• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Serviks

2.1.1. Definisi

Kanker serviks adalah kanker primer serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Kanker pada kehamilan merupakan hal yang jarang akan tetapi kanker serviks merupakan keganasan yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Insidensi kanker serviks adalah 1,2 kasus per 10.000 kehamilan pada saat kehamilan saja dan 4,5 kasus per 10.000 kehamilan hingga 12 bulan pasca persalinan (Andrijono, 2007).

2.1.2. Etiologi

Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik, diantaranya yang penting adalah jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi yang tinggi pada mereka yang kawin da ri pada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama dialami pada usia sangat muda (dibawah 16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak persalinan terlampau dekat, mereka dari golongan sosial ekonomi rendah, hig iene seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti - ganti pasangan, jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya di sirkumsisi sering ditemukan pada perempuan yang mengalami infeksi virus Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 atau 18.

Walaupun kanker serviks umumnya diderita oleh perempuan dalam umur lanjut, kadang-kadang dijumpai pula pada perempuan yang lebih muda. Biasanya penderita tidak menjadi hamil, jika ditemukan, umumnya pada multigravida yang pernah melahirkan 4 atau lebih.

Kanker serviks memberi pengaruh tidak baik dalam kehamilan, Karena serviks kaku oleh jaringan kanker, persalinan kala satu mengalami hambatan. Ada kalanya tumor lunak dan hanya terbatas pada sebagian serviks, sehingga pembukaan

(2)

bisa menjadi lengkap dan anak lahir spo ntan. Selain itu, dapat pula terjadi ketuban pecah dini dan inersia uteri. Dalam masa nifas sering terjadi infeksi.

Selain kemandulan, sering pula terjadi abortus akibat infeksi, perdarahan, dan hambatan dalam pertumbuhan janin karena neoplasma tersebut. A pabila penyakit ini tidak diobati, pada kira -kira dua pertiga diantar para penderita, kehamilannya dapat mencapai cukup bulan. Kematian janin dapat pula terjadi.

Dahulu disangka bahwa kehamilan menyebabkan tumor bertumbuh lebih cepat dan penyebabkan progn osis menjadi lebih buruk. Akan tetapi, ternyata bahwa kehamilan sendiri tidak mempengaruhi kanker serviks (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2008).

Seorang yang merokok, maka akan lebih beresiko untuk mengalami kanker serviks sel skuamosa. Para peneliti tela h menemukan bahan kimia penyebab kanker (benzopyrene) dari asap rokok di lendir leher rahim wanita yang merokok. Mereka beranggapan bahwa bahan kimia ini merusak serviks. Ada sel -sel di lapisan leher rahim yang disebut sel -sel Langerhans yang secara khusus membantu melawan penyakit. Sel-sel ini tidak bekerja dengan baik pada perokok. Jika anda terinfeksi dengan HPV beresiko tinggi dan anda merokok, kemungkinan anda untuk memiliki sel-pra kanker atau kanker di leher rahim adalah sebanyak dua kali lipat. Sel -sel Langerhans yang kurang berfungsi, dan sering tidak mampu melawan virus dan melindungi sel-sel leher rahim dari perubahan genetik yang dapat menyebabkan kanker (Cancer Research UK, 2009).

2.1.3. Epidemiologi

Saat ini di seluruh dunia diperkirakan le bih dari 1 juta perempuan menderita kanker leher rahim dan 3 -7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi (High Grade dysplasia) (Sankaranarayanan, 2001). Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 2 60.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya ada 38 kasus baru kanker serviks dan 21

(3)

orang perempuan yang meninggal karena kanker serviks di Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan kasus baru kanker serviks di Indonesia akan meningkat sebesar 74%, sementara secara keseluruhan prevalensinya akan meningkat sebesar 49%. Pada tahun 2008, terdapat 530 202 kasus baru kanker serviks di seluruh dunia. Dengan jumlah itu berarti diperkirakan akan didapatkan sekitar 1 kasus baru kanker serviks setiap menitnya di dunia. Secara keseluruhan diperkirakan insidensi kanker serviks di seluruh dunia adalah sebesar 16,2 per 100 000 penduduk (WHO, 2010). Angka insidens tertinggi ditemuk an di negara-negara Amerika bagian Tengah dan Selatan, Afrika Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara dan Melanesia. Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tig a dasa warsa terakhir (Aziz, 2001). Data yang diperoleh di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2001 -2009 bahwa kasus kanker seviks tiap tahunnya meningkat (Rahmi, 2004).

2.1.4. Diagnosis

Diagnosis defenitif ditegakkan berdasarkan :

Biopsi punch dari lesi serviks yang luas. Namun, masih kontroversi, apakah masih dilakukan bila telah ada bukti kanker serviks invasif dari pemeriksaan kolposkopi, dan apakah dilakukan pada semua lesi servikal yang dapat dideteksi dengan kolposkopi.

 Evaluasi yang tepat dari a pusan normal, pemeriksaan sitologi vagina yaitu Pap smear diambil dari dinding vaginna atau dari serviks. Untuk deteksi diambil dengan spatel ayre atau kapas lidi kemudian dibuat sediaan apus kaca benda yang bersih dan segera diberi alkohol 95%. Dikirim k e laboratorium.  Evaluasi kolposkopi, dua alat pembesar optik (loupe) yang ditempatkan pada

(4)

Biopsi kerucut (Cone biopsy), dilakukan pada keadaan khusus (terimester kedua dan diagnosis tidak dapat ditegakkan berdasarkan pem eriksaan lain) (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2008).

2.1.5. Stadium dan Klasifikasi

Derajat differensiasi kanker serviks merupakan hasil penilaian mikroskopis sel kanker berdasarkan jumlah sel yang mengalami mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal, dan susunan homogenitas dari sel (Damjanov, 2007). Nomenklatur yang dipakai dalam menentukan derajat differensiasi ini adalah dengan penomoran:

Grade I untuk kanker dengan diferensiasi baik (well differentiated) di mana sel kanker masih mirip dengan sel asalnya;

Grade II untuk kanker dengan differensiasi moderat (moderately/intermediate differentiated);

Grade III untuk kanker dengan differensiasi jelek (poorly differentiated);Grade IV untuk kanker anaplastik atau undifferentiated.

Umumnya Grade III dan Grade IV digabung menjadi satu dan dikategorikan sebagai high grade (Damjanov, 2007).

Pada tabel 2.1. dapat dilihat klasifikasi kanker serviks berdasarkan klasifikasi FIGO (2000) yang dilan dasi oleh hasil pemeriksaan fisik dan pencitraan. Pada kehamilan, penentuan diagnosis lebih rumit karena adanya keterbatasan pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan (MRI). Evaluasi klinik pada saat hamil kurang akurat untuk menentukan diagnosis kanker serviks (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2008).

(5)

Tabel 2.1. Kanker Serviks Uteri (1994). Stadium

FIGO

Keterangan Kategori

TNM

Tumor primer tidak dapat dinilai TX

Tidak terdapat bukti tumor primer T0

0 Karsinoma in situ (pra invasif) Tis

1 Kanker seviks terbatas diserviks (penyebaran ke korpus uteri diabaikan)

T1

IA Kanker invasif didiagnosa hanya dengan mikroskopis. Semua lesi yang dapat terlihat dengan mikroskop – meskipun dengan invasi superfisial – adalah stadium IB/T 1B

T1a

IA1 Invasi stroma dengan kedalaman yang tidak lebih dari 5,0 mm dengan penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang

T1a1

IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0 mm dengan penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang

T1a2

IB Lesi yang dapat dilihat secara klinis dikhususkan diserviks atau lesi mikroskopik lebih besar dari pada IA2/T1A2

T1b

IB1 Lesi yang dapat dilihat secara klinis 4,0 sm atau kurang pada dimensi yang paling besar

T1b1

IB2 Lesi yang dapat dilihat secara klinis lebih dari 0,4 cm pada dimensi yang paling besar

T1b2

II Telat melibatkan vagina, teyapi blm sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul

T2

IIA Tanpa invasi parametrium T2a

IIB Dengan invasi parametrium

III Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau melibatkan 1/3 bawah vagina dan/atau menyebabkan hidonefrosis atau

(6)

afungsi ginjal

IIIA Tumor melibatkan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium, tidak tertdapat pertuasan ke dinding pelvis.

T3a

IIIb Tumor meluas kedinding pelvis dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau afungsi ginjal

T3b

IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau rektum dan/atau meluas ke pelvis

T4

IVb Metastasis jauh M1

Dikutip dari: Pecorelli S.Ngan H.Y.S Hacher N.F, Staging Classifications and Clinical Practice Guidelines for Gynaecological cancar, A collaboration between FIGO dan IGCS, third edition , November 2006, hal: 37 -57.

2.1.6. Histopatologi

Suatu kasus baru dapat dikatakan sebagai karsinoma serviks bila pertumbuhan primernya memang terjadi di serviks. Termasuk semua tipe histopatologinya. Grading dengan berbagai metode lebih baik dilakukan tapi tidak digunakan sebagai basis untuk memodifikasi pengelompokkan berdasarkan stadi um. Penemuan histopatologi dapat memeberikan staging patologik pada kasus yang bersangkutan (Quinn et al., 2006).

Lesi Prakanker

Lesi prakanker umumnya ditemukan pada deteksi dini dengan Pap smear/thin prep, karena lesi prakanker tanpa gejala dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Diagnosis, lesi prakanker berdasarkan pemeriksaan histopatologi spesimen biopsi terserah dengan bimbingan kolposkopi (Andrijono, 2007).

Lesi Kanker Invasif

Kasus diklasifikasi sebagai kanker serviks jika per tumbukan primer pada serviks dan dibuktikan dari hasil patalogi anatomi (Andrijono, 2007).

(7)

Adapun tipe histopatologi kanker serviks adalah :  Neoplasia intraepitelial serviks, Grade IIIKarsinoma sel skuamosa in situ

 Karsinoma sel skuamosa : keratinizing, non-keratinizing, verukosa  Adenokarsinoma in situ

Adenomakarsinoma in situ, tipe endoserviks  Adenokarsinoma endometrioid

Adenokarsinoma clear cell  Karsinoma adenoskuamosa  Karsinoma adenoid kistik  Karsinoma small cell  Undifferentiated carcinoma

Sedangkan grade histopatologi kanker serviks terdiri dari :  Gx- Grade tidak bisa ditentukan

 G1- Diferensiasi baik  G2- Diferensiasi sedang

 G3- Diferensiasi buruk (Andrijono, 2007 dan Pecorelli, 2006). 2.1.7. Pemeriksaan Sitologi Vagina

Untuk pemeriksaan sitologik, bahan diambil dari dinding vagina atau dari serviks (endo- dan ektoserviks) dengan spatel Ayre (dari kayu atau dari plastik).

Pemeriksaan sitologi sekarang paling banyak dan teratur berkala (misalnya ½ -1 tahun sekali) dilakukan untu k kepentingan diagnosis ini karsinoma servisis uteri dan karsinoma korporis uteri. Karena Papanicolaou dalam tahun 1928 yang menganjurkan cara pemeriksaan ini, maka sekarang sudah lazim penggunaan istilah Pap’ smear.

(8)

Selain untuk diagnosis dini tumor gana s, pemeriksaan sitologi vagina dapat dipakai juga secara tidak langsung mengetahui fungi hormonal karena pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan perubahan -perubahan khas pada sel -sel selaput lendir vagina.

Untuk deteksi tumor ganas bahan diambil den gan spatel Ayre atau dengan kapas lidi dari dinding samping vagina dan dari serviks. Kemudiaan dibuat sediaan apus dikaca benda yang bersih dan segera dimasukkan kedalam botol khusus (cuvette) berisi etilalkohol 95%. Diisi formulir dengan keterangan -keterangan seperlunya. Setelah kira-kira satu jam, kaca benda dikeluarkan dan dalam keadaan kering dikirim ke laboratorium sitologi bersama -sama dengan formulir yang telah di isi. Dilaboratorium sediaan dipulas menurut Papanicolaou atau menurut Harris -schorr.

Semua penderita dengan hasil pemeriksaan kelas III,IV, dan V perlu diperiksa ulang. Biasanya juga dibuat biopsi atau konisasi guna pemeriksaan histologik.

Dalam diagnostik hormonal oleh laboratorium dilaporkan pengaruh estrogen dan/atau pengaruh progesteron . Untuk mengetahui apakah ada ovulasi atau tidak dan pada amenorea, dilakukan pemeriksaan berkala (serial smear) setiap minggu sampai 3-4 kali.

Peradangan dapat mengganggu penilaian diagnostik. Dalam hal demikian, peradangan harus diobati lebih dahulu dan pemeriksaan sitologik diulang (Wiknjosastro, 2008).

2.1.8. Faktor Resiko

Meskipun banyak wanita mengandung HPV, hanya sebagian yang menderita kanker serviks. Ini mengisyaratkan bahwa faktor lain berperan pada risiko kanker. Faktor risiko penting terjadiny a kanker invasif pada serviks adalah usia dini saat mulai berhubungan kelamin (di bawah usia 16 tahun), memiliki banyak pasangan seksual, pasangan seksual memiliki riwayat banyak memiliki pasangan seksual,

(9)

merokok, imunodefisiensi eksogen atau endogen, dan infeksi persisten oleh HPV risiko tinggi (Crum, Lester dan Cotran, 2007).

Insidensi karsinoma in situ meningkat sekitar lima kali lipat pada perempuan yang terinfeksi oleh virus imunodefisensi manusia jika dibandingkan dengan kontrol (Crum, Lestran dan Cotran, 2007).

Wanita perokok memiliki risiko dua kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan wanita bukan perokok (Dalimartha, 2004). Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau seperti nikotin dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV mencetuskan transformasi malignansi (Edianto, 2006).

Kanker serviks jarang ditemukan pada perawan dan pada wanita yang pasangan seksualnya telah disirkumsisi. Insideni kanker serviks lebih tinggi pada mereka yang menikah daripada yang tidak menikah dan pada wanita dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Selain itu insidensinya juga meningkat dengan tingginya paritas, apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat (Mardjikoen, 2007).

Resiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan pemakaian kontrasepsi oral. Namun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko ini. Beberapa studi yang lebih lanjut memer lukan konfirmasi atau menyangkal observasi mengenai kontrasepsi oral ini (Rasjidi, Irwanto dan Sulistyanto, 2008).

Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, sert a mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (Diananda, 2009).

2.1.9. Penatalaksanaan

Terapi dapat dilakukan setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan. Para klinisi umumnya akan memperhatikan stadium klasifikasi FIGO, derajat differensiasi, jenis histopatologik, usia, keadaan umum penderita, dan komplikasi yang menyertai

(10)

(Chamim, 2006). Namun, pada kenyataannya angka rekurensi p ada pasien paska terapi yang adekuat masih tinggi, yakni sekitar 35% (Greer dan Koh, 2002). Hal ini tergantung dari: (1) stadium kanker, di mana pada stadium awal rekurensi lebih sering terjadi dibandingkan pada stadium lanjut, (2) metastasis ke kelenjar l imfe pelvis, (3) invasi stroma yang dalam, (4) usia, dan (5) jenis terapi yang diberikan (H T et al., 2002).

Penatalaksanaan kanker serviks yang utama pada stadium awal yaitu stadium 1A sampai 2A adalah operasi radikal histerektomi + bisalpingoophorektomi bilateral + Lymphadenektomi pelvis bilateral. Operasi khusus seperti ini lazimnya dikerjakan oleh seorang ahli dibidang kanker kandungan (onkolog -ginekolog).

Sedangkan penatalaksanaan pada stadium 2B keatas adalah radiasi atau kemoradiasi paliatif saja ( Sofian, 2011).

2.1.10. Pencegahan

Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali ( reproducible), murah, mudah dikerj akan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut (WHO, 2006) :

1. Metode Sitologi a. Tes Pap konvensional

Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George Papanicolau sejak tahun 1928. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher rahim dinegara -negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang mudah, murah, aman, dan non -invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisa r anatara 78-93%. Tetapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16 -37% dan negatif palsu 7 -40%. Sebagaian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesa lahan interpretasi (Nuranna, 2005).

(11)

b. Pemeriksaan sitologi cairan ( Liquid-base cytology/LBC)

Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan mudah t ertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal (Mannos, 2009).

2. Metode pemeriksaan DNA -HPV

Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction ) yang amat sensitif (Cuzick, 1995).

2.1.11. Prognosis

Kehamilan tidak mempengaruhi luaran dari perempuan dengan kanker serviks. Prognosis kemungkinan lebih buruk dari pada perempuan yang diagnosis kanker serviks ditegakkan pada periode 12 bulan pasca persalinan dibandi ngkan yang ditegakkan selama kehamilan (Prawirohardjo dan Wiknjosastro, 2008).

2.2. Pap Smear 2.2.1. Definisi

Pap smear adalah suatu test yang aman dan murah yang telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan -kelainan yang ada di sel-sel leher rahim. Tes ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicoloau sehingga dinamakan Pap smear Test. Pap smear Test adalah suatu metode pemeriksaan sel -sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk

(12)

melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel -sel tersebut. Perubahan-perubahan yang terdeteksi secara dini akan menurunkan kejadian kanker serviks. Pap smear dapat mendeteksi dini kanker serviks dengan melihat penemuan perkembangan sel -sel abnormal serviks (Brunner & Suddarth, 2001).

2.2.2. Klasifikasi Pemeriksaan Pap Smear

Pemeriksaan cytologis dari smear sel-sel yang diambil dari serviks, untuk melihat perubahan-perubahan sel yang mengindikasikan terjadinya inflamasi, displasia atau kanker. Klasif ikasi pemeriksaan Pap smear, sistem Bethesda (Price dan Wilson, 2005) adalah :

a. Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance (ASC -US) yaitu sel skuamosa atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan. Sel skuamosa adalah datar, tipis yang membentuk permukaan serviks.

b. Low-grade Squamous Intraephitelial Lesion (LSIL) , yaitu tingkat rendah berarti perubahan dini dalam ukuran dan bentuk sel. Lesi mengacu pada daerah jaringan abnormal, intraepitel berarti sel abnormal hanya terdapat pada per mukaan

lapisan sel-sel.

c. High-grade Squamosa Intraepithelial (HSIL) berarti bahwa terdapat perubahan yang jelas dalam ukuran dan bentuk abnormal sel -sel (prakanker) yang terlihat berbeda dengan sel-sel normal.

d. High-grade Squamosa Intraepithelial atypi cal glandular cel (HSIL AGC) e. Adenocarsinoma in situ (AIS)

2.2.3. Manfaat Pemeriksaan Pap Smear

Pemeriksaan Pap smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih mudah dan murah (Price dan Wilson, 2005).

(13)

Manfaat Pap smear dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut: a. Diagnosis dini keganasan

Pap smear berguna dalam mendeteksi kanker serviks, kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan ovarium.

b. Perawatan ikutan dari keganasan

Pap smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah mendapatkan kemoterapi dan radiasi.

c. Interpretasi hormonal wanita

Pap smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan maturitas kehamilan, dan menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda.

d. Menentukan proses peradangan

Pap smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai infeksi bakteri atau jamur (Manuaba, 2005).

2.2.4 Prosedur Pemeriksaan Pap Smear

Prosedur pemeriksaan Pap smear Test dimulai dengan tindakan pasien dibaringkan telentang kemudian diatur dalam posisi lithotomic, lalu masukkan alat spekulum ke dalam liang senggama yaitu alat yang menyerupai moncong bebek yang bertujuan untuk membuka liang senggama sehingga dapat terlihat jelas dinding leher rahim dan alat ini bertujuan untuk menahan vagina agar tetap terbuka. Setelah itu sel -sel leher rahim diambil dengan cara mengusap leher rahim dengan spatula yaitu suatu alat yang menyerupai tangkai pada es krim, kemudian dioleskan apusan leher rahim tersebut pada object glass, dan kemudian dikirim ke bag ian laboratorium patologi anatomi untuk pemeriksaan teliti yaitu dengan dipulas dengan Papanicoloau dan diperiksa adanya sel kanker atau tidak (Price dan Wilson, 2005).

(14)

a. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi formulir konsultasi sitologi, speculum bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek ( object glass) yang telah diberi label pada satu sisinya, dan wadah berisi larutan alkohol 95 %;

b. Persiapkan pasien untuk berbaring dengan posisi ginekologi;

c. Pasang spekulum kering dan disesuaikan sehingga tampak dengan jelas vagina bagian atas, forniks posterior, serviks uteri dan kanalis servikalis;

d. Memeriksa serviks apakah normal atau tidak;

e. Spatula Ayre dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam 12 dan diputar 3600 searah jarum jam;

f. Sediaan lendir serviks dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi tanda dengan membentu sudut 450 satu kali usapan;

g. Kemudian kaca objek dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95 % selama 10 menit;

h. Sediaan diletakkan pada wadah kemudian dikirim ke ahli patologi anatomi.

Prosedur pemeriksaan ini akan memberikan rasa tidak nyaman tetapi tidak akan menimbulkan rasa sakit. Peme riksaan ini dilakukan 1 tahun sekali dan secara teratur. Pap smear Test sebaiknya dilakukan seminggu atau dua minggu setelah berakhirnya masa menstruasi. Bagi wanita yang sudah menopause maka dapat melakukan pemeriksaan ini kapan saja. Pap smear ditunda sampai pengobatan selesai pada pasien dengan peradangan berat. Pap smear tidak dilakukan lagi bagi wanita yang telah menjalani pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) dengan riwayat penyakit jinak dan bukan merupakan lesi prekanker. Selain itu Pap smear juga tidak dilakukan lagi pada wanita yang telah berusia di atas 70 tahun dengan syarat hasilnya 2 kali negatif dalam 5 tahun terakhir (Azis, 2002). Pap smear mulai dapat dilaksanakan pada wanita yang telah 3 tahun menikah atau aktif secara seksual, tetapi usianya tidak dibawah 21 tahun (Husain dan Hoskins, 2002). Pap smear sebaiknya tidak dilakuan pada wanita yang baru menikah atau aktif secara seksual kurang dari 3

(15)

tahun karena dapat menimbulkan pengobatan yang berlebihan akibat gambaran sel abnormal yang bersifat sementara. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seksual 2-3 hari sebelum pemeriksaan, kemudian dianjurkan untuk tidak menggunakan pengobatan melalui vagina atau mencuci vagina dengan cairan seperti spermicidal foams, creams dan jellies. Hal ini perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan Pap smear. Setelah pemeriksaan Pap smear, pasien dapat langsung kembali mengerjakan aktivitas -aktivitasnya sehari-hari (Schoendstadt, 2006). Menurut rekomendasi terbaru dari American College of Obstetricans and Gynecologist dan The American Cancer Society , pemeriksaan Pap smear dianjurkan untuk diulang setahun sekali secara teratur seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan tiga kali berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter (Hillegas, 2005). Bila hasil pemeriksaan menunjukkan tanda -tanda abnormal maka dilakukan pengobatan lanjutan dengan pemanasan sinar laser, atau dengan cone biopsy . Dan apabila terjadi prekanker maka tindakan yang dilakukan adalah dengan operasi dan radioterapi (Price dan Wilson, 2005).

2.2.5. Interpretasi Hasil Pap Smear

Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda.

Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Saviano, 1993), yaitu:

a. Kelas I : tidak ada sel abnormal.

b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya keganasan.

c. Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai sedang.

(16)

e. Kelas V : keganasan.

Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika Serikat. Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap smear terdiri dari (Feig, 2001): a. CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari sepertiga lapisan epitelium.

b. CIN II merupakan displasi a sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium. c. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.

Daignosis neoplasma pada serviks masi dianggap sulit, oleh karena itu berbagai institusi yang bergerak dibidang sitologi patologi dan ginekologi merancang sebuah sistem terminologi yang disebut dengan sistem bethesda diharapkan komunikasi antara pihak laboratorium dengan pihak klinisi akan lebih efektif.

The 2001 Bethesda System (Abridged) SPECIMEN ADEQUACY

Satisfactory for evaluation ( note presence/absence of endocervical/ transformation zone component )

Unsatisfactory for evaluation . . . ( specify reason) Specimen rejected/not processed ( specify reason)

Specimen processed and examined, but unsatisfactory for evaluation of epithelial abnormality because of ( specify reason)

GENERAL CATEGORIZATION ( Optional) Negative for intraepithelial lesion or malignancy Epithelial cell abnormality

INTERPRETATION/RESULT

Negative for Intraepithelial Lesion or Malignancy Organisms

Trichomonas vaginalis

(17)

Shift in flora suggestive of bacterial vaginosis

Bacteria morphologically consistent with Actinomyces species Cellular changes consistent with herpes simplex virus

Other non-neoplastic findings (Optional to report; list not comprehensive ) Reactive cellular changes associated with

inflammation (includes typical repair) radiation

intrauterine contraceptive device

Glandular cells status posthysterectomy Atrophy

Epithelial Cell Abnormalities Squamous cell

Atypical squamous cells (ASC)

of undetermined significance (ASC -US) cannot exclude HSIL (ASC -H)

Low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL)

encompassing: human papillomavirus/mild dysplasia/cervical intraepithelial neoplasia (CIN) 1

High-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL)

encompassing: moderate and severe dysplasia, carcinoma in situ; CIN 2 and CIN 3

Squamous cell carcinoma Glandular cell

Atypical glandular cells (AGC) (specify endocervical, endometrial, or not otherwise specified)

Atypical glandular cells, favor neoplastic ( specify endocervical or not otherwise specified )

Endocervical adenocarcinoma in situ (AIS) Adenocarcinoma

(18)

Other (List not comprehensive)

Endometrial cells in a woman _40 years of age

AUTOMATED REVIEW AND ANCILLARY TESTING ( Include as appropriate)

EDUCATIONAL NOTES AND SUGGESTIONS ( Optional) (American Medical Association, 2009).

2.2.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pap Smear Dipara Ibu Menurut Suwiyoga (2007), para wanita sering enggan untuk diperiksa oleh karena faktor ketidaktahuan, rasa malu, rasa takut, dan faktor biaya. Hal ini umumnya disebabkan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk Indonesia tentang Pap smear.

Menurut Candraningsih (2011), Beberapa faktor hambatan pemeriksaan Pap smear, diantaranya adalah perilaku wanita usia subur yang enggan untuk diperiksa karena tidak pernah mengetahui tentang Pap smear, rasa malu dan rasa takut untuk memeriksa organ reproduksi serviks kepada tenaga kesehatan, faktor biaya khususnya pada golongan ekonomi yang lemah, sumber informasi dan fasilitas atau pelayanan kesehatan yang masih minim untuk melakukan pemeriksaan Pap smear.

Menurut Evenmett (2003), yang melakukan analisis mengenai penyebab Pap smear tidak dilakukan oleh wanita yaitu karena faktor psikologis dimana mereka merasa takut melakukan Pap smear, takut mengetahui hasilnya bahwa menderita kanker dan malu untuk menjalani pemeriksaan Pap smear.

Faktor agama, seseorang tidak melakukan Pap smear dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, salah satu keyakinan yaitu agama Islam tidak disarankan bagi seorang wanita untuk memperlihatkan auratnya kepada orang lain kecuali muka serta telapak tangan, namun aurat boleh ditampakkan untuk tujuan pengobatan kesehatan atau kedaruratan penyakit dan kewajiban menutup aurat itu adalah suatu kewajiban yang bersifat ‘aini ta ‘abbudii yaitu wajib dilakukan oleh setiap individu k arena ibadah semata (Dahlan, 2006).

(19)

Faktor sosial budaya, menyatakan bahwa anggota keluarga turun -temurun tidak pernah melakukan pemeriksaan Pap smear. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tanpa disadari kebudayaan telah mewarnai sikap anggota keluarga untuk menuruti kebiasaan dalam keluarga untuk tidak melakukan pemeriksaan Pap smear sehingga pengaruh tersebut menyebabkan mereka tidak ingin melakukan pemeriksaan Pap smear. Selain itu, rasa malu dan takut untuk melakukan pemeriksaan Pap smear juga menjadi alasan mayoritas responden dalam melakukan pemeriksaan organ reproduksi serviksnya (Nurhasanah, 2008).

Faktor ekonomi, menunjukkan bahwa pemeriksaan Pap smear tidak dilakukan karena biaya yang mahal. Tingkat ekonomi sangat menentukan seseorang untuk lebih meningkatkan kesehatannya ke arah yang lebih baik terutama untuk melakukan pemeriksaan Pap smear (Darnindro, 2006).

Dari faktor motivasi, menyatakan bahwa mendapat dukungan dan izin dari suami dan keluarga sehingga bukan menjadi alasan tidak melakukan pemerik saan kesehatan serviksnya. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan Bakheit dan Haron bahwa alasan wanita menolak melakukan Pap smear adalah karena tidak diizinkan oleh suami dan tidak mendapat dukungan dari keluarga (Nurhasanah, 2008).

Gambar

Tabel 2.1. Kanker Serviks Uteri (1994).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan untuk mampu berkompetisi di era globalisasi adalah dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses belajar.Salah satu

yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul“

Dilihat dari analisis gugus (Gambar 9) yang didapat dari spektra IR hasil isolasi kitin dari teripang hitam dengan konsentrasi asam (HCl) berbeda, yaitu adanya gugus

Setelah itu didapatkan larutan standar 10 ppm, untuk diketahui alat yang kami gunakan yakni pada spektrofotometer uv vis dapat menyerap cahaya apabila senyawa

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tentang Pajak Reklame, Pajak Hiburan dan Pendapatan Asli Daerah pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota

Adapun skripsi ini yang berjudul “ RANCANG BANGUN INTEGRASI MESIN PARUTAN DAN PERAS SANTAN KELAPA SKALA MINI UNTUK KEBUTUHAN RUMAH TANGGA ”.. Skripsi ini merupakan syarat

I.3 Efisiensi Keuangan BAZNAS Kota dan Kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun