Borobudur, Kabupaten Magelang)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh: Nurul Azizah
10413244025
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
~~ Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan,
maka jawabannya sederhana: pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia ~~
~(Plato)~
~~ Jalan yang kau tempuh,
harus indah seperti bunga dan kuat seperti pohon ~~ ~(Sanjuro Tsurugi)~
~~ Sometimes,
preparing the party is more enjoyable than the party it self ~~
~~ Hompimpa alaium gambreng ~~
vi
Dengan penuh rasa syukur kepada
Allah SWT, karya sederhana ini
aku persembahkan untuk :
Orang tua tercinta yang tanpa lelah selalu berjuang untuk anak-anaknya dan mendidik kami dengan penuh kesabaran, Bapak Musyafa’ dan Ibu Siti Masroh.
vii Oleh Nurul Azizah
Abstrak
Penelitian ini mengkaji implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui media permainan tradisional apa saja yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak, bagaimana proses implementasi tersebut, serta apa saja faktor pendorong dan penghambat proses implementasi pendidikan multikultural melalui permainan tradisional.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Subyek penelitian ini adalah pihak pengelola, laskar, dan pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara, yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Validitas dan reliabilitas data diperoleh dari teknik triangulasi sumber, diskusi dengan ahli, dan pemeriksaan sejawat. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan tahap reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan multikultural di Kampoeng Dolanan Nusantara diimplementasikan menggunakan media permainan tradisional seperti gasing, wayang, gobag sodor, dakon, lagu-lagu dolanan dan lain-lain. Proses implementasi tersebut diawali dengan tahap pengenalan dan dilanjutkan tahap bermain. Nilai toleransi, kebersamaan, keadilan, empati, dan demokrasi ikut terimplementasi bersama dengan sejumlah fungsi dan tujuan pendidikan multikultural. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan keunikan permainan tradisional mampu mendorong terlaksananya proses implementasi pendidikan multikultural. Sementara masih kurangnya fasilitas penunjang dan belum lengkapnya permainan yang disediakan di Kampoeng Dolanan Nusantara menjadi hambatan tersendiri dalam proses implementasi pendidikan multikultural pada anak.
Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Permainan Tradisional, Kampoeng
viii
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Anak Melalui
Permainan Tradisional (Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan,
Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang)” ini sebagai salah
satu syarat untuk meraih gelar sarjana pendidikan.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si selaku pembimbing yang telah
memberikan banyak pengarahan dan masukan berharga kepada penulis.
3. Bapak Grendi Hendrastomo, M.M. M.A selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Sosiologi.
4. Ibu Puji Lestari, M.Hum selaku penguji utama dalam skripsi ini.
5. Bapak Adi Cilik Pierewan, Ph.D selaku ketua penguji dalam skripsi ini.
6. Ibu Nur Hidayah, M.Si selaku sekretaris penguji dalam skripsi ini.
7. Seluruh dosen Pendidikan Sosiologi yang telah membimbing dan
memberikan banyak pengetahuan baru kepada penulis.
8. Seluruh staf dan karyawan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
x
PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 10
C. Pembatasan Masalah ... 11
D. Rumusan Masalah ... 11
E. Tujuan Penelitian... 11
F. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka ... 14
1. Pendidikan Multikultural ... 14
2. Kajian Anak ... 18
3. Permainan Anak Tradisional... 21
B. Kajian Teori ... 29
C. Penelitian Relevan... 31
xi
D. Sumber Data ... 37
E. Teknik Pengumpulan Data ... 38
F. Teknik Penentuan Informan ... 40
G. Validitas Data ... 41
H. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 45
1. Deskripsi Kampoeng Dolanan Nusantara ... 45
2. Deskripsi Informan ... 53
B. Analisis dan Pembahasan ... 58
1. Analisis Data ... 58
1.1.Implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui media permainan tradisional ... 58
1.2.Faktor pendorong dan penghambat implementasi pendidikan multikultural melalui media permainan tradisional ... 78
2. Pembahasan... 83
C. Pokok Temuan Penelitian ... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88
B. Saran... 91
xii 3. Keterangan Kode
Oleh Nurul Azizah
Abstrak
Penelitian ini mengkaji implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui media permainan tradisional apa saja yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak, bagaimana proses implementasi tersebut, serta apa saja faktor pendorong dan penghambat proses implementasi pendidikan multikultural melalui permainan tradisional.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Subyek penelitian ini adalah pihak pengelola, laskar, dan pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara, yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Validitas dan reliabilitas data diperoleh dari teknik triangulasi sumber, diskusi dengan ahli, dan pemeriksaan sejawat. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan tahap reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan multikultural di Kampoeng Dolanan Nusantara diimplementasikan menggunakan media permainan tradisional seperti gasing, wayang, gobag sodor, dakon, lagu-lagu dolanan dan lain-lain. Proses implementasi tersebut diawali dengan tahap pengenalan dan dilanjutkan tahap bermain. Nilai toleransi, kebersamaan, keadilan, empati, dan demokrasi ikut terimplementasi bersama dengan sejumlah fungsi dan tujuan pendidikan multikultural. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan keunikan permainan tradisional mampu mendorong terlaksananya proses implementasi pendidikan multikultural. Sementara masih kurangnya fasilitas penunjang dan belum lengkapnya permainan yang disediakan di Kampoeng Dolanan Nusantara menjadi hambatan tersendiri dalam proses implementasi pendidikan multikultural pada anak.
Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Permainan Tradisional, Kampoeng
1
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah teritorial sangat
luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Hal tersebut nampak dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam. Indonesia memiliki kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil dengan
populasi penduduk lebih dari 200 juta jiwa, dan terdiri dari 300 suku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga
menganut kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan (Yaqin,
2005: 4). Selain hal tersebut keragaman latar belakang masyarakat Indonesia
juga nampak pada berbagai unsur sosial yang lain, khususnya dalam hal
kebudayaan. Tingginya tingkat keragaman budaya dalam masyarakat
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat banyak sub kebudayaan atau kultur
yang berkembang di suatu wilayah tertentu.
Sub kultur atau perbedaan karakteristik kultural dalam satu kelompok
masyarakat di Indonesia dapat berupa banyak hal, misalnya sub kultur etnis;
etnis Jawa, Sunda, Batak, Bali, Bugis dan lain-lain. Kemudian ada juga sub
kultur agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai
keyakinan lokal (animisme dan dinamisme) lain yang tumbuh di dalam
masyarakat. Selain itu sub kultur juga muncul dalam berbagai bentuk lain
kebudayaan-kebudayaan lokal dari masyarakat Indonesia ini merupakan
sebuah kekayaan budaya yang muncul karena heterogenitas masyarakat yang
begitu tinggi. Banyaknya budaya lokal di dalam masyarakat juga menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur dan bukan
monokultur.
Keragaman bentuk budaya bangsa Indonesia dapat kita temukan dalam
berbagai unsur kehidupan masyarakat. Salah satunya dapat kita contohkan dari
adat atau tradisi upacara kematian. Setiap masyarakat memiliki keyakinan
berbeda tentang bagaimana memperlakukan orang yang telah meninggal agar
arwahnya mendapat ketenangan. Misalnya pada masyarakat Nias, dimana
mereka melangsungkan dua upacara adat sakral yaitu "Famalakhisi" dan
"Fanörö Satua". Famalakhisi merupakan upacara perjamuan terakhir yang
dilakukan untuk seorang ayahyang hampir meninggal, dan dalam upacara ini
dihidangkan daging babi untuk perjamuan. Semua putera sang Ayah tersebut
harus datang karena sang Ayah akan memberkati mereka agar tidak mengalami
rintangan hidup. Kemudian Fanörö Satua, yaitu upacara mengantarkan roh/
arwah ke alam baka dengan tenang. Dalam upacara ini disajikan daging babi
yang sangat banyak, dan bisa mencapai 200-300 ekor babi. Banyaknya jumlah
daging babi yang disajikan dalam upacara ini juga menjadi sarana untuk
menunjukkan status sosial orang yang meninggal
(http://nias-web.blogspot.com). Berbeda dengan di Nias, masyarakat Bali yang sebagian
besar beragama Hindu, melakukan Upacara Ngaben untuk membebaskan roh
mensucikan roh sehingga layak dipuja (Wijaya, 2011: 155-156). Jasad orang
yang telah meninggal akan dibakar dan abunya dituangkan ke laut agar
mendapat perlindungan dewa. Dalam upacara ini juga status sosial orang yang
meninggal akan nampak. Semakin mewah dekorasi dan persiapan upacara yang
dilakukan berarti semakin tinggi juga status sosial orang tersebut
(http://www.indonesia.travel).
Contoh di atas merupakan gambaran kecil keragaman budaya di
Indonesia. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
multikultur kadang tidak disikapi dengan cukup baik oleh masyarakat.
Terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa kebudayaan yang beragam
merupakan sebuah kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Masyarakat
malah cenderung menutup diri dan kurang menghargai budaya masyarakat lain.
Hal ini berarti multikulturalisme telah memunculkan rasa harga diri dari suatu
kelompok di dalam masyarakat. Rasa harga diri ini dapat disebut paham
tribalisme yang tidak lain merupakan hak dari suatu kelompok untuk diakui
keberadaannya dalam mengembangkan dan hidup di dalam kebudayaannya
(Tilaar, 2004: 178). Ketika rasa harga diri ini tumbuh tanpa disertai kesadaran
untuk saling bertoleransi maka pada akhirnya akan muncul berbagai masalah
sosial.
Permasalahan kongkret yang muncul karena keragaman kultur dan latar
belakang sosial masyarakat dapat kita lihat pada berbagai konflik sosial yang
terjadi di Indonesia. Misalnya saja konflik disertai aksi kekerasan yang terjadi
interpersonal meluas menjadi konflik etnis religius dan menghancurkan tatanan
sosial, ekonomi, dan politik Ambon Maluku (Susan, 2010: 158). Kemudian
juga konflik di Lampung Selatan yang terjadi pada tahun 2012 yang membuat
sejumlah orang tewas dan ribuan lainnya harus mengungsi. Konflik yang
dipicu karena kesalahpahaman antara dua kelompok warga ini pada akhirnya
menimbulkan kerugian yang tidak sedikit (news.detik.com). Selain contoh
tersebut masih ada banyak konflik sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia dan memerlukan upaya penyelesaian yang tepat seperti misalnya
konflik sekterian antara Sunni dan Syi’ah.
Gambaran kasus-kasus kerusuhan dan pertikaian etnis yang terjadi secara
merata di negeri ini menegaskan kembali kepada kita, bahwa pluralitas budaya
masyarakat Indonesia merupakan persoalan krusial yang perlu dikelola secara
serius, sistematis, dan kontinyu dengan menukik pada akar persoalan
(Kumbara, 2009: 533). Dengan demikian maka perlu dikembangkan suatu
kesadaran tentang multikulturalisme di dalam masyarakat. Dengan memiliki
suatu kesadaran multikultural maka diharapkan nantinya masyarakat akan
mampu menerapkan sikap-sikap yang mendukung pada multikulturalisme
seperti saling menghargai budaya lain, toleransi, dan tidak melakukan
diskriminasi terhadap golongan masyarakat tertentu. Kumbara (2009: 534)
menjelaskan bahwa salah satu langkah politis yang dianggap strategis yang
perlu diambil oleh pemerintah bagi pengembangan kesadaran dan sikap
multikulturalisme adalah melalui pendidikan multikultural. Hal senada juga
konflik yang bernuansa SARA tentunya dibutuhkan sebuah paradigma
pendidikan multikultural. Paradigma pendidikan multikultural merupakan
paradigma pendidikan yang melembagakan filsafat pluralisme budaya dalam
sistem pendidikan dengan mengedepankan prinsip persamaan, saling
menghargai, menerima dan memahami serta adanya komitmen moral terhadap
keadilan sosial (Zubaedi, 2005).
Agar dapat memberikan hasil yang maksimal maka konsep pendidikan
multikultural perlu dipahami dan diterapkan oleh setiap anggota masyarakat.
Salah satu komponen penting dari masyarakat adalah anak. Sebagai bagian dari
masyarakat maka anak juga perlu memahami tentang multikulturalisme. Agar
anak dapat memahami tentang keragaman budaya disekitarnya maka tentunya
ia perlu diperkenalkan dengan konsep pendidikan multikultur. Harapannya,
dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu anak mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda
suku, budaya, nilai dan kepribadian (diedit dari Zubaedi, 2005:65).
Secara tidak langsung pendidikan multikultural juga telah menjadi bagian
dari sistem pendidikan nasional di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang
termuat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
langkah pencegahan konflik yang juga sesuai dengan konsep pendidikan
nasional.
Meski demikian upaya implementasi pendidikan multikultural kepada
anak tidak harus dilakukan di lembaga pendidikan formal seperti sekolah.
Pendidikan multikultural dapat diimplemetasikan melalui berbagai macam cara
dan media. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk
mengimplementasikan pendidikan multikultural kepada anak adalah melalui
pendidikan informal di dalam masyarakat. Pendidikan informal yang
digunakan di sini adalah melalui interaksi antara anak dengan lingkungan
sekitarnya. Dalam berinteraksi anak memerlukan suatu sarana, salah satu
sarana yang biasa digunakan dalam interaksi seorang anak adalah melalui
permainan.
Permainan anak-anak memang sangat efektif untuk dijadikan sebagai
media pembelajaran yang ideal untuk pengembangan jiwa anak dalam konteks
pendidikan (Ariani, 2011: 51). Pada tahun 1840 Friedrich Frobel mendirikan
taman anak pertama kali dan diberi nama Kindergarten, dimana taman anak
tersebut diisi beberapa macam pelajaran dan salah satu metode pendidikannya
adalah dengan menggunakan permainan. Permainan anak diakui sebagai
metode yang sangat efektif untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas anak.
Karena secara simultan permainan anak tersebut bisa mengembangkan raga
dan jiwa anak sekaligus, yaitu antara olah raga, olah pikir, olah seni, dan olah
rasa. Oleh karenanya permainan dapat dijadikan sarana penanaman pendidikan
tersebut tidak berarti kita bisa menggunakan semua jenis permainan untuk
mengimplementasikan pendidikan multikultural. Nilai-nilai pendidikan akan
tersampaikan dengan baik apabila sarana yang digunakan juga tepat. Secara
umum permainan anak dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu
permainan anak tradisional dan permainan anak modern. Jika dikaitkan dengan
pendidikan multikultural yang menyangkut banyak budaya dan masyarakat
maka media yang tepat untuk digunakan adalah permainan tradisional.
Permainan anak tradisional lebih bersifat sosial, sementara permainan anak
modern lebih bersifat individual (Suyami, 2007: 206-207).
Upaya implementasi nilai-nilai pendidikan melalui media permainan
tradisional saat ini memang tidak dapat kita temukan dengan mudah. Hal ini
karena kemajuan zaman dan globalisasi yang telah masuk ke semua aspek
kehidupan masyarakat telah mengikis eksistensi permainan tradisional
nusantara, dan kondisi ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Ahli
sejarah permainan anak-anak dari Inggris, Peter dan Iona Opie telah
mengidentifikasi ratusan permainan anak-anak tradisional, hampir tak satu pun
yang sekarang ini dimainkan secara rutin oleh anak-anak Amerika. Permainan
anak-anak dimasa lalu dimainkan tanpa perlu instruksi, wasit atau penonton,
permainan ini menggunakan tempat dan alat yang ada, permainan ini
dimainkan demi sebuah alasan yang tak lain merupakan kegembiraan semata.
Namun sekarang bukan lagi kesenangan yang dicari para pemain, tapi reputasi
Kondisi ini merupakan suatu kenyataan yang memprihatinkan banyak
pihak, salah satunya adalah bapak Endi Aras. Keprihatinannya akan eksistensi
permainan tradisional nusantara telah mendorongnya untuk menggagas dan
mendirikan sebuah wahana wisata edukasi yang di dalamnya terdapat berbagai
macam permainan tradisional dari seluruh nusantara. Gagasannya tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk wahana wisata edukasi yang dinamai
“Kampoeng Dolanan Nusantara”. Wahana ini didirikan di beberapa lokasi,
salah satunya adalah di Dusun Sodongan Desa Bumiharjo Kecamatan
Borobudur Kabupaten Magelang.
Kampoeng Dolanan Nusantara merupakan wahana wisata yang dibuat
untuk melestarikan dan mengenalkan kembali permainan-permainan tradisional
asli nusantara. Kampoeng Dolanan Nusantara juga merupakan sebuah media
alternatif atau inovasi baru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada
anak. Penanaman berbagai nilai edukasi kepada anak dengan menggunakan
media permainan tradisional merupakan salah satu tujuan utama Kampoeng
Dolanan Nusantara. Masa kanak-kanak yang sering dikenal dengan istilah
“Masa Bermain” adalah masa yang selalu membutuhkan perkembangan.
Menurut Al-Syaibany (1979) seperti dikutip Ariani (2011: 50) hal ini terjadi
karena masa anak-anak merupakan masa yang ideal menjadi sasaran
pendidikan dan pembinaan dikarenakan pada hakikatnya masa anak-anak
memiliki pribadi yang utuh sebagai manusia namun belum berkembang.
Dengan kesadaran tersebut kemudian muncul Kampoeng Dolanan Nusantara
belajar bagi anak-anak. Penggunaan permainan tradisional nusantara untuk
menanamkan nilai-nilai pendidikan, diharapkan dapat membuat anak belajar
dengan perasaan senang dan bisa menerima pesan-pesan yang terkandung dari
setiap permainan yang ada. Karena secara tidak disadari seorang anak akan
mendapatkan banyak sekali ilmu melalui permainan tradisional. Paling tidak
terdapat nilai pendidikan karakter dan pendidikan multikultural dalam
permainan tradisional.
Permainan tradisional sendiri pada dasarnya telah menggambarkan
konsep multikultural. Karena biasanya permainan tradisional yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu masyarakat mencerminkan warna kebudayaan
setempat (Suyami, 2007: 208). Berdasarkan uraian yang ada, maka peneliti
kemudian melakukan penelitian tentang bagaimana proses implementasi
pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional. Peneliti
merasa topik ini perlu diteliti karena implementasi pendidikan multikultural
pada anak merupakan suatu hal yang penting dan perlu dipahami secara
mendalam. Terlebih ketika proses tersebut dilakukan diluar lembaga formal,
dan dengan media permainan tradisional yang saat ini sudah mulai dilupakan.
Selain itu kajian terkait implementasi pendidikan multikultural pada anak
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang ada, maka dapat diidentifikasikan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Keragaman latar belakang sosial yang ada pada masyarakat Indonesia sering
kali menimbulkan konflik sosial.
2. Metode pendidikan untuk anak yang sudah ada selama ini cenderung masih
kurang bervariasi.
3. Belum maksimalnya pemanfaatan wahana wisata untuk menanamkan
nilai-nilai pendidikan pada anak.
4. Adanya kecenderungan pada anak dimana mereka memainkan sebuah
permainan dengan hanya mengambil nilai hiburan dan mengesampingkan
nilai edukasi.
5. Permainan tradisional nusantara semakin hilang dari masyarakat.
6. Masih minimnya wahana wisata edukasi yang menyajikan permainan
tradisional untuk anak.
7. Rasa individualisme yang semakin besar pada anak yang muncul karena
kurangnya sosialisasi dengan teman sebaya dan lingkungan.
8. Permainan tradisional sebagai wahana implementasi pendidikan
multikultural anak sejak dini belum banyak diketahui masyarakat luas.
9. Permainan tradisional yang sudah dikembangkan di Kampoeng Dolanan
C.Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini perlu
dibatasi pada fokus yang lebih sempit. Penelitian ini dibatasi pada
implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan
tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara.
D.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah,
dan pembatasan masalah yang ada maka dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Media permainan tradisional apa saja yang ada di Kampoeng Dolanan
Nusantara yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan
multikultural pada anak?
2. Bagaimana proses implementasi pendidikan multikuktural pada anak
melalui media permainan tradisional?
3. Apa faktor pendukung dan penghambat implementasi pendidikan
multikultural melalui permainan tradisional tersebut pada anak?
E.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada maka tujuan yang ingin
1. Mengetahui media permainan tradisional apa saja yang ada di Kampoeng
Dolanan Nusantara yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan
pendidikan multikultural pada anak.
2. Mengetahui proses implementasi pendidikan multikuktural pada anak
melalui media permainan tradisional.
3. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi pendidikan
multikultural melalui permainan tradisional tersebut pada anak.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat positif
kepada berbagai pihak. Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada mata kuliah
Sosioantropologi pendidikan dan mata kuliah masyarakat multikultural,
khususnya pada konsep multikultural dan pada media implementasinya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan sumber informasi
b. Bagi Masyarakat
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat terkait bagaimana proses implementasi pendidikan
multikultural pada anak melalui permainan tradisional.
2) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada masyarakat luas
tentang keberadaan Kampoeng Dolanan Nusantara yang dapat
menjadi media implementasi pendidikan multikultural pada anak-anak
14 1. Pendidikan Multikultural
Gibson menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah
proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan,
mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari
sistem kebudayaan sendiri (Hanum, 2011:82). Pendidikan
pluralis-multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap
proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat
dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan pendidikan multikultural,
diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara luas yang
diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku, eksklusif,
dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda, apa
pun bentuk perbedaannya. Dalam konteks Indonesia yang sarat dengan
kemajemukan, pendidikan pluralis-multikultural memiliki peranan yang
sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif (Naim
dan Sauqi, 2011: 191).
Istilah multikultural dalam konsep pendidikan multikultural sendiri
berakar dari kata kultur yang secara umum sering diartikan sebagai budaya
dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu. Oleh sebab itu
konsep pendidikan multikultural dengan lebih baik. Kultur memiliki makna
yang sangat luas dan beragam, para ahli juga memberikan definisi
berbeda-beda tentang kultur. Untuk mempermudah dalam memahami makna kultur,
Conrad P. Kottak seperti dikutip Ainul Yaqin (2005) menjelaskan bahwa
kultur mempunyai karakter-karakter khusus, meliputi:
a. kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General
artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti
setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan
lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada,
b. kultur adalah sesuatu yang dipelajari, dan hal ini terkait dengan
pembelajaran kultural. Pembelajaran kultural yaitu suatu kemampuan
unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan
simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal
usul di mana mereka berada,
c. kultur adalah sebuah simbol, dalam hal ini simbol dapat berbentuk
sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus
yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat
diartikan ataupun dijelaskan,
d. kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Disini
kultur dapat mempengaruhi kebiasaan yang berkembang di masyarakat
dan kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara
e. kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi
atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat,
f. kultur adalah sebuah model, artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat
dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah
sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas,
g. kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya kultur merupakan
sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang
baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya
melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan
keturunan.
Dengan bekal pemahaman tentang kultur selanjutnya kita dapat lebih
mudah memahami konsep pendidikan multikultural. James A. Banks
merumuskan bahwa pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau
falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan
yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun
negara (Tilaar, 2004: 181). Kemudian lain halnya dengan Ainurrafiq
Dawam (Naim dan Sauqi, 2011: 50) yang menjelaskan bahwa pendidikan
multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Dengan demikian, pendidikan
setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia
datangnya dan berbudaya apa pun dia.
Keberadaan pendidikan multikultural di dalam masyarakat tidak
terlepas dari adanya suatu fungsi yang ia bawa. The National Council for
Social Studies (Hanum, 2011: 101) mengemukakan sejumlah fungsi penting
dari pendidikan multikultural, yaitu:
a. memberi konsep diri yang jelas,
b. membantu memahami pengalaman etnis dan budaya ditinjau dari
sejarahnya,
c. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu
memang ada pada setiap masyarakat,
d. membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making),
partisipasi sosial dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills),
e. mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.
Kemudian menurut Zubaedi (2005: 71) pendidikan multikultural juga
sekurang-kurangnya memiliki lima tujuan, yaitu:
a. meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik,
b. meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap
berbagai kelompok budaya di negaranya sendiri dan negara lain,
c. meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami
kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang kadang-kadang
bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku,
e. memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno,
menjauhi pandangan stereotipe dan mau menghargai semua orang.
Singkatnya paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat
menghapus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan
eksklusif dikalangan anak didik. Sebaliknya senantiasa dikondisikan bagi
tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah
pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan
atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terisi atas
pluralitas etnis, ras, agama, budaya dan kebutuhan. Pendidikan multikultural
mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan
budaya serta mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas
wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Dari sini dapat
digarisbawahi, bahwa nilai dasar dalam pendidikan multikultural adalah
toleransi. Sikap toleran ini tidak akan tertanam dengan sendirinya,
melainkan harus ada usaha sadar untuk menginternalisasikannya (Zubaedi,
2005). Terlebih lagi jika sasarannya adalah anak-anak, toleransi dan
pendidikan multikultural harus ditanamkan sejak dini melalui berbagai
media dan lembaga, tidak harus terpaku kepada lembaga formal dan
pemerintah.
2. Kajian Anak
Seluruh masa hidup manusia dapat dibagi menjadi dua masa utama,
Pada masa sesudah lahir, manusia juga mengalami berbagai tahap
perkembangan yang berlangsung secara berurutan atau berkesinambungan
melalui periode atau masa tertentu. Menurut pendapat Santrock yang dikutip
Yusuf dan Sugandhi (2012: 9) periode perkembangan itu terdiri atas tiga
periode, yaitu anak (childhood), remaja (adolescence), dan dewasa
(adulthood). Salah satu masa terpenting dalam perkembangan manusia
adalah pada masa anak atau usia dini. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak, pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak memiliki tujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Tujuan perlindungan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik
mungkin karena usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat menentukan perkembangan masa selanjutnya. Berbagai studi
yang dilakukan para ahli menyimpulkan bahwa pendidikan anak sejak usia
dini dapat memperbaiki prestasi dan meningkatkan produktivitas kerja masa
dewasanya. Erickson mengemukakan bahwa masa kanak-kanak merupakan
gambaran manusia sebagai manusia. Perilaku yang berkelainan pada masa
47). Selain itu perkembangan pada masa kanak-kanak juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan perilaku sosial yang ia miliki kelak.
Perilaku sosial pada anak sudah berkembang sejak ia masih bayi. Pada masa
bayi perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak
mau diajak orang lain, dan dengan orang banyak ia menunjukkan keceriaan.
Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang
seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat
berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah
mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005).
