KONVERSI AGAMA PARA MUALLAF DI MASJID RAHMAT KEMBANG KUNING SURABAYA
(Studi Kritis Pemikiran Sigmund Freud)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh :
Oleh:
Syifaul Fauziyah E01212038
PRODI FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa saja latar belakang yang terjadi dari para muallaf di Masjid Rahmat, dan menganalisa menurut perspektif Sigmund Freud tentang agama terhadap para muallaf di Masjid Rahmat. Masalah yang diteliti dalam skripsi yang berjudulKonversi Agama para Muallaf di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya (Studi Kritis Pemikiran Sigmund Freud) adalah (1) Apa saja latar belakang para muallaf terkait konversi agama di Kembang Kuning; (2) Bagaimana analisis Pemikiran Sigmund Freud terhadap para muallaf di Kembang Kuning. Menggunakan metode deskriptif kualitatif dan analisis perspektif Sigmund Freud terhadap agama para muallaf di Masjid Rahmat. Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif Sigmund Freud adalah apabila seseorang masih beragama, maka ia belum bisa dikatakan dewasa dan kembali menjadi anak-anak. Oleh karena itu, manusia harus meniadakan Tuhan dalam kehidupannya, karena menurut Freud bahwa manusia dewasa tidak lagi membutuhkan bapak sebagai pelindung. Dia sudah bisa mandiri dan bertindak serta berpikir bebas. Perspektif seperti ini tidak benar ketika kita melihat latar belakang atau fenomena konversi agama yang dilakukan para muallaf di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya. Karena pada hakikatnya manusia adalah mahkluk spiritual, dan agama masih dibutuhkan sebagai tempat berlindung dalam kehidupan manusia.
DAFTAR ISI
ABSTRAK. . . . i
PERSETUJUAN PEMBIMBING . . . . ii
LEMBAR PENGESAHAN. . . . iii
PERNYATAAN KEASLIAN. . . . iv
MOTTO. . . . v
PERSEMBAHAN. . . .vi
KATA PENGANTAR. . . .vii
DAFTAR ISI. . . . ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. . . . 1
B. Rumusan Masalah. . . . 6
C. Alasan Memilih Judul. . . .6
D. Tujuan Penelitian. . . . 7
E. Manfaat Penelitian. . . . 7
F. Penegasan Istilah. . . . 8
H. Metode Penelitian. . . . 11
1. Metode Pengumpulan Data. . . . 12
2. Sumber Data. . . . 14
3. Metode Analisis. . . .14
I. Sistematika Pembahasan. . . .16
BAB II Sigmund Freud dan Konversi Agama A. Biografi Sigmund Freud. . . . 18
B. Pemikiran Sigmund Freud. . . . 21
1. Asal-usul Agama. . . . 24
2. Hakikat Agama. . . . 24
3. Agama sebagai Kebenaran Historis. . . . 25
4. Manusia dalam Sikap Keagamaan . . . . 27
C. Konversi Agama. . . . 30
BAB III Pelaksanaan Studi dan Temuan Lapangan A. Pengislaman di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya. . . 36
1. Profil Singkat Masjid Rahmat Kembang Kuning. . . . 36
b. Visi, Misi dan Program Kegiatan. . . . 39
B. Identifikasi Muallaf Melakukan Konversi. . . . 52
1. Konversi Agama: Sebuah Pengalaman Empirik. . . . 52
2. Faktor-faktor Perkembangan Keberagaman Konversan. . . . . 58
BAB IV Analisis A. Krisis Spiritual para Muallaf . . . . 61
B. Konversi Agama para Mualaf di Masjid Rahmat Prespektif Sigmund Freud. . . . 69
BAB V Penutup A. Kesimpulan. . . . 76
B. Saran. . . . 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dengan akalnya, pada dasarnya mampu mencapai
keberhasilan-keberhasilan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akan tetapi, sehebat apapun akal manusia tetap terbatas
terutama dikaitkan dengan hal yang bersifat supranatural (alam ghaib).1 Di
sinilah lalu manusia perlu bimbingan oleh yang menciptakan akal yaitu Sang
Maha Pencipta. Bimbingan tersebut dimunculkan dalam bentuk agama. Jadi,
secara singkat dapat dinyatakan bahwa manusia secara kodrati memerlukan
agama untuk mengarahkan kehidupannya secara baik di dunia dan akhirat.
Pun demikian, kedewasaan seseorang terlihat dari cara ia memeluk suatu
agama secara sadar.2 Di samping faktor lain, yaitu mengikuti atau mewarisi
agama orang tuanya yang melahirkan dan mengasuhnya sejak kecil.
Agama sebagai bentuk ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi,
sehingga kajian tentang agama telah lama menjadi objek bagi para filsuf,
sosiolog maupun teolog, namun kajian tentang apa itu agama masih tetap
berlangsung sampai sekarang termasuk oleh para psikolog. Dalam perdebatan
tentang apa itu agama belum menemukan jawaban yang dapat disepakati.
Adanya perbedaan tersebut menandakan bahwa manusia masih dalam tahap
1
Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 253.
2
2
mencari kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang
besifat relatif. Akibatnya para ahli mendefinisikan agama secara
berbeda-beda sesuai dengan spesialisasi dari cabang ilmu yang ditekuni, baik dari
spesifik aspek filosofis, sosiologis, antropologis maupun psikologis.3
Selain itu, agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati (supernatural) ternyata seakan-akan menyertai
manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki
nilai-nilai bagi kehidupan manusia, baik diri sendiri maupun dalam hubungannya
dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agama memberikan dampak
bagi kehidupan sehari-hari di mana pun manusia berada dan bagaimanapun
mereka hidup. Baik secara kelompok atau sendiri-sendiri, akan terdorong
untuk berbuat dengan memperagakan diri dalam bentuk pengabdian kepada
Zat Yang Maha Tinggi.
Dalam bukunya Psikologi Agama, Jalaluddin menyimpulkan bahwa
agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran
agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin
dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia
gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian
muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.4
Sehingga sikap keagamaan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang, mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
3 Rahmat Raharjo, “Pandangan Sigmund Freud Tentang Agama”.
Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 4 No. 1 (STAIN Ponorogo, 2003), 137.
4
3
ketaatannya terhadap agama. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi
secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama seta tindak
keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap
keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
Dengan indikasi bahwa pada umumnya, mereka mempunyai motif yakni
ingin mengisi jiwa-jiwa yang gersang dengan nilai-nilai spiritualitas. Dengan
demikian ketika manusia telah kehilangan aspek spiritualnya maka dapat
dikatakan ia juga telah kehilangan jatidirinya. Hal ini karena kata “spiritual”
menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang secara
mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba berjalan ke
arah-Nya.5
Dalam lapangan psikologi agama menyatakan bahwa secara garis besar,
sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan faktor ekstern manusia.
Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia disebut sebagai mahluk yang
beragama (homo religious).6 Karena manusia sudah memiliki potensi untuk
beragama. Potensi tersebut muncul dari faktor intern manusia yang termuat
dalam aspek kejiwaannya seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak
dan sebagainya. Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa jiwa
keagamaan manusia muncul dari faktor ekstern. Ia terdorong untuk beragama
karena pengaruh faktor luar dirinya seperti rasa takut, rasa ketergantungan
ataupun rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang mendorong
5
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual Dan Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
6
4
manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan yang kemudian dikenal
dengan agama.
Para ahli psikologi agama belum sependapat mengenai dorongan
beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari
gabungan berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa keagamaan.
Sehingga Sigmund Freud, yang dijuluki sebagai Bapak Psikoanalisis
menekankan libido sexuil dan rasa berdosa sebagai faktor penyebab yang
dominan. Pandangan Freud tentang manusia bahwa kebanyakan tingkah laku
kita ditentukan oleh peristiwa-peristiwa masa lampau, bukan dibentuk oleh
tujuan-tujuan sekarang serta kurang mengontrol tindakan-tindakan kita
sekarang. Karena banayak tingkah laku kita berakar dalam
dorongan-dorongan tak sadar di luar kesadaran kita.7
Dalam perkembangan selanjutnya bahwa tingkah laku keagamaan
seseorang timbul dari adanya dorongan dari dalam sebagai faktor intern.
Tingkah laku keagamaan itu dipengaruhi juga oleh pengalaman keagmaan,
struktur kepribadian serta unsur kejiwaan lainnya. Dengan kata lain, dorongan
keagamaan berperan sejalan dengan kebutuhan manusia. Selain itu, dorongan
juga berkembang selaras dengan tingkat usia. Dengan demikian, anak yang
baru lahir sudah memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ber-Tuhan.
Kalau ada orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan bukanlah merupakan
sifat dari asalnya, tetapi erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan.
7
5
Pindah agama misalnya, atau akrab dengan sebutan konversi agama
pada umumnya terjadi pada seseorang yang disebabkan oleh hilangnya
percaya diri terhadap suatu agama yang selama ini sangat diyakininya.8
Keyakinan yang dimaksud adalah agama yang tidak dapat memberikan
ketenangan dan kedamaian jiwanya, sehingga terjadi krisis atau stagnan
dalam diri seseorang. Krisis kepercayaan ini terjadi akibat ketidakpuasan
terhadap agamanya yang selama ini dianggap sebagai sandaran utama dalam
mengisi kegiatan spiritualnya. Bagi Cak Nur, kecenderungan kembali ke
agama bagi banyak orang mendukung kebenaran pandangan tentang
pentingnya keseimbangan hidup manusia antara yang material dan spiritual.9
Di sisi lain, bahwa konversi agama bukanlah hal yang sederhana dan
mudah, karena konversi agama tidak hanya melibatkan pribadi seseorang,
melainkan juga melibatkan sanak keluarga dan lingkungan sekitar. Oleh
karena itu, seorang muallaf sebagai muslim baru membutuhkan teman, tempat
berlindung, juga pembimbing. Orang-orang yang baru saja hijrah memeluk
Islam, membutuhkan sosok teman yang dapat memberikan dukungan moril
dan perlindungan dari kecaman keluarga maupun sanak saudaranya yang
mampu menggoyahkan konsistensinya dalam beragama.
Melihat faktor-faktor pendorong seseorang berpindah agama, secara
psikologis dipengaruhi oleh faktor intern maupun ekstern. Apabila
faktor-faktor tersebut mempengaruhi seseorang atau kelompok sehingga
8
Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 78.
9
6
menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan mendorong muallaf
untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Seseorang yang baru
masuk agama Islam sebelumnya mengalami guncangan batin yang hebat dan
mengalami labilitas emosional yang cukup tinggi sampai pada akhirnya
memutuskan untuk masuk Islam.
Berpijak pada pandangan Sigmund Freud terhadap agama, maka perlu
penulis melakukan sebuah penelitian (research) mengenai latar belakang apa
yang terjadi dari para muallaf di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya
untuk dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah, yaitu pindah agama menjadikan
sebuah masalah yang menurut penulis menarik untuk dikaji karena hal itu
bersangkut paut dengan perubahan batin yang mendasar dari orang atau
kelompok yang bersangkutan.
Karena tidak sependapat dengan pandangan Freud, ketika melihat
temuan di lapangan yakni konversi agama. Motif para muallaf melakukan
perpindahan agama tidak sesuai dengan pandangan Freud yang menyatakan
bahwa manusia dewasa adalah yang tidak lagi membutukan bapak sebagai
pelindung. Dia sudah bisa mandiri dan bertindak serta berpikir bebas.
Seandainya, manusia dewasa masih tergantung kepada agama, maka dia
kembali menjadi anak-anak.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
7
1. Apa saja latar belakang yang terjadi dari para muallaf terkait konversi
agama di Kembang Kuning?
2. Bagaimana analisis Sigmund Freud terhadap konversi agama para muallaf
di Kembang Kuning?
C. Alasan Memilih Judul
Adapun dasar yang memotivasi penulis dalam mengangkat judul di atas
adalah sebagai berikut.
1. Sesuai dengan fenomena yang terjadi yakni berlangsungnya ikrar bagi
orang yang hendak melakukan pindah agama terjadi hampir setiap minggu
di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya.
2. Fenomena religius-psikologi yang menarik dalam hal ini perlu disoroti dari
segi pendekatan Sigmund Freud terhadap agama, karena menurut
pengetahuan penulis masih jarang yang meneliti hal tersebut. Bagi penulis
menarik untuk dikaji lebih mendalam karena menyangkut masalah
mendasar dalam diri seseorang.
D. Tujuan Penelitian
1. Memahami apa saja latar belakang yang terjadi dari para muallaf di Masjid
Rahmat Kembang Kuning.
2. Menganalisa menurut perspektif Sigmund Freud tentang agama terhadap
para muallaf di Masjid Rahmat Kembang Kuning.
E. Manfaat Penelitian
1. Penelitian memberikan wawasan berpikir kritis dan mempertegas
8
menyelesaikannya secara lebih jernih. Meningkatkan semangat ilmiah
terutama dalam menelaah suatu masalah sesuai dengan berbagai disiplin
ilmu yang diperoleh, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada
penelitian ini, penulis mengambil judul penelitian pada ranah ketauhidan.
2. Mengetahui bagaimana peran Masjid Rahmat Kembang Kuning terhadap
pembinaan para muallaf, serta mengenai seluk beluk Masjid tersebut.
F. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman terhadap pokok
bahasan skripsi yang berjudul “Konversi Agama para Muallaf di Masjid
Rahmat Kembang Kuning Surabaya (Studi Kritis Pemikiran Sigmund
Freud)”, maka kiranya perlu untuk dijelaskan apa yang dimaksud dengan
judul tersebut. Pengertian dari istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut
sebagai berikut.
Konversi Agama : Secara umum dapat diartikan dengan berpindah
agama ataupun masuk agama. Kata konversi berasal
dari bahasa Latin conversio yang berarti tobat, pindah,
berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai
dalam bahasa Inggris conversion yang mengandung
arti berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama
ke agama lain.10
Muallaf : Orang yang mengalami perpindahan agama dari non
Islam ke agama Islam, dalam lingkungan agama Islam
10
9
yang imannya belum kukuh karena baru masuk
Islam.11
Sigmund Freud : Tokoh pendiri psikoanalisa sekaligus dijuluki sebagai
bapak psikoanalisa. Perspektif Sigmund Freud
terhadap agama adalah apabila seseorang masih
beragama, tergantung kepada agama atau
membutuhkan Tuhan, maka ia belum bisa dikatakan
dewasa dan kembali menjadi anak-anak. Oleh karena
itu, manusia harus meniadakan Tuhan dalam
kehidupannya, karena menurut Freud bahwa manusia
dewasa tidak lagi membutuhkan bapak sebagai
pelindung. Dia sudah bisa mandiri dan bertindak serta
berpikir bebas.12
Jadi, penulis mencoba untuk menguraikan satu persatu dari
istilah-istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini, untuk menghindari kesalahan
persepsi. Untuk lebih jelasnya, perlu bagi penulis untuk menjelaskan arti dari
judul skripsi tersebut sesuai dengan maksud dan pemahaman penulis, yaitu
studi terhadap gejala perpindahan agama dari non Islam ke agama Islam.
Dengan segala hal yang melatarbelakanginya di Masjid Rahmat Kembang
11 Bambang Budiwiranto, “Studi tentang Upaya Dakwah Majelis Muhtadin dalam
Memelihara Keimanan Kaum Muallaf (Nasrani-Islam) di Kotamadya Yogyakarta,” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Dakwah, Surabaya, 1995), 9.
12
10
Kuning Surabaya dengan pendekatan pemikiran Sigmund Freud tentang
agama.
G. Penelitian Terdahulu
Dalam sebuah penelitian tentunya seorang peneliti haruslah mengkaji objek
penelitiannya tersebut dengan membandingkan dengan penelitian terdahulu.
Dengan mengkaji penelitian terdahulu maka diharapkan peneliti dapat
mengetahui bahwasanya objek yang menjadi sasaran peneliti merupakan
sebuah objek yang dahulunya telah banyak dikaji. Dengan banyaknya peneliti
terdahulu dengan mengkaji objek yang sama maka haruslah peneliti
mengambil sisi-sisi lain yang mana belum terdeskripsikan oleh peneliti
terdahulu. Selain itu kajian terdahulu dapat juga sebagai referensi dan pondasi
awal dalam sebuah penelitian.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Munawir Karepesina dalam skripsinya
yang berjudul “Pengaruh Kemiskinan terhadap Pelaku Konversi Agama;
Studi Kasus di Dusun Kulonkali, Desa Sumbermanjingkulon, Kecamatan
Pagak, Kabupaten Malang” (2012). Menjelaskan tentang pengaruh antara
Islam dan kemiskinan yang mengakibatkan masyarakat yang telah
melakukan konversi agama. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
konversi agama yang terjadi di Dusun Kulonkali disebabkan karena
faktor kemiskinan, baik kemiskinan ekonomi maupun kemiskinan akidah
(lemahnya pemahaman masyarakat terhadap agama Islam).
2. Penelitian yang dilakukan Lido Megawati dalam skripsinya yang
11
Menjelaskan bahwa konsep identitas manusia dalam pandangan Freud
adalah hasil alam yang belum selesai: yang berjuang melawan sesuatu
yang tidak masuk akal, dipaksa dengan mendorong perubahan dan
keinginan diri yang harus diisi jika manusia hidup dalam masyarakat.
Merupakan identitas yang terus-menerus memproduksi dominasi
kelaki-lakian dan menganggap bahwa perempuan adalah manusia yang belum
sempurna.
3. Penelitian yang dilakukan Rodliyatul Asfaroh dalam skripsinya yang
berjudul “Studi tentang Konversi Agama pada Umat Kristiani di Masjid
Nasional Al-Akbar Surabaya (MAS)” (2012). Menjelaskan terjadinya
konversi agama dari Kristen ke Islam, definisi konversi agama,
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama, serta bagaimana
proses terjadinya konversi agama yang dilaksanakan.
Dari beberapa penelitian terdahulu nampaknya masih belum ada yang
membahas tentang spesifik konversi agama para muallaf di Masjid Rahmat
Kembang Kuning, perspektif Sigmund Freud terhadap agama. Sehingga dari
problem tersebut menarik peneliti untuk melakukan pendalaman lebih jauh
terkait konversi agama yang dilakukan para muallaf di Masjid Rahmat
Kembang Kuning Surabaya, menggunakan perspektif Sigmund Freud
terhadap agama.
H. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang
12
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Pendekatan dalam penelitian ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara utuh (holistic).13
Studi ini merupakan penelitian lapangan yang berasal dari informasi dari
informan yang aktif dalam pembinaan Muallaf di Masjid Rahmat Kembang
Kuning. Jenis penelitian ini sering pula disebut dengan natural inquiry
(penelitian alamiah), adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan dalam kawasannya
sendiri. Oleh karena itu hasil dari penelitian tersebut berupa data deskriptif
dari obyek maupun perilaku yang dapat diamati.
Natural deskriptif merupakan ciri khas atau karakter dari penelitian
kualitatif. Sifat natural pada penelitian ini menyajikan data dengan latar
alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan
karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai
keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.
Sementara penggunaan kata deskriptif dalam penelitian ini yaitu karena
dalam sebuah penelitian ini tergolong penelitian non experimental. Penelitian
deskriptif yang dimaksud di sini bertujuan untuk memperoleh suatu gejala
dan sifat situasi pada penyelidikan yang dilakukan. Dalam hal ini peneliti
13
13
tidak ikut campur pada setiap kegiatan yang dilakukan di lapangan
penelitian.14
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu
pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan, menggambarkan atau
melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta serta sifat
hubungan antara fenomena yang diselidiki.15 Bersifat deskriptif naratif yang
artinya menggambarkan realitas secara apa adanya dan diceritakan secara
sistematis. Selain itu termasuk penelitian lapangan oleh karena data ini
merupakan data primer berbentuk apa saja yang terdapat di lapangan,
ditambah dengan data buku-buku untuk menunjang penelitian dan analisis.
1. Metode Pengumpulan Data
Menurut Poham yang dikutip Andi Prastowo, Teknik pengumpulan
data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau
fakta-fakta di lapangan.16 Sesuai dengan jenis penelitian ini data
diperoleh dengan beberapa cara yakni: 1). Observasi, 2). Wawancara
mendalam (indepth interview), 3). Dokumentasi.
Observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang
berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu,
14
Ibid., 54.
15
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Remika Citra, 1996), 20.
16
14
peristiwa, tujuan dan perasaan.17 Dalam hal ini peneliti mengambil
teknik observasi partisipatif pasif. Artinya peneliti datang ke tempat
kegiatan yang diamati, akan tetapi tidak ikut di dalam kegiatan
tersebut.18
Selanjutnya peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam.
Teknik ini digunakan dengan alasan untuk menggali informasi yang
mungkin terlewatkan bahkan tidak diketahui oleh peneliti terkait
dengan objek penelitian. Dalam aplikasinya, wawancara dilakukan
secara terstruktur dan tidak terstruktur.19 Wawancara terstruktur
dilakukan melalui perumusan terlebih dahulu khususnya mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terkait dengan fokus
penelitian. Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan
percakapan demi percakapan mengalir tanpa ada susunan khusus dan
bersifat luwes.
Terakhir, peneliti menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi
merupakan cara pengumpulan informasi dari dokumen. Dokumen itu
sendiri terdiri dari peninggalan tertulis, arsip-arsip, buku, foto atau
gambar, video dll yang memiliki kaitan dengan objek penelitian.
Sugiyono mengartikan dokumen adalah catatan peristiwa yang sudah
berlalu.20 Dalam hal ini, pengertian catatan yang penulis maksudkan
17
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2012), 165.
18
Ibid., 170.
19
Ibid., 176.
20
15
adalah sesuatu yang terekam baik dalam media cetak maupun media
eletronik lainnya.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari penelitian
lapangan yang terdiri dari dua jenis sumber, yakni sumber primer dan
sumber sekunder. Adapun sumber primer adalah hasil wawancara
dengan para mualaf yang mengikuti pembinaan yang berada di kawasan
Masjid Rahmad Kembang Kuning Surabaya.
Sedangkan sumber sekunder sebagai pelengkap antara lain:
a. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi,
karya Sarlito Wirawan Sarwono.
b. Filsafat Agama, karya Amsal Bakhtiar.
c. Pengantar Ilmu Jiwa Agama, karya Jalaluddin Ramayulis.
d. Psikologi Agama, karya Jalaluddin.
3. Metode Analisis
Analisis merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang dipelajari dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain.21
Dari rumusan tersebut dapatlah ditarik maksud dari analisis data
yakni organizing pada tahap awalnya. Data yang terhimpun tidaklah
21
16
sedikit yaitu catatan lapangan, tangapan peneliti, gambar, foto,
dokumen berupa laporan, artikel, buku dan sebagainya.
Pengorganisasian atau pengelolahan data tersebut bertujuan
menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi
teori substantif.22 Pada dasarnya inti dari analisis terletak pada tiga
proses yang berkaitan, yaitu: mendeskripsikan fenomena,
mengklasifikasinnya dan melihat bagaimana konsep-konsep lainnya
yang muncul.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisa kualitatif.
Hal ini dilakukan untuk menggambarkan obyek penelitian sehingga
dapat menjawab rumusan-rumusan masalah yang telah dirumuskan
sebelumnya. Analisa data kualitatif yang penulis gunakan untuk
memberikan laporan deskriptif tentang obyek penelitian yang meliputi
gambaran umum mengenai konversi agama para muallaf di Masjid
Rahmat Kembang Kuning Surabaya menggunakan perspekif Sigmund
Freud tentang agama.
Dengan mengumpulkan data, membaca, memahami kemudian
membuat reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Selanjutnya
adalah menyusun dalam satuan-satuan bab secara holistik. Tahap akhir
dari analisis ini adalah mengadakan pemeriksaan kembali keabsahan
data. Setelah selesai tahap ini, lalu dimulai tahap penafsiran
22
17
(interpretasi) data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori
substantif dengan menggunakan metode tertentu.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan memudahkan peneliti
dalam menyusun skripsi ini, maka dibuat sistematika pembahasan dan
dijelaskan secara garis besar dari masing-masing bab dan sub-sub babnya
sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan, yang berisikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian terdahulu, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : Sigmund Freud dan konversi agama, pada bagian ini penulis
mendeskripsikan tentang sejarah hidup Sigmund Freud, agama
dalam pandangan Sigmund Freud. Selain itu pada bab ini juga
menjelaskan pengertian konversi agama serta proses konversi
agama.
BAB III : Memuat tentang gambaran umum objek penelitian. Bab ini
berisi deskripsi singkat atau studi lapangan konversi agama
pada muallaf di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya,
yang meliputi gambaran umum Masjid Rahmat, identifikasi
18
BAB IV : Analisa yang dilihat dari perspektif Sigmund Freud tentang
agama terhadap latar belakang muallaf terkait konversi agama
di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan
18
BAB II
SIGMUND FREUD DAN KONVERSI AGAMA
A. Biografi Sigmund Freud
Sigmund Freud lahir di Freiberg, Morovia bagian Eropa Tengah, yang
sekarang menjadi bagian dari Republik Cekoslowakia yang kemudian berada
di bawah kekuasaan kerajaan Austro-Hongaria, dalam sebuah keluarga
Yahudi, pada tanggal 6 Mei 1856. Ayahnya yang bernama Jacob Freud
adalah seorang pedagang dan menikah untuk kedua kalinya saat dua orang
putranya yang lain telah tumbuh dewasa. Ibunya yang bernama Amalie
Nathanson adalah wanita yang cantik, tegas dan masih muda dua puluh tahun
dari suaminya sekaligus merupakan istri kedua.1
Jacob Freud memperoleh dua anak laki-laki dari pernikahannya yang
pertama. Anak pertama yang bernama Emmanuel dan anak kedua yang
bernama Philip, keduanya berusia tidak begitu jauh dengan istri kedua Jacob
Freud. Sementara pernikahannya yang kedua juga memperoleh dua anak
laki-laki, saat itu Amalie Nathanson masih berusia 22 tahun. Sigmund Freud yang
merupakan anak pertama, ketika berusia kira-kira setahun, ibunya melahirkan
anak kedua tapi meninggal pada usia 8 bulan. Terlintas perasaan benci pada
adik keduanya waktu itu, Freud menyembunyikan keinginan tak sadar supaya
1
19
adiknya meninggal sehingga peristiwa ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan psikis Freud.
Pada tahun 1860, saat Freud hampir berusia empat tahun, dia bersama
keluarganya pindah ke ibukota kerajaan Vienna tempat ia menetap, bekerja
dan menghabiskan masa hidupnya. Namun setahun menjelang kematiannya,
yaitu ketika pasukan Nazi menyerbu Austria, kondisi itu memaksanya untuk
mengungsi ke Inggris. Tahun-tahun ini merupakan fase pembukaan dari era
liberal kekaisaran Hapsburg, orang-orang Yahudi yang belum lama
terbebaskan dari pajak yang berat dan peraturan-peraturan yang banyak
menekan hak-hak kepemilikan, pilihan kerja, dan praktik religius. Mereka
secara realistis berharap memperoleh peningkatan ekonom, partisipasi politik,
dan penerimaan sosial.2
Pada bulan September 1886, akhirnya Freud menikah dengan Martha
Bernays.3 Sekitar lima bulan setelah dia membuka praktik pribadi di Vienna
sebagai Neuropatolog dengan memanfaatkan dua metode dalam praktiknya
yaitu; Elektroteraphy dan Hipnotis serta memulai karyanya dalam kasus
histeria. Dalam metode elektroteraphy ini diterapkan stimulasi listrik di kulit
dan otot secara lokal. Freud menganggap metode ini tak berguna dan ia
mengatakan bahwa kalaupun tampak berhasil sebenarnya hanya karena
kekuatan sugesti. Dengan kata lain, pada suatu saat proses mental bisa
memberikan pengaruh terhadap simtom fisik. Gagasan-gagasan Freud yang
2
Sigmund Freud, Kenangan Masa Kecil Leonardo da Vinci (Yogyakarta: Jendela, 2007), xii.
3
20
terlalu aneh banyak ditentang oleh para dokter di lingkungan Wina. Dari
praktek inilah ia mengembangkan gagasan-gagasan yang kemudian
berevolusi menjadi Psikoanalisa.4
Sebagai seorang ilmuwan, tentunya Freud banyak melahirkan
karya-karya monumental diantaranya: Studies on Hysteria (1895). Pada musim semi
tahun 1896, untuk pertama kalinya dia mengggunakan istilah yang amat
penting bagi perjalanan karir “Psikoanalisis”. Selanjutnya pada bulan
Oktober, ayahnya meninggal sehingga dalam peristiwa ini, telah membuatnya
menulis buku The Interpretation of Dreams (1900). Sekitar tiga sampai
empat tahun kemudian pada musim gugur dia mengerjakan sebuah konsep,
namun tidak pernah diselesaikan ataupun diterbitkan, atas apa yang
selanjutnya disebut Project for a Scientific Psichology. Konsep ini merupakan
antisipasi atas sejumlah teori dasarnya sekaligus sebagai pengingat bahwa
Freud memberikan penekanan yang sangat besar pada interpretasi fisiologis
tradisional atas peristiwa-peristiwa mental.5 Freud juga semakin banyak
menawarkan penjelasan fisiologis atas fenomena psikologis.
Tahun 1905, Freud mulai memperkuat pemikiran Psikoanalisisnya
dengan memberikan pilar kedua pada teorinya; yaitu, Three Essays on the
Theory of Sexuality menjelaskan perkembangan-perkembangan yang tidak
wajar dan perkembangan yang “normal” dari masa kanak-kanak hingga masa
pubertas. Kemudian pada tahun 1908 dan tahun selanjutnya, Freud banyak
4
Ruth Berry, Freud: Siapa Dia? (Jakarta: Erlangga, 2001), 8.
5
21
menulis paper tentang agama, literatur, kebiasaan sexual, biografi, seni
patung, masa pra sejarah dan masih banyak lagi. Karya yang sempat
dihasilkan adalah Obsessive Actions and Religious Practices (1907), Civilized
Sexual Morality and Modern Nervous Illness (1908). Akhirnya pada tanggal
23 September 1939, Freud meninggal setelah menelan beberapa dosis morfin
yang mematikan yang diminta dari dokternya. Dia mengakhiri kehidupan
seperti halnya dia mengawalinya sebagai seorang pengacau kedamaian.6
B. Pemikiran Sigmund Freud
Unsur akal merupakan potensi psikis manusia yang mencakup dorongan
moral untuk melakukan kebaikan dan menghindarkan kesalahan, karena
adanya kemampuan manusia untuk berpikir dan memahami persoalan.7
Potensi ini memberi kemungkinan manusia untuk mengembangkan dirinya
dan meningkatkan harkat kemanusiaannya selaku makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang
dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku.
Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang
mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial
dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural.
1. Asal-usul Agama
Ide sentral pemikiran Freud tentang agama dimulai pada tahun 1907,
ketika ia menerbitkan sebuah artikel yang berjudul Obsessive Actions and
6
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-alliran dan Tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 172.
7
22
Religious Practices, yaitu tentang perilaku orang beragama selalu mirip
dengan pasien neurotisnya. Kemiripan ini terletak pada sama-sama
menekankan bentuk-bentuk seremonial dalam melakukan sesuatu, dan
sama-sama akan merasa bersalah seandainya tidak melakukan ritual-ritual
tersebut dengan sempurna. Upacara-upacara yang dilakukan juga
diasosiasikan dengan penekanan terhadap dorongan dasariah. Gangguan
psikologis biasanya muncul dari ketertekanan hasrat seksual, sedangkan
dalam agama terjadi sebagai akibat ketertekanan diri yaitu pengontrolan
terhadap instink-ego. Dengan demikian, penekanan seksual terjadi dalam
gangguan obsesi mental diri seseorang, maka agama yang dipraktekkan bisa
dikatakan sebagai gangguan obsesi mental secara universal. Oleh karena itu,
konsep yang paling tepat untuk meneliti agama adalah konsep-konsep yang
telah dikembangkan dalam psikoanalisa.
Parahnya, pernyataan ketika melihat dan mengamati tentang agama
Kristen, saat berlibur di Tirol pada tahun 1911, ia melihat fenomena yang
mengherankan, ketika patung-patung Tuhan yang disalibkan. Baginya
nampak kejadian tersebut merupakan suatu kebutuhan religius untuk
memuaskan gairah dan untuk mengecilkan peran Bapa, sehingga Oedipus
Complex8 baginya menjadi masalah utama dari Tuhan Yesus yang terjadi di
Tirol.9 Terjadi Oedipus Complex ini dikarenakan adanya dua emosi manusia
8
Oedipus Complex adalah hasrat yang ditekan pada diri anak-anak untuk melakukan hubungan seksual dengan orang tuanya yang berlainan jenis kelamin dengannya. Lihat Sigmund Freud, Peradaban-peradaban dan Kekecewaan-kekecewaan, alih bahasa. Apri Danarto (New York: Norton and Company, 2000), 157.
9
23
yang sangat kuat dalam diri setiap anak laki-laki. Serangan anak-anak
tersebut kepada ayah mereka adalah kejahatan oedipal yang telah dilakukan
ratusan tahun yang lalu karena disebabkan oleh rasa cemburu dan hasrat
kepada istri ayah mereka (ibu mereka sendiri), sehingga mereka sepakat
untuk melakukan pembunuhan yang kemudian diikuti oleh ritual-ritual
penyesalan dan kasih sayang.
Berdasarkan penjelasan diatas, Freud menyamakan nilai-nilai agama
totem10 dalam masyarakat primitif dengan sakramen-sakramen suci atau
periaku orang-orang beragama yang ada dalam masyarakat modern, seperti
jamuan suci Kristen. Dalam perjamuan ini, daging dan darah Kristus, Anak
Tuhan yaitu simbolisasi saudara tua sebagai pemimpin penyerangan,
dimakan untuk mengenang kembali penyaliban dan kematian yang
diderita-Nya sebagai hukuman karena dosa-dosa atas pembunuhan pertama, yaitu
pembunuhan anak atas ayah. Demi saudaranya, Kristus bertobat atas
kejahatan pra-sejarah mereka, dan diulangi lagi secara terus-menerus sampai
sekarang ini. Dalam teologi Kristen Anak dan Bapa adalah satu, maka
sakramen atas pembunuhan anak secara simbolis juga merupakan sakramen
atas pembunuhan sang ayah. Freud menganggap bahwa agama adalah
bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali (the projection of fearor
whishful thinking).11 Dengan demikian, perjamuan suci itu adalah usaha
untuk mengenang kembali kebencian oedipal dan rasa cinta sekaligus
10
Sigmund Freud, Peradaban-peradaban dan Kekecewaan-kekecewaan, alih bahasa: Apri Danarto (New York: Norton and Company, 2000), 161.
11
24
munculnya kepercayaan terhadap agama bisa ditemukan dalam Oedipal
Complex.
Sehingga terlihat Freud, menunjukkan garis yang menghubungkan agama
yang kita kenal saat ini dengan upacara-upacara dalam masyarakat
pra-sejarah dulu. Sudut pandang yang dipakai Freud adalah emosi-emosi
manusia. Baginya, pembunuhan di zaman pra-sejarah itu merupakan
kejadian biasa dalam perjalanan sejarah kehidupan sosial manusia dan
kontrak sosial yang paling awal. Dari peristiwa itu, kita dapat menemukan
asal-usul agama dan pondasi dasar bagi seluruh peradaban.
2. Hakikat Agama
Kritik Freud tentang agama dalam tahap ini adalah melihat agama yang
ada pada saat ini dan bagaimana keadaannya di masa yang akan datang. Ini
berbeda dengan tahap kedua, yang lebih memfokuskan pada ide dan
kepercayaan daripada ritual-ritual, khususnya kepercayaan kepada Tuhan.
Baginya, kata yang paling baik untuk melukiskan kepercayaan seperti ini
adalah ilusi. Ilusi berbeda dengan delusi. Ilusi adalah satu keyakinan yang
kita pegang dan harus selalu benar, seperti keyakinan seseorang akan
menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Suatu saat nanti bisa saja
keyakinan ini menjadi kenyataan, meskipun alasan meyakininya bukan itu,
melainkan karena sangat menginginkannya jadi kenyataan.
Selanjutnya, Freud mengatakan bahwa ajaran-ajaran agama tidak pantas
kita percayai karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Agama adalah
25
intuisi persoalan mereka belaka. Oleh karena itu, tidak semestinya kita
memberikan kepercayaan kepada agama, walaupun ajaran-ajarannya
memang bisa melayani kemanusiaan di masa lalu.12
Kalau kenyataannya begitu, kemudian timbul pertanyaan, bukankah
gagasan-gagasan agama memberikan pengaruh besar bagi kehidupan
manusia? Dan mengapa mereka meyakini kekuatan-kekuatan agama? Untuk
menjawab pertanyaan ini, nampaknya harus didekati secara psikologis
agama untuk menjelaskan hal yang pokok ini. Dalam hal ini, pada fenomena
agama sebagai sebuah metode pemuasan harapan yang ditentukan dalam
mimpi dan gejala neurotik, yaitu tentang struktur ketidaksadaran, struktur
instink dan struktur mimpi. Dengan demikian, bahwa gagasan agama
bukanlah cerminan pengalaman atau hasil akhir pemikiran kita, tetapi
sebagaimana disebutkan di atas. Hanya berupa ilusi, yaitu pemuasan
harapan manusia yang paling dalam dan paling mendasar. Harapan disini
adalah harapan masa kanak-kanak manusia yang tidak bahagia untuk
perlindungan dari bahaya-bahaya hidup dan merealisasikan keadilan dalam
masyarakat yang tidak adil.
3. Agama sebagai Kebenaran Historis
Ketertarikan Freud memandang agama tidak hanya mengandung
pemenuhan harapan-harapan semata, tetapi juga sebagai kenang-kenangan
historis yang penting. Artinya bahwa agama sebagai doktrin religius
memberikan kebenaran historis. Sehingga sepanjang sisa umurnya,
12
26
pemikiran Freud hanya fokus pada fenomena agama dan masalah
kemanusiaan yang dihadapi. Akan tetapi, penafsirannya terhadap
proses-proses sejarah tetap bertentangan sebagaimana penafsiran-penafsiran
sebelumnya kecuali dapat dipahami bagi orang yang dapat memahami
pemikiran Freud.
Selama berkecimpung dalam perkembangan intelektualnya, Freud tidak
pernah menyibukkan dirinya dengan perkara metafisika ahistoris jiwa
karena ia justru lebih tertarik dengan historisitasnya dan
perubahan-perubahan yang terjadi. Baginya, manusia merupakan sosok yang historis
sehingga ia mengisi seluruh hidupnya dengan masalah manusia serta
masyarakat yang saling terikat oleh waktu. Di satu sisi, Freud percaya
dengan kemajuan sejarah merupakan sebuah pergerakan yang
berkesinambungan. Sedangkan di sisi lain, Freud berpihak pada tradisi yaitu
gagasan siklis mengenai sejarah. Maka, tafsiran Freud atas sejarah hanya
dapat digambarkan sebagai sebuah persetujuan antara elemen-elemen yang
ambigu dan saling bertentangan.13
Jenis penafsiran yang kedua mendominasi karya-karya barunya sehingga
dalam hal ini Freud dianggap sebagai pemikir konservatif artinya
mempertahankan tradisi yang berlaku. Dikarenakan bahwa masa depan
tidak mempunyai kekuatan untuk mengalahkan masa lalu. Oleh karena itu,
tidak ada sedikitpun untuk mengadakan perubahan yang radikal dalam
13
27
masyarakat.14 Dalam hal ini, bertolak belakang dengan Marx yaitu masa lalu
selalu mengandung janin bagi masa depan, sedangkan Freud mengatakan
bahwa masa depan hanya hamil dengan adanya masa lalu. Artinya bahwa
segala sesuatu yang terjadi sekarang merupakan catatan sejarah dari
peristiwa-peristiwa yang lalu, sehingga ia selalu membutuhkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tafsiran Freud terhadap sejarah
adalah sebagai sebuah keharusan untuk mengulangi secara terus-menerus,
sebagai kekambuhan yang berulang-ulang dari yang ditindas dan yang
selalu terbaharui. Hal ini menunjukkan bahwa individu manusia tidak
dewasa secara psikis dan dalam perjalanan perkembangan seseorang tidak
pernah menemukan sesuatu yang baru. Maka, inilah yang disebut dengan
ciri perkembangan neurosis dan hal ini tidak bisa menjadi hukum umum
dalam sejarah.15
4. Manusia dalam Sikap Keagamaan
Konsep tentang manusia menjadikan pendekatan Islam berbeda dengan
pendekatan psikologi yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian,
psikologi agama sebagai telaah terhadap kesadaran dan pengalaman agama
melalui pendekatam psikologi akan jadi berbeda pula. Pendekatan psikologi
terhadap kedua aspek keagamaan itu bersumber dari pandangan aliran
psikologi terhadap manusia. 14
Joachim Scharfenberg, Sigmund Freud: Pemikiran dan Kritik Agama, alih bahasa: Shohifullah, Subhan Zaenuri, Zulkifly (Yogyakarta: Ak Group, 2003), 235.
15
28
Aliran Behaviorisme, misalnya berpendapat bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh hukum stimulus dan respon sedangkan menurut aliran
psikoanalisis, perilaku manusia didorong oleh kebutuhan libidonya.16
Pandangan behaviorisme mengisyaratkan bahwa perilaku agama erat
kaitannya dengan stimulus lingkungan seseorang. Jika stimulus keagamaan
dapat menimbulkan respon terhadap diri seseorang maka akan muncul
dorongan untuk berperilaku agama. Sebaliknya jika stimulus keagamaan
tidak ada, maka akan menutup kemungkinan seseorang untuk berperilaku
agama. jadi, perilaku agama menurut pandangan behaviorisme bersifat
kondisional (tergantung dari kondisi yang diciptakan lingkungan).
Sedangkan menurut psikoanalisis (khusunya Sigmund Freud), sikap dan
tingkah laku agama bersumber dari pemuasan kebutuhan libido manusia.
Menurut Freud, dalam perkembangannya ke arah peradaban, manusia
memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang.
Karena tak puas dengan superioritas ini, maka manusia menciptakan jurang
perbedaan antara sifatnya dengan sifat makhluk lain. Ia menyangkal bahwa,
makhluk lain memiliki akal, sedangkan dirinya sendiri dipertautkan dengan
suatu jiwa yang abadi dan mengklaim dirinya sebagai bercitra Illahi agar
puas pertaliannya dengan kerajaan binatang.17 Dalam pandangan ini, Freud
melihat bahwa agama merupakan ciptaan manusia karena kebutuhannya.
16
Ancok Djamaluddin dan Fuad Nashori Suruso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1994), 63.
17
29
Pendekatan psikologi Barat, bagaimanapun belum bisa menggambarkan
konsep manusia secara utuh dna lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa
kelemahan psikologi dalam menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan
bagaimana seharusnya manusia menata dirinya sehingga mencapai
kesuksesan dalam kehidupannya. Psikologi sangat mudah mereduksi
fenomena-fenomena siapa sesungguhnya manusia.18 Maka tak
mengherankan jika para psikolog Muslim berupaya menemukan alternatif
melalui pendekatan konsep yang bersumber dari ajaran Islam, yang
bagaimanapun berbeda dari pendekatan Barat.
Beranjak dari pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap
bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan dengan
Sang Pencipta secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan tersebut berjalan
normal, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan
untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut. Anugerah tersebut antara
lain, berupa dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan akal, dan
fitrah agama yang jika dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan
mampu mengantarkan manusia mencapai sukses dalam kehidupannya
sebagai makhluk yang taat mengabdi kepada Penciptanya.19
Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dorongan keberagaman merupakan
faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa, seseorang akan
menjadi sosok penganut agama yang taat dan sepenuhnya tergantung dari
18
Ancok Djamaluddin dan Fuad Nashori Suruso, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1994), 64.
19
30
pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tua. Keluarga merupakan
pendidikan dasar bagi anak-anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah
sebagai pelanjut dari pendidikan rumah tangga. Dalam kaitan dengan
kepentingan ini pula terlihat peran strategis dan peran sentral keluarga
dalam meletakkan dasar-dasar keberagaman bagi anak-anak.
Sigmund Freud bahkan menempatkan “bapa” sebagai sosok yang
memiliki peran penting dalam menumbuhkan agama pada anak. Melalui
konsep father image (citra kebapaan), ia merintis teorinya tentang asal mula
agama pada manusia. Menurutnya, keberagaman anak akan sangat
ditentukan oleh sang “bapa”. Tokoh bapa ikut menentukan dalam
menumbuhkan rasa dan sikap keberagaman seorang anak. Dalam pandangan
anak, memang bapa menjadi tokoh panutan yang diidolakan. Kebanggan
anak terhadap “bapa” demikian kuat dan berpengaruh, hingga ikut
menumbuhkan citra dalam dirinya.20
C. Konversi Agama
Sebelum mengkaji lebih lanjut tentang konversi agama, maka perlu
kiranya bagi penulis untuk menguraikan secara detail mengenai apa saja yang
berkaitan dengan konversi agama itu sendiri. Apakah pengertian konversi
agama, ciri-ciri konversi agama, kemudian dijelasakan pula faktor-faktor
penyebab para muallaf melakukan konversi agama, dan yang terakhir adalah
bagaimana proses konversi agama.
1. Pengertian Konversi Agama 20
31
Apa yang dimaksud dengan konversi agama (religious conversion)?
Secara umum konversi agama adalah berubah agama atau masuk agama baru.
Untuk memberikan definisi yang tegas tentang apa yang dimaksud konversi
agama itu, tidak mudah. Karena itu, kita perlu memahami secara etimologis
dan memperhatikan pendapat para ahli tentang konversi agama.
Pengertian konversi agama secara etimologi, konversi berasal dari kata
latin “conversio”, yang berarti taubat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya
kata tersebut dipakai dalam kata Inggris “conversion” yang berarti ke agama
lain (change from one state, or from one religion, to another).21
Berdasarkan pengertian etimologis dan pendapat para ahli tentang
konversi agama di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa konversi agama
adalah perubahan pandangan seseorang atau sekelompok orang tentang
keyakinan yang dianutnya atau perpindahan keyakinan dari agama yang
dianutnya kepada agama yang lain.
2. Faktor-faktor Penyebab Konversi Agama
Menurut William James dalam bukunya The Varieties of Religious
Experience dan Max Heirich dalam bukunya Changes of Heart menguraikan
beberapa faktor yang mendorong terjadinya konversi agama22:
a. Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong
terjadinya konversi agama adalah petunjuk Illahi. Pengaruh supranatural
21
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Grafindo, 2009) 325.
22
32
berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada
diri seseorang atau kelompok.
b. Para ahli ilmu jiwa (psikologi) berpendapat bahwa yang menjadi faktor
pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang
ditimbulkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal.
1) Faktor Internal, yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
adalah kepribadian. Secara psikologi tipe kepribadian tertentu
akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Dalam penelitian
W. James ditemukan, bahwa Pertama: tipe melankolis yang
memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat
menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya; Kedua:
faktor pembawaan. Menurut penelitian Guy E. Swanson bahwa
ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi
konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak
mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan
pada urutan antara keduanya sering mengalami stres jiwa. Kondisi
yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak
mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2) Faktor Eksternal, yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
adalah; Pertama: faktor keluarga. Keretakan keluarga,
ketidakserasian keluarga, berlainan agama, kesepian, kesulitan
seksual, kurang mendapat pengakuan kaum kerabat, dan lainnya.
33
tekanan batin sehingga terjadinya konversi agama dalam usahanya
untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya; Kedua:
lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terbuang dari
lingkungan tempat tinggalnya merasa dirinya hidup sebatang kara.
Keadaan ini menyebabkan ia mendambakan ketenangan dan
mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya
hilang; Ketiga: perubahan status. Misalnya: perceraian, perubahan
pekerjaan, menikah dengan orang yang berlainan agama;
Keempat: kemiskinan. Masyarakat cenderung untuk memeluk
agama yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kebutuhan
mendesak sandang dan pangan dapat mempengaruhinya.
3. Proses Konversi Agama
Menurut Zakiah Daradjat, proses yang dilalui oleh orang yang
mengalami konversi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan faktor yang mendorongnya dan tingkatnya, ada
yang dangkal, sekedar untuk dirinya saja dan ada pula yang mendalam
disertai dengan kegiatan agama yang sangat menonjol sampai kepada
perjuangan mati-matian. Ada yang terjadi hanya sekejap mata, ada pula yang
berangsur-angsur. Adapun Zakiah Daradjat memaparkan macam-macam
proses terjadinya konversi agama melalui lima tahap, adalah sebagai
berikut23:
23
34
1) Masa tenang pertama, masa tenang sebelum mengalami konversi
agama, dimana segala sikap, tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak
acuh menentang agama.
2) Masa ketidaktenangan. Konflik dan pertentangan batin berkecamuk
dalam hatinya, gelisah dan putus asa, tegang, panik dan sebagainya.
Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi
batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah, ataupun perasaan
berdosa yang dialaminya. Hal tersebut menimbulkan semacam
kegoncangan dalam kehidupan batin, sehingga menyebabkan seseorang
lebih sensitif dan hampir putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan
itu menyebabkan seseorang lebih sensitif, dan hampir putus asa dalam
hidupnya, serta mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses
pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik
batinnya.
3) Setelah masa goncang itu mencapai puncaknya, maka terjadilah
peristiwa konversi itu sendiri. Orang merasa tiba-tiba mendapat peunjuk
Tuhan, mendapat kekuatan dan semangat. Hidup yang tadinya seperti
diporak-porandakan oleh badai persoalan, tiba-tiba angin baru
berhembus, hidup berubah menjadi tenang, segala persoalan hilang
mendadak berganti dengan rasa istirahat (rileks) dan menyerah.
Menyerah dengan tenang kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Pengasih
dan Penyayang, mengampuni segala dosa dan melindungi manusia
35
4) Keadaan tenteram dan tenang. Setelah krisis konversi lewat dan masa
menyerah dilalui, maka muncul perasaan atau kondisi jiwa yang baru,
rasa aman damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan.
Tiada kesalahan yang patut disesali, semuanya telat terlewati, segala
persoalan menjadi enteng dan terselesaikan. Hati lega, tiada lagi yang
menggelisahkan, kecemasan dan kekhawatiran berubah menjadi secerca
harapan yang menggembirakan, tenang, luas, tak ubahnya seperti lautan
lepas yang tidak berombak di pagi yang menawan.
5) Ekspresi konversi dalam hidup. Tingkat terakhir dari konversi itu
adalah pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan,
sikap dan perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti
aturan-aturan yang diajarkan oleh agama. Maka konversi yang diiringi
dengan tindakan dan ungkapan-ungkapan kongkrit dalam kehidupan
sehari-hari, itulah yang akan membawa tetap dan mantapnya perubahan
36
BAB III
DATA TEMUAN DI LAPANGAN
A. Pengislaman di Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya 1. Profil Singkat Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya
Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah bagi umat Islam, masjid
bukan hanya sebagai tempat ritual keagamaan belaka, namun selain masjid
sebagai tempat ibadah, sebagai tempat ritual keagamaan (Islam), masjid juga
sebagai pengembangan misi dakwah Islamiyah. Ini juga berlaku sebagaimana
masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya. Masjid yang bersejarah ini
mengembangkan misi dakwah Islamiyah dalam hal pengembangan dunia
pendidikan yang berbasis Islami.
a. Sejarah Singkat Masjid Rahmat
Sejarah perkembangan bangunan masjid berkaitan erat dengan perluasan
wilayah Islam dan pembangunan kota baru. Sejarah mencatat bahwa
pada masa permulaan perkembangan Islam ke berbagai negeri, umat
Islam ketika menetap di suatu daerah baru dengan membangun masjid
sebagai salah satu sarana untuk kepentingan umum. Masjid merupakan
salah satu karya budaya umat Islam di bidang teknologi konstruksi yang
telah dirintis sejak masa permulaannya dan menjadi ciri khas dari suatu
negeri atau umat Islam. Masjid juga merupakan salah satu corak dan
37
juga merupakan lambang dan cermin kecintaan umat Islam kepada
Tuhannya, dan menjadi bukti tingkat perkembangan kebudayaan Islam.1
Masjid Rahmat Kembang Kuning yang terletak di jalan Khairil Anwar
ini merupakan masjid yang bersejarah di kota Surabaya. Terletak di
tengah kota Surabaya yang metropolitan ini membuat Masjid Rahmat
tergerak untuk merespon masalah ubudiyah masyarakat Surabaya pada
khususnya dan umat Islam pada umumnya. Respon tersebut merupakan
sebuah komitmen dari Masjid Rahmat untuk tetap dapat mengimbangi
masalah ubudiyah dan tauhid umat Islam di dalam pusaran arus
modernitas yang tak terbendung.
Menurut seorang pengurus masjid Rahmat yang juga sebagai kepala seksi
dakwah mengatakan bahwa masjid Rahmat ini merupakan masjid yang
bersejarah di kota Surabaya disamping masjid Ampel Surabaya.2 Masjid
ini didirikan oleh Mbah Karimah yang mana beliau adalah mertua dari
Sunan Ampel. Masjid ini kemudian dirombak secara total pada tahun
1967 yang mana awalnya masjid ini berbentuk joglo, kemudian dirombak
mengikuti bentuk masjid-masjid modern lainnya. Masjid Rahmad ini
kemudian diresmikan oleh Mentri Agama saat itu yakni KH. Saifuddin
Zuhri. Masjid ini mempunyai kapasitas kurang lebih 10.000 jamaah.
Masjid ini merupakan sebuah yayasan yang kemudian diberi nama
Masjid Rahmat Kembang Kuning.
1J. Suyuti Pulungan, “Masjid”,
Ensiklopedi Islam, Vol. 4, ed. Nina M. Armando, et. Al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 294.
2
38
Masjid Rahmad merupakan masjid yang bisa dikatakan modern pertama
kali di kota Surabaya. Ini tegaskan pula oleh seorang pengurus masjid
Rahmat yang mengatakan bahwa masjid Rahmat merupakan masjid yang
modern pertama kali di zamannya, karena pada tahun 1967 bentuk masjid
telah mengikuti arsitektur bangunan masjid modern. Selain itu masjid
Rahmat mempunyai stasiun radio yang bergelombang AM, yang mana
pada saat itu belum ada masjid yang menggunakan radio sebagai sarana
dakwahnya, hanya masjid Rahmat saja yang telah menggunakan alat
komunikasi tersebut.3 Meskipun gelombang yang digunakan oleh stasiun
radio masjid Rahmat yakni AM, akhirnya diberilah nama stasiun radio
tersebut yaitu Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat).
Radio Yasmara masih bisa menjangkau wilayah Surabaya, Gresik,
Sidoarjo, juga Lamongan serta masih dalam saluran AM dan belum
diganti FM. Adapun masalah yang dikaji dalam saluran radio Yasmara,
sering membahas tentang tafsir, fikih, akhlak, pengislaman serta
pengukuhan masuk Islam yang dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu
saja. Selain itu, masjid Rahmat juga mempunyai sertifikat untuk orang
masuk Islam dan merupakan masjid yang sering mengislamkan orang.
Yayasan Masjid Rahmat mempunyai motto yakni sebagai dakwah Islam
dan pendidikan. Oleh karenanya Yayasan Masjid Rahmat berkomitmen
untuk tetap mengembangkan misi dakwah di dalam arus modernitas yang
sedemikian hebatnya. Ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kegiatan
3
39
yang dilakukan oleh masjid Rahmat mulai dari pengajian rutin,
pengislaman untuk para muallaf, dan sebagainya. Dengan motto tersebut
diharapkan Yayasan Masjid Rahmat dapat menjadi peranan utama dalam
hal pusat pembinaan Aqidah dan Ubudiyah umat Islam.
b. Visi, Misi, Managemen Kepemimpinan dan Program Kegiatan
Sebagaimana halnya dengan lembaga lain maka motto akan mempunyai
benang merah terhadap visi dan misi sebuah lembaga, begitu juga dengan
Yayasan Masjid Rahmat yang mana dengan motto sebagai dakwah dan
pendidikan. Visi dan misi dari Yayasan Masjid Rahmat ialah visinya
sebagai pioner dakwah dan sebagai panutan berjalannya keagamaan dan
misinya yakni mengadakan kegiatan pendidikan. Ini sebagaimana
informasi yang penulis dapat dari seorang pengurus Yayasan Masjid
Rahmat yang merupakan kepala seksi pengislaman.4
Jika di analisa maka masjid Rahmat memiliki kekurangan dan kelebihan.
Yang mana hal itu memang menjadi keniscayaan dari sebuah lembaga.
Kelebihan yang dimiliki oleh masjid Rahmat adalah sebuah masjid
bersejarah yang mana masjid tersebut mempunyai tingkat historisitas
yang tinggi jika dibandingkan dengan masjid-masjid lain. Ini terbukti
dalam hal pedoman waktu shalat untuk daerah Surabaya dan sekitarnya,
masjid Rahmat menjadi tiang pancang yang belum dapat digeser.
Sekaliber masjid Nasional al-Akbar pun yang nota bene menjadi masjid
4
40
terbesar kedua dan modern akan tetapi belum mampu untuk menggeser
masjid Rahmat dalam hal pedoman waktu shalat. Bahkan masjid
Nasional al-Akbar pun mengikuti pedoman waktu shalat dari masjid
Rahmat.
Selain itu kelebihan dari masjid Rahmat ialah selalu menjaga kearifan
lokal ditengah arus modernitas yang terus berkembang. Ini ditunjukkan
dengan kajian rutin ba’dha shubuh dengan menggunakan kitab kuning
dan menggunakan bahasa jawa dalam penyampainnya. Kemudian masjid
Rahmat melaksanakan amaliyah-amaliyah tradisi NU seperti tahlilan,
yasinan, istighosah sehingga diharapkan nilai-nilai budaya masyarakat
tetap terjaga dan bahkan dapat dikembangkan. Inilah yang menjadi nilai
plus tersendiri dari masjid Rahmat sebagai masjid tertua di Surabaya atau
bahkan di Jawa Timur.
Kemudian kelebihan yang lain adalah eksistensi stasiun radio Yasmara
sebagai sarana dakwah dari masjid Rahmat untuk masyarakat umum.
Walaupun masih menggunakan gelombang AM namun Radio Yasmara
tetap memiliki pendengar setia di berbagai penjuru kota Surabaya dan
sekitarnya. Sebagai masjid pertama kali di Surabaya yang menggunakan
radio untuk sarana berdakwah di kota Surabaya. Inilah yang bisa
dikatakan kelebihan dari masjid Rahmat.
Sementara kekurangan dari Yayasan tersebut adalah bisa dikatakan
kurang maksimalnya peranan masjid Rahmat terhadap pembinaan akidah
41
Rahmat yang letaknya dekat dengan lokalisasi seperti Dolly dan Makam
Kembang Kuning. Kalau dilihat sejarahnya maka keberadaan masjid
terlebih dahulu ada sebelum lokalisasi tersebut. namun sebagai dampak
modernitas maka masjid Rahmat agar selalu memaksimalkan dari apa
yang telah dikomitmenkan yakni sebagai dakwah dan pendidikan.
Mungkin dengan diadakan semacam pelatihan keterampilan untuk para
warga disekitar lokalisasi sehingga diharapkan mereka dapat keluar dari
bisnis yang diharamkan oleh Islam tersebut. selain itu pembinaan
terhadap akidah masyarakat untuk lebih digiatkan kembali terutama
kepada masyarakat yang masih awam terhadap agama.
Kemudian terkait dengan tipe managemen kepemimpinan dari masjid
Rahmat yakni tipe Struktural. Hal itu terlihat ketika peneliti berada di
kantor sekretariatan yayasan terdapat struktur kepemimpinan. Yang
terdiri dari ketua yayasan, penasehat, bendahara, sekretaris, humas, dan
berbagai sub-seksi. Ini semua berjalan secara terstruktur dan sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
Karenanya, pendekatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya
adalah holistik dan integralistik. Seorang pemimpin yang demokratik
menyadari bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka tugas dan kegiatan yang harus
dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi. Seorang pemimpin
yang demokratik melihat bahwa dalam perbedaan sebagai kenyataan
42
filsafat hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi. Nilai tersebut
tercermin dari sikap dalam hubungannya dengan bawahan, misalnya
dalam proses pengambilan keputusan sejauh mungkin mengajak peran
serta bawahan sehingga bawahan akan memiliki rasa tanggung jawab
yang besar.
Sistem ini dipilih karena dianggap merupakan sebuah sistem yang ideal
dalam kepemimpinan era modern. Hal ini dilakukan agar para pemimpin
dapat menerima masukan dari anggotanya dan kemudian sang pemimpin
diharapkan dapat mengambil keputusan secara bijaksana