• Tidak ada hasil yang ditemukan

PPTI Jurnal Maret 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PPTI Jurnal Maret 2012"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

J U RN AL

T U BERK U LOSI S

I N DON ESI A

Diterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) The Indonesian Association Againts Tuberculosis

DAFTAR ISI :

EVALUASI METODE FASTPlaqueTB

TM

UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium

tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI

JAKARTA-INDONESIA

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

RAPID TB TEST

MEROKOK DAN TUBERKULOSIS

TUBERKULOSIS DAN HIV- AIDS

(2)

Vol. 8- Maret 2012

ISSN 1829 - 5118

JURNAL

TUBERKULOSIS

INDONESIA

Diterbitkan Oleh

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum

Ketua Umum PP PPTI

Penanggung Jawab

Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP

Pemimpin Redaksi

Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat Redaksi

Drs. Sumardi

Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan

Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A

Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240

Telp. 021 - 7397494

Fax. 021 - 7397494

http://www.ppti.info, email: ppti66@yahoo.com

(3)

Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pedoman Umum

Naskah adalah karangan asli

Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam

bentuk dan media/jurnal apapun

Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis

Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan

seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi

Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan

naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah

Redaksi berhak untuk meminta penulis untuk

memperbaiki isi dan bentuk tulisan

Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada

penulis apabila ada permintaan sebelumnya

Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang

efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu, naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang standar

Naskah

Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak

tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran kertas A4 (21x 30 cm)

Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket

berupa copy file dari naskah tersebut

Kelengkapan Naskah

Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Tuberkulosis Indonesia:

Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama

Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau

via email: jti_indonesia@yahoo.com

Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out) yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2) abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi dan foto berikut keterangannya

Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan

program MS- Word Halaman Judul dan Penulis

Judul makalah ditulis lengkap, dan tidak

menggunakan singkatan

Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis

Nama departemen dan institusi

Alamat korespondensi penulis

Petunjuk Untuk Penulis

Abstrak

[image:3.595.50.553.129.731.2]

Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak tidak lebih dari 250 kata.

Tabel dan Gambar

Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,

dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah

Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel

Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai

urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel ataugambar.

Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara

informative sehingga mudah untuk dimengerti

Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan

biaya reproduksi

Daftar Pustaka

Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan

Vancouver.

Daftar rujukan tidak lebih dari 25 buah, dan

merupakan rujukan terbaru dalam satu dekade terakhir.

Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam

narasi naskah.

Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam

Index Medicus.

Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun

belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai aturan dan ditambahkan: In Press

Contoh Penulisan Daftar Rujukan

1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32- 80. 2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of

Tu-berculosis Control. Clinical policies and protocols. 3rd ed. New York, NY: New York City Department of Health, 1999

3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5

4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California: Aicon Publishers; 1985

(4)

EDITORIAL

Sekali lagi tentang TB- MDR. Siapa yang salah ?

“Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb- paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!”

Begitulah ‘keluhan’ yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB- MDR, yaitu TB- paru dengan kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak- anak.

Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan ‘wabah’ TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak

adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yglambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi

sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang

tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutanresisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi

primer maupun sekunder.

Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal

pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan

kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling

tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.

Cara- cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB harus dilakukan.

(5)

Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul

Role of the Private Health Sector to Prevent MDR- TB Epiemics in Indonesia.

Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST- plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan dalam tulisan Nita Yuniarti R.

(6)

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan

negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun

2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi

semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif.

Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur

memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada pewarnaan tahan asam.5 Kultur Lowenstein- Jensen (LJ)

merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium

tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing

99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk

memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7

Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5

Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih cepat dan akurat.8

Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi cepat Mycobacterium tuberculosis yang telah banyak digunakan di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya, secara teknis metoda ini tidak mudah dikerjakan dan memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat

yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage.

Mycobacteriophage akan menginfeksi Mycobacterium tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium

tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda,

yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) dan menggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM (Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode cepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologi amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13

penelitian phage based assay menunjukan bahwa nilai sensitivitas uji FASTPlaqueTBTM masih memiliki rentang nilai sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 21–94% dan rentang nilai spesifisitasnya 83– 100%.10 Hingga saat ini belum

ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui efektivitas metode FASTPlaqueTBTM.

Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan TB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menguji metode FASTPlaqueTBTM dalam mendeteksi

Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metode

ini dapat membantu penegakan diagnosis TB yang cepat, akurat, mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

METODEA

Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari 18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta, 3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan 24 pasien yang berobat di Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan telah menandatangani

informed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalah

pasien usia e”15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB

paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas (batuk e” 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),

terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam,

anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputum

dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum dari

masing- masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3

EVALUASI METODE FASTPlaqueTB

TM

UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium

tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI

JAKARTA-INDONESIA

Leli Saptawati,dr.,Sp.MK, Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K), Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K),

(7)

kali, yaitu sputum sewaktu- pagi- sewaktu. Perhitungan besar sampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2

proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukan selama 2 periode

yaitu bulan April–Juli 2009 dan Oktober–Desember 2010.

Pewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dan sesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukan

dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep®) dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FASTPlaqueTB (FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar

0,5–1 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM

Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan

pembuatan preparat untuk pemeriksaan mikroskopis. Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril yang sudah tersedia dalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasi selama 18–24 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan biakan pada media LJ dan Lowenstein Jensen–P-nitrobenzoic

acid (LJ- PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke

dalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di media LJ- PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabung LJ dan LJ- PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalam inkubator dengan posisi miring 30° selama 24 jam. Setelah itu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi pada posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16

Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjuk pada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK . Pada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif. Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35- 37ºC, kontrol negatif dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan faga dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 35–37ºC. Setelah inkubasi, masing- masing tabung ditambah 0,1 ml larutan virusid. Tabung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang, kemudian masing- masing tabung ditambah 5 ml larutan FPTB

MediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnya ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah itu ditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dan dituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras (sekitar 30 menit pada suhu 20–25ºC). Petri kemudian diinkubasi semalam pada suhu 35–37ºC. Keesokan harinya petri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yang terbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d” 10

plak, kontrol positif harus terbentuk e” 20 plak. Pada petri

spesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 0–19 plak dan dikatakan positif apabila terdapat e” 20 plak.17

HASIL

Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95 dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampel tidak dapat digunakan karena :

a. Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ dari hijau menjadi biru atau coklat.

b. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14 sampel sputum.

c. Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji

FASTPlaqueTBTM

d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan mengenai gejala klinik.

Sedangkan pada periode ke- 2, sebanyak 17 dari 69 sampel tidak dapat digunakan karena :

a. Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8 sampel sputum.

b. Lima sampel mengalami kontaminasi pada uji

FASTPlaqueTBTM

c. Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur

LJ maupun uji FASTPlaqueTBTM

d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji

FASTPlaqueTBTM.

Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164 sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sebanyak 97 sampel.

Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka TB paling banyak berada pada usia 35- 44 dengan mean 43 tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46) berjenis kelamin laki- laki dan 13 orang (13/46) berjenis kelamin perempuan.

Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM, 52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38 sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yang dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi positif oleh

FASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis dan kultur negatif.

Hasil pemeriksaan mikroskopis

(8)

Hasil pemeriksaan kultur

Setelah dilakukan pemeriksaan mikroskopis, selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ- PNB.

Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam

analisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%) menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%) menunjukkan hasil kultur negatif.

Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM

Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua spesimen juga diperiksa dengan menggunakan metode

FASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel (58,9%) menunjukkan hasil positif dan 37 (41,1%) memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan Zehl Neelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJ sebagai baku emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.

Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen

langsung dan uji FASTPlaqueTBTM

Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan untuk pelayanan sehari- hari laboratorium di Indonesia adalah pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan panduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil pada pewarnaan langsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun 2006.18

Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel), 8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, 2 sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, 18 sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan hasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar e”90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1.

Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38 sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung, satu sampel menunjukkan 1–9 BTA/100 lapang pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel menunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkan hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung,

FASTplaqueTBTM dan kultur LJ negatif diperoleh pada pewarnaan langsung yang menunjukkan hasil negatif.

Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ.

Ziehl Neelsen Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 7 5 90,4 86,8 90,4 86,8 6,9 0,1 Negatif 5 3 3

5 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan

Kultur LJ.

FASTPlaqueTB Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 5 8 86,5 78,9 84,9 81,1 4,1 0,2 Negatif 7 3 0

5 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsen setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM

dibandingkan dengan Kultur LJ.

Kultur LJ Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK Positif Negatif (%) (%) (%) (%) pos neg

Positif 4 9 1 1 94,0 71,0 81,0 90,0 3 0,1 Negatif 3 2 7

5 2 3 8

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif. ZN setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTB Penawaran langsung Uji FASTPlaqueTBTM

Positif n(%)

Uji

FASTPlaqueTBTM

Negatif n(%)

Kultur LJ positif

Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang

+1 +2 +3

17 (94,4) 18 (100) 15 (93,7)

1 (5,6) 0 (0,0) 1 (6,3)

1 8 1 8 1 6 4 (50,0)

1 (50,0)

4 (50,0)

1 (50,0)

8

2 Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji

FASTPlaqueTBTM dan kultur LJ positif

Penawaran langsung

Uji

FASTPlaqueTBTM

Positif n(%)

Uji

FASTPlaqueTBTM

Negatif n(%)

Kultur LJ negatif

Negatif 1-9 BTA/100 lapang pandang

+1 +2 +3

1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)

1 (50,0) 1 (50,0) 0 (0,0)

2 2 0 5

0 (0,0)

27 (81,8)

1 (100)

3 3

1 Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji

[image:8.595.47.289.322.397.2] [image:8.595.47.290.451.524.2] [image:8.595.305.547.461.572.2] [image:8.595.48.289.590.686.2] [image:8.595.307.548.612.719.2]
(9)

PEMBAHASAN

Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam terapi OAT (obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol, Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat

menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.

Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di

bawah 60%.10

Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini memperlihatkan bahwa responden terbanyak adalah kelompok umur 35- 44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh

Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (15–50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi

t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada

perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain

merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh

masyarakat.20 Berdasarkan jenis kelamin, responden

terbanyak dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu 33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering diderita oleh laki- laki dibandingkan wanita. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.21

Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90) sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan sisanya BTA (- ). Hasil kultur juga menunjukkan data yang sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJ positif dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4

FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostik yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ, metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas 78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode

FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan 0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta analisis terhadap 13 penelitian. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa phage- based assays memiliki sensitivitas antara 21–94%. Luasnya rentang nilai sensitivitas pada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan, riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlah sampel BTA positif dan BTA negatif pada seluruh sampel

yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.Pada meta

analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan spesimen sputum namun juga menggunakan jenis spesimen lain. Selain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan responden yang sedang dalam terapi OAT.10

Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis set elah homogenisasi dekont aminasi dan/ at au

FASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar 94,0%, spesifisitas 71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duga negatif 90,0%, rasio kemungkinan positif 3 dan rasio kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapat meningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi

pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM

memperlihatkan nilai sensitivitasnya mencapai 90% dan spesifisitasnya 93%.4

Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkan dengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkan hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatif dan 2 sampel menunjukkan hasil BTA positif). Dengan data tersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BTA negatif terdeteksi positif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya faga yang berada di luar sel, karena proses destruksi faga oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya

faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga.Faga

yang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akan menginfeksi Mycobacterium smegmatis dan akan membentuk plak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positif palsu.5 Interpretasi hasil uji FASTPlaqueTBTM sangat bersifat subyektif dan memerlukan kehati- hatian, terutama dalam membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini terkadang cukup menyulitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapat menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu.

Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu

pada uji FASTPlaqueTBTM sebanyak 7 sampel. Empat sampel

merupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA positif. Hasil

negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM

(10)

dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuan

replikasi pejamu.22

Salah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah tingginya angka kontaminasi pada hasil uji

FASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periode ke- 2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi pada media FASTPlaqueTBTM. Dua puluh lima sampel di antaranya mengalami kontaminasi berupa generalized growth sehingga media menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasi berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh permukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilan dan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasi kurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi, pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulang pada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukan uji FASTPlaqueTBTM ulang.

Setelah dilakukan pengujian, diketahui bahwa sebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positif Gram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram. Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram, di antaranya Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp. Dominasi Bacillus sp sebagai bakteri kontaminan memperkuat dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan pemrosesan spesimen. Penundaan pengiriman spesimen juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.

Pengulangan proses dekontaminasi dapat menurunkan kontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/ 69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) juga

menunjukkan adanya kontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM

sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positif Gram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untuk menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan

penisilin pada medium pertumbuhan FASTPlaqueTBTM.

Penambahan penisilin tersebut mampu menurunkan kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitasnya. Supaya FASTPlaqueTBTM dapat diaplikasikan secara efektif, hal penting yang harus dilakukan adalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutama perlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkait dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak selalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa uji FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitas yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl Neelsen set elah homogenisasi dan dekont aminasi.

FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup

sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan antara bakteri hidup dan mati.24 Hal tersebut dapat

membantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasien dengan kondisi klinis membaik namun hasil pewarnaan Ziehl Neelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan

FASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas.

FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudah dikerjakan. Selain itu metode ini memberikan keamanan yang lebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakan

Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen.

Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehingga bakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan tersebut, uji FASTPlaqueTBTM memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis, memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasil dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam membedakan hasil negatif dan positif lengkap.

Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lain adalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruh strain Mycobacterium tuberculosis di Indonesia, karena hanya diambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta. Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hingga spesies bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC Sedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.

2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/ /puspasca.ugm.ac.id. 2003.

3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.

4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of the FASTPLAQUETB Assay for Direct Detection of

Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J

Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635- 40.

5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B, Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test,

FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from

Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2002; 6(6): 529 – 37.

(11)

7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.164.

8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.

www.fk.ui.ac.id 2008.

9. Pai M, Kalantri SP. Bacteriophage- based tests for tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149- 50.

10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL. Bacteriophage- based tests for the detection of Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a systematic review and meta analysis. BMC Infect Dis, 2005; 5(59).

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 13-14,17,21.

13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro: Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.

14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18. 15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa

Mycobacterium culture method modified for higher sensitivity employing concentrated samples. Tropical Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.

16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple method to differentiate between Mycobacterium

tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly

on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007; 38(1): 111-4.

17. Biotec Laboratories Ltd. FASTPlaqueTBTM a rapid bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available from: www.biotec.com.

18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor- faktor yang berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa (Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit paru pati). Undip website. 2006. Hal. 2. http:/ / eprints.undip.ac.id/5283/.

19. Suharjana BS, Kristiani, Trisnantoro L. Pelaksanaan Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Sleman. KMPK Universitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/ / www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/ id/ UP PDF/ _working/ No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 2009.

21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB paru – TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktor-faktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.

22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14 Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis - application for identification and susceptibility testing. Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 37–42.

23. Stella EJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria and development of simple methods for diagnosis of mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiología. 2009; 41: 45- 55.

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru Tbdengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah kesulit an penemuan penderit a TB paru BTA(+), ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.

Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena dengan dukungan dari orang- orang tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU

(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN

Nita Yunianti Ratnasari

AKPER Giri Satria Husada Wonogiri

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak berdaya dan putus asa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya status kesehatan berarti akan meningkatkan kualitas hidup penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau keluarga penderita.

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi penyakit kronis mulai menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB paru, sehingga muncul sikap berhati- hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal.

(13)

penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat unt uk mengembangkan berbagai penelitian yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4 Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%, penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50 orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis medis menderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif program pengobatan minimal 2 bulan dengan OAT Kategori I, penderita usia produktif yaitu antara 15–55 tahun, dapat membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April 2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis korelasi Product Moment Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Penderita TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata 21–30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 31–40 tahun dan usia 41–50 tahun masing- masing 8 orang (16%) dan 7 orang (14%). Jumlah penderita laki- laki dan perempuan berimbang, laki- laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang (46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%) tamat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat maupun tamat SD masing- masing 3 orang (6%). Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak bekerja dan buruh masing- masing 8 orang (16%). Riwayat pengobatan sebanyak 33 orang (66%) responden menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.

2. Dukungan Sosial

Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan sosial tersebut. Sebanyak 18 orang (36%) mendapat dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori sedang dan rendah masing- masing sebanyak 22 orang (44%) dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga.

3. Kualitas Hidup

Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari- hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%) dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat melakukan kehidupan sehari- hari dengan normal, 9 orang (18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak mampu menjalani kehidupan sehari- hari sama sekali. Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta 4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak 6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang mendapat dukungan dari orang- orang sekitarnya. Sebanyak 40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%) betul- betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.

4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup

Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct

MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial

(14)

Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kualitas Hidup

Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis : variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077; p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141; p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari analisis tersebut diketahui bahwa variabel umur dan pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang, masing- masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan kualitas hidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas hidup.

Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat variabel umur (â=0,519; p<0,05) dan pendidikan (â=0,378; p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya yaitu jenis kelamin (â=0,260; p=0,753), pekerjaan (â=–0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (â=– 6,25; p=0,417) tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

PEMBAHASAN

Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran terbanyak adalah usia produktif, antara 21–30 tahun, sebesar 52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda, antara 15–44 tahun. Sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% diantaranya adalah usia produktif.

Jumlah penderita laki- laki lebih tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki- laki lebih banyak melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.

Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan lebih tinggi akan sadar t entang perilaku sehat dan pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996–1999 yang menyatakan bahwa rendahnya t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar penderita yang masih membuang dahak serta meludah sembarang tempat.

Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat

penghuninya akan kekurangan O2 sehingga menyebabkan

menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya penularan penyakit.

Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66% penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih memilih untuk berobat di instansi tersebut dengan pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan. Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita agar terat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak penderit a yang t idak tekun menyelesaikan pengobatannya.

(15)

cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait aktivitas pada satu minggu terakhir tergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderita menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari- hari pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain. Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari- hari, seperti mengurus diri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas fungsional.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah. Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya nafsu makan, napas pendek serta sering flu.

Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang (86%) menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana orang- orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak dengan penderita, karena takut tertular. Sebaliknya, dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.

Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar. Sebagian besar responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh petugas kesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya diharapkan akan sangat membantu penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung proses penyembuhannya.

Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu, dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self

esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan

jiwa seseorang.

Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (â=0,519; p<0,05). Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya umur.

Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dengan nilai (â=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik. Disebutkan pula bahwa laki- laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan.

Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup (â=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan, sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh terhadap perawatan kesehatannya.

(16)

Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi terhadap kualit as hidup penderita TB paru. Hal ini dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak 50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak mewakili profesi.

Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak ada hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapatkan nilai (â=–6,25, p=0,417). Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

KESIMPULAN

Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, A., “Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Balai Penerbit FK UI. Jakarta : Hal : 715–719. 1990.

Brehm, S., Kassin, S., “Social Psycology”. New Jerset : Houghton Mifflin. Princetor. 1990.

BP4 Yogyakarta., “Laporan Triwulan TB Paru”. BP4 Unit Minggiran. Yogyakarta. 2003.

Cohen, S; Syme, S.L., “Social Support and Health”. London : Academic Press Inc. 1985.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., “Clinical Tuberculosis”. 2nd Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.

Depkes RI., “Pedoman Nasional Penanggulangan TB”. Cetakan ke- 5. Jakarta. 2000.

Depkes RI., “Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya”. Jakarta. 1994

Depkes RI., “Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan

Penanggulangannya”. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta.

1999.

Faisal, A., “Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch

Pulmonum Orang Dewasa”. Majalah Radiologi Indonesia Tahun

ke- 2, No 2 : 31–35. 1991.

Gitawati, R., Sukasediati, N., “Studi Kasus Hasil Pengobatan

TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999”. Cermin

Dunia Kedokteran. No. 137 : 17–20. 2002.

Hamdani, F., “Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan

Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito”. KTI FK

UGM. Yogyakarta. 1994.

Handayani, S., “Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB

Paru”. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 – 36. 2002.

Kuntjoro, Z.S., “Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5 Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/ lain- lain/zainuddin.htm.2002

Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., “Kapita Selekta

Kedokteran”. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

Notoatmodjo, S., “Ilmu Kesehatan Masyarakat”. PT. Rineka Cipta : Jakarta. 1996.

Sugiyono., “Statistik untuk Penelitian”. Bandung : CV. Alfabeta. 1999.

Smeltzer, Suzanne C., “Buku Ajar Keperawatan Medikal –

Bedah, Brunner & Suddarth / editor”. Ed 8. Vol 1. Jakarta :

EGC. 2001.

Siswanto, A., “Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal

Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta”. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK

UGM Yogyakarta. 1992.

Subowo, D., “Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di

RSUD Sragen, Jawa Tengah”. Tesis Pasca Sarjana UGM.

Yogyakarta. 2001.

Priambodo, R., “Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita

Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) di RSUP Dr. Sardjito Tahun 1991 – 1996”.

KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.

Prasetyo, I.E., “Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal

Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta”. KTI – FKL UGM. 2003.

WHO. “Tuberculosis Control”. New Delhi, WHO Regional For South East Asia. 1993.

Woerjandari, A., “Manajemen Pengobatan Penderita

Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan BP4 Kota Yogyakarta”. Tesis Program Pasca Sarjana UGM.

(17)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis (TB) terbanyak ke- 3 di dunia setelah India dan Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB BTApositif secara nasional 110/100.000 penduduk. Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utama

kesehatan masyarakat Indonesia.1

Diagnosis TB paru yang digunakansaat ini secara rutin dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmas adalah diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri tahan asam (BTA). Kasus- kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya. Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat tetapi sensitivitas dan spesifitas teknik ini lebih rendah dibanding dengan teknik kultur.2

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan laboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan mikrobiologis

yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB, meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50–100

kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sputum mempunyai

sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa

RAPID TB TEST

Apri Lyanda

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil

kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6–8 minggu dengan angka sensitivitas 18– 30%. Foto polos toraks memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di

lobus atas dan kavitas pada foto polos toraks, maka

kemungkinan TB paru 80–85%.4 Oleh karena terdapat

beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik yang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB

Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitis tuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan. Galenus dokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin (1827- 1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit menular tetapi penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan

stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting

(18)

DIAGNOSIS CEPAT

MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS

Diagnosis cepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosis cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur dan identifikasi fenotipe. Meskipunmetoda tercepat, termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (45–80% kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di daerah dengan insidensTB rendah dan pada bentuk ekst rapulmoner TB sert a pada pasien t erinfeksi HIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baiktetapi

nilai prediktif positif yang rendah (5–80%) didaerah dengan insidens tinggi M. non- TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggap

sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas lebih baik dibanding pemeriksaan BTA.

Pertumbuhan lambat bakteri M.tb merupakan hambatan besar untuk diagnosis cepat penyakit. Dua dekade terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec 460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks Amerika, MB/ BacT ALERTdibuat oleh bioMérieux, Marcyl’Etoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton

Dickinson Diagnostics dan VersaTREK produksi Trek Diagnostic System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut

masih membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe

kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat

iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis

cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini. Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Metoda kromatografi

Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif

telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah

[image:18.595.68.274.507.609.2]

fast gas chromatography mass spectrometry (GC- MS).10,11

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip. Dikutip dari (2)

Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb dan deteksinya memerlukan diagnosis banding antara spesies

Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga

memiliki asam dan jenis lipid yang sama. Diantara komponen-komponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan

TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11

Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif

bermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik

Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan

Gambar

Tabel dan GambarTabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,
Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan denganKultur LJ.
Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.
Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lumbung Masyarakat Suku Dayak Mali Desa Kualan Hilir Kecamatan. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang Propinsi

Sehingga hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat keikutsertaan ber-KB (H1), norma subjektif

Metode pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen dan metode studi pustaka ( library research ). Analisis data

pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan Oktober. ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang

Light massage dapat diterapkan sebagai terapi komplementer pada penderita hipertensi primer untuk pengendalian tekanan darah. Effects of Swedish massage onblood

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

The cultural dimension of science is helpful to put science in a broader context of human knowledge. Meaning is deeply rooted in metaphysical realms: the worldview of

IRT memiliki banyak waktu dirumah sehingga banyak pula waktu yang dimiliki untuk mengawasi dan memperhatikan balitanya, khususnya sikap dalam mengatasi kejang demam, sehingga