Jika ditinjau secara sosiologis maka perkembangan dapat dijelaskan
sebagai proses sosialisasi atau proses memasyarakatkan anak. Anak-anak
yang pada awalnya masih bersifat a-sosial atau pra-sosial, dalam
perkembangannya sedikit demi sedikit mulai disosialisasikan. Perilaku anak
kemudian akan mengalami penyesuaian dengan tuntutan norma
masyarakatnya, dan hal ini dapat dicapai melalui proses pendidikan.
Seorang tokoh pedagog sosiologis yaitu Baldwin memberikan konsep
tentang perkembangan anak sebagai proses sosialisasi dalam bentuk meniru
atau imitasi yang berlangsung secara adaptasi dan seleksi. Proses peniruan
ini terjadi melalui tiga fase (Fudyartanta, 2010) :
a. Fase proyektif, pada taraf ini anak mendapatkan kesan mengenai model
atau objek yang ditiru;
b. Fase subjektif, anak cenderung meniru gerakan-gerakan atau sikap model
c. Fase objektif, anak telah menguasai hal yang ditirunya, sehingga anak
dapat mengerti bagaimana orang merasakan, berpikir, berangan-angan,
berbuat, dan seterusnya.
Melalui fase-fase inilah kemudian anak menjadi berkembang dan
menerima proses sosialisasi atau disebut juga penyesuaian sosial. Lebih
lanjut lagi proses sosialisasi dimulai dengan meniru mentah-mentah apa
adanya, berkembang menjadi internalisasi atau penyerapan nilai, dan
kemudian distrukturalisasi sehingga terjadi stratifikasi nilai-nilai. Setelah itu
terjadilah proses institusionalisasi, artinya nilai-nilai yang diserap tadi
kemudian menjadi pedoman tingkah laku anak dan mengatur hidupnya
dimasyarakat. Jika anak mendapat sosialisasi yang tepat maka ia akan
mampu mengembangkan sebuah perilaku sosial yang baik yang akan ia
bawa hingga dewasa kelak.
3. Permainan Anak Tradisional
Permainan merupakan sebuah media sosialisasi dan interaksi yang
diciptakan oleh masyarakat untuk suatu tujuan tertentu, baik itu tujuan yang
sifatnya hiburan maupun tujuan edukatif. Permainan juga merupakan sebuah
unsur budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat khususnya
anak-anak. Menurut Christriyati Ariani (Munawaroh, 2011: 209) dunia anak
sering diidentikkan dengan dunia bermain. Bermain adalah merupakan suatu
masa yang sangat membahagiakan bagi diri si Anak. Dari situlah anak-anak
sebagai pembentuk kepribadiannya dan dapat dijadikan bekal dalam
kehidupan saat dewasa kelak. Dengan bermain si Anak dapat terangsang
untuk mengembangkan dirinya sebagai sarana dalam proses pembudayaan
atau sosialisasi. Kemudian juga melatih anak untuk berfikir secara rasional,
ketangkasan, bertanggung jawab, belajar dalam pergaulan dengan teman
sebayanya yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Istilah permainan berasal dari kata dasar main yang merupakan kata
kerja, dimana maknanya adalah melakukan permainan untuk menyenangkan
hati atau melakukan perbuatan untuk bersenang-senang baik menggunakan
alat-alat tertentu atau tidak menggunakan alat. Permainan merupakan kata
benda yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang jika dilakukan
dengan baik akan menyenangkan hati si pelaku (Direktorat Permuseuman,
1998:1). Berdasarkan pengertian yang ada, berarti suatu permainan harus
bisa menciptakan atau menimbulkan rasa senang bagi pelakunya.
Sehubungan dengan hal tersebut Ki Hajar Dewantara seperti dikutip
Munawaroh (2011: 211) menganjurkan adanya syarat-syarat yang perlu
dimiliki dalam sebuah permainan, khususnya permainan anak yang
ditujukan untuk pendidikan, yaitu:
a. Permainan harus menyenangkan dan menggembirakan anak, karena
kegembiraan adalah pupuk bagi tumbuhnya jiwa. Sebaliknya, kesusahan
b. Permainan harus memberi kesempatan kepada anak untuk berfantasi.
Anak jangan dibebani pekerjaan yang memaksa untuk meniru sesuatu
yang tidak hidup dalam jiwanya.
c. Permainan harus mengandung semacam tantangan, sehingga merangsang
daya kreatifitas untuk terus meningkatkan kemampuan guna mencapai
suatu kemenangan atau kepuasan tertentu, karena rasa kemenangan akan
sangat memajukan kecerdasan jiwa.
d. Permainan hendaknya mengandung keindahan atau nilai seni, karena rasa
keindahan akan menarik jiwa ke arah keluhuran budi.
e. Permainan harus mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah
ketertiban, kedisiplinan, dan sportivitas, karena ketertiban akan mendidik
rasa kesosialan yang akan sangat berguna bagi hidupnya kelak.
Permainan anak pada dasarnya memiliki keragaman yang tinggi,
sehingga dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori. Pengelompokan
permainan anak yang pertama yaitu berdasarkan perkembangan tahap
bermain pada anak (Fudyartanta, 2010: 332-333) yaitu:
a. Permainan fungsi atau permainan gerak. Permainan ini diterapkan pada
bayi yang berumur 1-3 bulan yang sedang belajar bergerak dan
memperhatikan hal-hal disekitarnya. Biasanya pada boks tempat tidur
bayi akan digantungkan mainan berwarna-warni yang dapat bersuara.
Ketika mainan digerakkan maka bayi akan memperhatikannya dan
mendengarkan suara yang muncul. Permainan semacam ini akan
b. Permainan bentuk. Permainan ini dilakukan saat anak sudah dapat
berjalan dan bermain dengan teman-temannya. Misalnya ia akan
membuat gunung dari gundukan pasir atau bentuk-bentuk lain sesuai
keinginannya.
c. Permainan fantasi dan peran. Pada tahap selanjutnya anak akan mampu
mengumpamakan sebuah benda menjadi wujud benda lain. Misalnya ia
bermain dengan tangkai daun pisang dan menganggapnya sebagai
senapan, sobekan kertas sebagai uang, dan lain-lain.
d. Permainan reseptif. Merupakan permainan yang bersifat menerima,
misalnya anak bermain sambil mendengarkan cerita dari ibunya, melihat
foto atau gambar, dan lain-lain.
e. Permainan sukses. Permainan ini biasanya memiliki nilai kompetitif
dimana ada hasil kesuksesan yang dapat diraih. Misalnya lomba
menggambar, lomba lari, menari, dan sebagainya.
Kemudian permainan juga dapat dikelompokkan berdasarkan
kegiatannya. Berdasarkan kegiatannya permainan anak dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu bermain aktif dan bermain pasif. Bermian aktif adalah
jenis bermain dimana kegembiraan anak muncul dari apa yang telah
dilakukan, seperti berkejar-kejaran, melukis, bermain drama, dan lain-lain.
Bermain pasif adalah jenis bermain dimana anak memperoleh kegembiraan
melalu usaha yang dilakukan orang lain, seperti mendengar dongeng,
menonton permainan orang lain, menonton televisi, membaca buku, dan
permainan anak dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu permainan anak
tradisional dan permainan anak modern (Sujarno, 2011 dan Suyami, 2007).
a. Permainan Anak Modern
Permainan modern yang dimaksud dalam konteks ini adalah jenis
permainan yang menggunakan sarana atau alat bermainnya produk dari
pabrik (pabrikan). Permainan anak modern muncul karena adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permainan modern
dianggap dapat meningkatkan kecerdasan dan daya kreatifitas anak.
Namun permainan modern lebih bersifat individual, di mana dalam
bermain anak tidak melakukan suatu interaksi sosial atau terlibat secara
emosional dengan teman-temannya. Hal ini berakibat pada terbentuknya
generasi yang cenderung egois dan tidak mampu memahami
lingkungannya dengan baik. Permainan modern juga secara perlahan dan
tidak disadari akan menjauhkan anak dari pergaulan sosial di lingkungan
masyarakatnya.
b. Permainan Anak Tradisional
Permainan anak tradisional merupakan perwujudan dari kearifan lokal
yang diwariskan secara turun temurun di dalam masyarakat. Permainan
tradisional juga diciptakan dengan memanfaatkan lingkungan sekitar
sebagai sarana bermain. Permainan ini lebih bersifat sosial karena anak
terlibat secara emosional dengan teman-temannya dan merasa saling
membutuhkan dimana hal tersebut akan membuat anak memiliki rasa
mengandung berbagai pesan moral yang akan bermanfaat bagi
perkembangan mental anak dan mempengaruhi kualitas anak ketika ia
mulai tumbuh menjadi dewasa.
Permainan tradisional anak pada dasarnya bisa dijadikan media
pembelajaran dan pendidikan yang sangat luar biasa. Permainan tradisional
bila kita cermati lebih mendalam adalah model pendekatan pendidikan yang
dilakukan melalui media pembelajaran permainan yang dilakukan untuk
mendidik dan membentuk karakter anak-anak. Pada umumnya permainan
tradisional untuk anak-anak berkaitan dengan ketangkasan, kesabaran
emosional, ketrampilan, kecermatan, dan kecerdasan otak, serta
pembentukan karakter dan budi pekerti yang baik (Ariani, 2011: 53).
Permainan tradisional sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu (permainan)
yang dilakukan dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan
yang ada secara turun-temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang
bagi si pelaku (Direktorat Permuseuman, 1998:1). Karena istilah tradisional
dalam permainan tradisional dapat diartikan sebagai suatu sikap dan cara
berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
yang ada secara turun-temurun di dalam masyarakat. Adat tersebut
merupakan perwujudan dari gagasan kebudayaan yang didalamnya terdapat
nilai, norma, hukuman, dan aturan yang saling terkait menjadi sebuah
sistem.
Berdasarkan pengertian di atas maka permainan tradisional merupakan
turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya permainan tradisional
sulit untuk dicari dari mana asalnya atau siapa penciptanya. Biasanya
permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
masyarakat mencerminkan warna kebudayaan setempat (Suyami, 2007:
208). Berbagai unsur khas yang dibawa oleh sebuah permainan tradisional
tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana latar belakang sosial
masyarakat pembuatnya. Keadaan geografis, alam, lingkungan floradan
fauna Indonesia sangat berbeda-beda dari pulau besar, pulau kecil,
pegunungan, lembah sungai, dataran rendah, laut-laut pemisah akan
menimbulkan banyak adat, tradisi sampai banyaknya berbagai jenis
permainan di berbagai daerah dan lain-lain (Direktorat Permuseuman,
1998).
Selain memiliki karakteristik yang berbeda-beda, permainan
tradisional juga mengandung berbagai macan nilai budaya yang bermanfaat
untuk perkembangan jiwa anak. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bekal dan
modal dasar yang membentuk mental dan moral anak ketika ia mulai
tumbuh dewasa. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai sportivitas, demokrasi,
kepemimpinan, ketaatan pada peraturan, kejujuran, kedisiplinan, ketertiban,
kerukunan, kegotongroyongan dan kerja sama, serta nilai tanggung jawab.
Selain mengandung berbagai nilai budaya tadi, permainan tradisional juga
mengajarkan berbagai sisi positif pada anak (Ariani, 2011: 53-54),
a. Permainan anak selalu melahirkan nuansa suka cita. Dalam permainan
tersebut jiwa anak terlihat secara penuh. Suasana ceria, senang yang
dibangun senantiasa melahirkan dan menghasilkan kebersamaan yang
menyenangkan. Inilah benih masyarakat yang “guyub rukun” itu dimulai.
Jarang sekali permainan yang berguna untuk dirinya sendiri.
b. Keguyuban itu dibangun secara bersama-sama. Artinya, demi menjaga
permainan dapat berlangsung secara wajar, mereka mengorganisir diri
dengan membuat aturan main diantara anak-anak sendiri.
c. Keterampilan anak senantiasa terasah, anak terkondisi membuat
permainan dari berbagai bahan yang telah tersedia di sekitarnya.
Kreatifitas anak semakin terasah dan meningkatkan daya cipta serta
imajinasi anak.
d. Pemanfaatan bahan-bahan permainan selalu tidak terlepas dari alam, hal
ini melahirkan interaksi anatara anak dan lingkungan sedemikian
dekatnya. Kebersamaan dengan alam merupakan bagian terpenting dari
proses pengenalan manusia muda terhadap lingkungan hidupnya.
e. Hubungan yang sedemikian erat akan melahirkan penghayatan terhadap
kenyataan hidup manusia. Alam menjadi sesuatu yang dihayati
keberadaannya, tak terpisahkan dari kenataan hidup manusia.
penghayatan inilah yang membentuk cara pandang serta penghayatan
akan totalitas cara pandang mengenai hidup ini (kosmologi). Cara
pandang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari sisi
Kemudian permainan anak tradisional juga dapat dikelompokkan
menjadi beberapa macam. Menurut Ki Hadisukatno (Fudyartanta, 2010)
seorang pamong kesenian di Taman Siswa Ibu Pawiatan permainan anak
tradisional dapat dikelompokkan dalam lima macam, yaitu:
a. Permainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa.
b. Permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan tersebut
secara tidak disadari oleh anak telah melatih kekuatan dan kecakapan
jasmani.
c. Permainan untuk melatih panca indra yang tanpa disadari anak sedang
melatih kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan,
memperkirakan jarak, menajamkan penglihatan dan pendengaran, dan
melatih keterampilan tangan.
d. Permainan dengan latihan bahasa yang menumbuhkan kecakapan
berbahasa dan meningkatkan kecerdasan anak.
e. Permainan dengan lagu dan irama yang melatih anak dalam hal seni
suara dan seni irama.
B. Kajian Teori
Teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian tentang implementasi
pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini adalah
teori interaksionisme simbolik. Salah satu tokoh penting dalam teori
interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead. Ritzer dan Goodman
memprioritaskan dunia sosial. Jadi dari dunia sosial inilah kesadaran, pikiran,
diri dan lain sebagainya muncul. Teori ini memperhatikan bagaimana aksi,
interaksi, dan interdependensi seseorang dalam masyarakat. Dalam teori ini
individulah yang menjadi pusat perhatian. Bagaimana pemaknaan seorang
individu terhadap interaksi sosial dan simbol menjadi sesuatu yang penting.
Teori interaksionisme simbolik menekankan bagaimana interaksi sosial dapat
membangun aturan dan identitas seseorang. Setiap orang mampu menganalisis
apa yang ada di sekitarnya dan kemudian merespon dan menentukan tindakan
yang akan dilakukannya. Jadi nilai dan perilaku seseorang berkembang melalui
proses interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.
Mead juga berbicara tentang bagaimana proses individu menjadi anggota
organisasi yang kita sebut masyarakat. Mead menjelaskan bahwa diri atau self
mengalami internalisasi kebiasaan-kebiasaan sosial yang ada di dalam
masyarakat. Diri ini juga berkembang ketika orang belajar “mengambil
peranan orang lain” serta mengakui dan mempertimbangkan peranan yang
dibawa orang lain tersebut. Kesadaran tentang adanya keberadaan dan peranan
orang lain ini muncul melalui suatu interaksi. Interaksi-simbolis dilakukan
dengan menggunakan bahasa sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan
melalui isyarat. Interaksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan
suatu makna tertentu (Poloma, 2004).
Dalam hal ini simbol-simbol yang digunakan adalah permainan
tradisional. Teori ini terkait dengan bagaimana seorang anak menerima pesan
sebagai umpan balik. Melalui permainan tradisional seorang anak melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Di lingkungan tersebut terdapat
teman-teman sebaya, orang dewasa, serta lingkungan alam lainnya. Dengan media
permainan tradisional anak akan berinteraksi dengan mereka dan memberikan
respon yang berbeda-beda sebagai hasil penerimaannya akan suatu tindakan
dari lingkungan di luar dirinya. Disini orang dewasa dan lingkungan akan
memberikan rangsangan terkait pendidikan multikultur dengan melakukan
proses interaksi dengan anak melalui kegiatan permainan. Kemudian akan ada
hasil yang berbeda pada setiap anak terkait sejauh apa anak dapat menerima
dan memberikan respon atas aksi yang telah diberikan oleh lingkungannya.
Pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak, ketika
interaksi yang dilakukan berjakan dengan baik dan anak dapat memahami
pesan yang ingin disampaikan kepada dirinya.
C.Penelitian Relevan
Penelitian relevan yang sebelumnya pernah dilakukan terkait
implementasi pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca
Rahmadonna pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul “Implementasi
Model Pembelajaran Multikultural di Sekolah Dasar di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa para
guru sudah mulai memahami apa itu pendidikan multikultural dan
satunya dengan bantuan buku pegangan guru yang dikembangkan peneliti.
Persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama
meneliti tentang implementasi pendidikan multikultural dan salah satu
sasaran dari implementasi pendidikan multikultural ini adalah siswa SD dan
anak-anak yang usianya kurang lebih sama. Sedangkan perbedaan penelitian
terletak pada media yang digunakan untuk mengimplementasikan
pendidikan multikultural serta lokasi penelitian. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca Rahmadonna media yang
digunakan adalah berupa modul pembelajaran dan penelitian dilakukan di
sejumlah lembaga pendidikan formal yaitu sekolah dasar di Yogyakarta.
Sementara penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan media
permainan tradisional dan dilakukan di lembaga pendidikan informal
Kampoeng Dolanan Nusantara.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani, dosen Jurusan
Administrasi Pendidikan FIP UNY yang berjudul “Implementasi Pendidikan
Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Kepemimpinan Siswa”.
Penelitian ini membahas pentingnya implementasi pendidikan karakter pada
peserta didik di sekolah. Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah keduanya menekankan pada
penanaman nilai-nilai sosial dan moral kepada anak. Penanaman nilai ini
mentargetkan pada terjadinya perubahan perilaku siswa atau anak agar lebih
didasarkan pada pemahaman tentang nilai-nilai demokratis, perbedaan nilai
pendidikan yang ditanamkan yaitu pendidikan karakter dan pendidikan
multikultural. Perbedaan lainnya terdapat pada metode atau media yang
digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan-pendidikan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani menggunakan metode
pengembangan kepemimpinan siswa untuk mengimplementasikan
pendidikan karakter pada siswa. Sementara penelitian yang akan peneliti
lakukan menggunakan permainan tradisional untuk mengimplementasikan
pendidikan multikultural pada anak.
D.Kerangka Pikir
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berpulau-pulau telah mendorong
masyarakat Indonesia untuk menciptakan kebudayaan yang sesuai dengan
kondisi sosial geografis masing-masing daerah. Masyarakat kadang memiliki
kebanggaan terhadap budaya yang mereka miliki tanpa diimbangi dengan
perasaan menghargai budaya dari masyarakat lain. Kurangnya rasa toleransi
atas keragaman budaya di Indonesia ini tidak jarang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik sosial. Konflik ini dapat melibatkan suatu etnis,
agama, daerah, maupun golongan tertentu.
Konflik sosial semacam ini apabila tidak ditangani dengan baik maka
akan mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis yang
dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi konflik sosial adalah dengan
mengimplementasikan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural juga
pendidikan multikultural dapat diterima dengan baik oleh anak, maka salah
satu sarana yang dapat digunakan untuk mengimplementasikannya adalah
dengan permainan tradisional. Permainan tradisional pada dasarnya telah
memiliki berbagai macam nilai positif untuk anak dan lingkungan. Dengan
menggabungkan antara dunia belajar dan bermain anak maka diharapkan
pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak dan
Keragaman Masyarakat Indonesia
Bagan 1. Alur Kerangka Pikir Pendidikan Multikultural
Implementasi Pendidikan Multikultural pada Anak
Ragam Media Permainan Tradisional di Kampoeng Dolanan
Nusantara
Permainan Tradisional
Proses Implementasi Melalui Media
Permainan Tradisional
36
Penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak
melalui permainan tradisional ini dilakukan di Kampoeng Dolanan Nusantara.
Kampoeng Dolanan Nusantara berada di Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Alasan peneliti memilih
Kampoeng Dolanan Nusantara sebagai lokasi penelitian adalah karena tempat
ini merupakan sebuah perkampungan yang menjadi wahana wisata edukasi
yang menyajikan berbagai permainan tradisional nusantara. Dari sini peneliti
menggali bagaimana pendidikan multikultural diimplementasikan pada
anak-anak melalui permainan tradisional.
B.Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan sejak
pertengahan bulan Desember 2013 hingga pertengahan bulan Maret 2014.
Selama jangka waktu tersebut peneliti melakukan observasi pendahuluan,
penelitian di lapangan, pengolahan data, dan penyusunan laporan penelitian.
C.Bentuk Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Menurut Nasution (2003: 5) penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka,
karena itu peneliti terjun ke lapangan yaitu Kampoeng Dolanan Nusantara dan
melakukan interaksi dengan pengelola dan pengunjung untuk mengetahui
bagaimana implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui
permainan tradisional.
Sementara definisi penelitian kualitatif menurut Moleong (2010: 6)
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Pada penelitian ini, peneliti menyajikan hasil penelitian secara kualitatif
deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan
angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang.
Data yang diperoleh meliputi transkrip interview, catatan lapangan, foto,
dokumen pribadi dan lain-lain (Danim, 2002: 51).
D.Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2010: 157). Sumber data yang penulis
gunakan untuk memperoleh data yang valid dan relevan dalam penelitian ini
adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data
merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2008: 225).
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer berasal dari kata-kata dan tindakan orang-orang
yang diamati atau diwawancarai di lapangan. Data ini merupakan hasil
usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong,
2010: 157). Pada penelitian ini data primer diperoleh dari hasil wawancara
dengan pihak pengelola Kampoeng Dolanan Nusantara, para laskar, serta
pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara. Selain itu data juga diperoleh
dari hasil kegiatan pengamatan di lapangan.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini
meliputi beberapa sumber tertulis dan hasil dokumentasi atau foto-foto
selama penelitian. Sumber tertulis yang digunakan berupa buku, majalah
ilmiah, surat kabar, jurnal, arsip, hasil penelitian yang relevan, serta
dokumen pribadi dan dokumen resmi lain. Peneliti juga melihat data dari
dokumen daftar pengunjung, buku profil dan buku tamu Kampoeng
Dolanan Nusantara untuk menambah kelengkapan data.
E.Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi memiliki berbagai macam bentuk, Sanafiah Faisal
mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi, observasi
berstruktur. Dari berbagai bentuk tersebut, pada prakteknya peneliti
menggunakan teknik observasi partisipatif moderat, yaitu dalam observasi
ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dan orang
luar. Pada observasi partisipatif moderat peneliti ikut berpartisipasi dalam
beberapa kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung dan pengelola
Kampoeng Dolanan Nusantara, sementara dalam beberapa kegiatan lainnya
peneliti hanya sebatas melakukan pengamatan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Susan Stainback yang menyatakan bahwa dalam observasi
partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan
apa yang mereka ucapakan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka
(Sugiyono, 2008).
2. Wawancara
Susan Stainback (1988) seperti dikutip Sugiyono (2008: 232)
mengemukakan bahwa dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui
hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan
situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan
melalui observasi. Agar diperoleh data yang valid maka pada umumnya
pada penelitian kualitatif, seringkali teknik observasi partisipatif
digabungkan dengan wawancara mendalam.
Pada penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada
anak melalui permainan tradisional ini, peneliti melakukan wawancara
terstruktur dengan sejumlah informan. Informan dalam penelitian ini adalah
Kampoeng Dolanan Nusantara, serta empat orang pengunjung. Sebelum
melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti mempersiapkan pedoman
wawancara sebagai instrumen penelitian. Dengan adanya instrumen ini
maka wawancara menjadi lebih terarah dan peneliti bisa mendapatkan data
yang valid dan relevan.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan oleh peneliti guna melengkapi data
yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara. Dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono,
2008: 240). Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan
dan rekaman selama penelitian, buku daftar pengunjung, buku profil
Kampoeng Dolanan Nusantara dan buku tamu pengunjung yang berisi kesan
dan pesan dari para pengunjung, serta foto. Foto-foto tersebut meliputi foto
kegiatan di Kampoeng Dolanan Nusantara dan juga foto kegiatan
pengumpulan data oleh peneliti.
F. Teknik Penentuan Informan
Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, yang ada adalah sampel
bertujuan (purposive sample). Purposive sampling ini termasuk dalam kategori
teknik nonprobability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak
memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2008: 218). Dengan
pada anak melalui permainan tradisional ini peneliti menggunakan teknik
purposive sampling. Sampel yang ada dipilih berdasarkan suatu kriteria
tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel atau subjek dalam penelitian
ini adalah pihak pengelola dan laskar di Kampoeng Dolanan Nusantara, dan
juga para pengunjung. Pengambilan data dari sampel ini berakhir ketika telah
terjadi pengulangan informasi sehingga informasi yang didapat sudah tidak
berkembang lagi.
G.Validitas Data
Validitas merupakan derajat ketepatan antara keadaan di lapangan
dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif, temuan
atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang
dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang
diteliti (Sugiyono, 2008:268-269). Dalam penelitian tentang implementasi
pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini, peneliti
menggunakan beberapa teknik untuk mengecek validitas atau keabsahan data.
1. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2010:
330). Denzin (1978) mengemukakan empat bentuk triangulasi, yaitu
triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi peneliti, dan triangulasi
teori (Danim, 2002: 195). Pada penelitian ini digunakan triangulasi sumber
Triangulasi sumber menurut Paton adalah membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2010:
330). Agar dapat mencapai keabsahan tersebut maka ada beberapa hal yang
peneliti lakukan, meliputi:
a. Melakukan perbandingan atas data yang diperoleh dari observasi,
wawancara dan kajian dokumen.
b. Melakukan observasi pada beberapa waktu yang berbeda di lingkungan
Kampoeng Dolanan Nusantara.
c. Mewawancarai beberapa narasumber yang berbeda, yaitu dari pihak
pengelola, laskar, serta para pengunjung.
d. Serta membuat beberapa variasi pertanyaan sebagai intrumen penelitian
agar data yang terkumpul lebih valid.
2. Diskusi dengan Expert (Ahli)
Teknik ini dilakukan dengan cara berdiskusi atau berkonsultasi
dengan pihak ahli yang memahami dan menguasai tema penelitian.
Tujuannya agar kekurangan yang ada dalam penelitian dapat segera
diperbaiki. Pihak ahli dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing.
3. Pemeriksaan Sejawat melalui Diskusi
Teknik ini dilakukan dalam bentuk kegiatan diskusi dengan teman
sejawat yang memiliki pengetahuan yang sama atau lebih terkait topik yang
diteliti. Dengan pemeriksaan sejawat peneliti dapat memperoleh masukan