila menginginkan output berupa sembarang bilangan riil. Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi identitas (linier) adalah purelin. Fungsi linier dirumuskan sebagai berikut:

( ) (2.18)

Gambar 2.9 Fungsi Aktivasi Identitas (Linier) d. Fungsi Sigmoid Biner

Fungsi sigmoid biner sering digunakan karena nilai fungsinya terletak antara 0 dan 1 dan dapat diturunkan dengan mudah. Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi sigmoid biner adalah logsig. Fungsi sigmoid biner dirumuskan sebagai berikut:

( ) (2.19)

dengan turunan pertama fungsi pada Persamaan (2.19) adalah:

( ) (2.20) -1 -1 1 1 y x

(23)

32 e. Fungsi Sigmoid Bipolar

Fungsi sigmoid bipolar hampir sama dengan fungsi sigmoid biner, perbedaannya terletak pada rentang nilai outputnya. Rentang nilai output fungsi sigmoid bipolar adalah -1 sampai 1. Pada Matlab R2010a, perintah untuk menggunakan fungsi sigmoid bipolar adalah tagsig. Fungsi sigmoid bipolar dirumuskan sebagai sebagai:

( ) (2.21) dengan turunan pertama fungsi pada Persamaan (2.21) adalah:

( ) (2.22)

3. Algoritma Pembelajaran

Algoritma pembelajaran bertujuan untuk melakukan pengaturan terhadap bobot yang ada pada NN, sehingga diperoleh bobot akhir yang tepat sesuai dengan pola data yang dilatih. Pada proses pembelajaran akan terjadi perbaikan bobot-bobot berdasarkan algoaritma tertentu. Nilai bobot akan bertambah jika informasi yang diberikan ke suatu neuron mampu tersampaikan ke neuron yang lain. Sebaliknya, nilai bobot akan berkurang jika informasi yang diberikan ke suatu neuron tidak tersampaikan ke neuron lainnya. Nilai bobot akan diubah secara dinamis hingga mencapai suatu nilai yang cukup seimbang pada saat pembelajaran dilakukan pada input yang berbeda. (Sri Kusumadewi dan Sri Hartati, 2006: 84). Ada 2 metode pembelajaran NN, yaitu pembelajaran terawasi (supervised learning) dan pembelajaran tak terawasi (unsupervised learning).

(24)

33

a. Pembelajaran Terawasi (Supervised Learning)

Metode pembelajaran pada NN disebut terawasi jika, output yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Satu pola input akan diberikan ke suatu neuron pada lapisan input. Selanjutnya pola akan dirambatkan sepanjang NN hingga sampai ke neuron pada lapisan output. Lapisan output akan membangkitkan pola output yang akan dicocokan dengan pola output targetnya. Error muncul apabila terdapat perbedaan antara pola output hasil pembelajaran dengan pola target. Diperlukan pembelajaran lagi apabila nilai error masih cukup besar.

b. Pembelajaran Tak Terawasi (Unsupervised Learning)

Pembelajaran tak terawasi tidak memerlukan target output dan tidak dapat ditentukan hasil yang diharapkan selama proses pembelajaran. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil outputnya. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu sesuai dengan nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama ke dalam suatu area tertentu.

E. Ketepatan Hasil Klasifikasi

Keputusan medis mengenai tindakan medis yang harus dilakukan bergantung pada hasil klasifikasi (diagnosa). Kemungkinan yang dapat terjadi dalam hasil klasifikasi diagnosa ditunjukkan dalam (Tabel 2.1) berikut.

(25)

34

Tabel 2.1 Hasil Klasifikasi Uji Diagnosa

Test/Measure True Situation / Event Total

Performance Indicator Present

Performance Indicator Absent Positive True Positive

(TP)

False Positive (FP)

TP+FP

Negative False Negative (FN)

True Negative (TN)

FN+TN

Total TP+FN FP+TN TP+FP+FN+TN

Berdasarkan (Tabel 2.1), terdapat empat kemungkinan hasil klasifikasi diagnosa yaitu:

1. True Positive (TP)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran menyatakan tumor,

b. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran menyatakan kanker,

c. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran menyatakan kanker,

d. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran menyatakan tumor.

2. True Negative (TN)

Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran menyatakan normal.

3. False Positive (FP)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran menyatakan tumor,

(26)

35

b. Klasifikasi asli citra menyatakan normal dan hasil pembelajaran menyatakan kanker.

4. False Negative (FN)

a. Klasifikasi asli citra menyatakan tumor dan hasil pembelajaran menyatakan normal,

b. Klasifikasi asli citra menyatakan kanker dan hasil pembelajaran menyatakan normal.

Tingkat ketelitian diagnosa dapat diukur dengan sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi. Sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi adalah statistik yang umum digunakan untuk mendeskripsikan hasil uji diagnosa (Zhu, et al, 2010: 2). Ketiganya digunakan untuk mengetahui seberapa bagus dan terpercaya hasil klasifikasi yang telah dilakukan.

1. Sensitivitas

Zhu, et al (2010: 2) menyatakan proporsi dari true positive teridentifikasi secara tepat dalam uji diagnosa. Menurut Spitalnic (2004: 1) sensitivitas adalah peluang hasil uji positif yang diberikan kepada pasien dengan kondisi memang berpenyakit. Contohnya jika sensitivitas = 95%, artinya ketika dilakukan uji diagnosa pada pasien yang berpenyakit, maka pasien tersebut berpeluang 95% dinyatakan positive (berpenyakit). Rumus sensitivitas adalah sebagai berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

(27)

36 2. Spesifisitas

Spesifisitas adalah proporsi dari true negative yang teridentifikasi secara tepat dalam uji diagnosa (Zhu, et al, 2010: 2). Spitalnic (2004: 1) menyatakan bahwa spesifisitas adalah peluang hasil uji negatif diberikan kepada pasien dengan kondisi memang tidak berpenyakit. Contohnya jika spesifisitas = 95%, artinya ketika dilakukan uji diagnosa pada pasien yang tidak berpenyakit maka pasien berpeluang 95% dinyatakan negative (tidak berpenyakit). Rumus spesifisitas adalah sebagai berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

(2.24) 3. Akurasi

Diagnosa dikatakan akurat jika merefleksikan nilai kebenaran atau mendeteksi adanya substansi yang diukur (Lord, 2008: 11). Akurasi merupakan kemampuan dalam mengidentifikasi hasil positif maupun hasil negatif secara tepat. Contohnya, jika nilai akurasi = 95%, artinya klasifikasi akurat sebesar 95%, baik untuk pasien yang dinyatakan tidak berpenyakit maupun dinyatakan memiliki penyakit. Rumus sensitivitas adalah sebagai berikut (Zhu, et al, 2010: 2):

Gambar

Gambar 2.3. (a) Citra  N1.jpg  setelah dilakukan operasi titik.
Gambar 2.4 Arsitektur Jaringan Lapisan Tunggal (Single Layer)  b.  Jaringan Lapisan Banyak (Multi Layer)
Gambar 2.6 Arsitektur Jaringan Lapisan Kompetitif
Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Undak Biner (Hard Limit)  b.  Fungsi Bipolar (Symetric Hard Limit)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sikap kedisiplinan dalam belajar akan lebih mengasah ketrampilan dan daya ingat siswa ierhadap materi yang diberikan, karena siswa belajara menurut kesadarannya

Belt conveyor adalah mesin pemindah bahan menggunakan sabuk karet (belt) yang tidak berujung, terdiri dari beberapa lapisan yang diperkeras dengan serat baja

Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas terutama sel Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas terutama sel mast dan eosinofil

TAHUN ANGGARAN 2020 PEMERINTAH DESA

Syukur Alhamdulillah peneliti sampaikan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan

tabel 4.. Hasil Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis Nilai C.R. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, nilai Z hitung diperoleh nilai 2,16 lebih besar dari Z tabel

1) Asam fosfat lebih efisien digunakan untuk proses degumming pada pemurnian minyak jarak pagar kasar karena memberikan nilai persen FFA (Free Fatty Acid), Angka

Variabel Bebas Penelitian ialah Orang Baduy Dalam (OBD), Orang Baduy Luar, dan Suku Sunda Sekitarnya (SSS) yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian,