• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KONTROL DIRI PADA REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA UTUH DAN KELUARGA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

YAP RIMA OKTAVYA SINAGA 111301042

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Yap Rima Oktavya Sinaga Nim : 111301042

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul

“Perbedaan Kontrol Diri pada Remaja yang Berasal Dari Keluarga Utuh

dan Bercerai” adalah benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Medan, September 2015 Yang menyatakan,

Yap Rima Oktavya Sinaga

(3)

Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

Yap Rima Oktavya Sinaga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai. Populasi dalam penelitian ini adalah 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan usia 12-15 tahun dan tinggal di kota Medan. Data penelitian dikumpulkan dengan skala kontrol diri yang memiliki indeks diskriminasi bergerak antara 0,275-0,634 dan reliabilitas 0.875.

Hasil penelitian mendapatkan ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai, yakni remaja dari keluarga utuh memiliki kontrol diri yang lebih tinggi (X=95,17) daripada remaja yang berasal dari keluarga bercerai (X=87,4). Perbedaan kontrol diri remaja berdasarkan struktur keluarga (KU=keluarga utuh; KC=Keluarga bercerai) terlihat dari hasil berikut: kategori kontrol diri rendah 9,6% (KU) vs 28,8% (KC); kategori sedang 67,3% (KU) vs 57,7% (KC); kategori tinggi 23,1% (KU) vs 13,5% (KC).

(4)

Differences in Self-Control of Adolescent Who Come from the Intact and Divorced Families

Yap Rima Oktavya Sinaga ABSTRACT

This study aims to look at differences in self-control of adolescents who come from intact and divorced families. Subject in this study were 52 adolescents who come from intact families and 52 adolescents who come from divorced families by the age of 12-15 years and living in Medan. Data were collected by self-control scale which has index discrimination moving between 0.275 to 0.634 and reliability 0.875.

The results of this study show that there is difference in self-control of adolescents who come from intact and divorced families, in which adolescents from intact families have higher self-control (X=95.17) than adolescents who come from divorced families (X=87.4). Differences in adolescents self-control based of the family structure (IF=intac familyt; DF=divorced family) showed by this result: low self-control category 9.6% (IF) vs 28.8% (DF); middle category 67.3% (IF) vs 57.7% (DF); high category 23.1% (IF) vs 13.5% (DF).

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi sumber semangat, kekuatan dan penghiburan peneliti. Atas kasih dan anugerahnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan syarat kelulusan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian ini adalah “Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai”.

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada orangtua yang sangat peneliti kasihi, Sabam Yap Sinaga dan Sorta Tampubolon. Terimakasih untuk cinta kasih, doa serta perjuangan dalam membesarkan, merawat, membimbing, dan mendukung pendidikan peneliti.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati Soeprapto, M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakulas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang menjadi teladan psikolog yang cerdas dan bertanggung jawab.

2. Ibu Indri Kemala, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing peneliti yang telah membimbing serta memberikan saran dan dukungan dalam merencanakan penelitian, mengerjakan penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini.

(6)

4. Bapak Zulkarnain, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik peneliti.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu peneliti selama proses perkuliahan dan penelitian peneliti.

6. Kakak adik terkasih, Yap Oki Sinaga, Yap Oshin Sinaga, Yap Sartika Sinaga dan Yap Yogi Sinaga yang terus mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat, perhatian dan kasih sayang.

7. Orang-orang terkasih, Harley Maurid Simanjuntak, Nurita Lastri Tampubolon, Santa Sihombing, Kakak Echa, PERKANTAS secara khusus Persisten (Bang Otto, Anggreani, Ariyanto, Josua, dll), UKM KMK USU UP PSIKOLOGI, Bailando (Sandhy, David, Friska, Susi, Eunike), dan Kelompok Kecil Kerdaino (Kak Siti, Kristin Citra, Susi) yang memberikan semangat, menegur dan terus mengingatkan saya untuk menikmati penelitian saya.

8. Teman-teman dari Fakultas psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 seperti Rosliana, Susi, Irvine, Grace, Simson, Kristin, Rahel, Vera, Paskha, Pontoria, Frans dll yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang mengajarkan banyak hal khususnya dalam menjalankan penelitian, mengolah data dan menyusun skripsi.

9. Dinas Pendidikan Kota Medan yang memberikan saya izin untuk dapat mengambil data ke sekolah.

(7)

11.Subjek penelitian peneliti, adik-adik yang telah memberikan kepercayaan dan waktu untuk mengisi kuesioner.

12.Adik-adik remaja yang bersedia menjadi subjek peneliti saat melakukan uji coba skala.

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun akan diterima. Akhir kata, peneliti sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Medan, Oktober 2015

Peneliti,

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri ... 13

1. Definisi Kontrol Diri ... 13

2. Fungsi Kontrol Diri ... 14

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 14

4. Strategi Kontrol Diri ... 15

5. Aspek-aspek Kontrol Diri ... 15

B. Struktur Keluarga ... 18

1. Keluarga Utuh ... 19

2. Keluarga Bercerai ... 20

C. Remaja ... 21

1. Remaja dari Keluarga Utuh ... 23

(9)

D. Perbedaan Kontrol Diripada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh

dan Keluarga Bercerai ... 27

E. Hipotesis Penelitian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 31

B. Definisi Variabel Penelitian... 32

1. Kontrol Diri Remaja ... 32

2. Struktur Keluarga ... 32

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 33

1. Populasi ... 33

2. Sampel ... 35

3. Metode Pengambilan Sampel ... 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

1. Kontrol Diri... 35

E. Uji Coba Alat Ukur ... 39

1. Uji Validitas Alat Ukur ... 39

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 39

3. Uji beda Aitem ... 40

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 40

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43

1. Persiapan Penelitian ... 43

2. Tahap Pelaksanaan ... 44

3. Tahap Pengolahan ... 45

H. Metode Analisis Data ... 45

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 47

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 47

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

B. Hasil Utama Penelitian ... 48

(10)

2. Hasil Uji Analisa Data ... 51

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 55

D. Pembahasan ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

1. Saran Metodologis... 64

2. Saran Praktis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(11)

DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Halaman

Tabel 3.1 Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba ... 38

Tabel 3.2 Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 41

Tabel 3.3 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba ... 43

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 47

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

Tabel 4.3 Hasil Uji Kolmogorov-smirnov untuk Uji Normalitas ... 49

Tabel 4.4 Perbandingan Nilai Mean Subjek ... 51

Tabel 4.5 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri Subjek ... 52

Tabel 4.6 Norma Kategorisasi Kontrol Diri ... 53

Tabel 4.7 Kategorisasi Data Kontrol Diri pada Subjek ... 54

Tabel 4.8 Hasil Uji Independent Sample t-Test Tiga Aspek Kontrol Diri .... 55

Tabel 4.9 Nilai Mean dan Standar Deviasi Tiga Aspek Kontrol Diri... 56

Tabel 4.10 Hasil Uji Independent Sample t-Test pada Remaja Laki-laki dan Perempuan... 57

Tabel 4.11 Nilai Mean dan Standar Deviasi pada Remja Laki-laki dan Perempuan ... 58

(12)

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar Halaman

(13)

Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

Yap Rima Oktavya Sinaga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai. Populasi dalam penelitian ini adalah 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan usia 12-15 tahun dan tinggal di kota Medan. Data penelitian dikumpulkan dengan skala kontrol diri yang memiliki indeks diskriminasi bergerak antara 0,275-0,634 dan reliabilitas 0.875.

Hasil penelitian mendapatkan ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai, yakni remaja dari keluarga utuh memiliki kontrol diri yang lebih tinggi (X=95,17) daripada remaja yang berasal dari keluarga bercerai (X=87,4). Perbedaan kontrol diri remaja berdasarkan struktur keluarga (KU=keluarga utuh; KC=Keluarga bercerai) terlihat dari hasil berikut: kategori kontrol diri rendah 9,6% (KU) vs 28,8% (KC); kategori sedang 67,3% (KU) vs 57,7% (KC); kategori tinggi 23,1% (KU) vs 13,5% (KC).

(14)

Differences in Self-Control of Adolescent Who Come from the Intact and Divorced Families

Yap Rima Oktavya Sinaga ABSTRACT

This study aims to look at differences in self-control of adolescents who come from intact and divorced families. Subject in this study were 52 adolescents who come from intact families and 52 adolescents who come from divorced families by the age of 12-15 years and living in Medan. Data were collected by self-control scale which has index discrimination moving between 0.275 to 0.634 and reliability 0.875.

The results of this study show that there is difference in self-control of adolescents who come from intact and divorced families, in which adolescents from intact families have higher self-control (X=95.17) than adolescents who come from divorced families (X=87.4). Differences in adolescents self-control based of the family structure (IF=intac familyt; DF=divorced family) showed by this result: low self-control category 9.6% (IF) vs 28.8% (DF); middle category 67.3% (IF) vs 57.7% (DF); high category 23.1% (IF) vs 13.5% (DF).

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini. Banyak kejadian dan peristiwa penting terjadi pada masa ini, sehingga kebanyakan orang tidak akan dapat melupakan masa remajanya. Mereka yang berada pada usia remaja akan berusaha menikmati dan mengisi masa remajanya dengan berbagai kegiatan yang menarik. Selain menarik, masa ini juga penuh dengan tantangan dan tekanan sehingga dikenal sebagai masa storm and stress (Hurlock 1999).

Masa Storm and stress atau masa badai dan tekanan, disebut tekanan karena seseorang akan mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Banyak terjadi perubahan, baik secara fisik, psikis, sikap, perilaku, emosi dan sosial pada masa peralihan ini (Santrock, 2009).

(16)

Averill (dalam Ghufron & Risnawati, 2011) mendefisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, serta kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini memberi dampak positif atau keuntungan bagi diri sendiri. Remaja dengan kontrol diri yang tinggi akan sangat memperhatikan bagaimana cara berperilaku yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi serta penerimaan sosial terhadap cara seseorang berperilaku, bersikap dan mengatur emosinya, berbeda dengan remaja dengan kontrol diri rendah yang cenderung kurang mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari perilaku mereka (Kartono, 2008).

Remaja dengan kontrol diri yang tinggi menunjukkan kemampuan belajar yang lebih baik. Kontrol diri yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mendapatkan prestasi sekolah yang lebih baik, tidak mudah cemas dan depresi, self esteem tinggi dan kepuasan hubungan yang lebih baik (Crandell, dkk, 2009).

(17)

Remaja dengan kontrol diri yang rendah tampaknya sangat banyak ditemui kasusnya dalam kehidupan sehari-hari saat ini. banyak remaja yang perilakunya menyimpang dari apa yang dipandang baik dan positif oleh masyarakat. Perkembangan yang bersifat negatif ini mengacu pada perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang dapat diterima oleh masyarakat, seperti perilaku yang melanggar, dan bahkan tindakan-tindakan kriminal (Santrock, 2009). Beberapa contoh hal negatif yang banyak dilakukan oleh remaja pada saat ini antara lain adalah mencontek, bolos sekolah, merokok, menonton film porno, mengonsumsi obat-obat terlarang, kecanduan bermain game, minum minuman keras, tawuran, terlibat dengan geng yang anarkis, pergaulan bebas, dll.

Jumlah kegiatan remaja yang bersifat negatif yang salah satunya kenakalan, saat ini tergolong sangat tinggi. Remaja yang terlibat dengan kenakalan remaja ternyata mempunyai sifat kepribadian khas, salah satunya adalah mereka kurang memiliki kontrol diri (Kartono, 2008). Sebagaimana pernyataan Kartono, Santrock (2009) juga menyatakan hal yang sama, yaitu perilaku kenakalan remaja digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.

(18)

kriminal di televisi dan media massa lainnya yang selalu disajikan setiap harinya. Meningkatnya tingkat kenakalan remaja ini juga ditunjukkan oleh data Polda Metro jaya yang menyatakan bahwa kenakalan remaja pada tahun 2012 meningkat sebanyak 36,33%, yang mana bentuk perilaku kenakalan yang paling banyak meningkat adalah perkelahian, pencurian, judi, dan penggunaan narkotika (Berita Satu, 2012).

Data dari lembaga pemasyarakatan menunjukkan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia, provinsi Sumatera utara pada tahun 2015 memiliki jumlah tahanan anak laki-laki dan perempuan sebanyak 129 orang. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbanyak diantara semua provinsi di indonesia (Sistem Database Pemasyarakatan, 2015).

Faktor rendahnya kontrol diri pada remaja juga berpengaruh terhadap perilaku bully (Unnever & Cornell, 2003). Indonesia saat ini masuk ke dalam negara dengan tingkat bullying terbesar di dunia, yang mana Indonesia berada pada peringkat kedua (Latitude News, 2012).

(19)

Remaja harusnya sudah dapat mengetahui mana perilaku buruk yang tidak dapat diterima oleh masyarakat serta memberikan pengaruh negatif terhadap diri sendiri, namun remaja yang memiliki kontrol diri yang rendah umumnya tidak mengenali hal ini (Santrock, 2003).

Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor-faktor yang memepengaruhi kontrol diri ini terdiri dari faktor-faktor internal (dari diri individu), dan faktor eksternal (lingkungan individu). Salah satu faktor internal kontrol diri adalah usia. Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga khususnya orangtua (Ghufron & Risnawati, 2011). Remaja yang pada dasarnya sudah berada pada masa badai dan tekanan (Hurlock, 1999) membuat remaja sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekat yaitu orangtua. Orientasi pada masa remaja memang lebih kepada teman sebaya. Dari teman sebaya remaja dapat belajar banyak hal, baik itu positif maupun negatif, dan dalam hal inilah orangtua sangat dibutuhkan. Orang tua berfungsi sebagai sosok yang menanamkan nilai-nilai disiplin pada anak. Sehingga remaja yang orientasinya lebih kepada teman sebaya masih dapat dikendalikan sehingga tidak terlibat dengan pengaruh negatif yang berasal dari teman (Hurlock, 1999). Orangtua yang secara konsisten menerapkan perilaku disiplin pada remaja, khususnya yang dilakukan sejak dini, memungkinkan anak memiliki kontrol diri yang tinggi (Phythian, 2008).

(20)

dll (Santrock, 2009). Perubahan dalam kepuasan pernikahan dapat berujung pada perceraian, yang mana perceraian ini akan mengakibatkan perubahan struktur keluarga. Keberadaan ayah dan ibu secara bersama-sama menunjukkan keutuhan sebuah keluarga secara struktural. Secara struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti kehadiran orangtua, anak dan kerabat lainnya (Lestari, 2012).

Struktur keluarga baik itu utuh atau tidak utuh, yang dalam hal ini bercerai juga turut mempengaruhi perkembangan sosial remaja (Ahmadi, 1991). Sebagaimana Herbert C.Quay (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa keutuhan keluarga, baik utuh secara struktur maupun secara interaksi mempengaruhi perkembangan sosial remaja. Keluarga yang utuh menjadi idaman bagi banyak orang khususnya bagi anak. Keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan memahami arahan orangtua. Arahan dan bimbingan dari kedua orangtua membuat remaja tidak mudah dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (Gunarsa, 2009). Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dengan suasana keluarga yang positif cenderung dapat menjalani masa remajanya tanpa menghadapi masalah yang serius (Papalia, 2009).

(21)

kurang baik selama masa anak-anak, serta pola asuh yang membuat remaja sangat bergantung dengan orangtua (Hurlock, 1999). Remaja dengan kebiasaan buruk dan negatif juga ditemui pada keluarga utuh. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Bangun (2006) yang menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga utuh juga terlibat dengan perilaku kenakalan remaja.

Meskipun ada kalanya struktur keluarga utuh tidak menjamin sepenuhnya perkembangan remaja, namun perubahan struktur keluarga akibat perceraian tetap saja menjadi suatu hal yang tidak diharapkan oleh siapapun. Perceraian sebagaimana Hurlock (1999) nyatakan terjadi apabila antara suami dan isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perceraian yang terjadi dapat berupa perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam, atau salah satu (isteri/suami) meninggalkan keluarga.

Perceraian saat ini dianggap menjadi hal yang biasa. Di Indonesia sendiri angka perceraian tergolong cukup tinggi, khususnya di Medan, Sumatera Utara. Menurut Pengadilan Tinggi Agama, perceraian tahun 2013 meningkat dari tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan jenis perkara diketahui bahwa pada tahun 2013 jumlah cerai talak terdapat 2.549 kasus dan cerai gugat sejumlah 6939 kasus. Kenaikan setiap tahunnya berkisar 15% sampai dengan 20% (Pengadilan Tinggi Agama, 2013).

(22)

(Santrock, 2009). Kehilangan kontrol diri inilah yang selanjutnya berpengaruh pada kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial (Papalia, 2009) dan cenderung terlibat dengan kenakalan remaja (Kartono, 2008). Hal ini salah satunya dipengaruhi juga oleh faktor komunikasi. Remaja yang berasal dari keluarga bercerai kemungkinan akan mengurangi komunikasi antara anak dengan kedua orangtua, padahal komunikasi menjadi penentu terhadap bagaimana cara remaja dapat menghadapi perubahan dalam hidupnya secara efektif (DeGenova, 2008).

Di sisi lain, remaja yang tinggal dengan keluarga bercerai tidak selamanya menunjukkan perilaku yang menyimpang, terkadang mereka lebih mandiri (Lestari, 2012). Remaja dari keluarga bercerai juga menjadi lebih bertanggungjawab, karena mereka banyak belajar untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan mempertanggungjawabkan apa yang mereka kerjakan. Selain itu, mereka juga lebih terampil dalam melakukan beberapa hal khususnya melakukan apa yang orang dewasa dapat lakukan. Keterampilan ini diperoleh karena mereka cenderung akan membantu orangtua tunggal akibat perceraian (DeGenova, 2008).

(23)

remaja yang berasal dari keluarga bercerai untuk dapat melakukan penyesuaian dengan baik.

Dari beberapa kajian yang telah dikemukakan terdapat kontroversi antara keluarga bercerai dengan keluarga utuh dalam peranannya terhadap kontrol diri, sehingga perlu dikaji lebih jauh bagaimana sebenarnya peranan struktur keluarga terhadap kontrol diri pada remaja. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga bercerai lebih sering terlibat dengan perilaku negatif yang menunjukkan rendahnya kontrol diri mereka bila dibandingkan dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh, namun dari fenomena yang terjadi di lapangan, remaja yang dibesarkan dalam keluarga bercerai tidak selalu terlibat dengan perilaku negatif atau kenakalan remaja yang menunjukkan rendahnya kontrol diri mereka. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan membandingkan kontrol diri remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah perbedaan kontrol

diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai?”

C. Tujuan Penelitian

(24)

mengungkapkan ada atau tidaknya perbedaan kontrol diripada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentunya dilakukan dengan harapan akan memberikan manfaat. Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan. Selain itu, hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap teori kontrol diridan perceraian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak sebagai berikut ini:

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kontrol diri remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai

b. Remaja

(25)

perbedaan kontrol diri pada remaja dengan struktur keluarga utuh dan bercerai.

c. Orangtua

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua mengenai perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari struktur keluarga utuh dan keluarga bercerai. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuat orangtua lebih waspada dengan masa perkembangan remaja.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berguna untuk memberikan gambaran yang jelas tentang penelitian yang akan dilakukan agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan, secara sistematis, susunan tulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan permasalahan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

(26)

3. Bab III Metode Penelitian, yang berisi tentang variabel penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, subjek penelitian, dan analisis data yang digunakan dalam penelitian serta prosedur penelitian.

4. Bab IV Analisa dan Interpretasi data, yang berisikan gambaran sampel penelitian, uji asumsi penelitian, uji hipotegsa hasil penelitian dan hasil tambahan penelitian, serta pembahasan

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kontrol Diri

1. Definisi Kontrol Diri

Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam, Ghufron & Risnawati, 2011). Sedangkan menurut Contrada & Goyal, 2004 (dalam Sarafino, 2010) kontrol diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk membuat keputusan, bertindak secara efektif terhadap apa yang dibutuhkan dan menolak melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.

(28)

2. Fungsi Kontrol Diri

Fungsi kontrol diri di usia remaja menurut Messina & Messina antara lain adalah sebagai berikut:

a. Membatasi perhatian remaja terhadap orang lain

b. Membatasi keinginan remaja untuk mengendalikan orang lain dan lingkungan

c. Membatasi tingkah laku individu agar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku (Gunarsa, 2003).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Secara garis besar, (Ghufron& Risnawati, 2011) menyatakan bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (dari luar diri individu).

a. Faktor Internal

Salah satu faktor internal kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan kontrol diri seseorang tersebut. b. Faktor Eksternal

(29)

4. Strategi Kontrol Diri

Hoch dan Loewenstein (1991) menyebutkan terdapat tiga strategi kontrol diri yang dapat membatasi keinginan sebagai berikut:

a. Penghindaran (Avoidance) yang berarti membatasi keinginan dengan cara menghindari situasi yang cenderung meningkatkan keinginan tersebut. b. Penundaan dan Selingan (Postponement and distraction), merupakan

usaha membatasi keinginan dengan cara menunda pilihan sampai masa mendatang, sementara dalam kasus selingan yang dilakukan adalah mencoba untuk memikirkan hal lain.

c. Pengganti (Substitution) merupakan cara membatasi keinginan dengan cara memberikan reward pada diri segera setelah diri sendiri mampu menolak dorongan atas keinginannya.

5. Aspek-Aspek Kontrol Diri

Averill menyatakan terdapat tiga aspek dalam kontrol diri yaitu, kontrol: perilaku yang mengacu pada cara melakukan sesuatu, kognitif untuk serangkaian proses berpikir, dan keputusan (dalam Ghufron dan Risnawati).

a. Kontrol Perilaku (Behavior Control)

(30)

yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi atau mengubah stimulus (Stimulus Modifiability). Kemampuan untuk mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan. Kemampuan tidak lepas dari mempertanyakan kemampuan individu sendiri, apakah individu tersebut dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk dapat mengendalikan situasi tersebut. Individu dengan kontrol diri yang baik akan mampu mengatur suatu situasi atau keadaan dengan menggunakan kemampuannya sendiri. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui kapan suatu stimulus dan situasi yang tidak dikehendaki akan terjadi dan bagaimana harus mempersiapkan diri dan menghadapi situasi tersebut. Cara yang dapat dilakukan dalam mengatur stimulus adalah dengan cara mencegah atau menjauhi stimulus, membatasi atau menunda stimulus, serta menghentikan suatu stimulus.

b. Kontrol Kognitif (Cognitive Control)

(31)

ada. Menurut Cohen (Dalam Sarafino, 2010) kontrol kognitif berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan proses dan strategi berpikir untuk memodifkasi dampak dari stress dengan cara memikirkan dampak positif sebuah kejadian atau berpikir secara netral terhadap sesuatu.

Aspek ini terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu, perolehan informasi (information gain) dan penilaian (Appraisal). Hal yang dilakukan ketika berada dalam proses pemerolehan informasi adalah individu dapat melakukan antisipasi terhadap suatu keadaan yang diketahui tidak menyenangkan. Ketika sudah diketahui bahwa terdapat kemungkinan terjadinya kondisi yang tidak menyenangkan, maka individu dapat melakukan antisipasi.

Kontrol secara kognitif dapat semakin meningkat dengan cara meningkatkan pemahaman seseorang tentang suatu peristiwa atau situasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan pemahaman tentang konsekuensi yang akan terjadi. Misalnya, pasien yang akan menjalani operasi diberitahu terlebih dahulu apa yang akan terjadi selama perawatan di rumah sakit. Jika informasi yang dibagikan benar-benar berguna, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kontrol seseorang atau mengubah persepsi orang tersebut (Veitch, 1996).

(32)

memiliki kontrol diri yang cukup atau tidak untukmengahadapi suatu peristiwa (Rothbaum, Weisz, & Snyder, 1982).

c. Kontrol Keputusan (Decisional Control)

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau tindakan berdasarkan pada sesuatu yang disetujui atau diyakini. Kontrol keputusan sangat berperan dalam membantu seseorang mengatasi masalahnya ketika berada dalam kondisi stres (Shanahan 2010). Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Banyak ahli dan teori yang meyakini bahwa kontrol yang dirasakan seseorang berfungsi sebagai prediktor yang lebih kuat daripada kontrol yang sebenarnya (Skinner, 1996). Keyakinan diri akan kontrol yang dimiliki menjadi pendorong yang kuat bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Skinner, 1996).

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol diri.

B.Struktur Keluarga

(33)

dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

Kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu juga dengan remaja. Perilaku orangtua dapat mempengaruhi perilaku remaja secara langsung dan tidak langsung. Salah satu contoh hubungan tidak langsung adalah konflik yang terjadi antara orangtua akan mempengaruhi efektifitas orang tua dalam melakukan fungsinya (Santrock, 2003).

Menurut Koerner dan Fitzpatrick, keluarga dapat didefinisikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dandefinisi interaksional. Secara struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti kehadiran orangtua, anak dan kerabat lainnya (Lestari, 2012).

Keluarga jika dilihat dari kelengkapan strukturnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu keluarga utuh dan keluarga bercerai. Berikut ini merupakan penjelasan kedua jenis keluarga tersebut.

1. Keluarga Utuh

(34)

orangtuanya, yang mana anak merasa aman dan terlindungi berada dalam keluarga tersebut.

Orientasi keluarga utuh timbul dari komitmen antara suami-istri dan komitmen mereka dengan anak-anaknya. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena hubungan keluarga ditandai oleh kasih sayang, perasaan yang medalam, saling mendukung, dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami istri yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang paling penting dalam membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera (Gunarsa, 2003). Pada dasarnya keluarga yang utuh dan berada dalam perkawinan yang sah menurut Lestari (2012) lebih menjamin kesejahteraan anak.

Keluarga yang utuh menunjukkan salah satu ciri keluarga yang harmonis. Keharmonisan di dalam suatu keluarga sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak-anaknya terutama remaja yang berada pada masa transisi. Karena masa tersebut perkembangan jiwa anak belum stabil, mereka tengah mengalami banyak konflik batin dan kebingungan (Kartono, 2008). Gunarsa (2009) menambahkan bahwa anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng dalam mencegah perilaku agresif anak.

2. Keluarga Bercerai

(35)

Hubungan keluarga yang buruk mengakibatkan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih pada masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan anak perempuan tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk memperoleh rasa aman (Hurlock, 1999). Perubahan struktur keluarga akibat perceraian tentunya menghasilkan stress pada orangtua (Papalia, 2009).

C. Remaja

Remaja diartikan sebagai masatransisi atau peralihan antara masa anak ke masa dewasa (Hurlock, 1999). Masa remaja dimulai sekitar 10-13 tahun dan berakhir di usia 18-21 tahun. Masa remaja dibagi lagi menjadi masa remaja awal (berada pada masa sekolah menengah pertama, mulai dari 12-15 tahun) dan masa remaja akhir (mulai usia 15 hingga 21 tahun) (Santrock, 2003).

(36)

Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial. Periode ini merupakan periode yang berisiko. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan orang dewasa khususnya orangtua dalam mengtasi bahaya saat menjalani masa ini. Perilaku berisiko menunjukkan belum matangnya pemikiran remaja (Papalia, 2009).

Remaja yang pada dasarnya berada pada masa tekanan dan stres sangat membutuhkan peran orangtua untuk membantu mereka menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Hubungan yang dekat antara remaja dan orangtua sangat penting, karena hubungan antara remaja dan orangtua akan mempengaruhi bagaimana remaja dapat menjalankan hubungan baru dengan orang lain di masa selanjutnya (Santrock, 2003). Pada masa remaja, remaja dihadapkan pada dunia baru, sudah dipercayakan untuk memilih dan menentukan keputusan, untuk menjalankan semuanya remaja butuh kontrol diri, yang membatasi remaja agar tidak sampai melakukan perilaku menyimpang.

Pada awal masa remaja, kebanyakan individu tidak dapat menentukan keputusan yang tepat dalam semua sisi kehidupannya (Santrock, 2003). Orangtua berperan sebagai sosok yang memberikan dukungan dan dorongan bagi anak remajanya agar dapat menjalankan peran sosial yang lebih luas dan lebih baik.

(37)

keluarga, baik utuh dan bercerai. Penjelasan tentang bagaimana keadaan remaja yang berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai dengan orangtua utuh

1. Remaja dari Keluarga Utuh

Remaja yang berasal dari keluarga utuh maksudnya adalah remaja yang merupakan anak dari sebuah keluarga, tinggal dalam keluarga yang memiliki kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan remaja sebagai anak. Sebuah keluarga dimana anak tinggal dalam suatu kesatuan dengan kedua orang tua biologisnya.

Keluarga yang utuh memungkinkan orangtua mengetahui hal-hal mendasar tentang perkembangan remaja, secara lebih efektif mengawasi kehidupan anak remaja, dan menyesuaikan tingkah laku mereka ketika anak remaja semakin tumbuh dan semakin matang (Santrock, 2003).

(38)

menjalani masa remajanya tanpa menghadapi masalah yang serius (Papalia, 2009).

Sikap dan perilaku remaja yang berasal dari keluarga utuh tidak selamanya dan mutlak akan berkembang ke arah positif, karena terdapat faktor lain yang tentunya berperan terhadap perkembangan remaja seperti teman sebaya. Pergaulan yang buruk, pengaruh soioekonomi, kualitas lingkungan dan kebiasaan yang buruk dapat memberikan pengaruh buruk bagi remaja, yang salah satunya adalah ikut terlibat dalam kenakalan remaja (Santrock, 2003).

Meskipun begitu, hubungan dengan kedua orangtua sangat penting bagi perkembangan remaja, karena remaja akan mencapai titik dimana mereka memerlukan dukungan yang memadai untuk pendidikan dan kasih sayang dari orangtua yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber kenyamanan bagi remaja(Santrock, 2003). Skaggs dan Jodl mengungkapkan bahwa remaja yang tinggal di keluarga utuh lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal di keluarga bercerai yang memiliki masalah kompleks.

2. Remaja dari Keluarga Bercerai

(39)

Perceraian orangtua yang memiliki anak remaja meningkatkan risiko seperti perilaku antisosial, kesulitan dengan figur otoritas dan keluar dari sekolah (Papalia, 2009). Perilaku kenakalan lebih tinggi kemungkinannya berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai berbeda dengan keluarga yang orangtuanya utuh atau tetap bersama. Selain itu mereka juga memiliki perasaan sedih, khawatir atau penyesalan yang berkepanjangan.Menurut (Dacey & Kenny, 1997), remaja awal yang mengalami perceraian orang tua lebih memungkinkan untuk mempunyai masalah sekolah, termasuk prestasi yang lebih rendah dan perilaku yang menggangu.

Usia yang dianggap paling bermasalah ketika perceraian terjadi adalah pada usia remaja awal. Mereka akan cenderung membedakan dan membandingkan dirinya dengan teman yang tetap tinggal dalam keluarga utuh. Remaja tersebut pada umumnya tetap menimpan kemarahan dalam hatinya. Perceraian yang terjadi ketika seseorang memasuki remaja awal lebih memungkan remaja tersebut terlibat dengan perilaku kenakalan remaja (Santrock, 2003). Perubahan secara struktur akan mempengaruhi perubahan fungsional.

(40)

ayah atau ibu dalam suatu keluarga secara fisik. Sedangkan model faktor berganda menyatakan bahwa perbedaan remaja dari keluarga bercerai tidak hanya dari segi struktur tetapi juga kerumitan masalah selama proses perceraian terjadi (Santrock, 2003).

Perceraian orangtua diketahui memiliki banyak dampak negatif seperti anak remaja yang merasa diabaikan, bingung, resah, kenakalan remaja, rasa tidak percaya, lenyapnya kontrol diri, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, mengembangkan kesadaran yang salah, dll (Kartini, 2008). Pengaruh perceraian lainnya terhadap kehidupan anak antara lain adalah rendahnya subjective well-being (Dewi & Muhana, 2013).

Umumnya anak korban perceraian merasa malu karena mereka merasa berbeda (Hurlock, 1999). Papalia (2009) mengungkapkan selain rasa malu, dampak perceraian lainnya adalah anak menunjukkan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial, yang mana perasaan ini termanifestasi dalam bentuk perilaku yang suka marah, menjadi kasar, agresif serta prestasi sekolah menurun. Anak-anak yang tinggal bersama satu orangtua akibat perceraian cenderung tertinggal secara sosial dan pendidikan dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tinggal bersama orangtua yang utuh.

(41)

memiliki dampak yang sama baik itu terhadap remaja laki-laki maupun perempuan.

Terlepas dari semua dampak negatif yang telah dipaparkan, ternyata tidak selamanya anak dari keluarga bercerai memiliki kecenderungan untuk mengembangkan diri ke arah yang negatif, karena sebagaian dari remaja yang berasal dari keluarga bercerai justru lebih mandiri (Lestari, 2012). Hal ini dikarenakan, remaja dihadapkan pada tugas dan peran yang lebih banyak dan berat untuk menggantikan peran dan tanggung jawab yang hilang dari salah satu orangtua.

Meskipun demikian remaja akan memperoleh banyak sekali manfaat bila kedua orangtuanya memiliki keterlibatan yang tinggi dalam mendidik dirinya memberikan kehangatan dan pengasuhan, membantu remaja mengembangkan kendali terhadap dirinya sendiri dan menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan (Santrock, 2003).

D. Perbedaan Kontrol Diripada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh

dan Bercerai

(42)

ada di masyarakat. Perilaku remaja yang menyimpang dipandang sebagai perilaku negatif (Santrock, 2003).

Remaja dengan perilaku yang tidak sesuai seperti yang telah disebutkan di atas mempunyai sifat kepribadian khas, salah satunya adalah mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri (Kartono, 2008). Tanpa kontrol diri itu, remaja dapat menjadi pribadi yang lebih agresif dan tidak bisa diarahkan oleh orang dewasa. Selanjutnya muncullah kebiasaan buruk.

Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam Sarafino, 2010), yang membawa seseorang kepada konsekuensi yang positif.

Averill (dalam Ghufron& Risnawati, 2011) menyebutkan beberapa aspek Kontrol diri yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), kontrol keputusan (decisional control). Kontrol diri sangat diperlukan oleh remaja mengingat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan yang di dalamnya terjadi banyak perubahan drastis, baik secara fisik, kognitif, dan sosioemosional (Hurlock, 1999). Perubahan drastis ini memposisikan masa remaja sebagai masa badai dan tekanan (Hurlock,1999).

(43)

yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan keluarga khususnya orangtua. (Ghufron& Risnawati, 2011).

Keluarga adalah rumah tangga yang terbentuk karena hubungan darah atau perkawinan yang menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

Subsistem keluarga saat ini khususnya suami dan istri banyak yang mengalami masalah. Salah satunya adalah masalah perceraian. Perceraian pada akhirnya akan mengubah struktur keluarga yang seharusnya terdapat ayah, ibu dan anak. Perubahan struktur ini tidak dipungkiri akan memberikan dampak yang negatif karena sesuai dengan yang Santrock (2009) paparkan bahwa kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

(44)

lenyapnya kontrol diri remaja yang mengarahkan remaja memiliki kebiasaan serta perilaku yang bersifat negatif.

Berbeda dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh. Ketika keadaan keluarga masih seimbang dan utuh, maka orangtua secara khusus akan lebih dapat mengarahkan anak remajanya, sehingga remaja memiliki perilaku yang lebih sesuai dan positif.

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

1. Hipotesa nol: Tidak ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian menjadi faktor yang menentukan berjalannya suatu penelitian dengan baik. Karena metode penelitian sangat berpengaruh terhadap cara pengumpulan, analisa serta pengambilan keputusan yang benar dalam penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian dengan metode kuantitatif menekankan fungsi numerikal sebagai alat untuk mengambil kesimpulan yang dapat digenaralisasikan terhadap sebuah populasi. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian komparasi atau perbandingan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kontrol diri antara remaja yang berasal dari keluarga utuh dengan keluarga bercerai. Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya, karena itu peneliti akan melihat perbedaan secara langsung dan meilihat kelompok mana yang memiliki kontrol diri yang lebih tinggi.

A. Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2013). Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: 1. Kontrol diri remaja sebagai variabel tergantung (dependent variable).

(46)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel yang dapat diamati. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kontrol Diri Remaja

Kontrol diri remaja adalah kemampuan remaja untuk mengatur dan membatasi diri sendiri yang ditunjukkan melalui beberapa kemampuan, seperti mampu mengatur pelaksanaan, memodifikasi perilaku, berpikir secara netral atau memikirkan dampak positif suatu keadaan untuk mengurangi stres, mampu mengatur informasi yang diterima, mampu melakukan penilaian, serta kemampuan dalam menentukan pilihan.

Kontrol diri diukur dengan menggunakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan tiga aspek kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (dalam Ghufron & Risnawati, 2011), yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol keputusan. Semakin tinggi skor yang dimiliki oleh subjek, maka semakin tinggi pula tingkat kontrol subjek tersebut. Sedangkan semakin rendah skor subjek pada skala kontrol diri, maka semakin rendah pula kontrol diri subjek tersebut.

2. Struktur Keluarga

(47)

a. Keluarga Utuh

Keluarga utuh merupakan suatu keluarga yang didalamnya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang mana anak tinggal bersama dengan kedua orangtua biologisnya.

b. Keluarga Bercerai

Keluarga bercerai adalah keluarga yang di dalamnya terjadi perpisahan diantara kedua orangtua secara hukum maupun dengan diam-diam, atau salah satu (isteri/ suami) meninggalkan keluarga yang mengakibatkan anak tinggal dengan salah satu orangtua biologisnya. Struktur keluarga bercerai adalah keluarga yang di dalamnya terdapat ayah dan anak saja atau ibu dan anak saja. Faktor lama bercerai dalam hal ini tidak terlalu difokuskan karena peneliti lebih fokus pada dampak struktur yang utuh dan bercerai.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi

(48)

Karakteristik subjek secara umum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Remaja awal berusia 12-15, pada masa remaja awal kontrol diri sangat diperlukan karena pada masa ini remaja diharapkan sudah dapat menentukan dan memutuskan serta memanajemen beberapa hal terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Selain itu, struktur keluarga yang utuh dan bercerai pada umumnya menimbulkan dampak yang lebih berbahaya pada masa remaja.

b. Tinggal di Kota Medan

Selain karakteristik secara umum, terdapat juga karakteristik secara khusus yang didasarkan pada populasi yang berbeda. Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remaja yang berasal dari keluarga utuh dan kelompok remaja yang berasal dari keluarga bercerai. Berikut ini adalah karakteristik kedua populasi.

a. Karakteristik populasi remaja yang berasal dari keluarga utuh Remaja tinggal bersama dengan kedua orangtua biologisnya b. Karakteristik populasi remaja yang berasal dari keluarga bercerai

(49)

2. Sampel

Sampel merupakan bagian tertentu yang diambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci (Hadi, 2000). Sampel dalam penelitian ini adalah 104 anak remaja. 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai. Dari segi jenis kelamin, peneliti menggunakan laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan di bagian tinjauan pustaka bahwa dampak perceraian sama besarnya baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

3. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar dapat diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambailan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan purpossive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan karena faktor kesesuaian subjek dengan karakteristik populasi yang telah ditentukan sebelumnya.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Kontrol Diri

(50)

ini adalah metode pengambilan data dengan menggunakan skala. Skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi,2000).Skala kontrol diri menggunakan model skala likert, yang meletakkan respon subjek ke dalam garis kontinum. Skala kontrol diri disusun berdasarkan aspek-aspek kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (dalam ghufron, 2011). Terdapat 3 aspek kontrol diri yang akan diukur dengan menggunakan skala. Setiap aspek memiliki jumlah sub aspek yang berbeda. Kontrol perilaku memiliki 2 sub aspek, kontrol kognitif memiliki 2 subaspek dan kontrol keputusan hanya memiliki satu sub aspek. Setiap subaspek memiliki jumlah indikator perilaku yang berbeda. Aitem yang peneliti susun didasarkan pada indikator perilaku. Setiap indikator perilaku masing-masing didukung oleh 4-5 aitem. Hal ini sesuai dengan apa yang Azwar (2013) nyatakan, bahwa setiap indikator perilaku sebaiknya tidak hanya didukung oleh satu aitem saja. Jumlah aitem dari masing-masing indikator juga tidak harus sama.

Setiap aspek dalam skala ini disusun berdasarkan aitem favourable dan unfavourable. Peneliti menggunakan 5 pilihan jawaban untuk setiap aitemnya dengan rincian sebagai berikut:

Sangat Sesuai (SS): apabila subjek merasa pernyataan sangat sesuai dengan dirinya

(51)

Tidak Sesuai (TS): apabila Subjek merasa bahwa pernyataan tidak sesuai dengan dirinya

Sangat Tidak Sesuai (STS): apabila subjek merasa bahwa pernyataan sangat tidak sesuai dengan dirinya.

Respon yang menyatakan kesesuaian dipilih sebagai format respon

karena istilah ‘sesuai’ digunakan untuk mengukur perilaku, sikap, dan

(52)

Tabel 3.1. Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di perilaku yang bersifat buruk atau negatif informasi yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 26, 46

16, 36 5 10,2

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik buruknya suatu situasi

8, 17, 27, 37

47 5 10,2

(53)

E. Uji Coba Alat Ukur

Skala psikologi merupakan alat ukur yang mengukur indikator perilaku. Artinya atribut psikologi tidak dapar diukur secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Dalam artian apa yang akan diukur bersifat tidak pasti karena itu dibutuhkan validitas dan reliabilitas untuk menghindari kesalahan saat melakukan pengukuran. Karena itu juga dibutuhkan pengujian terhadap skala yang telah dibuat (Azwar, 2013). Pengujian skala kontrol diri yang menjadi alat ukur dalam hal ini mencakup uji validitas, reliabilitas dan uji daya beda aitem.

1. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki oleh skala psikologi sebagai alat ukur. Uji validitas bertujuan untuk melihat apakah alat ukur benar-benar mengukur apa hendak diukur yang dalam hal ini adalah alat ukur kontrol diri remaja (Azwar, 2013). Dengan kata lain, alat ukur tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur bukan mengukur bagian atribut lainnya. Ketika alat ukur dipandang mampu mengukur apa yang hendak diukur maka dapat disimpulkan validitas dari alat ukur tersebut baik. Terdapat beberapa jenis validitas, dan validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) (Azwar, 2013). Validitas ini menggunakan expert judgement yang menjadi penilai kesesuaian aitem dengan indikator perilaku sesuai dengan tinjauan pustaka yang digunakan.

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur

(54)

waktu yangberbeda (Osterlind, 2010). Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan data atau skor yang konsisten dan terpercaya.

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan teknik reliabilitas Alpha Cronbach. reliabilitas memiliki rentang nilai mulai dari 0-1. Semakin reliabilitas mendekati angka 1, maka semakin baik reliablitas alat ukur tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin reliabilitas mendekati angka 0, maka akan semakin rendah reliabilitas alat ukur tersebut (Azwar, 2013). Reliabilitas dalam penelitian ini akan diukur dan diolah dengan menggunakan program SPSS for Windows 17.0 version.

3. Uji Beda Aitem

Uji beda aitem bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem dapat membedakan individu satu dengan individu lainnya (Azwar, 2013). Dibedakan berdasarkan apakah seseorang tersebut sesuai dengan atribut yang hendak diukur atau tidak sesuai. Nilai batas minimal untuk uji beda atitem yang peneliti gunakan adalah minimal 0.30. Hal ini dikarenakan aitem dengan nilai beda sama atau lebih besar dari 0.30 dipandang cukup memuaskan begitu juga sebaliknya. Namun jika banyak aitem yang terbuang dapat dipertimbangkan untuk menurunkan nilai minimal menjadi 0.275.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

(55)

atas 20 orang (Azwar, 2013). Setelah data terkumpul peneliti mengolah data uji coba untuk melihat validitas, reliabilitas dan daya beda aitem skala kontrol diri. Uji coba menggunakan program SPSS 17.0 version for windows. Nilai koefisien korelasi yang peneliti gunakan minimal 0,275 (rix ≥ 0,275) (Azwar, 2013).

Tabel 3.2. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri

Aspek Sub Aspek Indikator Aitem J menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di perilaku yang bersifat buruk atau negatif yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 26, 46 16, 36 3 9,7

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik positif terhadap suatu kejadian atau peristiwa

9, 38, 48 18, 28 3 9,7

Kontrol Keputusan

(56)

Jika peneliti menggunakan nilai koefisien korelasi 0.3 maka jumlah aitem yang lolos hanya 26 aitem. Jumlah ini dipandang terlalu sedikit. Atas dasar pertimbangan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan aitem yang nilai koefisien korelasinya mendekati 0.30. Aitem yang dimasukkan kembali disesuaikan dengan kebutuhan indikator yang masih kekurangan aitem. Hal ini dapat dibenarkan seperti apa yang Azwar (2013) nyatakan, bahwa nilai koefisien korelasi dapat diturunkan menjadi 0.275. Karena nilai sudah diturunkan maka jumlah aitem yang peneliti gunakan dalam pengambilan data menjadi 31 aitem, yang masing-masing indikator perilaku diwakili oleh 2-4 aitem. Uji reliabilitas dari skala kontrol diri, menunjukkan nilai koefisien alpha sebesar 0,875. Koefisien korelasi aitem berkisar antara 0,275–0,634.

(57)

Tabel 3.3 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba

Mengerjakan sendiri hal yang dapat dikerjakan secara mandiri

1, 30 11, 20 4 12,9 Meminta bantuan orang lain

kerika tidak mampu menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan mengaruh buruk dari lingkungan

3 32 2 6,4

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di lingkungan

4, 33 - 2 6,4

Mampu menghentikan perilaku yang bersifat buruk atau negatif

24, 34

5, 44 4 12,9 Mampu menunda keinginan 35,

45 secara kognitif berdasarkan informasi yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 46 16 3 9,7

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik buruknya suatu situasi

17, 27

- 2 6,4 Berpikir secara netral atau

positif terhadap suatu kejadian atau peristiwa

9, 48 18 3 9,7

Kontrol Keputusan

Memilih hasil Memilih hasil yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di

Persiapan penelitian dilakukan peneliti dengan: a. Pembuatan alat ukur

(58)

kontrol diriremajasedangkan untuk status keluarga akan diketahui melalui data yang diperoleh dari guru BK.

b. Uji coba alat ukur

Uji coba alat ukur akan melibatkan 78 anak remaja usia 12-15 tahun. Peneliti mendatangi subjek secara langsung. Uji coba Alat ukur dilakukan pada bulan Juni yang dilakukan terhadap 78 anak remaja secara umum baik yang memiliki orangtua utuh maupun bercerai.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur, peneliti menguji validitas dan reliabilitas dari skala. Dari hasil uji coba maka terdapat 31 aitem yang lolos dari 49 aitem secara keseluruhan. Revisi dilakukan selama 1 minggu.

2. Tahap Pelaksanaan

(59)

sebelumnya, baik yang berasal dari keluarga utuh maupun dari keluarga bercerai. Peneliti selanjutnya kembali ke sekolah untuk membagikan kuesioner kepada siswa yang telah didata oleh Guru Bimbingan dan Konseling. Selain sekolah peneliti juga mendapatkan subjek dari luar sekolah seperti dari teman, keluarga, dll. Dari sekolah dan dari luar sekolah akhirnya didapatkan 52 subjek yang berasal dari keluarga utuh dan 52 subjek yang berasal dari keluarga bercerai.

3. Tahap Pengolahan

Setelah diperoleh data dari masing-masing subyek penelitian, maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan SPSS 17.0 for windows.

H. Metode Analisis Data

(60)

dengan menganalisis data yang diperoleh dari subyek penelitian dengan menggunakan t-test, karena penelitian hanya membandingkan dua kelompok saja. Data nantinya akan diproses dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows.

(61)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Bab ini berisi tentang analisa dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah 104 orang remaja awal yang memenuhi karakteristik populasi.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti berikut ini

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Persentase

12 Tahun 21 orang 20,19 %

13 Tahun 34 orang 32,69 %

14 Tahun 35 orang 33,65 %

15 Tahun 14 orang 13,46 %

Total 104 orang 100%

(62)

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berikut adalah tabel yang menggambarkan subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.2Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek

Keluarga Utuh

Subjek Keluarga Bercerai

Jlh %

Laki-Laki 15 orang 19 orang 34 orang 32,69 %

Perempuan 37 orang 33 orang 70 orang 67,31 %

Total 52 orang 52 orang 104 orang 100%

Berdasarkan tabel 4.2 maka diketahui bahwa remaja laki-laki yang menjadi subjek penelitian berjumlah 34 orang (32,69 %) dan 70 orang (67,31%) berjenis kelamin perempuan.

B. HASIL PENELITIAN

1. Uji Asumsi Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan independent sample t-test guna melihat perbandingan variabel kontrol diri pada dua kelompok subjek yang berbeda. Sebelum uji hipotesa dilakukan maka perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

a. Uji Normalitas Sebaran

(63)

metode one-sample Kolmogorov-Smirnov, dengan ketentuan jika p > 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tidak normal. Berikut adalah hasil uji normalitas .

Tabel 4.3 Hasil uji Kolmogorov-smirnov untuk Uji Normalitas

Kelompok Kolmogorov-Smirnova Keterangan Statistic Df Sig.

Kontroldiri

utuh ,063 52 ,200* Terdistribusi Normal cerai ,079 52 ,200* Terdistribusi

Normal Dari tabel 4.3 maka diketahui bahwa p pada subjek yang berasal dari keluarga utuh adalah sebesar 0,200. 0,200 lebih besar dari 0,05 (0,002>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data dari subjek keluarga utuh terdistribusi normal. Sama halnya dengan subjek dari keluarga utuh, subjek yang berasal dari keluarga bercerai juga memiliki sebaran data yang normal dengan p > 0,05 yaitu 0,200 > 0,05.

(64)

Gambar 4.2 Uji Normalitas Kontrol Diri Remaja dari Keluarga Bercerai

Normalitas ini juga didukung oleh grafik yang menunjukkan bahwa sebaran data berada tidak jauh dari garis normal. Normalitas ini menunjukkan bahwa sampel dalam penelitian bersifat representatif atau dapat mewakili populasi dari masing-masing kategori, yaitu kategori kontrol diri rendah, sedang dan tinggi.

b. Uji Homogenitas

Homogenitas diperlukan untuk melihat apakah kedua kelompok subjek memiliki varians yang sama. Homogenitas varians diukur dengan menggunakan SPPS melalui Leneve test. Cara untuk melihat homogenitas adalah dengan membandingkan nilai nilai α dengan nilai signifikansi (p).

Nilai α sebagai taraf kepercayaan dalam penelitian ini adalah 0,05. Jika p >

α maka dapat disimpulkan bahwa sampel bersifat homogen dan

(65)

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji levene-test untuk uji homogenitas, maka diketahui bahwa nilai p adalah 0,220 yang

berarti bahwa nilai p > α, sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel

dalam hal ini bersifat homogen.

2. Hasil Uji Analisa Data

a. Perbedaan Kontrol Diri pada Remaja yang Berasal dari Keluarga

Utuh dan Bercerai

Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah melihat ada atau tidaknya perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai. Pengujian hipotesa ini menggunakan independent sample t-test dengan taraf signifikansi sebesar 95%. Hipotesa alternatif akan diterima jika nilai p < 0,05.

Hasil Uji Independent Sample t-Test menunjukkan nilai p < α yang mana nilai p yang dihasilkan adalah 0,003. 0,003 < 0,05, sehingga dalam hal ini hipotesa alternatif diterima dan hipotesa nol ditolak. Kesimpulannya dalah terdapat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

Perbedaan nilai antara dua kelompok subjek juga dapat dilihat pada Mean dari masing-masing kelompok sebagai berikut.

Tabel 4.4 Perbandingan Nilai Mean Subjek

N Mean Std.

Deviation

Sd. Error Mean

Keluarga utuh 52 95,17 11,351 1,574

(66)

Berdasarkan tabel 4.4, maka dapat diketahui bahwa nilai mean pada subjek yang berasal dari keluarga utuh sebesar 95,17, sedangkan subjek dari keluarga utuh memiliki nilai mean sebesar 87,40. Nilai mean dari subjek remaja yang berasal dari keluarga utuh lebih tinggi jika dibandingkan dengan mean pada subjek yang berasal dari keluarga bercerai. Sehingga diketahui bahwa kontrol diri pada remaja dari keluarga utuh lebih tinggi dari pada kontrol diri remaja dari keluarga bercerai.

Berdasarkan tabel 4.4, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

b. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri

Hasil perhitungan mean empirik dan hipotetik kontrol diri remaja yang berasal dari keluarga utuh dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.5. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri Subjek

Struktur keluarga

Gambar

Tabel 3.2. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri
Tabel 3.3 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun judul penelitian yang dilakukan adalah Hubungan Tingkat Stres Ibu dan Pengasuhan Penerimaan-Penolakan dengan Konsep Diri Remaja pada Keluarga Bercerai..

Hasil penelitian menunjukkan nilai t sebesar 2,914 dengan signifikansi sebesar 0,004 (p &lt; 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan perilaku kekerasan dalam pacaran pada

Hasil (-0,667 ) menunjukkan hubungan negatif antara kontrol diri dengan intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja.. Kata kunci: kontrol diri, intensi perilaku seksual

Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang negatif signifikan antara komunikasi orang tua-remaja dan kontrol diri remaja dengan perilaku cyberbullying

Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka konsep diri remaja cenderung negatif, sedangkan semakin lama masa perceraian, maka konsep diri

Hubungan yang negatif tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kontrol diri pada remaja maka akan semakin rendah pula agresivitas remaja.. Hasil tersebut

Dengan ridlo Allah SWT pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Ditinjau Dari Kontrol.. Diri Dan Kontrol

Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kontrol diri pada remaja akhir di kota Padang berhubungan negatif yang signifikan terhadap kontribusinya pada perilaku seksual pranikah..