• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Akuntansi Sektor Publik 2.1.1 Definisi Akuntansi Sektor Publik

Definisi atau pengertian Akuntansi Sektor Publik menurut Bastian (2002: 6) adalah:

”… mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM, dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor publik dan swasta.”

Akuntansi sektor publik memiliki kaitan yang erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik. Domain publik sendiri memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan sektor swasta. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, akan tetapi juga karena kompleksnya lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut.

2.1.2 Sifat dan Karakteristik

Akuntansi sektor publik berbeda dengan akuntansi pada sektor swasta. Perbedaan sifat dan karakteristik akuntansi tersebut disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan yang mempengaruhi.

Organisasi sektor publik bergerak dalam lingkungan yang sangat kompleks dan turbulence. Menurut Mardiasmo (2004: 12) komponen lingkungan yang mempengaruhi organisasi sektor publik adalah sebagai berikut:

”a. Faktor Ekonomi; Pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, pertumbuhan pendapatan perkapita (GNP/GDP), struktur produksi, tenaga kerja, arus modal dalam negeri, cadangan devisa, nilai tukar mata uang, utang dan bantuan luar negeri, infrastruktur, teknologi, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, dan sektor informal.

b. Faktor Politik; Hubungan negara dan masyarakat, legitimasi pemerintah, tipe rezim yang berkuasa, ideologi negara, elit politik dan massa, jaringan internasional, kelembagaan.

(2)

c. Faktor Kultural; Keragaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya, sistem nilai di masyarakat, historis, sosiologi masyarakat, karakteristik masyarakat, dan tingkat pendidikan.

d. Faktor Demografi; Pertumbuhan penduduk, struktur usia penduduk, migrasi, dan tingkat kesehatan.”

2.1.3 Tujuan Akuntansi Sektor Publik

Akuntansi sektor publik terkait dengan tiga hal pokok, yaitu penyediaan informasi, pengendalian manajemen, dan akuntabilitas. Akuntansi sektor publik merupakan alat informasi baik bagi pemerintah sebagai manajemen maupun alat informasi bagi publik.

Bagi pemerintah, informasi akuntansi digunakan dalam proses pengendalian manajemen mulai dari perencanaan strategik, pembuatan program, penganggaran, evaluasi kinerja dan pelaporan kinerja.

Mardiasmo (2004:14) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah untuk:

”Memberikan informasi yang memungkinkan bagi manajer untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab mengelola secara tepat dan efektif program dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya; dan memungkinkan bagi pegawai pemerintah untuk melaporkan kepada publik atas hasil operasi pemerintah dan penggunaan dana publik. Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas.”

2.2 Retribusi

2.2.1 Pengertian Retribusi

Definisi atau pengertian retribusi menurut Elmi (2002: 49) ialah:

“Pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.”

Sedangkan Munawir (2005:170) menyatakan bahwa:

“Retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan atas jasa balik secara langsung dapat ditunjuk, paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa dari pemerintah tidak dikenakan iuran itu.”

Menurut Kaho (2005:107) menyatakan bahwa retribusi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

”a. retribusi dipungut oleh Negara;

(3)

c. adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;

d. retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan /mengeyam jasa-jasa yang disiapkan Negara.”

2.2.2 Jenis-Jenis Retribusi

Menurut UU No. 34 Tahun 2004, retribusi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :

a. “Retribusi Jasa Umum b. Retribusi Jasa Usaha

c. Retribusi Perizinan Tertentu” a. Retribusi Jasa Umum

- Retribusi Jasa Umum merupakan jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan masyarakat umum. - Kriteria-kriteria yang digunakan dalam menetapkan jenis retribusi ke

dalam kelompok retribusi jasa umum terdiri dari :

a) Jasa tersebut termasuk dalam kelompok urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam pelaksanaan asa desentralisasi. b) Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau

badan yang diharuskan membayar retribusi.

c) Jasa tersebut, dianggap layak jika hanya disediakan kepada badan atau orang pribadi yang membayar retribusi.

d) Retribusi untuk pelayanan pemerintah daerah itu tidak bertentangan dengan kebijakan nasional.

e) Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta dapat merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. f) Pelayanan yang bersangkutan dapat disediakan secara baik dengan

kualitas pelayanan yang memadai.

- Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum terdiri dari: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pasar, Retribusi air Bersih, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadaman

(4)

Kebakaran, Retribusi Penggantian biaya Cetak Peta dan Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

- Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

- Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. Subjek retribusi jasa umum ini dapat merupakan Wajib Retribusi Jasa Umum.

- Tarif Retribusi Jasa Umum pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional serta disesuaikan pada kebijaksanaan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.

b. Retribusi Jasa Usaha

 Retribusi Jasa Usaha merupakan pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pelayanan tersebut belum cukup disediakan oleh swasta.

 Kriteria-kriteria yang digunakan dalam menetapkan jenis retribusi ke dalam kelompok retribusi jasa usaha adalah:

a) Jasa tersebut bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh swasta, tetapi pelayanan sektor swasta dianggap belum memadai. b) Harus terdapat harta yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah

Daerah dan belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah seperti, tanah, bangunan dan alat-alat berat.

 Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha yaitu : Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar grosir dan atau Pertokoan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penitipan Anak, Retribusi Tempat Penginapan, Retribusi Penyedotan Kakus, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Tempat Pendaratan Kapal, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga, Retribusi Penyebrangan di Atas Air,

(5)

Retribusi Pengolahan Limbah Cair dan Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

 Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah menganut prinsip komersial.

 Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati jasa pelayanan usaha yang bersangkutan. Subjek ini dapat merupakan Wajib Retribusi Jasa Usaha.

 Tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan oleh daerah sehingga tercapai keuntungan yang layak dan tarif didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

c. Retribusi Perizinan Tertentu

- Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

- Kriteria-kriteria yang digunakan dalam menetapkan jenis retribusi ke dalam kelompok retribusi perizinan tertentu adalah:

a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi;

b. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan

c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dari biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari perizinan tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.

- Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, Retribusi Izin Trayek.

(6)

- Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

- Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari pemerintah daerah. Subjek ini dapat merupakan wajib retribusi jasa perizinan tertentu.

- Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusinya dapat menutup sebagian atau sama dengan perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan.

2.2.3 Retribusi Lain-Lain

Pernyataan retribusi lain-lain menurut Panca dan Agus (2004: 175) adalah: ”… jenis retribusi selain yang ditetapkan dapat ditetapkan dengan peraturan daerah, sesuai dengan kewenangan otonominya dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan meningkatkan kebutuhan masyrakat atas pelayanan pemerintah daerah, tetapi tetap memperhatikan kesederhanaan jenis retribusi dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.”

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 ditegaskan bahwa selain jenis retribusi yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini, dengan peraturan daerah dapat ditetapkan jenis retribusi lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang

2.2.4 Kriteria Retribusi

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu potensi pendapatan daerah dikenai retribusi menurut Soelarno (1999: 220) yaitu:

a) “Kecukupan dan Elastisitas

Artinya, retribusi harus responsif terhadap variabel-variabel yang mempengaruhinya, misalnya pertumbuhan penduduk dan pendapatan,

(7)

selama ini umumnya dipengaruhi oleh pertumbuhan dan permintaan atau konsumsi atas suatu pelayanan.

b) Keadilan

Retribusi yang bersangkutan tidak sewenang-wenang, tidak memihak kepada golongan-golongan atau kelompok yang berpendapatan menengah dan tinggi.

c) Kemampuan Administrasi

Retribusi harus bersifat lebih sederhana, mudah untuk ditaksir dan dipungut dan cepat terhimpun, yang diberikan kepada daerah dan yang dibutuhkan oleh daerah.

d) Kesepakatan Politik

Retribusi harus dapat dimengerti dan sesuai dengan keinginan yang layak dan haruslah dapat dilaksanakan dari sudut kemampuan politik. e) Penilaian Retribusi oleh Pemerintah

Retribusi dapat memberikan kontribusi atau penilaian yang berarti terhadap sumber-sumber penerimaan daerah.”

2.2.5 Pengecualian Objek Retribusi

Jasa yang diselenggarakan dan dikelola oleh badan usaha milik daerah bukan merupakan objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan badan usaha milik daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila badan usaha milik daerah memanfaatkan jasa atau perizinan tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah, maka badan usaha tersebut wajib membayar retribusi.

2.3 Retribusi Daerah

2.3.1 Pengertian Retribusi Daerah

Definisi atau pengertian Retribusi Daerah menurut Marihot (2005: 432) adalah:

“Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atas jasa atau pemberian izin tertentu atau khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.”

Pengertian retribusi daerah juga dapat dilihat dari pendapat Suparmoko (2002: 85) adalah:

“Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.”

(8)

Ciri-ciri pokok retribusi daerah menurut Kaho (2005: 171) sebagai berikut: a. ”Retribusi dipungut oleh Daerah.

b. Dalam pemungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk.

c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah.”

Adapun jenis retribusi yang dikelola oleh Propinsi adalah:

1. Retribusi pengambilan pasir, kerikil, dan mineral tertentu (Galian C) 2. Retribusi pemakaian tanah

3. Uang leges

4. Retribusi pintu air

5. Uang tol, bea jalan, bea pangkalan, dan bea penambangan 6. Retribusi pemeriksaan kendaraan bermotor

7. Retribusi pemeriksaan anjing, kucing, kera yang dibawa keluar provinsi

8. Bea pemacakan

9. Uang sekolah kejuruan 10. Bea tanah hak provinsi

Sedangkan untuk Kabupaten/Kota jenis-jenis retribusi yang dikelola adalah sebagai berikut :

1) Uang leges;

2) Bea jalan, jembatan dan tol; 3) Bea pangkalan;

4) Bea penambangan;

5) Bea pemerikasaan/pembantaian hewan; 6) Uang sewa tanah/bangunan;

7) Uang sempadan dan izin bangunan; 8) Uang pemakaian tanah milik daerah; 9) Bea penguburan;

10) Retribusi pengerukan kakus/WC; 11) Retribusi pelelangan ikan;

12) Izin perusahaan industri kecil;

(9)

14) Retribusi jembatan timbang; 15) Stasiun bis dan taksi;

16) Balai pengobatan; 17) Retribusi reklame; 18) Retribusi pasar; 19) Sewa pesanggrahan;

20) Retribusi pengeluaran hasil pertanian, hasil hutan dan hasil laut; 21) Bea pemeriksaan susu, dan lain-lain;

22) Retribusi tempat rekreasi.

2.3.2 Alasan Pengenaan Retribusi Daerah Menurut Devas (2000: 95)

“Kebijaksanaan memungut bayaran untuk barang dalam layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada efisiensi ekonomi.”

Selanjutnya pertimbangan atas pengenaan retribusi bagi konsumen atau pemakai adalah:

“a) Pelayanan tersebut dapat berupa barang atau jasa umum atau pribadi kepada setiap orang, maka tidak adil jika membebankan biaya-biaya tersebut kepada pembayar-pembayar pajak yang tidak mendapat jasa tersebut.

b) Adanya bermacam-macam variasi di dalam pilihan atas konsumsi individu, maka setidaknya perlu untuk memilih dan tidak setiap individu memerlukannya.

c) Suatu sumber barang atau jasa yang dimiliki langka atau mahal perlu disiplin dalam pemakaian dan konsumsinya.

d) Jasa-jasa yang digunakan untuk mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu di dalam negeri.

e) Dapat dipergunakan untuk menghitung atau menguji arah dan skala permintaan masyarakat akan jasa, dimana kebutuhan pokok atau bentuk dan standar-standar penyediaan tidak dapat tegas ditentukan.” 2.3.3 Norma-Norma Pada Retribusi Daerah

Menurut Soelarno (1999: 267) norma-norma pada retribusi merupakan syarat pembuat undang-undang financial. Norma-norma pada retribusi tersebut adalah sebagai berikut:

”a. Syarat yuridis; Bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pungutan ini harus memuat hal-hal yang dikenakan dan dasar pengenaannya hingga ada kepastian hukum.

(10)

b. Syarat ekonomis; Di dalam landasan hukum yang menjadi dasar pengenaan agar dihindari pungutan yang berlebihan terhadap barang-barang keperluan hidup sehari-hari.

c. Syarat keuangan (financial); Syarat ini diperlukan untuk hasil pungutan harus cukup untuk menutup sebagian biaya (pengeluaran) negara.” 2.3.4 Azas Pemungutan Retribusi Daerah

Soelarno (1999: 267) menyatakan bahwa azas pemungutan Retribusi Daerah terdiri dari:

a) “ Azas Jasa

Yang dimaksud dengan azas jasa adalah bahwa pemungutan retribusi daerah dapat dilakukan bila dapat diberikan jasa yang nyata oleh daerah bagi mereka yang memerlukan/memohon.

b) Azas Kelayakan

Bahwa pemungutan retribusi harus seimbang dengan jasa yang diberikan oleh pemerintah termasuk telah memperhatikan resiko yang diperkirakan ada di dalam memberikan jasa pelayanan tersebut.

c) Azas Tidak Menghambat

Bahwa retribusi daerah tidak boleh merupakan rintangan keluar masuknya atau pengangkutan barang ke dalam dan ke luar daerah. Ini dapat diartikan bahwa hambatan yang bersifat fisik ini harus dihindari. d) Azas Yuridis Fiskal

Bahwa kelaziman yang berlaku di dalam perpajakan terutama yang menyangkut ketentuan formal berlaku pula di dalam peraturan daerah yang mengatur pemungutan retribusi daerah.”

2.3.5 Lapangan Retribusi Daerah

Berdasarkan Undang-undang No. 12 Drt Tahun 1957 pasal 7 yang menyatakan bahwa:

“Lapangan Retribusi Daerah ialah seluruh lapangan pungutan yang diadakan untuk keuangan daerah sebagai pengganti jasa daerah.”

Dalam pembagian di lapangan, terdapat perbedaan antara pajak dan retribusi. Jika dalam pembagian pajak diadakan pembatasan tertentu dari lapangan pajak antara negara dan daerah, akan tetapi tidak demikian halnya dengan retribusi . Artinya bahwa lapangan retribusi tidak ada pembatasan antara daerah dan pusat, atau daerah tingkat atasan dengan daerah tingkat bawahan.

Dengan demikian ada kemungkinan, bahwa negara (pusat) dan daerah, bahkan daerah tingkat atasan dan daerah tingkat bawahan berdampingan memungut retribusi atas jasa masing-masing terhadap objek yang sama.

(11)

Pengertian lapangan retribusi tersebut di atas ialah lapangan retribusi daerah yang berlaku saat ini.

2.3.6 Pola Tarif Retribusi Daerah

Menurut Soelarno (1999: 122) beberapa teori yang dapat digunakan untuk retribusi dalam menentukan pola tarif pada pajak antara lain:

a. ”Teori Gaya Pikul pada pajak

Untuk retribusi tidak ditekankan pada besarnya perlindungan, tetapi ditekankan pada nilai jasa yang diterima langsung.

b. Teori Bakti (Kewajiban) pada pajak penekanannya karena mendapat pelayanan umum, untuk retribusi atas pelayanan umum dapat diterapkan.

c. Teori Asuransi pada pajak dapat diterapkan untuk retribusi dengan penekanan kepentingan atas pelayanan langsung.”

Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Drt Tahun 1957 yang menekankan bahwa dalam menentukan tarif retribusi tetap mengacu pada sifat pelayanan yang diberikan serta adanya keuntungan yang layak bagi daerah.

Untuk mengukur dan menyeragamkan antara nilai jasa yang satu dengan yang lain memang sulit dilakukan, sebab masalah nilai jasa yang satu dimaksud sangat dipengaruhi oleh masing-masing kebutuhan dasar yang diperlukan untuk setiap jenis pelayanan. Demikian pula kondisi daerah yang satu tidak sama dengan yang lain. Dengan demikian untuk masing-masing daerah polanya ditentukan oleh daerah itu sendiri dengan memperhatikan kondisi daerahnya.

2.3.7 Tarif Retribusi

Besarnya tarif retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa.

Menurut Panca dan Agus (2004: 177) definisi tarif retribusi adalah

“Nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang.”

Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan pembedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan prinsip dan sasaran tarif tertentu, misalnya pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir

(12)

antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan los, dan retribusi sampah antara rumah tangga dan industri.

Besarnya tarif dapat dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa. tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala paling lama 5 (lima) tahun sekali dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif.

2.3.8 Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah

Dasar Tata Cara Pemungutan sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1997, tata cara pemungutan retribusi adalah dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah/SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

Selain tata cara dengan Surat Ketetapan Retribusi sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 tersebut, maka tata cara pemungutan yang lain yang berlaku sampai saat ini dalam pemungutan retribusi daerah adalah:

a). ”Sistem Pemungutan dengan benda berharga seperti karcis, kupon, formulir berharga, dan leges;

b). Sistem pemungutan dengan kartu baik sebagai tanda terima maupun sebagai tempat tanda terima;

c). Sistem menetapkan sendiri/setor tunai (contante storting) yang oleh masyarakat lebih dikenal sebagai sistem self assessment. Misalnya: retribusi kebersihan yang sifatnya permanen dan berulang-ulang.” Ketiga sistem ini sampai sekarang masih berlaku yang didasarkan pada Kepmendagri No. 970-893 Tanggal 24 Desember 1981 tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah.

Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan dan dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan. Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.

Adapun Sarana yang digunakan untuk pemungutan retribusi daerah dan sarana pelaporan retribusi daerah berupa surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah meliputi:

 Surat Setoran Retribusi Daerah (SSRD)  Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD)

(13)

 Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar (SKRD-LB)  Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD)

2.4 Retribusi Pasar

2.4.1 Pengertian, Fungsi, dan Sifat Pasar

Menurut Soelarno (1999: 297) pengertian pasar dalam arti yang sempit adalah

”tempat mempertemukan pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual-beli.”

Selanjutnya fungsi pasar menurut Soelarno (1999: 297) dapat dilihat dari: 1. ”Sudut Sosial, fungsi pasar yaitu:

 Menyediakan bahan pokok yang diperlukan masyarakat.

 Menyediakan tempat berjualan bagi pedagang atau pihak-pihak yang ingin memasarkan barang/dagangannya.

 Tempat bertemunya produk yang siap dijual dan konsumen yang memerlukan produk dimaksud.

 Tempat untuk mendapatkan kesempatan kerja baik pemilik modal maupun mereka yang bermodalkan tenaga/jasa.

 Dalam perkembangan yang semakin maju ini, pasar dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi/jalan-jalan sambil belanja

2. Sudut Ekonomi, fungsi pasar yaitu:

 Tempat penyaluran kegiatan ekonomi ialah penawaran dan permintaan.

 Memberi informasi dan menciptakan stabilitas harga.

 Tempat pembinaan para pedagang dan tempat mencari nafkah bagi para pekerja selain pedagang.

 Mendorong pengusaha kecil dan sarana penyaluran bantuan modal bagi para pedagang yang membutuhkan.

 Tempat pengembangan koperasi antar pedagang maupun pihak-pihak yang ada di lingkungan pasar.

3. Sudut Budaya, fungsi pasar yaitu:

 Menyediakan tempat bagi pengrajin termasuk benda-benda seni.  Untuk mendapatkan gambaran perilaku masyarakat (ekonomi

lemah, pedagang kecil dan sebagainya).

 Dapat menampilkan gambaran tentang bagian dari budaya bangsa dan berbagai corak yang dipasarkan.

4. Sudut Politik, fungsi pasar yaitu:

 Melalui pasar dapat mencegah keresahan masyarakat tentang stabilitas harga dan menyediakan barang-barang dengan cukup.  Memberi kesempatan kerja kepada banyak orang yang

(14)

Sedangkan sifat pasar yang dikemukan oleh Suharno (2005: 23) adalah sebagai berikut:

1) ”Pasar ditinjau dari kegiatannya dibedakan atas:

a. Pasar Tradisional adalah pasar yang kegiatannya para penjual dan pembelinya dilakukan secara langsung dalam bentuk eceran dalam waktu sementara atau tetap dengan tingkat pelayanan terbatas. b. Pasar Modern adalah pasar yang kegiatan para penjual dan

pembelinya dilakukan secara langsung dan atau tidak langsung dalam bentuk eceran dan atau grosir dalam waktu tetap dengan tingkat pelayanan yang lebih luas.

2) Pasar ditinjau dari jenis dagangannya dibedakan atas:

a) Pasar Umum adalah pasar dengan jenis dagangan yang diperjualbelikan lebih dari satu jenis dagangan secara berimbang minimal tersedia untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

b) Pasar Khusus adalah adalah pasar dengan dagangan yang diperjualbelikan terdiri satu jenis dagangan secara berimbang minimal tersedia untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

3) Pasar ditinjau dari klasifikasinya dibedakan atas:

a. Pasar Kelas Satu adalah pasar dengan komponen bangun-bangunan yang lengkap, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat regional. b. Pasar Kelas Dua adalah pasar dengan komponen

bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat kota.

c. Pasar Kelas Tiga adalah pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani perdagangan tingkat wilayah bagian kota.

d. Pasar Kelas Empat adalah pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang terutama di dalam bangunan, dan melayani perdagangan tingkat lingkungan.

e. Pasar Kelas Lima adalah pasar tanpa atau dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus barang dan orang, dan melayani tingkat perdagangan blok.”

2.4.2 Pengertian Retribusi Pasar

Menurut Soelarno (1999: 305) pengertian retribusi pasar adalah:

“Retribusi atas fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa pelataran/los yang dikelola pemerintah daerah.”

Sementara menurut Kurniawan (2004: 160) Retribusi Pasar adalah:

“Pungutan yang dikenakan kepada pedagang oleh pemerintah daerah sebagai pembayaran atas pemakaian tempat-tempat berupa toko/kios, counter/los, dasaran, dan halaman pasar yang disediakan di dalam pasar daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh kepala daerah sebagai pasar

(15)

sementara dan atau pedagang lain yang berada disekitar pasar daerah lainnya yang berada di sekitar pasar daerah sampai dengan radius 200 m”. Klasifikasi retribusi pasar menurut Suwiningsih (2004: 30) adalah sebagai berikut:

1. ”Menurut sifat prestasi negara, retribusi pasar adalah retribusi untuk pengguna berbagai bangunan . Pedagang sebagai pembayar retribusi pasar menerima prestasi dari pemerintah daerah berupa penggunaan bangunan pasar maupun fasilitas yang disediakan.

2. Menurut cara menentukan jumlah pungutan, retribusi pasar merupakan retribusi variabel. Jumlah pungutan tergantung dari kelas pasar, golongan dagangan, luas petak toko, atau gudang atau los yang digunakan sebagai tempat berdagang.

3. Menurut cara pembayaran, retribusi pasar termasuk retribusi kontan. Pemakai jasa kios menggunakan sisitem pembayaran harian atau mingguan.”

2.4.3 Subjek Retribusi Pasar

Subjek retribusi pasar adalah orang atau pribadi yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas fasilitas/jasa yang digunakan sebagai tempat untuk berjualan barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik fasilitas pasar yang menggunakan, menikmati dan memanfaatkan tempat untuk berjualan atau penyelenggaraan tempat berdagang yang disediakan dan dikelola oleh pemerintah daerah setempat.

Pasar dalam arti sempit adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Sedangkan pasar daerah adalah pasar yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah daerah.

Dengan demikian yang dimaksud dengan wajib retribusi pasar adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pemakaian tempat untuk berjualan barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah.

(16)

2.4.4 Objek Retribusi Pasar

Objek retribusi pasar adalah kegiatan transaksi jual beli atau pemakaian tempat-tempat berjualan yang disediakan dan dikelola oleh pemerintah daerah.

2.4.5 Dasar Pengenaan Retribusi Pasar

Dasar pengenaan Retribusi Pasar adalah jumlah atau yang seharusnya dibayar oleh orang pribadi atau badan untuk pemakaian jasa/fasilitas tempat untuk berjualan.

2.4.6 Tarif Retribusi Pasar

Tarif retribusi pasar adalah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan pemerintah daerah yang diberikan kepada umum di dalam lingkungan pasar. Besarnya pengenaan tarif retribusi pasar disesuaikan dengan kelas pasar fasilitas yang tersedia serta jenis dagangan.

Besarnya tarif retribusi ditentukan dengan mempertimbangkan Nasution et al (1994:6):

1. ”Kelas pasar, semakin tinggi kelas pasar maka semakin tinggi jumlah retribusi.

2. Kelas los (kios), semakin tinggi kelas los (kios), maka semakin tinggi jumalah retribusi.

3. Hari pasaran, semakin ramai atau semakin banyak hari pasaran maka semakin tinggi jumlah retribusi.

4. Langganan dasar tetap, tidak tetap penjaja.”

Tarif retribusi pasar adalah tarif pengenaan dalam rupiah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Tarif retribusi ini bervariasi menurut kelas pasar dan fasilitas yang tersedia serta jenis dagangan. Tarif retribusi pasar di pasar kelas I dapat ditetapkan paling tinggi daripada pasar kelas II dan kelas III. Penentuan tarif retribusi pasar diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah No.8 tahun 2003 Kabupaten Toba Samosir.

2.4.7 Kebijakan Retribusi Pasar

Retribusi Pasar diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir No.8 Tahun 2003 tentang perubahan pertama atas peraturan daerah kabupaten daerah tingkat II Toba Samosir Nomor 32 Tahun 1999 tentang retribusi pasar.

(17)

2.4.8 Sanksi Keterlambatan Pembayaran Retribusi

Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi daerah.

2.5 Pendapatan Asli Daerah

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan sumber pendapatan bagi daerah terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: a. hasil pajak daerah

b. hasil retribusi daerah

c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan d. lain-lain PAD yang sah.

2. Dana Perimbangan, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana perimbangan terdiri atas:

a) Dana Bagi Hasil, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

b) Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

c) Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bahwa perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisiensi dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan

(18)

mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besarnya dana penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Undang-undang tersebut bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomiaan daerah. Upaya yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan perekonomiaan daerah yaitu dengan meningkatkan dan mengoptimalkan kontribusi bagi pendapatan daerah. Salah satu sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pengertian PAD sendiri menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah:

“Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pendapatan Asli Daerah ini merupakan sumber penerimaan daerah yang dikelola dan dipungut oleh pemerintah daerah sendiri berdasarkan potensi, jenis dan tarif pungutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pendapatan asli daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi di daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

Adapun yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah: 1) Hasil Pajak Daerah

Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan daerah yang digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik.

2) Hasil Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah hasil pungutan daerah sebagai imbalan atas jasa yang diperoleh dari pemakaian jasa pekerjaan atau pelayanan pemerintah daerah dan jasa usaha milik daerah yang dilaksanakan berdasarkan peraturan daerah.

3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, seperti: bagian laba Bank Pembangunan daerah (BPD), bagian laba Perusahaan Daerah, dan hasil investasi pihak ketiga.

4) Lain-lain PAD yang sah

Lain-lain PAD yang sah yaitu semua PAD yang bukan berasal dari pajak, retribusi dan laba usaha daerah, antara lain: hasil penjualan milik daerah, penerimaan jasa giro, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah (TP/PGR), denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, penerimaan bunga deposito.

(19)

Dari komponen-komponen PAD di atas, penerimaan yang paling potensial memberikan kontribusi yang cukup berarti adalah penerimaan dari pajak dan retribusi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mampu mengelola serta menggali sumber daya di daerah yang menjadi potensi daerah yang menghasilkan kontribusi yang berarti bagi PAD.

Terkait dengan hal tersebut Pemerintah perlu melakukan upaya optimalisasi atas potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Untuk itu, maka dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini, daerah harus mampu memanfaatkan, mendayagunakan, serta mengelola potensi-potensi yang ada dengan tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah.

Dengan meningkatnya kontribusi bagi PAD melalui upaya efektivitas pemungutan pajak dan retribusi daerah, maka pemerintah daerah dapat mengurangi ketergantungan biaya dari pemerintah pusat dan dapat meningkatkan kemandirian daerahnya.

Adapun kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya, yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

2.6 Efektivitas Retribusi Pasar dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Mardiasmo (2004: 134) mendefinisikan efektivitas sebagai

“Ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya”.

Pandangan tentang konsep efektivitas yang dikemukakan oleh para pakar di atas, terlihat bahwa pengertian konsep efektivitas hampir selalu menunjukkan pada pencapaian target atau sasaran atau tujuan hasil kerja atau efek yang diharapkan dari suatu kegiatan atau aktivitas/tindakan.

Apabila dikaitkan dengan variabel yang diteliti dalam penelitian ini maka konsep efektivitas pemungutan retribusi pasar yaitu dapat dikatakan tingkat tercapainya realisasi penerimaan retribusi pasar dalam mencapai target yang seharusnya dicapai pada periode tertentu.

(20)

Dengan demikian, efektivitas retribusi pasar dapat dirumuskan sebagai berikut:

Efektivitas Retribusi Pasar = 100%

Pasar Retribusi Target Pasar Retribusi Penerimaan Realisasi

Sedang Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Efektivitas PAD = 100%

PAD Target

PAD

Realisasi

Kriteria Efektivitas Pemungutan Retribusi Pasar dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diinterpretasikan berdasarkan tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1

Interpretasi Nilai Efektivitas

Persentase Kriteria > 100% Sangat Efektif 90-100% Efektif 80-90% Cukup efektif 60-80% Kurang Efektif <60% Tidak Efektif

Sumber: Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996 (Yuni Mariana, 2005)

2.7 Kriteria Rasio Kontribusi Retribusi Pasar Terhadap PAD

Untuk mengukur rasio kontribusi retribusi pasar, peneliti menggunakan analisis proxy, dimana klasifikasi kriteria rasio kontribusi retribusi pasar terhadap PAD digambarkan dalam tabel di bawah ini:

(21)

Tabel 2.2

Interpretasi Kriteria Kontribusi Retribusi Pasar Terhadap PAD

Presentase Kriteria

Rasio 0,00 - 10,00 % Sangat Kurang Rasio 10,00 - 20,00 % Kurang Rasio 20,10 - 30,00 % Sedang

Rasio 30,10 - 40,00 % Cukup

Rasio 40,10 - 50,00 % Baik

Rasio di atas 50 % Baik

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 3.1 blok diagram global diatas, dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan alat pengujian yang dilakukan terhadap gabungan seluruh rangkaian elektronik,

Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti gula murni karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan pemanis alami, selain

generasi orang tua dan remaja ... Bentuk Perilaku Menjaga Martabat Orang Tua ... Generasi orang tua ... Generasi remaja ... Perbandingan bentuk menjaga martabat orang tua

Keunggulan yang dimiliki oleh Flash ini adalah ia mampu diberikan sedikit code pemograman baik yang berjalan sendiri untuk mengatur animasi yang ada didalamnya atau

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat gambaran mengenai prestasi belajar matematika peserta didik dengan jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua peserta didik kelas VII

LAPORAN KOMITMEN DAN KONTINJENSI Per 31 Januari 2016 (Dalam Jutaan Rupiah) TAGIHAN KOMITMEN Fasilitas pinjaman yang belum ditarik Rupiah PT

Tetapi tidak semua pernikahan berbeda etnis dapat berjalan dengan baik, karena perbedaan etnis yang terjadi menimbulkan hambatan dalam proses pelaksanaan pernikahan

ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika tahun ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara