PERBEDAAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA
DARI KELUARGA UTUH DAN KELUARGA BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
NESA ANGGIA PINEM
NIM : 041301081
FAKULTAS PSIKOLOGI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Bapa yang di Surga yang telah senantiasa memberikan kesehatan dan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul Perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain :
1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, sp A (K), sebagai dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Dosen pembimbing yaitu Ibu Lili Garliah, M.Si yang telah sabar dalam membimbing
dan memberikan banyak masukan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Etty Rahmawati, M.Si, dan Ibu Sukaesih, M.Si, terima kasih atas kesediaanya
memberikan kritik, saran, bimbingan dan diskusi untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Mamak yang tersayang, uwa Yudhi dan jesika. Terima kasih selalu
mendoakan, menyayangi dan memberikan dukungan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga buat seluruh Keluarga Ginting yang telah mendoakan dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini . Terutama buat keponakan kecilku Alvin. Terima kasih selalu menghibur dengan tingkah lucumu.
5. Ignatius Dody Pranata Ginting. Seseorang yang membawa perubahan terbesar dalam hidupku. Terima kasih telah memberikanku kesempatan dan kebebasan, dukungan, doa dan kesabarannya sehingga skripsi dapat terselesaikan.
mama dengan gerakan kecilmu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kelahiranmu di dunia ini kelak dapat membawa sukacita dalam kehidupan mama dan semua orang.
7. Seluruh pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih untuk semua bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Buat Labsos Rebu Community yaitu Lany, Eqi, Maya yang sedang menantikan lahirnya bayi kecil (keponakanku), Juneidi, Asroni Widodo, dan Kristiandi (calon selebritis masa depan).Terima kasih sahabat-sahabat terbaikku buat semua kebersamaan, canda tawa, suka dan duka, serta semua hal yang telah kita lalui bersama selama kuliah. Terima kasih buat dukungan dan bantuannya selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga persahabatan kita tetap utuh walaupun jarak dan waktu memisahkan kita.
9. Sahabat-sahabatku lainnya Sastri, David, Saut, dan Bigman. Terimakasih buat kebersamaan kita sejak SMU, doa dan dukungannya selama mengerjakan skripsi ini. 10.Sahabat-sahabatku Angkatan 2004 yaitu Nisa, Kak vi, Charles, Ikun, Via, Indih.
Terima kasih buat kebersamaan dari awal kuliah. Kalian adalah teman-teman terbaikku. Terima kasih juga buat teman-temanku Astarie, Kiki, Kaka, Ela, Wia, dan teman-teman angkatan 2004 lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan menjadi bahan masukan yang berarti bagi peneliti. Semoga penelitian ini pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi semua pihak.
Medan, September 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian... 10
C. Manfaat Penelitian... 10
D. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI A. Keluarga ... 13
1. Definisi keluarga ... 13
2. Fungsi keluarga ... 14
3. Keluarga utuh ... 16
4. Keluarga bercerai ... 17
B. Keterampilan Sosial ... 20
1. Definisi keterampilan sosial ... 20
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial ... 22
3. Dimensi keterampilan sosial ... 25
C. Remaja ... 26
2. Tugas perkembangan remaja ... 27
D. Perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai ... 28
E. Hipotesis ... 31
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 32
B. Defenisi Operasional ... 32
C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 34
1. Populasi ... 34
2. Teknik pengambilan sampel ... 35
3. Metode Pengambilan sampel ... 35
D. Metode Pengumpulan Data ... 36
E. Uji Coba Alat Ukur ... 37
1. Validitas ... 37
2. Uji daya beda aitem ... 38
3. Reliabilitas ... 38
4. Hasil uji coba alat ukur ... 39
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 40
1. Tahap Persiapan penelitian ... 40
2. Pelaksanaan penelitian ... 41
3. Tahap pengolahan data ... 43
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 44
B. Uji Asumsi Penelitian... 45
1. Uji Normalitas Sebaran ... 45
2. Uji Homogenitas Varians ... 46
C. Hasil Utama Penelitian ... 47
D. Kategorisasi Data Penelitian ... 48
E. Hasil Tambahan Penelitian ... 50
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 53
B. Diskusi ... 54
C. Saran ... 57
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penilaian Skala Keterampilan Sosial ... 34
Tabel 2 Blue Print Skala Keterampilan Sosial Sebelum Uji Coba ... 35
Tabel 3 Distribusi Aitem-Aitem SKala Keterampilan Sosial ... 38
Tabel 4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 44
Tabel 5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45
Tabel 6 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 46
Tabel 7 Hasil Levene- tests untuk UJi Homogenitas Varians ... 47
Tabel 8 Hasil Uji Independent Sample t-Test ... 47
Tabel 9 Perbandingan Nilai Mean Subjek pada Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai ... 47
Tabel 10 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Keterampilan Sosial Remaja dari Keluarga Utuh ... 48
Tabel 11 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Keterampilan Sosial Remaja dari Keluarga Bercerai ... 49
Tabel 12 Norma Kategorisasi Keterampilan Sosial ... 49
Tabel 13 Kategorisasi Data Keterampilan Sosial ... 50
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenakalan remaja merupakan suatu isu yang sering ditampilkan dalam berbagai media. Media sering memuat berita tentang remaja seperti perkelahian remaja, tawuran, penyalahgunaan Narkoba, pergaulan bebas, seks bebas, balapan liar dan lainnya. Selain itu, tayangan kriminal di televisi juga memperlihatkan bahwa remaja juga termasuk sebagai pelaku tindakan kriminal seperti merampok, mencuri, mengedarkan Narkoba, memperkosa dan lain sebagainya.
Bimnas Polda Metro Jaya mengatakan bahwa di kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Jakarta misalnya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat 37 tewas (Tambunan, 2000). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah perkelahian pelajar.
sebanyak 3 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia dan 85 % penggunanya adalah remaja.
Pergaulan remaja yang tidak sehat juga berdampak pada meningkatnya jumlah remaja yang menderita HIV. Salah satu penyebab tingginya kasus HIV di Indonesia adalah akibat pergaulan bebas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan BKKBN (BKKBN, 2004), menunjukkan bahwa remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun. Hasil riset Synote tahun 2004 (Gatra, 2006) yang dilakukan di empat kota yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan juga membuktikannya bahwa dari 450 responden, 44 % mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun. Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak usia 13-15 tahun. Sebanyak 40 % responden melakukan hubungan seks di rumah. Sedangkan 26 % melakukannya di tempat kos, dan 20 % lainnya di hotel.
Pada dasarnya, remaja tidak ingin dianggap sebagai anak kecil lagi. Oleh karena itu, mereka mulai meniru perilaku yang mereka hubungkan dengan status dewasa. Menurut Hurlock (1999), mengatakan bahwa remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat perbuatan seks dan sebagainya.
Penyesuaian diri remaja kepada teman sebayanya merupakan usaha remaja untuk berada dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Pergerakan remaja menuju teman sebayanya adalah salah satu tugas perkembangan remaja. Seperti yang dikemukakan Monks, Knoers & Handitoko (2002), bahwa perkembangan sosial remaja dapat dilihat dengan adanya dua macam gerak yaitu memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman-teman sebaya. Rozak (2006) juga mengatakan bahwa remaja dalam kehidupan sosialnya lebih tertarik dengan kelompok manusia yang sebaya dengannya, sehingga apa yang dilakukan kelompok sebaya kemungkinan akan ditiru oleh remaja.
Teman sebaya memberikan pengaruh yang besar sehingga remaja berusaha untuk meniru dan konform dengan teman sebayanya. Menurut Santrock (1997), hal ini dapat terjadi karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya daripada masa pertengahan atau kanak-kanak akhir. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1999).
Pengaruh teman sebaya kepada remaja dapat berdampak positif atau negatif (Santrock, 1997). Pengaruh teman sebaya yang positif akan menguntungkan bagi remaja karena remaja dapat belajar mengembangkan dirinya selama bersama teman sebayanya. Seperti yang dikemukakan oleh Owen (2002), teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif pada perilaku remaja antara lain, meningkatkan kebiasaan belajar dan mendapat nilai baik, terlibat dalam pelayanan komunitas atau terbebas dari minuman beralkohol.
kebiasaan yang negatif seperti mabuk, merokok, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Apabila mereka mengikuti aturan yang ada dalam kelompok sebayanya tersebut maka remaja akan terlibat dalam masalah-masalah perilaku yang menentang norma yang ada di masyarakat agar dapat diterima oleh teman sebayanya. Seperti yang dikemukakan oleh Rozak (2006), apabila remaja tidak mengikuti teman sebayanya maka remaja akan merasa diasingkan dari kelompoknya.
Remaja dapat terhindar dari pengaruh buruk teman sebayanya apabila remaja mampu membina hubungan yang konstruktif. Selain itu, masalah-masalah yang dihadapi remaja dapat diatasi apabila remaja mampu membina hubungan dengan teman sebayanya tanpa mengabaikan aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Wildan (2002), menanggulangi masalah remaja juga dapat dilakukan dengan menuntut remaja agar dapat menyelesaikan masalah dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan yang berlaku dalam membina hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja perlu memahami dan mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan sosial adalah faktor yang mendasar dalam pembentukan hubungan, kualitas interaksi sosial dan bahkan kesehatan mental individu (Teodore & Kappler, 2005).
sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam hubungan interpersonal dan interaksi sosial, memperkuat perilaku yang dapat diterima secara sosial dan sesuai dengan aturan yang berlaku serta perilaku yang dapat dipelajari.
Keterampilan sosial sangat penting dimiliki oleh anak ketika anak akan memasuki masa remaja karena keterampilan sosial akan sangat membantu remaja dalam memasuki lingkungan sosialnya. Menurut Mu’tadin (2002), keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggung jawab sesuai perkembangan anak. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial adalah keluarga. Menurut Berns (2004), keluarga adalah tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan memegang tanggungjawab yang utama terhadap sosialisasi anak. Melalui sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional, dan kognitif sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang tidak disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku kenakalan remaja.
Dalam suatu keluarga, keberadaan orang tua tentu sangat penting bagi anak. Menurut Alvy (Lefrencois, 1993), orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam memenuhi kebutuhan dasar dan perawatan, perlindungan, membimbing dan mendukung perkembangan remaja. Rudyanto (Gunadarma, 2004) juga mengatakan bahwa orang tua yang paling bertanggung jawab dalam perkembangan keseluruhan eksistensi anak termasuk fisik dan psikis, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang kearah kepribadian yang harmonis dan matang. Dengan demikian, peranan orang tua sangat besar dalam proses perkembangan anak karena orang tua merupkan figur utama yang mempengaruhi anak dalam pertumbuhan dan perkembangan.
masalah dan intimasi. Hubungan orang tua dan anak yang baik mempengaruhi perkembangan hubungan sosial dengan orang lain seperti hubungan dengan teman dan pacar serta mempengaruhi perkembangan psikologis dan psikososial remaja.
Hubungan yang baik antara orang tua dan anak dapat terjadi apabila hubungan perkawinan antara orang tua juga berlangsung dengan baik dan harmonis. Menurut Rudyanto (Gunadarma, 2001), hubungan pernikahan dimana suami isteri merupakan suatu kesatuan, yang satu menjadi bagian dari yang lain dan yang lain selalu menjadi perlindungan bagi yang lainnya akan menimbulkan suasana keluarga penuh keakraban saling pengertian, persahabatan, toleransi, dan saling menghargai sehingga menciptakan suatu hubungan kelurga yang harmonis.
Pada dasarnya, tidak semua keluarga mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan yang baik antara suami isteri. Perselisihan yang terjadi dalam hubungan tersebut dapat berakhir pada sebuah perceraian. Perceraian akan memisahkan salah satu orang tua dari anaknya. Perceraian ini juga akan berdampak pada perkembangan anak selanjutnya. Seperti yang dikemukakan oleh Rudyanato (Gunadarma, 2004), ketegangan-ketegangan antara ayah dan ibu ini akan menghasilkan anak-anaknya tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang. Padahal faktor-faktor ini sangat penting bagi perkembangan anak secara normal. Rumah tangga yang tidak stabil ini serta perselisihan-perselisihan yang mendahului perceraian, menyebabkan anak bingung dan tidak tahu harus memihak kepada siapa.
memiliki konsekuensi terhadap fungsi keluarga dan sosialisasi terhadap anak-anak. Padahal, peran kedua orang tua sangat penting dalam sosialisasi anak karena masing-masing orang tua menterjemahkan masyarakat pada mereka seiring dengan pertumbuhan anak mereka (Berns, 2004).
Kehilangan salah satu orang tua akan sangat berpengaruh terhadap keadaan keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Berns (2004) bahwa orang tua tunggal bertanggung jawab pada dukungan finansial, perawatan anak dan pemeliharaan rumah. Orang tua yang berada di bawah kondisi ini akan mengalami stress sehingga menyebabkan pola asuh semakin berkurang. Selain itu, anak-anak harus menerima tanggung jawab yang meningkat untuk diri mereka sendiri, seperti memiliki waktu yang lebih sedikit untuk digunakan bersama orang tua dan menerima kasih sayang dan perasaan aman yang lebih kecil.
Kondisi orang tua yang berada dalam keadaan stress akan mempengaruhi pengawasan orang tua terhadap anak termasuk penanaman kedisiplinan pada remaja. Menurut patterson, disiplin orang tua yang tidak konsisten dan pengawasan yang ttidak efektif memperkuat perilaku pelanggaran remaja. Pola interaksi seperti interaksi seperti ini akan menghasilkan anak yang dikarakteristikan dengan adanya simptom-simptom antisosial dan kekurangan keterampilan sosial (Matlack, McGreevy, Rouse, Flatter & Marcus, 1994).
lebih baik untuk perkembangan anak daripada dalam keluarga orang tua tunggal. Lidz juga mengatakan bahwa anak menggambarkan dirinya sendiri setelah mengidentifikasi dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama tetapi menganggap orang tua dari jenis kelamin yang berlawanan sebagai objek yang dicintai, dimana kasih sayang dan dukungan dicari dengan identifikasi orang tua dari jenis kelamin yang sama.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti melihat bahwa keterampilan sosial sangat penting bagi remaja dan pembentukan keterampilan sosial tersebut dipengaruhi oleh keluarga. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah terdapat perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang psikologi perkembangan.
2. Manfaat praktis
b. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pentingnya mengembangkan keterampilan sosial pada anak sehingga anak dapat melaksanakan tugas perkembangannya dengan baik dan berfungsi di dalam lingkungannya.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah : BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan keluarga, keterampilan sosial dan remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai serta hipotesa penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keluarga
1. Defenisi Keluarga
Menurut Burgess & Locke (Duvall & Miller, 1985), Keluarga adalah
sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; terdiri dari satu orang kepala rumah tangga, interaksi dan komunikasi satu sama lainnya dalam
peran suami istri yang saling menghormati, ibu dan ayah, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, dan menciptakan serta mempertahankan kebudayaannya.
Keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya,
tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsa, 2002).
Menurut McDaniel, secara umum keluarga dapat dilihat sebagai sekelompok
orang yang memiliki hubungan secara biologis, emosi dan ikatan secara hukum antara masing– masing anggotanya. Tolki-Nikkonen mengatakan bahwa dalam literatur sosiologi 1990-an, keluarga diartikan sebagai suatu unit yang paling
sedikit memiliki satu orang dewasa dan anak yang hidup bersama – sama (Numerals, 2000).
seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik,
serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Dengan demikian, keluarga dapat dimengerti sebagai sekelompok orang yang terikat oleh ikatan darah atau hukum, terdiri dari dua orang dewasa yang memiliki hubungan intim atau sedikitnya memiliki satu orang tua dan anak, melangsungkan
hidup bersama-sama dengan menciptakan dan mempertahankan kebudayaannya. 2. Fungsi Keluarga
Menurut Soelaeman (1994), fungsi keluarga adalah sangat penting sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis fungsi keluarga adalah
a. Fungsi edukatif
Adapun fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak serta pembinaan anggota keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
dan utama bagi anak. b. Fungsi sosialisasi
Tugas keluarga dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu agar menjadi pribadi yang mantap akan tetapi meliputi pula upaya membantunya dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik.
Orang tua dapat membantu menyiapkan diri anaknya agar dapat menempatkan dirinya sebagai pribadi yang mantap dalam masyarakatnya dan berpartisipasi
c. Fungsi lindungan
Mendidik pada hakekatnya bersifat meliputi yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dari hidup yang menyimpang dari
norma-norma. Fungsi lindungan itu dapat dilaksanakan dengan jalan melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diharapkan, mengawasi ataupun membatasi perbuatan anak dari perbuatan-perbuatan yang
tidak diharapkan, mengawasai ataupun membatasi perbuatan anak dalam hal tertentu, menganjurkan ataupun menyuruh untuk perbuatan-perbuatan yang
diharapkan, memberi contoh dan teladan dalam hal-hal yang diharapkan. d. Fungsi afeksi
Pada saat anak masih kecil perasaannya memegang peranan penting dapat
merasakan ataupun menangkap suasana yang meliputi orangtuanya pada saat anak berkomunikasi dengan mereka. Anak sangat peka akan suasana emosional yang meliputi keluarganya. Kehangatan yang terpancar dari
keseluruhan gerakan, ucapan, mimik serta perbuatan orangtua, juga rasa kehangatan dan keakraban itu menyangkut semua pihak yang tergolong
anggota keluarga. e. Fungsi religius
Keluarga berkewajiban memperkenalkan anak dan anggota keluarga pada
kehidupan beragama. Tujuan bukan sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama melainkan untuk menjadi insan beragama. Pendidikan dalan keluarga
f. Fungsi ekonomi
Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga oleh dan untuk semua anggota keluarga mempunyai kemungkinan menambah saling mengerti, solidaritas, tanggung
jawab bersama keluarga itu serta meningkatkan rasa kebersamaan dan keikatan antara sesama anggota keluarga.
g. Fungsi rekreasi
Rekreasi itu apabila ia menghayati suatu suasana yang tenang dan damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai dan kepada yang bersangkutan
diberikan perasaan bebas terlepas dari ketegangan dan kesibukan sehari-hari. h. Fungsi biologis
Fungsi itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis
anggota keluarga. Diantaranya kebutuhan akan keterlindungan fisik, kesehatan, rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan bahkan juga kenyamanan dan kekerasan fisik.
3. Keluarga utuh
Istilah utuh yang digunakan kepada sebuah keluarga dimana anak tinggal
dalam suatu kesatuan dengan kedua orang tua biologisnya (Gudman & Pina, 2002). Dalam Oxford Pocket Dictionary of current English, pengertian keluarga utuh adalah keluarga inti dimana keanggotaan tetap konstan, tanpa hadirnya
perceraian atau faktor-fakor yang memisahkan. Menurut Ahmadi (1991), keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak.
anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena
hubungan keluarga ditandai oleh kasih sayang, perasaan yang medalam, saling mendukung, dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami istri
yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang paling penting dalam membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera (Gunarsa, 2003).
4. Keluarga bercerai
Istilah bercerai yang digunakan kepada keluarga mengarah kepada perpisahan atau perceraian anak terhadap orang tua, oleh karena itu, anak tinggal dengan
salah satu orang tua biologisnya (Gudman & Pina, 2002).
Pernikahan adalah bentuk yang paling penting terhadap dasar kelekatan yang kan memiliki dampak negatif ketika suatu pernikahan hancur. Anak- anak
biasanya kehilangan suatu tingkat hubungan dengan salah satu figur lekatnya ketika suatu perceraian terjadi. Hal ini akan mengakibatkan suatu keadaan yang penuh tekanan dan membingungkan bagi anak. Booth, Clarke-Stewart,
Mc.Cartrney, Owen dan Vandell mengatakan bahwa anak dari keluarga bercerai memiliki masalah dalam sekolah, harga diri yang rendah, masalah perilaku,
Menurut Amato (2002), Faktor-faktor yang menjelaskan mengapa perceraian
mempengaruhi anak yaitu: a. Ketidakhadiran orang tua
Berdasarkan pandangan ini, perceraian mempengaruhi anak secara negatif karena anak kehilangan waktu, bimbingan, dan afeksi yang diperoleh dari salah satu orang tua (noncustodial parents). Ibu dan ayah merupakan sumber
pontensial yang penting bagi anak. Keduanya dapat memberikan sumber bimbingan praktis, dukungan emosional, perlindungan, dan pengawasan.
Perceraian biasanya mengakibatkan salah satu orang tua pergi. Biasanya kualitas dan kuantitas hubungan antara anak dan orang tua yang tidak mengasuh menjadi menurun dan ini yang mengakibatkan penyesuaian diri
anak lebih rendah jika dibandingkan anak dari keluarga utuh. b. Penyesuaian orang tua yang mengasuh dan kemampuan pola asuh.
Perceraian mempengaruhi anak secara negatif pada tingkat dimana perceraian
menganggu kesehatan psikologis orang tua yang mengasuh dan kemampuan untuk menjadi orang tua secara efektif. Setelah perceraian, orang tua yang
mengasuh menunjukkan simptom depresi dan kecemasan, serta kesehatan emosional yang lebih rendah. Hal ini yang akan menganggu pola asuh orang tua tunggal terhadap anak.
c. Konflik antara kedua orang tua.
Efek perceraian orangtua terhadap anak karena peran konflik diantara orang
Menjadi saksi pertengkaran secara langsung adalah sebuah tekanan bagi anak.
Orang tua yang melakukan kekerasan fisik secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa perkelahian adalah sebuah cara yang tepat untuk menyelesaikan
masalah. Dalam keadaan seperti ini, anak-anak dalam keluarga yang memiliki konflik yang tinggi tidak memiliki kesempatan untuk belajar cara yang lainnya untuk menunjukkan ketidaksetujuan seperti negosiasi dan melakukan
kompromi. Kegagalan untuk memperoleh keterampilan sosial dapat menganggu kemampuan anak untuk membentuk dan mempertahankan
pertemanan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal dalam keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi akan meningkatkan resiko berbagai masalah. Oleh karena itu, masalah yang dialami anak dari
perceraian sebenarnya disebabkan oleh konflik orang tua yang mendahului dan menyertai perceraian.
d. Kesulitan masalah ekonomi
Perceraian menghasilkan penurunan dalam standar kehidupan untuk ibu yang mengasuh dan anak mereka. Kesulitan ekonomi meningkatkan masalah
psikologis dan perilaku pada anak dan dapat mempengaruhi nutrisi dan kesehatan. Kesulitan ekonomi juga membuat kesulitan ibu yang mengasuh untuk menyediakan buku, mainan yang mendidik, dan sumber-sumber lainnya
yang memfasilitasi anak mencapai kemampuan akademis. Selanjutnya, keadaan ekonomi menekan orang tua untuk pindah ke lingkungan dimana
layanan yang tidak sesuai. Tinggal dalam lingkungan ini akan memfasilitasi
anak ketika memasuki remaja untuk terlibat dalam kenakalan remaja. 5. Tekanan hidup
Masing-masing faktor di atas seperti kehilangan kontak dengan orang tua yang tidak mengasuh, pengasuhan yang buruk oleh orang tua yang mengasuh dan penurunan standar kehidupan akan menunjukkan suatu tekanan pada anak.
Perceraian yang disertai dengan banyaknya perubahan yang muncul akan menimbulkan dampak negatif pada anak.
B. Keterampilan Sosial
1. Defenisi keterampilan sosial
Menurut Hargie, Saunders & Dickson, keterampilan sosial adalah keterampilan yang digunakan ketika berinteraksi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain, memiliki tujuan yang terarah, saling berhubungan, sesuai
dengan situasi yang ada, perilaku-perilaku yang sesuai dan dapat dipelajari (Gimpell & Merrell, 1998).Keterampilan sosial ini meliputi coping, komunikasi,
ekspresi diri, persepsi diri, penilaian terhadap orang lain dan manipulasi lingkungan sosial yang dihadapi ( Mattlack, McGreevy, Rouse, Flatter & Marcus, 1994).
Menurut Combs & Slaby (Cartledge & Milburn, 1995), keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial
atau menguntungkan orang lain. Defenisi yang lain dikemukakan oleh Libet &
Lewinshon (Cartledge & Milburn, 1995) yang menjelaskan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang kompleks untuk melakukan perbuatan
yang akan diterima dan menghindari perilaku yang akan ditolak oleh lingkungan(Yanti, 2005).
Michelson, Sugai, Wood dan Kazdin (Gimpell & Merrell, 1998)
mengemukakan tentang suatu defenisi keterampilan sosial yang menyeluruh yang melibatkan delapan komponen yaitu :
a. Keterampilan sosial diperoleh melalui proses pembelajaran (terutama melalui pembelajaran sosial meliputi observasi, modelling, dan umpan balik).
b. Keterampilan sosial terdiri dari perilaku verbal dan non verbal.
c. Keterampilan sosial meliputi respon yang efektif dan tepat. d. Keterampilan sosial mengoptimalkan penguatan sosial
e. Keterampilan sosial interaktif dengan sifat dan respon yang efektif dan tepat.
f. Pelaksanaan keterampilan sosial dipengaruhi oleh atribut seseorang dan lingkungan tempat suatu perilaku dilakukan.
g. Kekurangan dan kelebihan dalam penampilan sosial dibentuk melalui suatu intervensi.
Berdasarkan defenisi yang telah disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa
keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan yang dimiliki agar seseorang dapat berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosialnya melalui komunikasi,
memperkuat perilaku yang diterima secara sosial, mengekspresikan diri dan
pikirannya tanpa menyakiti orang lain, mempelajari perilaku yang menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain serta merupakan suatu perilaku
yang dapat dipelajari.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial
Menurut hasil studi Davis & Forsythe (Mu’tadin 2000), dalam kehidupan
remaja terdapat delapan aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial remaja yaitu:
a. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat
menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup, maka anak akan sulit
mengembangkan keterampilan sosialnya. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana demokratis dalam
keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak maka segala konflik yang timbul akan mudah
diatasi. Sebaliknya, komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan
b. Lingkungan
Sejak dini anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan
lingkungan sosial (tetangga), lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Sejak dini anak sudah mesti mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas,
tidak hanya terdiri dari orangtua, saudara, atau kakek dan nenek saja. c. Kepribadian
Secara umum penampilan sering diidentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Dalam hal ini, remaja hendaknya tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga
orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal
fisik seperti materi atau penampilan. d. Rekreasi
Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya dapat terpenuhi. Dengan rekreasi seseorang akan merasa mendapat kesegaran fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capai, bosan, monoton serta mendapatkan
semangat baru. e. Pergaulan
memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan lawan jenis akan
memudahkan anak dalam mengidentifikasi peran jenis kelaminnya yang menjadi sangat penting dalam persiapan berkeluarga.
f. Pendidikan
Pada dasarnya sekolah mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan sosial yang dikaitkan dengan
cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya. Peran orangtua di sini, menjaga agar keterampilan tersebut tetap
dimiliki oleh anak atau remaja dan dikembangkan terus-menerus sesuai dengan tahap perkembangannya.
g. Solidaritas
Pada masa remaja, peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Seringkali remaja bahkan lebih mementingkan urusan kelompok dibandingkan urusan dengan keluarganya. Hal tersebut merupakan suatu yang normal sejauh
kegiatan yang dilakukan remaja dan kelompoknya bertujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Orang tua perlu memberikan dukungan sekaligus
pengawasan agar remaja dapat memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat bagi perkembangan psikososialnya.
h. Pekerjaan
Setiap orang pasti akan menghadapi dunia kerja. Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah
kerja dan keterampilan sosial yang dibutuhkan, maka remaja yang terpaksa
tidak dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi akan dapat bersiap untuk bekerja.
3. Dimensi keterampilan sosial
Caldarella & Merrel (Gimpell & Merrel, !998) menjelaskan lima dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu :
a. Hubungan dengan teman sebaya
Keterampilan sosial yang menunjukkan seseorang yang berhubungan secara
positif/baik dengan teman sebayanya. Pola perilakunya meliputi hubungan interpersonal, prososial, perilaku sosial yang diterima teman sebaya dan penguatan dari teman sebaya
b. Pengaturan diri
Menunjukkan bahwa remaja yang dianggap orang lain mampu menyesuaikan kondisi emosinya menyesuaikan kondisi emosinya dengan baik dan mampu
mengontrol amarahnya, mengikuti aturan dan batasan-batasan yang ada, berkompromi dengan orang lain dan mampu menerima kritikan dari orang lain
dengan baik. Pola perilakunya meliputi kontrol diri, tanggung jawab sosial, aturan dan toleransi terhadap frustasi.
c. Kemampuan akademis
Keterampilan sosial yang dilihat pada remaja oleh guru melalui kemandirian dan produktifitasnya seperti menyelesaikan tugas atau mengerjakan tugas
diberikan oleh guru. Pola perilakunya meliputi menghormati aturan – aturan
yang terdapat di sekolah, orientasi tugas, dan tanggung jawab akademisnya. d. Kepatuhan
Menunjukkan kemampuan remaja untuk dapat bersama orang lain dengan tetap mengikuti aturan-aturan dan harapan-harapan menggunakan waktu secara tepat, dan saling berbagi. Pada dasarnya, remaja patuh terhadap
permintaan yang sesuai atau tepat. Pola perilakunya meliputi mengikuti aturan-aturan dan harapan-harapan dan menggunakan waktu secara tepat
e. Assertion
Keterampilan sosial yang membuktikan bahwa remaja dapat dilihat oleh orang lain sebagai seseorang yang outgoing dan ekstrovert.
C. Remaja
1. Defenisi remaja
Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks, 2002). Piaget (Hurlock,1999)
mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup emosional, mental, sosial dan fisik.
Santrock (2003), mengatakan bahwa masa remaja sebagai perkembangan
transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.
yang berlangsung dari usia 13 tahun sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang
bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 sampai 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase yaitu
remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (usia 15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun).
2. Tugas perkembangan remaja
Menurut havigurst (Hurlock, 1999) tugas perkembangan remaja meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
D. Perbedaan Keterampilan Sosial Remaja Pada Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai.
sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional, dan kognitif
sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat (Berns,2004).
Keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterampilan
sosial. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bercerai dimana anak tidak mendapatkan
kepuasan psikis yang cukup, maka anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya (Mu’tadin, 2000).
Perceraian yang terjadi dalam suatu keluarga akan mengakibatkan anak tidak dapat hidup bersama dengan kedua orang tuanya seperti anak dari keluarga utuh. Padahal, peran kedua orang tua sangat penting dalam sosialisasi anak karena
masing-masing orang tua menterjemahkan masyarakat pada mereka seiring dengan pertumbuhan anak mereka (Berns,2004).
Menurut Berns (2004), perceraian juga memiliki konsekuensi terhadap fungsi
keluarga dan sosialisasi terhadap anak-anak. Anak-anak yang tidak disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku
kenakalan remaja. Sebaliknya, anak-anak yang memperoleh sosialisasi dapat memperoleh keterampilan sosial.
Berdasarkan penelitian Paul R. Amato ( 2002), konflik diantara orang tua
merupakan suatu tekanan kepada anak. Hal ini juga menunjukkan bahwa anak bereaksi terhadap konflik dengan rasa takut, marah, agresi, atau perilaku yang
diselesaikan melalui konflik daripada diskusi. Sebagai hasilnya, anak tidak akan
belajar keterampilan sosial yang akan mereka butuhkan untuk membentuk hubungan yang baik/berhasil dengan teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang berasal dari keluarga utuh memiliki kedua orang tua yang memegang peranan utama dalam sosialisasi anak yang akan membantu terbentuknya keterampilan sosial pada anak
sedangkan anak dari keluarga bercerai tidak bisa tinggal dengan kedua orang tuanya seperti anak dari keluarga utuh. Perceraian antara kedua orang tua
membawa konsekuensi terhadap fungsi suatu keluarga karena tidak adanya salah satu peran orang tua dalam keluarga dan sosialisasi pada anak. Padahal, sosialisasi pada anak akan mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial pada anak. Oleh
karena itu, ada tidaknya kedua orang tua dalam suatu keluarga akan mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial pada anak.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan keterampilan sosial pada
BAB III
METODE PENELITIAN
Hadi (2000) mengatakan bahwa metode penelitian dalam suatu penelitian
ilmiah merupakan unsur penting, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Pada bab ini akan dijelaskan metode yang digunakan untuk menjawab
permasalahan penelitian. Penelitian ini bersifat komparatif yang melihat perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
A. Identifikasi Variabel
1.Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah struktur keluarga.
2.Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Struktur Keluarga
Struktur keluarga adalah susunan anggota dalam suatu keluarga. Berdasarkan susunan anggota suatu keluarga maka dapat diketahui apakah suatu keluarga
guru BP di beberapa sekolah dan pengetahuan peneliti tentang struktur keluarga subjek. Struktur keluarga dalam penelitian ini adalah :
a. Struktur keluarga Utuh
Keluarga utuh adalah sebuah keluarga dimana anak tinggal dalam suatu
kesatuan dengan kedua orang tua biologis. Struktur keluarga utuh adalah keluarga yang di dalamnya terdapat ayah, ibu dan anak.
b. Struktur keluarga bercerai
Keluarga bercerai adalah keluarga yang di dalamnya terdapat perpisahan secara hukum / perceraian antara orang tua. Oleh karena itu, anak tinggal dengan salah satu orang tua biologisnya. Struktur keluarga bercerai adalah
keluarga yang di dalamnya terdapat ayah dan anak atau ibu dan anak karena adanya perceraian antara kedua orang tua.
2. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk menunjukkan perilaku yang sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam hubungan interpersonal
dan interaksi sosial, memperkuat perilaku yang dapat diterima secara sosial dan sesuai dengan aturan yang berlaku serta perilaku yang dapat dipelajari.
Keterampilan sosial diukur dengan menggunakan skala keterampilan sosial. Menurut Caldarella & Merrel (Gimpell & Merrel, 1998), dimensi-dimensi keterampilan sosial adalah
a. Hubungan dengan teman sebaya b. Manajemen diri
d. Kepatuhan e. Assertion
Skor yang diperoleh dari skala keterampilan sosial adalah skor yang menggambarkan keterampilan sosial subjeknya.
C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi
Menurut Hadi (2000) populasi adalah seluruh jumlah penduduk yang dimaksud
untuk diselidiki. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja. karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah
a. Remaja awal berumur 13-17 tahun. Menurut Hurlock (1999), awal masa
remaja yang berlangsung dari usia 13 tahun sampai 17 tahun. Menurut Santrock (1997), selama masa remaja, khususnya remaja awal lebih
mencocokkan diri dengan standar teman sebaya daripada yang dilakukan kanak-kanak akhir. Menurut (Dacey&Kenny, 1997), remaja awal yang mengalami perceraian orang tua lebih memungkinkan untuk mempunyai
masalah sekolah, termasuk prestasi yang lebih rendah dan perilaku yang menggangu.
b. Remaja bersekolah. Menurut Davis & Forsythe (Mu’tadin 2000), Pada dasarnya sekolah mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan sosial yang dikaitkan dengan
c. Tinggal bersama keluarga inti. Menurut Davis & Forsythe (Mu’tadin 2000), Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam mendapatkan
pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Selain itu,
keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial pada remaja.
d. Bertempat tinggal di Medan.
2. Jumlah sampel penelitian
Jumlah total seluruh subjek dalam penelitian adalah 100 orang. Dengan pembagian 50 orang dari keluarga utuh dan 50 orang dari keluarga bercerai.
3. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil
sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar dapat diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).
Teknik pengambailan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik incidental. Pada penelitian ini, sampel diambil berdasarkan kepada
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data
dengan skala. Skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi,2000).
Skala Keterampilan sosial menggunakan model skala Likert di mana peneliti menggunakan 4 pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai). Penilaian bergerak dari 4 sampai 1 untuk
aitem-aitem yang favorabel dan 1 sampai 4 untuk aitem-aitem yang unfavorabel. Di bawah ini adalah tabel penilaian Skala Keterampilan Sosial.
Tabel 1. Penilaian Skala Keterampilan Sosial Bentuk
Pernyataan
Skor
SS S TS STS
Favorable 3 2 1 4
Unfavorable 0 1 2 3
Semakin tinggi skor yang diperoleh remaja dalam Skala Keterampilan sosial ini, maka semakin tinggi keterampilan sosial remaja dan semakin rendah skor
yang diperoleh remaja dalam Skala keterampilan sosial ini, maka semakin rendah keterampilan sosial pada remaja.
Tabel 2. Blue Print Skala Keterampilan Sosial Sebelum Uji Coba
No. Dimensi Pernyataan Jumlah
Favorable Unfavorable 1. Hubungan dengan teman
sebaya.
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki
dengan tepat (Azwar, 2000).
Penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas
yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisa rasional atau lewat para ahli (Azwar, 2000). Peneliti akan menyusun item-item mengacu pada blue print yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian peneliti akan meminta
pertimbangan pendapat profesional dalam penelitian ini, yaitu dosen pembimbing penelitian ini.
2. Uji Daya Beda Item
memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisa aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai
dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2000).
Pengujian daya beda aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan teknik koefisien Pearson Product Moment
yang dianalisis dengan menggunakan bantuan komputer program Statical Product and Service Solution 15.0 Version (selanjutnya akan disebut sebagai SPSS versi
15). Prosedur pengujian ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang
dikenal dengan indeks daya beda aitem dimana setiap aitem pada skala dikorelasikan dengan skor total skala (Azwar, 2000).
3. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan, bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda
(Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi
ukurnya bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar,2000).
bantuan komputer program SPSS versi 15. Nantinya, pengujian realibilitas ini akan menghasilkan reliabilitas dari skala keterampilan sosial.
4. Hasil uji coba alat ukur
Uji coba skala keterampilan sosial dilakukan pada 100 orang. Uji coba
dikenakan kepada individu yang memiliki kemiripan dengan karakteristik populasi yaitu remaja yang berumur 13-17 tahun, bertempat tinggal di Medan, bersekolah dan tinggal dengan keluarga inti. Menurut Azwar (2000), pada
umumnya reliabilitas telah dianggap memuaskan bila koefisien formula alpha dari Cronbach mencapai minimal r = 0,90. Namun, koefisien yang tidak setinggi itu masih dapat dianggap cukup berarti.
Hasil uji coba skala keterampilan sosial menunjukkan reliabilitas sebesar 0,896. jumlah aitem yang diujicobakan adalah 52 aitem. Dari 52 aitem pada skala
keterampilan sosial terdapat 27 aitem yang memiliki koefisien korelasi yang
memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r 0,275) dengan
indeks diskriminasi aitem yang berkisar antara 0,275 sampai 0,412.
Aitem-aitem yang digunakan untuk penelitian dapat dilihat pada tabel 2. Aitem-aitem dibawah yang diberikan tanda kurung dan cetak tebal merupakan penomoran aitem yang baru yang digunakan dalam skala keterampilan sosial
Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Skala Keterampilan Sosial untuk Penelitian
No. Dimensi Pernyataan Jumlah
Favorable Unfavorable 1. Hubungan dengan teman
sebaya.
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tahap prosedur yang akan dilaksanakan, yaitu tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan tahap pengolahan data.
1. Tahap persiapan penelitian
Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan penelitian adalah :
a. Pembuatan alat ukur
Penelitian ini menggunakan alat ukur yang berbentuk skala yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala keterampilan sosial disusun berdasarkan
dimensi-dimensi keterampilan sosial yang dikemukakan oleh Caldarella & Merrel (1998). Penyusunan skala ini dilakukan dengan membuat blue print dan kemudian
b. Uji coba alat ukur
Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji coba
alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada remaja bersekolah yang berusia 13-17 tahun, bertempat tinggal di Medan, dan bersekolah sebanyak 100 orang. Uji coba
alat ukur dilaksanakan pada tanggal 17 juni 2008 – 21 juni 2008. Uji coba dilakukan dengan cara memberikan skala secara langsung kepada subjek.
c. Revisi alat ukur
Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur, maka peneliti menguji daya beda aitem dan realibilias skala. Setelah diketahui aitem-aitem yang sahih dengan menggunakan bantuan program computer SPSS versi 15, maka kemudian peneliti
menyusun aitem-aitem yang sahih tersebut menjadi alat ukur yang disajikan dalam skala penelitian, yang terdiri dari 27 aitem skala keterampilan sosial.
d. Penentuan sampel
Peneliti menentukan sampel berdasarkan pada kemudahan peneliti untuk mengakses sample penelitian.
2. Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah semua tahap persiapan penelitian
dilakukan. Penelitian dimulai dengan menyebarkan skala pada sampel penelitian yang dilakukan mulai tanggal 25 Agustus 2008-1 September 2008.
Peneliti akan menanyakan kesediaan sampel dalam penelitian ini. Setelah
sampel bersedia, maka peneliti akan memberikan skala keterampilan sosial, memberikan penjelasan yang berhubungan dengan penelitian ini, kerahasiaan
3. Tahap pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini seluruhnya menggunakan bantuan
program SPSS versi 15.
G. Metode Analisa Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah analisa statistik. Alasan yang mendasari dipakainya analisa statistic adalah karena
statistik bekerja dengan angka, statistic bersifat objektif dan bersifat universal (Hadi,2000).
Penelitian ini menggunakan analisis t-test karena penelitian ini hanya
membandingkan dua varians saja. Data hasil penelitian ini akan menggunakan uji asumsi terlebih dahulu, yaitu :
1. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui distribusi data penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Uji normalitas pada penelitian
dianalisa dengan menggunakan kolmogorov-smirnov 2. Uji homogenitas
BAB IV
ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini akan menguraikan analisa data dan interpretasi hasil sesuai dengan data
yang diperoleh pembahasan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek
penelitian dan hasil penelitian
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah remaja awal yang berjumlah 100 orang yang memenuhi
karakteristik populasi penelitian.
1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia
Berdasarkan usia subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek
penelitian seperti yang tertera
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia Jumlah (N) Presentase
13 tahun 10 orang 10 %
14 tahun 26 orang 26 %
15 tahun 29 orang 29 %
16 tahun 25 orang 25 %
17 tahun 10 orang 10 %
Total 100 orang 100 %
Berdasarkan data pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa jumlah subjek berdasarkan
usia yang terbanyak pada usia 15 tahun sebanyak 29 orang (29%), diikuti dengan
tahun sebanyak 25 orang (25 %), dan jumlah subjek yang paling sedikit berusia 13
tahun sebanyak 10 orang (10 %) dan berusia 17 tahun sebanyak 10 orang (10%).
2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian maka diperoleh gambaran
penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek
keluarga utuh
Subjek keluarga bercerai
Jumlah Presentase
Laki-Laki 25 23 48 48 %
Perempuan 25 27 52 52 %
Total 50 50 100 100 %
Berdasarkan data pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa sebanyak 48 orang (48 %)
berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 52 (52 %) orang berjenis kelamin
perempuan.
B. Uji Asumsi Penelitian
Pengujian hipotesa dalam penelitian ini adalah menggunakan independent sample
t-test maka sebelum analisa t-test dilakukan, terlebih dahulu diadakan uji normalitas
dan uji homogenitas.
1. Uji normalitas sebaran
Uji normalitas sebaran untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian
mengikuti distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan metode
sebaran data normal, sedangkan jika p< 0,05 maka sebaran data tidak normal. Hasil
uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov p Keterangan
Utuh 0.772 0.591 Terdistribusi normal
Bercerai 0.861 0.449 Terdistribusi normal
Dari data yang diperoleh pada tabel, maka dapat dilihat bahwa nilai p pada subjek
dari keluarga utuh adalah 0,591, artinya p > α ( dimana α = 0,05). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa data skor pada subjek dari keluarga utuh telah menyebar
secara normal. Demikian pula dengan nilai p pada subjek dari keluarga bercerai
adalah 0,449, artinya p > α. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa distribusi
data skor pada subjek dari keluarga bercerai telah menyebar secara normal.
2. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians dilakukan untuk memeriksa apakah varians dari kedua
kelompok adalah sama. Homogenitas varians diukur dengan menggunakan Anava
melalui Levene Statistic. Adapun prosedur yang digunakan untuk melakukan
interpretasi hasil uji homogenitas dengan menggunakan fasilitas program SPSS versi
15 adalah dengan melihat perbandingan signifikansi (p) dengan nilai α . Alpha (α)
adalah taraf kepercayaan, dimana penelitian ini menggunakan α = 0,05. Apabila
p < α, maka disimpulkan bahwa varians pada subjek penelitian adalah tidak
homogen, sebaliknya apabila p> α maka disimpulkan bahwa varians pada subjek
Tabel 8. Hasil Lavene-tets untuk Uji Homogenitas Varians.
Variabel Lavene Statistic Signifikansi (p)
Keterampilan sosial 0.729 0.395
Dari data yang diperoleh pada tabel 8, maka dapat dilihat bahwa nilai p sebesar
0.395, yang artinya p> α.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel
penelitian homogen.
C. Hasil Utama Penelitian
Pengujian hipotesa dalam penelitian ini menggunakan independent sample t-test
dan menggunakan taraf signifikansi 95 % artinya hipotesa alternatif dapat diterima
apabila p<0.05. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Independent Sample t-Test
Variabel T Signifikansi (p)
Keterampilan Sosial 5.660 0.000
Berdasarkan tabel di atas, diketahui nilai p yaitu 0.000, berarti p< α yang berarti
hipotesa alternatif penelitian ini diterima yaitu ada perbedaan keterampilan sosial
pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.
Tabel 10. Perbandingan Nilai Mean Subjek pada Keluarga Utuh dan Keluarga bercerai
N Mean Std. Deviation Sd. Error
Mean
KeluargaUtuh 50 81.86 9.528 1.347
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa nilai mean subjek pada keluarga utuh
adalah 81.86 sedangkan nilai mean subjek pada keluarga bercerai adalah 71.20.
Dengan demikian, nilai mean subjek keluarga utuh (X=81.86) lebih tinggi daripada
nilai mean subjek keluarga bercerai (X=71.20). oleh karena itu, keterampilan sosial
remaja pada keluarga utuh lebih tinggi daripada remaja dari keluarga bercerai.
Berdasarkan Tabel 9 dan 10, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai, dimana
keterampilan sosial remaja pada keluarga utuh lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja dari keluarga bercerai.
D. Kategorisasi Data Penelitian
Berdasarkan deskripsi data penelitian, dapat dilakukan pengelompokkan yang
mengacu pada kriteria kategorisasi. Kategorisasi ini berdasarkan asumsi bahwa skor
populasi terdistribusi normal. Menurut Azwar (2000), pengkategorisasian 3 jenjang
(tinggi, sedang, rendah) ini merupakan pengkategorisasian minimal yang digunakan
oleh peneliti.
1. Kategorisasi skor keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh
Hasil perhitungan rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik keterampilan sosial
Tabel 11. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Keterampilan Sosial Remaja dari Keluarga Utuh
Variabel Nilai Empirik Nilai Hipotetik
Min. Maks.
Rata-rata
SD Min Maks Rata-rata SD
Keterampilan Sosial
61 102 81.86 9.528 27 108 67.5 13.5
Berdasarkan Tabel 11 maka diperoleh nilai rata-rata empirik keterampilan sosial
remaja dari keluarga utuh sebesar 81.86 (Xe = 81.86) dengan standar deviasi empirik
sebesar 9.528, sedangkan nilai rata-rata hipotetik sebesar 67.5 (Xh=67.5) dengan
standar deviasi hipotetik sebesar 13.5. Berdasarkan perbeandingan nilai rata-rata
empirik dan nilai rata-rata hipotetik maka diperoleh Xe > Xh dengan selisih sebesar
14.36. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial remaja dari keluarga utuh
cukup tinggi.
2. Kategorisasi skor keterampilan sosial pada remaja dari keluarga bercerai.
Hasil perhitungan rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik keterampilan sosial
remaja dari keluarga bercerai dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Keterampilan Sosial Remaja dari Keluarga Bercerai
Variabel Nilai Empirik Nilai Hipotetik
Min. Maks.
Rata-rata
SD Min Maks Rata-rata SD
Keterampilan Sosial
54 97 71.20 9.307 27 108 67.5 13.5
Berdasarkan Tabel 12 maka diperoleh nilai rata-rata empirik keterampilan sosial
empirik sebesar 9.307, sedangkan nilai rata-rata hipotetik sebesar 67.5 (Xh=67.5)
dengan standar deviasi hipotetik sebesar 13.5. Berdasarkan perbeandingan nilai
rata-rata empirik dan nilai rata-rata-rata-rata hipotetik maka diperoleh Xe > Xh dengan selisih
sebesar 3.7. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial remaja dari keluarga
utuh cukup tinggi.
3. Kategorisasi Keterampilan Sosial
Norma kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 13. Norma Kategorisasi Keterampilan Sosial Rentang Nilai Keterampilan Sosial Kategori
X < (µ- SD) Rendah
(µ- SD )≤ X < (µ +SD ) Sedang
X ≥ (µ +SD ) Tinggi
Besar nilai rata-rata skor keterampilan sosial remaja dari keluarga utuh dan skor
keterampilan sosial dari keluarga bercerai adalah 76.53 sedangkan besar nilai standar
deviasinya adalah 9.475. Kategorisasi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Tabel 14. Kategorisasi Data Keterampilan Sosial Rentang Nilai
Keterampilan Sosial
Kategori Remaja dari
Keluarga Utuh
Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa subjek yang berasal dari keluarga
utuh yang memiliki keterampilan sosial kategori tinggi sebesar 54 %, memiliki
kategori rendah sebesar 5 %. Sedangkan subjek yang berasal dari keluarga bercerai
yang memiliki keterampilan sosial kategori tinggi sebesar 6 %, memiliki
keterampilan sosial kategori sedang sebesar 64 % dan memiliki keterampilan sosial
kategori rendah sebesar 30 %.
E. Hasil Tambahan Penelitian
Hasil tambahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai pada
masing-masing dimensi keterampilan sosial.
Tabel 15. Nilai Mean dan Standar Deviasi pada Masing-Masing Dimensi Keterampilan Sosial Subjek Keluarga Utuh dan Keluarga Becerai.
Dimensi Struktur Keluarga Rata-rata Standar Deviasi
Hubungan dengan teman sebaya
Utuh 152.80 7.050
Bercerai 131.40 7.266
Pengaturan diri Utuh 152.38 8.484
Bercerai 130.00 12.118
Kemampuan akademis Utuh 144.60 11.014
Bercerai 125.40 8.112
Kepatuhan Utuh 147.17 12.416
Bercerai 132.33 13.604
Assertion Utuh 168.00 7.211
Bercerai 147.33 13.429
Berdasarkan data pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa pada dimensi hubungan
dengan teman sebaya nilai mean pada subjek keluarga utuh adalah 152.80 dan nilai
mean pada subjek keluarga bercerai adalah 131.40. Dengan demikian, pada dimensi
hubungan dengan teman sebaya subjek pada keluarga utuh lebih tinggi daripada
Dimensi pengaturan diri nilai mean pada keluarga utuh adalah 152.38 dan nilai
mean pada keluarga bercerai adalah 13.00. Dengan demikian, pada dimensi
pengaturan diri subjek pada keluarga utuh lebih tinggi daripada subjek keluarga
bercerai.
Dimensi kemampuan akademis nilai mean pada keluarga utuh adalah 144.60 dan
nilai mean pada keluarga bercerai adalah 125.40. Dengan demikian, pada dimensi
kemampuan akademis subjek pada keluarga utuh lebih tinggi daripada subjek
keluarga bercerai.
Dimensi kepatuhan nilai mean pada keluarga utuh adalah 147.17 dan nilai mean
pada keluarga bercerai adalah 132.33. Dengan demikian, pada dimensi kepatuhan
subjek pada keluarga utuh lebih tinggi daripada subjek keluarga bercerai.
Dimensi Assertion nilai mean pada keluarga utuh adalah 147.17 dan nilai mean
pada keluarga bercerai adalah 132.33. Dengan demikian, pada dimensi Assertion
subjek pada keluarga utuh lebih tinggi daripada subjek keluarga bercerai.
Berdasarkan keseluruhan data pada tabel 14, dapat disimpulkan bahwa pada
masing-masing dimensi keterampilan sosial nilai subjek pada keluarga utuh lebih
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini terdiri atas kesimpulan dari permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini dan selanjutnya hasil-hasil penelitian yang diperoleh akan didiskusikan. Pada akhir bab ini akan dikemukakan saran-saran yang berkaitan
dengan hasil penelitian ini.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dapat ditarik kesimpulan bahwa
1. Hipotesa penelitian diterima, bahwa ada perbedaan keterampilan sosial pada
remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai dimana keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh lebih tinggi daripada remaja dari keluarga bercerai.
2. Keterampilan sosial subjek yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai berada pada kategori tinggi. Kesimpulan ini diperoleh dengan cara
membandingkan nilai rata-rata empirik antara keluarga utuh dan keluarga bercerai, dimana keduanya berada pada kategori tinggi.
3. Subjek pada keluarga utuh yang memiliki keterampilan sosial kategori tinggi
sebesar 54 %, subjek yang memiliki keterampilan sosial kategori sedang sebesar 36 % dan subjek memiliki keterampilan sosial kategori rendah sebesar
sedang sebesar 64 % dan subjek yang memiliki keterampilan sosial kategori
rendah sebesar 30 %.
4. Berdasarkan perbandingan mean dari subjek keluarga utuh dan subjek
keluarga bercerai pada masing-masing dimensi keterampilan sosial maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa subjek dari keluarga utuh lebih tinggi daripada keluarga bercerai pada masing-masing dimensi keterampilan sosial.
B. Diskusi
Hasil utama penelitian ini memperlihatkan adanya perbedaan keterampilan sosial pada remaja dari keluarga utuh dan keluarga bercerai. Hal ini sesuai dengan Berdasarkan penelitian Winnicott, Lidz dan Amato & Keith (Numerals,2000)
bahwa kedua orang tua dalam suatu keluarga utuh dianggap menawarkan suatu lingkungan yang lebih baik untuk perkembangan anak daripada dalam keluarga orang tua tunggal atau bercerai.
Menurut Berns (2004), keluarga adalah tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan memegang tanggungjawab yang utama terhadap sosialisasi anak.
Melalui sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional, dan kognitif sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat. Perceraian memiliki konsekuensi terhadap fungsi keluarga dan sosialisasi terhadap anak-anak. Padahal,
peran kedua orang tua sangat penting dalam sosialisasi anak karena masing-masing orang tua menterjemahkan masyarakat pada mereka seiring dengan
Berdasarkan penelitian Paul R. Amato ( 2002), konflik diantara orang tua
merupakan suatu tekanan kepada anak. Hal ini juga menunjukkan bahwa anak bereaksi terhadap konflik dengan rasa takut, marah, agresi, atau perilaku yang
tidak normal. Selanjutnya, melalui peniruan agresi verbal dan fisik, orang tua mengajarkan anak secara tidak langsung bahwa ketidaksetujuan atau ketidaksamaan pendapat diselesaikan melalui konflik daripada diskusi. Sebagai
hasilnya, anak tidak akan belajar keterampilan sosial yang akan mereka butuhkan untuk membentuk hubungan yang baik/berhasil dengan teman sebaya.
Keterampilan sosial merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki anak dalam menghadapi tugas-tugas perkembangannya. Menurut Sunarti (2004), keterampilan sosial anak berkaitan dengan kesuksesan hidupnya di masa yang
akan datang. Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, penerimaan lingkungan, serta pengalaman positif selama melakukan aktivitas sosial merupakan modal dasar yang penting untuk kehidupan sukses dan
menyenangkan di masa berikutnya. Kemampuan untuk mendapat perhatian melalui cara yang secara sosial diterima merupakan keterampilan sosial sebagai
prestasi perkembangan sosialnya. Hal tersebut merupakan hasil dari serangkaian keterampilan mengetahui dan memenuhi harapan-harapan sosial yang diembankan kepadanya, disertai dengan kemampuan mengelola emosi, serta memberikan
respon emosi yang tepat kepada orang-orang disekitarnya.
Penelitian ini juga memiliki kelemahan antara lain pengambilan sampel yang