1
Indonesia. Sektor pertanian menghasilkan berbagai bahan yang digunakan untuk
menunjang aktifitas dalam sektor lainnya seperti perdagangan, industri, jasa, dan
lain sebagainya. Sektor pertanian umumnya menghasilkan bahan mentah yang
dapat diolah menjadi bahan baku lainnya. Hasil dari sektor pertanian tersebut
digunakan oleh manusia untuk mempertahankan hidupnya dan meningkatkan
kesejahteraannya.
Sektor pertanian umumnya berkembang di wilayah pedesaan. Indonesia
sebagai negara yang berkembang sebagian besar wilayahnya masih didominasi
oleh perdesaan dengan sektor pertanian sebagai sumber penghasilannya. Sampai
saat ini, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya pembangunan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya baik di daerah
perkotaan maupun perdesaan. Namun pembangunan yang dilaksanakan selama ini
belum sepenuhnya merata. Hal ini terlihat dari semakin majunya perkembangan
kota namun berbanding terbalik dengan perdesaan.
Pembangunan di Indonesia yang kurang merata tersebut menimbulkan
suatu kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan dalam ketersediaan lapangan
pekerjaan. Sehingga pada umumnya, sebagian besar penduduk perdesaan
melakukan urbanisasi karena tersedianya banyak lapangan pekerjaan di wilayah
perkotaan. Karena hal tersebut, sumber tenaga kerja untuk mengolah sektor
pertanian di perdesaan berkurang dan menimbulkan turunnya produktivitas
pertanian. Maka untuk mengurangi laju urbanisasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya di perdesaan perlu suatu usaha nyata untuk
membangun desa yang dilaksanakan oleh pemerintah dan didukung oleh
masyarakatnya.
Industri untuk pengolahan hasil pertanian, 4) penyaluran hasil pertanian (dan hasil industri pertanian) kepada konsumen. Maka, fungsi wilayah pedesaan adalah memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri, yang sebagian dapat diolah ditempat.
Pembangunan sektor pertanian di perdesaan setidaknya harus mencakup industri
yang mengelola bahan mentah hingga menjadi barang jadi ataupun setengah jadi. Maka
pemerintah sebagai pemangku kebijakan melakukan upaya untuk membangun desa
salahsatunya adalah pengembangan kawasan agropolitan yakni pembangunan wilayah
yang fokus pada aktifitas pertanian. Hal ini sejalan dengan yang telah diungkapkan
diatas dan sesuai dengan tipologi pedesaan yang umumnya didominasi kawasan
pertanian. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menyebutkan Kawasan Agropolitan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih
pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan agrobisnis.
Pengembangan kawasan agropolitan merupakan penguatan sentra-sentra produk
pertanian yang berbasiskan pada kekuatan internal sehingga perdesaan menjadi kawasan
yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan daya kompetensi, baik secara interregional
maupun intraregional. Dalam Fitri (2014, hlm 15) bahwa “Tujuan pengembangan
kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan
desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem usaha agrobisnis yang berdaya
saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan”.
Untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan
agropolitan dapat melalui:
1. Pemberdayaan masyarakat.
2. Penguatan kelembagaan petani.
3. Pengembangan kelembagaan sistem agrobisnis.
4. Peningkatan sarana-prasarana.
5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi investor
Salahsatu kabupaten di Indonesia yang masih didominasi oleh kawasan
pertanian adalah kabupaten Garut. Kabupaten Garut merupakan wilayah yang berada di
bagian selatan Jawa Barat. Luas kabupaten Garut meliputi areal 306.519 ha dari luas
wilayah Provinsi Jawa Barat. Topografi kabupaten Garut didominasi oleh pegunungan
serta memiliki hari hujan yang sangat efektif untuk mendukung pertumbuhan tanaman
pangan dan hortikultura. Sehingga kabupaten Garut menghasilkan rata-rata produksi
yang tinggi untuk setiap komoditas yang ditanam. Dengan sektor pertanian yang
menghasilkan produksi yang tinggi menjadikan Kabupaten Garut sebagai daerah yang
menyuplai kebutuhan pangan masyarakat di sekitarnya seperti Bandung, Jakarta, dan
lain sebagainya.
Sektor pertanian di kabupaten Garut memberikan kontribusi nilai tambah hampir
setengahnya terhadap perekonomian di wilayah ini. Sektor pertanian menyerap tenaga
kerja sebesar 33,63 % dibandingkan dengan sektor jasa dan industri. Kinerja sektor
pertanian di Kabupaten Garut secara makro sangat tergantung pada produktifitas
tanaman pangan (padi palawija) sebagai kontributor dominan pada sektor pertanian.
Produksi padi di kabupaten Garut mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama
periode 2011-2013, yakni dari 974,95ribu ton menjadi 1.070,53 ribu ton, meningkat 9,8
% selama dua tahun. Kabupaten Garut juga merupakan penyumbang produksi hampir
seluruh komoditi palawija tertinggi di Jawa Barat. (Sumber: Statistik Daerah Kabupaten
Garut tahun 2014).
Selain padi dan palawija, beberapa komoditi sayuran juga merupakan produk
unggulan di kabupaten Garut. Beberapa komoditi yang memberikan kontribusi di Jawa
Barat diantaranya seperti kentang, cabe, bawang daun, kubis, tomat, dan terung.
(Sumber: StatistikDaerah Kabupaten Garut tahun 2014).
Dalam peraturan daerah Kabupaten Garut nomor 29 tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah kabupaten Garut tahun 2011-2031, terdapat perencanaan berupa
KSK (Kawasan Strategis Kabupaten) yakni kawasan yang memiliki nilai strategis
ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten. Salahsatu yang
meliputi KSK ini adalah kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan terdiri dari
kecamatan Cisurupan, kecamatan Cikajang, kecamatan Cigedug, kecamatan Sukaresmi,
Kecamatan Cisurupan dalam KSK tersebut dijadikan pusat kawasan agropolitan
yang difokuskan pada tanaman hortikultura. Hal ini disebabkan kecamatan Cisurupan
merupakan daerah yang strategis sehingga aksesibilitasnya mudah untuk menuju
kecamatan Cisurupan. Selain itu, kecamatan Cisurupan berada hampir ditengah-tengah
diantara kecamatan lainnya yang menjadi wilayah hinterland, sehingga aksesibilitas
kecamatan menuju kecamatan Cisurupan yang satu dan yang lainnya hampir merata.
Hasil pertanian di kecamatan Cisurupan diantaranya seperti padi, jagung,
kentang, kubis, petsay, cabe besar, tomat, terung, wortel, kacang panjang, kacang
merah, buncis, ketimun, kangkung, labu siam, dan lain sebagainya. Hasil produksi
[image:4.595.183.444.357.611.2]tanaman hortikultura tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Hasil Produksi Tanaman Hortikultura tahun 2014
No Komoditas Hasil Produksi (Ton)
1. Bawang Merah 1.593
2. Bawang Daun 5.892
3. Kentang 18.211
4. Kubis 11.846
5. Petsay 6.338
6. Cabe besar 8.007
7. Tomat 7.381
8. Terung 1.339
9. Wortel 3.635
10. Kacang Merah 3.393
11. Buncis 2.872
12. Ketimun 1.145
13. Kangkung 344
14. Bayam 213
15. Labu Siam 2.454
16. Cabe Rawit 2.806
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura kab. Garut
Luas areal pertanian di kecamatan Cisurupan ini mencapai 4.496,30 Ha. dengan
komposisi luas lahan sawah sebesar 34,24 % dan sisanya adalah lahan bukan sawah
sebesar 65,76 %. yang sebagian besar ditanami oleh pertanian hortikultura.
Berkembangnya sektor pertanian di kecamatan Cisurupan ini juga didukung oleh
Cisurupan juga memiliki hari hujan sebanyak 224 hari dengan total turun sebanyak
1.713,2 cm3. (Sumber: Statistik daerah kecamatan Cisurupan 2014).
Pengembangan kawasan agropolitan di wilayah ini menjadikan tanaman
hortikultura sebagai komoditas unggulan. Tanaman hortikultura tersebut diantaranya
bawang merah, bawang daun, wortel, kacang merah, cabe merah besar, cabe rawit,
terung, tomat, ketimun, labu siem, kentang, dan kubis.
Pengembangan kawasan agropolitan di kabupaten Garut ini merupakan strategi
pembangunan yang dipercepat dengan memperkenalkan unsur gaya hidup (manajemen)
kota yang disesuaikan dengan lingkungan dan budaya pedesaan (internalized), sehingga
mendorong masyarakat desa untuk produktif dan tetap tinggal di pedesaan, mengurangi
migrasi, mengurangi keretakan social (social dislocation) dalam proses pembangunan,
serta membangun jaringan (net working) dengan sektor dan daerah lain hingga
terbentuk ruang sosio-tekno-ekonomis dan politik yang lebih luas (Sumber:Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura kabupaten Garut).
Rencana pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan Cisurupan ini
memiliki tujuan salahsatu diantaranya adalah peningkatan hasil produksi sebanyak 5 %
dari setiap komoditas unggulan tersebut. Untuk mencapai target tersebut, UPTD (Unit
Pelaksana Teknik Daerah) Pertanian Kecamatan Cisurupan memiliki program
diantaranya:
1. Menyalurkan bantuan pemerintah berupa pembangunan sistem irigasi serta
perbaikan sarana infrastruktur. Untuk pembangunan tersebut bekerja sama
dengan Dinas Pekerjaan Umum.
2. Menyalurkan bantuan bibit komoditas unggulan.
3. Pembinaan kelembagaan.
4. Pelaksanaan kegiatan SL (Sekolah Lapangan).
5. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani mengenai
pemilihan bibit unggul, penggunaan teknologi, dan hal lainnya.
Dengan adanya pengembangan kawasan agropolitan ini diharapkan memberikan
dampak terhadap petani dan juga pendapatan kabupaten Garut diantaranya:
1. Mendorong dan menciptakan iklim perekonomian di Kabupaten Garut yang
2. Mendayagunakan dan mengoptimalkan seluruh sumberdaya melalui
peningkatan pemanfaatan dan penerapan IPTEK serta kerjasama dan
kemitraan sinergi antar pelaku pembangunan (stakeholder)
3. Mempercepat pembangunan wilayah/daerah tertinggal serta mengurangi dan
sekaligus merehabilitasi daerah/wilayah kritis.
4. Pengembangan masing-masing distrik harus senantiasa berorientasi pada
kekuatan pasar (market driven) melalui pemberdayaan masyarakat yang
tidak saja diarahkan pada upaya pengembangan usaha budidaya (on farm),
tetapi juga meliputi pengembangan agrobisnis hulu (penyediaan sarana
pertanian) dan agrobisnis hilir (processing dan pemasaran) dan jasa-jasa
pendukung (Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura kabupaten
Garut).
Kawasan agropolitan merupakan pengembangan kawasan yang didominasi oleh
kegiatan pertanian. Maka pengembangan kawasan ini harus disertai dengan dukungan
dari masyarakat di kecamatan tersebut, terutama yang memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Petani sebagai pengolah pertanian memiliki karakteristik sendiri pada
suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya. Karakteristik petani itu sendiri
dapat dilihat dari segi seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani,
kondisi sosial ekonomi, keinginan untuk berkembang, keterampilan dalam
menggunakan teknologi, kepemilikan lahan, dan lain sebagainya. Sebab untuk mencapai
tujuan pengembangan kawasan agropolitan membutuhkan peran aktif dari petani di
kawasan tersebut. Dengan mengidentifikasi karakteristik petani di kecamatan Cisurupan
maka penulis tertarik untuk mengkaji tingkat kesiapan petani dalam menghadapi
pengembangan kecamatan Cisurupan menjadi kawasan agropolitan. Karena, kesiapan
petani akan menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan
Cisurupan ini. Pengembangan kawasan agropolitan ini juga membutuhkan kerjasama
yang baik antara pihak pemangku kebijakan, lembaga pengelola serta petani sebagai
sasarannya.
Kabupaten Garut merupakan salahsatu kabupaten penghasil berbagai tanaman
pangan dan hortikultura. Sehingga,di kabupaten Garut telah dikembangkan kawasan
agropolitan yakni di kecamatan Cisurupan. Kawasan agropolitan merupakan kawasan
yang didominasi oleh pertanian sebagai sumber mata pencaharian dengan
mengembangkan sistem agrobisnis. Petani sebagai pengolah pertanian memiliki peranan
penting dalam pengembangan kawasan ini. Disamping itu, dalam mencapai
keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan tentu membutuhkan kesiapan dari
berbagai pihak. Kesiapan tersebut salahsatunya meliputi kerjasama dari berbagai pihak
untuk menunjang kegiatan agribisnis. Kegiatan agribisnis merupakan kegiatan yang
membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Kerjasama tersebut meliputi kerjasama
antar petani maupun lembaga-lembaga terkait yang memberikan kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan. Namun, di kecamatan Cisurupan ini hanya
sebagian petani yang bekerja sama dengan baik dengan lembaga pertanian. Selain itu,
petani juga harus mampu bekerja sama dengan sesama petani lainnya. Akan tetapi pada
kenyataannya, gotong royong dan tingkat kerjasama petani di kecamatan Cisurupan ini
semakin berkurang. Jika hal ini terus berlanjut akan berdampak pada terhambatnya
pelaksanaan program yang telah direncanakan. Mengingat pentingnya hal tersebut,
maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kesiapan petani dalam
menghadapi pengembangan agropolitan ini dengan melaksanakan penelitian yang berjudul “Tingkat Kesiapan Petani dalam Menghadapi Pengembangan Agropolitan di Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut.”
C. Rumusan Masalah
Dari masalah-masalah diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan dalam
penelitian ini diantaranya:
1. Bagaimana karakteristik petani di kawasan agropolitan kecamatan Cisurupan ?
2. Bagaimana tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan usahanya
3. Bagaimana tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan kerjasama yang
dilakukan oleh petani ?
4. Bagaimana tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan pengetahuannya
dalam mengelola budidaya pertanian?
5. Bagaimana tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan pemasaran
produk pertanian kepada konsumen?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diantaranya:
1. Mengidentifkasi karakteristik petani di kawasan agropolitan kecamatan Cisurupan
kabupaten Garut.
2. Mengidentifikasi tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan usahanya dalam
mencari informasi baru.
3. Mengidentifikasi tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan kerjasama yang
dilakukan oleh petani.
4. Mengidentifikasi tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan pengetahuan
pengelolaan budidaya pertanian.
5. Mengidentifikasi tingkat kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kecamatan Cisurupan sebagai kawasan agropolitan berdasarkan pemasaran produk
pertanian.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan tercapai dalam penelitian ini diantaranya:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemangku kebijakan dalam meningkatkan
pengembangan kawasan agropolitan.
2. Bagi penulis, sebagai bentuk implementasi dari ilmu yang telah dipelajari di
3. Bagi masyarakat, sebagai pengetahuan mengenai kawasan agropolitan dan
tingkat kesiapannya dalam menghadapi pembangunan kecamatan Cisurupan.
4. Bagi pembaca, sebagai bacaan untuk pengetahuan ataupun referensi untuk
penelitian selanjutnya.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur
dan batasan dari beberapa kata istilah-istilah yang dipakai dalam suatu penelitian.
Dalam penelitian ini terdapat variabel dan indikator diantaranya :
1. Kawasan Agropolitan
Kawasan Agropolitan menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan
sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional
dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan agrobisnis.
2. Kesiapan Petani
Kesiapan petani adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap
untuk memberi respons/jawab didalam cara tertentu terhadap suatu situasi.
Dalam situasi ini adalah kesiapan petani dalam menghadapi pengembangan
kawasan agropolitan. Petani dapat dikatakan siap dalam menghadapi
pengembangan agropolitan jika petani melakukan usaha untuk mencari
informasi baru, melakukan kerjasama dengan petani maupun intansi terkait,
mengetahui budidaya pertanian, serta memasarkan produk pertanian tersebut.
3. Usaha Mencari Informasi Baru
Pengetahuan petani dalam peningkatan produksi didapatkan petani melalui
media informasi, pameran, maupun lomba pertanian. Dengan mendapatkan
informasi tersebut maka diharapkan petani dapat meningkatkan produksi
pertanian yang ditanamnya. Maka petani dapat dikatakan siap jika petani
berusahan mencari informasi baru untuk mengelola budidaya pertaniannya baik
melalui kunjungan ke pameran, penyuluhan, dan melalui membaca buku
pertanian.
Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang
(lembaga, pemerintah, dan sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama.
Kerjasama merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan kawasan
agropolitan. Kerjasama dapat meningkatkan motivasi dan hubungan kerja antar
petani. Selain itu, pengembangan kawasan agropolitan melibatkan berbagai
pihak. Pihak tersebut diantaranya petani sebagai subjek yang harus proaktif,
UPTD pertanian, penyuluh, dan mitra. Maka, petani dapat dikatakan siap jika
petani telah melakukan kerjasama yang baik dengan petani lain serta pihak
terkait seperti penyuluh.
5. Pengelolaan aspek budidaya
Pengetahuan pengelolaan budidaya merupakan aspek yang sangat penting bagi
petani untuk meningkatkan produksinya. Pengelolaan aspek budidaya meliputi
pengetahuan tentang bibit terutama kualitas bibit, serta pengetahuan mengenai
kondisi tanah, pH yang baik serta suhu dan karakteristik tanaman yang baik.
Petani dapat dikatakan siap jika telah melakukan pengelolaan budidaya
hortikultura dengan baik. Selain itu, banyak cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hasil produksi. Diantaranya adalah penggunaan pupuk dan
pestisida. Pupuk yang dapat digunakan oleh petani bermacam-macam
diantaranya yakni urea, ZA, HCL, NPK, bahkan pupuk organic.
6. Pemasaran produk kepada konsumen.
Hasil produksi pertanian dapat sampai kepada konsumen melalui pemasaran
yang dilakukan oleh petani. Dalam pemasaran, petani harus mengetahui naik
turunnya harga komoditas serta perubahan harga yang terjadi. Dengan begitu,
petani dapat merencanakan waktu untuk menanam dan waktu untuk panen.
Sehingga keuntungan yang didapat pun akan besar. Selain itu, petani harus
mengetahui tempat pemasaran yang menguntungkan untuk mengatur strategi
pemasaran. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik petani harus memilih
komoditas berdasarkan kualitas serta mengemasnya agar mudah dibawa. Maka
petani dapat dikatakan siap jika petani sebagian besar telah mengetahui dan
Nama : Susi Febriana
Tahun : 2003
Rumusan Masalah:
a. Sejauh mana kesiapan petani di Kawasan Sentra Produksi untuk dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan agrobisnis?
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kesiapan petani?
c. Bagaimana meningkatkan kemampuan petani untuk terlibat aktif dalam agrobisnis sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi ekonomi wilayah ?
Metode Penelitian : Metode deskrptif, mengkaji kemampuan petani sesuai parameter dengan menggambarkan data dari kondisi factual tanpa membuat suatu kesimpulan secara umum
Hasil Penelitian :Petani cenderung siap pada beberapa tolok ukur dari aspek manajemen produksi, menghadapi resiko, menerapkan teknologi, memperoleh informasi dan kerjasama. Namun pada beberapa aspek tersebut juga ditemui kecenderungan tidak siap yakni aspek kemampuan dalam menemukan pasar bagi produknya. Kondisi yang mengarah ketidaksiapan pengetahuan dan keterampilan dalam pemasaran produk, penggunaan teknologi dan pemanfaatan informasi.
2. Analisis Kesiapan Masyarakat Petani Ladang Berpindah dan Fallow System Bagi Pengembangan Agropolitan (Studi Kasus di Kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat)
Nama : Liza Stiawati
Tahun : 2004
Rumusan Masalah :
a. Dapatkah komunitas yang bercirikan ladang berpindah dan fallow system
dikembangkan menjadi bagian dari agropolitan, dan apa yang harus dipenuhi sebagai suatu prasyarat sosial ekonomi dalam komunitas peta ladang berpindah untuk mewujudkan agropolitan?
c. Berapa besarnya nilai WTP (Willingness To Pay) petani ladang berpindah dan fallow system untuk perbaikan lingkungan sebagai prasyarat ekologis yang harus dicapai agar agropolitan terwujud?
Metode : Metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dan CVM
(Contingent Valuation Method)
Hasil Penelitian : Sistem pertanian yang ada sekarang tidak dapat diubah secara langsung menjadi agropolitan karena belum terpenuhinya persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu pertanian komersial modern. Sebelum agropolitan dapat diwujudkan, dibutuhkan suatu kondisi transisi yang diciptakan melalui perbaikan sosial-ekonomi dan ekologi di kawasan yang menjadi lokasi penelitian.
3. Pengaruh Agribisnis Hortikultura Terhadap Kesejahteraan (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur)
Nama : Nurul Hikmah
Tahun : 2013
Rumusan Masalah :
a. Bagaimana kondisi agribisnis hortikultura di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur?
b. Bagaimana produksi hortikultura di Kawasan Agropilitan Kecamatan Pacet Kabupaten Garut ?
c. Bagaimanakah pengaruh agribisnis hortikultura terhadap kesejahteraan petani di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur?
Metode Penelitian : Metode Deskriptif
Hasil Penelitian : Luas lahan garapan petani berkisar 1000-5000 m,
status kepemilikan lahan adalah sistem sewa. Petani melibatkan 1-5 orang tenaga kerja dan memiliki modal awal <Rp.1.000.000,- . Faktor proses menjelaskan bahwa petani menggunakan sistem pola tanam tumpang sari dan menggunakan semua jenis pupuk mencakup urea, HCL, ZA, NPK serta pupuk kandang. Sistem pengairan lahan adalah sistem tadah hujan. Faktor output meliputi kerusakan hasil panen sebanyak 11-20 % dan produktifitas terbesar adalah jenis wortel dan daun bawang dan dijual seluruhnya ke tengkulak, penghasilan perbulan <Rp.5.000.000,-. Analisis data menunjukkan bahwa terdapat pengaruh agribisnis begitu besar terhadap luas lahan garapan terhadap
pendapatan. Sedangkan pengaruh modal awal terhadap pendapatan
4. Karakteristik Petani dan Hubungannya Dengan Kompetensi Petani Lahan Sempit (Kasus Di Desa Sinar Sari Kecamatan Dramaga Kab. Bogor Jawa Barat)
Nama : Ira Manyamsari dan Mujiburrahmad
Tahun : 2014
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana hubungan karakteristik petani dengan kompetensi petani lahan sempit di Desa Sinar Sari?
Metode Penelitian : Metode survey yang bersifat deskriptif korelasional untuk melihat hubungan antara variabel antecendent dengan variabel konsekuen.
Hasil Penelitian :
a. Bidang kompetensi yang dikuasai oleh petani lahan sempit di Desa Sinar Sari yang berada pada kategori sangat kompeten adalah : 1) Kombinasi cabang usaha, 2) Jiwa kewirausahaan, 3) Panen, dan 4) Pemasaran hasil usaha. Sedangkan penanganan pascapanen berada kategori kompeten. Secara umum, kompetensi petani lahan sempit di Desa Sinar Sari berada pada kategori kompeten.
b. Karakteristik yang berhubungan secara signifikan dengan kompetensi petani lahan sempit adalah 1) pendidikan formal, 2) Luas lahan dan Pemanfaatan media informasi. Sedangkan yang tidak berhubungan secara signifikan adalah 1) umur, 2)Pelatihan, 3) Pengalaman berusaha tani, dan 4) Interaksi dnegan penyuluh.
5. Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi Rencana Pembangunan Waduk Kuningan (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Kawungsari Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan
Nama : M. Fajar Isniawansyah
Tahun : 2015
Rumusan Masalah :
a. Bagaimana rencana pembangunan waduk Kuningan ?
b. Bagaimana kesiapan masyarakat Desa Kawungsari dalam menghadapi rencana pembangunan Waduk Kuningan ?
Metode Penelitian : Metode deskriptif
Hasil Penelitian :
Sebagian besar masyarakat desa Desa Kawungsari telah mengetahui rencana pembangunan waduk Kuningan, yang bersumber dari hasil sosialisasi pihak
pemerintah. Sikap masyarakat sangat mendukung terhadap rencana
keterampilan kerja. Dengan demikian masyarakat Desa Kawungsari memiliki kesiapan dalam menghadapi rencana pembangunan Waduk Kuningan.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dapat terlihat perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya diantaranya:
1. Penelitian ini mengambil lokasi yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di
Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut.
2. Penelitian ini merumuskan masalah yang berbeda. Pada penelitian sebelumnya
merumuskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan, studi
kesiapan petani serta faktor-faktor untuk meningkatkan kesiapan petani. Namun
dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah karakteristik petani di
Kecamatan Cisurupan serta tingkat kesiapan petani dalam menghadapi
pengembangan agropolitan.
3. Perbedaan variabel penelitian. Dalam penelitian sebelumnya variabel penelitian
yang digunakan adalah mengenai manajemen pertanian. Sedangkan dalam
penelitian ini penulis fokuskan pada kemampuan petani dalam meningkatkan
produksi dengan mengidentifikasi pengetahuannya dalam bercocok tanam
hortikultura sebab untuk tahun 2015 pemerintah setempat memfokuskan pada
peningkatan hasil produksi hortikultura sebesar 5 %.
H. Struktur Organisasi
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I menguraikan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II menguraikan berbagai teori yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas meliputi kajian pertanian dalam geografi, karakteristik petani, kesiapan
petani, serta pengembangan agropolitan berbasis agrobisnis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab III menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses dalam
variabel penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis
data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV membahas mengenai pengolahan dan analisis data sehingga
menghasilkan penemuan yang berkaitan dengan kesiapan petani dalam menghadapi
pengembangan agropolitan di Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut.
BAB V PENUTUP
Pada bab V ini berisi tentang simpulan dari hasil penelitian serta saran berupa