• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Endometriosis merupakan penyakit ginekologik yang progresif, dengan ciri ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium pada peritoneum pelvis dan jaringan ekstrauterin lainnya. Kelainan ini erat kaitannya dengan kejadian nyeri pelvik dan infertilitas.1-12 Angka kejadian (insidens) endometriosis sekitar 3-18% perempuan usia reproduktif, tetapi angka sebenarnya tidak diketahui secara pasti, karena prosedur diagnosis baku emas yaitu konfirmasi pembedahan yang diikuti pembuktian secara histopatologi sering tidak dilakukan, sehingga dapat mengakibatkan luputnya penasahan penyakit.1-9

Insidens endometriosis meningkat dari tahun ke tahun, menurut Endometriosis

Research Centre, endometriosis ditemukan pada lebih dari tujuh juta perempuan termasuk

remaja di Amerika Serikat (dua kali lipat jumlah penderita Alzheimer dan tujuh kali lipat penderita penyakit Parkinson). Berdasarkan angka perkiraan (prevalens) penyakit endometriosis di dunia sebesar 10%, maka lebih dari 70 juta perempuan di dunia (10%) menderita endometriosis.5 Perempuan pada usia 25 sampai dengan 29 tahun sering didiagnosis endometriosis untuk pertama kalinya, pada umumnya terlambat diketahui, karena mereka datang setelah mengeluh tidak atau belum mempunyai anak (infertilitas).2,4

Endometriosis ditemukan pada 4,1% perempuan tanpa keluhan dan gejala, yang diketahui secara kebetulan ketika mengalami tindakan laparoskopi untuk sterilisasi. Pada perempuan dengan keluhan infertilitas ditemukan angka kejadian endometriosis saat pemeriksaan laparoskopi sekitar 20% dengan rentang sekitar 2-78%,1-4, sedangkan pada perempuan yang mengeluh nyeri pelvik, endometriosis didiagnosis sekitar 24% dengan rentang 4-78%,1-5

Insidens endometriosis di Indonesia diperoleh dari beberapa rumah sakit, antara lain: RSUD Dr. Soetomo pada kelompok infertilitas tahun 1992-1993 sebesar 37,2%, RS Dr. Moewardi tahun 2000 sebesar 13,6%, dan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada kelompok infertilitas mencapai 69,5%.9 Bila diproyeksikan prevalens endometriosis di dunia, yaitu sebesar 10%, maka diperkirakan jumlah penderita endometriosis di Indonesia hingga kini lebih dari 11 juta orang (dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia sebesar 220 juta orang).5

(2)

Gejala penyakit beragam, dapat tampil tanpa gejala, minimal, atau berat. Pada pemeriksaan fisis jarang ditemukan kelainan pada lokasi penyakit. Kecurigaan akan adanya lesi timbul pada penemuan massa noduler, nyeri pada ligamen uterosakral, nyeri adneksa, dan adanya massa kistik yang disebut endometrioma.1-3

Hingga kini diagnosis pasti endometriosis ditegakkan dengan cara diagnosis baku emas, yaitu tindakan pembedahan ringan (laparoskopi), untuk mengenal dan mencari lesi, melakukan penderajatan (staging), diakhiri biopsi dengan ketepatan hasil histopatologi sebesar 67%.11-4The American Society for Reproductive Medicine membuat skema stadium berdasarkan jumlah, lokasi lesi, dan perlekatan yang terlihat saat pembedahan. Stadium 1-4 yaitu minimal, mild, moderate, dan severe berguna untuk menentukan prognosis fungsi reproduksi selanjutnya. Penderajatan selain berguna untuk diagnosis juga untuk pemantauan respons pengobatan (pengamatan lanjut).1-9 Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG), pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT scan), pencitraan resonansi magnetik (MRI), dan pemeriksaan karsinoantigen-125 (CA-125) merupakan cara diagnostik yang nir-invasif tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah.1-7,14-15

Bermacam teori terjadinya penyakit ini sudah dikemukakan sejak lama dan teori penyusukan (implantasi) Sampson banyak dipakai mendasari konsep patogenesis saat ini.4 Penyusukan sel-sel endometrium diduga karena cacat (defek) sistem imun dan aberasi molekul intrinsik, sehingga jaringan endometrium mampu menyusuk pada jaringan yang tidak seharusnya.15-20

Tabibzadeh dkk pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa peluruhan haid

(menstrual shedding) penderita endometriosis disertai oleh disorganisasi distribusi protein

spesifik desmoplakin I/II, E-kaderin, dan katenin. Tampilan (ekspresi) aberan dari matrix

metalloproteinase, Bcl-2, beberapa sitokin (IL-6, RANTES), aromatase, defisiensi

17-β-hidroksisteroid dehidrogenase jenis 2, faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth

factor/EGF), dan resistensi terhadap kerja protektif progesteron merupakan kelainan

molekuler yang diduga terjadi pada endometriosis.19

PGE2 dan sitokin yang dikeluarkan ketika haid akan memicu aktivitas aromatase dengan meningkatkan kadar cAMP pada sel stroma endometriosis, sehingga dihasilkan estrogen secara lokal yang akan mempertahankan pertumbuhan jaringan endometriosis. Selanjutnya jaringan endometrium ektopik tersebut tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh estrogen.19

(3)

Pertumbuhan endometriosis menimbulkan perlekatan organ genitalia interna juga dengan jaringan sekitarnya, sehingga berdampak nyeri pelvik kronik dan infertilitas. Pada peristiwa ini diduga ion ferri yang terkandung dalam darah haid merangsang produksi senyawa radikal bebas berlebihan sehingga terjadi kerusakan sel dan berakhir dengan pembentukan jaringan fibrotik.4

Pengelolaan endometriosis hingga kini adalah kombinasi antara terapi pembedahan dan medikamentosa, dengan angka kekambuhan (rekurens) yang cukup tinggi yaitu lebih dari 75% pascahenti obat 4,21.

Dari uraian terdahulu jelas bahwa endometriosis merupakan penyakit yang banyak bermasalah, mulai dari etiopatogenesisnya (diduga multifaktorial), manifestasi klinisnya, hingga cara diagnostik dan terapi yang invasif dan berisiko.20-32

Sebagian besar masyarakat kita dengan berbagai alasan menolak untuk melakukan pemeriksaan diagnosis baku emas. Prosedur pembedahan walaupun ringan tetap dianggap tindakan yang menakutkan, menyakitkan, berisiko, dan memerlukan biaya besar. Akibatnya akan banyak kasus endometriosis yang terlantar atau tidak dapat dikelola dengan baik karena luput didiagnosis, sementara penyakit akan berkembang terus, sehingga pada akhirnya berdampak memburuknya penyakit, seperti nyeri pelvik kronik, distorsi organ, dan infertilitas.

Memahami kenyataan ini muncul pertanyaan apakah tidak ada cara diagnostik lain yang mungkin tidak invasif (nir-invasif) dengan biaya lebih terjangkau, aman, tapi cukup tepat (akurat)? Sebenarnya banyak pemeriksaan nir-invasif lainnya yang ada hingga saat ini seperti USG, CT-scan, MRI, dan pemeriksaan CA-125, tetapi cara-cara tersebut masih kurang kepekaannya dan baru bermanfaat pada kasus yang sudah berat.

Bertitik tolak dari konsep patogenesis yang berkembang hingga saat ini, penulis tertarik untuk mencari cara diagnostik lain yang nir-invasif dengan biaya lebih terjangkau tapi cukup akurat, yaitu dengan menasah (deteksi) protein-protein yang ditampilkan oleh endometrium eutopik penderita endometriosis yang pada hakikatnya sudah mempunyai cacat molekuler. Pada umumnya para peneliti menggunakan spesimen biopsi jaringan, walaupun beberapa peneliti melaporkan bahwa tampilan berlebihan protein aberan tersebut dapat ditasah baik pada endometrium eutopik, ektopik, cairan peritoneum, dan darah haid. Hasil penelitian di beberapa senter ditemukan tampilan berlebihan protein dan gen aberan dengan data persentase yang menyatakan kekuatan tampilannya, baik pada endometrium eutopik maupun ektopik. Tetapi belum ada satupun yang menyatakan secara tegas bahwa

(4)

tampilan protein aberan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis penyakit, misalnya ditentukan titik potongnya (cut off point- nya), walaupun telah banyak peneliti melaporkan perbedaan tampilan protein antara endometrium penderita endometriosis dibandingkan dengan perempuan normal. Perbedaan ini diduga kuat karena adanya polimorfisme gen protein yang mengalami tampilan aberan tersebut.

Protein aberan yang menarik penulis untuk diteliti adalah protein BCL-2 yang mengatur apoptosis sel dan matriks metaloproteinase (MMPs) yang berperan pada proses penyusukan sel ke jaringan tubuh.15-8 Aberasi tampilan yang mengakibatkan hadirnya sel endometrium yang mampu hidup lebih lama (viabel) dan MMP-9 yang menjadikan sel endometrium memiliki daya invasi ke jaringan merupakan faktor yang penting pada awal pembentukan lesi endometriosis.

Pola manifestasi klinis tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian beberapa peneliti di dunia yang meneliti tampilan protein pada etnik yang berbeda; bahwa tampilan polimorfisme gen yang diduga kuat menyebabkan produksi berlebihan protein BCL-2 dan MMPs ternyata hasilnya berbeda pula untuk masing-masing pusat penelitian/etnik15-18,22 Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti polimorfisme gen yang mempengaruhi tampilan aberan protein BCL-2 dan MMPs pada perempuan penderita endometriosis di Indonesia.

Berdasarkan sifat penyakit yang terwariskan secara poligenik (

polygenicaly-inherited deseases) dengan etiologi berganda dan kompleks, penulis tertarik untuk mencari

adakah hubungan pola manifestasi klinis yang didapat pada perempuan Indonesia yaitu karakteristik penderita, derajat penyakit berikut hasil histopatologinya dengan tampilan protein-protein BCL-2, MMPs, sekaligus analisis polimorfisme gen pembawa kode genetiknya. Temuan-temuan tersebut akan dibuat skoring guna dijadikan alat untuk mendiagnosis penyakit.

Pada akhirnya bila cara ini mempunyai nilai sensitivitas dan speifisitas yang tinggi, maka ditemukan cara baru yang nir-invasif, terjangkau, aman, dan akurat menggantikan cara diagnosis baku emas yang invasif dan sulit diterima oleh kebanyakan penderita dengan hanya melihat karakteristik penyakit saja tanpa melakukan pemeriksaan yang invasif bahkan mungkin tidak melakukan pemeriksaan laboratorium lagi, setidaknya berlaku untuk perempuan Indonesia. Adapun kunci tema sentral permasalahan, diuraikan sebagai berikut:

(5)

Endometriosis merupakan penyakit dengan etiopatogenesis yang belum jelas, diduga penyebabnya kompleks (multifaktorial), berawal dari regurgitasi darah haid yang berisi sel-sel endometrium mampu hidup (viabel) ke rongga abdomen. Dengan didasari kelainan imunologi lokal dan cacat molekuler, sel-sel yang mampu hidup tersebut menyusuk dan tumbuh pada organ-organ pelvik dan sekitarnya, sehingga menyebabkan perlekatan organ reproduksi dengan organ sekitarnya, menghasilkan penyimpangan (distorsi) anatomi, nyeri pelvik kronik, dan infertilitas. Cara mendiagnosis penyakit yang digunakan saat ini belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat kita, karena cara tersebut bersifat invasif, berisiko dan tidak terjangkau, sehingga penyakit luput didiagnosis dan berkembang menjadi lebih berat

Penasahan protein aberan BCl-2 yang berperan dalam apoptosis sel, MMP-9 yang berperan dalam daya invasi sel dan polimorfisme gen pada darah haid diharapkan dapat dipakai sebagai petanda dalam mendiagnosis endometriosis, karena berperan penting pada awal terjadinya penyakit. Mengembangkan alat diagnosis baru dengan menghubungkan manifestasi klinis yaitu karakteristik penderita, hasil histopatologi dan derajat penyakit dengan tampilan protein BCL-2 dan MMP-.9, sekaligus polimorfisme gen pembawa kode genetiknya pada darah haid diharapkan dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit dengan cara nir-invasif, kurang berisiko, terjangkau tapi akurat, yaitu dengan membuat skoring. Temuan ini memberi peluang untuk mengembangkan cara diagnosis dini, pengelolaan, maupun pencegahan penyakit.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, khususnya setelah mengkaji tema sentral permasalahan terpikirkan hal-hal spesifik yang perlu dipertanyakan dalam kaitannya dengan masalah utama yang dihadapi, yaitu:

1. Apakah tampilan berlebihan protein BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis berhubungan dengan polimorfisme gen tersebut?

2. Apakah ada hubungan antara tampilan berlebihan BCL-2, MMP-9 pada darah haid dan manifestasi klinis penyakit endometriosis?

3. Apakah tampilan berlebihan dari BCL-2, MMP-9 pada darah haid dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis?

4. Apakah polimorfisme gen BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis?

(6)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Apabila tampilan protein BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka dapat ditemukan cara lain untuk mendiagnosis endometriosis.

Apabila ada hubungan antara tampilan berlebihan BCl-2 dan MMP-9 darah haid dan manifestasi klinis, maka sebagian patogenesis penyakit akan terungkap.

Apabila tampilan berlebihan BCl-2 dan MMP-9 darah haid berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka tampilan BCl-2 dan MMP-9 dapat dipakai untuk menunjang diagnosis.

Apabila tampilan polimorfisme gen BCL-2 dan MMP-9 darah haid berhubungan dengan polimorfisme gen protein tersebut, maka tampilan polimorfisme gen BCl-2 dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Sebagaimana dirumuskan dalam identifikasi masalah, maka kegiatan operasional penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

1.3.2.1 Tujuan umum

Menganalisis tampilan protein BCL-2 dan MMP-9 serta menghubungkannya dengan polimorfisme gen yang membawa kode genetik protein tersebut dalam darah haid perempuan penderita endometriosis.

1.3.2.2 Tujuan Khusus

1.3.2.2.1 Mengukur ekspresi protein BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid perempuan penderita endometriosis.

1.3.2.2.2 Menganalisis polimorfisme gen BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis.

1.3.2.2.3 Menghubungkan antara tampilan protein BCL-2 dan MMP-9 darah haid dengan manifestasi klinis penderita endometriosis.

1.3.2.2.4 Menentukan nilai diagnostik temuan tampilan BCL-2 dan MMP-9 darah haid dalam penasahan endometriosis.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi pengembangan di bidang:

1.4.1 Ilmiah

1) Dapat memberikan sumbangan informasi untuk memantapkan pemahaman patogenesis terjadinya endometriosis dengan membuktikan adakah gambaran ekspresi protein BCL-2 dan matriks metaloproteinase didukung oleh polimorfisme gennya pada darah haid perempuan penderita endometriosis di Indonesia. Kalau ternyata benar, maka dapat memberikan gambaran awal etiopatogenesis penyakit pada perempuan Indonesia yang diharapkan akan diikuti oleh penelitian-penelitian lanjutan untuk mengungkap lebih lanjut etiopatogenesis sebenarnya.

2) Dapat menggugah minat untuk melanjutkan penelitian lainnya dengan menelaah kebenaran etiopatogenesis lebih lanjut dan membuktikan kekeliruan hasil penelitian ini. 1.4.2 Praktis

1) Ditemukan cara lain untuk menegakkan diagnosis endometriosis yang relatif ter-jangkau dan tidak invasif, berisiko kecil, namun cukup akurat.

2) Menemukan salah satu cara pencegahan untuk mencegah atau menghambat per-kembangan penyakit sejak dini, karena diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan cara yang tidak invasif sehingga dapat dilakukan pada setiap perempuan dan remaja yang belum menikah.

3) Ditemukan cara untuk penapisan massal penyakit, penurunan kejadian, dan dampak buruk penyakit.

(8)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Definisi dan Insidens Endometriosis

Endometriosis adalah penyakit ginekologik dengan ciri ditemukannya endometrium normal (baik kelenjar maupun stroma) di lokasi yang tidak normal selain uterus. Jaringan ini memiliki reseptor steroid yang sama seperti endometrium normal dan sanggup merespons suasana hormonal normal secara siklik. Perdarahan internal secara mikroskopik, respons inflamatorik, neovaskularisasi, dan fibrosis merupakan akibat klinis dari penyakit ini.7 Penderita secara khas mengalami penyusukan (implantasi) endometrium ektopik terutama pada pelvis dan menimbulkan dismenore berat, nyeri pelvik kronik, dan infertilitas. Penyusukan pada tempat yang tidak lazim akan memberikan gejala yang tak lazim pula, seperti hemoptisis dan kejang katamenial. Tempat yang tersering bagi lesi endometriosis adalah rongga (kavum) peritoneum; selain itu dapat pula ditemukan pada rongga pleura, hati, ginjal, otot gluteus, dan kandung kemih. Endometriosis jarang ditemukan pada pria.4-7

Angka kejadian (insidens) belum dapat ditentukan secara pasti, karena prosedur diagnosis baku emas yang diakhiri pembuktian secara histopatologi sering tidak dilakukan karena berbagai alasan. Endometriosis sering ditemukan pada prosedur pembedahan dengan indikasi lain.4-7 Pada insidens populasi perempuan secara umum diperkirakan 3-18%; angka ini diperoleh dari perempuan fertil yang menjalani tindakan sterilisasi. Insidens tersebut meningkat 60% pada perempuan dismenore yang dinilai secara pembedahan dan 30% pada perempuan infertil. Perempuan dengan nyeri pelvik kronik, 45% memperlihatkan endometriosis ketika dilakukan laparoskopi dan hanya 25% pelvisnya normal.7 Insidens endometriosis meningkat dari 12% pada perempuan usia 11-13 tahun menjadi 45% pada perempuan usia 20-21 tahun. Insidens ini tidak jelas dipengaruhi ras. Endometriosis juga dapat ditemukan pada pria yang menjalani pengobatan estrogen. Sebagian besar penyakit ditemukan pada perempuan dengan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang aktif. Perempuan dalam masa prepubertas bukan merupakan kelompok berisiko, meski endometriosis ditemukan pula pada perempuan usia muda tidak lama setelah menars.5-6

(9)

Tabel 2.1 Insidens endometriosis berbagai sumber Sumber Insidens populasi (%) Peneliti Inssidens % Amerika India Jepang Jerman Inggris WHO 10-205 >105 1-153 10-155 1-153 8-105 Houston 3 Dodge (Hawaii)3 Moen (Norwergia)9 Dilip Kumar Pal (India)3

Miyazawa3 RS Dr. Moewardi10 16 18 13,6 15-20 Asia 2x Kaukasia 13,6 2.1.2 Epidemiologi

Vigano dkk mempelajari 100 artikel yang telah dipublikasikan yang memuat epidemiologi endometriosis.4 Mereka mendapatkan temuan bahwa nulipara dan menoragi dengan siklus haid yang pendek (polimenore) merupakan faktor risiko yang konsisten dibandingkan faktor risiko lain. Faktor lain yang kurang konsisten mendukung terjadinya penyakit, yaitu: usia, status sosial, ras, penggunaan pil kontrasepsi, riwayat endometriosis pada keluarga, perokok, alkoholisme, diet kopi dan lemak jenuh yang berlebihan, body

mass index (BMI), dioksin, hormonal, penyakit imunitas seperti artritis reumatoid, SLE,

hipotiroid, hipertiroid, sklerosis multipel, dan limfoma non hodgkin.4 2.1.3 Pandangan Terkini Patogenesis Endometriosis

Teori Sampson (teori yang banyak dianut para peneliti hingga sekarang) menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena penyusukan sel-sel endometrium ke peritoneum. Keadaan ini disebabkan oleh regurgitasi darah haid melalui tuba Faloppii. Regurgitasi darah haid pada hakikatnya terjadi pada semua perempuan, tetapi ternyata tidak semua perempuan menderita endometriosis. Diduga ada cacat imunologis lokal pada peritoneum yang menyebabkan sel endometrium yang mampu-hidup menyusuk dan bertumbuh pada peritoneum.1-7

Hingga kini telah banyak diungkap melalui penelitian tentang mekanisme untuk menjelaskan terjadinya endometriosis. Respons autoimun akan meningkatkan kehadiran sel-T dan sel-B, pengaktifan makrofag, penimbunan imunoglobulin dan komplemen. Selanjutnya tampilan antigen leukosit manusia (human leucocyte anti-gen/HLA) akan meningkat, dan molekul perekat (adesi) bertambah. Enzim proteolitik matriks

(10)

metaloproteinase berperan dalam penyusukan epitel endometrium ke peritoneum. Enzim-enzim terkait radikal bebas (free radical-related enzymes) juga meningkat, antara lain sintetase oksida nitrat (nitric oxide synthase), dismutase superoksida (superoxide

dismutase), dan peroksidase glutation (glutathione peroxidase). Akibatnya, beberapa

sitokin disekresikan dari sel-sel imun dan makrofag, termasuk IL-1 dan IL-2. Sitokin ini akan merangsang pengeluaran siklooksigenase tipe-2 (cyclooxygenase type-2/COX-2) dan prostaglandin.2,4,16

Pada hewan (primata) dan manusia, endometriosis cenderung bersifat genetik. Penyakit ini sering ditemukan pada pasangan kembar monozigotik dan dizigotik serta memperlihatkan usia awitan yang sama pada saudara perempuan bukan kembar. Prevalens endometriosis relatif terjadi 6-7 kali lebih besar pada turunan tingkat pertama dari perempuan penderita endometriosis dibandingkan seluruh populasi. Temuan ini memperlihatkan bahwa endometriosis bersifat genetik dan bahwa pemudah (predisposisi) penyakit ini menurun sebagai terbawa genetik kompleks (complex genetic trait), yaitu fenotip merupakan pencerminan interaksi antara gen alel varian yang dicurigai dan faktor lingkungan. Gen yang diduga merupakan pemudah perkembangan endometriosis melibatkan beberapa gen pengatur langsung proses molekuler yang mengendalikan ketahanan (survival) penglepasan sel endometrium, perlekatan dan invasi ke permukaan peritoneum, proliferasi, neovaskularisasi, dan/atau respons peradangan. Endometrium eutopik perempuan penderita endometriosis memperlihatkan tampilan abnormal dari produk gen yang berpaut (relevan) dengan penyakit ini. Temuan ini menunjukkan bahwa endometrium perempuan penderita penyakit ini memiliki kelainan gen yang abnormal yang bertindak sebagai pemudah terjadinya penyusukan ektopik dan perkembangan penyakit.3,4,15-20,22

Sel endometrium eutopik penderita endometriosis bersifat resisten terhadap apoptosis, suatu proses normal bagi pengaturan fisiologis gen kompleks yang memprogramkan kematian sel yang ikut serta dalam penglepasan jaringan endometrium dan penggantiannya selama fase sekresi dan fase haid dari suatu siklus haid. Endometrium ektopik lebih resisten terhadap apoptosis; dalam hal ini ikut terlibat, BCL-2/Bax, suatu golongan protein dan fas-fas ligand expression system yang mengatur apoptosis. Resistensi apoptosis akan meningkatkan ketahanan hidup sel endometrium yang masuk ke rongga peritoneum dan dapat menjelaskan mengapa endometrium ektopik resisten terhadap

(11)

penyigian dan bersihan imun terperantarai-makrofag (macrophage-mediated immune

surveillance and clearance).33-7

Abnormalitas pola tampilan molekul adesi sel pada endometrium eutopik telah diketahui dan terlibat pada penyusukan sel endometrium ke peritoneum, tetapi kejadiannya belum jelas. Matriks metaloproteinase merupakan enzim yang berperan dalam degradasi matriks ekstraselular dan membantu proses peluruhan endometrium dan perangsangan pertumbuhan baru oleh estrogen. Tampilan matriks metaloproteinase meningkat pada fase dini siklus dan ditekan oleh progesteron selama fase sekresi. Tampilan abnormal matriks metaloproteinase dihubungkan dengan proses perusakan (destruksi) dan penyusupan (invasi) penyakit. Pada perempuan penderita endometriosis tampilan enzim ini pada fase sekresi resisten terhadap penekanan progesteron. Tampilan matriks metaloproteinase yang menetap (persisten) terhadap peluruhan endometrium akan menyebabkan potensi invasif endometrium yang beregurgitasi, dan ini akan memudahkan penyusupan pada permukaan peritoneum dan proliferasi selanjutnya.33-6

Endometriosis dihubungkan dengan perubahan yang diperantarai sel dan imunitas humoral. Diduga bahwa kegagalan respons imunitas pada regurgitasi darah haid merupakan faktor penyebab berkembangnya penyakit. Cairan peritoneum perempuan endometriosis mengandung jumlah sel imun yang meningkat, tetapi diduga kejadian ini bekerja lebih pada perkembangan penyakit ketimbang mencegah penyakit. Kelainan imunitas yang merupakan akibat dari kelainan tersebut belum jelas diketahui, tetapi keberadaannya berperan penting pada patogenesis penyakit.36-56

Makrofag merupakan unsur penting dalam respons imun bawaan dan merupakan bagian dari sistem imun nir-spesifik antigen dan tidak ikut berperan dalam memori imunologik. Makrofag mempertahankan tubuh dengan cara mengenal, memfagositosis dan merusak mikroorganisme, dan juga dipersiapkan sebagai petugas pembersih dalam membantu membersihkan sel-sel mati dan kotoran (debris). Makrofag menghasilkan bermacam-macam sitokin, faktor pertumbuhan, enzim, dan prostaglandin yang membantu memperantarai fungsi sambil merangsang pertumbuhan dan proliferasi tipe sel lainnya. Makrofag merupakan komponen normal dalam cairan peritoneum dan beberapa aktivitasnya akan meningkat pada pasien endometriosis. Bertentangan dengan aktivitas pembersih yang akan menghilangkan sel-sel endometrium ektopik pada perempuan endometriosis, pengaktifan makrofag peritoneal dan monosit yang beredar dapat merangsang pertumbuhan penyakit dengan cara mensekresikan faktor pertumbuhan dan

(12)

sitokin. Kedua zat yang terakhir ini akan merangsang proliferasi endometrium ektopik dan menghambat fungsinya sebagai pembersih.57-60

Sel-sel pembunuh alami atau sel-sel NK (natural killer cells)merupakan komponen penting lainnya dari sistem imun bawaan dan mempunyai dua fungsi. Sel-sel NK memiliki reseptor-reseptor untuk imunoglobulin-G (IgG) dan mampu membunuh sel yang terikat oleh IgG; ini disebut sebagai proses sitotoksisitas selular bergantung-antibodi (

antibody-dependent cellular cytotoxicity). Sel-sel NK mempunyai kemampuan membunuh sel dan

memiliki reseptor untuk melumpuhkan kemampuan tersebut, yang bilamana digunakan akan langsung menghambat aktivitas sitotoksin. Penurunan aktivitas sitotoksin yang terjadi akan lebih menyatakan bahwa perempuan tersebut menderita penyakit yang berat. Salah satu dari mekanisme yang bertanggung jawab memperlihatkan tampilan berlebihan reseptor inhibitorik pembunuh (killer inhbitory receptors) pada sel-sel NK perifer dan peritoneal perempuan penderita endometriosis. Limfosit memperantarai respons imun yang diperlukan sel limfosit-B matang di sumsum tulang dan sekresi imunoglobulin antibodi spesifik-antigen (antigen-sepecific antibodies) yang secara langsung melawan mikroorganisme ekstraselular. Sel-sel limfosit-T membantu sel-sel limfosit-B membentuk antibodi dan melenyapkan mikroorganisme patogen intraselular dengan mengaktifkan makrofag dan membunuh virus penginfeksi atau sel ganas. Ada dua jenis sel limfosit-T, yaitu sel sitotoksik atau supresor (berperan pada respons imun selular) dan sel-sel T-helper

(berperan dalam respons imun humoral). Jumlah kedua jenis sel-T ini meningkat di dalam cairan peritoneum dan stroma endometrium ektopik.61-65

Sitokin dan faktor pertumbuhan adalah keluarga besar dari protein dan glikoprotein yang dapat larut yang disekresi oleh leukosit dan sel lainnya ke lingkungan ekstraselular dan mereka beraksi pada sel sama (autokrin) atau sel tetangganya (parakrin), berperan sebagai messengers di antara dan di luar sistem imun dalam meregulasi kemotaksis, mitosis, angiogenesis, dan diferensiasi. Sementara itu kegagalan respons imun selular mungkin menghasilkan pembersihan yang tidak efektif dari sel endometrium yang mengalami refluks. Sitokin dan faktor pertumbuhan menyebabkan implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik dengan cara memfasilitasi perlekatan pada permukaan peritoneum, proliferasi, dan angiogenesis.62-65

Interleukin-1 dan sitokin terlibat pada respons imun dan inflamasi dan disekresi oleh monosit yang diaktifasi, makrofag, limfosit T dan B, dan natural killer cells. Interleukin-1 dapat diidentifikasi pada cairan peritoneum penderita endometriosis dan

(13)

peningkatan ekspresi reseptor interleukin-1 pada sel stroma endometriosis.61-64 Interleukin-1 dapat meningkatkan pertumbuhan endometriosis dengan merangsang penglepasan faktor angiogenik (vascular endothelial growth factor, interleukin-6, interleukin-8) dan dengan cara membantu sel endometrium memasuki rongga peritoneum untuk mengeluarkan

immunosurveillance dengan menginduksi penglepasan bentuk solubel dari intercellular

adhesion molecule-1 (ICAM-1) dari sel endometriotik yang berperan sebagai tempat

pengenalan sistem imun pada natural killer cell dan sel imun lainnya.63-64

Interleukin-8 adalah sitokin angiogenik yang kuat yang diproduksi sel mesotelial, makrofag, endometrium, dan sel lainnya. Kadar interleukin-8 cairan peritoneum pada perempuan penderita endometriosis ada hubungannya dengan berat penyakit. Interleukin-8 diekspresi peda lesi endometriotik dan diup-regulated oleh interleukin-1. Interleukin-8 menstimulasi adesi sel stroma endometrium ke protein matriks ekstraselular, aktivitas matriks metaloproteinase, dan proliferasi sel stroma endometrium dalam cara ketergantungan dosis yang seluruhnya akan membantu peningkatan implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik.63

Monocyte chemotactic protein-1 dan RANTES (regulated on activation normal

T-cell expressed and secreted) adalah dua sitokin chemoattractant yang diperlukan makrofag

dalam rongga peritoneum. Keduanya disekresi oleh bermacam-macam leukosit, sel mesotelial dan endometrium, dan produksi keduanya meningkat pada endometrium ektopik. Pada perempuan dengan endometriosis, konsentrasi sitokin ini pada cairan peritoneum meningkat dan ada hubungannya dengan beratnya penyakit. Interleukin-1 melakukan up-regulated ekspresi monocyte chemotactic protein-1 pada sel epitel endometrium ektopik pada perempuan penderita endometriosis dan pada biakan sel endometrial ektopik, yang aksi selanjutnya distimulasi oleh estrogen. Produksi RANTES oleh implan endometriotik distimulasi oleh sitokin cairan peritoneum lainnya.61

Tumor necrosis factor-α (TNF-α) adalah sitokin inflamasi yang diproduksi oleh

limfosit yang diaktivasi, makrofag, dan natural killer cells, serta di antara sel lainnya. TNF-α diekspresi oleh sel epitel endometrial eutopik dan diup-regulated oleh interleukin-1. Konsentrasinya pada cairan peritoneum meningkat pada perempuan dengan endometriosis dan ada hubungannya dengan stadium dari penyakit. Pada observasi, TNF-α meningkatkan perlekatan sel stroma pada sel mesotel biakan, menunjukkan bahwa TNF-α mungkin memfasilitasi perlekatan endometrium ektopik ke peritoneum perempuan penderita endometriosis.65-7

(14)

Untuk implantasi dan pertumbuhan, endometrium ektopik harus memantapkan suplai darah. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah mediator penting angiogenesis lokal yang diproduksi monosit dan makrofag. Faktor pertumbuhan ini menstimulasi proliferasi sel endotel vaskular dan juga berperan sebagai chemoattractant

untuk monosit. VEGF terutama diproduksi pada kelenjar endometrium dan diup-regulated

oleh beberapa faktor termasuk estrogen dan interleukin-1 (Gambar 7). Konsentrasi VEGF cairan peritoneum meningkat di-ekspresikan pada lesi endometriotik, lebih-lebih pada lesi aktif berwarna merah daripada yang inaktif yaitu pada implan ”powder-burn”.69-72

Gambar 2. 1 Skema patogenesis endometriosis

Perkembangan dan pertumbuhan endometriosis dipengaruhi estrogen dan sekarang mulai dipahami secara mendasar tempat produksi dan metabolisme estrogen, dihubungkan dengan bagaimana estrogen mendorong terjadinya endometriosis. Aromatase, enzim yang mengubah androgen menjadi estrogen ditampilkan secara abnormal di endometrium

Kerentanan genetik Endometrium Regurgitasi darah haid Perubahan imunologis Aktivasi makrofag

Sitokin dan faktor pertumbuhan

Fibrosis Proliferasi Angiogenesis VEGF Dismenore Vasopresin Aliran darah menurun & hipoksia Oksitosin Endotelin Noradrenalin Faktor lingkungan

(15)

eutopik perempuan penderita endometriosis sedang dan berat; perempuan tanpa penyakit ini tidak mempunyai aktivitas enzim ini. Perempuan penderita endometriosis mungkin mempunyai gen abnormal yang membantu perkembangan produksi lokal estrogen. Endometrioma dan lesi peritoneal memperlihatkan aktivitas aromatase yang sangat tinggi dibandingkan endometrium eutopik, faktor transkripsi yang merangsang aromatase yakni faktor steroidogenik-1 (SF-1), ternyata tampil berlebihan di jaringan endometriosis dan menghambat enzim yang kurang tertampilkan (underexpressed), sehingga menyebabkan aktivitas aromatase menjadi abnormal dan menyebabkan sintesis lokal estrogen. Estrogen juga merangsang produksi cyclooxygenase type-2 (COX-2) yang memproduksi prostaglandin (PG)E2, perangsang (stimulator) kuat bagi pembentukan aromatase pada jaringan endometriosis, dengan demikian terjadi umpan balik positif menyebabkan produksi lokal estrogen berlangsung terus.

Saling pengubahan (interkonversi) estron dan estradiol karena kerja 17-β-hidroksisteroid dehidrogenase (17β-HSD) yang mempunyai dua bentuk; tipe-1 mengubah estron menjadi estradiol (estrogen terkuat) dan tipe-2 (disandi oleh gen yang berbeda) mengkatalisasikan reaksi sebaliknya. Pada endometrium eutopik normal, progesteron memicu aktivitas 17β-HSD tipe-2 pada epitel kelenjar; enzim yang ditampilkan tinggi pada kelenjar endometrium. Pada jaringan endometriosis, 17β-HSD tipe-1 ditampilkan normal, tetapi 17β-HSD tipe-2 tidak ditampilkan di kedua jaringan. Progesteron tidak memicu aktivitas 17β-HSD tipe-2 pada susukan endometriosis karena tampilan reseptor progesteron (PR) juga abnormal. Telah dikenali dua isoform PR yang berbeda, yaitu PR-A dan B. Progesteron beraksi pada gen sasaran yang secara primer diperantarai oleh PR-B; PR-A bekerja sebagai penekan (represor) fungsi PR-B. Pada endometrium normal ditampilkan kedua PR-A dan PR-B, sedangkan pada jaringan endometriosis hanya ditampilkan PR-A, tanpa PR-B. Dengan demikian, jaringan endometriosis memperlihatkan sejumlah abnormalitas molekuler yang terkait dengan produksi dan metabolisme estrogen. Aktivitas abnormal aromatase dirangsang lebih jauh oleh estrogen lokal yang dipicu oleh produksi PGE2, tampilan normal 17β-HSD tipe-1 dan tidak ada aktivitas 17β-HSD tipe-2, karena tampilan PR-B tidak terjadi bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi lokal estrogen yang akan memantapkan pertumbuhan penyakit.2,4,64-70

(16)

Gambar 2.2 Peran PGE2 terhadap produksi E2

Gambar 2.3 Regulasi dari CYP 19 ekspresi gen (aromatase P450) melalui promoter ovarian-type pada stroma endometrium normal dan endometriosis

Adrenal A E1 E2 Jaringan perifer Ovarium P450 aromatase PGE2 COX2 AA Sitokin & faktor pertumbuha n Endometriosis Koaktifator 1 Korepresor 1 Inhibitor 1 Inhibitor 2 Korepresor 2

DNA Gen P450arom

Binding Site 1 Binding Site 2 TATA PGE2 EP2-R cAMP DNA Stimulator 1 Stimulator2 Koaktifator 2 Binding Site 2 TATA PGE2 EP2-R cAMP Gen P450arom transkripsi ENDOMETRIUM NORMAL ENDOMETRIOSIS Binding Site 1

(17)

Saat ini, spesies oksigen reaktif (ROS: reactive oxygen species) diketahui berperan pula pada beberapa kejadian penyakit organ reproduksi, antara lain endometriosis. Stres oksidatif terjadi bila terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan kapasitas

scavenging antioksidan pada sistem reproduksi. Spesies oksigen reaktif (ROS) dan radikal

bebas diimplikasikan pada banyak kelainan pada manusia. Superoxide anion radical (O2-),

hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl radical (OH+) merupakan tipe ROS yang

terbanyak. Ketika keseimbangan antara ROS dan antioksidan menunjukkan ROS yang berlebihan, stres oksidatif terjadi. Walaupun ROS toksik terhadap sel manusia, ROS diproduksi normal oleh tubuh melalui metabolisme oksigen. Sebagai tambahan beberapa jenis sel mempunyai sifat mekanisme untuk memproduksi ROS untuk tujuan tertentu misalnya leukosit dan spermatozoa.70 Pada umumnya sel mengekspresikan gen yang memproduksi protein yang berfungsi penting untuk fungsi dan kelangsungan hidup sel. Oleh karena itu adanya gen yang mengekspresikan antioksidan pada sel sistem reproduksi menunjukkan adanya upaya menyeimbangkan prooksidan/antioksidan yang dihasilkan dalam lingkungan sel dan stres oksidatif memainkan peran dalam memfungsikan sel-sel ini.82-84

Perubahan konsentrasi superoxide dismutase (SOD) dan ROS diduga mengawali penglepasan endometrium pada fase sekretori akhir. Peningkatan konsentrasi lipid peroksidase (LPO) dan penurunan konsentrasi SOD dilaporkan pada endometrium manusia pada fase sekretori akhir.74 Walau bagaimanapun juga konsentrasi LPO pada endometrium kehamilan dini ternyata sama dengan pada fase mid-secretory. Spesies oksigen reaktif mungkin mempunyai kontribusi pada penglepasan endometrium dengan cara meningkatkan produksi PGF2.74 Penelitian terkini dengan mekanisme molekuler dari peluruhan endometrium memperlihatkan bahwa estrogen dan progesteron withdrawal

menyebabkan menurunnya aktivitas SOD dan menyebabkan meningkatnya konsentrasi ROS. Spesies oksigen reaktif mengaktivasi NF-KB yang selanjutnya akan menstimulasi ekspresi COX-2 dan meningkatkan produksi PGF2. PGF2 berperan dalam proses peluruhan endometrium.74

Target ROS adalah makromolekul sel, antara lain lipid, protein, dan asam nukleat, menyebabkan kerusakan peroksidatif. Luasnya kerusakan ini tergantung kerentanan makromolekul terhadap ROS (ikatan karbon ganda paling rentan) dan tergantung tersedianya ROS di lingkungannya. Adanya ion-ion metal seperti zat besi diduga akan

(18)

menambah kerusakan sel yang terjadi. Namun metal binding protein mencegah ion metalik ini untuk terlibat dalam reaksi ikatan peroksidase.79

Pada rongga peritoneum, ROS mungkin dihasilkan oleh sel darah merah, makrofag, sel endometrium, dan kotoran dari darah haid yang mengalami refluks.82

Makrofag peritoneum sampai saat ini diimplikasikan pada patologi endometriosis. Aktivasi makrofag pada pasien dengan endometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas scavenger receptor/SCRs.79 Makrofag yang aktif mungkin responssibel untuk meningkatkan produksi ROS pada pasien endometriosis.79 Sebagai tambahan, konsentrasi substansi yang telah dimodifikasi dan teroksidasi pada cairan peritoneum dan jaringan endometrium ektopik cenderung tinggi, yang akan mendukung teori bawa ROS berperan pada patologi endometriosis.79

Pasien dengan endometriosis dilaporkan mengalami peningkatan antibodi terhadap protein yang telah dimodifiksi dan teroksidasi. Ekspresi enzim antioksidan yang defensif seperi SOD dan glutation peroksidase terjadi pada jaringan endometrium pasien endometriosis.

Protein BCl-2

Apoptosis berperan penting dalam mempertahankan homeostasis dan fungsi normal sel dengan mencegah pertumbuhan berlebihan atau membuang sel-sel yang tidak berfungsi. Protein BCL-2 dan keluarga Fas/FasL telah banyak dipelajari pada jaringan endometrium dan endometriosis manusia. BCl--2 diekspresi oleh sel glandular dan stroma endometrium saat fase proliferasi awal dan mencapai puncaknya pada fase proliferasi akhir, selanjutnya menurun saat fase sekresi akhir dan menstruasi.46 Jaringan miometrium memperlihatkan imunoreaktivitas BCL-2 yang konsisten sepanjang siklus menstruasi.47 Rogers dkk melaporkan bahwa terjadi ekspresi siklik BCL-2 yang tidak dapat berlangsung lama setelah pemberian levonorgestrel. Anti-apoptotik BCL-2 banyak diekspresikan pada lapisan basal, sedangkan reseptor Fas dan caspase-3 banyak diekspresikan pada lapisan endometrium.78 Lain halnya pada lapisan fungsional yang secara siklik tumbuh, berdiferensiasi dan meluruh, apoptosis tampak meningkat. Menurut Otsuki dkk, protein c-jun dan Sp-3 mungkin merupakan protein yang berperan untuk memproduksi BCL-2.77 Bax adalah anggota keluarga BCL-2 yang meningkatkan kerentanan apoptosis sel dengan cara melawan efek BCL-2 melalui interaksi heterodimer.78 Anggota keluarga lain dari protein BCL-2 adalah BCL-x, yang diduga dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap

(19)

apoptosis.47 BCL-x terdiri dari 2 bentuk, yaitu BCL-x berantai pendek dan berantai panjang. Keduanya mempunyai fungsi yang berlawanan, yaitu BCL-x berantai panjang menyebabkan resistensi terhadap apoptotik sel seperti halnya BCL-2, sedangkan BCL-x berantai pendek adalah sebaliknya. Protein BAK (antagonis homolog BCL-2) merupakan anggota keluarga pro-apoptotik lainnya yang berfungsi mempercepat apoptosis.37 Endometrium eutopik penderita endometriosis secara fundamental dilaporkan berbeda dengan endometrium perempuan tanpa endometriosis.34 Perbedaan ini diduga memberi kontribusi terhadap pembentukan jaringan endometriosis, karena regurgitasi sel-sel yang viabel ke dalam rongga peritoneum. Pada gen BCL-2 penderita endometriosis terjadi polimorfisme yang mengakibatkan perubahan asam amino alanin pada posisi 43 menjadi treonin (Ala 43 Thr).

Protein Matriks Metaloproteinase

Matriks metaloproteinase adalah suatu enzim proteolitik seng yang highly

homologous yang responssibel untuk degradasi komponen matriks ekstraselular seperti

kolagen, proteoglikan, fibronektin, dan laminin.76 Matriks metaloproteinase (MMPs) dan inhibitor jaringan dari metaloproteinase (TIMPs) berperan penting dalam degradasi matriks ekstraselular dan komponen membran dasar.77 Aktivitas proteolitik MMPs diduga berperan pada salah satu teori patogenesis endometriosis, yaitu memudahkan sel viabel tertanam dan menginvasi peritoneum.77

Bermacam-macam jenis MMPs dan molekul adesi sel tampaknya berperan penting pada pengaturan proses invasi sel pada endometriosis. Penelitian tentang ekspresi gen lesi endometriosis peritoneum jumlahnya masih terbatas. Salah satu penelitian mengumpulkan 63 jaringan endometriosis dari 35 penderita, yang terdiri dari 43 lesi berpigmen, sebanyak 20 lesi tidak berpigmen. Ekspresi gen E-kaderin, katenin α dan β, MMP-2, MMP-9, dan matriks metaloproteinase membraneus jenis-1 atau (MTI)-MMP pada jaringan endometriosis dibandingkan dengan endometrium eutopik 12 perempuan normal. Ekspresi mRNA MMP-2, MMP-9, dan (MTI)-MMP pada lesi yang berpigmen secara bermakna lebih tinggi daripada kelompok kontrol (p<0,05), sedangkan mRNA E-kaderin, katenin α dan β pada jaringan endometriosis tidak disupresi. Ternyata ada hubungan yang erat antara ekspresi gen MMP-2 atau (MTI)-MMP dan E-kaderin, katenin α dan β pada 63 jaringan endometriosis yang diperiksa (p<0,01). Meningkatnya ekspresi MTI-MMP ternyata berhubungan erat dengan aktivitas pro-MMP-2 pada beberapa jenis kanker.78-81

(20)

Keseimbangan antara inhibitor dan MMPs adalah penting karena invasi tergantung rasio MMP dan TIMP dalam memelihara homeostasis dan integritas dari matriks ekstraselular.82

Endometrium ektopik mempunyai kapasitas besar untuk memproduksi MMP-2 dan MMP-1 yang berkorelasi dengan aktivitas jaringan endometrium.83 Konsentrasi dari TIMP-1 secara signifikan berada pada konsentrasi yang rendah di dalam cairan peritoneum dan serum penderita endometriosis.84 Endometrium yang ektopik dan eutopik penderita endometriosis mempunyai ekspresi yang lebih besar MMP-9, aktivator urokinase plasminogen, dan mempunyai ekspresi TIMP-3 dan plasminogen activator inhibitor-1

mRNA yang lebih kecil daripada endometrium pasien normal.77,85-86 Pada gen MMP-9 terdapat polimorfisme pada daerah promoter yang berperan pada proses transkripsi.

Polimorfisme genetik

Polimorfisme genetik adalah gen pembawa kode genetik untuk suatu protein yang mengalami perubahan pada daerah yang berperan pada proses tampilan proteinnya.

Polimorfisme genetik merupakan kejadian pada populasi dua atau lebih alel pada lokus yang frekuensinya lebih dari yang ditetapkan oleh mutasi. Polimorfisme merupakan perbedaan genetik yang mengakibatkan variasi pada suatu spesies. Secara praktis sulit untuk mengetahui berapa frekuensi dari alel yang dapat disebabkan oleh mutasi, jadi definisi operasional dari polimorfisme yang sering digunakan adalah: polimorfisme dikatakan akan terjadi jika alel paling banyak pada suatu lokus memiliki frekuensi kurang dari 99%. Polimorfisme bisa terjadi pada setiap tempat, khususnya pada regio non-coding

DNA.

Semua polimorfisme akhirnya memperlihatkan perubahan dari sekuen DNA yang dapat ditunjukkan melalui teknologi DNA. Perubahan sifat protein, enzim, antigen dan fisis yang abnormal, semuanya dapat menunjukkan adanya polimorfisme. Pada gen BCL-2 terdapat polimorfisme yang menyebabkan perubahan asam amino alanin pada posisi 43 menjadi treonin (Ala 43 Thr), sedangkan pada gen MMP9 terdapat polimorfisme pada daerah promoter yang berperan pada proses transkripsi.

Kepentingan klinis polimorfisme

Kebanyakan polimorfisme tidak memperlihatkan fenotipe klinis. Tanpa menghiraukan apakah efek klinis terjadi, polimorfisme berguna sebagai petanda genetik. Selain itu polimorfisme berguna untuk menentukan kelainan genetik, blood typing, dan

(21)

2.1.4 Diagnosis Endometriosis

Untuk menegakkan diagnosis endometriosis, pada anamnesis ditemukan riwayat nulipara dan siklus menstruasi yang pendek dengan lama haid lebih dari delapan hari. Nyeri timbul beberapa hari sebelum haid dan berkurang sampai 1-2 hari menstruasi. Mungkin ditemukan keluhan deep dyspareunia yang memberat pada fase premenstrual. Tidak jarang pula dilaporkan keluhan pergerakan usus yang terasa nyeri, diare, atau

hematoschezia yang berhubungan dengan menstruasi pada endometriosis kolon. Disuria,

nyeri panggul atau hematuria pada endometriosis ureter dan vesika urinaria. Adakalanya pasien mengeluh nyeri siklik yang berhubungan dengan ekspansi massa pada jaringan parut pada bekas operasi pelvik. Kadang-kadang ditemukan hemoptisis pada endometriosis paru, kejang katamenial pada endometriosis otak, dan perdarahan umbilikal pada endometriosis umbilikus. Obstruksi parsial atau komplit acapkali terjadi pada perlekatan atau pada lesi endometriosis sirkumferensial. Ketika produk yang berasal dari penglepasan siklik terperangkap pada pembentukan kista, terbentuklah apa yang disebut endometrioma, yang bisa terjadi di mana-mana tetapi yang paling sering terjadi pada kedua ovarium. Massa endometrioma terasa nyeri dan bila mengalami ruptur memerlukan pembedahan akut. Pada perempuan yang mempunyai genetik/familial mempunyai risiko 10 kali lipat menderita endometriosis dibandingkan perempuan tanpa riwayat familiar. Pada penelitian besar kasus, rata-rata onset nyeri siklik maupun nonsiklik terjadi 2,9 tahun setelah menars. Kebanyakan penderita kemungkinan menggambarkan rasa nyeri seperti terbakar, terjepit, nyeri tumpul, atau perasaan berat, sedangkan pada kasus dengan perlekatan lebih sering melaporkan rasa nyeri seperti ditusuk benda tajam, seperti ditarik, terasa mual, atau ditekan hebat. Sekitar 10% pasien tidak mengeluh dismenore; tetapi mengeluh nyeri pada pergerakan usus, perdarahan abnormal, kembung, pre-menstrual syndrome (PMS), kelelahan, sakit kepala, dan infeksi jamur kronik. Lebih kurang 25% pasien dengan perlekatan dilaporkan mengeluh sakit siklik. Kebanyakan pasien dengan perlekatan mengeluh nyeri tanpa ada hubungannya dengan pergerakan usus, nyeri bertambah pada saat berputar dan meregang, sebaliknya nyeri berkurang ketika tubuh berbaring datar dan menekuk. Kedua grup merasakan nyeri yang bertambah saat lari, aerobik, dan bersepeda.5-7

Banyak pasien dewasa mangeluh dismenore berat dan nyeri pelvik kronik. Setiap menghadapi gejala yang persisten, klinisi sebaiknya mempertimbangkan untuk mencari endometriosis. Gejala tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit, disfungsi yang

(22)

signifikan dapat timbul dengan lesi minimal, sebaliknya endometriosis berat kadang-kadang asimtomatik. Gejala biasanya berhubungan erat dengan lokasi lesi dan organ yang terkena. Respons minimal terhadap pemberian antiprostaglandin dan pil kontrasepsi.

Pada pemeriksaan fisis jarang ditemukan kelainan pada lokasi kelainan. Kecurigaan akan adanya lesi timbul pada penemuan massa nodular dan nyeri pada ligamen uterosakaral, rasa nyeri daerah adneksa, dan atau rasa sakit pada adneksa. Diagnosis banding antara lain apendisitis, dismenore, perlekatan daerah pelvik, serositis, kista fungsional atau neoplastik, kista ovarium, PID, dan kelainan uterus.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang berguna untuk menegakkan diagnosis endometriosis. Cancer antigen 125 (CA-125) mungkin dapat meningkat pada kasus yang berat, tapi jarang meningkat pada kasus ringan dan sedang. USG, CT scan, dan MRI berguna pada kasus berat, misalnya pada pembentukan kista atau distorsi anatomi yang berat. IVP dan pemeriksaan kolon diindikasikan bila terjadi kelainan yang meliputi organ ekstragenital.

Visualisasi langsung jaringan endometrium merupakan metode diagnosis definitif. Pada saat ini prosedur pilihan adalah laparoskopi yaitu pembedahan invasif yang minimal. Laparotomi juga dapat disebut metoda diagnosis, yang biasanya dilakukan pada penderita dengan nyeri pelvik.

Pada sepuluh tahun terakhir ini wawasan baru mengenai lesi endometriosis telah disimpulkan sebagai hasil gabungan penampilan lesi melalui pemeriksaan laparoskopi, biopsi mikro, dan hasil pencitraan mikroskop elektron.10-15 Umumnya lesi endometriosis dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu lesi yang tidak terlihat/halus (subtle lesions),

gun shot lesions, dan lesi dengan infiltrasi dalam (deep infiltrating lesions).Lesi yang tidak

terlihat merupakan vesikel kecil yang berpigmen atau tidak mengandung pigmen. Secara histologi atau pemeriksaan mikroskop elektron, lesi berbentuk polypoid atau cystically

dilated endometriotic glands, mempunyai area permukaan yang kecil (<0,05 cm2) dengan

kedalaman infiltrasi ke peritoneum <2 mm. Lesi biasanya mengandung pigmen, walaupun terdapat pula yang tidak mengandung pigmen yang pada saat laparoskopi sering tidak terlihat. Bentuk ini diduga merupakan fokus awal penyakit yang berasal dari implantasi sel endometrium segar yang viabel. Gun-shot implants mempunyai area permukaan yang luas 1-5 cm2 dengan kedalaman penetrasi <4 mm. Lesi berpigmen dan biasanya mengandung jaringan fibrotik, mudah dikenal pada permukaan peritoneum dan disebut powder burn

(23)

Diagnosis endometriosis secara tradisional ditegakkan bila ditemukan powdwer

burn lesion. Jansen telah memperlihatkan bahwa beberapa lesi dinyatakan sebagai

endometriosis secara pemeriksaan histologi, disebut pula non-classical endometriosis atau endometriosis atipikal. Sampson menggunakan istilah red purple and blueberries, dan

bleb-like pada pasien adolesens. Sedangkan menurut Martin diagnosis endometriosis

meningkat setelah diketahui banyak variasi bentuk dari penyakit ini. Pada tahun 1986 dipakai lima tipe endometriosis atipikal, yang kemudian pada tahun 1987 dipakai 20 deskripsi yang berbeda untuk mengidentifikasi endometriosis atipikal. Secara kuantitatif didokumentasi Goldstein sekitar 20% endometriosis ptechial dan bleb-like pada pasien adolesens. Sedangkan menurut Martin diagnosis endometriosis meningkat setelah diketahui banyak variasi bentuk dari penyakit ini.10

Pada pemeriksaan histologi ditemukan jaringan kelenjar dan stroma endometrium pada biopsi spesimen yang ditemukan di luar uterus. Kadang-kadang penemuan fibrosis dengan makrofag yang bermuatan hemosiderin dapat dianggap menunjang diagnosis.11-14

The American Society for Reproductive Medicine membuat skema penderajatan berdasarkan jumlah, lokasi lesi, dan perlekatan yang terlihat saat pembedahan. Derajat 1-4, yaitu minimal, mild, moderate, dan severe, berguna untuk menentukan prognosis fungsi reproduksi, pemantauan respons terapi, dan menetukan follow-up selanjutnya.

(24)

Gambar 2.4 Klasifikasi endometriosis The American Fertility Society yang telah direvisi (Sumber: Fertil Steril 1997;67:820)

2.2 Kerangka Pemikiran

Patogenesis endometriosis hingga kini masih diperdebatkan, walaupun telah banyak dilakukan penelitian mengungkap faktor genetik, pengaruh lingkungan, imunologi, angiogenik, dan proses endokrin melalui penelaahan proteinomik dan genomik.20-27 Sementara itu, untuk mendiagnosis penyakit masih mendapat kesulitan karena manifestasi klinis penyakit yang beragam dan cara baku emas untuk mendiagnosis penyakit yaitu pembedahan ringan laparoskopi-biopsi belum dapat diterima oleh sebagian besar penderita, karena tindakan ini bersifat invasif dan berisiko. Cara untuk mendiagnosis yang nir-invasif banyak dikembangkan, antara lain USG, CT-scan, dan MRI,. akan tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya kurang memuaskan dan hanya bermanfaat pada kasus yang memang sudah lanjut. Akibatnya banyak kasus endometriosis yang luput diketahui, sehingga penyakit berkembang terus dan berakhir dengan komplikasi yang lebih berat.

(25)

Para peneliti telah membuktikan bahwa tampilan abnormal protein tertentu pada penderita endometriosis ternyata dapat ditasah pada jaringan eutopik atau ektopik, cairan peritoneum, maupun darah haid. Hingga saat ini belum ada satupun dari protein tersebut dijadikan petanda untuk mendiagnosis penyakit ini, padahal hasil penelitian dari negara dan etnik berbeda mempunyai kemiripan tampilan protein tersebut.

Bertolak dari fakta tersebut, muncul pertanyaan, apakah tampilan protein tersebut dapat dijadikan petanda untuk mendiagnosis endometriosis? Dengan menasah protein tersebut dan menentukan titik potongnya (cut off point) mungkin dapat digunakan sebagai petanda penyakit dan penduga berat ringannya penyakit. Bilamana protein yang ditampilkan abnormal dan polimorfisme gen yang berhubungan dengan protein aberan tersebut dapat ditasah dengan baik pada darah haid penderita endometriosis, maka tampilan abnormal protein dan polimorfisme gen yang membawa kode genetik protein aberan tersebut dapat digunakan sebagai petanda penyakit sehingga ditemukan cara diagnosis nir-invasif, kurang berisiko dibandingkan cara yang invasif lainnya misalnya kuretase endometrium. Penasahan penyakit dengan cara ini relatif terjangkau, dapat dilakukan pada perempuan atau remaja yang belum menikah yang diduga atau mempunyai kecenderungan menderita endometriosis dan dapat digunakan sebagai salah satu cara diagnosis dini endometriosis atau setidaknya dapat mencegah keadaan penyakit yang tidak diinginkan atau yang lebih berat, misalnya nyeri pelvik kronis, distorsi organ, dan infertilitas.

Pada penelitian ini penulis memilih protein BCL-2 yaitu protein yang berperan pada apotosis sel, sehingga sel endometrium tetap mampu hidup lebih lama dan matriks metaloproteinase-9 (MMP-9) yang berperan pada penyusukan sel ke jaringan peritoneum. Kedua protein tersebut berperan penting pada awal pembentukan lesi.

Mengingat sifat penyakit yang terwariskan secara poligenik (

pollygenicaly-inherited deseases) dengan etiologi berganda dan kompleks, penulis tertarik untuk mencari

adakah hubungan pola manifestasi klinis yang didapat pada perempuan Indonesia yaitu karakteristik penderita, derajat penyakit, dan hasil histopatologi dengan tampilan protein-protein BCL-2 dan MMP-9, yang akan dicari titik potongnya (cut-off pointnya) dan polimorfisme gennya. Bila terbukti ada hubungannya, dapat dibuat skoring guna dijadikan alat diagnosis, setidaknya berlaku untuk perempuan di Indonesia. Temuan ini akan meningkatkan pemahaman patogenesis penyakit dan mungkin pengembangan cara terapi yang masuk akal .

(26)

Masalah pada endometriosis

Masalah pada endometriosis

Kesehatan, Kesehatan, ekonomi ekonomi Manifestasi Manifestasi klinis

klinis DiagnosisDiagnosis Etio Etio-

-patogenesis

patogenesis TerapiTerapi PrognosisPrognosis

Beragam Laparoskopi Beragam

Tak pasti, mahal, invasif

Belum jelas Tak rasional, invasif, berisiko,

mahal

Indikator nir invasif, punya kepastian

tak mahal, risiko kecil

Darah haid ?

Darah haid ?

Endometrium ektopik & eutopik penderita?

BCL

BCL--22& MMP& MMP--9 9

endometrium

endometrium

eutopik & eutopik

eutopik & eutopik

Biopsi endometrium

?

?

?

?

?

?

Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian dan kerangka pemikiran terdahulu maka disusun beberapa premis sebagai berikut:

Premis 1

Insidens endometriosis sebenarnya tidak diketahui secara pasti, karena prosedur diagnosis baku emas yaitu konfirmasi pembedahan yang diikuti pembuktian secara histopatologi sering tidak dilakukan, sehingga dapat mengakibatkan luputnya penasahan penyakit.1-9

Premis 2

Didapatkan tampilan berlebihan protein BCL-2 dan MMP-9 pada endometrium ektopik maupun eutopik perempuan penderita endometriosis.33-36,37-44

Premis 3

Hingga saat ini belum ada satupun dari protein-protein tersebut dijadikan petanda untuk mendiagnosis penyakit ini.3,4,15,16

(27)

Premis 4

Tampilan berlebihan protein aberan perempuan penderita endometriosis dapat ditasah baik dalam endometrium ektopik dan eutopik, cairan pritoneum, dan darah haid.36,44 Premis 5

Bila ada polimorfisme pada gen pembawa kode genetik untuk suatu protein, terutama bila terdapat perubahan pada daerah yang berperan pada proses tampilan, akan menyebabkan perubahan pada tampilan protein tersebut.25,50-52

Premis 6

Pola manifestasi klinis endometriosis tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen.25,50-2

Premis 7

Belum ada cara diagnosis endometriosis yang nir-invasif, tidak berisiko tetapi cukup akurat.4,11,12

2.3 Hipotesis

Hipotesis 1: tampilan protein BCL-2 dan MMP-9 pada darah haid penderita endometriosis berhubungan dengan polimorfisme gen tersebut. (Premis 2, 3, 4, 5)

Hipotesis 2: ada hubungan antara tampilan berlebihan BCL-2, MMP-9, dan manifestasi klinis penyakit endometriosis. (Premis 6)

Hipotesis 3: tampilan berlebihan dari BCL-2, MMP-9 dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. (Premis 1, 2, 3)

Hipotesis 4: Polimorfisme gen BCL-2 dan MMP-9 dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. (Premis 1, 2, 6)

(28)

BAB III

BAHAN/SUBJEK/OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan/Subjek/Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien perempuan yang datang ke Poli Ginekologi dan Poli Endokrinologi Reproduksi-Fertilitas FKUP-RSHS dan rumah sakit jejaring yang diduga menderita endometriosis.

Besar sampel ditentukan berdasarkan taraf kepercayaan 95%, dengan menetapkan besarnya sensitivitas hasil pemeriksaan BCL-2 atau MMP-9 dengan mendiagnosis endometriosis sebesar 80% serta memilih persentasi 10% dari rumus besar sampel, yaitu: Besar sampel ditentukan berdasarkan taraf kepercayaan 95%, dengan menetapkan besarnya sensitivitas hasil pemeriksaan BCL-2 atau MMP-9 dalam memprediksi kejadian endometriosis sebesar 80% serta memilih presisi 15% dari rumus besar sampel yaitu:

p(1-p) [Zα/2]2 n = ___________ d2

Dengan: n = besar sampel p = proporsi 0,8

Zα/2 = nilai Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal Standar rentang taraf kepercayaan 95%, Zα/2 = 1,96 d = 0,1

0,8(0,2) [1,96]2 n = _____________ (0,1)2

Dari literatur besarnya angka kejadian endometriosis pada staging ringan adalah 30%, maka besar sampel yang diperlukan adalah 100/30 x 28 = 84.

3.2 Metodologi

3.2.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian uji diagnostik dengan rancangan cross sectional

atau studi silang terhadap pasien yang datang pada poliklinis Ginekologi dan poliklinis Fertilitas-Endokrinologi-Reproduksi RS Hasan Sadikin, Bandung. Terhadap pasien akan dilakukan laparoskopi diagnostik dan pengambilan darah haid untuk pemeriksaan BCL-2 dan MMP-9. Hasil laboratorium darah haid akan dibandingkan dengan hasil histopatologi jaringan endometriosis yang diambil melalui laparoskopi biopsi (diagnosis baku emas).

(29)

3.2.2 Variabel dan Batasan Operasional 3.2.2.1 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kasus dengan diagnosis endometriosis (secara histopatologi positif endometriosis).

3.2.2.2 Variabel Bebas

Variabel bebas adalah BCl-2, MMP-9, dan polimorfisme gen. Sedangkan variabel lain yang akan dijadikan sebagai variabel confounding adalah manifestasi klinis

3.2.2.2. Variabel confounding

Variabel confounding adalah manifestasi klinis, yaitu: usia, nyeri pelvik, infertilitas, pola haid, penyakit autoimun, riwayat endometriosis di keluarga, pemerikasan fisis, dan stadium penyakit.

3.2.2.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi

1. Perempuan dengan dugaan endometriosis, endometrioma atau pernah didiagnosis endometriosis berdasarkan hasil histopatologi tetapi belum menjalani operasi.

2. Perempuan dengan nyeri pelvik, baik nyeri pelvik saat haid, saat koitus, dan nyeri di luar haid.

3. Perempuan dengan infertilitas

4. Memiliki alamat yang jelas di kotamadya dan kabupaten Bandung dan mudah dihubungi.

Kriteria Eksklusi 1. Perempuan hamil.

2. Sedang mendapat terapi/pemakaian hormon sekurang-kurangnya tiga bulan, kecuali GnRH; setelah sembilan bulan dari pemberian terakhir

3. Menderita penyakit ginekologik lainnya, misalnya infeksi, keganasan, dan penyakit berat lainnya.

4. Menderita penyakit lain yang menyulitkan penelitian. 5. Adenomiosis

(30)

3.2.2.4 Izin Kelayakan

Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik. Terhadap pasien dilakukan pemeriksaan diagnosis baku emas, yaitu pemeriksaan laparoskopi diagnostik diikuti biopsi jaringan untuk memastikan kelainan endometriosis dengan pemeriksaan histopatologi. Pengambilan darah haid dilakukan dengan cara yang tidak invasif melalui orifisium vulva dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan spesimen di laboratorium biokimia dan histopatologi. Izin kelayakan akan didapat setelah dipresentasikan dan disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUP-RSHS. Penelitian dilakukan yaitu di FK UNPAD/RSHS Bandung. Pasien (dan/atau walinya) akan diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian, prosedur penelitian, faktor etik yang mungkin timbul, kerahasiaan, dan keuntungan yang akan diperoleh subjek. Pasien dan/atau walinya tersebut akan diberi penjelasan dan menandatangani informed consent sebagai tanda kesediaan diambil spesimennya.

3.2.2.5 Batasan Operasionil

Endometriosis adalah penyakit ginekologik yang progresif, dengan ciri ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium pada peritoneum pelvis dan jaringan ekstrauterin

Manifestasi klinis endometriosis adalah data yang diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dan hasil diagnosis baku emas (laparoskopi dan hasil pemeriksaan histopatologi).

Karakteristik penyakit endometriosis adalah hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis endometriosis.

Stadium penyakit endometriosis adalah kelainan yang ditemukan secara visual pada saat diagnosis laparoskopi dan dibaca menurut klasifikasi stadium Examples and Guidelines for

The R-ASRM 1996 Endometriosis Classification System.

Diagnosis laparoskopi (diagnosis baku emas) adalah suatu cara pembedahan ringan dengan menggunakan alat laparoskopi guna melihat kelainan yang menunjang diagnosis endometriosis yaitu lesi endometriosis dengan berbagai tampilan jaringan endometriosis (lihat kajian pustaka), endometrioma, nodul, daerah perlekatan, dan jaringan peritoneum yang tertarik (retraksi).

BCL-2 adalah protein yang berperan sebagai induser apoptosis.

Matriks metaloproteinase-9 adalah protein yang berperan pada degradasi matriks ekstraselular, berdaya invasi terhadap jaringan.

(31)

Polimorfisme gen adalah gen pembawa kode genetik untuk suatu protein yang mengalami perubahan pada daerah yang berperan pada proses tampilan proteinnya, sehingga akan menyebabkan perubahan pada tampilan protein tersebut.

Hari haid adalah lama keluarnya darah haid pada seorang perempuan rata-rata 4-5 hari. yang keluar melalui vagina pada akhir siklus haid (rata-rata 28-30 hari) perempuan dengan jumlah rata-rata 25-35 ml.

Spesimen darah haid adalah darah haid yang ditampung sepanjang hari-hari haid yang terdiri dari komponen darah dan jaringan endometrium (stroma dan kelenjar)

Cara penampungan darah haid pasien diletakkan dalam posisi fowler-litotomi.

− Tabung EDTA ditempelkan pada perineum di bawah introitus vagina, ditampung sebanyak 1 ml. Tabung EDTA dikocok sesaat darah haid masuk ke dalam tabung. untuk pemeriksaan analisis gen.

− Tabung reaksi berisi formalin 4% dengan cara yang sama menampung darah haid sebanyak 4 ml, untuk pemeriksaan imunohistokimia.

Spesimen biopsi lesi endometriosis adalah jaringan hasil biopsi lesi endometriosis.Imunohistokimia adalah pemeriksaan untuk menasah tampilan gen pada sel endometrium yang didapat dari darah haid.

Analisis gen adalah pemeriksaan untuk mencari protein tertentu yang disebut gen sebagai pembawa kode genetik dengan menggunakan primer gen tersebut.

Gen adalah satuan pembawa informasi genetik yang merupakan urutan nukleotida spesifik dalam DNA.

Primer adalah rangkaian nukleotida yang pendek (sekitar 20 nukleotida) sebagai pemula reaksi PCR.

3.2.3 Analisis Statistik

1. Untuk mengetahui perbedaan BCl-2, MMP-9 antara endometriosis (+) dan endometriosis (-), digunakan uji Mann-Whitney.

2. Untuk menentukan cut off point BCL-2 dan MMP-9 dalam memprediksi kejadian endometriosis digunakan kurva ROC (receiver operating characteristic) dengan membuat tabel 2x2, kemudian dihitung besarnya sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi, serta PPV dan NPV.

3. Untuk mengetahui hubungan berbagai karakteristik dan faktor risiko lain terhadap kejadian endometriosis (PA +) digunakan analisis regresi logistik ganda.

(32)

Kemaknaan dihitung berdasarkan nilai p< 0,05.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Persiapan

Setelah persiapan protokol, formulir penelitian, persiapan bahan obat, kit pemeriksaan laboratorium, dan perizinan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan dan Kepala bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FKUP/RSHS, peneliti melakukan persiapan sebagai berikut:

- Memberi informasi cara pengisian formulir penelitian, pemeriksaan laboratorium, dan kriteria pemilihan pasien kepada berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan penelitian.

- Seleksi pasien dilakukan oleh peneliti, melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, jika perlu pemeriksaan USG. Juga untuk pasien yang pernah didiagnosis endometriosis berdasarkan pemeriksaan laparoskopi diagnostik atau telah dilakukan operasi dan ada hasil PA.

- Pengambilan darah haid dilakukan oleh peneliti pada hari-hari pengeluaran darah haid yang banyak. Pemeriksaan laparoskopi diagnostik dilakukan oleh peneliti dan operator lainnya, ditentukan penilaian stadium penyakit dan pengambilan spesimen lesi endometriosis untuk pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan laboratorium histopatologi dan pemeriksaan analisis protein dilakukan di laboratorium masing-masing.

- Analisis statistik dilakukan oleh ahli statistik. 3.3.2 Pelaksanaan

- Untuk mengantisipasi drop out, jumlah subjek penelitianditambah 10% sehingga akan dipilih 100 kasus dugaan endometriosis atau endometrioma dan pasien yang telah didiagnosis endometriosis yang ditentukan secara anamnesis, pemeriksaan fisis, hasil PA, dan USG.

- Bagi penderita yang telah didiagnosis sebelumnya sebagai endometriosis, dengan laparoskopi diagnostik atau operasi lainnya dan dibuktikan dengan pemeriksaan PA tapi belum menjalani terapi, dapat dimasukkan sebagai objek penelitian dengan syarat sebagai tercantum dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

Gambar

Tabel 2.1  Insidens endometriosis berbagai sumber Sumber                Insidens populasi             (%) Peneliti Inssidens% Amerika India Jepang Jerman Inggris WHO 10-20 5 &gt;1051-15310-1551-1538-105 Houston  3 Dodge (Hawaii) 3 Moen (Norwergia) 9 Dilip
Gambar 2. 1  Skema patogenesis endometriosis
Gambar 2.3 Regulasi dari CYP 19 ekspresi gen (aromatase P450) melalui promoter  ovarian-type pada stroma endometrium normal dan endometriosis
Gambar 2.4  Klasifikasi endometriosis The American Fertility Society yang telah  direvisi  (Sumber: Fertil Steril 1997;67:820)
+7

Referensi

Dokumen terkait

*$lusi dari permasalahan yang terakhir yaitu dengan )ara mengadakan kegiatan umat bersih. &#34;al ini bertujuan agar mush$la disini kembali terawat dan dapat dimanfaatkan

Penelitian ini secara praktis dapat dijadikan sebagai sarana bagi Penulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus

[4.1.1] Bahwa Teradu I, II, III, IV, dan V diduga melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu atas tindakannya tidak menanggapi surat para Pengadu pada tanggal 5 Februari

330 13032915710505 MAFRIKHA Guru Bahasa Inggris SMP NURUSSYIBYAN PAGUYANGAN MENGULANG SUTN, SUTL, Kab. ROMLI Seni Budaya SMP MUHAMMADIYAH 1 SIRAMPOG MENGULANG SUTN,

Perguruan Tinggi adalah Perguruan Tinggi Negeri atau lembaga pendidikan lainnya milik Pemerintah/Pemerintah Daerah ataupun Luar Negeri yang menjalin kerja sama dengan Pemerintah

Respon masyarakat.. Hasil pengamatan yaitu 1) keadaan kandang lembab dan becek, 2) kondisi ayam banyak ayam yang sudah selayaknya diafkir (tua) dan ayam yang masih dara yang masih

Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika budaya organisasi baik, komitmen organisasional tinggi dan kepuasan kerja dapat diwujudkan, maka akan berpengaruh positif

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik yaitu sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa