PENGARUH SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT)
TERHADAP TINGKAT NYERI PADA PASIEN POST MASTEKTOMI DI
RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh: Ambar Rukmini NIM.
ST151045
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap Tingkat Nyeri pada Pasien Post Mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali
Ambar Rukmini1), Happy Indri Hapsari 2), Galih Priambodo 2)
1) Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
2) Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Salah satu gejala yang dirasakan pada penderita kanker setelah menjalani operasi adalah nyeri yang dapat bersifat ringan, sedang sampai menjadi berat. Intervensi yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi nyeri meliputi pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Dalam mengurangi nyeri pada kanker salah satu teknik non farmakologis yang dapat digunakan spiritual emotional freedom technique (SEFT) sebagai satu teknik yang digunakan untuk mengurangi nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh spiritual emotional freedom technique (SEFT) terhadap nyeri pada pasien post mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi
Eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah 24 pasien mastektomi. Pemilihan sampel
dilakukan dengan metode total sampling yaitu 24 pasien mastektomi. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis frekuensi dan persentase.
Hasil penelitian menunjukkan uji wilcoxon 0,004 (p < 0,05) sehingga H1 diterima
yang artinya ada pengaruh spiritual emotional freedom technique (SEFT) terhadap nyeri pada pasien post mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Kata Kunci : Mastektomi, Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Daftar Pustaka : 32 (2006-2016)
Effect Of Spiritual Emotional Freedom Technique (Seft) On Pain Level Of Post- Mastectomy Patients At Pandan Arang Local General Hospital Of Boyolali
ABSTRACT
One of the symptoms felt by cancer sufferers following a surgery might be a mild, moderate, or severe pain. The intervention that can be extended to them to reduce their pain includes pharmacological and non-pharmacological measures. One of the latter is spiritual emotional freedom technique (SEFT). The objective of this research is to investigate the effect of spiritual emotional freedom technique (SEFT) on the pain level of the post mastectomy patients at Pandan Arang Local General Hospital of Boyolali.
This research used the quantitative research method with the quasi experimental design. Its population was 24 mastectomy patients. The samples of the research, namely:
24 mastectomy patients were determined through the total sampling technique. The data of the research were analyzed by using the frequency and percentage analyses.
The result of the test shows that based on the Wilcoxon’s test, the p-value was 0.004
which was less than 0.05, meaning that H1 was verified. Thus, there was an effect of the
spiritual emotional freedom technique (SEFT) on the pain level of the post mastectomy patients at Pandan Arang Local General Hospital of Boyolali.
Keywords: Mastectomy, Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) References: 32 (2006-2016)
I. PENDAHULUAN
Karsinoma mamae atau yang
dikenal kanker payudara merupakan salah satu tumor ganas yang paling sering menyerang wanita. Insidennya dari tahun ke tahun semakin meningkat (Fujin dkk,
2008). Menurut data GLOBOCAN
International Agency for Research on Cancer (IARC), diketahui bahwa pada
tahun 2012 terdapat 14.067.894 kasus baru kanker dan 8.201.575 kematian akibat kanker diseluruh dunia diketahui
bahwa kanker payudara merupakan
penyakit kanker dengan persentase kasus baru (setelah dikontrol oleh umur) tertinggi, sebesar 43,3%, dan persentase kematian (setelah dikontrol oleh umur) akibat kanker payudara sebesar 12,9%. Menurut data kementerian kesehatan Indonesia tahun 2015, penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama diseluruh dunia. Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab kematian sekitar 8,2 juta orang. Kanker paru, hati, perut, kolorektal dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian akibat
kanker setiap tahunnya (Kemenkes, 2015).
Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4%, atau
diperkirakan sekitar 347,792 orang.
Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki
prevalensi tertinggi untuk penyakit kanker, yaitu sebesar 4,1%. Berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan estimasi penderita kanker terbanyak, yaitu sekitar 68,638 dan 61,230 orang (PUSDATIN, 2015).
Secara garis besar penatalaksanaan kanker payudara dibagi menjadi dua,
terapi lokal (bedah konservatif,
mastektomi radikal yang dimodifikasi, mastektomi radikal dengan rekontruksi) dan terapi iskemik (kemoterapi, terapi, terapi hormonal dan penggantian sumsum tulang) (Smeltzer dan Bare, 2008).
Kanker payudara beserta terapinya,
memiliki dampak fisik maupun psikologis. Dampak fisik berupa mual, kerontokan rambut akibat kemoterapi,
kerusakan jaringan lain akibat terapi radiasi, limfadema dan nyeri pada bahu sampai lengan setelah operasi. Sedangkan dampak psikologis berupa ketakutan akan kanker, ancaman terhadap gambaran tubuh, seksualitas, intimasi dari
hubungan, serta konflik dalam
pengambilan keputusan terkait pilihan pengobatan yang akan dipilih (Osborn, et
al, 2010).
Mastektomi adalah suatu tindakan pembedahan onkologis pada keganasan
payudara yaitu dengan mengangkat
seluruh jaringan payudara yang terdiri dari seluruh stroma dan parenkhim payudara, areola dan puting susu serta kulit di atas tumornya disertai diseksi kelenjar getah bening aksila ipsilateral level I, II, III secara end block tanpa mengangkat M. Pektoralis major dan
minor (Sjamsuhidayat, 2010).
Salah satu gejala yang dirasakan pada penderita kanker setelah menjalani operasi adalah nyeri yang dapat bersifat ringan, sedang sampai menjadi berat. Hal ini juga yang menjadi gejala yang paling ditakuti pasien karena menjadi faktor utama dalam mengalami penurunan kualitas hidupnya. Sebagian besar pasien
kanker akan mengalami gangguan
perasaan nyeri dalam perjalanan hidupnya (Suwiyoga, 2007).
Intervensi yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi nyeri
meliputi pendekatan farmakologi dan non
farmakologi. Pemberian intervensi
farmakologi dengan pemberian analgetik
merupakan terapi modalitas dalam
memberikan sejumlah medikasi.
Pemberian dengan analgetik mampu
meningkatkan ambang batas nyeri
sehingga rangsang nyeri pada pasien tidak dipersepsikan sebagai suatu ancaman (Djumhuri, 2009). Namun kenyataannya, hal ini terkait dengan efek samping dan perasaan nyeri yang tidak mereda serta bahaya komplikasi maka perlu adanya intervensi yang lebih aman (Smeltzer dan Bare, 2008).
Intervensi non farmakologi
merupakan terapi pelengkap dalam
mengurangi dan mengontrol nyeri,
intervensi ini dapat mencakup intervensi fisik dan perilaku kognitif. Dalam mengurangi nyeri pada kanker salah satu teknik yang dapat digunakan spiritual
emotional freedom technique (SEFT)
sebagai satu teknik yang bermula dari teknik emotional freedom technique
(SEFT). SEFT merupakan teknik
penggabungan dari sistem energi tubuh (energy medicine) dan terapi spiritualitas dengan menggunakan metode tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh (Zainuddin, 2006), serta menutup “gate
control”, rangsangan yang diteruskan oleh
serabut saraf cepat A-Beta tersebut harus mempunyai frekuensi tinggi dan
intensitas yang rendah. Rangsangan nyeri yang dihantarkan oleh serabut saraf
tersebut dapat tertahan dan tidak
diteruskan ke sel-sel transmisi, sehingga tidak diteruskan ke pusat nyeri (Saputra, 2010).
SEFT merupakan metode baru untuk penatalaksanaan non farmakologis nyeri, kelebihan terapi SEFT dibanding teknik atau metode terapi lain adalah mudah dipelajari dan dipraktikkan oleh siapa saja, cepat dirasakan hasilnya, murah, efektifitasnya relatif permanen, jika dipraktikkan dengan benar, tidak ada rasa sakit atau efek samping, jadi sangat aman dipraktikkan oleh siapa saja, universal (bisa diterapkan untuk masalah fisik atau emosi apapun (Zainuddin, 2006).
Terapi SEFT sebelumnya sudah dilakukan oleh Atun dkk (2013) dalam
penelitiannya tentang pengaruh
pemberian therapi SEFT terhadap
penurunan nyeri post operasi seksio sesaria di RSUD Margono Soekardjo
Purwokerto. Hasil penelitian
menunjukkan therapi SEFT mempunyai
nilai efektifitas lebih baik dalam
menurunkan nyeri post operasi seksio sesaria. Penelitian yang dilakukan oleh Mudatsir dkk (2010) tentang spiritual
emotional freedom technique dan nyeri
pasien pasca operasi fraktur femur, menunjukkan bahwa pemberian SEFT
lebih baik terhadap pengurangan nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti bulan Mei 2016 di RSUD Pandan Arang Boyolali didapatkan ada 24 pasien ca mammae yang dilakukan operasi mastektomi. Hasil pengkajian yang dilakukan oleh peneliti 8 dari 10 orang pasien post operasi mastektomi merasakan kesakitan ringan sampai berat skala 5-8 seperti tertusuk-tusuk dan panas yang akhirnya menyebabkan pasien dan keluarga pasien gelisah dan cemas. Implementasi yang dilakukan dilapangan
dalam mengurangi nyeri, perawat
menganjurkan untuk relaksasi nafas dalam dan kolaborasi dengan dokter
pemberian obat analgesik untuk
meringankan nyeri yang dirasakan pasien. Nyeri pasien sementara waktu dapat berkurang karena efek analgesik obat, akan tetapi jika efek dari obat sudah habis pasien kembali merasa sakit sehingga membuat pasien gelisah dan keluarga
pasien ikut cemas melihat pasien
kesakitan. Penatalaksanaan manajemen nyeri dengan SEFT juga belum pernah dilakukan di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang “pengaruh
spiritual emotional freedom technique
Usia F %
36-45 Tahun 11 45,8
46-55 Tahun 9 37,5
56-65 Tahun 3 12,5
mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali”.
II. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian jenis quasy eksperimen dengan design non equivalent control group
design. Populasi pada penelitian ini adalah
Populasi pada penelitian ini adalah 24 pasien mastektomi. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling yaitu 24 sampel.
Alat penelitan yang digunakan yaitu SPO terapi SEFT dan kuesioner skala deskriptif verbal (VAS).
Analisis data univariat penelitian meliputi usia, lama sakit, pendidikan, pekerjaan dan skala nyeri yang disajikan dalam bentuk proporsi presentase. Analisis bivariat analisis yang dilakukan untuk mengetahui keterkaitan dua variable menggunakan uji mann whitney.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian yang telah
dilakukan didapatkan karakteristik
responden berdasarkan usia, lama sakit, pendidikan, pekerjaan dan skala nyeri disajikan dalam tabel serta deskripsi.
Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia (n=24)
> 65 Tahun 1 4,2 N=24 24 100
Diketahui dari Tabel 1
distribusi frekuensi usia paling banyak yaitu 36-45 tahun sebanyak 11 responden (45,8%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hakam dkk (2009) bahwa pada kelompok penelitian ini adalah antara
25 sampai 60 tahun, yang
dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu dewasa muda dan dewasa dengan alasan rentang usia dewasa yang lebar sehingga dikategorikan antara dewasa muda dan dewasa. Responden yang berumur dewasa muda adalah 11 orang (55%), sedangkan dewasa 9 orang (45%).
Menurut Riskesdas (2013)
bahwa terlihat peningkatan prevalensi yang cukup tinggi pada kelompok umur 25-34 tahun, 35-44 tahun dan 45- 54 tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena ada beberapa faktor yang berperan yaitu penapisan atau skrining, penularan penyakit kanker melalui hubungan seksual, peran pasangan
pria, karakteristik reproduksi,
SD 15 62,5
adanya hubungan antara lamanya SMP 5 20,8
Tabel 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Sakit (n=24)
Lama Sakit F %
lama, pengobatan tersebut adalah PKA (Green, 2008). Penelitian terakhir
< 1 Tahun 1-3 Tahun
1 4,2 19 79,2
menunjukkan bahwa terapi
> 3 Tahun 4 16,7 N=24 127 100
Diketahui dari Tabel 2
distribusi frekuensi lama sakit paling banyak yaitu 1-3 tahun sebanyak 19 responden (79,2%).
Hasil penelitian tersebut
sejalan dengan hasil penelitian
Karningsih, Herlyssa & Jomima (2014) yang menunjukkan bahwa variabel lamanya menderita penyakit terhadap penggunaan PKA (Pengobatan Komplementer
pengobatan alternatif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas pada penyakit kanker. Namun dapat meningkatkan kualitas
hidup individu yang mengidap
penyakit terlalu lama. Manfaat-
manfaat psikologis dari beragam terapi
alternatif tersebut sesungguhnya
adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya (National Institutes of
Health, 2010).
Tabel 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan (n=24)
Pendidikan F %
Alternatif) dapat dibuktikan dengan Tidak sekolah 2 8,3
penyakit dengan PKA. Hal ini tidak sesuai dengan teori. seseorang menderita penyakit lama maka individu tersebut akan mempunyai
pengalaman yang lama tentang
penyakitnya. Sehingga dengan
pengalaman penyakitnya, maka ia akan bisa mengevaluasi pengobatan yang sudah dilakukannya. Mereka yang menderita penyakit terlalu lama akan mencari banyak informasi untuk kesembuhan penyakitnya. Oleh karena itu banyak orang yang menderita penyakit kanker payudara terlalu lama,
akan mencari pengobatan yang
membuat daya tahan hidup tambah
SMA 2 8,3 N=24 24 100
Diketahui dari Tabel 3
distribusi frekuensi pendidikan paling banyak yaitu SD sebanyak 15 responden (62,5%).
Hasil penelitian tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Anis,
Ayu dan Urip (2012) yang
menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan yang paling banyak adalah SD sebanyak 16 orang (40%). Hasil penelitian Nurpeni (2015) menunjukkan hal yang sama bahwa karakteristik responden responden terbanyak berada pada tingkat
pendidikan SD sebanyak 21 responden (35%). Menurut peneliti
pendidikan responden termasuk
rendah, hal ini menyebabkan
pengetahuan mengenai pemahaman penyakit akan berkurang. Pendapatan peneliti didukung oleh Riskesdas (2013) yaitu faktor perilaku dan pola
makan memiliki peran penting
terhadap timbulnya kanker.
Pemahaman yang kurang mengenai suatu penyakit berpengaruh terhadap faktor perilaku dan pola makan yang tidak sehat. Secara umum kurangnya konsumsi sayur dan buah merupakan faktor resiko tertinggi. Sementara itu, kebiasaan mengkonsumsi makanan
dibakar/ dipanggang dan
mengkonsumsi makanan hewani
berpengawet cenderung lebih tinggi.
Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka ia akan mudah menerima hal – hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut. Pasien yang memiliki status pendidikan yang lebih tinggi
mempunyai pengalaman serta percaya diri yang tinggi serta pasien
tersebut dapat mengurangi
kecemasan yang dirasakannya
sehingga individu tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat (Azizah, Sofian & Suyanto, 2014).
Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik cenderung akan berperilaku SADARI yang baik juga.Ini merupakan hasil yang sangat positif, karena perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor
lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
Berdasarkan pengalaman dan
penelitian terbukti bahwa perihal yang didasari oleh pengetahuan pasti akan lebih langgeng daripada perilaku yang sebelumnya tidak
dilandasi oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2012).
Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan (n=24)
Pekerjaan F %
akan mempunyai pengetahuan yang Tidak bekerja
Buruh/Petani
3 12,5 16 66,7
luas sehingga memungkinkan pasien tersebut dapat mengontrol dirinya
terhadap masalah yang sedang
dihadapinya, mempunyai perkiraan yang tepat dalam mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan,
Wiraswasta 5 20,8 N=24 24 100
Diketahui dari Tabel 4
distribusi frekuensi pekerjaan paling banyak yaitu buruh/petani sebanyak 16 responden (66,7%).
Risiko mengalami kanker terpapar oleh zat-zat karsinogen
payudara pada wanita dewasa yang daripada wanita yang tidak bekerja/
melakukan aktivitas fisik rata-rata 4 ibu rumah tangga. Sedangkan yang
jam/lebih setiap minggu selama masa paling mempunyai kecenderungan
reproduktif adalah 60% lebih rendah terpapar oleh zat-zat karsinogen
dibandingkan dengan wanita yang diasumsikan adalah wanita yang
tidak melakukan aktivitas (Devita, bekerja sebagai petani/buruh
2009). Hasil penelitian ini juga (Karima, 2013).
sejalan dengan penelitian yang 2. Skala Nyeri pada Kelompok Intervensi
dilakukan oleh Karima (2013) bahwa Sebelum dan Sesudah SEFT
kejadian kanker payudara Tabel 5 Skala Nyeri pada Kelompok
menunjukkan bahwa dibandingkan wanita yang tidak bekerja/ibu rumah tangga, resiko wanita yang bekerja
sebagai PNS/ pegawai swasta/
wiraswasta adalah 0,849 kali (95% CI:0,397-1,816). Sedangkan resiko
wanita yang bekerja sebagai
petani/buruh adalah 3,093 kali (95% CI: 0,609-15,669).
Jenis pekerjaan sebagai salah satu elemen dari faktor sosial
demografi, dapat meningkatkan
resiko kanker payudara. Resiko tersebut berhubungan dengan paparan estrogen lingkungan atau zat karsinogenik di lingkungan (Brophy
et al, 2006). Wanita yang tidak
bekerja/ ibu rumah tangga
diasumsikan tidak terpapar oleh zat- zat karsinogen dari tempat kerja. Wanita yang bekerja sebagai PNS/
pegawai swasta/wiraswasta
diasumsikan lebih cenderung
Intervensi Sebelum dan Sesudah SEFT (n=24)
Skala Nyeri Pre Post Nyeri ringan 2 5 Nyeri sedang 9 7 Nyeri Berat 1 0 N=24 24 100
Diketahui dari Tabel 5
distribusi frekuensi skala nyeri pada pre kelompok intervensi paling banyak
yaitu nyeri sedang sebanyak 9
responden (75%) serta post kelompok intervensi paling banyak juga nyeri sedang sebanyak 7 responden (58,3%).
Menurut Kartinah (2016)
sebagian besar penderita kanker
mengalami nyeri. Penyebabnya bisa penekanan saraf akibat massa kanker itu sendiri, bisa juga karena efek
samping tindakan medis yang
dilakukan seperti pembedahan,
kemoterapi, dan konsumsi obat-
obatan. Nyeri tersebut bisa hilang- timbul, bisa juga berlangsung terus- menerus. Bahkan, nyeri itu dapat
menetap meski pasien telah dinyatakan bebas dari kanker. Tingkatan nyeri
yang dirasakan dapat bervariasi
antarpasien. Hal itu dipengaruhi faktor-faktor seperti jenis dan stadium kanker, serta kepekaan pasien terhadap nyeri.
Berdasarkan panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO), nyeri ringan-sedang dapat diterapi dengan
menggunakan obat-obatan
antiinflamasi nonsteroid. Nyeri sedang-berat dapat diatasi dengan obat dari golongan narkotika seperti kodein dan morfin. Namun, dalam Kartinah (2016) studi menunjukkan sekitar 14% penderita nyeri kanker tidak bisa ditangani dengan prosedur tersebut. Pada mereka, nyeri tidak dapat diatasi meski telah dilakukan kemoterapi, operasi, radiasi, dan pemberian obat- obatan pereda nyeri. Untuk pasien yang demikian terapi intervensi bisa menjadi pilihan. Terapi intervensi merupakan prosedur memutus sinyal nyeri dari jaringan saraf tepi ke otak. Ketika sinyal nyeri tidak sampai ke otak, pasien tidak akan merasakan nyeri.
Menurut studi, 10%-20% pasien nyeri kanker yang tidak mempan dengan terapi obat jenis narkotika atau bermasalah dengan efek sampingnya dapat memperoleh manfaat dari
prosedur intervens. Prof Darto yang seorang konsultan anastesi regional dan intervensi itu menjelaskan ada dua teknik intervensi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri kanker, yaitu teknik nondestruktif dan destruktif yang melibatkan perusakan jaringan saraf (Kartinah, 2016).
Hasil penelitian Ma’rifah (2013) mengenai pemberian therapi SEFT terhadap penurunan nyeri post operasi seksio sesaria pada kelompok kontrol nilai korelasi sebesar 0,431 dengan
nilai R-square sebesar 18,6%
menunjukan bahwa pada kelompok
kontrol perlakuan hanya dapat
mempengaruhi nyeri sebesar 18,6%.
Sedangkan pada kelompok
eksperiment nilai korelasi sebesar 0,671 dengan nilai R-square sebesar
0,763 menunjukan bahwa pada
kelompok eksperimen dengan genggam jari dapat mempengaruhi nyeri sebesar 76%. Sehingga dapat disimpulkan teknik SEFT mempunyai nilai efektifitas lebih baik dalam
menurunkan nyeri post operasi.
Menurut Potter dan Perry (2006) mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus spesifik subyektif dan berbeda antara masing-masing individu karena dipengaruhi faktor psikososial, kultural dan endorprin
seseorang, sehingga orang tersebut merasakan nyeri.
3. Skala Nyeri pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah
Tabel 6 Skala Nyeri pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah (n=24)
Skala Nyeri Pre Post
yang berlangsung secara terus menerus juga dapat menyebabkan komplikasi yang dapat memperburuk kondisi
penyakit bahkan kematian dan
menambah biaya perawatan (Putri, 2013).
4. Pengaruh spiritual emotional freedom
Nyeri sedang 9 10 Nyeri Berat 3 2 N=24 127 100
Diketahui dari Tabel 6 distribusi frekuensi skala nyeri pre
technique (SEFT) terhadap nyeri pada
pasien post mastektomi di RSUD
Pandan Arang Boyolali.
Tabel 7 uji Mann Whitney (n=24)
Kelompok Mann Whitney Sig
pada kelompok kontrol paling banyak
Kontrol 31.500 0,005
yaitu nyeri sedang sebanyak 9 responden (75%) sedangkan post skala nyeri pada kelompok kontrol paling banyak yaitu nyeri sedang sebanyak 10 reponden (83,3%).
Nyeri kanker merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker yang sedang menjalani hospitalisasi dan persentasenya dilaporkan mencapai 90%. Pasien kanker yang mengalami gejala nyeri sering dihadapan pada
permasalahan tidak tepatnya
manajemen nyeri yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Penanganan nyeri yang dilakukan secara tidak tepat dapat menyebabkan pasien merasakan nyeri yang berlangsung secara terus menerus. Hal tersebut dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien. Selain berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien, nyeri
Perlakuan
Diketahui dari Tabel 7 hasil uji
Mann Whitney 0,005 (p < 0,05)
sehingga H1 diterima yang artinya ada
pengaruh spiritual emotional freedom
technique (SEFT) terhadap nyeri pada
pasien post mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Ma’rifah, 2013) diketahui bahwa didapatkan hasil p value sebesar 0,004 (p< a), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan skala nyeri sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dengan selisih rata-rata penurunan nyeri adalah 0,93.
Pasca pembedahan pasien
merasakan nyeri hebat dan 75%
penderita mempunyai pengalaman
pengelolaan nyeri yang tidak adekuat. Hal tersebut merupakan stressor bagi pasien dan akan menambah kecemasan serta keteganggan yang berarti pula menambah rasa nyeri karena rasa nyeri menjadi pusat perhatiannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka hanya satu yang mereka inginkan yaitu mengurangi rasa nyeri. Hal itu wajar, karena nyeri dapat menjadi
pengalaman yang kurang
menyenangkan akibat pengelolaan
nyeri yang tidak adekuat.
Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode
pereda nyeri non farmakologis
biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat–obatan, tindakan tesebut mugkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau
menit. Keahlian perawat dalam
berbagai strategi penanganan rasa nyeri adalah hal yang sangat penting, tapi tidak semua perawat meyakini
atau menggunakan pendekatan non farmakologis untuk menghilangkan rasa nyeri ketika merawat pasien post operasi karena kurangnya pengenalan teknik non farmakologis, maka
perawat harus mengembangkan
keahlian dalam berbagai strategi
penanganan rasa nyeri (Ilyas. 2014). Intervensi yang dapat
diberikan pada pasien untuk
mengurangi nyeri meliputi pendekatan farmakologi dan non farmakologi.
Pemberian intervensi farmakologi
dengan pemberian analgetik
merupakan terapi modalitas dalam
memberikan sejumlah medikasi.
Pemberian dengan analgetik mampu meningkatkan ambang batas nyeri sehingga rangsang nyeri pada pasien tidak dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Namun kenyataannya, hal ini terkait dengan efek samping dan perasaan nyeri yang tidak mereda serta bahaya komplikasi maka perlu adanya intervensi yang lebih aman (Hakam, 2009)
Menurut peneliti intervensi SEFT terbukti mampu secara signifikan menurunkan intensitas nyeri post operasi mastektomi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penurunan
intensitas nyeri pada kelompok
intervensi SEFT. Spiritualitas
tertinggi karena hal ini berkaitan dengan hubungan transenden dengan Tuhan, spiritual akan menuntun dan memberikan makna serta tujuan hidup seseorang.
Aspek spiritual subyek
disentuh dengan membimbing subyek mengucapkan kalimat kepasrahan dan
keikhlasan yang akhirnya
membimbing mereka dalam kondisi khusyu‟. Kondisi ini dianalogikan sebagai kondisi meditatif yang dapat mempengaruhi perubahan fisiologis
seseorang. Ibu akan mengalami
penurunan frekuensi denyut jantung, nafas menjadi lambat, metabolisme menurun dan terjadi peningkatan sirkulasi darah perifer. Selain itu
kondisi ini menimbulkan efek
psikologis berupa rasa percaya diri, optimisme, ketenangan dan kedamaian (Breslin & Lewis, 2008). Selain efek spiritual dalam intervensi SEFT juga
menggabungkan tehnik energy
psychology dalam hal ini berupa
tapping pada 18 titik meredian
utama. Tindakan tapping
dimungkinkan akan mempengaruhi sistem saraf pusat. Menurut gate
control teory, jika pusat otak yang
lebih tinggi teraktivasi maka gerbang di spinal cord akan menutup, sehingga sensasi nyeri tidak akan sampai ke pusat otak dan tidak akan
diinterpretasikan sebagai nyeri.
Tapping atau ketukan ringan ini
dapat merangsang acupoint agar
mengeluarkan internal opioids
(endorphins, enchepalins dan
dynorphins) (Lane, 2009 dalam
Ma’rifah, 2013). Selain itu tapping
juga dapat dianggap sebagai
rangsangan eksternal yang dapat menggangu pengiriman impuls nyeri ke pusat otak sehingga impuls nyeri yang terkirim ke otak semakin sedikit. Dengan melakukan terapi spiritual
emotional freedom technique (SEFT),
masalah emosi maupun masalah fisik yang dialami oleh seseorang misalnya nyeri post operasi mastektomi maka tingkat nyeri yang dirasakan akan berkurang, bahkan akan hilang dalam
waktu yang singkat. Hal ini
dikarenakan spiritual emotional
freedom technique (SEFT) lebih
menekankan pada unsur spiritualitas (do’a) dan sistem energi tubuh dengan menggunakan metode tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh. Selain sistem energi tubuh terdapat pula metode relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan pasien yang diyakini dapat mengurangi nyeri yang dirasakan (Zakiyyah, 2010).
Para responden
menginformasikan bahwa nyeri tidak serta merta hilang akan tetapi mereka
menjadi lebih toleransi terhadap nyeri dan melaporkan bahwa nyerinya lebih cepat hilang walaupun terdapat luka post operasi mastektomi. Hal ini selaras dengan pernyataan Dezutter et al (2011) bahwa kegiatan berdoa memiliki arti terhadap toleransi seseorang terhadap nyeri. Penelitian ini juga selaras dengan penelitiannya Yuniarsih dkk (2012) bahwa SEFT dapat menurunkan tingkat nyeri pada ibu bersalin kala 1 dan penelitian Wijiyanti (2010) bahwa SEFT dapat
menurunkan nyeri post operasi.
Intervensi SEFT menuntut pemberi pelayanan berada disamping klien untuk memberikan asuhan langsung dalam mengatasi nyeri.
Stimulasi (ketukan-ketukan)
yang dilakukan pada saat pelaksanaan SEFT akan merangsang serabut saraf A-beta, diteruskan ke nukleus kolumna dorsalis dan impuls saraf diteruskan melalui lemnikus medialis dan melalui jalur kolateral terhubung dengan
periaqueductal grey area (PAG).
Perangsangan PAG ini menghasilkan enkepalin (sejenis opium dalam tubuh ) yang selanjutnya akan mengaktifkan nukleus raphe atau nukleus retikuler magnoseluler. Kedua nukleus tersebut dikirimkan impuls penghambat nyeri ke medula spinalis melalui jaras kaudal-retikuler. Jaras kaudal retikuler
yang berasal dari nukleus raphe adalah serabut serotinegik sedangkan yang
berasal dari nukleus retikuler
magnoseluler adalah serabut
norepinefrinergik. Di medula spinalis kedua jenis serabut saraf tersebut
bersinap dengan serabut
enkefalinergik yang dapat melakukan penghambatan pre sinaptik melalui penghambatan pelepasan substansi P oleh serabut saraf halus tak bermielin (serabut saraf C), sehingga nyeri berkurang (Baldry dan Thompson dalam Mudatsyir, 2012).
Secara otomatis hal ini
memberikan ketenangan kepada
subyek sehingga ketakutannya akan kesendirian dan ketidakmampuan dapat diatasi. Brattberg (2008) kalimat
keikhlasan dan kepasrahan yang
diulang-ulang menjadi kalimat afirmasi akan menyebabkan kondisi seseorang menjadi rileks dan santai,
sehingga akan memberikan efek
peningkatan energi, mengurangi
kelelahan, mengurangi hormon stres sehingga kecemasan akan menurun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SEFT yang didalamnya ada
tapping (ketukan ringan) benar-benar
memiliki efek dalam menurunkan nyeri post operasi mastektomi
IV. SIMPULAN
1. Karakteristik responden berdasarkan usia paling banyak yaitu 36-45 tahun sebanyak 11 responden (45,8%), karakteristik responden berdasarkan lama sakit paling banyak yaitu 1-3
tahun sebanyak 19 responden
(79,2%), karakteristik responden
berdasarkan pendidikan paling
banyak yaitu SD sebanyak 15
responden (62,5%), karakteristik
responden berdasarkan pekerjaan paling banyak yaitu buruh/petani sebanyak 16 responden (66,7%). 2. Skala nyeri pada kelompok
intervensi paling banyak sebelum dilakukan SEFT yaitu nyeri sedang
sebanyak 9 responden (75%)
sedangkan sesudah SEFT paling banyak juga nyeri sedang sebanyak 7 responden (58,3%).
3. Skala nyeri pada kelompok kontrol sebelum paling banyak yaitu nyeri sedang sebanyak 9 responden (75%), sedangkan sesudah skala nyeri pada kelompok kontrol paling banyak yaitu nyeri sedang sebanyak 10 reponden (83,3%).
4. Hasil uji Mann Whitney 0,005 (p <
0,05) sehingga H1 diterima yang
artinya ada pengaruh spiritual
emotional freedom technique (SEFT)
terhadap tingkat nyeri pada pasien
post mastektomi di RSUD Pandan Arang Boyolali.
V. DAFTAR PUSTAKA
Imbalo. (2007). Jaminan Anis, Ayu dan Urip. (2012). Hubungan koping dan dukungan sosial dengan body image pasien kanker payudara post mastektomi di poli bedah onkologi RSHS Bandung. Artikel Penelitian. FIK Unpad.
Atun dkk. (2013). Pengaruh pemberian
therapi SEFT (Spiritual
Emosional Freedom Teknik)
terhadap penurunan nyeri post operasi seksio sesaria di RSUD
Margono Soekardjo
Purwokerto. Artikel Ilmiah.
STIKes Harapan Bangsa
Purwokerto.
Azizah, Sofian,Amru & Suyanto.
(2014). Gambaran Kualitas
Hidup Pasien Kanker Serviks Yang Menjalani Radioerapi Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 2011 – 2013.JOM Vol 1, No 2
Breslin & Lewis. (2008). Self
Administered EFT(Emotional
Freedom Techniques) in
individuals with fibromyalgia: A randomized trial. Integrative Medicine. 7(4), 30-35.
Brophy et al. (2006). Educational
Psychology: A Reaslic
Approach. Longman. New
York.
Devita, Vincent T. (2009).Cancer
principle & practice of oncology. Philadelpia Lipport- Raven Vol.1
Djumhuri A. (2009). Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di Klinik dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates.
Fujin, Chen, Willie Japaries. (2008).
Buku Ajar Onkologi Klinis edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Green and Kreuters. (2008) . Health
program planning, An
Educational and Biological
Approach, Fourth Edition, New York : Mc Graw-Hills Avenur Hakam dkk. (2009). intervensi spiritual
emotional freedom technique untuk mengurangi rasa nyeri pasien kanker. Makara. Volume 13. Nomor 2.
Ilyas, Hamzah & Yusran. (2014. efektifitas metode penanganan nyeri pada pasien post op ca mammae di ruang perawatan
Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin Makassar. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis.
Volume 5 Nomor 3.
Karima. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara wanita di
rumah sakit umum pusat
nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusuma Jakarta Tahun
2014. Artikel Ilmiah
Departemen Epidemologi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Karningsih, Herlyssa & Jomima. (2014). Lamanya Menderita Penyakit
Mempengaruhi Penggunaan
Pengobatan Komplementer
Alternatif Pada Kanker
Payudara.Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kesehatan, Vol. 1, Nomor 2
Kartinah. (2016). Meredam nyeri kanker. Diakses 5 Januari 2017 dari
http://mediaindonesia.com/new s/read/83642/meredam-nyeri- kanker-dengan-terapi- intervensi/2016-12-21.
Kemenkes. (2015). Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Penyakit Kanker.
Jakarta: Kepala Pusat Data dan
Informasi Kementerian
Kesehatan RI.
Ma’rifah dkk. (2013). Pengaruh
pemberian therapi SEFT
terhadap penurunan nyeri post operasi seksio sesaria di RSUD
Margono Soekardjo
Purwokerto. Jurnal Publikasi.
STIKes Harapan Bangsa
Purwokerto.
Mudatsir dkk. (2010). Spiritual
emotional freedom technique dan nyeri pasien pasca operasi fraktur femur. Jurnal Publikasi.
Kementerian Kesehatan
Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi.
National Institutes of Health. (2010). Thingking about Complementary and Alternative Medicines. Mariland: NIH Publication.
http://nccam.nih.gov/ healt.
Notoatmodjo, S. (2012). Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nurpeni, Ratih Khrisna Made.
(2015).Hubungan Dukungan
Keluarga Dengan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Kanker Payudara (Ca Mammae) di
Ruang Angsoka III RSUP
Kedokteran Universitas Udayana
Osborn, Kathleen. S., Wraa., Watson.
(2010). Medical Surgical
Nursing: Preparation for
Practice Volume 2.USA:
Pearson.
Potter, P.A., & Perry, A. G.
(2006). Fundamental
keperawatan konsep, proses dan praktik. Jakarta: EGC.
PUSDATIN. (2015). Infodatin: Stop
Kanker. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian
Kesehatan RI.
Putri. (2013). Hubungan tingkat
pengetahuan dan sikap dengan
penerapan manajemen nyeri
pada pasien kanker oleh perawat di rumah sakit kanker Dharmais.
Jurnal Publikasi Kesehatan.
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar : Laporan Nasional 2013. Diakses 5 Januari 2017 dari http://www.litbang.depkes.go.i d/bl_riskesdas2007/
Saputra K. (2010). Akupunktur Dalam
Pendekatan Ilmu Kedokteran.
Edisi pertama. Surabaya:
Airlangga University Press. Sjamsuhidayat, R. Wim de Jong. (2010).
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S dan Bare, B. (2008).
Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 Edisi 8 (alih bahasa oleh Kuncara, dkk. Jakarta:
EGC.
Suwiyoga. (2007). Penanganan nyeri pada kanker serviks stadium lanjut. Diakses 9 Juni 2016 dari http://ejournal.unud.ac.id/abstra k/penanganan%25
20nyeri%2520.pdf+patofisiolog i+nyeri+kanker&hl=en&ct=cln k&cd=1.
Yuniarsih dkk. (2012). Pengaruh SEFT untuk mengurangi nyeri dan kecemasan pada ibu Bersalin Kala I .Diakses 5 Januari 2017 dari http://journal.unikal.ac.id/
Zainuddin AF. (2006). Spiritual
Emotional Freedom Technique for Healing, Succes, Happiness, Greatness. Edisi Revisi. Jakarta:
Afzan Publishing.
Zakiyyah. (2010). Pengaruh terapi
spiritual emosional freedom
technique (SEFT) terhadap
penanganan nyeri dismenorea. Jurnal Sain Med, 5(2), 66–71. Diakses 5 Januari 2017 dari
http:// www. kopertis7.
go.id/uploadjurnal/Muthmainna h_Zakiyyah.pdf.