• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi-Februari 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institusi-Februari 2008"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI FEBRUARI 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a ft a r I si

70 Persen Perda di Jawa Eksploitatif --- 1

MPS Tolak Rencana APBD Sumatera Utara --- 2

Pilkada Kota Bekasi Mustahil Diulang --- 3

Pilkada Kota Bekasi --- 5

Sengketa Pilkada Dapat Diselesaikan di MK --- 6

Draf Tahapan Pemilu --- 7

Penetapan Pemilih Pilkada Sumut --- 9

Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Segera Revisi UU Otonomi --- 10

Mengawinkan Otonomi Institusi dengan Otonomi Masyarakat --- 11

Batasan Revisi UU 32/2004 Mesti Dipertegas --- 14

Indonesia Alami Sindrom Otoritarian --- 15

Pilkada dan Calon Perseorangan --- 16

Dibatalkan, Kemenangan Irianto di Pilkada Bangkep --- 18

Pemerintah Bisa Terapkan Perpres 36/2005 --- 19

Materi Revisi UU No 32/2004 Dibatasi Waktu --- 20

Menghapus Pilkada Langsung --- 21

Silakan Protes asal Pilkada Bisa Berlangsung Tanpa Ekses --- 23

Perda Syariah tak Jadi Prioritas --- 24

Petani Keluhkan Kelangkaan Urea Bersubsidi --- 25

Rakyat Papua Tolak Pemekaran--- 26

Menanti Undang-undang Pemilu --- 28

Revisi UU No. 32 Harus Selesai April 2008 --- 29

Pengesahan RUU Pemilu Jangan Molor Lagi --- 31

Perpres Pangan Langkah Panik Pemerintah --- 33

Nasib Pilkada DIY Ditentukan Mei --- 35

Daerah Pemilihan Diminta Tidak Diubah --- 36

Pemerintah Belum Berniat Revisi UU Pers --- 37

Pilkada Ditargetkan Awal Agustus --- 38

Pemerintahan di Era Reformasi tanpa "Blue Print" --- 40

Pilkada Bali Habiskan Rp 56 Miliar --- 41

Djoko Sarwoko: Keributan Pilkada Dibuat Elite Politik --- 42

(4)

Pilkada dalam UUD 1945 --- 44

Otsus Papua Dikebiri --- 47

Anggaran Pendidikan Dipangkas --- 48

Voting Blok Tentukan RUU Pemilu --- 49

Desk Pilkada Mulai Bekerja --- 51

Pengaduan Pilkada Mulai Mengalir --- 52

UU Pemilu Makin Ditunggu --- 53

Sidang Gugatan Pilkada Diwarnai Unjuk Rasa --- 54

'Perda PPU Belum Efektif' --- 55

Sosialisasi Perda Tibum Belum Optimal --- 56

KPU Bisa Kerja Tanpa Menunggu UU Selesai--- 58

MRP Menolak RUU Pemekaran Papua --- 60

RUU Susduk, Pimpinan MPR Usulkan Tambahan Tugas --- 61

Depdagri Tak Akan Campuri Pilkada Malut --- 62

Pilkada Kota Jambi --- 63

Pemprov DKI Tetap akan Jalankan Perda Tibum --- 64

Tim Asmara Ajukan Memori Kontra PK --- 65

Angka Kemiskinan Aceh Lebih Rendah daripada Sebelum Tsunami --- 66

Pilgub Jateng Kemungkinan Diikuti Lima Pasangan --- 67

Problematika Pilkada dalam Kacamata Publik --- 68

Politik Cuci Tangan --- 69

Pemilih Bertambah di Pilkada Bone --- 71

Idris Galigo Unggul di Pilkada Bone --- 72

Pilkada, Kedaulatan Rakyat Kian Jauh--- 73

Aturan Kampanye Pilkada Jabar Belum Bisa Disahkan --- 75

Tenggat Penghitungan Pilkada Malut Hampir Terlampaui --- 76

Rekapitulasi Ulang Pilkada Malut Digelar Besok --- 77

Tahapan Pilkada Dilanggar --- 79

MA Tolak Uji Materi Perpres tentang BPLS --- 81

DPR Didesak Bahas RUU Komponen Cadangan --- 82

Golput Ancam Pilkada Sumut --- 83

Setelah Otonomi Daerah, BLK Kurang Perhatian --- 84

RUU Pemilu akan di Voting--- 85

(5)

Panmus Kirim Hasil Pilkada ke Mendagri --- 90

Dana Otsus Jayapura Kecil--- 92

Jabar Siap Gelar Pilkada Damai --- 93

Premanisme Politik Menyebabkan Hilangnya Kontrol Masyarakat --- 94

Lobi RUU Pemilu Berjalan Alot --- 95

RUU Pemilu Akan Divoting --- 97

Lobi Buntu, RUU Pemilu Divoting--- 99

Menhut: PP 2/2008 Tak Akan Dicabut ---101

Perda Bias Agama di Metropolitan ---103

Semua Masalah Harus Selesai Sebelum UU Pemekaran Diterbitkan ---105

Penetapan RUU Pemilu Ditunda ---106

Pilkada Tolok Ukur Fungsionaris Golkar ---108

DPR Siap Voting RUU Pemilu ---110

Sistem Pilkada Tidak Mungkin Diubah ---113

Proses Hukum Pilkada Malut Telah Selesai ---114

Kematian Politik Ruang ---115

Politik yang "Datar" ---117

Disiapkan, Uji Materiil PP 2/2008 ---119

(6)

Kompas Jumat, 01 Februari 2008

7 0 Pe r se n Pe r d a d i Ja w a Ek sp loit a t if

Jumat, 1 Februari 2008 | 07:51 WIB

Jakarta, Kompas - Hasil Kajian Daya Dukung dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pulau Jawa Tahun 2007 menunjukkan, 70 persen peraturan daerah di seluruh kabupaten/kota bersifat eksploitatif.

”Sebagian besar tidak memerhatikan daya dukung lingkungan. Air, misalnya, tidak dilihat faktor ketersediaan dan potensi maksimum yang boleh dieksploitasi,” kata anggota tim yang juga pengajar ilmu kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, di Jakarta, Kamis (31/1). Program pengkajian dikoordinasi Menko Perekonomian.

Perda-perda itu juga kurang memerhatikan faktor kolaborasi dan kepentingan khalayak ramai karena penyusunan perda tidak melibatkan partisipasi warga dan pemangku kepentingan lain seperti lembaga swadaya masyarakat.

”Perda yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi banyak orang dihasilkan dari proses pelibatan pemangku kepentingan,” katanya. Hasil kajian akan dipresentasikan di hadapan Menko Perekonomian pada 21 Februari 2008.

Sejauh ini faktor eksploitatif tidak menjadi kriteria pencabutan perda oleh Departemen Dalam Negeri. Pencabutan perda karena bertentangan dengan undang-undang dan pertimbangan ekonomi biaya tinggi.

Sementara itu, terkait keberlanjutan fungsi lingkungan, Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dan The Nature Conservancy (TNC) menandatangani kerja sama pengelolaan hutan lestari.

Pihak TNC membantu teknis pengelolaan hutan berkelanjutan, memfasilitasi dialog industri dengan masyarakat, sertifikasi produk hutan, dan menghubungkan dengan pasar. ”Awalnya susah, tetapi belakangan ada kemudahan untuk bermitra,” kata Country Director TNC Rili Djohani.

(7)

Kompas Jumat, 01 Februari 2008

M PS Tola k Re n ca n a APBD Su m a t e r a Ut a r a

Jumat, 1 Februari 2008 | 08:52 WIB

Medan, Kompas - Masyarakat Pendidikan Sumatera Utara menolak Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumut 2008 karena nilainya terlalu rendah. Anggaran itu jauh dari kebutuhan sebenarnya dan melecehkan amanat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran.

”Kami menolak anggaran pendidikan ini. Ini jelas jauh lebih kecil dari amanat undang-undang. Kami meminta agar ada revisi alokasi anggaran itu,” tutur Koordinator Masyarakat Pendidikan Sumut (MPS) Deni B Saragih, Kamis (31/1), di sela-sela diskusi mengupas anggaran pendidikan APBD Sumut.

Menurut Deni, banyak persoalan pendidikan yang memerlukan perhatian, seperti rehabilitasi sekolah rusak dan perbaikan kesejahteraan guru. Sikap penolakan mula-mula didesakkan oleh pendiri Yayasan Sultan Iskandar Muda, Sofyan Tan. Sofyan menilai, selain kecil, alokasi dana pendidikan banyak yang salah sasaran. Salah satu bentuk kesalahan itu adalah pemberian bantuan ke sekolah.

”Banyak sekolah di pinggiran kota yang belum banyak menikmati bantuan. Bantuan selama ini banyak diterima sekolah yang sudah maju. Bagaimana sekolah yang berbeda sarana pendidikannya melakukan ujian nasional dengan soal yang sama,” kata Sofyan yang juga anggota dewan pendidikan Sumut.

Penolakan serupa didukung oleh anggota DPD asal Sumut, Parlindungan Purba. ”Saya setuju asal penolakan ini lepas dari unsur politik apa pun. Memang anggaran tahun ini banyak tersedot oleh agenda politik. Padahal, anggaran itu mestinya bisa dipakai untuk memperbaiki sekolah rusak, misalnya,” katanya.

Penolakan terhadap APBD diatur dalam mekanisme penyusunan anggaran, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Elfanda Nanda mengatakan, sebelum disahkan, masyarakat bisa melakukan protes jika komposisi anggaran dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

Dia menuturkan, komposisi anggaran pendidikan di APBD Sumut tahun 2008 lebih buruk dari 2007. Tahun ini anggaran bidang pendidikan senilai 3,2 persen dari total anggaran yang ada Rp 3,1 triliun yang setara dengan Rp 102 miliar. Alokasi anggaran ini Rp 25 miliar untuk belanja tidak langsung dan Rp 76 miliar untuk belanja langsung atau belanja publik.

Adapun anggaran Dinas Pendidikan 2007 Rp 91 miliar yang terdiri atas Rp 20 miliar untuk belanja tidak langsung dan Rp 70,9 miliar belanja langsung untuk 10 program. Namun, hanya enam program yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat.

(8)

Pikiran Rakyat Juimat, 01 Februari 2008

Pilk a d a Kot a Be k a si M u st a h il D iu la n g

D i Pur w a k a r t a , Kubu Lily da n Bur ha n La y a ngk a n Guga t a n

BEKASI, (PR).-

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi menyatakan mustahil pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa diulang, meskipun terbukti ada pelanggaran dalam tahapannya, terutama yang berhubungan dengan hasil penghitungan suara.

Demikian ditegaskan Ketua KPU Kota Bekasi Achmad Herry, Kamis (31/1) kemarin. Penegasan itu disampaikan untuk menanggapi tuntutan para pengunjuk rasa yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Bekasi Menggugat (AMBM) di depan kantor KPU Jln. Ir. H. Juanda, Kota Bekasi. "Dalam aturan yang ada, tidak disebutkan adanya pilkada ulang. Yang ada adalah penghitungan suara ulang pada daerah-daerah yang dianggap telah terjadi pelanggaran," katanya.

Dalam aksinya, sekitar 200 massa AMBM menyerukan agar KPU segera menyelenggarakan pilkada ulang karena telah terjadi kecurangan yang mencoreng slogan pilkada, yaitu jujur dan adil. Kecurangan-kecurangan yang terjadi selama masa tahapan pilkada itu berupa fitnah, manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), petugas yang tidak netral, dan pembagian sembako. Di akhir orasinya, mereka bahkan mengancam akan membawa massa lebih banyak lagi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Sementara itu, meskipun hasil penghitungan suara dari 12 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) telah tiba di KPU, pelaksanaan pleno di tingkat KPU belum dilakukan. "Kemungkinan besar pleno penetapan pemenang dilaksanakan pada Sabtu mendatang sesuai dengan jadwal," kata Achmad Herry.

Sementara itu, anggota KPU Tb. Hendy Irawan menyebutkan semua pasangan telah menyerahkan laporan dana kampanye mereka. "Kini tengah diaudit oleh akuntan independen," ucapnya.

Sedangkan hasil audit baru diumumkan pada 14 Februari 2008. Itu berarti hasil baru akan diketahui setelah pasangan calon yang dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Kota Bekasi ditetapkan oleh KPU.

Layangkan gugatan

Sementara itu, dari Kab. Purwakarta dilaporkan pasangan calon bupati dan wakil bupati yang kalah dalam pilkada, melalui pengacaranya melayangkan gugatan pilkada ke Pengadilan Tinggi (PT) melalui Pengadilan Negeri (PN) setempat.

Kubu pasangan Lily Hambali Hasan-Endang Koswara (LE), mempersoalkan keluarnya surat edaran KPU tanggal 19 Januari 2008 tentang pemilih yang belum terdaftar dan bisa menggunakan KTP untuk memilih.

Sementara itu, kubu pasangan Burhan Fuad-Nana Syamsudin mempersoalkan tentang KPU yang tidak menggunakan dan atau mengesampingkan peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2007.

(9)

Pikiran Rakyat Jumat, 01 Februari 2008

(10)

Suara Pembaruan Jumat, 01 Februari 2008

Pilk a da Kot a Be k a si

Aliansi Minta Pilkada Ulang

[BEKASI] Aliansi Masyarakat Bekasi Menggugat (AMBM) meminta Pilkada Kota Bekasi diulang. Mereka menilai pilkada yang dilaksanakan pada 27 Januari 2008 lalu tidak mencerminkan hak demokrasi warga.

"Pilkada telah dinodai maraknya black campaign, money politics, dan intimidasi. Kecurangan lainnya adalah manipulasi data pemilih," kata koordinator AMBM, Marlon, saat berunjuk rasa di depan Kantor KPUD Kota Bekasi, Kamis (31/1).

Menurutnya, KPUD tidak profesional menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pilkada. "Amburadulnya daftar pemilih tetap (DPT) membuat ribuan warga Kota Bekasi tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Petugas juga tidak netral dalam menyelenggarakan pilkada. Kinerja KPUD juga tidak optimal sehingga muncul berbagai kecurangan. Ini akhirnya berdampak pada hasil pilkada," kata Marlon yang membawa ratusan massa untuk berunjuk rasa di KPUD Kota Bekasi.

Menanggapi permintaan itu, Ketua KPUD Kota Bekasi Achmad Herry usai berdialog dengan perwakilan demonstran menerangkan, pihaknya belum menerima bukti-bukti pelanggaran selama pilkada berlangsung. "Namun demikian aspirasi mereka tetap ditampung. Seharusnya pelanggaran pilkada ditujukan ke Panwas Pilkada, bukan ke KPUD," jelas dia.

Ia menambahkan, UU tidak mengenal istilah pilkada ulang. "Yang diatur dalam UU No 34 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2003 adalah, pemungutan dan penghitungan suara dapat diulang di TPS yang bermasalah. Sedangkan proses pilkada yang tertunda akibat kerusuhan atau bencana alam. UU membenarkan untuk dilanjutkan kembali jika situasi sudah kondusif," jelas Herry.

MuRah Unggul

Menurut data hasil perhitungan sementara KPUD Kota Bekasi hingga Kamis (31/1), menunjukkan pasangan Mochtar Mohamad-Rahmat Effendi (MuRah) menang mutlak di seluruh kecamatan yang ada di Kota Bekasi dengan memperoleh suara terbanyak yaitu sebesar 358.262 suara.

Sementara itu, rival terdekatnya pasangan Syaikhu-Kamaludin Djaini (SuKa) memperoleh suara sebanyak 301.680. Sedangkan pasangan Awing-Ronny memperoleh 64.412 suara. Jumlah total suara yang masuk ke KPUD sebanyak 724.354 suara. Dan sisanya 443.830 golput atau tidak memilih pada saat pencoblosan. Jumlah pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Pilkada Kota Bekasi mencapai 1.168.875 orang dengan jumlah bilik suara 2.568 TPS.

(11)

Suara Pembaruan Jumat, 01 Februari 2008

Se ngk e t a Pilk a da D a pa t D ise le sa ik a n di M K

[JAKARTA] Selama ini sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Namun, seharusnya, sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum sengketa itu dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Tidak ada perbedaan antara sengketa pilkada diselesaikan di MA atau MK. Sesuai dengan UU Pemilu, sengketa itu dapat diselesaikan di MK. Pilkada itu bagian dari pemilu," ujar mantan tenaga ahli MK, Irman Putra Sidin kepada SP seusai diskusi bertema "Peranan Lembaga Yudikatif dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilihan Umum" di Jakarta, Kamis (31/1).

Dalam diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) itu hadir pula anggota KHN Mohammad Fajrul Falaakh dan mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Topo Santoso.

Menurut Topo, dalam penyelesaian sengketa pilkada atau pemilu dibutuhkan peradilan yang kredibel dan putusannya tidak meragukan.

Selain itu, hakim yang menangani sengketa pilkada atau pemilu harus memiliki pengetahuan mengenai tahapan-tahapan pemilihan. "Jangan sampai peradilan itu berpihak pada satu kelompok," kata Topo.

Selama ini di Indonesia, sengketa hasil pemilu diselesaikan oleh MK sedangkan untuk pilkada oleh MA. Jika mengacu pada UUD 1945 penyelesaian pilkada akan menjadi wewenang MK.

(12)

Suara Pemabruan Sabtu, 02 Februari 2008

D r a f Ta h a p a n Pe m ilu

KPU Masih Gunakan UU Lama

[JAKARTA] Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang molor akan mengancam sejumlah agenda tahapan pemilu yang telah disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Draf tahapan pemilu baru dapat disahkan setelah ada pengesahan RUU Pemilu menjadi undang-undang.

Draf tahapan pemilu yang disusun KPU masih merujuk pada UU Nomor 12/2003 tentang Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam draf itu disusun pendaftaran calon anggota DPD yang dimulai pada 9 Februari hingga 9 Maret 2008.

Draf (tahapan Pemilu) belum dapat disahkan jika RUU Pemilu belum selesai. Saya sudah bilang waktu di rapat dengar pendapat (dengan DPR) untuk dimajukan pendaftaran calon legislatif. Artinya, kita sudah menyampaikan hal itu," kata anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati di Jakarta, Jumat (1/2).

Ia menjelaskan, jika sampai Maret 2008 RUU Pemilu belum selesai, semua jadwal akan mundur dan saling berbenturan. Sebab, bisa berbenturan antara pendaftaran verifikasi partai politik dengan pendaftaran perseorangan.

Misalnya, sambung Nurpati, jika mengikuti tahapan pemilu yang disusun KPU untuk pencalonan anggota DPD pada 9 Februari 2008, hanya tersisa waktu satu pekan. Sedangkan RUU Pemilu masih belum selesai digodok di DPR.

"Tahapan pemilu untuk anggota DPD itu terancam tidak tepat waktu. Konsekuensi dari tidak tepat waktu itu akan berbenturan dengan jadwal lain," ujarnya.

Karena itu, ia berharap RUU Pemilu segera disahkan sedangkan pembahasan RUU Pemilu di DPR masih berlangsung alot. Sedangkan untuk pengajuan calon anggota DPR oleh parpol mulai dilakukan September 2008.

"Untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD, kita berharap dimajukan tiga atau empat bulan (dari jadwal September). Sebab, dulu persoalan yang muncul di pemilu yang lalu antara lain karena pengadaan dan distribusi surat suara yang terlambat sehingga dalam perbaikan UU pemilu sebaiknya dimajukan dari perbandingan pemilu lalu," kata Nurpati.

Dimajukan

Saat pelaksanaan Pemilu 2004, paparnya, diperlukan waktu untuk tender, kemudian distribusi kartu pemilu dari pusat ke daerah. Selain itu, daerah juga membutuhkan waktu untuk menyortirnya.

Kalau persoalan lalu tidak ingin terulang, sarannya, perlu memajukan tahapan pemilu bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan dimajukannya tahapan pemilu bagi calon anggota legislatif, pelaksanaan pemilu legislatif diharapkan dapat tepat waktu pada 5 April 2009. "Draf yang kita buat masih mengikuti UU Nomor 12/2003 semua," katanya.

(13)

Suara Pembaruan Sabtu, 02 Februari 2008

Ia juga menjelaskan, saat ini KPU baru menyelesaikan draft tahapan pemilu calon legislatif sedangkan draf tahapan pemilihan presiden sudah disiapkan. "Draf tahapan pilpres sudah kami siapkan, tapi masih mengikuti jadwal lama (pertengahan September 2009) sehingga bisa tepat waktu," ujar Nurpati.

Sementara itu, pengamat politik Ramlan Surbakti mengatakan sebaiknya jumlah kursi antara 3-12 untuk tiap daerah pemilihan tetap dipertahankan. Partai-partai politik besar akan lebih diuntungkan jika jumlah kursi dikurangi.

Selain itu, menurut Ramlan, Indonesia sebaiknya menganut sistem parliamentary treshold. Pertimbangannya, dalam sistem electoral treshold (ET), parpol memperoleh kursi namun harus mengganti nama pada pemilu berikutnya karena tidak memenuhi ET.

(14)

Suara Pembaruan Sabtu, 02 Februari 2008

Pe n e t a p a n Pe m ilih Pilk a d a Su m u t

[MEDAN] Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut), Jumat (1/2) menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pemilihan kepala daerah (Pilkada) Sumut periode 2008-2013 sebanyak 8.457.296 jiwa. Penetapan tertunda dua kali yang seharusnya ditetapkan 16 Januari lalu.

"Dengan ditetapkannya DPT hasil rekapitulasi 26 kabupaten kota ini, ji- ka ada pemilih yang belum terdaftar, sudah tertutup kemungkinan pendaftaran," kata Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution, di Medan, Jumat (1/2).

Hasil DPT yang ditetapkan tersebut tidak berbeda jauh hasilnya dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yakni 8,3 juta. Dari DPT yang ditetapkan, jumlah pemilih perempuan yakni 4,18 juta lebih banyak daripada pemilih laki-laki yakni 4,27 juta.

"Para pemilih itu diharapkan ikut menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara yang di-tetapkan sebanyak 22.976 buah," katanya.

Dari lima pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) belum ada yang memenuhi persyaratan.

"Kelihatannya tidak ada pasangan calon yang serius mendaftar sebab sampai saat ini belum cagub dan cawagub yang lengkap persyaratannya," katanya.

Didiskualifikasi

Lima pasangan cagub-cawagub yang mendaftar yakni Ali Umri-Maratua Simanjuntak, RE Siahaan-Suherdi, Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Syafei, dan Tritamtomo-Benny Pasaribu.

Pasangan cagub-cawagub akan ditetapkan 8 Februari mendatang. Jika ada calon yang tak memenu- hi persyaratan akan di- diskualifikasi oleh KPU Sumut.

(15)

Jurnal Nasionla Minggu, 03 Februari 2008

Nasional | Jakarta | Minggu, 03 Feb 2008 18:41:03 WIB

Kom isi Pe m e r in t a h a n D a la m N e g e r i Se g e r a Re v isi

UU Ot on om i

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Chozin Chumaidy mengungkapkan, komisi DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria tersebut akan segera menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, tiga hal utama akan menjadi fokus dalam revisi UU 32/2004.

Pertama, untuk memberikan payung hukum bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada. Kedua, mengisi kekosongan hukum UU 32/2004 tersebut, seperti pengisian kekosongan wakil kepala daerah. "Saat ini, terdapat delapan wakil kepala daerah yang kosong karena menggantikan posisi kepala daerah yang meninggal atau berhenti," ujar Chozin kepada Jurnal Nasional, Ahad (3/2).

Ketiga, pengaturan pilkada agar lebih jujur dan adil. Dengan ketentuan bahwa incumbent harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, jika yang bersangkutan mencalonkan lagi sebagai kepala daerah. Menurut Chozin, hal ini perlu diatur agar ada fairness dalam pelaksanaan pilkada dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

(16)

Jurnal Nasional Senin, 04 Februari 2008

Op in i

M e n g a w in k a n Ot on om i I n st it u si d e n g a n Ot on om i

M a sy a r a k a t

Senin, 04 Feb 2008

OTONOMI daerah yang digulirkan sejak tahun 1999 hingga saat ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah paradigma otonomi yang terkandung dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 bisa membangun tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, apakah otonomi berdaya guna bagi pengembangan masyarakat di daerah? Otonomi atau desentralisasi di Indoensia pasca-reformasi 1998 tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sipil, karena yang paling dominan menikmati kue otonomi hanya segelintir elite pemerintah daerah dan elite masyarakat (societal actors). Desain otonomi seharusnya meletakkan otonomi institusi sejajar dengan otonomi masyarakat. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut perbincangan Iman Syukri dari Jurnal Nasional dengan Peneliti Politik LIPI Dr. Syarif Hidayat:

Anda mengemukakan teori Shadow State terjadi di Kabupaten Banten, apa yang mendasarinya?

Suatu hari saya dikirimi buku dari kawan saya di Belanda Gerry Van Klinken tentang Shadow State di Afrika Selatan. Shadow State bukan teori baru, ia pertama kali diperkenalkan oleh William Reno. Tapi saya coba memahami shadow state dan mengghasilkan kesimpulan, ternyata ada karakteriktik yang bisa diterapkan dalam konteks Indonesia. Dengan antara lain mencoba melihat apakah memang ada shadow state di daerah otonom di Indionesia. Banten saya pilih untuk meneliti apakah ada praktik shadow state di Banten. Ternyata aktor utama shadow state di Banten adalah pengusaha dan Jawara. Ini perlu diklasifikasi juga, karena hampir semua pengusaha di Banten adalah Jawara. Kewenangan ini bisa menjadi identitas ganda dalam, satu individu. Dan pengusaha yang sekaligus menjadi Jawara inilah yang sangat dominan. Sedangkan jika hanya menjadi pengusaha tidak begitu dominan seperti kelompok pertama.

Apakah Banten bisa menggambarkan terjadi praktik Shadow State di daerah lain di Indonesia?

Walaupun riset ini di Banten, tapi bisa digeneralisasi untuk daerah-daerah lain dalam konteks Indonesia. Shadow satate itu punya hipotesis bahwa terdapat poros-poros kekuasaan yang di luar struktur formal pemerintahan yang mempengaruhi proses pengambilan kebijakan dan implementasinya. Aktornya beraneka ragam, dalam kasus Banten, ada Jawara dan pengusaha. Di daerah lain bisa pengusaha dan ulama.

Faktor apa yang bisa menjelaskan kondisi ini terjadi?

(17)

Jurnal Nasional Senin, 04 Februari 2008

Bagaimana akses tersebut diraih?

Societal actors ini adalah eliter-elite masyarakat yang sejak Orde Baru memiliki sumberdaya ekonomi, sosial dan politik yang cukup kuat. Sumberdaya ekonomi dimiliki oleh pengusaha, sementara politik bahkan sumberdaya fisik antara lain muncullah para jawara, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain. Orang-orang lama inilah yang diuntungkan dengan reformasi. Mereka ini sebagian masuk dalam struktur pemerintah, kalau sudah masuk pemerintah tidak bisa disebut shadow state. Nah aktor-aktor di luar inilah yang disebut sebagai aktor shadow state.

Apa yang Anda maksud dengan More State?

More state itu sama tapi tidak sebangun dengan sentralisasi di tingkat lokal. Artinya pemerintah daerah tetap menjadi lebih dominan dalam proses pengambilan keputusan. Idealnya di era reformasi dalam otonomi ini diharapkan dapat membentuk tatanan pemerintahan yang demokratis. Di mana peran dari masyarakat dan negara itu menjadi seimbang dan terjadi relasi yang dinamis dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Persoalannya ketika masyarakat sipil itu didominasi oleh societal actors, maka mereka inilah yang paling banyak menikmati reformasi dan otonomi. Nah peran pemerintah daerah itu harus dominan agar kepentingan societal actors tersebut bisa dibatasi oleh pemerintah.

Bagaimana dengan mekanisme desentralisasi itu sendiri?

Desentralisasi itu kan artinya penyerahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Dengan demikian pemerintah daerah bisa dengan leluasa mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat dan memutuskan kebijakan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Masalahnya karena masyarakat ini belum siap, maka penyerahan kewenangan yang besar kepada daerah lebih banyak dinikmati oleh elite pemerintah daerah dan societal actors tadi, bukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Jadi menurut saya, otonomi kita ini lebih menekankan pada otonomi pemda, dan kurang memberikan menfaat bagi tumbuh dan kembangnya otonomi masyarakat. Kalau baca dan perhatikan pasal demi pasal mulai dari UU No 22/1999 sampai pada UU No 32 tahun 2004, tidak ada satu pun pasal yang menekankan pada otonomi masyarakat. Misalnya mekanisme pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan maupun mekanisme pengawasan kebijakan hanya dijelaskan secara umum. Seharusnya dijealaskan bagaimana hak masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintah. Dalam sistem otonomi ini hak masyarakat dalam mengawasi sering dilupakan.

Bagaimana menjelaskan hak masyarakat dalam konteks keterwakilan?

Kalau dalam otonomi masyarakat, apalagi dipadukan dalam konsep Pilkadal, idealnya civil society memiliki hak yang jelas dalam proses pengambilan keputusan dan mengawasi pelaksanaannya. Karena civil society itu memilih kepala daerah secara langsung. Oleh karena itu mereka harus memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan mengawasinya.

Cara dan polanya seperti apa?

(18)

Jurnal Nasionla Senin, 04 Februari 2008

Menurut Anda, perlu revisi UU Pemda?

Iya. Revisi UU Pemda dengan mengawinkan otonomi institusi dengan otonomi masyarakat. Kalau ini bisa diterapkan maka shadow state akan bisa diminimalkan.

(19)

Kompas Senin, 04 Februari 2008

Ba t a sa n Re v isi UU 3 2 / 2 0 0 4 M e st i D ip e r t e g a s

Senin, 4 Februari 2008 | 01:57 WIB

Jakarta, Kompas - Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah berpotensi melebar keluar dari fokus pembahasan, yaitu menyangkut calon perseorangan.

Hal itu terlihat dari tanggapan pemerintah atas RUU inisiatif DPR yang sebenarnya hanya untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka kesempatan majunya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Oleh karena itu, perlu ketegasan DPR soal batas revisi atas UU No 32/2004 itu, dengan prioritas ketentuan bagi calon perseorangan maju dalam pilkada.

Anggota Komisi II DPR Chozin Chumaidy (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan), Sabtu (2/2) di Jakarta, misalnya, berpendapat, revisi bisa sekaligus untuk mengisi kekosongan hukum UU No 32/2004. Misalnya, masalah pengisian kekosongan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal atau berhenti.

Selain itu, juga untuk mengatur pilkada yang lebih adil, yaitu dengan pengaturan calon bertahan (incumbent) harus mundur dulu sebagai kepala daerah jika hendak mencalonkan diri lagi.

Secara terpisah, anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) di Bali juga menyebutkan, revisi UU No 32/2004 bisa sekaligus memperbaiki ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan pilkada.

Prioritas

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar) mengingatkan bahwa naskah RUU inisiatif DPR dibuat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Prinsipnya, ketentuan soal calon perseorangan mesti diprioritaskan. Kalaupun kemudian muncul keinginan memasukkan substansi selain calon perseorangan, hal itu harus dipertegas dengan kesepakatan DPR bersama pemerintah.

Misalnya, jika dalam selang waktu tertentu soal-soal lain itu belum tuntas dibahas, DPR dan pemerintah memutuskan menyetujui undang-undang yang khusus memuat ketentuan soal calon perseorangan dulu.

(20)

Kompas Senin, 04 Februari 2008

I n d on e sia Ala m i Sin d r om Ot or it a r ia n

Senin, 4 Februari 2008 | 02:00 WIB

Jakarta, Kompas - Belum berhasilnya elite politik mewujudkan cita-cita reformasi, khususnya di bidang ekonomi, membuat bangsa Indonesia mengalami sindrom otoritarian. Jika tidak segera diatasi dengan membuat demokrasi yang lebih efisien dan menyejahterakan rakyat, sindrom itu dapat membawa Indonesia kembali ke otoritarianisme.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Minggu (3/2), menuturkan, munculnya sindrom otoritarianisme ini antara lain ditandai dengan adanya anggapan bahwa masa lalu, terutama Orde Baru, lebih baik dibandingkan dengan saat ini. Gejala lain adalah adanya penurunan dukungan terhadap partai politik dan sinisme pada demokrasi.

Mulai diliriknya militer untuk menduduki sejumlah jabatan sipil juga menjadi gejala munculnya sindrom tersebut.

Untuk mencegah meluasnya sindrom ini, harus ada efisiensi dalam mekanisme demokrasi agar tidak menyedot terlalu banyak dana dan energi, seperti yang selama ini dikeluhkan. Demokrasi juga harus dibuat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia Andrinof Chaniago menambahkan, yang juga perlu dibangun adalah jenjang karier yang jelas bagi elite sipil dalam berpolitik. Untuk itu, perlu adanya mekanisme yang terbuka di setiap partai politik.

(21)

Kompas Senin, 04 Februari 2008

Pilk a da da n Ca lon Pe r se or a nga n

Senin, 4 Februari 2008 | 02:01 WIB

AJ Susmana

Indonesia memasuki babak baru dalam politik kepemimpinan daerah, yaitu dengan dibukanya saluran independen atau calon perseorangan untuk memilih kepala daerah di tingkat I dan II. Tidak menutup kemungkinan, pencalonan presiden dan wakil presiden pun akan semakin didesakkan dari calon independen sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Arief Budiman menyatakan perlunya Undang-Undang (UU) Pemilu menampung kemungkinan calon presiden/ wakil presiden independen yang tidak dari partai politik (”Calon Independen Presiden RI”, Kompas, 24/7/2002).

Di sini, calon independen atau calon perseorangan dalam pencalonan kepala daerah tak perlu melewati saluran lama yang hanya menggunakan satu pintu, yaitu melalui partai-partai yang memiliki kursi di DPRD, cukup melalui dukungan masyarakat.

Langkah maju

Langkah politik yang maju ini, dalam arti lebih demokratis, harus diapresiasi, terlebih sebelumnya juga sudah diloloskan UU pemilihan langsung dari ketua RT sampai presiden.

Dengan munculnya peluang calon perseorangan untuk maju, peluang untuk memajukan calon-calon yang dianggap pantas untuk rakyat terbuka lebar, terlebih saat rakyat mulai muak dengan tingkah-polah partai-partai yang sementara ini masih didukung rakyat, tetapi justru program-program politik kepemerintahannya sering tak sesuai dengan harapan rakyat. Kondisi inilah yang memungkinkan calon perseorangan menang. Misalnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh yang dimenangi pasangan jalur independen, Irwandi Yusuf-M Nazar.

Perkembangan politik seperti ini tentu merupakan medan baru bagi perjuangan politik rakyat yang menginginkan perubahan. Semaksimal mungkin dengan tangga calon perseorangan itu, dapat direbut kepemimpinan daerah yang sanggup memenangkan program-program nyata kesejahteraan rakyat.

Kalaupun gagal memenangkan pertarungan di pilkada, setidaknya sudah diberikan kepemimpinan selama momentum itu, yaitu pendidikan politik dan organisasi dan memberi gambaran program-program perjuangan prorakyat melalui calon-calon perseorangan. Dengan demikian, di masa datang, atau di kala momentum untuk perubahan lebih cepat, rakyat mengerti program politik apa yang akan dikerjakan.

Tak mulus

Undang-undang untuk jalur ini masih menunggu revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Mahkamah Konstitusi memang sudah memberi lampu hijau untuk pencalonan jalur perseorangan ini pada Juli 2007 sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 18 Ayat 4, yang secara eksplisit memberi kesempatan terbuka kepada warga negara untuk menjadi calon kepala daerah yang tidak harus berasal dari partai politik.

(22)

Kompas Senin, 04 Februari 2008

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, aturan hukum yang mengatur persyaratan calon independen untuk mengikuti pilkada selesai paling lambat Januari 2008, jelas tak terpenuhi.

Kebanyakan pengamat politik memperkirakan calon perseorangan baru bisa bermain di ajang pilkada mulai Oktober 2008.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti dan anggota Kelompok Kerja Koalisi untuk Penyempurnaan Paket UU Politik, Refli Harun, juga menyampaikan: Aturan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah diperkirakan tidak bisa dilaksanakan tahun ini. Hingga kini, pembahasan belum dimulai karena masih menunggu amanat Presiden (Kompas, 12/1/2008).

Tampaknya, itulah yang dikehendaki kalangan pro-status quo negeri ini. Kemenangan kepala daerah tertentu pasti akan memengaruhi ajang Pemilu 2009. Kemenangan dari calon perseorangan yang tak mereka harapkan sebisa mungkin akan dihindari, termasuk bahkan agar bisa bermain di ajang pilkada.

Mengapa diloloskan sesudah bulan Oktober? Alasannya, menurut perkiraan, tinggal sedikit daerah yang belum melakukan pilkada.

Begitukah semua hambatan formal yang diajukan untuk menghadang laju ”kemenangan” calon perseorangan?

(23)

Suara Pembaruan Senin, 04 Februari 2008

D ib a t a lk a n , Ke m e n a n g a n I r ia n t o d i Pilk a d a Ba n g k e p

[JAKARTA] Bupati Banggai Kepulauan (Bengkep), Sulawesi Tengah, Irianto Malingong dan wakilnya Ehud Salamat dibatalkan penetapan kemenangannya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) periode 2006-2011 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bankep karena keduanya terbukti melakukan praktik politik uang.

"KPU Bangkep dalam surat keputusannya No 13/2008 tertanggal 28 Januari 2008 telah memutuskan untuk mencabut surat keputusan KPU Bangkep No 34/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang penetapan Irianto Malingong dan Ehud Salamat sebagai pasangan bupati dan wakil bupati Bangkep periode 2006-2011," kata Ketua KPU Bangkep, Mansur Djabura, di Jakarta, Senin (4/2).

Menurut rencana, Mansur dan sejumlah anggota KPU Bangkep akan menyerahkan surat keputusan pembatalan Irianto dan Ehud sebagai bupati dan wakil bupati terpilih kepada KPU Pusat dan Mendagri Mardiyanto, di Jakarta, Selasa (5/2).

KPU Bangkep membatalkan penetapan kemenangan Irianto dan Ehud sebagai bupati dan wakil bupati dengan mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No 168/ Put.Pid/2006/PN Lwk tanggal 13 Januari 2007 yang menghukum Ketua Tim Sukses Pilkada Irianto dan Ehud, Yopi Stibis, karena terbukti melakukan praktik politik uang.

Keputusan pembatalan ini dilakukan setelah KPU Bangkep melakukan konsultasi dengan KPU Pusat, KPU Provinsi Sulteng, Gubernur Sulteng, dan Mendagri. Keputusan ini sesuai dengan pasal UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah yang menyebutkan calon kepala daerah dan tim kampanye dikenakan sanksi pembatalan sebagai kepala daerah bila terbukti melakukan praktik politik uang.

(24)

Suara Pembaruan Senin, 04 Februari 2008

Pe m e r in t a h Bisa Te r a p k a n Pe r p r e s 3 6 / 2 0 0 5

[JAKARTA] Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pemerintah akan memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2005, jika Pemprov DKI Jakarta merasa kesulitan dalam pembebasan lahan untuk pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).

Hal itu diungkapkan Wapres seusai meninjau langsung dari udara lokasi-lokasi yang masih digenangi banjir di sekitar Jakarta dan Tangerang, Minggu (3/2).

Wapres yang pada kesempatan itu menggunakan Helikopter Puma milik TNI AU di dampingi Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Jalil, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Jamal, dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. "Kalau memang ada yang tidak mau dan sulit diajak kerja sama, kita terapkan Perpres Nomor 36/2005," tegas Kalla.

Menurut dia, Perpres tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum itu bisa digunakan untuk membebaskan lahan pembangunan proyek BKT yang bisa meminimalisir banjir yang selama ini menjadi beban bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Selain melihat langsung wilayah yang terendam banjir, di antaranya Kebayoran Lama, Ciledug, Joglo, Kapuk, Daan Mogot, Ancol, Tanjung Priok, Kelapa Gading, Wapres dan rombongan juga sempat turun di Jalan Tol Sedyatmo yang menuju Bandara Soekarno-Hatta di KM 27 yang masih terendam air cukup tinggi.

Wapres sempat berbincang-bincang dengan beberapa sopir truk pengangkut sembilan bahan pokok. Wapres juga menyempatkan diri turun di Bandara Soekarno-Hatta dan berbincang-bincang dengan para penumpang yang terlantar akibat kacau balaunya penerbangan dikarenakan banjir yang masih merendam di tol bandara tersebut.

Menurut Kalla, penyebab banjir di sejumlah ruas jalan tol bandara itu karena tidak sinkronnya drainase perumahan di sekitar bandara.

Karena itu dia memerintahkan Menteri PU Djoko Kirmanto agar drainasenya segera disinkronkan, dan perumahan di sekitar bandara tidak boleh membuat drainase sendiri.

(25)

Kompas Selasa, 05 Februari 2008

M a t e r i Re v isi UU N o 3 2 / 2 0 0 4 D ib a t a si W a k t u

Selasa, 5 Februari 2008 | 01:49 WIB

Jakarta, Kompas - Materi revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dibatasi waktu. Prinsipnya adalah soal calon perseorangan dan juga materi lain yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Targetnya, revisi mesti selesai pada masa persidangan yang akan berakhir awal April ini.

Lewat tenggat itu, materi tersebut akan ditinggal dan bakal dimasukkan dalam revisi menyeluruh atas UU No 32/2004 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2008.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Idrus Marham serta anggota Komisi II Ida Fauziyah dan Ferry Mursyidan Baldan secara terpisah di Jakarta, Senin (4/2).

Sikap itu dicapai dalam rapat internal Komisi II, Senin pagi. Rapat itu untuk menyatukan persepsi atas sikap pemerintah mengenai revisi terbatas atas UU No 32/2004 yang adalah inisiatif DPR. Agenda berikutnya adalah pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi terbatas UU No 32/2004 dengan pemerintah pada Rabu mendatang.

”Oleh karena ini inisiatif DPR, kita mesti satukan persepsi dulu,” kata Ida.

Pada RUU inisiatif DPR, materi terbatas pada ketentuan untuk mengakomodasikan calon perseorangan dalam pilkada untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam DIM pemerintah, usul revisi ”melebar” dengan masuknya ketentuan pengaturan calon yang masih menjabat (incumbent) dan pengisian posisi kepala daerah yang lowong.

Salah satu perbedaan mencolok antara usul DPR dan DIM pemerintah adalah soal syarat dukungan bagi calon perseorangan. Pemerintah menginginkan syaratnya lebih ”ringan”, 3-6,5 persen jumlah pemilih. Sebaliknya, usul DPR adalah 3-15 persen jumlah penduduk. Pemerintah juga mengusulkan penghapusan ketentuan deposit bagi calon perseorangan sebagaimana diusulkan DPR. ”Kalau nanti berubah, itu biasa,” kata Ida.

Ferry menyatakan tidak sependapat dengan usul pemerintah, calon incumbent mesti mundur dari jabatannya setelah pendaftaran. Yang lebih pas, menurut Fraksi Partai Golkar, kepala daerah cukup memberitahukan soal rencananya maju kembali setidaknya setahun menjelang pilkada.

(26)

Kompas Selasa, 05 Februari 2008

M e n g h a p u s Pilk a d a La n g su n g

Selasa, 5 Februari 2008 | 01:45 WIB

Eko Prasojo

Polemik tentang pemilihan kepala daerah langsung muncul kembali.

Jika pada pembahasaan naskah akademik UU No 32 Tahun 2004, polemik terkait pertanyaan apakah pilkada langsung dapat meredam politik uang selama 2001-2004, kini debat terarah pada mahal dan rendahnya kualitas pilkada. Maka, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi mengusulkan agar pilkada dihapus (Kompas, 26/1/2008).

Demokrasi itu lokal

Pemilihan kepala daerah langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi.

Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Ia ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung.

Manor dan Crook (1998) menyebutkan, dalam banyak hal pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan counceilor (anggota DPRD) di negara berkembang menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor utamanya adalah karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah.

Faktor-faktor itu terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi. Akibatnya tidak jarang data kependudukan dimanipulasi, proses penyelenggaraan pilkada tidak obyektif dan tidak independen.

Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dari data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada menyebabkan praktik politik uang dalam pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem pilkada diperberat kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan betapa sulitnya menghasilkan pilkada berkualitas dan diterima semua pihak.

Demokrasi ”versus” efisiensi

Tuntutan untuk menghapus pilkada langsung bukan tanpa alasan. Di negara-negara demokrasi modern yang memiliki tradisi pemilihan langsung, penyelenggaraan pemilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkret, pilkada langsung di negara-negara itu dilakukan Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai.

(27)

Kompas Selasa, 05 Februari 2008

Kedua, pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk penyelenggaraan. Mahalnya pilkada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang tiap pemilihan, sampai kampanye jorjoran yang dilakukan parpol dan calon. Dengan kata lain, pilkada adalah ”proyek besar”, harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada.

Logika berpikir proyek dalam pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran penyelenggara pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, birokrasi di pusat dan daerah, serta masyarakat pemilih. Proyek ini berlanjut sampai esensi dan tujuan kemenangan pilkada. Tidak heran jika partai politik dan aktor politik rela mengeluarkan miliaran rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi pilkada.

Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Tentu saja tidak ada yang gratis dalam pesta akbar pilkada. Biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Jadi, apa yang dikhawatirkan banyak pihak tentang mahal pilkada mendekati kebenaran. Pilkada bukan hanya mahal dari sisi biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung APBD, tetapi juga mahal dari ongkos yang harus dibayar masyarakat dalam arisan proyek bagi investor politik. Cukup valid untuk mengatakan pilkada langsung memboroskan uang negara dan belum memberi hasil optimal.

Meski demikian, saya kurang sependapat jika pilkada langsung dihapus. Perubahan kebijakan yang radikal dapat menimbulkan situasi chaos. Yang harus dilakukan, mengubah cara pandang pilkada sebagai pesta biasa.

Untuk jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan penyelenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik, dan masyarakat pemilih.

(28)

Kompas Selasa, 05 Februari 2008

Sila k a n Pr ot e s a sa l Pilk a d a Bisa Be r la n g su n g Ta n p a

Ek se s

Selasa, 5 Februari 2008 | 01:50 WIB

"Kami tidak ikut-ikutanlah protes karena di hati kami sudah ada siapa pasangan kandidat yang akan dipilih. Silakan saja warga lain protes, yang paling penting asal pemilihan kepala daerah atau pilkada bisa berlangsung tanpa ekses. Warga sudah bosan melihat ribut-ribut terus setiap pilkada,” kata Fitriani ketika diminta komentarnya menyaksikan iring-iringan lebih dari 1.000 orang ke Markas Polres Pagar Alam, Senin (4/2).

Warga yang tinggal di Gunung Gare yang berada persis di kaki Gunung Dempo, sekitar 7 km barat pusat Kota Pagar Alam itu, secara kebetulan berpapasan dengan massa pengunjuk rasa. Pekerja pemetik teh itu hanya menoleh sebentar ke arah pengunjuk rasa yang lewat di kawasan Jalan Laskar Wanita, Gunung Gare, sebuah jalan dua jalur menuju markas Kepolisian Resor (Polres) Pagar Alam. Setelah itu, Fitriani bersama dua rekannya melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Sementara, warga lainnya, Andri (29), mengatakan, pilkada langsung pertama di Kota Pagar Alam hanyalah sebuah hajat milik para politikus dan orang- orang yang berkepentingan langsung dengan masing-masing calon. Warga hanya sekadar memberi suara, setelah itu terserah kepada kandidat terpilih apakah akan merealisasikan apa yang sudah mereka janjikan ketika kampanye atau tidak.

”Pilkada itu hanya gawe orang-orang partai. Kami ini, sebagai warga kebanyakan, hanya diingat ketika kampanye dan menjelang pencoblosan. Setelah itu, sudah pasti mereka melupakan kita. Oleh karena itu, kami tidak ikut-ikutan protes walaupun ada yang mengajak. Yang paling penting bagi kami adalah pencoblosan dan penghitungan suara berjalan mulus,” ujar Andri.

Harapan damai

Apa yang diungkapkan Fitriani dan Andri barangkali tidak ada salahnya didengar oleh keempat pasangan kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pagar Alam bersama ribuan pendukung mereka. Bagi warga kebanyakan, pilkada hanyalah gawe para politikus dan pendukungnya. Oleh karena itu, mereka tidak ikut-ikutan turun memprotes dan berunjuk rasa mempersoalkan berbagai riak yang muncul menjelang pilkada tersebut.

Hal ini termasuk indikasi mengenai pembagian uang oleh pasangan kandidat tertentu, seperti yang diusung ribuan pendukung salah satu pasangan calon di markas Polres Pagar Alam, Senin kemarin. ”Jika ada yang memberi uang beberapa saat menjelang pencoblosan, kami akan menerima saja. Itu kan rezeki yang tidak pantas ditolak. Kalau soal siapa yang akan dipilih, terserah kami nanti di bilik pencoblosan,” kata Suyono, warga lainnya.

Pilkada yang demokratis, jujur, dan tanpa ribut-ribut sudah pasti menjadi dambaan mayoritas warga Pagar Alam. Kota berhawa sejuk di kaki Gunung Dempo yang berpenduduk sekitar 120.000 jiwa ini sangat nyaman dan damai.

Daerah yang melekat disebut sebagai Tanah Besemah itu dari dulu memang dikenal sebagai daerah yang jauh dari konflik. Mayoritas penduduknya yang hanya satu etnis membuat Pagar Alam damai sepanjang waktu.

(29)

Republika Selasa, 05 Februari 2008

Pe r da Sy a r ia h t a k Ja di Pr ior it a s

BANDUNG -- Tiga kandidat calon wakil gubernur (cawagub) Jabar sepakat bahwa wacana perda syariah Islam tidak menjadi prioritas mereka. Kesepakatan tentang hal tersebut terungkap dalam diskusi Sawala Senen-Kemis di Gedung PWI Jabar, Senin (4/2). Ketiga cagub yang hadir adalah Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf), Iwan Ridwan Sulandjana, dan Nu'man Abdul Hakim.

Ketiga cawagub mengakui bahwa Jabar merupakan bagian dari NKRI yang karakter penduduknya majemuk. Meski demikian, mereka sepakat untuk menerapkan nilai Syariah Islam dalam menciptakan kerukunan hidup beragama.

Cawagub dari PAN dan PKS, Yusuf Macan Effendi, mengatakan, dasar NKRI sudah tak bisa ditawar lagi. Dia pun mengungkapkan bahwa sebagai warga negara yang mengemban Bhineka Tunggal Ika, semua warga harus bisa menerima perbedaan. Perda syariah, tutur dia, sebaiknya tidak diimplementasikan dalam aturan.

Namun demikian, sambung Dede, nilai-nilai syariah Islam harus dikembangkan dalam masyarakat. Dirinya optimistis, nilai syariah Islam mampu menciptakan situsasi yang kondusif. ''Jangan pada tata tertibnya, tapi justru pada esensinya,'' ujar dia.

Cawagub dari PPP dan PDIP, Nu'man Abdul Hakim, menjelaskan, yang terpenting saat ini, yakni menciptakan kerukunan hidup beragama. Mayoritas warga Jabar yang memeluk agama Islam, sambung dia, dipastikan menghendaki kerukunan hidup beragama.

''Tidak ada pengelompokan warga. Yang penting kita bersama-sama menciptakan situasi kondusif,'' ujar Nu'man. Ia menjelaskan, yang terpenting esensi syariah Islam itu dijalankan oleh warganya.

Sementara Cawagub dari Partai Golkar dan Demokrat, Iwan Ridwan Sulandjana, mengatakan, dari dulu warga Jabar memiliki karekteristik majemuk. Menurut dia, perbedaan itu harus bisa menciptakan sebuah kesamaan. Artinya, tegas dia, sesama umat beragama harus saling menghargai.

''Masyarakat bebas menjalankan ajaran yang diakui. Tentunya bukan yang menyesatkan, tapi yang mendamaikan,'' ujar Iwan. Meski demikian, pihaknya sepakat bila Jabar harus menjadi daerah yang agamis.

Selain membincangkan soal perda syariah, ketiga cagub pun membeberkan motivasinya menjadi cawagub. Iwan bermotivasi untuk mewujudkan reformasi birokrasi, dan Dede Yusuf termotivasi untuk menjalankan perubahan. Sementara Nu'man memiliki tujuan melanjutkan programnya.

(30)

Suara Pembaruan Selasa, 05 Februari 2008

Pe t a n i Ke lu h k a n Ke la n g k a a n Ur e a Be r su b sidi

[JAMBI] Para petani kelapa sawit di Provinsi Jambi mengeluhkan kelangkaan pupuk urea bersubsidi. Kelangkaan tersebut membuat sebagian petani tidak memupuk sawit mereka hingga dua bulan terakhir karena tidak sanggup membeli urea nonsubsidi di pasaran yang harganya sangat mahal.

Hal tersebut dikatakan beberapa petani sawit Jambi kepada SP, di Jambi, Senin (4/2). J Silitonga, petani sawit Desa Petaling, Kabupaten Muarojambi mengaku sudah hampir sebulan tidak memupuk sawitnya yang mulai berbuah karena sulit mendapatkan pupuk urea bersubsidi.

Petani yang biasanya mudah mendapatkan pupuk urea bersubsidi dari para pengecer, kini sulit karena pengecer tidak memiliki persediaan pupuk urea bersubsidi. Para petani menduga jatah pupuk untuk para pengecer dijual kepada para petani berdasi dan pengusaha kebun sawit dengan harganya lebih mahal.

Dia tidak sanggup membeli pupuk urea di pasaran karena harganya mencapai Rp 135.000 per sak ukuran 50 kilogram (kg) atau Rp 2.700 per kg. Sedangkan harga pupuk urea bersubsidi di tingkat pengecer hanya Rp 61.000 per sak ukuran 50 kg atau Rp 1.220 per kg.

"Perbedaan harga pupuk urea bersubsidi dengan pupuk urea yang sangat mencolok ini membuat pengecer berspekulasi menjual pupuk bersubsidi kepada perusahaan atau para petani berdasi. Pengusaha dan petani berdasi juga memburu pupuk urea bersubsidi karena harganya bisa di bawah harga pasaran," katanya.

(31)

Suara Pembaruan Selasa, 05 Februari 2008

Ra k y a t Pa pua Tola k Pe m e k a r a n

Laksanakan Otsus dengan Konsekuen

[JAYAPURA] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Otsus) merupakan peluang yang besar bagi kita untuk menata tanah ini dan membangun kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Meskipun begitu UU Otsus itu belum menjadi pegangan kita bersama.

"Ada berbagai alasan karena belum diketahui atau diketahui tetapi tidak diterima. Bahkan diketahui dan diterima, tetapi tidak ada kesungguhan dan konsistensi dalam implementasinya. Harapan kami ialah agar kita konsekuen dalam melaksanakan UU Otsus dengan fokusnya kesejahteraan rakyat," ujar Ketua Forum Komunikasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) di Papua, Uskup Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar,OFM dalam siaran pers yang diterima SP, Selasa (5/2) pagi menyambut Hari Damai di Tanah Papua.

Tanggal 5 Februari 1855 ditetapkan Lembaga Keagamaan yang kemudian diikuti pemerintah sebagai Hari Damai di Tanah Papua. Pada 5 Februari 1855, Zending Belanda dan Jerman, Ottow dan Geisller menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Teluk Doreri Manokwari untuk memulai pekabaran Injil di Tanah Papua.

Uskup Leo Laba Ladjar meminta pelaksanaan Otsus Papua sangat diharapkan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) segera memproses berbagai peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (perdasi) yang merupakan perangkat pendukung dalam pelaksanaan UU tersebut. Sebab ternyata pembuatannya lambat.

Tolak Pemekaran

Uskup Leo menambahkan, yang paling penting dan memprihatinkan banyak warga dari berbagai kabupaten ialah pemekaran, baik untuk provinsi maupun kabupaten. "Pemekaran sering menimbulkan konflik baru, personel yang dibutuhkan tidak disiapkan dengan baik. Dana diserap untuk penyediaan sarana dan prasarana juga membiayai birokrasi, tetapi masyarakat lapisan bawah tidak sejahtera," ujarnya.

Malah, kata Uskup, ada kecenderungan untuk membentuk kabupaten suku dan agama dengan akibat masyarakat Papua kembali dikotak-kotakan sehingga potensi konflik sangat besar.

"Kami bertanya-tanya untuk kepentingan siapakah pemekaran wilayah itu? Betulkah untuk mendekatkan pemerintah dan rakyat? Sulit untuk menutupi kenyataan bahwa justru dengan banyaknya dana pemekaran ditangan, sejumlah pemerintah daerah semakin jauh bergerak ke luar wilayahnya, jauh dari masalah masyarakatnya. Kami bingung, di satu pihak kita menuduh Pemerintah Pusat memecah belah masyarakat kita dengan pemekaran itu. Di lain pihak delegasi berlomba-lomba ke pusat menuntut pemekaran," tandasnya.

Dikatakan, bila situasi ini dibiarkan terus kita tidak akan mungkin membangun Papua yang damai, yang ada hanya Papua dengan konflik yang tak putus-putusnya.

(32)

Suara Pembaruan Selasa, 05 Februari 2008

Selain itu, FKPPA menilai jumlah personel pos-pos militer di Tanah Papua dianggap terlalu banyak. Hingga diperlukan Perdasus yang mengatur penempatan aparat TNI nonorganik khususnya Kopassus dan perlu mengefektifkan peran Polri dalam kehidupan masyarakat sipil.

Perbedaan idiologi politik yang disebabkan antara lain karena perbedaan penafsiran sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi hambatan untuk membangun dan menjadi potensi konflik yang bisa destruktif. Maka betapapun sulit masalah itu kami harap diselesaikan melalui dialog dan rekonsiliasi.

Dijelaskan, 5 Februari merupakan hari yang bersejarah dalam Pekabaran Injil di Tanah Papua. Dalam tahun-tahun terakhir ini, sejak tahun 2002 pemimpin agama yang bukan kristen turut bersama kita semua dalam kegiatan-kegiatan perayaan Hari Pekabaran Injil.

(33)

Suara Pembaruan Rabu, 06 Februari 2008

M e n a n t i Un d a n g - u n d a n g Pe m ilu

Kabar gembira datang dari gedung DPR. Para pemimpin fraksi sepakat membawa materi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD ke rapat paripurna pada 19 Februari untuk mendapat persetujuan.

Kehadiran Undang-Undang Pemilu yang baru untuk menggantikan UU Nomor 12 Tahun 2003 memang sudah ditunggu-tunggu sebagai payung hukum untuk melaksanakan Pemilu 2009. Namun, kesepakatan itu belum menjamin RUU itu bakal mudah disetujui karena sampai Senin (4/2) fraksi-fraksi belum menyetujui beberapa materi.

Mengutip pernyataan Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan, enam materi yang pembahasannya masih alot, yakni jumlah kursi di DPR, jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil), pengaturan sisa suara, penerapan electoral threshold (ET) atau parliamentary threshold (PT), penentuan calon terpilih, dan mekanisme pemberian suara.

Sejauh ini, memang ada beberapa rumusan yang ditawarkan fraksi-fraksi untuk memuluskan pembahasan. Namun, setiap fraksi tetap mempertahankan usul masing-masing dan belum mau menerima usul fraksi lain. Kalau kondisi itu terus berlangsung dalam forum lobi dapat dipastikan pemberian persetujuan atas RUU dilakukan lewat pemungutan suara (voting).

Alotnya pembahasan RUU itu tak lepas dari karakter partai politik (parpol) yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat dan bangsa. Ego parpol yang dicerminkan fraksi-fraksi di DPR membuktikan belum dewasanya kalangan politisi kita. Mereka lebih mementingkan tercapainya tujuan jangka pendek dibanding membangun iklim yang sehat bagi demokrasi.

Hal itu paling tidak tercermin dari perdebatan mengenai penerapan electoral threshold (batas minimal perolehan suara) dan kemungkinan melaksanakan parliamentary threshold (batas minimal perolehan kursi di DPR). UU 12/2003 dengan gamblang menyebutkan, parpol peserta Pemilu 2009 adalah parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya tiga persen jumlah kursi DPR. Dengan aturan tersebut parpol yang berhasil mendudukkan kader mereka di DPR pasca-Pemilu 2004 tidak otomatis bisa mengikuti Pemilu 2009, kecuali bergabung dengan parpol lain dan lolos verifikasi. Partai Bintang Reformasi (14 kursi), Partai Damai Sejahtera (13), Partai Bulan Bintang (11), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (4), Partai Pelopor (3), serta Partai Penegak Demokrasi Indonesia dan PNI Marhaen masing-masing 1 kursi, seharusnya tak bisa mengikuti Pemilu 2009. Namun, parpol-parpol itu tak rela melepaskan peluang mendudukkan kembali kader partai di DPR. Kenyataan tersebut membuat suara fraksi-fraksi pun mengerucut pada usulan agar semua parpol yang memiliki kursi di DPR saat ini boleh ikut Pemilu 2009.

Kalau usul itu akhirnya disetujui kita pantas menyebutkan DPR sebagai lembaga yang "menjilat ludahnya sendiri". Sebagai lembaga, DPR telah sepakat menetapkan parpol boleh mengikuti Pemilu 2009 bila memiliki minimal tiga persen kursi di DPR. Kalau belakangan parpol yang sebetulnya tak memenuhi syarat itu pun dapat ikut Pemilu 2009, kita mencatat sebuah aib dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

(34)

Pikiran Rakyat Jumat, 08 Februari 2008

Re v isi UU N o. 3 2 H a r u s Se le sa i Ap r il 2 0 0 8

JAKARTA, (PR).-

Meski belum dicapai titik temu tentang syarat dukungan untuk calon perseorangan, DPR dan pemerintah sepakat untuk menyelesaikan revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah itu paling lambat April 2008.

Hal itu diungkapkan anggota Komisi II DPR RI Ferry Mursyidan Baldan kepada "PR" di Jakarta, Kamis (7/2).

Manurut Ferry, materi yang cukup krusial adalah syarat dukungan dan perlu tidaknya incumbent mundur jika maju dalam pilkada. Syarat dukungan merupakan salah satu materi prioritas yang direvisi pada pasal yang menjadi keputusan MK, yakni tetang ruang bagi calon perseorangan.

"Jika ini selesai, baru membahas pasal-pasal pilkada lainnya," kata Ferry.

Menurut Ferry, proses pembahasan revisi UU No. 32/2004 baru pada pasal 56 dan pasal 59, yakni mengenai ruang pencalonan selain oleh parpol dan gabungan parpol. Contohnya adalah pengertian tentang calon perseorangan.

"Hal ini belum tuntas dan akan dibawa ke panitia kerja," katanya.

Ferry menyebutkan, pemerintah mengajukan tiga usulan selain tentang calon perseorangan, yakni pengisian kepala daerah yang meninggal, incumbent harus mundur, dan tentang jadwal pilkada 2009 yang dimajukan hari pemilihannya.

Namun, Komisi II berketetapan bahwa yang jadi prioritas adalah tentang calon perseorangan dan harus selesai pada masa sidang ini.

"Penegasan ini perlu agar DPR dan pemerintah tidak dituding menunda-nunda pengaturan calon perseorangan," kata Ferry.

Lebih adil

Hal senada diungkapkan anggota Komisi II lainnya yakni Chozin Chumaidy. Politikus dari PPP ini mengatakan, saat ini terdapat delapan wakil kepala daerah yang kosong karena menggantikan kepala daerah yang meninggal atau berhenti.

Pengaturan pilkada seperti incumbent harus mengundurkan diri sejak pendaftaranjika yang bersangkutan mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah, bertujuan agar pelaksanaannya menjadi lebih jujur dan adil .

"Hal ini dimaksudkan agar pilkada menjadi adil dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan," kata Chozin.

Sehari sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto mengaku optimistis proses pembahasan revisi UU 32/2004 itu bisa selesai pada akhir masa sidang DPRkali ini.

(35)

Pikiran Rakyat Jumat, 08 Februari 2008

Calon perseorangan

Menurut Mardiyanto, pasal yang masih alot adalah mengenai persentase syarat calon perseorangan dibandingkan dengan calon dari parpol.

Fraksi-fraksi di DPR menginginkan syarat berimbang, seperti yang diperlakukan pada calon dari parpol.

"Tinggal diatur persentase calon perseorangan dibandingkan dengan calon dari parpol, karena masih ada perbedaan dari fraksi-fraksi," kata Mendagri.

Pada rapat kerja dengan Komisi II DPR beberapa waktu lalu, pemerintah mengusulkan 4 tingkat syarat calon perseorangan dengan maksimal dukungan 6,5 % untuk daerah yang berpenduduk di bawah 2 juta.

(36)

Suara Pembaruan Jumat, 08 Februari 2008

Pe n g e sa h a n RUU Pe m ilu Ja n g a n M olor La gi

[JAKARTA] Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto berharap pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Pemilu Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU Pemilu Legislatif) tidak molor lagi. Pemerintah berharap RUU Pemilu itu dapat ditetapkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR 19 Februari 2008.

Sampai saat ini, kata dia, tinggal beberapa hal substantif yang masih harus disepakati di antara fraksi-fraksi DPR sebelum disepakati dengan pemerintah. "Kalau RUU Pemilu sudah sampai tingkat lobi dan sudah mengerucut beberapa hal. Kemarin, saya lobi yang terakhir itu, saya meminta dan panitia khusus juga sependapat, dibulatkan dulu antara mereka, fraksi-fraksi. Setelah fraksi-fraksi bulat, nanti berhadapan dengan pemerintah sama. Dan, saya kira tinggal empat masalah saja," kata Mardiyanto kepada SP di gedung Depdagri Jakarta, Rabu (6/2).

Keempat hal substantif yang belum disepakati dan masih harus disepakati di kalangan fraksi-fraksi, kata Mardiyanto, antara lain adalah masalah jumlah anggota dewan, daerah pemilihan, electoral threshold atau parliamentary threshold. Sudah banyak hal, kata dia, yang sudah selesai dibahas.

Mendagri berharap, sebelum 19 Februari semua hal substantif itu sudah disepakati, baik di antara fraksi-fraksi di DPR maupun dengan pemerintah. Dengan demikian, jadwal waktu yang sudah ditetapkan tidak dilewati lagi.

"Mudah-mudahan kami bisa menyelesaikan dengan baik. Itu yang paling bagus sekarang. Memang, komunikasi kita baik dan substansinya untuk kebaikan semua. Mudah-mudahan tidak usah terlambat lagi. Kita harapkan itu," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Sudarsono Hardjosoekarto mengatakan RUU Pemilu Legislatif seharusnya ditetapkan sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR 19 Januari lalu. Tetapi, jadwal itu terpaksa harus dilewati karena masih banyak substansi RUU itu yang belum disepakati di tingkat fraksi DPR.

Verifikasi

Di tempat terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Andi Mattalatta menegaskan pihaknya tidak akan mempersulit tahap verifikasi bagi partai politik baru. Dikatakan, syarat berupa surat keterangan dari pemerintah daerah yang harus dimiliki parpol baru justru mempermudah mereka.

"Kalau verifikasi faktual justru lebih berat. Ditanyakan satu per satu. Benar atau tidak. Kalau (syarat surat keterangan) ini kami tidak tanya, kok. Asal sudah ada kesaksian dari daerah. Lebih mudah dari yang dulu," kata Andi di DPR, Rabu (6/2).

Ia mengatakan, verifikasi faktual yang biasa dilakukan Depkumham justru lebih berat karena petugas dari Jakarta harus datang dan meneliti kebenaran berkas yang diajukan parpol baru. Apalagi, petugas dari Jakarta belum tentu memiliki kedekatan emosional dengan pengurus partai di daerah.

(37)

Suara Pembaruan Jumat, 08 Februari 2008

(38)

Suara Pembaruan Jumat, 08 Februari 2008

Pe r pr e s Pa nga n La ngk a h Pa nik Pe m e r int a h

[JAKARTA] Upaya menstabilkan harga komoditas bahan pokok melalui Peraturan Presiden (Perpres) stabilisasi harga kebutuhan pokok dan ketahanan pangan, dinilai sebagai langkah panik yang dilakukan pemerintah. Langkah tersebut diambil hanya untuk mengurangi nilai inflasi yang pada Januari 2008 lalu sudah mencapai angka tertinggi, yakni 1,77 persen.

"Pemerintah ketakutan nilai inflasi Februari mendatang lebih tinggi dari Januari 2008 akibat harga bahan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) belum stabil. Karena itu, semua langkah dicoba, termasuk langkah-langkah yang terkesan panik atau ketakutan," ujar mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan kepada SP, Kamis (7/2).

Selama lima tahun terakhir, inflasi bulan Januari selalu di atas satu persen. Pada Januari 2005 inflasinya sebesar 1,43 persen, Januari 2006 sebesar 1,36 persen, Januari 2007 sebesar 1,04 persen dan Januari 2008 sebesar 1,77 persen.

Inflasi Januari 2008 tergolong paling tinggi selama empat tahun terakhir, terutama didorong oleh kenaikan harga di kelompok bahan makanan yaitu 2,77 persen dan kelompok sandang sebesar 2,31 persen serta di kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 2,02 persen

Saat ini langkah yang diambil pemerintah kebanyakan mengarah pada instrumen fiskal, yakni menurunkan bea masuk (BM) atau menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN). Sayangnya, menurut Rahardi langkah yang diambil selalu terlambat sehingga tidak memiliki dampak berarti untuk kalangan pengusaha atau industri.

Sebagai contoh, penangguhan PPN 10 persen pada tepung terigu dampaknya kecil dibandingkan kenaikan harga gandum internasional dan tepung terigu lokal sebesar 50-80 persen. Sementara untuk kedelai impor kebijakan yang diambil yakni menurunkan tarif BM sampai nol persen, padahal kenaikan bahan bakunya mencapai 100 persen.

"Upaya pemecahan masalah pemerintah kebanyakan tidak tepat sasaran. Padahal kuncinya hanya meningkatkan produktivitas pertanian yang dari dulu bisa dilakukan pemerintah," papar Rahardi.

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, saat ini masyarakat, kalangan pengusaha, dan industri hanya bisa melihat dan menunggu terhadap upaya yang diambil pemerintah. Sebab, lonjakan harga bahan pangan dan bahan baku industri tidak bisa ditekan lagi. Jalan keluar tercepat untuk jangka pendek hanya dengan memainkan instrumen fiskal.

"Saat ini tidak ada cara lain yang bisa dipakai untuk menekan harga. Jadi pengusaha dan industri mau tidak mau menerima keputusan itu. Tetapi untuk jangka panjang, memainkan instrumen fiskal tidak ada gunanya," paparnya.

Sementara itu, mengenai isi Perpres pangan yang dinilai lebih menguntungkan kalangan importir, menurut dia, dilakukan pemerintah untuk melindungi kekurangan stok pangan dalam negeri. Sebab selama ini pemerintah selalu mengambil jalan pintas melalui impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

(39)

Suara Pembarua Jumat, 08 Februari 2008

Kemandirian Pangan

Di tempat terpisah, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengatakan, kemandirian pangan adalah suatu hal yang penting. Indonesia jangan menjadi menjadi korban dari mekanisme pasar. Ketidakmandirian pangan suatu negara dilatarbelakangi proteksi pertanian dari negara maju dengan mengekspor produksinya ke negara terbelakang termasuk Indonesia melalui subsidi pemerintah. Hal itulah yang merusak pertanian di negara terbelakang dan menimbulkan ketergantungan yang makin tinggi pada produk impor.

Pemerintah terlihat lamban mengantisipasi kondisi itu. Ketika terjadi lonjakan harga, pemerintah dan masyarakat terkejut. Padahal tanda-tanda terjadinya lonjakan harga telah terlihat sejak jauh-jauh hari. Jika Indonesia berswasembada beras, jagung, gula, dan kedelai sekalipun harga pangan strategis ini naik di tingkat global penyesuaiannya akan lebih mudah ketimbang yang dialami saat ini.

Bungaran Saragih mengatakan hal itu pada diskusi bertema "Politik Ketahanan Pangan di Tengah Arus Liberalisasi" yang diselenggarakan Akbar Tandjung Instutute, di Jakarta, Rabu (6/2).

(40)

Jurnal Nasional Sabtu, 09 Februari 2008

Polit ik a

N a sib Pilk a d a D I Y D it e n t u k a n M e i

Jakarta | Sabtu, 09 Feb 2008

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) masih menunggu disahkannya RUU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh DPR RI. KPU berharap draf RUU tersebut dapat segera disahkan maksimal pada Mei mendatang. Pasalnya, pengesahan draf RUU itu sangat memengaruhi rencana Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DIY yang akan dilaksanakan pada Oktober 2008.

"Kalau draf RUU DIY belum disahkan hingga Mei maka sesuai amanah UU 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2006 KPU Provinsi DIY harus mempersiapkan pelaksanaan Pilkada," kata anggota KPU, Endang Sulastri, kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Endang Sulastri mengatakan mengacu Pasal 136 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 disebutkan sepanjang keistimewaan DKI Jakarta dan DIY tidak diatur dalam UU maka Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) tetap diberlakukan. Dan, aturan ini juga yang digunakan dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta pada Agustus 2007.

Endang Sulastri menambahkan KPU Provinsi Yogyakarta juga telah membuat rencana persiapan jika ada atau tidak ada pilkada. KPU Provinsi juga telah mempersiapkan rancangan kebutuhan anggaran penyelenggaraan Pilkada di Yogyakarta. Persiapan penyelenggaraan pilkada ini akan dimulai setelah DPRD mengajukan surat pemberitahuan mengenai berakhirnya masa jabatan Gubernur DIY kepada KPU Provinsi Yogyakarta yang diperkirakan akan dilakukan pada Mei mendatang. n

(41)

Suara Pembaruan Sabtu, 09 Februari 2008

D a e r a h Pe m ilih a n D im in t a Tid a k D iu b a h

[JAKARTA] Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimintai untuk tidak mengubah daerah pemilihan dan alokasi kursi per daerah pemilihan. Perubahan itu dikhawatirkan akan menimbulkan konflik antara elite partai dan pada tingkat akar rumput, memperbesar biaya pemilu, mempersulit partai kecil mendapatkan kursi, dan menyulitkan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apalagi, waktu penyelenggaraan pemilu 2009 sudah sangat sempit.

Pandangan itu merupakan benang merah diskusi tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu Legisl

Referensi

Dokumen terkait

USULAN TAMRAHAN PAGU KOMNAS HAM/KOMNAS PEREMPUAN TAHUN 2014 Kode (1) 3332 3333 3334 Kegiatan (2) Penguatan Kesadaran HAM Masyarakat dan Aparatur Negara Peningkatan Penanganan

4.1.1 Mengelola data informasi, sehingga dapat menjelaskan aturan IUPAC dalam pemberian nama senyawa alkane. Tulis rumus struktur dari senyawa

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang

Tujuan penulisan skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan untuk dapat menyelesaikan proses pembelajaran dalam jenjang Strata I pada Program Studi Manajemen di

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Menurut kepustakaan gambaran klinik meningioma foramen magnum sangat bervariasi dengan rata- rata waktu yang dibutuhkan dari timbulnya gejala pertama dengan

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU