• Tidak ada hasil yang ditemukan

MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MADURANCH JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Vol. 1 No. 1, Agustus 2016

ISSN : 2528-3057

MADURANCH

JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN

Terbit 2 kali setahun (Agustus dan Februari)

Ketua Redaksi

Desi Maharani Agustini

Sekretaris Redaksi

Bambang Kurnadi

Redaksi Pelaksana

Riszqina

Malikah Umar

Joko Purdiyanto

Suparno

Desi Kurniati Agustina

Mitra Bestari

Syarif Imam Hidayat (UPN. Veteran Jatim)

Sudiyarto (UPN. Veteran Jatim)

Edhy Sudjarwo (Universitas Brawijaya Malang)

Puguh Surjowardojo (Universitas Brawijaya Malang)

Wehandaka Pancapalaga (Universitas Muhamadiyah Malang)

Irma Susanti (Universitas Sulawesi Barat)

Sekretariat

Selvia Nurlaila

Diterbitkan oleh

Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Madura

Alamat Redaksi

Program Studi Peternakan

Kampus Universitas Madura

Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura

Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327418

(3)

JURNAL ILMU-ILMU PETERNAKAN

Vol. 1 No. 1, Agustus 2016

ISSN : 2528-3057

ANALISIS POTENSI TERNAK SAPI POTONG MELALUI PENDEKATAN

LAHAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA DI KECAMATAN GALIS

KABUPATEN PAMEKASAN

Zainal Arifin dan Riszqina ………

1 - 12

PEMANFAATAN FERMENTASI BATANG PISANG (GEDEBOG) SEBAGAI

PAKAN ALTERNATIF TERNAK KELINCI

Miftahur Rizkiyah dan Desi Kurniati Agustina………..

13 - 16

EVALUASI KUALITAS DENDENG YANG BEREDAR DI PASARAN

KABUPATEN PEMEKASAN DENGAN METODA

UJI SENSORIS

Joko Purdiyanto ………...

17 - 22

POTENSI LIMBAH AMPAS TAHU SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK

SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMEKASAN KABUPATEN

PAMEKASAN

Suparno dan Moh. Muhlasin………

23 - 28

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI BIBIT MADURA MELALUI

PENDEKATAN ONE TAMBON ONE PRODUCT (OTOP) DI PULAU

MADURA

Farahdilla Kutsiyah

……….

29 - 39

MODEL PEMBIBITAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROPINSI

SULAWESI SELATAN

Yudi Adinata, L. Affandhy, dan A. Rasyid ………...

(4)

1

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG

MELALUI PENDEKATAN LAHAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA

DI KECAMATAN GALIS KABUPATEN PAMEKASAN

Arifin M.Z. dan Riszqina

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail : zainalarif.ti2@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian yaitu: 1) mengetahui potensi pengembangan ternak sapi potong 2) mengetahui potensi sumber daya alam, 3) mengetahui potensi Sumber Daya Manusia dan 4) mengetahui dukungan kelembagaan pendukung bagi pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Penelitian dilakukan mulai tanggal 30 Juni hingga tanggal 12 Juli 2015, menggunakan metode survey pada sampel penelitian. Sampel penelitian sebanyak 306 peternak, ditentukan dengan rumus Slovin terhadap peternak dan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan peternak dan pihak-pihak terkait. Data sekunder didapat dari Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pamekasan. Analisis data menggunakan analisis Location Quation (LQ) dan analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) serta analisis deskriptif terhadap karakteristik usaha ternak dan peternak sapi potong. Hasil LQ menunjukkan bahwa pada desa-desa di Kecamatan Galis yang memiliki nilai LQ > 1 merupakan wilayah basis, meliputi desa Pagendingan, Galis, Bulay, Polagan dan Konang. Desa-desa yang memiliki LQ < 1 merupakan wilayah non basis, terdiri dari desa Artodung, Tobungan, Ponteh, Lembung dan Pandan. Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) efektif di Kecamatan Galis diperoleh sebanyak 590,39 ST, terdiri dari 547,60 ST (Desa Konang), 30,05 ST (Desa Ponteh) dan 12,74 ST (Desa Pandan). Analisis deskriptif menjelaskan bahwa sumber daya manusia, kelembagaan pendukung dan infrastruktur yang ada, kurang mencukupi dan belum optimal untuk pengembangan ternak sapi potong.

Kata Kunci: Potensi Pengembangan, Sapi Potong, Kecamatan Galis-Pamekasan

PENDAHULUAN

Permintaan akan produk daging sapi di Jawa Timur hingga saat ini cenderung meningkat, sementara itu pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi meningkatnya jumlah permintaan dalam negeri (Winarso, 2005). Penurunan daya dukung sumberdaya alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian serta perubahan pola budidaya ternak menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak (Hartono, 2012).

Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Jawa Timur, memiliki luas daerah atau luas wilayah Kabupaten Pamekasan 79.230 Ha. Populasi sapi Madura di Kabupaten Pamekasan tahun 2013 berjumlah 149.855 ekor. Kecamatan Galis merupakan salah satu daerah sentra pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten Pamekasan dengan luas wilayah 31,86 km2. Populasi sapi potong di Kecamatan Galis pada tahun 2013 berjumlah 3.519 ekor. Tujuan penelitian, antara lain: (1) mengetahui potensi

pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis. (2) mengetahui potensi Sumber Daya Alam di kecamatan Galis sebagai salah satu kawasan untuk pengembangan ternak sapi potong (3) mengetahui potensi Sumber Daya Manusia di Kecamatan Galis sebagai salah satu kawasan untuk pemeliharaan sapi potong (4) mengetahui dukungan kelembagaan dan infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan mulai tanggal 30 Juni hingga tanggal 12 Juli 2015. Materi Penelitian adalah peternak dan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis serta ketersediaan pakan (sumber daya alam) dan pola tanam tanaman pangan (BPS Kabupaten Pamekasan, 2014). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode survey terhadap peternak sapi potong dengan menggunakan kuesioner sebagai alat panduan wawancara.

(5)

Jumlah peternak yang digunakan sebagai populasi penelitian sebanyak 1.617 peternak (Dinas peternakan Kecamatan Galis, 2014). Topografi beberapa desa di Kecamatan Galis terdapat perbedaan, yaitu wilayah Desa Bukan Tepi Pantai (DBTP) dan wilayah Desa Tepi Pantai (DTP). Perbedaan topografi menyebabkan perbedaan ketersediaan hijauan, sehingga penentuan sampel disesuaikan dengan pembagian wilayah (Sugiyono, 2011).

Penentuan sampel dari wilayah DBTP dan DTP menggunakan Rumus Slovin, (Setiawan, 2007) sebagai berikut:

Rumus Slovin: (1)

Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan (5%) Total sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 306 peternak di Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan. terdiri dari 283 peternak dalam wilayah DBTP dan 23 peternak dalam wilayah DTP.

Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, data primer dan data sekunder;

1. Data primer diambil melalui survey lokasi dan wawancara langsung terhadap responden (peternak sapi potong di kecamatan Galis, kabupaten Pamekasan).

2.

Data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh dari Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan BPS Kabupaten Pamekasan. Variabel yang diukur:

1. Location Quation (LQ)

Menurut Budiharsono dan Sugeng (2001) bahwa, metode ini bisa melihat keadaan wilayah, apakah suatu wilayah merupakan sektor berbasis atau tidak basis khususnya dalam hal populasi ternak sapi potong. Menurut Hartono (2012), bahwa metode LQ digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan di suatu wilayah dengan rumus sebagai berikut:

(2)

Keterangan:

vi = Total Populasi Sapi Potong Desa vt = Total Jumlah Kepala Keluarga Desa Vi = Total Populasi Sapi Potong Kecamatan Vt = Total Jumlah Kepala Keluarga

Kecamatan

Hendayana (2003) menjelaskan hasil perhitungan LQ menghasilkan 3 kriteria sebagai berikut:

a. LQ > 1 artinya : komoditas tersebut menjadi sumber pertumbuhan hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat di ekspor keluar wilayah.

b. LQ = 1 artinya : komoditas tersebut tergolong non basis. Tidak memiliki keunggulan kooperatif. Hasilnya hanya dapat memenuhi kebutuhan wilayah itu sendiri dan tidak dapat di ekspor keluar wilayah.

c. LQ < 1 artinya : komoditas tersebut juga tergolong non basis. Hasilnya hanya dapat memenuhi kebutuhan wilayah itu sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar wilayah.

2. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia

Untuk menganalisis potensi pengembangan usaha sapi potong di Kecamatan Galis, menggunakan perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR). Metode ini merujuk pada Fariani (2008) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Potensi Maksimum berdasarkan Sumber

Daya Alam/PSML (Daya Dukung

Wilayah) dirumuskan:

PSML = Daya Dukung Lahan Pertanian + Daya Dukung Tanaman Pangan (3) Keterangan:

1. Daya Dukung Lahan Pertanian = Kontribusi Lahan Pertanian x 3,75. Daya dukung lahan pertanian diperoleh dari kontribusi padang rumput dan non padang rumput (sawah, perkebunan, hutan dan tegalan).

2. Kontribusi Lahan Pertanian = Luas Lahan x Koefisien Kontribusi lahan.

(6)

Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 3

3. 3,75 adalah koefisien yang dihitung sebagai kapasitas dukung lahan pertanian dalam satuan ternak.

4. Daya Dukung Tanaman Pangan = Produksi Limbah Pertanian/2,3. Daya dukung tanaman pangan diperoleh dari kontribusi produksi limbah pertanian tanaman pangan (padi, jagung, kacang tanah, kacang ijo, ubi kayu, ubi jalar dan kedelai).

5. Produksi Limbah Pertanian = Luas Panen x Koefisien Kontribusi Luas Panen.

6. 2,3 adalah koefisien yang dihitung sebagai kebutuhan berat kering (ton/tahun) untuk satu satuan ternak. b. Potensi Maksimum berdasarkan Keluarga

Petani (PMKK) dirumuskan:

PMKK = c x KK (4)

Keterangan:

c : Koefisien yang dihitung berdasarkan jumlah satuan ternak (ST) dapat dipelihara oleh suatu keluarga yaitu 2,33 ST/KK.

KK : Kepala Keluarga petani c. Nilai KPPTR:

KPPTR (SL) = PSML – Popril (5) KPPTR (KK) = PMKK – Popril (6) Keterangan:

KPPTR (SL):

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan sumber daya alam.

KPPTR (KK):

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (ST) berdasarkan kepala keluarga petani.

Popril:

Populasi riil (populasi ternak lokasi penelitian)

d. KPPTR Efektif: KPPTR (SL), jika KPPTR (SL) < KPPTR (KK)

KPPTR Efektif: adalah Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam, jika Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam lebih kecil dari Kapasitas

Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani. e. KPPTR Efektif: KPPTR (KK), jika

KPPTR (KK) < KPPTR (SL)

KPPTR Efektif: adalah Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani, jika Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Kepala Keluarga petani lebih kecil dari Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia berdasarkan Sumber Daya Alam. KPPTR Efektif ditetapkan sebagai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di daerah penelitian, yaitu KPPTR (SL) atau KPPTR (KK) yang mempunyai nilai lebih kecil. Perhitungan KPPTR, Nell dan Rollinson (1974) dalam Suyitno (2014) memberikan ketentuan-ketentuan seperti yang terlihat pada kedua tabel berikut:

Tabel 1. Kemampuan Lahan Dalam Menghasilkan Rumput

Jenis Lahan Kontribusi Lahan (Ha)

Padang rumput 100 % dari luas lahan

Sawah 2 % dari luas lahan

Galengan sawah 2,5 % dari luas lahan

Perkebunan 5 % dari luas lahan

Hutan sejenis 5 % dari luas lahan

Hutan sekunder 3 % dari luas lahan

Tepian jalan 0,5 % dari panjang jalan

Tegalan 1 % dari luas lahan

Sumber : Nell dan Rollinson (1974) dalam Suyitno (2014)

Tabel 2. Produksi Hijauan Makanan Ternak Yang Dapat Dihasilkan Dari Luas Panen.

Hasil Limbah Produksi Jerami

Jerami Padi 0,23 Ton BK/Ha/Tahun

Jerami jagung 10,9 Ton BK/Ha/Tahun

Jerami ubi kayu 5,05 Ton BK/Ha/Tahun

Jerami ubi jalar 1,2 Ton BK/Ha/Tahun

Jerami kedelai 1,07 Ton BK/Ha/Tahun

Jerami kacang tanah 1,44 Ton BK/Ha/Tahun Sumber : Nell dan Rollinson (1974) dalam

Suyitno (2014)

Perhitungan jumlah ternak memakai satuan ternak (Soekardono, 2009) yaitu:

1. 1 ekor sapi dewasa, umur > 2 tahun = 1 ST 2. 1 ekor sapi dara, umur 1-2 tahun = 0,5 ST 3. 1 ekor anak sapi, umur < 1 tahun = 0,25 ST

(7)

3. Sumber Daya Manusia dan Infrastruktur

Sumber daya manusia dan infrastruktur pengembangan usaha sapi potong dianalisis secara deskriptif, untuk menganalisis karakter peternak dan lembaga-lembaga pendukung yang ada di Kecamatan Galis.

Data yang diperoleh ditabulasikan, kemudian dilakukan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dengan menampilkan rataan, persentase dan standar deviasi (Elburdah, 2008). Data sekunder yang diperlukan ditabulasikan untuk masing-masing tujuan. Data primer diperoleh melalui kuesioner.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kecamatan Galis

Kecamatan Galis terletak antara 113019’

-1130 58’ BT dan 60 51’ – 70 31’ LS. Luas

wilayah Kecamatan Galis mencapai 31,86 Km2 yang terdiri dari 10 desa dan masing- masing luas wilayah tiap desa yaitu: Desa Artodung 1,33 Km2, Desa Bulay 2,20 Km2, Desa Galis 2,03 Km2, Desa Konang 4,47Km2, Desa Lembung 3,54 Km2, Desa Pagendingan 1,18 Km2, Desa Pandan 8,37 Km2, Desa Polagan 5,89 Km2, Desa Ponteh 1,30 Km2 dan Desa Tobungan 1,55 Km2. Batas Wilayah Kecamatan Galis disebelah Utara Kecamatan Larangan, sebelah Selatan Kecamatan Pademawu, sebelah Barat Kecamatan Pademawu dan sebelah Timur selat Madura dan Kecamatan Pademawu. Kemiringan tanah Kecamatan Galis berkisar antara 00 – 150 dan ketinggian dari permukaan laut 0 – 16 m dpl (dari permukaan laut). (BPS Kecamatan Galis, 2014).

Keadaan Agroklimat merupakan salah satu faktor pendukungnya. Kecamatan Galis beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 280 C sampai 300 C (BPS Kecamatan Galis, 2014). Suhu lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan sapi potong di Indonesia adalah 170 sampai 270C (Soeprapto dan Abidin, 2006). Sehingga suhu di Kecamatan Galis sudah melewati batas suhu optimal bagi pertumbuhan sapi potong. Suhu yang terlalu tinggi sepanjang hari akan berpengaruh negatif bagi pertumbuhan sapi. Soeprapto dan Abidin (2006) menjelaskan, bahwa Saat terjadi cekaman panas, sapi akan lebih banyak minum daripada makan, sehingga nafsu makan sapi potong akan berkurang. Selain itu, energi yang seharusnya diubah menjadi daging akan dialokasikan untuk mempertahankan suhu tubuh.

Kelembaban di Kecamatan Galis berkisar 80% (BPS Kecamatan Galis, 2014). Kelembaban yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak berkisar antara 60% sampai 80%, karena diatas angka itu populasi jamur dan parasit yang potensial menjadi sumber penyakit cenderung akan meningkat (Soeprapto dan Abidin, 2006).

Curah hujan secara langsung berkaitan erat dengan ketersediaan air dan suhu udara. Tingginya curah hujan akan diikuti dengan rendahnya suhu lingkungan dan tingginya ketersediaan air. Lokasi peternakan sapi potong yang ideal memiliki curah hujan 800 sampai 1.500 mm/tahun (Soeprapto dan Abidin, 2006). Curah hujan di Kecamatan Galis 20,82 mm per tahun dan rata-rata hari hujan 2,4 hari per tahun dengan keadaan musim hujan jatuh pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau jatuh pada bulan April sampai Oktober (BPS Kecamatan Galis, 2014).

Ketersediaan air merupakan salah satu

faktor pendukung pembangunan dan

perkembangan perekonomian. Secara umum semakin mudah ketersediaan air di suatu daerah, maka makin besar potensi untuk pengembangan peternakan, karena air dibutuhkan untuk berbagai aktifitas produksi peternakan. Keberadaan sumber air akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Kebutuhan air untuk setiap ternak sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, jenis dan bangsa ternak serta kondisi pakan (kering atau basah). Kondisi sungai di semua desa se Kecamatan Galis tidak mencukupi untuk kebutuhan ternak sapi potong karena sungai-sungai di semua desa se Kecamatan Galis mayoritas sungai tadah hujan jadi ketika musim kemarau datang sungai menjadi kering. Ketersediaan air di Kecamatan Galis untuk ternak sapi potong didapat dari sumur bor yang ada di sekitar perumahan warga.

Populasi Ternak

Populasi ternak merupakan indikator umum yang dapat dijadikan ukuran bagi kondisi perkembangan peternakan, karena populasi dapat menggambarkan kecocokan ternak dengan lingkungan agroekologis, tingkat penerimaan masyarakat terhadap ternak, penguasaan teknis ternak, dinamika populasi serta keberhasilan sistem reproduksinya. Populasi sapi potong di Kecamatan Galis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

(8)

Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 5

Tabel 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Galis Tahun 2012-2014

Tahun Jantan Betina Total Populasi

ST % ST % ST %

2012 765,75 36,1 1355,75 63,9 2121,50 100

2013 913,50 36,1 1619,25 63,9 2532,75 100

2014 957,50 36,1 1697,75 63,9 2655.25 100

Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan (2012, 2013, 2014)

Tabel 4. Populasi Sapi Potong Berdasarkan Sampling pada Kelompok Umur di Kecamatan Galis dari Hasil Penelitian (Juli 2015)

Desa Pedet Muda Dewasa Total Populasi

ST % ST % ST % ST % Artodung 4,00 17,39 6,00 26,09 13,00 56,52 23,00 100 Bulay 3,25 9,77 9,00 27,07 21,00 63,16 33,25 100 Galis 2,50 11,63 7,00 32,56 12,00 55,81 21,50 100 Konang 2,50 7,69 6,00 18,46 24,00 73,85 32,50 100 Lembung 2,25 7,44 2,00 6,61 26,00 85,95 30,25 100 Pagendingan 1,50 4,11 8,00 21,92 27,00 73,97 36,50 100 Pandan 0,25 3,33 0,25 3,33 7,00 93,33 7,50 100 Polagan 6,75 13,85 12,00 24,62 30,00 61,54 48,75 100 Ponteh 3,25 11,30 7,50 26,09 18,00 62,61 28,75 100 Tobungan 4,00 17,78 6,50 28,89 12,00 53,33 22,50 100 Kecamatan Galis 30,25 10,63 64,25 22,58 190,00 66,78 284,50 100

Populasi ternak sapi potong di Kecamatan Galis lebih banyak ternak sapi potong yang dewasa karena peternak yang ada hanya melakukan sistem penggemukan untuk tabungan atau kerja. Sapi-sapi di beli dari Pasar Keppo untuk seluruh desa se Kecamatan Galis kemudian di lakukan penggemukan oleh peternak di masing-masing desa se Kecamatan Galis.

Setiap tahun populasi sapi potong betina dewasa mendominasi daripada jantan dewasa ditunjukkan pada Tabel 3, karena sapi betina dewasa sekarang digunakan pembibitan untuk mengembangkan potensi sapi potong di Kecamatan Galis.

Berdasarkan dari hasil penelitian bahwa ternak sapi potong yang pedet 10,63%, muda 22,58% dan dewasa 66,78% dimana populasi ternak sapi yang dewasa mendominasi populasi ternak sapi potong di Kecamatan Galis seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Populasi ternak sapi potong berdasarkan sampling jenis kelamin yaitu: 80,35% jantan, dan 19,65% betina, sehingga di Kecamatan Galis perlu ditingkatkan lagi/perlu penambahan ternak sapi potong betina dewasa supaya pengembangan sapi potong di Kecamatan Galis meningkat. Jenis sapi potong yang mendominasi Kecamatan Galis adalah bangsa sapi Madura.

Tabel 5. Populasi Sapi Potong Berdasarkan Sampling pada Jenis Kelamin di Kecamatan Galis dari Hasil Penelitian (Juli 2015)

Desa Jantan Betina Total Populasi

ST % ST % ST % Artodung 15,75 68,48 7,25 31,52 23,00 100,00 Bulay 32,00 96,24 1,25 3,76 33,25 100,00 Galis 21,50 100,00 0,00 0,00 21,50 100,00 Konang 32,50 98,48 0,50 1,52 33,00 100,00 Lembung 8,75 28,93 21,50 71,07 30,25 100,00 Pagendingan 36,25 99,32 0,25 0,68 36,50 100,00 Pandan 2,00 26,67 5,50 73,33 7,50 100,00 Polagan 40,25 82,56 8,50 17,44 48,75 100,00 Ponteh 20,50 71,30 8,25 28,70 28,75 100,00 Tobungan 19,50 86,67 3,00 13,33 22,50 100,00 Kecamatan Galis 229,00 80,35 56,00 19,65 285,00 100,00

(9)

Location Quation (LQ)

Hasil perhitungan Location Quation

ditunjukkan dalam Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan LQ maka wilayah Kecamatan Galis mempunyai 5 desa yang sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong / basis, dan 5 desa merupakan wilayah non basi. Nilai LQ terbesar dimiliki oleh desa Pagendingan. Desa Pagendingan memiliki nilai LQ terbesar yaitu 1,54. Jumlah penduduk desa Pagendingan tidak sepadat desa yang memiliki nilai LQ rendah dan memiliki populasi ternak sapi yang cukup banyak, sehingga pengembangan peternakan sapi potong masih berpotensi untuk dilakukan pada desa Pagendingan tetapi tidak menutut kemungkinan wilayah/desa yang lain masih sangat berpotensi untuk dilakukan pengembangan peternakan sapi potong.

Tabel 6. Wilayah Basis dan Nilai LQ Ternak Sapi Potong Kecamatan Galis

Desa Nilai LQ Pagendingan 1,54 Galis 1,31 Bulay 1,20 Polagan 1,15 Konang 1,14 Artodung 0,87 Tobungan 0,87 Ponteh 0,63 Lembung 0,36 Pandan 0,10

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Galis dikutip melalui nilai KPPTR Efektif (E). Berdasarkan nilai KPPTR efektifnya Kecamatan Galis adalah 590,39 ST, berarti bahwa Kecamatan Galis masih berpotensi jika akan dilakukan penambahan ternak ruminansia hingga nilai KPPTR tersebut. Pelaksanaan di lapangan perlu memperhatikan berbagai faktor fisik, bilogi, teknis, dan sosial budaya serta keterampilan peternak dalam pola tata laksana pemeliharaan ternak khususnya ternak sapi potong. KPPTR efektif di Kecamatan Galis yaitu KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan (SL) karena KPPTR (SL) lebih kecil daripada KPPTR berdasarkan kepala keluarga petani (KK).

Total populasi riil ruminansia Kecamatan Galis adalah 2217,5 ST dengan populasi tertinggi

pada desa Polagan sebesar 475,25 ST. Populasi riil terendah yaitu desa Pandan 6,25 ST. Jumlah populasi juga dipengaruhi oleh tingkat penyebaran ternak yang tidak merata sehingga terjadi wilayah/ desa padat populasi sedangkan kemampuan wilayah/desa untuk menghasilkan hijauan makanan ternak semakin berkurang. Jumlah riil ternak ruminansia dan nilai KPPTR (SL) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Riil Ternak Ruminansia dan Nilai KPPTR (SL) Kecamatan Galis

Desa Populasi Riil Ternak Ruminansia (ST) KPPTR (SL) (ST) Artodung 167,75 -97,13 Bulay 344,50 -86,26 Galis 197,25 -157,03 Konang 270,75 547,60 Lembung 27,75 -16,62 Pagendingan 207,75 -43,77 Pandan 6,25 12,74 Polagan 475,25 -58,01 Ponteh 222,50 30,05 Tobungan 298,75 -180,59

Kelompok Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong Kecamatan Galis

Wilayah pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis jika dilihat dari analisis deskriptif tentang potensi sumber daya, hasil perhitungan LQ dan perhitungan KPPTR dapat diketahui bahwa Kecamatan Galis masih memungkinkan untuk dilakukan pengembangan ternak sapi potong. Kondisi setiap wilayah/desa sangat beragam namun, beberapa wilayah mempunyai sumber daya sangat potensial yang didukung fasilitas dan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan ternak sapi potong.

Kecamatan Galis yang terdiri atas 10 desa bisa dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan tingkat KPPTR (E) dan LQ. Kelompok I dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ > 1. Kelompok II dengan kriteria nilai KPPTR (E) positif dan nilai LQ < 1. Kelompok III dengan kriteria nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ > 1. Kelompok IV dengan kriteria nilai KPPTR (E) negatif dan nilai LQ < 1. Pengelompokan wilayah Kecamatan Galis dapat dilihat pada Tabel 8.

(10)

Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 7

Tabel 8. Pengelompokan Wilayah Berdasarkan Nilai KPPTR dan LQ

No Kelompok Kriteria Desa

1 I KPPTR (E) Positif, LQ > 1 Konang 2 II KPPTR (E) Positif, LQ < 1 Pandan Ponteh 3 III KPPTR (E) Negatif, LQ > 1 Bulay Galis Pagendingan Polagan 4 IV KPPTR (E) Negatif, LQ < 1 Artodung Lembung Tobungan Kelompok I merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ > 1. Wilayah / desa yang termasuk kelompok I yaitu desa Konang. Desa Konang masih tersedia kapasitas daya tampung ternak sapi potong, karena desa Konang mempunyai daya dukung sumber daya alam/masih tersedia hijauan dan limbah pertanian untuk kegiatan peternakan. Desa Konang dapat menjadi konsentrasi pemerintah Kabupaten Pamekasan sebagai wilayah yang masih berpotensi untuk dilakukan pengembangan peternakan sapi potong, dengan penambahan sebesar 547,6 ST.

Kelompok II merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) positif dan LQ < 1. Wilayah yang termasuk kelompok II yaitu Desa Pandan dan Desa Ponteh. Desa Pandan dan Desa Ponteh mempunyai kekuatan dimana masih tersedianya lahan sebagai kapasitas tampung ternak ruminansia. Apabila ingin dilakukan penambahan ternak sapi potong di wilayah ini masih dimungkinkan yaitu desa Ponteh sebesar 30,05 ST dan desa Pandan 12,74 ST.

Kelompok III merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ > 1. Wilayah yang termasuk kelompok III yaitu Desa Bulay, Desa Galis, Desa Pagendingan dan Desa Polagan. Pada desa yang termasuk dalam kelompok ini tidak memungkinkan dilakukan penambahan ternak berdasarkan daya tampung lahan. Namun, kelompok ini termasuk basis ternak sapi potong karena populasi sapi potong sangat tinggi meskipun daya dukung lahan minus (-), untuk mendapatkan hijauan bagi ternaknya para peternak harus mencari rumput keluar desa terdekat yang mempunyai hijauan melimpah, ditambah wilayah kelompok III ini berdekatan

dengan pasar ternak yang terdapat di dusun Keppo desa Polagan Kecamatan Galis.

Kelompok IV merupakan wilayah yang memiliki kriteria KPPTR (E) negatif dan LQ < 1. Wilayah yang termasuk kelompok IV yaitu Desa Artodung, Desa Lembung dan Desa Tobungan. Dimana kelompok ini tidak memungkinkan dilakukan penambahan ternak berdasarkan daya tampung lahan, karena ketiga desa ini sudah kelebihan kapasitas daya tampung ternak dan termasuk wilayah non basis. Untuk mengatasi masalah di ketiga desa ini dapat dilakukan dengan cara mengekspor (mengurangi populasi sapi potong tersebut) ternak sapi potong ke desa terdekat yaitu Desa Konang, Desa Ponteh dan Desa Pandan yang masih mempunyai kapasitas daya dukung lahan hijauan dan limbah pertanian.

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia tidak akan terlepas dari suatu pengembangan peternakan. Sumber daya manusia yang sangat berkaitan erat dengan suatu usaha ternak adalah peternak. Peternak mempunyai peranan yang sangat penting untuk kemajuan, kelanjutan dan perkembangan usaha ternak dimasa yang akan datang. Karakteristik pemelihara sapi potong, sapi karapan dan sapi sonok sebagian besar terdiri dari petani/peternak, laki-laki yang telah berkeluarga, dengan jumlah anggota keluarga kurang lebih dari 4 orang. Peternak sapi lebih kurang dari 80% berusia 20 – 59 tahun, merupakan kelompok usia produktif (Sani dkk, 2010), kelompok usia/angkatan kerja, sehingga memiliki kemampuan bekerja lebih produktif dan berpikir lebih arif dalam menerima inovasi untuk pengembangan usaha ternaknya (Riszqina, 2014).

Usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis umumnya dilakukan sebagai usaha sambilan karena umumnya pekerjaan utama para peternak adalah sebagai Petani.. Karakteristik peternak di Kecamatan Galis dapat dilihat pada Tabel 12. Peternak sapi potong di Kecamatan Galis masih tergolong usia produktif, dengan usia rata-rata peternak yaitu 46 tahun. Tingkat pendidikan peternak masih rendah yaitu hanya menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 57,51%. Sebesar 0,98% peternak berpendidikan Perguruan Tinggi (PT) / Akademi. Para peternak tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikannya, bahkan ada yang tidak sekolah yaitu sebesar 6,86%, mereka lebih

(11)

memilih untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Peternak di Kecamatan Galis masih minim untuk mengikuti pendidikan nonformal di bidang peternakan, berdasarkan penelitian diperoleh bahwa 72,54% peternak, belum mengikuti pendidikan di bidang peternakan, sedangkan yang mengikuti pendidikan di bidang peternakan seperti penyuluhan dan pelatihan ini masih sedikit. Hasil penelitian ini sesuai dengan Riszqina (2014) bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi peternak dalam mendukung dan menerima pengetahuan zooteknik usaha ternaknya, teknologi serta inovasi baru. Walaupun tingkat pendidikan peternak masih tergolong rendah di bidang peternakan tetapi kondisi ini tidak menghambat terhadap adopsi dan penyerapan maupun penyebaran informasi, karena pada umumnya peternak sudah biasa diajak kerjasama oleh pemerintah maupun sesama peternak, ditambah kebiasaan dan budaya masyarakat di Kecamatan Galis telah menangani usaha peternakan yang sudah turun-temurun sejak dulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Riszqina (2014), bahwa peternak sapi Madura masih bersifat tradisional, karena pengetahuan dan kemampuannya diperoleh dari orang tua dan keluarganya dan hanya sebagian yang memperoleh dari pelatihan atau penyuluhan pengembangan usaha ternak sapi.

Pekerjaan utama peternak yaitu sebagai petani dan pedagang. Mayoritas pekerjaan utama para peternak adalah sebagai petani yaitu sebesar 99,02%. Peternak di Kecamatan Galis hamapir semuanya merangkap menjadi petani, beternak sapi potong hanya dijadikan pekerjaan sambilan. Peternak di Kecamatan Galis memelihara hanya sebagai tabungan/simpanan di kemudian hari apabila dibutuhkan untuk bercocok tanam bahkan untuk biaya anaknya untuk sekolah. Ternak sapi potong dianggap dapat memberikan tambahan pendapatan dan pemeliharaannya dapat dilakukan pada waktu senggang setelah melakukan pekerjaan utama. Jumlah tanggungan keluarga peternak sebanyak 1 orang sebesar 3,92%, 2 orang sebesar 14,37%, 3 orang sebesar 29,41%, 4 orang sebesar 32,67% dan yang 5 orang sebesar 24,50%. Jumlah tanggungan keluarga peternak yang paling tinggi adalah 4 orang. Aktivitas usaha ternak seperti pencarian rumput, pemberian makan sapi, memandikan sapi dan membersihkan kandang umumnya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Curahan waktu yang digunakan

peternak untuk mengurus ternak sapi potong adalah rata-rata 3 jam per hari, sesuai dengan pendapat Riszqina (2014), bahwa semakin banyak jumlah ternak yang dipelihara semakin banyak waktu yang harus digunakan untuk mencari pakan dan membersihkan kandang. Bantuan istri dan anak masih sangat minim. Walaupun demikian peranan tenaga kerja keluarga sangat membantu dalam pengembangan ternak sapi potong. Jumlah kepemilikan ternak berpengaruh terhadap curahan waktu peternak dalam mengurus ternak sapi potong mereka, rata-rata kepemilikan ternak peternak di Kecamatan Galis adalah 1 ekor ternak dengan persentase 66,44%. Pemanfaatan tenaga kerja masih belum efisien sehingga masih memungkinkan untuk ditambah jumlah ternak sapi potong yang harus dipelihara.

Pengalaman beternak dapat menjadi indikator untuk keberhasilan peternak. Semakin banyak pengalaman beternak akan semakin memudahkan peternak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan proses produksi. Secara umum pengalaman beternak yang dimiliki peternak kurang lebih 6 tahun dan dianggap sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha peternakan sapi potong. Sedangkan di Kecamatan Galis pengalaman beternak dari 10 tahun kebawah yaitu sebesar 19,60%, jadi di Kecamatan Galis dianggap sudah berpengalaman untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa pengalaman beternak sangat berarti bagi usaha sapinya (Riszqina, 2014). Dikarenakan sebagian besar peternak memulai usaha ternak sapi potong sejak mereka masih muda usia yaitu setelah lulus Sekolah Dasar (SD) telah mengikuti jejak orang tua dalam beternak meski hanya membantu. Para peternak mengaku jarang mendapatkan pengetahuan beternak baik dari penyuluh maupun dari Dinas Peternakan setempat. Para peternak memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari teman sesama peternak.

Tingkat pendidikan yang cukup dan tenaga kerja yang permanen merupakan modal dalam menyerap berbagai tingkatan teknologi dan manajemen usaha ternak secara keseluruhan (Riszqina, 2014). Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, di dalam hasil penelitian Saleh, dkk. (2006) menunjukkan bahwa, umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong.

(12)

Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 9

Tabel 9. Karakteristik Peternak di Kecamatan Galis

No. Uraian Frekuensi (orang) Persentase (%)

1. Umur (tahun) 30 – 40 52 16,94 41 – 50 105 34,20 51 – 60 89 28,99 61 – 70 47 15,30 71 – 85 13 4,23 2. Pendidikan Formal

Tidak Sekolah (Non) 21 6,86

Sekolah Dasar 176 57,51

Sekolah Menengah Pertama 56 18,30

Sekolah Menengah Atas 50 16,33

Perguruan Tinggi / Akademi 3 0,98

3. Pendidikan Non formal

Tidak Pernah 222 72,54

Penyuluhan 64 20,91

Pelatihan 6 1,96

Penyuluhan dan Pelatihan 14 4,57

4. Pekerjaan Utama

Petani 303 99,02

Pedagang 3 0,98

5. Pengalaman Beternak (tahun)

1 – 10 60 19,60

11 – 20 100 32,67

21 – 30 78 25,49

31 – 40 47 15,35

41 – 55 21 6,86

6. Jumlah Tanggungan Keluarga

1 Orang 12 3,92 2 Orang 44 14,37 3 Orang 90 29,41 4 Orang 100 32,67 5 Orang 75 24,50 Kelembagaan

Kelembagaan peternak dapat dilihat dari kelompok petani/peternak, petugas dan lembaga pelayanan serta pola pemasaran. Kelembagaan ternak merupakan dukungan lain yang sangat menunjang wilayah pengembangan usaha peternakan, yang harus terus dibangun agar dapat mendukung pengembangan wilayah Kecamatan Galis. Kelembagaan peternak yang mendukung pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Galis belum tersebar di setiap wilayah / desa.

Kelompok peternak memudahkan dalam pembinaan yang dilakukan melalui penyuluhan, pengawasan pemasukan atau pengeluaran ternak dan penambahan populasi ternak. Kegiatan penyuluhan diarahkan terhadap manajemen pemeliharaan dan usaha ternak sapi potong, peningkatan penerapan IB, pengelohan limbah ternak dan pengetahuan pencegahan pemotongan ternak betina produktif. Kelompok petani ternak sapi potong di Kecamatan Galis disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nama Kelompok Petani Ternak di Kecamatan Galis Tahun 2016

No. Kelompok Tani Desa Jumlah Anggota

(orang)

Kelas

Kelompok Pola

1. Abadi Konang 40 Pemula Pembinaan

2. Artomoro Artodung 36 Pemula Pembinaan

3. Sinar Harapan Tobungan 35 Pemula Pembinaan

4. Sumber Alam Pagendingan 75 Pemula Pembinaan

(13)

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kecamatan Galis (2013) disebutkan bahwa di Kecamatan Galis untuk kelompok tani ada 41 kelompok dimana tiap dusun mempunyai 1 kelompok tani. Dari hasil penelitian di Kecamatan Galis data yang dikumpulkan sebanyak 306 sampel menghasilkan 167 peternak

mengikuti kelompok tani atau sebesar 54,57% dan yang tidak mengikuti 139 peternak/sebesar 45,42%. Namun dari 54,57% yang mengikuti kelompok tani belum tentu mengikuti penyuluhan dan pelatihan beternak seperti ditunjukkan pada tabel 11.

Tabel 11. Persentase Peternak Yang Mengikuti Kelompok Tani di Kecamatan Galis

Desa Ikut Poktan

(orang) % Tidak Ikut (orang) % Total (orang) % Artodung 13 59,10 9 40,90 22 100 Bulay 18 42,86 24 57,14 42 100 Galis 11 42,31 15 57,69 26 100 Konang 13 37,14 22 62,86 35 100 Lembung 9 50,00 9 50,00 18 100 Pagendingan 24 85,31 4 14,29 28 100 Pandan 0 0 5 100 5 100 Polagan 41 64,06 23 35,94 64 100 Ponteh 25 83,33 5 16,67 30 100 Tobungan 13 36,11 23 63,89 36 100 Kecamatan Galis 167 54,58 140 45,42 306 100

Kelompok tani yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan ada 4 kelompok tani ternak yaitu Abadi, Artomoro, Sinar Harapan dan Sumber Alam, termasuk dalam kelas kelompok pemula dimana 4 kelompok tersebut masih dalam pola pembinaan dinas peternakan Kabupaten Pamekasan.

Kelompok petani ternak tersebut mendapatkan bantuan ternak sapi yaitu Abadi sebanyak 10 ekor sapi betina muda Madura, Artomoro sebanyak 27 ekor sapi betina muda Madura, dan Sumber Alam sebanyak 27 ekor sapi betina muda Madura. Kelompok Sinar Harapan mendapat bantuan berupa uang tunai sebesar 500 juta apabila dijadikan ternak sapi sebanyak 50 ekor sapi betina muda Madura. Kelompok tani ternak di Kecamatan Galis perlu ditambah lagi supaya tingkat pengetahuan masyarakat akan manejemen pemeliharaan, pengelolaan dan cara pengendalian penyakit terhadap sapi potong.

Sumber daya manusia yang mendukung pengembangan peternakan sapi potong di Kecamatan Galis tidak hanya peternak yang secara langsung terlibat dengan usaha dan manajemen pengelolaan ternak sapi potong, tetapi terdapat petugas pelayanan di Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB UPT III Galis, dimana UPT III Galis ini menaungi 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Galis, Kecamatan Larangan, Kecamatan Kadur dan Kecamatan Pademawu.

Karyawan di Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB UPT III Galis disajikan pada Tabel 15.

Berdasarkan Tabel 11 ada 6 orang sebagai Inseminator, 2 orang sebagai Inseminator / pemeriksa kebuntingan serta 4 orang sebagai Inseminator, Pemeriksa kebuntingan dan paramedis. 12 karyawan di UPT III Galis tersebut bukan hanya bertugas di Kecamatan Galis saja tetapi mencakup Kecamatan Larangan, Kadur dan Pademawu. Jumlah itu belum mencukupi karena harus melayani 4 Kecamatan, jadi perlu adanya penambahan petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan. Jumlah petugas di Kecamatan Galis sebanyak 3 orang yang harus melayani 1593 peternak di Kecamatan Galis, kekurangannya tenaga pelayanan di penuhi dengan bantuan tenaga yang ada di UPT III. Lembaga pelayanan yang dapat mendukung pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Galis yaitu tersedianya Pusat Kesehatan Hewan dan POS IB yang berada di Desa Galis, Tempat Pemotongan Hewan di desa Konang, Pasar Ternak merupakan tempat jual beli ternak sapi potong yang berada di dusun Keppo desa Polagan, serta 2 toko peternakan (poultry

shop) di desa Pagendingan dan desa Ponteh.

Pola pemasaran pemasaran disini berkaitan dengan transaksi jual-beli antara peternak dengan blantik, pedagang pengumpul ataupun peternak bisa menjual langsung ke pasar.

(14)

Arifin, Analisis Potensi Pengembangan … 11

Tabel 12. Pola Pemasaran Peternak di Kecamatan Galis

Desa Blantik % Di jual

sendiri % Total % Artodung 20 90,90 2 9,10 22 100 Bulay 39 92,86 3 7,14 42 100 Galis 23 88,46 3 11,54 26 100 Konang 32 91,43 3 8,57 35 100 Lembung 18 100 0 0 18 100 Pagendingan 24 85,71 4 14,29 28 100 Pandan 5 100 0 0 5 100 Polagan 54 84,38 10 15,62 64 100 Ponteh 28 93,33 2 6,67 30 100 Tobungan 30 83,33 6 16,67 36 100 Kecamatan Galis 273 89,22 33 10,78 306 100

Pemasaran disini bisa terjadi langsung di kandang ataupun di pasar ternak berikut data pola pemasaran peternak di Kecamatan Galis disajikan pada Tabel 12.

Berdasarkan Tabel 12. Pola pemasaran peternak di Kecamatan Galis lebih menyukai memakai jasa blantik (jasa penjual sapi) sebesar 89,22% dikarenakan beberapa pertimbangan yaitu karena peternak di Kecamatan Galis pekerjaan utamanya adalah sebagai petani yang harus mengurus lahan areal pertaniannya, melihat resiko apabila dijual sendiri ke pasar ternak dan tidak laku dijual, peternak harus membawa pulang dimana peternak rugi uang karena harus mengeluarkan ongkos untuk membawanya pulang kembali serta peternak rugi waktu. Jadi lebih efisien waktu dan efisien materi (uang) masyarakat lebih memilih jasa blantik. Pola pemasaran di Kecamatan Galis semuanya bertumpu pada pasar ternak yang terdapat di dusun Keppo desa Polagan yang tersedia pada hari Selasa dan hari Sabtu dimulai dari pagi kurang lebih jam 08:00 wib sampai sore hari jam 16:00 wib. Pasar ternak merupakan tempat transaksi jual-beli ternak sapi potong dari pedet, muda dan dewasa, ada jantan serta betina yang dilakukan oleh penjual, pembeli, peternak, blantik dan pedagang pengumpul. Semua jenis sapi (Madura, persilangan, Limousin dan Simental) terdapat di pasar ternak ini.

KESIMPULAN

1. Kecamatan Galis memiliki 5 wilayah/Desa yang merupakan wilayah basis yaitu: Desa Pagendingan, Desa Galis, Desa Bulay, Desa Polagan dan Desa Konang.

2. Total KPPTR Efektif Kecamatan Galis sebesar 590,39 ST, terdiri dari 547,60 ST di

Desa Konang, 30,05 ST di Desa Ponteh dan 12,74 ST di Desa Pandan yang masih mempunyai daya tampung ternak sapi potong. 3. Pemanfaatan sumber daya manusia belum

optimal. Oleh sebab itu tenaga kerja yang ada harus diefisienkan lagi untuk bisa dilakukan penambahan ternak.

4. Kelembagaan pendukung dan Infrastruktur untuk pengembangan sapi potong yang ada di Kecamatan Galis belum optimal untuk membantu usaha pengembangan sapi potong.

DAFTAR PUSTAKA

Budiharsono dan Sugeng, 2001. Teknis Analisis

Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.

PT. Pradnya Paramita. Jakarta

BPS 2014. Kabupaten Pamekasan dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik, Pamekasan BPS 2014. Kecamatan Galis dalam Angka 2014.

Badan Pusat Statistik, Pamekasan.

Dinas Pertanian Kecamatan Galis, 2015. Buku Data, Dinas Pertanian Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan

Dinas Peternakan Kecamatan Galis, 2014. Buku Data Ternak Sapi Potong, Dinas Peternakan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Dinas Peternakan Kecamatan Galis, 2014. Buku

Data, Dinas Peternakan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan.

Elburdah, R. P. 2008. Analisis Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong Di Wilayah Kota Pekanbaru. Skripsi. Fakultas

Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Fariani, A. 2008. Pengembangan Ternak

Ruminansia Berdasarkan Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

(15)

Hartono, B. 2012. Peran Daya Dukung Wilayah

Terhadap Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Madura. Jurnal Ekonomi

Pembangunan 13(2): 316-326

Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location

Questiont (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika

Pertanian. 12: 1 – 21

Riszqina. 2014. Performa Usaha Ternak Sapi

Madura Sebagai Sapi Potong, Sapi Karapan dan Sapi Sonok di Pulau Madura.

Ringkasan Disertasi Program Studi Doktor Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang.

Sani, L.O.A., K.A. Santosa dan Ngadiyono. 2010. Curahan tenaga kerja keluarga transmigran dan lokal pada pemeliharaan sapi potong di Kabupaten Konawe Selatan,

Sulawesi Tenggara. Buletin Peternakan. 34(3): 194-201

Setiawan, N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel

Memakai Rumus Slovin dan Tabel Krejcie-Morgan: Telaah Konsep Dan Aplikasinya.

Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Penerbit Akademika Pressindo.

Jakarta

Soeprapto, H. dan Z. Abidin. 2006. Cara tepat

penggemukan sapi potong. PT Agro Media

Pustaka. Jakarta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta.

Bandung

Winarso, B, Sajuti, R. dan Muslim, C. 2005.

Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong di Jawa Timur. Forum Penelitian Agro

(16)

13

PEMANFAATAN FERMENTASI BATANG PISANG (GEDEBOG)

SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK KELINCI

Miftahur Rizkiyah dan Desi Kurniati Agustina

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura

e-mail: Rizkiyah@gmail.com

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fermentasi batang pisang (gedebog) sebagai pakan alternatif ternak kelinci terhadap pertambahan bobot badan. Materi penelitian menggunakan 32 ekor ternak kelinci lokal sebagai objek yang akan diteliti, sedangkan batang pisang (gedebog), dedak padi, dedak jagung, gaplek, hijauan (rumput, kangkung, bayam dan daun pepaya), molases sebagai bahan pakan, dan EM4 Peternakan sebagai bahan fermentor. Metode penelitian yang digunakan adalah RAK Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu: 1. fermentasi batang pisang (gedebog) yang dicacah kasar, 2. fermentasi batang (gedebog) pisang yang dicacah halus, setiap perlakuan terdiri dari 4 taraf yaitu: 0%, 10%, 20% dan 30% dengan 2 ulangan dan 2 kelompok dan dilanjutkan dengan uji BNT (beda nyata terkecil). Variabel yang diamati meliputi pertambahan bobot badan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode fermentasi (cacah kasar dan cacah halus) berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan, pada pakan fermentasi batang (gedebog) pisang dengan taraf pemberian yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badandan interaksi antara metode fermentasi (cacah kasar dan cacah halus) dengan taraf pemberian yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai informasi untuk mengembangkan manfaat pakan fermentasi batang pisang (gedebog) sebagai pakan pakan alternatif ternak kelinci.

Kata Kunci: Kelinci lokal, pakan fermentasi batang pisang (gedebog), pertambahan berat badan.

PENDAHULUAN

Kelinci adalah hewan yang termasuk dalam jenis ternak pseudoruminan, yaitu hewan herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat dengan baik. Kelinci melakukan fermentasi pakan di usus belakangnya. Kelinci adalah salah satu jenis ternak yang mulai dikembangkan di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan yang rawan gizi, karena kelinci dapat memanfaatkan berbagai jenis hijauan sebagai makanan pokoknya, dan modal usaha untuk memulainya relatif kecil.

Pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ternak baik untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Tiga faktor penting dalam kaitan penyedian hijauan bagi ternak adalah ketersedian pakan harus dalam jumlah yang cukup, mengandung nutrien yang baik, dan berkesinambungan sepanjang tahun. Ketersedian hijauan umumnya berfluktuasi mengikuti pola musim, dimana produksi hijauan melimpah di musim hujan dan sebaliknya terbatas dimusim kemarau (Lado, 2007). Kebutuhan pakan kelinci di musim kemarau sangat sulit.

Untuk mengurangi hal tersebut ada alternatif lainnya, yaitu membuat pakan dari fermentasi tanaman pisang (Musaparadisiaca), Wina (2000) Produk samping tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan adalah batang pisang bagian bawah (bongkol), tengah dan bagian atas termasuk daunnya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fermentasi batang (gedebog) pisang sebagai pakan alternatif ternak kelinci terhadap pertambahan bobot badan.

Hipotesa

Ada perbedaan pengaruh pemberian pakan fermentasi batang (gedebog) pisang terhadap pertambahan pertambahan bobot badan.

H0 : (αβ)ij = 0 (Tidak ada pengaruh interaksi

antara metode fermentasi dengan taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan )

H1 : (αβ)ij ≠ 0 (ada pengaruh interaksi antara

metode fermentasi dengan taraf pemberian terhadap pertambahan bobot badan)

(17)

H0 : αi = 0 (Tidak ada pengaruh metode

fermentasi terhadap pertambahan bobot badan )

H1 : αi ≠ 0 (ada pengaruh metode fermentasi

terhadap pertambahan bobot badan)

H0 : βj= 0 (Tidak ada pengaruh taraf pemberian

terhadap pertambahan bobot badan )

H1 : βj ≠ 0 (ada pengaruh taraf pemberian

terhadap pertambahan bobot badan)

MATERI DAN METODE Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 32 ekor ternak kelinci lokal sebagai objek yang akan diteliti, dimana dari 32 ekor ternak tersebut merupakan jumlah keseluruhan dari populasi dengan umur 10 bulan dan berat badan yang mendekati sama yatu ± 2000 gr. Sedangkan batang pisang (gedebog), dedak padi, dedak jagung, gaplek, hijauan (rumput, kangkung bayam dan daun pepaya), molases sebagai bahan pakan,dan EM4 Peternakan sebagai bahan fermentor.

Alat yang digunakan yaitu kandang individual tiga puluh dua unit,tempat pakan dan tempat minum, timbangan untuk menimbang bobot hidup dan timbangan menimbang pakan, celurit dan pisau untuk mencacah batang pisang dan hijauan, alat tulis, kalkulator dan alat penerangan, terpal plastik untuk mencampur bahan pakan, dan kantong pelastik besar untuk tempat fermentasi, pencatat data selama penelitian, alat kebersihan (karung sak, sapu lidi, sekop).

Pembuatan Fermentasi Batang Pisang

Produk samping tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan adalah batang pisang bagian bawah (bongkol), tengah dan bagian atas termasuk daunnya. Seluruh bahan dilakukan fermentasi sesuai dengan perlakuan yang direncanakan.

Pembuatan fermentasi batang pisang (gedebog) seperti diterangkan pada diagram alir berikut.

Gambar 1 Diagram Alir Pembuatan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog)

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 perlakuan: perlakuan (1) Fermentasi batang (gedebog) pisang yang di cacah kasar dengan 4 taraf pemberian yaitu 0%, 10%, 20%, 30%. Perlakuan (2) Fermentasi batang (gedebog) pisang yang di cacah halus dengan 4 taraf pemberian yaitu 0%, 10%, 20%, 30%. Dengan 2 kelompok. Setiap perlakuan2 ulangan. Perlakuan yang diteliti adalah:

Metode rancangan acak kelompok pola faktorial adalah rancangan acak kelompok yang terdiri dari dua peubah bebas (faktor) dalam klasifikasi silang yaitu faktor A yang yang terdiri dari a taraf dan faktor B yang terdiri dari b taraf dan kedua faktor tersebut di duga saling berinteraksi.

Pencampuran larutan EM4 Peternakan + air + molases

Batang pisang di cacah kasar dan halus dan hijauan

dicacah biasa

Dedak padi, dedak jagung, gaplek, cacahan hijauan dan cacahan batang pisang di campur rata

Campuran bahan pakan disiram larutan EM4 Peternakan

Pakan fermentasi dimasukkan dalam kantong plastik

(ditutup rapat)

Pakan fermentasi siap diberikan pada

ternak kelinci

Dengan perbandingan 1 liter air : 1 tutup botol EM4 Peternakan dan ¼ gelas molases

(18)

Riskiyah, Pemanfaatan Fermentasi …15

Tabel 1. Perlakuan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog)

Perlakuan 1 Taraf Pemberian

1 2 3 4 Gedebog (%) 0 Gedebog Kasar (%) 10 20 30 Dedak Padi (%) 50 45 45 35 Dedak Jagung (%) 20 20 15 15 Gaplek (%) 20 20 15 15 Hijauan (%) 10 5 5 5

Perlakuan 2 Taraf Pemberian

1 2 3 4 Gedebog (%) 0 Gedebog Kasar (%) 10 20 30 Dedak Padi (%) 50 45 45 35 Dedak Jagung (%) 20 20 15 15 Gaplek (%) 20 20 15 15 Hijauan (%) 10 5 5 5

Model linier yang tepat untuk Rancangan Acak Kelompok Faktorial adalah:

Yijk= µ + αi+ βj+ (αβ)ij+ ðk(j) + ε(ijk) Dengan :

Yijk = hasil pengamatan pada kelompok ke-k, yang menerima taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari Faktor B

µ = nilai tengah umum

αi = pengaruh faktor A pada taraf ke-i βj = pengaruh faktor B pada taraf ke-j (αβ)ij = pengaruh interaksi AB pada taraf ke-i

(dari faktor A), dan taraf ke-j (dari faktor B)

ðk = pengaruh kelompok ke-k

εm(ijk) = pengaruh acak pada taraf ke-i (faktor

A), taraf ke-j (faktor B) dan interaksi AB yang ke-i dan ke-j, serta pada kelompok ke-k

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan

a. Pengaruh Metode Fermentasi terhadap Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan suatu refleksi dari akumulasi konsumsi, fermentasi, metabolisme dan penyerapan zat-zat makanan di dalam tubuh ternak (Antonius, 2009). Hasil uji BNT menunjukan bahwa pada metode pakan fermentasi batang pisang (gedebog) yang di cacah halus menunjukkan berpengaruh nyata (P>0,05), tingkat konsusmsi pada ternak kelinci terhadap pakan fermentasi batang pisang (gedebog) yang dicacah halus lebih tinggi dari pada yang dicacah kasar, adapun pakan yang dicacah halus dikonsumsi ternak kelinci dalam satu bulan adalah: 4.145 gram, sedangkan pakan yang dicacah kasar adalah: 40,016. Ini disebabkan adalah karena bentuk fisik pakan tersebut, pakan yang dicacah halus dapat menaikkan tingkat konsumsi, mempercepat pengunyahan dimana dilaporkan bahwa panjang cacahan yang lebih pendek memungkinkan terjadinya pemadatan pada saat pembuatan silase, sehingga terjadi proses fermentasi yang lebih sempurna oleh microorganisme. Pada umumnya tingkat kecernaan silase yang dicacah lebih tinggi dari pada yang tidak dicacah (Thomas et al., 1976). Ini sesuai dengan pendapat Church dan Pond (1988), menyatakan bahwa palatabilitas yang meliputi tekstur, bau, rasa, dan suhu dari pakan yang diberikan, mempengaruhi tingkat konsumsi dari kelinci.

Tabel 1 Analisis Sidik Ragam

SK db JK KT F Hitung F Tabel 0,05 0,01 Kelompok 1 638662,375 Perlakuan 7 33066046,875 Metode 1 32714966,375 32714966,375 294,66 12,25 5,59 Taraf pemberian 3 47887,625 15962,54 0,14 8,48 4,35 Metode x Taraf 3 303192,875 101064,29 0,91 8,48 4,35 Galat 7 777172,68 111024,66 Jumlah 15 34481881,87

(19)

b. Pengaruh Taraf Pemberian terhadap Pertambahan Bobot Badan

Dari hasil analisis ragam pengaruh taraf pemeberian pakan fermentasi batang pisang (gedebog) 0%, 10%, 20%, 30% menunjukkan nilai tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, karena pemberian pakan yang hanya memiliki selisih sedikit sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan, selain itu lama fermentasi yang hanya satu hari yang menyebabkan taraf pemberian tidak berpengaruh. Tapi dilihat dari segi ekonomis taraf pemberian pakan yang paling efektif digunakan yaitu pada taraf 30%, pada taraf tersebut harga pembuatan pakan lebih murah dari taraf pemberian yang lain. Walaupun batas pemberian batang pisang pada kelinci tidak diketahui, maka penggunaan pada taraf ini sudah maksimal mengingat kelinci merupakan ternak pseudoruminan.

c. Pengaruh interaksi Metode x Taraf Pemberian terhadap Pertambahan Bobot Badan

Dari hasil analisis ragam pengaruh interaksi metode x taraf pemeberian pakan fermentasi batang (gedebog) pisang menunjukkan nilai tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, karna dilihat dari tabel rataan pertambahan berat badan (tabel 3) menunjukkan nilai yang sama, ini terjadi

karena interaksi antara metode dengan taraf pemberian tidak saling mempengaruhi, apalagi kelinci yang digunakan sebagai penelitian berumur 10 bulan dimana pada umur tersebut pertambahan bobot badan sangat lambat ini sesuai dengan pendapat Sanford dan Woodgate (1979) bahwa pertambahan bobot badan harian berhubungan erat dengan umur. Semakin tua umur kelinci, maka PBBH yang dicapai semakin rendah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan padametode RAK Faktorial fermentasi pakan yang di cacah halusmemberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot

badandimana pakan yang dikonsumsi ternak kelinci selama satu bulan dalah: 4.145 gr dengan pertambahan berat badan 259,06 gr.

DAFTAR PUSTAKA

Ahira 2013, Kandungan Gizi Kankung dan Keistimewaannya, diakses 1 September 2013,

Alex, s. 2010. Panduan Lengkap Memelihara

Kelinci & Hamster. Pustaka Baru Press.

Yogyakarta

Anggorodi, R. 1980. Ilmu Makan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.

Anonim., 1998. Teknologi EM dalam Berita. IPSA. Denpasar, Bali. Diakses pada bulan 8 Juli 2010

Anonim. 2011. Mengenal Dedak sebagai Bahan Baku Pakan Ternak. Tanggal akses : 17 Mei 2011

Antonius. 2009. Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai subtitusi rumput Gadjah dalam ransum. JITV 14(4): 8 – 16, pada skripsi herlina halim

DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI TANAMANHORTIKULTURA. 2003. Statistik Hortikultura.

Grist, D.H. 1972. Rice 4th Ed. Lowe and Brydine Ltd., London. Haros, M, O. E. Perez, and C.M.

Hartadi H., S. Reksohadiprojo, AD. Tilman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan Keempat, Gadjah Mada Uivesity Press, Yogyakarta. Kamaruddin, M. dan Salim. 2006. Pengaruh

Pemberian Air Perasan Daun Pepaya Pada Ayam : Respon Patofisilogik Hepar

J. Sain Vet. : 37 –43.

Lado. L . 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum Sudanense) Pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut. Tesis. Pasca sarjana Program studi ilmu peternakan. Universitas gadjah mada, Yogyakarta. McIlroy, R.J. 1977. Pengantar Budi Daya Padang

Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta.

Mansyur W. 2013. Balai Penyuluhan Kalori,

(20)

17

EVALUASI KUALITAS DENDENG YANG BEREDAR DI PASARAN

KABUPATEN PEMEKASAN DENGAN METODA

UJI SENSORIS

Joko Purdiyanto

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Madura e-mail : jokopurdiyanto@unira.ac.id, jokopmk@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dendeng yang paling diminati oleh konsumen di Kabupaten Pamekasan, sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bagi para pengusaha dendeng untuk pengembangan produk olahannya. Sampel berupa dendeng dari berbagai merek yang dibeli di Toko Swalayan atau Pasar yang ada di Kabupaten Pamekasan. Dendeng hasil pembelian di pasaran, digoreng dan disajikan dalam cawan untuk dilakukan uji sensoris di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Madura. Jumlah Responden sebanyak 100 orang. Variabel yang dinilai :Tekstur, Warna, Rasa, dan Aroma. Pengujian Sensoris dengan menggunakan Metoda Hedonic Scale Test, masing-masing merek dendeng diberi kode dengan tiga angka untuk dilakukan penilaian. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam atau Analisa Varians (Anova) serta dilanjutkan dengan Uji Rentang Newman-Keuls. Dendeng yang disukai konsumen di Kabupaten Pamekasan adalah dendeng yang berwarna coklat bersih, beraroma sedap, berasa manis dengan tekstur tidak keras.

Kata Kunci: Kualitas, Dendeng, Uji Sensoris

PENDAHULUAN

Daging adalah salah satu hasil ternak yang mudah rusak akibat dari komposisi gizinya

yang baik untuk manusia maupun

mikroorganisme. Disamping itu juga daging merupakan bahan pangan asal ternak yang baik digemari masyarakat karena keragaman yang luas dalam pengolahannya. Sebagaimana bahan mentah hasil hewani lainnya, daging kalau dibiarkan begitu saja, lama-kelamaan akan mengalami perubahan akibat pengaruh-pengaruh fisiologik, mekanik, fisik, kimiawi atau mikrobiologik.

Pengolahan daging bertujuan untuk menambah keragaman pangan sedangkan

pengawetan daging bertujuan untuk

memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Di dalam pengawetan daging, perubahan-perubahan yang sifatnya merusak atau merugikan dihambat, dicegah, dihindari, atau dihentikan sehingga daya guna bahan pangan ini dapat dipertahankan. Segala usaha yang dilakukan untuk mengawetkan daging sejak ternak dipotong sampai kegunaan terakhir oleh konsumen disebut teknologi daging. Jadi teknologi daging mempelajari tentang bagaimana mengelola dan mengawetkan daging ditinjau dari aspek pengolah, sedangkan dari aspek konsumen adalah penyediaan bahan pangan bergizi tinggi dan enak dimakan.

Sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, pola konsumsi bahan pangan juga mengalami perubahan yaitu dari “makan asal

kenyang” menjadi “makan enak”. Perubahan ini

membawah akibat meningkatnya kesadaran konsumen untuk memilih bahan pangan yang lebih baik mutunya. Oleh karena itu peran penanganan dan pengawetan daging sangat besar artinya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan asal ternak sebagai sumber protein hewani. Dengan peningkatan konsumsi daging, maka tentunya dibutuhkan kenaikan produksi ternak yang akan sejalan dengan perkembangan populasi ternak. Hal ini menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh pakar-pakar peternakan dalam usaha memenuhi kebutuhan protein hewani. Permasalahan yang dihadapi di samping penyediaan pakan ternak, kualitas dan kuantitas bibit ternak, penyaluran harga sarana produksi juga masalah penanganan pasca panen. Pertumbuhan dibidang industri pangan termasuk pengolahan hasil ternak khususnya daging akhir-akhir ini mulai berkembang dengan pesat yaitu usaha pengolahan yang bertaraf tradisional secara bertahap berkembang menuju industri yang lebih maju seperti pembuatan dendeng. Sehingga banyak ragam dan merek dendeng yang beredar di pasaran.

(21)

Dendeng merupakan salah satu bentuk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional dan telah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu. Menurut SNI 01-2908-1992 (Badan Standarisasi Nasional, 1992), dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir (Purnomo, 1996). Dendeng dapat dikategorikan sebagai bahan pangan semi basah (Intermediate

Moisture Food) karena dendeng memiliki kadar

air yang berada dalam kisaran kadar air bahan pangan semi basah, yaitu 25%. Bahan pangan semi basah merupakan campuran suatu bahan pangan ang pada umumnya ditambah dengan bahan pengikat air yang dapat menurunkan daya ikat air produk, sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat (Purnomo, 1996). Bahan pangan semi basah memiliki aktivitas air antara 0,60 sampai 0,91 (Salguero et al, 1994). Purnomo (1996) mengemukakan, ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah 30%, garam 5%, ketumbar 2%, bawang putih 2%, sendawa 0,2%, lengkuas 1%, dan jinten 1% (Hadiwiyoto, 1994). Selama pembuatan dan pengeringan akan terjadi pula pembentukan komponen-komponen citarasa, yang akan menambah rasa dan aroma dendeng menjadi lebih sedap. Bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng dapat berasal dari daging sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan ayam; sedangkan yang lazim terdapat dipasaran adalah dendeng daging sapi (Purnomo, 1979, 1987). Proses pembuatan dendeng belum dibakukan karena merupakan seni memasak yang bersifat rahasia, tetapi pada dasarnya menyangkut pengirisan daging tipis-tipis diikuti dengan perendaman dan pengeringan. Sifat-sifat yang menguntungkan dalam pembuatan secara tradisional ialah bahwa produk-produk tersebut disesuaikan benar dengan kebiasaan-kebiasaan makan dari masyarakat di daerah dimana produk itu dibuat dan semua produk yang dibuat dengan teknik industri rumah akan memberikan kesempatan kerja dalam suatu daerah tertentu. Kerugiannya ialah bahwa dalam

hal stabilitas maupun mutu tidak dapat dicapai titik tertinggi dan pada proses pengolahannya tidak dilakukan pengawasan mutu yang mungkin dapat mengecilkan biaya dan menjamin mutu produk akhir.

Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi kualitas dendeng seperti apa yang paling diminati oleh konsumen di Kabupaten Pamekasan, sehingga dapat dipakai sebagai dasar bagi para pengusaha dendeng untuk pengembangan produk olahannya.

MATERI DAN METODE Materi

Dendeng dari berbagai merek yang dibeli di Toko, Swalayan atau Pasar yang ada di Kabupaten Pamekasan Tahun 2014

Metoda

1. Dendeng hasil pembelian di pasaran, digoreng dan disajikan dalam cawan untuk dilakukan uji sensoris di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Madura

2. Jumlah Responden : 100 orang 3. Variabel yang dinilai :

a. Warna b. Rasa c. Aroma

d. Tekstur (tingkat kekerasan)

4. Pengujian Sensoris dengan menggunakan Metoda Hedonic Scale Test. Masing-masing merek dendeng diberi kode dengan tiga angka. Untuk penilaian digunakan skala penilaian : 9 = sangat suka sekali

8 = sangat suka 7 = suka 6 = sedikit suka 5 = medium

4 = sedikit tidak suka 3 = tidak suka 2 = sangat tidak suka 1 = sangat tidak suka sekali 5. Metode Analisa

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam atau Analisa Varians (Anova) serta dilanjutkan dengan Uji Rentang Newman-Keuls (Sudjana, 1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil Uji Sensoris Warna Dendeng

Pengujian sensoris untuk warna dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara

(22)

Purdiyanto, Evaluasi Kualitas Dendeng ….19

memberikan penilaian instensitas warna masing-masing dendeng dengan metoda Hedonic Scale

Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan

AnalisaVarians, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman- Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hasil Analisa Sensoris Warna Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 452 374 168 231 513 625 452 - - - + + + 374 - - - + + + 168 - - - + + + 231 + + + - - -513 + + + - - -625 + + + - -

-Keterangan : + : Berbeda Sangat Nyata - : Tidak Berbeda Sangat Nyata 452 : Dendeng Jamila

374 : Dendeng Camilan Madura 1 168 : Dendeng Camilan Madura 2

231 : Dendeng SAE

513 : Dendeng Kultum 625 : Dendeng Pangestu

Hasil analisa sensoris untuk warna pada enam merek dendeng menunjukkan bahwa ada perbedaan kesukaan di dalam warna dendeng, yaitu Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Camilan Madura 2 dengan Dendeng SAE, Dendeng Kultum, Dendeng Pangestu.

Untuk Dendeng Jamila, Dendeng Camilan Madura 1 dan Dendeng Camilan Madura 2 tidak ada perbedaan kesukaan terhadap warna dengan nilai uji sensoris antara 5, 83 sampai dengan 5,99. Sedangkan untuk Dendeng SAE, Dendeng Kultum, Dendeng Pangestu tidak ada perbedaan kesukaan panelis dengan nilai uji sensoris antara 6,71 sampai dengan 6,93. Jika dilihat dari skala penilaian adalah antara sedikit suka sampai dengan suka.

Pembentukan warna ini ada hubungannya dengan adanya penambahan sendawa yang akan memberikan pewarnaan yang baik pada daging, dendeng yang dihasilkan berwarna lebih menarik dan stabil. Disamping itu juga dipengaruhi oleh adanya reaksi maillard yaitu reaksi antara asam amino yang ada pada protein daging dengan gula reduksi, sehingga terbentuk warna coklat.

Pengunaan gula kelapa juga mempengaruhi pembentukan warna pada dendeng. Jika kualitas gula yang digunakan baik dalam arti warna gulanya baik dan bersih, maka dendeng yang dihasilkan juga akan berwarna baik dan bersih.

b. Hasil Uji Sensoris Aroma Dendeng

Pengujian sensoris untuk aroma dari berbagai merek dendeng dilakukan dengan cara mencium dan memberikan nilai aroma masing-masing dendeng dengan metoda Hedonic Scale

Test. Perhitungan dengan statistik menggunakan

AnalisaVarians, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tingkat nyata dengan Uji Rentang Newman-Keuls, dengan hasil seperti pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Hasil Analisa Sensoris Aroma Pada Berbagai Merek Dendeng Kode Sampel 168 513 374 452 231 625 168 - - - - + + 513 - - - - + + 374 - - - - + + 452 - - - -231 + + + - - -625 + + + - -

-Keterangan : + : Berbeda Sangat Nyata - : Tidak Berbeda Sangat Nyata 168 : Dendeng Camilan Madura 2 513 : Dendeng Kultum

374 : Dendeng Camilan Madura 1 452 : Dendeng Jamila

231 : Dendeng SAE

625 : Dendeng Pangestu

Besadarkan uji tingkat kesukaan terhadap aroma dendeng, dari hasil analisa sensoris pada enam merek dendeng menunjukkan adanya perbedaan kesukaan terhadap aroma, yaitu Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Kultum, Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Jamila berbeda dengan Dendeng SAE, Dendeng Pangestu.

Untuk Dendeng Camilan Madura 1, Dendeng Kultum, Dendeng Camilan Madura 2, Dendeng Jamila tidak ada perbedaan kesukaan terhadap aroma dengan nilai uji sensoris antara 5,80 sampai dengan 6,29. Dan Dendeng SAE, Dendeng Pangestu tidak ada perbedaan kesukaan terhadap aroma dengan nilai uji sensoris 6,85 dan

Gambar

Gambar 1 Diagram Alir Pembuatan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog)
Tabel 1. Perlakuan Fermentasi Batang Pisang (Gedebog)
Tabel 2. Populasi Ternak Besar Menurut Desa dan Jenis Ternak di Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan 2014
Gambar 1. Prinsip Dasar Dalam Konsep OTOP Tiga  prinsip  dasar  dalam  konsep  OTOP yang  sesungguhnya  bisa  diterapkan  dalam komoditas  apapun
+4

Referensi

Dokumen terkait

3. Kebutuhan Pegawai, Untuk mengetahui kebutuhan pegawai, analisis jabatan dilakukan sebagai dasar penyusunan formasi. Melalui analisis ini dapat

Salah satu kemampuan krusial dari cognitive radio adalah spectrum sensing yang berfungsi mendeteksi sinyal primary user dan mampu mendeteksi celah kosong ( spectrum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik

output benar serta jenis input yang memungkinkan output salah pada perangkat lunak yang sedang diuji..  Menentukan output untuk suatu

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan-pembiayaan bermasalah di KSPPS Bina Insan Mandiri, (2) untuk

Peningkatan keterampilan peserta menunjukkan bahwa pmeningkatnya keterampilano perawatan kulit wajah (facial) hiperpigmentasi secara manual melalui pelatihanklo dengan

Dengan menganalisa grafik dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa proses pendistribusian request yang dilakukan load balancer Zevenet pada layanan HTTP dengan

1) Guru harus menerangkan kepada peserta didik, untuk memperkenalkan teknik ini, peserta didik diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual