• Tidak ada hasil yang ditemukan

SELF DISCLOSURE PADA PENYANDANG TUNADAKSA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SELF DISCLOSURE PADA PENYANDANG TUNADAKSA."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Mushbirotul Firdah B77212117

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dimensi self-disclosure dan menggali faktor-faktor yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi Fenomenologis. Ketiga informan penelitian ini adalah atlet difabel NPC Surabaya dan ketiganya berjenis kelamin laki-laki. Subjek pertama berumur 21 tahun, subjek kedua berumur 20 tahun dan subjek ketiga berumur 33 tahun. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi self-disclosure, yakni descriptive self-disclosure berisi informasi kurang pribadi atau fakta tentang diri seperti tentang kegemaran dan kegiatan sehari-hari. Sedangkan evaluative self-disclosure, berisi tentang informasi yang sifatnya pribadi seperti mengungkapkan masalah. Faktor-faktor self-disclosure menggambarkan bahwa faktor yang mendorong ketiga subjek dalam mengungkapkan diri adalah faktor budaya, gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercaya, kepribadian dan usia. Keenam faktor tersebut membuat subjek menjadi pribadi yang terbuka mendapatkan timbal balik berupa respon yang positif. Hal tersebut membuat subjek yang dengan keterbatasannya mendapat dukungan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan orang normal, bahkan jauh lebih baik yakni meraih prestasi.

(7)

ABSTRACT

This study purposed to describe the dimensions of disclosure and explore the factors that support a quadriplegic do self-disclosure. This study uses a qualitative method with phenomenological strategy. These three research informants are athletes with disabilities NPC Surabaya and three male gender. The first subject is 21 years old, the second subject was 20 years old and 33 years old third subject. The technique of collecting data using interviews and documentation.

The results showed that the dimension of disclosure, self-descriptive disclosure which contain less personal information or facts about themselves as about indulgence and daily activities. While evaluative self-disclosure, contains information of personal nature such as raising concerns. Factors self-disclosure illustrates that the factors driving the third subject in expressing themselves are cultural factors, gender, groups, feelings of love or mempercaya, personality and age. The sixth of these factors make the subject to be private, open to get reciprocal form of a positive response. It is made subject to the limitations the support to have the same opportunities as a normal person, even better that achievement.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….. i

Halaman Pengesahan ……….…………. ii

Pernyataan ………. iii

Kata Pengantar ………... iv

Daftar Isi ……… vi

Daftar Tabel ………... viii

Daftar Gambar ……… ix

Daftar Lampiran ……….. x

Intisari ……….. xi

Abstrack ………. xii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Fokus Penelitian ……… 9

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ……….. 10

E. Keaslian Penelitian ………. 10

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ……… 16

A. Konseptualisasi Topik yang Diteliti ………... 16

1. Self Disclosure ………. 16

a. Pengertian Self Disclosure ……….. 16

b. Dimensi Self Disclosure ………. 19

c. Aspek Self Disclosure ……… 23

d. Faktor-faktor Self Disclosure ……….. 25

e. Karakteristik Self Disclosure ………... 28

f. Manfaat Self Disclosure ……… 30

2. Tunadaksa ……… 32

a. Pengertian Tunadaksa ………. 32

b. Klasifikasi Tunadaksa ………. 33

c. Penyebab Tunadaksa ……….. 36

d. Ciri Khas Penyandang Tunadaksa Secara Fisik dan Psikologis ……… 40

B. Perspektif Teoritis ………... 43

BAB III : METODELOGI PENELITIAN ………. 46

A. Jenis Penelitian ……… 46

B. Lokasi Penelitian ………. 47

C. Sumber Data ………. 48

D. Cara Pengumpulan Data ……….. 50

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ……….. 51

(9)

BAB IV : HASIL PENELITIAN ……….. 55

A. Deskripsi Subjek ………. 55

B. Hasil Penelitian ……….. 60

1. Deskripsi Hasil Temuan ………... 60

2. Analisis Temuan Penelitian ………. 88

C. Pembahasan ……….103

BAB V : PENUTUP ………112

A. Simpulan ……….112

B. Saran ………..113

Daftar Pustaka ………..114

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial ……….. 45

Gambar 2. Skema Temuan Tema Subjek O ………..100

Gambar 3. Skema Temuan Tema Subjek I ………..101

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baiknya kondisi jasmani dan rohani yang disertai kemampuan untuk menjalani kehidupan. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Namun, ada beberapa orang yang terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna sehingga menjadi hambatan bagi mereka dalam menjalani hidup, seperti penyandang disabilitas.

Disability atau disabilitas adalah organ tubuh yang cacat berat, tidak ada (tidak berfungsi), rusak, terganggu, atau sangat kurang, juga berkaitan dengan gangguan fungsional (Chaplin, 2006). Sedangkan menurut definisi dari WHO (World Health Organization), disabilitas adalah keterbatasan atau kurangnya kemampuan organ sehingga mempengaruhi kemampuan fisik atau mental untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu (Murtie, 2014).

(14)

bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarga yang menyandang disabilitas, terutama di pedesaaan. Di sisi lain masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang disabilitas (Hikmawati & Rusmiyati, 2011).

Berdasarkan data dari Kementrian Sosial (Kemensos), jumlah penyandang disabilitas pada 2010 berjumlah 11.580.117 jiwa, dengan penyandang disabilitas di atas usia 10 tahun sebanyak 16.718 orang. Sedangkan berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker), jumlah angkatan kerja penyandang disabilitas pada 2010 mencapai 7.126.409 jiwa, dengan perincian penyandang tunanetra 2.137.923 jiwa, tunadaksa 1.852.866 jiwa, tunarungu 1.567.810 jiwa, cacat mental 712.641 jiwa dan cacat kronis 855.169 jiwa (Putri, 2016).

Terlepas dari bagaimana kondisi yang dialami penyandang disabilitas, tahun 2016 ini pemenuhan hak penyandang disabilitas semakin dilindungi oleh hukum. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penyandang Disabilitas yang merupakan revisi dari UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 17 Maret 2016. Nantinya akan ada Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang bertugas memantau, mengevaluasi dan mengedukasi yang arahnya untuk perlindungan (Ya’kub, 2016).

(15)

pendidikan pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, aksesibilitas, pelayanan publik, perlindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendapatan, hidup secara mandiri, berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, berpindah tempat dan kewarganegaraan, bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, serta eksploitasi (Putri, 2016).

Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2011, mengungkapkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang tunadaksa terbanyak dibandingkan provinsi lainnya, yaitu berjumlah 44.906 orang. Di kota Surabaya sendiri, tercatat sebanyak 611 orang. Penyandang tunadaksa merupakan hal yang seringkali dianggap suatu bencana bagi individu yang mengalaminya, bahkan dianggap suatu alasan untuk menghindar bagi individu yang normal (Puspita & Alfian, 2012).

Tunadaksa adalah orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh (Smart, 2014). Sedangkan menurut Santoso (2012), tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, dan kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.

(16)

merasa fase kehidupannya telah berakhir karena selama ini kecacatan identik dengan kekurangan dan ketidakberdayaan yang mematikan potensi dirinya (Muttaqien 2013).

Seperti yang dialami Astri, seorang pelajar SMK berusia 17 tahun, mengalami kecalakaan tunggal motor yang dikendarainya di kawasan Banjir Kanal Timur, Jakarta Timur. Kecelakaan tersebut membuat kaki kanannya retak dan hancur sehingga harus diamputasi. Astri mengalami hambatan dalam pergaulan karena perubahan pada dirinya yang menjadi sosok pemalu dan tidak percaya diri (Malau, 2015).

Lain halnya dengan pengalaman hidup Petrus Canius, seorang tunadaksa yang bekerja sebagai karyawan di Yayasan Palung (GPOCP) Kalimantan, yakni sebuah lembaga konservasi orangutan dan habitatnya. Lewat situs komunitas Bruderan FIC, Petrus Canius mengungkapkan dalam pergaulan sehari-hari merasa minder dan terpuruk, karena keterbatasan fisiknya yang tidak mampu melakukan pekerjaan seperti orang dengan fisik normal lainnya (Canius, 2012).

(17)

Kemampuannya dipelajari secara otodidak di SLB dengan dampingan Guru. Karya-karyanya banyak yang telah dijual (Rosadi, 2014).

Seorang motivator dunia bernama Nick Vujicic yang terkenal karena membuat komunitas Life Without Limbs, membuat film dokumenter Life’s

Greater Purpose, penulis buku Life Without Limits: Inspiration for a

Ridiculously Good Life, dan sering tampil di acara televisi. Nick terlahir dengan sindrom tetra-amelia yakni lahir tanpa dua lengan dan dua kaki. Dukungan dari orang tua dan sahabat, membuat Nick lebih bijaksana dan berani dalam menjalani kehidupan. Sampai mampu mendapat dua gelar sarjana yakni akutansi dan Perencanaan Keuangan, serta karya-karyanya di bidang motivasi (Wink, 2012).

Dari data diatas, ada tunadaksa yang mampu berprestasi dan sebagian mungkin tidak. Tunadaksa yang berprestasi mampu berekspresi secara lisan tentang informasi dalam dirinya, mengungkapkan kemampuan apa yang bisa dilakukan ataupun keinginan untuk menjadi apa. Hal ini merupakan bagian dari self-disclosure.

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, 2001).

Self-disclosure juga merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan dalam hubungan

(18)

aman, adanya penerimaan diri, dan secara lebih mendalam dapat melihat diri sendiri serta mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup (Papu, dalam Muttaqien 2013).

Pengungkapan diri dapat bersifat deskriptif maupun evaluatif. Dalam pengungkapan diri deskriptif, yakni seseorang melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya yang mungkin belum diketahui pendengar. Seperti pekerjaan, tempat tinggal, partai yang didukung, dan sebagainya. Sedangkan pengungkapan diri evaluatif, yakni seseorang mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya. Seperti menyukai orang-orang tertentu, perasaan cemas terhadap badan yang gemuk, bahkan ketidaksukaan bangun pagi (Morton, dalam Sears, 2001). Pengungkapan deskriptif dan evaluatif merupakan dimensi dalam self-disclosure.

Hasil penelitian Muttaqien (2013), penyandang disabilitas terdorong untuk membuka diri kepada orang lain ketika mempunyai masalah atau nasib yang sama, serta mendapat perhatian dan motivasi dari orang tersebut. Kemudian dengan cara pengungkapan diri yang bersifat evaluatif, yakni mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan untuk mendapatkan solusi atau pencerahan dari orang lain, ingin membagi cerita pengalaman baik itu senang atau sedih, dan agar orang lain dapat memahami apa yang sedang dirasakan.

(19)

mempengaruhi penyandang disabilitas dari keempat subjek untuk mengungkapkan diri berbeda-beda, antaralain membuka diri kepada orang yang mempunyai masalah yang sama atau senasib, membuka diri pada seorang guru perempuan karena telah memberi perhatian dan motivasi, subjek membuka diri pada teman dekat karena lebih mengerti situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dan membuka diri ke pada orang tua karena subjek beranggapan orang tualah yang paling paham kondisi yang sedang dirasakan (Muttaqien, 2013).

Sears (2001) mengungkapkan faktor lain dari pengungkapan diri, yakni rasa suka dan timbal balik. Rasa suka merupakan sebab penting dari penggungkapan diri. Orang lebih sering mengungkapkan dirinya pada pasangan hidupnya atau pada sahabatnya daripada rekan kerja atau teman biasa. Sedangkan timbal balik, yakni bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada orang lain, maka orang tersebut akan merasa wajib memberikan reaksi yang sepadan. Altman dan Taylor (dalam Sears, 2001) menyatakan bahwa seseorang akan jauh lebih menyukai orang yang mengungkapkan dirinya dalam tingkat yang setara dengannya.

(20)

orang lain. Perasaan malu, minder, rendah diri, dan sensitif sering kali hadir saat harus bersosialisasi, oleh karena itu pandangan terhadap diri mereka sendiri yang buruk maka penyandang tunadaksa sering melakukan penolakan pada orang-orang yang mendekat. Ketiga, kurang mampu mengembangkan konsep diri dan mengaktualisasikan dirinya.

Seperti yang diungkapkan oleh salah satu subjek penelitian ini, yakni subjek I, bahwa subjek memiliki sifat pemalu. Meskipun demikian, subjek berusaha mengaktualisasikan dirinya. Seperti sejak SMA aktif menjadi atlet hingga sekarang saat subjek kuliah masih aktif mengikuti organisasi HIMA (Himpunan Mahasiswa) hampir dua tahun. Subjek mengaku hal tersebut dilakukan agar kepercayaan diri meningkat dan terbiasa berhadapan dengan orang-orang, karena subjek masuk dalam divisi Humas (Hasil wawancara pada tanggal 27 Juli 2016).

(21)

Hal tersebut membuktikan self-disclosure sangat penting untuk diteliti pada tunadaksa. Melihat subjek penelitian yang mampu mengembangkan potensi kemudian mampu mengaktualisasikan dirinya sehingga berprestasi dalam bidangnya serta penelitian ini dapat menginspirasi tunadaksa lainnya untuk lebih percaya diri mengungkapkan dirinya. Jadi, self-disclosure pada tunadaksa meskipun memiliki keterbatasan, tetapi tetap mampu mengungkapkan dirinya dengan percaya diri membagi perasaan pribadi dan informasi tentang berbagai fakta dalam diri kepada orang lain.

Berdasarkan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa pengungkapan diri penyandang disabilitas lebih kepada pengungkapan diri yang bersifat evaluatif. Informasi yang dibagi sangat pribadi kepada orang-orang tertentu, yang secara langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepada orang yang dipercaya atau disukai, orang yang memiliki nasib sama dan adanya timbal balik berupa perhatian dan motivasi yang diberikan. Maka dalam penelitian ini ingin menggali bagaimana dimensi self-disclosure yang dilakukan oleh tunadaksa dan faktor-faktor apa saja yang mendukung tunadaksa dalam melakukan pengungkapan diri.

B. Fokus Penelitian

(22)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dimensi self-disclosure dan menggali faktor-faktor yang medukung tunadaksa melakukan self-disclosure.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan psikologi dibidang psikologi klinis dan psikologi sosial.

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi penyandang disabilitas terurtama tunadaksa, dalam memahami dimensi self-disclosure dan faktor-faktor yang mendukung untuk melakukan pengungkapan diri, sebagai salah satu penunjang untuk mendapatkan penerimaan sosial serta menginspirasi penyandang disabilitas lainnya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Self-disclosure (pengungkapan diri) cukup banyak dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa self-disclosure merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

(23)

informasi, waktu self-disclosure, serta lawan bicara yang dapat membuat subjek melakukan self-disclosure. Faktor-faktor yang menyebabkan subjek melakukan self-disclosure yakni perasaan menyukai, besar kelompok, efek diadik dan jenis kelamin.

Penelitian oleh Muttaqien (2013) mengenai “Self Disclosure pada Remaja Difabel”. Hasil menunjukkan bahwa remaja difabel dengan kecacatan mendadak (pasca kecelakaan) melakukan self-disclosure dengan cara mengungkapkan perasaan yang sedang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi, beban pikiran yang sedang membebani dengan menceritakan kondisi tersebut agar orang tua, guru, dan teman mengetahui kondisi yang sedang dirasakannya. Faktor yang mempengaruhi

self-disclosure pada keempat subjek yakni berbeda-beda, antara lain membuka

diri kepada orang dengan nasib yang sama, membuka diri kepada guru perempuan karena telah memberi perhatian dan motivasi, membuka diri pada teman dekat dan orang tua.

Penelitian oleh Tokic & Pecnik (2012) “Parental Behaviors

Related to Adolescents Self-Disclosure: Adolescents Views”. Hasil

(24)

Jurnal penelitian dari Penington (2010), “Disability Disclosure: A

Literature Review”, hasil penelitian tersebut menemukan lima tema yakni

sikap terhadap karyawan penyandang disabilitas, sikap terhadap berbagai jenis penyandang disabilitas, pengungkapan selama proses perekrutan, pengungkapan sementara dalam pekerjaan, dan pengungkapan yang berhubungan dengan penyandang disabilitas yang berbeda.

Penelitian Ayyun (2010), “Self Disclosure (Pengungkapan Diri) pada Remaja Pengguna Facebook”. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa melalui facebook, remaja dapat mengungkapkan dirinya dengan efektif. Informasi yang mereka bagi tersebut terkait dengan identitas diri dan perasaan serta keadaan yang mereka alami. Akan tetapi informasi yang mereka berikan tersebut tetap dibatasi. Model self-disclosure pada remaja melalui facebook tersebut memiliki makna terkait keluasan dalam hal ini pemilihan teman dalam membagi informasi, dan kedalaman terkait dengan detail informasi yang dibagi. Semakin dekat maka informasi semakin detail yang diberikan.

Gainau (2009), penelitiannya tentang “Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya Bagi

(25)

membantu siswa mereka untuk diungkapkan dengan orang lain. Pertama ,memberikan pemahaman bahwa setiap budaya memiliki etika tersendiri dalam mengungkapkan diri kepada orang lain sehingga siswa tahu cara mengungkapkan dirinya untuk lain. Kedua, melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan agar ia tidak merasa malu dalam bersosialisasi dengan orang lain dan ketiga, memberikan pelatihan yang dapat membuat siswa lebih percaya diri.

Penelitian dari Gibson (2012), “Opening Up: Therapist

Self-Disclosure in Theory, Reserch, and Practice”. Hasil penelitian

memberikan gambaran tentang literatur empiris dan teoritis dari terapis

self-disclosure. Kemudian ditutup dengan pertimbangan terapis

self-disclosure dalam konteks hukum, etika, dan teknologi kontemporer kerja klinis.

Penelitian Ifdil (2013), “Konsep Dasar Self Disclosure dan

Pentingnya Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling”. Hasil

menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk melakukan self-disclosure memiliki kontribusi penting dalam mencapai keberhasilan akademik dan keberhasilan interaksi sosial mereka. Seseorang yang memiliki keterbukaan diri yang tinggi cenderung untuk mengekspresikan pandangan, ide, atau gagasan jelas tanpa menyakiti perasaan orang lain.

(26)

pribadi dan bahwa orang lebih nyaman sendiri mengungkapkan dalam konteks tatap muka. Alasan lain mungkin untuk tingkat rendah pengungkapan diri melalui email adalah kenyataan bahwa email merupakan bentuk komunikasi online yang lebih tua, dan banyak orang mungkin tidak menggunakannya sesering lagi.

Penelitian Harper & Harper (2006), “Understanding Student

Self-Disclosure Typology Through Blogging”. Hasil penelitian menunjukkan siswa yang melakukan pengungkapan diri memainkan peran penting dalam pengalaman belajar dan memproduksi hasil pembelajaran yang positif. Blogging adalah alat web semakin populer yang berpotensi dapat membantu pendidik dengan mendorong siswa pengungkapan diri. Kedua analisis dan fokus konten kelompok digunakan untuk menilai apakah siswa keterbukaan diri mengungkapkan secara deskriptif, kategori topik, dan evaluatif. Serta blogging mendorong siswa keterbukaan diri, dan implikasi dari temuan ini juga dibahas.

(27)
(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konseptualisasi Topik yang Diteliti

1. Self Disclosure

a. Pengertian Self Disclosure

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan

membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, 2001). Kartono & Gulo (2000), self-disclosure adalah suatu proses dengan mana seseorang membuat dirinya dikenal oleh orang lain.

(29)

Menurut Jourard dan Lasakow (1958), pengungkapan diri yaitu menceritakan yang sebelumnya tidak diketahui sehingga menjadi pengetahuan yang dibagi yakni proses membuat diri sendiri untuk diketahui orang lain (dalam Joinson & Paine, 2007).

Jourard, (1971), pengungkapan diri mengacu pada ekspresi lisan yang mana seseorang mengungkapkan aspek dirinya sendiri kepada orang lain (dalam Barak & Gluck-Ofri, 2007).

Derlega, dkk (2008) self-disclosure adalah transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih dalam peran “pengungkapan”

dan “penerima pengungkapan” atau “pendengar” pada tingkat

kognitif, emosional, dan perilaku. Apa, kapan dan bagaimana keterbukaan diri terjadi pada satu kesempatan atau dari waktu ke waktu berpengaruh dan dipengaruhi oleh interaksi dan atau hubungan yang terbentang antara peserta.

Altman dan Taylor (1973), mengemukakan bahwa

self-disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk

(30)

Johnson (1997, dalam Ndoen, 2009), mendefinisikan pengungkapan diri sebagai pengutaraan kepada orang lain tentang bagaimana individu bereaksi terhadap situasi saat ini dan bagaimana dia memberikan informasi tentang masa lalu secara relevan, sehingga orang lain dapat memahami tindakan yang di ambil saat ini. Selanjutnya Fattah (2008), mengatakan pengungkapan diri dapat diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan tersebut dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya. Pengungkapan diri haruslah di landasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan informasi, atau dengan kata lain apa yang disampaikan kepada orang lain hendaklah bukan merupakan suatu topeng pribadi atau kebohongan belaka sehingga hanya menampilkan sisi yang baik saja (Fattah, dalam Ndoen, 2009).

(31)

penyingkapan diri telah sering muncul dalam konteks hubungan dua orang daripada dalam konteks komunikasi lainnya (Aranda dalam Meilena & Suryanto 2015).

Dari beberapa definisi di atas, maka self-disclosure merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain

b. Dimensi Self Disclosure

Menurut Morton (1978), terdapat dua dimensi dari pengungkapan diri, yaitu:

1) Descriptive Self Disclosure

Melukiskan berbagai fakta mengenai diri yang mungkin belum diketaui oleh orang lain. Pengungkapan diri ini berisi informasi dan fakta-fakta tentang diri sendiri yang bersifat kurang pribadi, seperti riwayat keluarga, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain. 2) Evaluative Self Disclosure

(32)

Johnson (dalam Ndoen, 2009) pengungkapan diri memiliki dua dimensi, yaitu:

1) Keluasan

Untuk dapat mengenal seseorang lebih baik, individu menampilkan lebih banyak topik untuk dijelaskan.

2) Kedalaman

Membuat penjelasan tersebut diungkapkan secara lebih pribadi. Ada beberapa dimensi self-disclosure yang dikemukakan oleh Culbert, dkk (dalam Gainau, 2009), yaitu: ketepatan, motivasi, waktu, keintensifan, kedalaman dan keluasan.

1) Ketepatan

Ketepatan mengacu pada apakah seorang individu mengungkapkan informasi pribadinya dengan relevan dan untuk peristiwa di mana individu terlibat atau tidak (sekarang dan disini). Self-disclosure sering sekali tidak tepat atau tidak sesuai ketika menyimpang dari norma-norma. Sebuah

self-disclosure mungkin akan menyimpang dari norma dalam

(33)

berkaitan dengan penilaian diri yang sifatnya menyalahkan diri, sedangkan pernyataan positif merupakan pernyataan yang termasuk kategori pujian.

2) Motivasi

Motivasi berkaitan dengan apa yang menjadi dorongan seseorang untuk mengungkapkan dirinya kepada orang lain. Dorongan tersebut berasal dari dalam diri maupun dari luar. Dorongan dari dalam berkaitan dengan apa yang menjadi keinginan atau tujuan seseorang melakukan self-disclosure. Sedangkan dari luar, dipengaruhi lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan.

3) Waktu

(34)

4) Keintensifan

Keintensifan seseorang dalam pengungkapan diri tergantung kepada siapa seseorang mengungkapkan diri, apakah teman dekat, orangtua, teman biasa, orang yang baru dikenal.

5) Kedalaman dan Keluasan

Kedalaman self-disclosure terbagi atas dua dimensi yakni self-disclosure yang dangkal dan yang dalam. Self-disclosure yang dangkal biasanya diungkapkan kepada orang yang baru dikenal. Kepada orang tersebut biasanya diceritakan aspek-aspek geografis tentang diri misalnya nama, daerah asal dan alamat.

Self-disclosure yang dalam, diceritakan kepada orang-orang

yang memiliki kedekatan hubungan (intimacy). Seseorang dalam menginformasikan dirinya secara mendalam dilakukan kepada orang yang betul – betul dipercaya dan biasanya hanya dilakukan kepada orang yang betul-betul akrab dengan dirinya, misalnya orang tua, teman dekat, teman sejenis dan pacar. Pendek kata, dangkal dalamnya seorang menceritakan dirinya ditentukan oleh yang hendak diajak berbagi cerita atau target person.

(35)

atau hanya sekedar fakta, dan evaluatif yakni membagi informasi yang bersifat lebih pribadi atau lebih mendalam.

c. Aspek Self Disclosure

Self-disclosure merupakan tindakan seseorang dalam

memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain. Informasi yang bersifat pribadi tersebut mencakup 6 aspek, antara lain:

1) Sikap atau opini

Mencangkup pendapat atau sikap mengenai keagamaan dan pergaulan remaja.

2) Selera dan minat

Mencangkup selera dalam pakaian, selera makanan dan minuman, kegemaran akan hobi yang disukai.

3) Pekerjaan atau pendidikan

Mencangkup keadaan lingkungan sekolah dan pergaulan sekolah.

4) Fisik

Mencangkup keadaan fisik dan kesehatan fisik. 5) Keuangan

(36)

6) Kepribadian

Hal-hal yang mencangkup keadaan diri seperti marah, cemas, sedih serta hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis (Jourard dalam Setiawati, 2012).

Sifat alami dari self disclosure menurut Pearson (dalam Margiantari, 2012) memiliki beberapa aspek yang disebut sebagai komponen self-disclosure, yaitu:

1) Sifat Positif dan Negatif (positif and negatif nature)

Self-disclosure bermacam-macam sifatnya ada yang positif

atau negatif. Sifat yang positif meliputi pernyataan mengenai diri sendiri yang dapat dikategorikan sebagai pujian. Sifat yang negatif adalah pernyataan yang secara kritis mengevaluasi mengenai diri sendiri.

2) Kedalaman (depth)

Self-disclosure bisa dalam atau dangkal. Membicarakan mengenai aspek diri sendiri dimana hal tersebut adalah unik dan menyebabkan diri menjadi lebih transparan adalah

self-disclosure yang dalam. Sedangkan, self-disclosure yang

(37)

3) Waktu (timing)

Self-disclosure juga dapat diuji kaitannya dengan waktu yang terjadi dalam suatu hubungan.

4) Individu yang menerima informasi (target person)

Orang yang menjadi target self-disclosure adalah orang yang kepada siapa seseorang ingin membuka diri (Pearson, dalam Rini, 2012)

Dapat disimpulkan bahwa bahwa aspek dalam self-disclosure adalah sifat positif dan negatif (positif and negatif nature), kedalaman (depth), waktu (timing), dan individu yang menerima informasi (target person).

d. Faktor-faktor Self-Disclosure

Menurut Sears (2001), ada dua faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri, yakni:

1) Rasa Suka

(38)

2) Timbal Balik

Individu akan jauh lebih menyukai seseorang yang mengungkapkan dirinya dalam tingkat yang setara dengan yang dilakukan terhadapnya.

Terdapat enam faktor lain menurut Derlega, dkk (1987 dalam Ifdil, 2013), diantaranya:

1) Budaya (culture)

Nilai-nilai yang dipahami seseorang mempengaruhi tingkat self-disclosure. Begitu pula kedekatan budaya antar individu. Baik budaya yang dibangun dalam keluarga, pertemanan, daerah, negara memainkan peranan penting dalam mengembangkan self-disclosure seseorang.

2) Gender

Laki-laki lebih tertutup dibandingkan perempuan (Pearson, 1987). Wanita lebih terbuka, intim dan penuh emosi dalam hal pengungkapan diri. Wanita maskulin, relatif kurang membuka diri ketimbang wanita yang nilai dalam skala maskulinitasnya lebih rendah. Pria feminin membuka diri lebih besar ketimbang pria yag nilai dalam skala feminitasnya lebih rendah.

3) Besar kelompok

Self-disclosure lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil

(39)

yang dirasakan oleh individu dalam mengungkapkan cerita tentang diri sendiri, lebih sering terjadi dalam kelompok yang kecil daripada kelompok yang besar. Dengan pendengar lebih dari satu seperti monitoring sangatlah tidak mungkin karena respon yang nantinya bervariasi antara pendengar. Alasan lain adalah jika kelompoknya lebih besar dari dua, pengungkapan diri akan dianggap dipamerkan dan terjadinya pemberitaan publik. Kemudian akan dianggap hal yang umum karena sudah banyak orang yang tahu.

4) Perasaan Menyukai atau Mempercayai

Seseorang lebih membuka diri kepada orang-orang yang disukai atau dicintai, begitupula sebaliknya.

5) Kepribadian

Orang yang pandai bergaul (sociable) dan ekstrovet melakukan pengungkapan diri lebih banyak dibandingkan mereka yang kurang pandai bergaul dan lebih introvet.

6) Usia

(40)

Berdasarkan uraian faktor-faktor self-disclosure di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan self-disclosure dipengaruhi oleh budaya, gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercayai, kepribadian dan usia seseorang.

e. Karakteristik Self Disclosure

Johnson (dalam Ndoen, 2009) pengungkapan diri yang efektif memiliki sejumlah karakteristik, antara lain:

1) Reaksi yang diberikan kepada individu atau peristiwa lebih merujuk pada perasaan daripada fakta-fakta. Untuk dapat mengungkapkan diri artinya dapat berbagi dengan orang lain bagaimana perasaan kita mengenai suatu peristiwa yang baru saja terjadi.

2) Pengungkapan diri memiliki dua dimensi, yakni keluasan dan kedalaman. Untuk dapat mengenal seseorang lebih baik, kita menampilkan lebih banyak topik untuk dijelaskan (keluasan) dan membuat penjelasan itu diungkapkan secara lebih pribadi (kedalaman).

(41)

mengenal kita bukan melalui sejarah masa lalu kita tapi melalui pemahaman mereka tentang bagaimana kita bersikap.

4) Pada tahap awal suatu hubungan, pengungkapan diri perlu saling berbalasan. Jumlah pengungkapan diri yang kita lakukan akan mempengaruhi jumlah pengungkapan diri yang dilakukan oleh orang lain.

Menurut Margiantari (2012), karakteristik self-disclosure antara lain:

1) Muncul dalam hubungan pasangan atau satu lawan satu. 2) Keterbukaan diri berlangsung simetrikal.

3) Keterbukaan diri muncul bertahap.

4) Keterbukaan diri muncul dalam hubungan yang positif.

5) Keterbukaan diri dilandasi oleh rasa „trust’ atau percaya.

(42)

f. Manfaat Self Disclosure

Menurut Derlega dan Grzelak (1979 dalam Sears, 2001) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu:

1) Ekspresi

Kesempatan untuk mengekspresikan perasaan. 2) Penjernihan diri

Membicarakan masalah kepada orang lain dapat menjernihkan pikiran sehingga dapat melihat duduk persoalan dengan baik. 3) Keabsahan sosial

Tanggapan penderngar setelah mengungkapkan diri. 4) Kendati sosial

Mengungkapkan atau menyembunyikan informasi. 5) Perkembangan hubungan.

Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh seseorang jika mengungkap diri kepada orang lain menurut Gainau (2009), antara lain:

1) Mengenal diri sendiri.

Seseorang dapat lebih mengenal diri sendiri melalui

(43)

diperoleh gambaran baru tentang dirinya, dan mengerti lebih dalam perilakunya.

2) Adanya kemampuan menanggulangi masalah

Seseorang dapat mengatasi masalah, karena ada dukungan dan bukan penolakan, sehingga dapat menyelesaikan atau mengurangi bahkan menghilangkan masalahnya.

3) Mengurangi Beban

Jika individu menyimpan rahasia dan tidak mengungkapkannya kepada orang lain, maka akan terasa berat sekali memikulnya. Dengan adanya keterbukaan diri, individu akan merasakan beban itu terkurangi, sehingga orang tersebut ringan beban masalah yang dihadapinya.

Johnson (1990 dalam Ifdil, 2013) menyatakan bahwa self-disclosure berpengaruh besar terhadap hubungan sosial, yaitu: 1) Self-disclosure merupakan dasar bagi hubungan yang sehat

antara dua orang.

2) Semakin terbuka seseorang kepada orang lain, semakin orang tersebut menyukai dirinya.

(44)

4) Mengungkapkan diri pada orang lain merupakan dasar yang memungkinkan komunikasi yang intim baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

5) Mengungkapkan diri berarti bersikap realistik, sehingga keterbukaan diri bersikap jujur, tulus, dan autentik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat dari pengungkapan diri ialah berekspresi, penjernihan diri, keabsahan sosial, kendati sosial, dan perkembangan hubungan.

2. Tunadaksa

a. Pengertian Tunadaksa

Tunadaksa adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik khususnya anggota badan, atau berbagai jenis gangguan fisik yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya (Smart, 2014).

(45)

Tuna daksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (Somantri, dalam Agung, 2012).

Dapat disimpulkan pengertian tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang.

b. Klasifikasi Tunadaksa

Menurut Koening (dalam Septian, 2012), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut

Tingkat gangguan pada tunadaksa sendiri dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

1) Ringan

Kategori ringan adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik namun dapat ditingkatkan melalui terapi.

2) Sedang

(46)

3) Berat

Kategori berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan penuh dalam melakukan aktivitas fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

Penyandang tunadaksa menurut Halahan & Kauffman (1991, dalam Murtie, 2014) diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Tunadaksa Ortopedi

Merupakan penyandang tunadaksa yang mengalami kecacatan tertentu di bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian. Cacat ini bisa sebagai bawaan sewaktu lahir ataupun karena anak mengalami kecelakaan atau penyakit sehingga menyebabkan terganggunya fungsi tubuh mereka. Pada tunadaksa ortopedi, gangguan yang terjadi pada bagian tubuh anak menyebabkan bagian tubuh tertentu pada anak tersebut tidak bisa berfungsi secara normal.

2) Tunadaksa Saraf (Neurologically handicapped)

(47)

pada bagian tubuh lainnya. Gangguan yang timbul karena kelainan saraf otak bisa berbentuk gangguan motorik, kognisi, dan emosi.

Djadja Raharja (dalam Smart, 2014), tunadaksa digolongkan menjadi dua golongan, yaitu:

1) Tunadaksa murni

Golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, poliomyelitis serta cacat ortopedis lainnya.

2) Tunadaksa kombinasi

Golongan ini masih ada yang normal, namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy.

Menurut Smart (2014) ada tiga golongan tunadaksa, yaitu: 1) Tunadaksa taraf ringan

(48)

2) Tunadaksa taraf sedang

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cacat bawaan, cerebal palsy ringan dan polio ringan. Tuna akibat cerebral palsy disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh di bawah normal.

3) Tunadaksa taraf berat

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat

cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada

umumnya, tingkat kecerdasan tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot.

Berdasarkan uraian di atas dapat dimpulkan bahwa klasifikasi dari tunadaksa terdapat dua, yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf (neurologically handicapped).

c. Penyebab Tunadaksa

Murtie (2014) menjelaskan penyebab seseorang menyandang tunadaksa, yaitu:

1) Faktor Kelahiran

(49)

a) Pinggul ibu yang terlampau sempit sehingga bayi sulit untuk keluar dan terjepit.

b) Pemberian injeksi pendorong untuk mengeluarkan bayi yang berlebihan sehingga memengaruhi saraf otaknya.

c) Treatment lain seperti alat untuk mengeluarkan bayi dengan

cara ditarik yang juga bisa memengaruhi saraf bayi.

d) Injeksi bius pada Caesar yang berlebihan dan mengganggu saraf bayi.

2) Faktor kecelakaan

Kecelakaan ini bisa terjadi sewaktu masih bayi, misalnya terjatuh dari gendongan atau dari kursi dorong. Kecelakaan juga bisa terjadi saat anak sudah bisa berjalan, misalnya terjatuh dari sepeda, jatuh dari tangga, ataupun mengalami kecelakaan bersama orang lain.

3) Terkena virus

(50)

Santoso (2012) memaparkan tiga penyebab tunadaksa dilihat saat terjadinya kerusakan otak yang dapat pada:

1) Masa sebelum lahir

Terjadi infeksi penyakit, kelainan kandungan, kandungan radiasi, saat mengandung mengalami trauma (kecelakaan). 2) Pada saat kelahiran

Proses kelahiran terlalu lama, proses kelahiran yang mengalami kesulitan dan pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. 3) Setelah proses kelahira

Kecelakaan, infeksi penyakit dan ataxia.

Menurut Smart (2014) terdapat tujuh faktor penyebab tunadaksa, yaitu:

1) Sebelum lahir (pre-natal)

a) Pada saat ibu hamil mengalami trauma atau terkena infeksi atau penyakit, sehingga otak bayi pun ikut terserang dan menimbulkan kerusakan. Misalkan, infeksi, syphilis, rubella, dan typhus abdominalis.

(51)

c) Bayi dalam kandungan terkena radiasi secara langsung. d) Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma

(kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukkan sistem saraf pusat.

2) Faktor keturunan

3) Usia ibu pada saat hamil 4) Pendarahan pada waktu hamil

5) Keguguran yang dialami ibu 6) Saat kelahiran

a) Akibat proses kehamilan yang terlalu lama sehingga bayi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terganggunya sistem metabolism dalam otak bayi, akibatnya jaringan otak mengalami kerusakan.

b) Pemakaian alat bantu, seperti yang pada saat proses melahirkan dapat merusak jaringan saraf otak bayi.

c) Pemakaian obat bius yang berlebihan pada ibu yang melahirkan dengan Caesar dapat memengaruhi sistem persarafan ataupun fungsinya.

7) Setelah kelahiran

a) Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi.

(52)

c) Anoxia atau hypoxia. d) Trauma.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab dari seseorang mengalami atau menyandang tunadaksa dikarenakan faktor kelahiran, kecelakaan dan terkena virus. d. Ciri Khas Penyandang Tunadaksa Secara Fisik dan Psikologis

Santoso (2012) mengungkapkan bahwa anak tunadaksa akan mengalami gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya.

Smart (2014), terdapat ciri-ciri fisik dari penyandang tunadaksa, antara lain:

1) Anggota gerak tubuh tidak bisa digerakkan, lemah, kaku, atau lumpuh.

2) Setiap bergerak mengalami kesulitan. 3) Tidak memiliki anggota gerak lengkap.

4) Hiperaktif atau tidak dapat tenang.

(53)

Murtie (2014) menjelaskan beberapa ciri-ciri yang khas secara fisik dan psikologis pada penyandang tunadaksa, yaitu: 1) Mengalami hambatan dari segi fisik, baik di salah satu atau

beberapa bagian tubuh. Misalnya memiliki kelemahan pada kaki, tangan, jari-jari, atau bagian tubuh lainnya.

2) Mengalami hambatan dalam faktor motorik, baik untuk berpindah tempat, bergerak, berjalan, ataupun kurang bisa mengontrol koordinasi tubuhnya. Penyandang cerebral palsy sering kali melakukan gerakan ritmis yang bisa saja beranjak menjadi kekakuan dan kelumpuhan.

3) Memiliki rasa kurang percaya diri

Keadaan anak yang lemah dibidang fisik menyebabkan mereka kurang memiliki rasa percaya diri. Kadang kala jika tak didampingi oleh orang tua dan pendidik yang mampu memahami, anak penyandang tunadaksa cenderung menutup diri sehingga potensi lain yang dimilikinya dan seharusnya bisa dikembangkan menjadi terhambat.

(54)

bukan hanya pada satu katagori saja. Hal ini dinamakan dengan cacat ganda.

5) Hambatan dalam faktor kognisi yang membuat penyandang tunadaksa memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Hal ini terlebih karena faktor lain seperti kurang percaya diri dan penangkapan yang sulit dibandingkan dengan faktor lainnya. 6) Hambatan dalam mempersepsi sesuatu hal dengan tepat.

Penyandang tunadaksa biasanya terjadi karena adanya satu hal yang ada di otak. Hal inilah yang menyebabkan keabnormalan fisik sehingga menjadi tunadaksa. Kelainan yang ada di otak ini (gangguan pada saraf penghubung dan jaringan saraf otak) kebanyakan juga memengaruhi fungsi persepsi mereka sehingga kebanyakan penyandang tunadaksa menanggapi satu stimulus yang berbeda dengan tanggapan orang-orang lainnya. Sebutan untuk hal ini adalah ketidaksingkronan persepsi terhadap satu stimulus sehingga membentuk respon yang kurang sesuai.

7) Hambatan dalam segi emosi dan sosial

(55)

terutama dengan anak-anak lain yang bukan penyandang

disability. Oleh karena pandangan terhadap diri mereka sendiri

yang buruk maka penyandang tunadaksa sering melakukan penolakan pada orang-orang yang mendekat pada mereka. 8) Kurang mampu mengembangkan konsep diri dan

mengaktualisasikan dirinya.

9) Secara kognitif kebanyakan penyandang tunadaksa sama dengan anak-anak lainnya, namun kurang percaya diri menghambat proses pembelajaran mereka sehingga kurang pula memunculkan konsep diri yang utuh. Kurangnya kepercayaan diri ini pulalah yang menghambat aktualisasi diri para penyandang tunadaksa, terutama saat harus bergaul dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Minder, malu dan rendah diri meredam potensi mereka yang semestinya bisa berkembang dengan optimal dan maksimal.

B. Perspektif Teoritis

Self-disclosure atau pengungkapan diri merupakan kegiatan

(56)

pada tunadaksa. Beberapa diantaranya mampu mengatasi masalah tersebut dan mampu diterima oleh masyarakat.

Self-disclosure dibutuhkan dalam hubungan interpersonal, karena dengan adanya pengungkapan diri, seseorang dapat mengungkapkan apa kemampuan yang bisa dilakukan, perasaan, cita-cita hingga ide-idenya kepada orang lain. Hubungan keterbukaan ini akan memunculkan hubungan timbal balik positif yang menghasilkan rasa aman, adanya penerimaan diri, dan secara lebih mendalam dapat melihat diri sendiri serta mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup (Papu, dalam Muttaqien 2013).

Timbal balik menurut Sears (2001), konsisten dengan teori pertukaran sosial dan dalam pengungkapan diri juga terdapat norma timbal balik. Bila seseorang menceritakan suatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan merasa wajib memberikan reaksi yang sepadan. Proses pengugkapan diri yang berlangsung secara bertahap, semakin lama, semakin cepat akan semakin mempererat suatu hubungan.

(57)

kemungkinan bahwa kedua belah pihak juga bisa memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain (Aronson, dkk, 2007).

Konsep dasar teori pertukaran sosial menurut Aronson, dkk, (2007) adalah reward, biaya dan hasil, serta tingkat perbandingan.Pertama reward, reward adalah hal positif, merupakan aspek memuaskan dari hubungan yang membuat seseorang berharga dan reinforcement (memperkuat). Hal ini termasuk jenis karakteristik dan perilaku dari mitra hubungan dan kemampuan untuk memperoleh sumber daya eksternal berdasarkan pengetahuan tentang seseorang, misalnya mendapatkan akses uang, status, kegiatan, atau orang-orang yang menarik lainnya.

Kedua, yakni biaya dan hasil. Semua hubungan memiliki beberapa biaya yang menyertainya, seperti melakukan kebiasaan menjengkelkan dan karakteristik lainnya.

[image:57.595.119.487.237.545.2]

Ketiga, yakni tingkat perbandingan. Hasil dari hubungan ini adalah perbandingan langsung dari imbalan dan biaya. Seseorang dapat menganggapnya sebagai suatu rumus matematika dimana hasil atau imbalan dikurangi biaya, seperti jika seseorang datang dengan angka negatif, hubungannya tidak dalam kondisi yang baik.

Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial Self

Disclosur e

Timbal Balik

(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahnya (Moleong 2007). Fokus dalam penelitian ini adalah

self-disclosure (pengungkapan diri) pada tunadaksa. Untuk mendalami fokus

tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena pada penelitian ini dibutuhkan pengamatan terbuka guna menggambarkan dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu sehingga di dapatkan data yang mendalam secara deskriptif dan bukan prosedur analisis statistik berupa angka. Tujuan penelitian kualitatif pada umumnya mencangkup informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipan penelitian, dan lokasi penelitian (Cresswell, 2014).

(59)

(Moustakas, dalam Cresswell, 2014). Maka dalam konteks penelitian, fokus yang akan dikaji adalah bagaimana aspek dan faktor self-disclosure pada tunadaksa sehingga dalam keterbatasannya tetap mampu berprestasi.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian seperti wawancara dan dokumentasi.

Lokasi pengambilan data pada subjek pertama, yakni berada di Circle K Jl. Gubernur Suryo Surabaya. Significant other pertama yakni kekasih subjek pertama untuk pengambilan data juga berada di Circle K Jl. Gubernur Suryo Surabaya. Sedangkan untuk significant other kedua, yakni rekan kerja subjek pertama berada di Jl. Kedondong Kidul Gang 3 Surabaya.

Subjek kedua pengambilan data berlokasi di Universitas Negeri Surabaya Lidah Wetan. Untuk pengambilan data significant other subjek pertama yakni sahabatnya, juga berada di Universitas Negeri Surabaya Lidah Wetan.

Sedangkan untuk subjek ketiga dan significant other pertama yakni ibu subjek ketiga adalah di rumah subjek di Jl. Babadan Rukun 1 Surabaya. Serta

significant other kedua yakni rekan kerja subjek pertama berada di rumahnya,

(60)

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya (Lofland, dalam Moleong, 2007). Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel diambil dengan kriteria-kriteria tertentu. Tujuannya adalah untuk merinci khususkan yang ada dalam ramuan konteks yang unik dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2007).

Maka penelitian ini mengambil subjek berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Adapun kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Seorang tunadaksa yang berusia dewasa dini.

Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah, dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Pada masa ini juga mengalami perubahan dalam kelompok sosial. Keakraban antar teman yang ada pada masa remaja akan berlanjut ke masa dewasa. Jumlah teman akrab ini juga bergantung pada keterbukaan mereka dalam berbagai hal seperti minat, masalah, dan aspirasi (Hurlock, 2003). 2. Memiliki prestasi.

(61)

Adapun kriteria utama significant other adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kedekatan yang baik dengan subjek.

2. Telah mengetahui keseharian subjek.

Ada dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder (Bungin, 2001).

1. Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diambil dari sumber pertama subjek penelitian itu sendiri, yakni atlet tunadaksa di Surabaya. Data diambil dari hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses penelitian. Pada penelitian ini menggunakan tiga subjek. Subjek pertama yang bernama O (nama inisial), seorang laki-laki berusia 21 tahun dan menyandang tundaksa kaki, dimana kaki kanannya tidak sempurna karena mengalami amputasi pasca kecelakaan. O adalah atlet sprinter atau lari jarak pendek dan bekerja freelance. Saat lomba O menggunakan egrang atau tongkat untuk membantunya berjalan.

Subjek kedua, yang bernama I (nama inisial), seorang laki-laki berusia 20 tahun dan menyandang tunadaksa tangan, dimana tangan kirinya tidak sempurna sejak lahir. I adalah atlet cabang olahraga lari, serta berprofesi sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya.

(62)

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data pendukung untuk significant other. Orang-orang yang menjadi sumber data sekunder adalah orang terdekat dari subjek utama. Subjek pertama adalah teman dekatnya. Subjek kedua adalah Ibunya dan subjek ketiga adalah pacar atau calon istrinya.

D. Cara Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan beberapa teknik pengambilan data. Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara dan terwawancara (Moleong, 2007). Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai dengan telepon, atau terlibat dalam fokus group interview (interview dalam kelompok tertentu) yang terdiri dari enam sampai delapan partisipan per kelompok. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open ended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan (Cresswell, 2014).

(63)

dilakukan oleh penyandang tunadaksa, aspek maupun faktor yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure.

2. Dokumentasi

Menurut Creswell (2014) dokumentasi dapat digunakan untuk mengumpulkan dokumen publik yang berupa koran, majalah, diary dan surat, ataupun dokumen privat seperti buku harian, diary, surat, e-mail. Teknik pengambilan data dokumentasi dipilih untuk melengkapi dari penggunaan teknik wawancara, sehingga dalam penelitian ini akan mampu memperlihatkan bagaimana kegiatan dari atlet penyandang tunadaksa (atlet difabel) serta piagam dari prestasi yang pernah diraih.

Kedua teknik pengumpul data tersebut digunakan untuk menggali informasi dari subjek. Setelah mendapatkan data dari wawancara, kemudian dibuat transkip untuk dilakukan koding dan memberikan tema-tema yang sesuai dengan fokus penelitian.

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Creswell (2014) menjelaskan bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut:

(64)

lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.

2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.

3. Menganalisis lebih detail dengan menkoding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.

4. Terapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.

5. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.

6. Menginterpretasi atau memaknai data.

Langkah-langkah tersebut akan diterapkan dalam penelitian ini. Data yang sudah didapat dari wawancara, kemudian dijadikan transkrip, dikoding, dan diberi tema sebagai hasil temuan dan setelah itu diinterpretasi data.

F. Keabsahan Data

(65)

2. Menerapkan member checking untuk mengetahui akurasi hasil penelitian. 3. Membuat diskripsi yang kaya dan padat tentang hasil penelitian.

4. Mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti kedalam penelitian. 5. Menyajikan informasi yang berbeda atau negatif yang dapat memberikan

perlawanan pada tema-tema tertentu.

6. Memanfaatkan waktu yang relatif lama di lapangan penelitian.

7. Melakukan tanya jawab dengan sesama rekan peneliti untuk meningkatkan keakuratan hasil penelitian.

8. Mengajak seorang auditor untuk mereview keseluruhan proyek penelitian. Beberapa strategi tersebut tidak semua digunakan dalam penelitian ini. Peneliti hanya menggunakan salah satu strategi untuk memvalidasi data, yaitu dengan menggunakan strategi mentriangulasi (triangulate). Mentriangulasi merupakan sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas penelitian (Creswell 2010).

(66)

berbeda (Patton, dalam Moleong, 2007). Hal itu dapat dicapai dengan jalan, sebagai berikut:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi peneliti, dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.

(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek

1. Subjek Ke-1 (O, Atlet Sprinter)

Subjek pertama merupakan atlet sprinter atau lari jarak pendek, yang memulai karirnya sebagai atlet pada tahun 2006. Awal bergabung dengan BPOC (Badan Pembinaan Olahraga Cacat) yang sekarang menjadi NPC (National Paralympic Committee), bermula dari ajakan P salah satu anggota PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) yang juga menjadi pelatih di NPC. Saat masih SD, O tidak dapat mengikuti ujian praktik olahraga. O hanya berdiri di pinggir lapangan dan melihat teman-temannya jogging di lapangan KONI. Tiba-tiba P menhampirinya dan menanyakan kenapa O hanya diam. Setelah Irul mengetahui keadaan O, P menawarkan O untuk mengikuti olahraga khusus difabel. O berminat dan setiap minggunya P menjemput O untuk latihan. Keluarga juga mendukung O dengan seperti memberikan alat-alat olahraga dan sepatu khusus untuk lari. Ketika lomba, O menggunakan egrang atau tongkat. Banyak prestasi yang telah dicapai mulai dari tingkat Kota, tingkat antar Kota, dan tingkat Provinsi.

(68)

tunadaksa kaki dimana kaki kanannya diamputasi akibat kecelakaan motor di tol perbatasan Gresik – Surabaya, ketika O masih kelas 2 SD.

Pendidikan terakhir O adalah D1 jurusan desain grafis di perguruan tinggi swasta yaitu Institut Pembangunan Surabaya. Saat ini, O bekerja

freelance dalam bidang desain grafis yang membuat desain sesuai

pemesanan pelanggan seperti logo dan poster. O mengaku lebih suka bekerja sendiri, membuka usaha sendiri tanpa ikut orang lain. Pada tahun 2014, O pernah bekerja bersama-sama dengan para atlet difabel lainnya. Namun pada tahun 2015, O memilih untuk keluar karena merasa tidak nyaman dengan Ketua tempat dia bekerja.

(69)

2. Subjek ke-2 (I, Atlet Lari)

Subjek kedua merupakan atlet lari. I memulai karir sebagai atlet lari pada tahun 2012 ketika I masih menjadi pelajar SMA. Awal bergabung BPOC saat itu karena I bertemu dan mengobrol dengan Ketua NPC Surabaya yakni Pak Amin, yang kemudian mengajaknya bergabung bersama NPC. Pada akhirnya I bergabung dan mengikuti latihan dan perlombaan hingga berprestasi dalam bidang olahraga lari. Lomba pertama yang diikuti, I langsung meraih prestasi juara pertama lari 100 meter di lomba Paralympic tingkat pelajar se-Jawa Timur. Keluarga I mendukungnya menjadi atlet. Dukungan yang diberikan yakni seperti memberi izin I untuk latihan, mengikuti lomba, serta kebebasan tinggal di asrama untuk lomba agar I menjadi mandiri. Menurut I, para difabel biasanya dikekang oleh keluarga karena keterbatasan mereka tetapi tidak untuk keluarga I yang mendidiknya menjadi mandiri.

(70)

3. Subjek ke-3 (A, Atlet Lari)

Subjek ketiga adalah atlet lari yang memulai karirnya sebagai atlet pada tahun 2003. A bergabung dengan BPOC karena bertemu P ketika A sedang bekerja di Samsat. P merekomendasikan A untuk bertemu dengan Ketua BPOC yakni Pak Kasmin. Dari Pak Kasmin, A dites kesehatan fisiknya dan lolos kemudian bergabung dengan BPOC pada tahun 2003. Banyak prestasi yang diraih oleh A, diantaranya Walikota Cup, di Situbondo, hingga juara berkelompok futsal dengan difabel lain. Selama ini keluarga mendukung A, yakni dengan memberikan semangat sebagai acuan A untuk lebih termotivasi serta berprestasi lagi.

(71)
[image:71.595.138.560.144.560.2]

Tabel 1.

Jadwal Kegiatan Wawancara

No Hari, Tanggal Jenis Kegiatan Tempat

1. Senin, 25 Juli 2016 Wawancara dengan subjek pertama

Circle K, Jl. Gubernur Suryo, Surabaya 2. Rabu, 27 Juli 2016 Wawancara dengan

subjek kedua

Gedung Pendidikan Luar Biasa, UNESA Lidah Wetan

3. Rabu, 27 Juli 2016 Wawancara dengan significant other subjek kedua

Gedung Pendidikan Luar Biasa, UNESA Lidah Wetan

4. Kamis, 28 Juli 2016 Wawancara dengan significant other 1 subjek pertama

Circle K, Jl. Gubernur Suryo, Surabaya 5. Kamis, 28 Juli 2016 Wawancara dengan

significant other 2 (rekan kerja) subjek pertama

Rumah significant other, Jl. Kedondong Kidul Gang 3 Surabaya

6. Jumat, 29 Juli 2016 Wawancara dengan significant other pelatih

SDN Klampis Ngasem 5, Jl. Manyar Tirtoyoso Selatan No. 1 Surabaya 7. Minggu, 31 Juli 2016 Wawancara dengan

subjek ketiga

Rumah subjek, Jl. Babadan Rukun 1, Surabaya

8. Minggu, 31 Juli 2016 Wawancara dengan significant other 1 subjek ketiga

Rumah significant other, Jl. Babadan Rukun 1, Surabaya

9. Selasa, 2 Agustus 2016

Wawancara dengan significant other 2 (rekan kerja) subjek ketiga

(72)

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Hasil Temuan

Dari hasil penelitian ini, ditemukan jawaban sesuai fokus penelitian yaitu bagaimana dimensi dan faktor-faktor apa saja yang mendukung penyandang tunadaksa melakukan self-disclosure. Dimensi self-disclosure yang dimaksud dalam penelitian ini berdasarkan dimensi-dimensi self-disclosure yang dikemukakan oleh Morton (1978), yaitu descriptive self-disclosure dan evaluative self-disclosure (dalam Sears 2001). Sedangkan faktor-faktor self-disclosure berdasarkan faktor self-disclosure yang dikemukakan oleh Derlega, dkk (1987), yakni budaya,

gender, besar kelompok, perasaan menyukai atau mempercayai,

kepribadian dan usia (dalam Ifdil 2013).

Berdasarkan hasil wawancara yang mengacu pada dimensi-dimensi self-disclosure dari Morton (197) dan factor-faktor self-disclosure dari Derlega, dkk (1987), peneliti menemukan beberapa temuan lapangan yang dimasukkan ke dalam tema-tema sebagai berikut.

a. Dimensi-dimensi Self Disclosure

Menurut Morton (1978), terdapat dua dimensi dari pengungkapan diri, yaitu:

1) Descriptive Self Disclosure

(73)

pribadi, seperti riwayat keluarga, kebiasaan-kebiasaan, dan lain-lain.

a) Subjek Pertama

Subjek O berbagi informasi kepada teman-temannya hanya sebatas hobby saja, yakni touring dan helm.

Biasae kadang kaya touring-touring (Wcr1B127). Ya helm terus sama apa ya anak-anak temen-temen sekolah gitu (Wcr1B130).

Hal ini juga dibenarkan oleh Subjek B sebagai rekan kerja dan temannya bahwa mereka mengobrol tentang motor dan komunitas helm Subjek O.

Motor kebanyakan hahaha (Wcr3B37). He’em… ikut komunitas helm (Wcr3B41)

b) Subjek Kedua

Subjek I jika dengan orang yang tidak dekat dengannya, subjek I cenderung tertutup dan tidak banyak bicara. Berbicara hanya waktu subjek I butuh informasi atau sekedar berbagi informasi tentang perkuliahan.

(74)

c) Subjek Ketiga

Subjek A juga berbagi informasi yang sifatnya kurang pribadi dengan orang yang tidak dekat dengannya seperti aktivitas olahraga pagi kepada tetangga yang melihatnya.

Ya biasa aja itu Mbak ya anggep ae… wis kalau pagi latihan di sini ya biasa. “lapo wong iki kok pagi-pagi sudah bangun?” wis lari-lari gitu aja wis istilahe biasa

aja gitu loh Mbak orang kampung sini (Wcr6B171).

Sedangkan subjek O, subjek I, dan subjek A sebagai atlet saat bersama subjek P membicarakan tentang latihan, program hingga nasihat untuk tetap latihan karena subjek O, subjek I, dan subjek A rajin datang latihan jika mendekati perlombaan saja.

Kalau sharing mengenai latihan bisa… latihan sharing di luar latihan gak pernah hanya dia sharing-nya itu tanya-tanya program. Kalau O seh susah dibilangin tapi pas lomba nurut (Wcr9B66). Susah kalau mau latihan itu event masih lama, gak bisa dibilangin. Lebih-lebih mengalihkan perhatian (Wcr9B72).

2) Evaluative Self Disclosure

(75)

a) Subjek Pertama

Subjek O mengungkapkan masalah pribadinya mengenai pekerjaan kepada orang-orang terdekat, seperti ketika subjek O mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Kalau masalah biasane sering itu masalah kerja. Masalah pekerjaan (Wcr1B120). Sebenere aku iku asline wis males kerjo ikut orang iku, yawis males pengene buka usaha dewe. Dulu sempet seh tahun kemarin, aku seh gabunge ket awal eh ket akhir 2014 (Wcr1B316). Rapat, solusie pasti ada anak-anak punya solusi dewe-dewe cuma si ketuae iku gak mau make

solusie anak-anak sebenere de’e iku pengene gawe opo

yo gawe solusine de’e dewe cuma arek-arek iku gak ono seng setuju, yawis iku akhire aku ngomong ambek pas iku kan iku ono pegawaine kono seng metu soale yo gak kerasan delo

Gambar

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Wawancara
Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial …………………………………..Gambar 2. Skema Temuan Tema Subjek O …………………………………..Gambar 3
Gambar 1. Skema Teori Pertukaran Sosial
Tabel 1.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Uji multilokasi sembilan galur kedelai hasil pemilihan dari uji daya hasil pendahuluan, satu varietas introduksi dan empat varietas pem- banding dilaksanakan di lahan kering

Pengamatan yang dilakukan merupakan langkah analisa terhadap struktur kalimat, motif, frase dan bagian/periode yang terdapat dalam karya musik Panca Indra komposer

Dari hasil single score diperoleh dampak lingkungan terbesar pertama yaitu fossil fuels yang didapatkan dari proses produksi Lego yang menggunakan bahan plastik,

(6) Dalam melaksanakan tugas teknis tertentu, Pemimpin Bagian Proyekj wajib berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kepala Dinas yang menangani Perkebunan, Tanaman Pangan &

Antara iktibar yang boleh dicontohi daripada semangat nasionalisme pemimpin tempatan bagi mengekalkan kedaulatan negara ialah mempunyai semangat juang yang kental supaya tidak

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam menulis jurnal belajar, mengetahui

Setelah nilai dari sunk cost telah diperoleh, maka nilai sunk cost akan dimasukkan ke dalam perhitungan biaya diferensial terhadap keputusan terhadap aset tetap

Kurva respon tumbuh $FRQYXOXWXV terhadap pH yang berbentuk fungsi normal sejalan dengan anggapan sebelumnya, bahwa faktor pH merupakan faktor non- sumber daya yang pada