• Tidak ada hasil yang ditemukan

DJM 13(3) October 2014 DAMIANUS VOLUME 13, NOMOR 3, PUBLISHED SINCE 2002 October 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DJM 13(3) October 2014 DAMIANUS VOLUME 13, NOMOR 3, PUBLISHED SINCE 2002 October 2014"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL PENELITIAN

161-172 PENGARUH BLOK KEDOKTERAN ADIKSI TERHADAP PERSEPSI TENTANG ADIKSI ZAT PSIKOAKTIF PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Michael Jaya, Yeremias Jena, Astri Parawita Ayu, Satya Joewana

173-182 PERSEPSI TERHADAP ADIKSI ZAT PSIKOAKTIF PADA MAHASISWA PESERTA PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI DAN DOKTER UMUM PESERTA PROGRAM INTERNSHIP

Mahaputra, Astri Parawita Ayu

183-190 PENGARUH PEMBERIAN DOSIS MINIMAL KAFEIN TERHADAP PENINGKATAN ATENSI MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Julia Rahadian, Laurensia Scovani

191-198 GIGI KARIES DAN KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL PADA PENGGUNA HEROIN YANG MENJALANI TERAPI RUMATAN METADON

Isadora Gracia, Rensa, Minawati, Teguh Sarry Hartono, Surilena

199-207 GAMBARAN MASALAH EMOSI DAN PERILAKU PADA PELAJAR SMA REGINA PACIS JAKARTA DENGAN ADIKSI INTERNET

Adrian, Ana Lucia Ekowati, Eva Suryani

208-217 WHY ADOLESCENT SMOKE? A CASE STUDY OF NORTH JAKARTA, INDONESIA Regina Satya Wiraharja, Charles Surjadi

TINJAUAN PUSTAKA

218-223 EFEKTIVITAS BERBAGAI PRODUK NICOTINE REPLACEMENT THERAPY SEBAGAI TERAPI UNTUK BERHENTI MEROKOK

Bernardus Mario Vito, Irene

LAPORAN KASUS

224-232 KETERGANTUNGAN ALPRAZOLAM PADA LANJUT USIA DENGAN INSOMNIA DAN DEPRESI Surilena

ARTIKEL KHUSUS

233-236 MENGENAL KEDOKTERAN ADIKSI DI NIJMEGEN INSTITUTE FOR SCIENTIST PRACTIONERS IN ADDICTION

Eva Suryani, Isadora Gracia

ISSN 2086-4256

PUBLISHED SINCE 2002 October 2014

DJM 13(3) 161-236 October 2014

DAMIANUS

Journal of Medicine

(2)

KETERGANTUNGAN ALPRAZOLAM PADA LANJUT USIA

DENGAN INSOMNIA DAN DEPRESI

ALPRAZOLAM DEPENDENCE IN ELDERLY WITH INSOMNIA AND

DEPRESSION

Surilena LAPORAN KASUS

Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jalan Pluit Raya 2, Jakarta Utara 14440

Korespondensi:

Surilena, Departemen Ilmu Kedok-teran Jiwa dan Perilaku, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya.

E-mail: surilenahasan@yahoo.co.id

ABSTRACT

Introduction: Insomnia is a sleep disorder that is most commonly found in the

elderly. Insomnia can lead to irritability mood, anxiety, depression, suicide, drug use, and addiction.

Case: A 65-years old woman was diagnosed as having depression and insomnia

based on anamneses, physical examination, mental status examination, and laboratory tests. She has been using benzodiazepines (alprazolam) for 8 months to treat insomnia. During that period, the dose was increased and her last dose was 4 mg/day. While the dose continously increased her sleep problems did not decrease and she started to have tremor in her fingers, labile and iritable mood, poor memory and concentration. History of alcohol and other substances use were not found. Urine laboratory examination was positive for benzodiazepines. Complete blood count, blood sugar, and thyroid hormones (FT3, FT4, and TSH) were within normal level. She got educational and emotional rational behavior therapy (REBT) and pharmacotherapy with citalopram 20 mg/day. The alprazolam dose was tapered down. After 2 months of therapy, patient showed clinical improvement and alprazolam dosage can be reduced to the minimum dose (0.5 mg/day).

Conclusions: Insomnia, depression, and alprazolam dependence occurred in

this case, Insomnia was not a disease, but rather a symptom of some disorder, such as depression, anxiety, psychose, substance use disorder. Depression could lead to insomnia and vice versa. Both of these conditions also had the risk of substance use disorder.

Key Words: Addiction, alprazolam, depression, elderly, insomnia ABSTRAK

Pendahuluan: Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan

pada lanjut usia. Insomnia dapat mengakibatkan kondisi mudah marah, cemas, depresi, bunuh diri, penyalahgunan, dan ketergantungan zat.

Kasus: Seorang perempuan berusia 65 tahun didiagnosis depresi dan

insomnia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan laboratorium. Didapatkan riwayat konsumsi obat golongan benzodiazepin (alprazolam) untuk mengatasi insomnia. Pasien sudah mengonsumsi alprazolam selama 8 bulan dengan dosis makin lama makin tinggi.

(3)

Ketergantungan alprazolam pada lanjut usia dengan insomnia dan depresi Dosis saat ini adalah 4 mg/hari namun pasien tetap tidak dapat tidur, serta timbul

tremor pada jari-jari tangan, mood menjadi labil dan pemarah, mudah lupa, serta sulit konsenstrasi. Riwayat mengkonsumsi alkohol atau zat lainnya tidak ditemukan. Pemeriksan laboratorium menunjukkan pada urin hanya didapatkan benzodiazepin (+). Pemeriksaan darah lengkap, gula darah, dan hormon tiroid (FT3, FT4, dan TSH) dalam batas normal. Penatalaksanaan yang diberikan adalah edukasi dan terapi perilaku emosional rasional (REBT), serta farmakoterapi dengan citalopram 20 mg/hari. Dosis alprazolam diturunkan secara bertahap. Setelah 2 bulan terapi pasien memperlihatkan perbaikan klinis dan dosis alprazolam dapat diturunkan ke dosis terendah (0,5 mg/hari).

Kesimpulan: Insomnia, depresi, dan ketergantungan alprazolam terjadi

pada kasus ini. Insomnia pada kasus ini bukanlah suatu diagnosis gangguan melainkan gejala dari depresi. Insomnia dapat merupakan gejala dari gangguan mental lain seperti depresi, cemas, psikosis, atau gangguan penggunaan zat psikoaktif. Depresi dapat menyebabkan insomnia dan sebaliknya insomnia juga menyebabkan depresi. Kedua kondisi tersebut juga menjadi risiko untuk terjadinya gangguan penggunaan zat psikoaktif.

Kata Kunci: Adiksi, alprazolam, depresi, insomnia, lansia

PENDAHULUAN

Tidur mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia. Bertambahnya umur seseorang menjadikan kemampuan untuk tidur menurun, namun bukan keperluan tidur yang kurang. Kondisi ini merupakan salah satu bagian dan proses penuaan normal. Keluhan tidur sering dijumpai pada lanjut usia (lansia), dengan gejala yang sering dikeluhkan adalah kesulitan untuk mulai tidur, mempertahankan tidurnya, sering bangun pagi, dan mengantuk di siang hari.1 Ada

beberapa proses yang memengaruhi tidur dan bangun pada lansia, seperti penyakit akut atau kronik, efek pengobatan, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental (depresi, cemas, psikosis), gangguan tidur akibat kondisi medik umum, gangguan tidur yang diinduksi oleh zat, gangguan tidur primer, kebiasaan tidur yang kurang baik (sleep hygiene), dan adanya perubahan irama sirkandian.1,2 Diketahui bahwa

43,5% lansia menderita insomnia dan 47,0%

lansia menderita hipersomnia ternyata juga menderita gangguan psikiatrik (psikotik, cemas, depresi, penyalahgunaan, atau ketergantungan zat).3

Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yaitu sekitar 67%. Sebagian besar lan-sia berisiko mengalami gangguan tidur, salah satunya insomnia.4 Penelitian epidemiologi

melaporkan sekitar 30% lansia (berusia >60 tahun) menderita atau mengeluh tentang kuali-tas tidur yang rendah dalam periode lama; 20% lansia mengeluh insomnia; dan hanya sekitar 5% mengeluh hipersomnia.5 Perempuan lansia

lebih banyak mengalami insomnia, dibandingkan laki-laki yang lebih banyak menderita apnea atau kondisi medis lain yang dapat mengganggu tidur.6 Gangguan tidur pada lansia sering

ditemu-kan pada mereka yang tinggal di rumah jompo, hidup sendiri, tidak bekerja, cemas, depresi, atau berkabung. Prevalensi pada pria dan wanita me-miliki kecenderungan hampir sama.5,6 Gangguan

(4)

tidur pada lansia memiliki dampak yang cukup berat, seperti menurunnya produktivitas karena cepat lelah (pada negara berkembang di mana lansia masih bekerja), mudah marah, bahkan sampai kepada sindrom depresi yang dapat mengakibatkan bunuh diri atau memperburuk penyakit penyerta.4-6

Depresi merupakan gangguan mental yang sering dijumpai dan ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, perasaan kelelahan, kurang konsentrasi, tidur, atau nafsu makan yang terganggu.7 Penelitian epidemiologi pada

beberapa negara di Asia, menyatakan bahwa prevalensi depresi pada lansia di Indonesia mencapai 33,8%, sedangkan prevalensi di DKI Jakarta sebesar 30,1%.8 Depresi pada lansia

sulit untuk diidentifikasi sehingga terlambat untuk diterapi, hal ini mungkin karena adanya perbe-daan pola gejala pada tiap kelompok umur.7,8

Selain itu, depresi pada lansia sering tidak diakui oleh pasien dan tidak dikenali oleh dokter karena gejalanya yang tidak khas. Depresi pada lansia merupakan masalah besar yang mempu-nyai konsekuensi medis, sosial, dan ekonomi. Depresi selain menyebabkan insomnia, juga bisa menimbulkan keinginan untuk tidur terus sepanjang waktu karena ingin melepaskan diri dari masalah yang dihadapi. Depresi bisa me-nyebabkan insomnia dan sebaliknya insomnia dapat menyebabkan depresi.9 Kondisi tersebut

menyebabkan penderitaan bagi pasien dan keluarganya, serta akan memperburuk kondisi medis.7,9

Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama untuk

menga-tasi insomnia, baik primer maupun sekunder, walaupun demikian, lama penggunaannya harus dibatasi karena penggunaan jangka lama malah dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi gangguan yang mendasarinya.10

Peng-gunaan jangka panjang benzodiazepin tidak dianjurkan, sebaiknya digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi insomnia jangka pendek.11 Penggunaan jangka panjang

benzo-diazepin dapat menimbulkan ketergantung an (adiksi), masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang mendasari masalah tidur, apnea tidur, penurunan kognitif, dan terjatuh karena gangguan koordinasi motorik. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati-hati, dengan pengawasan dokter, dan do-sisnya serendah mungkin.10,11

KASUS

Seorang perempuan berusia 65 tahun, berasal dari Jawa Tengah, wiraswasta, merupakan orang tua tunggal sejak 20 tahun lalu, memiliki 3 anak (laki-laki usia 27 tahun, laki-laki usia 24 tahun, dan perempuan 19 tahun). Pasien datang ke Po-liklinik Psikiatri Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ) dengan keluhan sulit tidur, sering terbangun, dan tidak dapat tidur kembali, serta kadang-kadang bangun pukul 02.00-03.00 pagi dan tidak dapat tidur kembali sejak 2 tahun. Selain itu, sejak 3 bulan yang lalu pasien juga mengeluh menjadi malas, cepat lelah, sulit konsentrasi, mood sensitif, berat badan meningkat, jari-jari tangan tremor, sehingga sangat mengganggu kehidup-an dkehidup-an pekerjakehidup-annya sehari-hari. Pasien sudah berobat beberapa kali ke psikiater di Singapura dan dokter umum di Jakarta untuk penanganan

(5)

Ketergantungan alprazolam pada lanjut usia dengan insomnia dan depresi kesulitan tidur dan emosinya. Pasien mendapat

beberapa obat tidur (berganti-ganti) dari dokter, seperti lorazepam, estazolam, zolpidem, alpra-zolam, melantonin, sertralin, namun tidak ada perbaikan.

Pasien juga mengemukakan sejak 8 bulan lalu mengonsumsi obat tidur (alprazolam), awalnya diminum 0,5 mg/hari pada malam hari, namun masih belum dapat tidur, sehingga dosis alprazolam makin meningkat. Sejak 5 bulan lalu, konsumsi alprazolam menjadi sebanyak 4 mg/hari pada malam hari. Pasien mendapat alprazolam dari toko obat (hanya menunjukkan resep dokter yang lama) atau ke praktik dokter umum untuk minta resep alprazolam, dosis alprazolam diatur sendiri oleh pasien. Meskipun sudah mengonsumsi alprazolam 4 mg/hari pada malam hari, tidur kadang masih belum nyenyak (sering terbangun, mimpi buruk), mood menjadi lebih mudah marah dan tersinggung, sering menangis bila memikirkan kondisinya, mudah lupa, sulit konsentrasi, merasa malas, dan cepat lelah. Pasien mengatakan jika sedang tidak mengonsumsi alprazolam karena kehabisan obat tersebut, tubuhnya menjadi berkeringat dingin, rasa sangat gelisah, sensitif, dan ada keinginan kuat untuk mencari obat tersebut.

Pasien juga kadang-kadang mengonsumsi wine sebanyak setengah gelas wine agar membantu bisa tidur dan lebih tenang, namun pasien juga tidak merasa lebih baik. Sejak 3 bulan lalu jari-jari tangannya gemetar (tremor), pasien semakin merasa pesimis dengan kondisinya, beberapa kali berpikir ingin mengakhiri hidup. Kondisi tersebut menyebabkan pasien kurang mampu menjalani pekerjaannya. Pasien tidak mengon-sumsi obat-obatan lain dan juga tidak merokok.

Pasien mengatakan hubungannya dengan anak pertama kurang baik sejak anaknya menikah tiga tahun lalu. Anak laki-lakinya tersebut menjadi menentang, sering berbeda pendapat dan kurang peduli terhadapnya. Pasien merasa kehilangan karena anak yang paling dekat dan disayang menjadi berubah, padahal sudah mengasuh dengan baik sebagai orang tua tunggal. Pasien kurang dekat dengan anak keduanya, karena anaknya pendiam dan lebih sering di kamarnya dengan bermain komputer. Anak perempuan pasien (anak ketiga) sedang sekolah di Amerika. Pasien cukup dekat dengan putrinya dan sering berkomunikasi, namun 6 bulan terakhir anaknya mulai jarang menghubunginya dengan alasan sibuk kuliah dan bekerja. Hubungan pasien dengan anak pertamanya mulai membaik sejak 6 bulan lalu, namun tidak seharmonis sebelumnya. Pasien mengatakan bahwa pasien menjadi pengusaha yang cukup sukses dan menjadi orang tua tunggal sejak 20 tahun lalu (setelah bercerai). Meskipun sibuk bekerja, pasien tetap merawat, mengasuh, dan memberi pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Pasien meng-asuh anak-anaknya dengan disiplin yang kuat dengan aturan yang harus diikuti. Pasien merasa telah banyak berkorban untuk anaknya, namun di hari tuanya anak-anaknya menjauh dan pasien masih harus bekerja untuk kehidupannya. Pasien merasa sedih, kecewa, dan kesepian. Pasien tidak memiliki teman untuk menceritakan ma-salahnya karena menurut pasien masalah yang dihadapinya adalah aib keluarga dan kegagalan-nya sebagai orang tua tunggal.

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan ben-zodiazepin positif pada urin dan pemeriksaan darah (darah lengkap, gula darah, hormon tiroid:

(6)

FT3, FT4, dan TSH) dalam batas normal. Setelah melakukan wawancara psikiatri, pemeriksaan status mental, pemeriksaan fisik (dalam batas normal), dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis kerja untuk pasien ini adalah depresi dan insomnia, disertai ketergantungan benzo-diazepin (alprazolam). Tata laksana yang kami berikan pada pasien ini adalah citalopram 20 mg/ hari, dosis alprazolam diturunkan perlahan-lahan (tappering off), yaitu 0,25-0,5 mg/minggu, dan psikoterapi dengan terapi perilaku emosional rasional/REBT sebanyak 8 sesi terapi (1 minggu/ kali). Setelah mendapatkan pengobatan selama 2 bulan, gejala depresi membaik dan insomnia ti-dak ada. Pasien menjalani terapi dan psikoterapi dengan teratur di poliklinik Psikiatri RSAJ.

PEMBAHASAN

Diagnosis depresi, insomnia, dan ketergantungan alprazolam ditegakkan berdasarkan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada International

Classification of Disease 10 (ICD10).12 Menurut

PPDGJ III atau ICD10, kriteria diagnostik depresi adalah: 1) Gejala utama, yaitu suasana perasaan depresi atau murung, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah, dan berkurangnya aktivitas; 2) Gejala tambahan, yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, gangguan tidur, nafsu makan berkurang. Gejala

berlangsung terus menerus selama dua minggu, serta menyebabkan berbagai gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.12

Pada kasus ini, diagnosis depresi ditegak-kan dengan ditemuditegak-kannya gejala perasaan depresi atau murung, konsentrasi dan perhatian berkurang, pandangan masa depan pesimistik, gagasan bunuh diri, dan gangguan tidur (insom-nia), berlangsung selama dua minggu, yang menyebabkan berbagai gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Adanya gangguan jiwa pada lansia, seperti depresi, ansietas, gangguan terkait penggunaan alkohol dan zat psikoaktif, serta demensia dapat menyebabkan gangguan tidur. Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai. Sebuah penelitian di Yogyakarta menyatakan prevalensi depresi pada lansia de-ngan gangguan tidur sebesar 87%.13

Kecende-rungan untuk sering terbangun dan terjaga lebih awal di pagi hari (pukul 03.00-04.00) pada lansia mungkin dapat disebabkan adanya depresi.14

Pada depresi berat menunjukkan adanya latensi REM (Rapid Eye Movement) pendek, menurun-nya tidur tahap 4 dan kehilangan waktu tidur total, masuk tidur relatif normal, tetapi sering terjaga lebih awal di pagi hari, dengan suasana perasaan yang tidak nyaman.14,15

Adapun kriteria diagnostik insomnia menurut PPDGJ III atau ICD10, yaitu adanya keluhan sulit masuk tidur, mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk; gangguan tidur terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal sebulan; adanya preokupasi akan tidak bisa tidur dan kekhawatiran berlebihan perihal sesuatu yang berpengaruh pada malam dan sepanjang hari; tidak puas secara kuantitas dan kualitas

(7)

Ketergantungan alprazolam pada lanjut usia dengan insomnia dan depresi

tingkat keparahan insomnia, maka makin besar kemungkinan untuk mengalami depresi.17

Pada kasus ini, pasien juga didiagnosis gantungan alprazolam. Kriteria diagnostik keter-gantungan zat menurut PPDGJ III atau ICD10 adalah: 1) adanya keinginan (sering amat kuat dan bahkan terlalu kuat) untuk menggunakan obat psikoatif (baik yang diresepkan maupun tidak), alkohol, tembakau; 2) keadaan putus zat secara fisiologis yang dialami oleh pasien saat penghentian penggunaan zat atau pengurangan; 3) ada bukti toleransi, yaitu berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna mem-peroleh efek yang sama yang biasanya dimem-peroleh dengan dosis lebih rendah; 4) terus mengguna-kan zat meskipun menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya.12 Pada kasus ini,

ke-jadian ketergantungan alprazolam kemungkinan berkaitan dengan kondisi depresi dan insomnia yang dialaminya. Awalnya alprazolam digunakan untuk mengatasi insomnia, namun karena alpra-zolam adalah benzodiazepin golongan anxiolitik yang dapat mengurangi ketegangan, kegelisah-an, dan depresi, maka juga digunakan untuk mengatasi gangguan mood-nya.

Benzodiazepin yang biasa digunakan untuk terapi insomnia adalah golongan hipnotik, seperti triazolam dan zolpidem (waktu paruh pendek), serta estazolam (waktu paruh pan-jang). Benzodiazepin golongan anxiolitik (untuk mengobati kecemasan), seperti lorazepam dan alprazolam juga sering digunakan untuk insomnia.18 Obat golongan benzodiazepin tidak

direkomendasikan untuk diberikan kepada lansia tanpa pengawasan dokter, serta tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang karena dapat me-dari tidurnya, yang keduanya menyebabkan

berbagai gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.12 Insomnia bisa merupakan sebuah

diagnosis gangguan jiwa, namun bisa juga hanya merupakan gejala dari gangguan jiwa yang lain, semua ini bisa meningkat frekuensinya seiring dengan bertambahnya usia.16 Umumnya, lansia

cenderung mengalami kesulitan tidur yang akan memicu gangguan tidur (insomnia). Penyebab gangguan tidur pada lansia adalah perubahan sistem regulasi dan fisiologis, gangguan tidur primer, gangguan mental (depresi, cemas, psikotik, penyalahgunaan, dan ketergantungan zat), kondisi medis umum, serta faktor sosial dan lingkungan.14

Pada kasus ini, insomnia yang dialami pasien adalah gejala dari depresi. Gejala-gejala depresi pada pasien ini muncul setelah anak-anaknya menjadi dewasa. Sikap dan perilaku anak-anak pasien terhadap dirinya berubah, terutama anak laki-laki pertamanya yang merupakan anak kesa-yangan pasien. Pasien merasa anak-anaknya menjauh sehingga pasien merasa gagal sebagai orang tua. Pasien merasa kesepian, tegang, dan depresi pada malam hari. Pasien juga mengeluh tidak cukup tidur dan pada pagi hari merasa lelah fisik dan mental. Pada siang hari secara khas merasa depresi, mudah marah dan tersing-gung, sulit konsentrasi, mudah lupa; dan kadang mengonsumsi alkohol (wine) untuk mengatasi tidur dan suasana perasaan yang tidak nya-man. Penelitian tahun 2014 pada 138 lansia di Panti Sosial Tresna Werdha menunjukkan lansia dengan depresi memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk mengalami insomnia dibandingkan lansia yang tidak mengalami depresi.13 Penelitian lain

(8)

nimbulkan ketergantungan (adiksi). Penurunan dosis benzodiazepin (alprazolam) harus secara bertahap (tappering off) karena dapat menimbul-kan kondisi withdrawal atau gejala putus zat.17,18

Prinsip penanganan insomnia secara umum, yaitu mengidentifikasi faktor penyebab dan fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada faktor penyebab yang teriden-tifikasi. Setelah faktor penyebab teridentifikasi, maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya, karena hanya de-ngan mengobati insomnia saja tanpa menade-ngani penyebab utamanya jarang memberikan hasil yang optimal. Pada kebanyakan kasus, insom-nia dapat disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatrik dievaluasi dan diobati dengan benar.13,18 Pada kasus ini, kemungkinan

penye-bab insomnia adalah depresi, sehingga terapi farmakologi yang diberikan adalah antidepresan citalopram yang awalnya diberikan 10 mg/hari pada malam hari dan dosis alprazolam diturun-kan secara perlahan menjadi 3,5 mg/hari pada malam hari. Antidepresan (trazodone, amitrip-tyline, mirtazapin, citalopram) sering diberikan untuk insomnia karena pemberiannya tidak terjadwal, memiliki sedikit potensi untuk disalah-gunakan, serta tidak menimbulkan penyalahgu-naan, dan adiksi. Pada kasus ini, penanganan terapi nonfarmakologi yang diberikan adalah rational emotion behaviour therapy/REBT yang terdiri dari 8 sesi terapi individual yang diberikan setiap minggu (30-45 menit). Intervensi REBT diberikan untuk memperbaiki dan mengubah persepsi, sikap, dan perilaku lansia yang semula irasional dan negatif menjadi rasional dan logis terhadap permasalahan yang dihadapinya, per-asaan putus asa, pesimis, merasa diri kesepian,

ide bunuh diri, insomnia, dan ketergantungan alprazolam.19 Setelah 2 bulan terapi farmakologi

dan psikoterapi pasien memperlihatkan perbaik-an klinis.

KESIMPULAN

Depresi, insomnia, dan ketergantungan alprazo-lam terjadi pada kasus ini. Diagnosis ditegakkan berdasarkan wawancara psikiatri, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental, dan peme-riksaan penunjang. Pada kasus ini, insomnia bisa merupakan sebuah diagnosis gangguan jiwa, namun bisa juga hanya merupakan gejala dari gangguan jiwa yang lain. Lansia yang meng-alami depresi dapat mengmeng-alami insomnia dan berisiko penyalahgunaan atau ketergantungan obat golongan benzodiazepin yang digunakan untuk mengatasi insomnia. Sebaliknya, insomnia juga dapat menyebabkan depresi dan penyalah-gunaan atau ketergantungan obat tidur golongan benzodiazepin, seperti lorazepam, alprazolam, dan lainnya. Penanganan kasus dengan insom-nia mencari faktor penyebab dan juga kontrol lingkungannya, serta pemberian terapi nonfar-makologi dan farnonfar-makologi di mana pemberian terapi ini diberikan secara kombinasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Gangguan tidur pada lanjut usia: diagnosis dan penatalaksanaannya. Cermin Dunia Kedokteran. 2007;157:196-206. 2. Surilena. Gangguan Tidur Pada Lansia

dan Penanganannya. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharmawangsa”. 2004; 37(1):55-65.

(9)

Ketergantungan alprazolam pada lanjut usia dengan insomnia dan depresi 3. Prayitno A. Gangguan pola tidur pada

kelom-pok usia lanjut dan penalaksanaanya. J Ke-dokter Trisakti. 2002;21(1):23-30. Available from: http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Prayitno.pdf.

4. Badan Statistik Indonesia. Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 2014 [docu-ment on the Internet]. Available from: http:// www.datastatistikindonesia.com/portal/ index.php.

5. Tsou MT. Prevalence And Risk Factors For Insomnia In Community Dwelling Elderly In Northern Taiwan. J of Clinical Gerontology & Geriatrics. 2013;4(3):75-79.

6. Printz PN, Vittelo MV. Sleep disorders. In: Comprehensive Textbook of Psychiatry. Sadock BJ, Sadock VA, eds. 7th ed. Phila-delphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. P.3053-59.

7. Thase ME. Depression, sleep, and antide-pressants. J Clin Psychiatry. 1998; 59 (suppl 4) : 55-65.

8. Eaton WW, Muntaner C, Bovasso G, Smith C. Socioeconomic Status and Depressive Syndrome: The Role of Inter- and Intra-gen-erational Mobility, Government Assistance, and Work Environment. J Health Soc Behav. 2001; 42(3):277-94.

9. Reynolds CF 3rd, Kupfer DJ, Taska LS, Hoch CC, Spiker DG, Sewitch DE, et al. EEG sleep in elderly depressed, demented, and healthy subjects. Biol Psychiatry. 1985;20(4):431-42. 10. Ruth M. Diagnosis and Treatment of

insomnia [document on the Internet]. 2007 [cited 2011 January 6] Available at:

http://ps.psychiatryonline.org/vol.56/no.3/ march2007.

11. Kramer M. Long term use of Hypnotic Agents in the treatment insomnia [docu-ment on the Internet]. Psychiatric Service. 2005; 56(6):752. Available from: http:// ps.psychiatryonline.org/doi/pdf/10.1176/ ps.56.6.752.

12. Mackinnon A, McCallum J, Andrewa G, Anderson I. The Center for Epidemiological Studies Depression Scale in Older Com-munity Samples in Indonesia, North Korea, Myanmar, Sri Lanka, and Thailand. J Gerontol B Psychol Sci Soc Sci. 1998; 53(6):P343-52. 13. Mulyadi E. Hubungan antara depresi dan

insomnia serta faktor determinan terhadap depresi pada lansia di Panti sosial Tresna Werdha Budi Mulia II [Scientific paper]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya; 2014.

14. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, De-partemen Kesehatan (DepKes) RI. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Depkes RI; 1993. 15. Wellsburg JE, Winkelman JW. Sleep

dis-orders. In: The American Psychiatric Press Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry: Psychiatry in the Medically Ill. Wise MG, Rundell JR, editors. 2nd ed. USA: American Psychiatric Association; 2002. P.495-513. 16. Ringoir L, Pedersen SS, Widdershoven JW,

Pop VJ. Prevalence of Psychological Dis-tress in Elderly Hypertension Patients in Pri-mary Care. Neth Heart J. 2014;22(2):71–6. 17. Alexopoulos GS, Vrontou C, Kakuma T,

(10)

Disability in geriatric depression. Am J Psy-chiatry. 1996;153(7):877-85.

18. Guelleminault C. Benzodiazepine, breathing, and sleep. Am J Med. 1990; 88(3A): 25S-28S.

19. Surilena. Efek terapi berbasis emosi perilaku rasional (REBT) terhadap masalah mental emosional dan kepatuhan terapi antiretro-viral pada ODHA perempuan. Acta Medica Indonesiana. 2014;46(4):283-91.

Referensi

Dokumen terkait

Kesadaran individu terhadap kenyataan bahwa dirinya mengalami kekurangan yang disertai dengan sikap pengingkaran, tidak terima, serta menyalahkan diri sendiri atau

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sikap terhadap profesi petani selain mengandung penilaian netral (dilambangkan dengan angka 0), juga mengandung penilaian

Dalam komputasi grid digunakan Certificate Authority (CA) yang berguna untuk memastikan bahwa resource yang terhubung dalam grid atau user yang menggunakan resource komputasi

Dalam lingkungan seperti itu, pengguna harus dapat diberikan jaminan bahwa kunci publik yang digunakan untuk mengenkripsi informasi adalah benar-benar kunci publik dari penerima

Akan tetapi, informasi pada situs OGSA-DAI sebagai acuan utama penulis tidak diberikan secara detil dalam hal pustaka yang terkait dengan sistem operasi dan paket GT yang

3. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air bagi wilayah pengembangan Pelabuhanratu di masa mendatang, maka alternatif penanggulangannya adalah pembangunan waduk di Sub Das Citepus,

Kita bisa menggabungkan tehnik relaksasi,visualisasi,dan afirmasi dalam sebuah proses yang bertujuan menanamkan suatu realitas yang kita inginkan ke dalam pikiran atau alam

4) Mela Melakukan a kukan analisis nalisis yan yang meliba g melibatkan tkan partis partisipasi a ipasi aktif K ktif Kelomp elompok Sw ok Swadaya adaya Masyarakat