Otoritas Manusia (2)
Oleh:Muchammad AgungR:Dan ketiga adalah , Nafsul Muthma'innah. Tingkatan nafs yang ini adalah nafs yang tertinggi. Pada tingkatan ini, diri berada dalam maqom ketenangan, keheningan, tidak ada
rasa takut dan khawatir, dan senantiasa tunduk kepada kehendak Allah. Kehendaknya akan disandarkan kepada kehendak Allah dan mengendalikan sepenuhnya hawa nafsunya. Nafsul muthmai'innah inilah yang kelak akan datang dan kembali kepada Allah
dengan kesucian dan fitrahnya. Allah SWT berfirman:
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridho'i-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaku".
(Q.S Al-Fajr, 27-28)
Dengan ketiga potensi jiwa tersebut manusia kemudian dapat membentuk jiwanya sendiri. Apakah ia akan membentuk dan menumbuhkan jiwanya yang suci (muthmainnah) atau akan mengotorinya. Menurut beberapa riwayat, para waliyullah dapat melihat jiwa manusia berdasarkan sifat yang dimilikinya. Ada yang berbentuk seperti anjing (kalbiyah) oleh karena demikianlah perilakunya setiap hari. Ada yang seperti babi (Hinzhiriah), keledai (khimariyyah)
ada juga yang terlihat seperti tikus (fa'riyyah). Jika para waliyullah saja sudah demikian, bagaimana dengan kemampuan Rasulullah saw. Konon juga kita ketika meninggal kita akan melihat pengiring jenazah kita dalam berbagai bentuknya dari berbagai jenis hewan. Wallahu 'alam.
Manusia tinggal di dunia dan mengekpresikan semua kebebasan yang diberikan oleh Allah di atas alam materi ini. Alam memiliki hukum-hukumnya. Oleh karenanya manusia juga tidak dapat melepaskan diri dari ikatan hukum alam ini. Dalam konsep agama, kita meyakini, bahwa yang dimaksud dengan manusia bukanlah apa yang terlihat secara fisik ini. Namun apa yang tersembunyi dan bersemayam di hati (heart, jantung dan bukan hati atau lever). Kemanusiaan manusia ada pada jiwanya dan bukan raganya. Karena jika jiwa kita meninggalkan raga, maka raga ini bukan lagi disebut manusia, namun ia menjadi bangkai. Raga tidak akan bergerak tanpa daya yang tumbuh dari dalam jiwanya. Raga hanyalah alat bagi kita untuk berkomunikasi dalam alam materi ini. Jika kita ingin mendengar, maka kita membutuhkan telinga sebagai sarananya. Jika kita ingin melihat, kita memerlukan mata sebagai media. Jika kita ingin berkata, maka kita memerlukan media mulut. Jika kita tidak berkehendak apa-apa, maka tidak akan ada suara, tidak akan ada kata-kata. Ketika kita tidur lelap, kita lebih banyak tidak mampu mendengar, melihat atau berkata. Meski telinga kita tetap ada, mata kita tidak berkurang fungsinya. Namun karena jiwa kita tidak berkehendak, semua tidak memberikan fungsinya.
Demikianlah amanah dan potensi luar biasa yang dimiliki manusia. Ia mampu menghadirkan karya-karya monumental dengan kemampuan akal fikirannya. Namun, keistimewaan tersebut bukan tanpa konsekuensi apa-apa. Manusia kemudian dikenai kewajiban (ta'lif). Ia dikenai hukum halal dan haram, dan sebagai imbalannya ada penghargaan dan hukuman (reward and punishment). Jika kita beriman dan bertaqwa, maka surga balasannya, namun jika durhaka, maka tempat terburuk menjadi balasannya. Hal ini tidak berlaku atas tumbuh-tumbuhan dan hewan. Kita tinggal pilih untuk diri kita, karena sebagaimana kita membentuk jiwa kita masing-masing, kita juga akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita masing-masing di pengadilan Ilahi kelak. (Habis)