• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor Fisik Lingkungan

Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komposisi individu yang ditemukan dalam lingkungannya. Perbedaan faktor fisik lingkungan pada kelima lokasi penelitian (Tabel 5) dapat menyebabkan pola sebaran merbau yang berbeda. Tabel 5 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian

Kondisi Fisik primer Hutan LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun Kelas

kelerengan datar-curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam Aspek Barat-Utara Timur-Utara Barat-Utara Timur-Selatan Timur-Selatan Posisi bentang lahan lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit Tinggi tempat (mdpl) 314 ± 9,81 329 ± 26,27 75 ± 34,99 55 ± 15,25 40 ± 8,64 Suhu rata-rata harian (0C) 28,33 ± 0,58 27 ± 0,00 27,67 ± 0,58 28,75 ± 0,66 27 ± 0,90 Kelembapan relatif (%) 92,33 ± 0,58 92 ± 0,00 86,25 ± 0,43 94,33 ± 4,93 96,33 ± 0,58 Tekstur tanah 1, Pasir 12,44 ± 2,71 15,45 ± 1,63 37,62 ± 4,97 24,51 ± 12,11 23,48 ± 4,78 2, Debu 59,74 ± 5,14 55,95 ± 4,49 42,11 ± 14,39 59,28 ± 18,31 53,17 ± 6,78 3, Liat 27,82 ± 2,82 28,60 ± 3,41 20,27 ± 9,49 16,17 ± 6,23 23,35 ± 2,58 Kelas tekstur tanah lempung liat berdebu lempung liat berdebu lempung lempung berdebu lempung berdebu Penggenangan - - - - -

Berdasarkan Tabel 5, topografi pada kelima lokasi relatif sama, yaitu datar hingga sangat curam dengan persen kelerengan terendah adalah 0% dan tertinggi 80%. Konfigurasi kelima lokasi bergelombang dengan posisi bentang lahan setiap jalur pengamatan melewati lembah dan punggung bukit. Kondisi di atas

(2)

menunjukkan bahwa pembuatan jalur pengamatan telah mewakili semua kelas kelerengan atau memotong garis kontur sesuai dengan yang diharapkan.

Tinggi tempat pada hutan primer berbeda sangat nyata (p value < 0,01) dengan LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, dan 5 tahun, serta berbeda nyata (p value < 0,05) dengan LOA berumur 2 tahun. Hal ini disebabkan lokasi LOA berumur 2 tahun dan hutan primer relatif berdekatan sedangkan dengan lokasi lainnya berjauhan. Semakin tua umur lokasi bekas tebangan akan memiliki ketinggian tempat yang semakin rendah karena garis pantai pada areal IUPHHK-PT Mamberamo Alasmandiri memotong dari Utara-Selatan. Hasil uji t berpasangan ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat pada kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,000** 0,000** 0,000** 0,043*

LOA 15 tahun 0,002** 0,001** 0,000**

LOA 11 tahun 0,048* 0,000**

LOA 5 tahun 0,000**

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Suhu udara rata-rata harian pada kelima lokasi memiliki nilai terendah 27 ± 0,00 0C pada LOA berumur 2 tahun dan tertinggi 28,75 ± 0,66 0C pada LOA berumur 11 tahun. Semua lokasi memiliki nilai suhu harian rata-rata yang tidak berbeda nyata (Tabel 7) kecuali lokasi LOA berumur 2 tahun dan 11 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05).

Tabel 7 Hasil uji t berpasangan untuk suhu rata-rata harian kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,235ns 0,423ns 0,184ns 0,057ns LOA 15 tahun 0,073ns 0,513ns 1,000ns LOA 11 tahun 0,238ns 0,044* LOA 5 tahun 0,184ns LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

(3)

Nilai kelembaban relatif (RH%) pada kelima lokasi bervariasi dengan nilai terendah 86,25% ± 0,43% pada LOA berumur 5 tahun dan tertinggi pada LOA berumur 15 tahun dengan 96,33% ± 0,58%. Berdasarkan Tabel 8, hutan primer memiliki nilai RH % yang tidak berbeda nyata dengan LOA 2 tahun dan LOA 11 tahun, berbeda nyata dengan LOA berumur 15 tahun dan berbeda sangat nyata dengan LOA berumur 5 tahun. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai RH% adalah kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka akan memiliki nilai RH% yang semakin tinggi.

Tabel 8 Hasil uji t berpasangan untuk kelembaban relatif kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,020* 0,580ns 0,000** 0,423 ns

LOA 15 tahun 0,574ns 0,003** 0,006**

LOA 11 tahun 0,115ns 0,499 ns

LOA 5 tahun 0,002**

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tekstur tanah pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun berupa lempung liat berdebu, LOA berumur 5 tahun berupa lempung dimana komposisi ketiga fraksinya seimbang dan tekstur tanah pada LOA berumur 11 dan 15 tahun adalah lempung berdebu. Kandungan pasir antara LOA 2 tahun dan hutan primer relatif sama, sedangkan kandungan pasir pada LOA 5 tahun berbeda nyata dengan kedua lokasi tersebut namun tidak berbeda nyata dengan lokasi lainnya. Hutan primer dan LOA berumur 2 tahun memiliki kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya.

Tabel 9 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan pasir kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,097ns 0,239ns 0,024* 0,098 ns LOA 15 tahun 0,842ns 0,098 ns 0,097 ns LOA 11 tahun 0,296 ns 0,298 ns LOA 5 tahun 0,028* LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

(4)

Tabel 10 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan debu kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,272ns 0,968ns 0,243ns 0,083 ns LOA 15 tahun 0,456ns 0,442ns 0,639 ns LOA 11 tahun 0,438ns 0,796 ns LOA 5 tahun 0,293 ns LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tabel 11 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan liat kelima kondisi hutan

Lokasi primer Hutan LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,023* 0,069ns 0,395 ns 0,717 ns

LOA 15 tahun 0,110ns 0,702 ns 0,161 ns

LOA 11 tahun 0,678 ns 0,131 ns

LOA 5 tahun 0,300 ns

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Kandungan debu pada kelima lokasi (Tabel 10) tidak berbeda nyata (p value > 0,05) begitupun juga kandungan liat (Tabel 11) kecuali antara hutan primer dengan LOA 15 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05). Oleh karena itu, ketiga fraksi tekstur tanah yang berbeda nyata antara masing-masing lokasi hanyalah fraksi pasir. Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa permudaan merbau akan lebih mudah tumbuh pada lokasi yang memiliki kandungan pasir tinggi. Berdasarkan kedelapan faktor di atas, faktor ketinggian tempat, kelembaban relatif dan kandungan pasir dalam tekstur tanah ternyata berbeda-beda antar lokasi penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai faktor pembatas untuk menganalisis pola sebaran, sedangkan faktor-faktor lainnya seperti topografi, posisi bentang lahan, suhu, kandungan debu dan liat relatif homogen.

Ketinggian tempat berpengaruh terhadap kandungan unsur hara tanah dan penyebaran biji. Posisi ini mengakibatkan bagian yang lebih rendah memiliki unsur hara yang lebih baik akibat aliran permukaan tanah dan aliran sungai yang membawa serta unsur-unsur hara dari hulu. Selain itu, penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai turut menyebabkan berkumpulnya biji merbau di areal yang altitudenya lebih rendah.

(5)

Krebs (1978) menyatakan bahwa kelembapan udara berkaitan dengan kemampuan tumbuhan untuk menahan air serta berkaitan dengan suhu udara dan penyinaran matahari. Area yang memiliki kelembapan relatif tinggi menunjukkan bahwa penutupan tajuk pada lokasi tersebut tinggi. Merbau yang merupakan jenis intoleran yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sehingga jenis ini dapat beregenerasi dengan baik pada areal yang memiliki kerapatan tajuk rendah atau dengan kata lain yang memiliki RH% rendah.

Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa merbau sering dijumpai pada muara sungai yang berpasir. Tanah yang berpasir cenderung bertekstur kasar sehingga dapat melukai biji merbau yang berarti membantu terjadinya imbibisi. Oleh karena itu, merbau akan mudah tumbuh pada tanah yang mengandung fraksi pasir tinggi.

5.2 Pola Sebaran Spasial Merbau

Pola sebaran spasial merupakan tahap awal dalam melihat perilaku suatu individu dalam komunitasnya. Saat ini banyak pihak yang beradu argumen apakah merbau patut dimasukkan dalam Appendix III CITES atau tidak mengingat jenis ini merupakan target utama dalam kegiatan logging di Papua dan tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi merbau secara alami di alam. Bahkan sejak tahun 1998, IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko menuju kepunahan di habitat aslinya.

Terdapat 3 jenis merbau yang dapat ditemukan di Papua, namun dalam penelitian ini hanya ditemukan dua jenis yaitu Intsia bijuga (Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Heyne (1987) menyatakan bahwa jenis I. palembanica lebih sering ditemui pada ketinggian di atas 1000 mdpl, sedangkan I. bijuga sering ditemui di sepanjang pantai berkarang atau berpasir. Pola sebaran spasial kedua jenis merbau ini disajikan dalam Tabel 12.

Jenis I. bijuga dan I. palembanica memiliki pola sebaran yang berbeda pada berbagai kondisi hutan. I. bijuga tumbuh mengelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun, tumbuh acak pada LOA berumur 5 tahun dan membentuk pola seragam pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Jenis I. palembanica

(6)

tumbuh seragam pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 15 tahun, namun berkelompok pada LOA berumur 11 tahun. Pola sebaran yang berbeda-beda ini disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi. Faktor fisik lingkungan yang berbeda di sini adalah ketinggian tempat, kelembaban relatif, dan kandungan pasir yang disajikan pada Gambar 6, 7 dan 8. Tabel 12 Pola sebaran spasial kedua jenis merbau pada lima kondisi hutan

No Tipe Hutan Ip Pola Sebaran

I. bijuga I. palembanica I. bijuga I. palembanica

1 Hutan primer 1 -1 Berkelompok Seragam

2 LOA 2 tahun 1 -1 Berkelompok Seragam

3 LOA 5 tahun 0 -1 Acak Seragam

4 LOA 11 tahun -1 1 Seragam Berkelompok

5 LOA 15 tahun -1 -1 Seragam Seragam

Jika pola sebaran pada hutan primer dijadikan acuan, maka hanya tegakan pada LOA berumur 2 tahun yang memiliki pola sebaran yang sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang mirip pada kedua lokasi baik ketinggian, kelerengan, suhu, RH%, maupun tekstur tanah.

Gambar 6 Ketinggian tempat pada kelima lokasi penelitian.

Gambar 7 Kelembaban relatif pada kelima lokasi penelitian. 0 50 100 150 200 250 300 350

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

Ketinggian  tempat  (mdpl) 80 85 90 95 100

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

RH

(7)

Gambar 8 Kandungan pasir pada kelima lokasi penelitian.

Pola yang berkelompok menunjukkan bahwa suatu area memiliki kondisi fisik yang heterogen, sehingga jenis tersebut akan tumbuh mengelompok pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pola acak disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang homogen dan tidak terdapat persaingan antar individu atau dengan kata lain bersifat independent. Pola acak menurut Odum (1971) sangat jarang ditemui di alam. Pola sebaran yang seragam timbul akibat interaksi negatif atau persaingan antar individu sehingga jumlah maksimal individu dalam unit dibatasi oleh adanya kompetisi makanan dan ruang.

Pola sebaran spasial I. bijuga yang berkelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun disebabkan oleh terbatasnya kondisi yang sesuai dengan kebutuhan hidup jenis tersebut pada lokasi ini. Kedua lokasi ini berada pada altitude yang lebih tinggi serta pada hulu Sungai Mamberamo yang mengakibatkan unsur hara tanah sering terbawa oleh aliran permukaan ke daerah yang lebih rendah sehingga kesuburan tanahnya berkurang. Kandungan pasir pada kedua area ini juga lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya. RH pada kedua lokasi ini tidak berbeda nyata yang berarti kerapatan tajuknya pun relatif sama. Biji merbau tidak memiliki sayap dan cukup berat sehingga penyebarannya tidak akan jauh dari induknya serta hanya akan terpisah jauh dari induknya jika terbawa aliran air. Biji-biji merbau yang berada di bawah induknya sulit untuk berkecambah karena merbau bersifat intoleran sedangkan tajuk merbau dewasa cukup rapat. Akibatnya, merbau tumbuh mengelompok pada titik-titik yang mereka senangi seperti pada areal yang sedikit terbuka serta di pinggir-pinggir sungai yang berpasir dan berbatu.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun

Kandungan

 Pasir

(8)

Pada LOA berumur 5 tahun I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran acak. Lokasi ini berada pada altitude yang lebih rendah, memiliki kandungan pasir yang paling tinggi, serta RH yang paling rendah. Kondisi ini merupakan kondisi yang disenangi oleh merbau. Akan tetapi biji merbau yang menyebar karena terbawa aliran air atau sungai akan terus mengumpul di lokasi yang lebih rendah sehingga keberadaan biji merbau yang kurang melimpah. Akibat lokasi yang mendukung untuk pertumbuhan merbau dan tanpa adanya persaingan karena kurang melimpahnya biji, maka pada lokasi ini merbau tumbuh secara acak.

Kondisi yang berbeda terjadi pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Pada lokasi ini I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran seragam. Hal ini disebabkan kedua lokasi ini berada pada ketinggian tempat yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya sehingga unsur hara dari lokasi yang lebih tinggi berkumpul di tempat ini akibat terbawa aliran permukaan. Selain membawa unsur hara, biji merbau juga terbawa oleh aliran sungai menuju bagian hilir yang mengakibatkan biji merbau akan berkumpul pada area ini. Kandungan pasir yang tinggi ikut membantu dalam proses perkecambahan biji merbau. Perpaduan kondisi ini mendorong tingginya peluang biji merbau untuk berkecambah. Hal ini mengakibatkan timbulnya persaingan ruang dan makanan sehingga akan membentuk pola sebaran yang seragam. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Ludwig & Reynold (1988) bahwa pola sebaran seragam timbul akibat interaksi negatif antar individu.

Intsia palembanica menunjukkan pola sebaran yang berbeda dengan I. bijuga. I. palembanica tumbuh membentuk pola sebaran seragam pada semua kondisi hutan kecuali pada LOA berumur 11 tahun. Jenis ini sebenarnya lebih sering dijumpai pada ketinggian tempat di atas 1000 mdpl, sedangkan kelima lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat di bawah 300 mdpl. Sesuai dengan penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai, maka tentu saja biji I. palembanica akan berkumpul pada daerah-daerah yang lebih rendah. Banyaknya biji I. palembanica yang mampu berkecambah menyebabkan terjadinya persaingan antar jenis tersebut sehingga membentuk pola seragam.

Pada LOA berumur 11 tahun I. palembanica membentuk pola sebaran yang berbeda yaitu mengelompok, padahal lokasi ini memiliki kondisi fisik lingkungan

(9)

yang sama dengan LOA 15 tahun. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh posisi LOA berumur 11 tahun yang berada di tepi hilir Sungai Mamberamo sehingga keberadaaan I. palembanica akan benar-benar mengelompok di tepi sungai tersebut.

Pola sebaran merbau yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi tersebut menunjukkan bahwa kehadiran merbau sangat bergantung terhadap kondisi tapaknya. Oleh karena itu untuk menjaga regenerasi merbau, kegiatan penebangan pada lokasi-lokasi yang lebih tinggi atau di hulu sungai terutama di sekitar lokasi penyebaran merbau sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang guna mencegah kerusakan tempat tumbuh merbau. Selain itu, regenerasi buatan jenis merbau di lokasi ini perlu dilakukan dengan lebih intensif guna menjaga keberadaannya.

5.3 Kesamaan Komunitas antara Berbagai Kondisi Hutan

Kesamaan komunitas antara hutan primer dan LOA di berbagai umur dihitung menggunakan Index of Similarity Bray-Curtis. Kesamaan komunitas menunjukkan seberapa mirip suatu lokasi dengan lokasi lain berdasarkan komposisi jenisnya. Menurut Wibowo (1995), semakin tua umur tegakan hutan bekas tebangan, maka komunitasnya akan semakin menyerupai hutan primer. Tabel 13 Indeks Kesamaan Komunitas pada berbagai kondisi hutan yang

diperbandingkan

IS (%) primerHutan LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun Hutan primer 100,00 71,570 74,149 60,208 70,428 LOA 2 tahun 100,00 78,168 61,823 58,560 LOA 5 tahun 100,00 64,783 62,473 LOA 11 tahun 100,00 64,130 LOA 15 tahun 100,00

Berdasarkan indeks kesamaan komunitas yang disajikan pada Tabel 13, lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,570%), LOA berumur 15 tahun(70,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (60,208%). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh teknik

(10)

kegiatan penebangan yang semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, pada lokasi LOA yang umur tebangannya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing hutan bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer.

5.4 Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya

Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat independent terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Hubungan asosiasi antara dua spesies tersebut dapat berbentuk positif atau negatif. Asosiasi positif terjadi apabila kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966). Hubungan asosiasi individu dengan jenis lain dapat menjadi suatu penciri untuk menentukan keberadaan individu yang bersangkutan. Jika individu A berasosiasi positif dengan individu B, maka apabila ditemukan individu A dalam suatu tempat, kemungkinan besar akan ditemukan pula individu B disekitarnya. Hal ini bisa menjadi penanda untuk menemukan jenis-jenis yang relatif langka.

Tabel 14 Pola hubungan asosiasi antara Intsia bijuga dan Intsia palembanica Kondisi Hutan a X2 Ea OI Pola hubungan asosiasi

Hutan primer 3 4,336 0,853 0,375 asosiasi positif

LOA umur 15 tahun 0 3,168 0,080 0,000 tidak berasosiasi

LOA umur 11 tahun 0 0,266 0,693 0,000 tidak berasosiasi

LOA umur 5 tahun 3 2,004 1,520 0,281 tidak berasosiasi

LOA umur 2 tahun 2 1,806 0,800 0,258 tidak berasosiasi

Berdasarkan perhitungan dengan metode presence-absence atau matriks kontingensi, ternyata pada hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis I. palembanica dengan indeks asosiasi sebesar 0,375. Kasus yang berbeda terjadi pada keempat area bekas tebangan dimana antara I. bijuga dan I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi. Hal ini disebabkan di lokasi yang altitudenya lebih rendah, kedua jenis merbau dapat tumbuh dengan baik akibat

(11)

kondisi tapak yang lebih kaya unsur hara serta berkumpulnya biji merbau di lokasi ini. Akibatnya kedua jenis merbau bersifat saling bebas satu sama lain. Bahkan pada pada LOA berumur 11 dan 15 tahun, walaupun kedua jenis merbau tidak berasosiasi, nilai a ≤ Ea menunjukkan adanya kecenderungan persaingan satu sama lain akibat peluang tumbuh yang besar.

Selain asosiasi antara kedua jenis merbau, juga dilakukan perhitungan hubungan asosiasi dengan jenis dominan lainnya yaitu jenis yang berjumlah ≥ 20 pada masing-masing lokasi. Mahfudz (2010) menyatakan bahwa jenis Intsia spp. berasosiasi dengan jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp. Menurut Thaman et al. (2006), jenis Intsia bijuga berasosiasi positif dengan jenis Pisonia grandis, Manilkara dissecta, Diospyros elleptica, Excoecaria agallocha, Cynometra, Maniltoa spp., Vavaea amicorum, Planconella grayana, Elattostachys falcata, Polyalthia amicorum, Santalum spp., Ficus spp., Neisosperma oppositifolia dan Pandanus tectoris.

Pada penelitian ini ternyata di hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,463 yaitu dengan jenis Vatica rassak. Jenis I. palembanica pada lokasi ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lainnya.

Jenis I. bijuga pada LOA berumur 2 tahun berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum) dengan indeks asosiasi sebesar 0,435 dan dengan jenis matoa (Pometia pinnata) dengan indeks asosiasi 0,396. Jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lainnya pada lokasi ini.

Pada LOA berumur 5 tahun, I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), palapi (Heritiera littoralis), matoa (Pometia acuminata), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,421 pada jenis jambu-jambu. Jenis I. palembannica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

LOA berumur 11, jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis Hopea dyeri dengan nilai indeks asosiasi 0,347. Sedangkan jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lain. Pada LOA berumur 15 tahun, baik jenis I. bijuga

(12)

maupun jenis I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pada pada hutan primer, LOA berumur 2 dan 5 tahun, begitu banyak jenis yang berasosiasi dengan I. bijuga sehingga keberadaanya satu sama lain tidak saling bebas (dependent). Pada area yang berada pada ketinggian tempat yang lebih rendah, I. bijuga hanya berasosiasi dengan jenis Hopea dyeri sedangkan pada LOA 15 tahun tidak berasosiasi dengan jenis apapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah altitudenya, jenis I. bijuga bersifat independent terhadap jenis lain. Begitupun dengan jenis I. palembanica yang hanya berasosiasi dengan I. bijuga pada hutan primer.

Kondisi ini dapat menjadi penciri suatu tapak yang disukai oleh merbau atau adanya saling ketertarikan antar jenis tersebut. Dengan ditemukannya jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau pada area yang lebih tinggi ketinggian tempatnya, maka besar kemungkinan merbau juga dapat tumbuh pada area tersebut. Oleh karena itu, regenerasi buatan merbau di tempat yang lebih tinggi atau di daerah hulu sungai dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau. Pada lokasi yang berada pada ketinggian tempat lebih rendah, permudaan buatan jenis merbau dapat langsung dilakukan karena jenis ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain.

5.5 Struktur Tegakan Horizontal

Struktur tegakan horizontal menunjukkan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter pohon penyusun tegakan. Kegiatan pemanenan hutan tentu saja akan berdampak terhadap perubahan struktur tegakan akibat kerusakan tegakan tinggal dan diambilnya pohon-pohon pada kelas diameter tinggi. Berikut ini disajikan hasil perhitungan model struktur tegakan, dimana k menunjukkan jumlah pohon pada kelas diameter rendah dan a menyatakan laju pengurangan pohon dengan semakin meningkatnya kelas diameter. Semakin besar nilai k maka semakin tinggi kerapatan tegakan pada kelas diameter rendah, dan semakin besar nilai a maka semakin banyak pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

(13)

Tabel 15 Nilai konstanta k dan a pada model persamaan struktur tegakan Kondisi Hutan Persamaan N = k e -aD R2

Hutan primer N = 345,532 e -0,062 D 89,139

LOA 15 tahun N = 541,717 e -0,074 D 93,536

LOA 11 tahun N = 311,214 e -0,068 D 88,559

LOA 5 tahun N = 297,984 e -0,065 D 90,196

LOA 2 tahun N = 270,814 e -0,059 D 88,342

Kurva struktur tegakan pada kelima kondisi hutan sama-sama membentuk huruf J terbalik (Gambar 9). Nilai k dan a pada keempat lokasi bekas tebangan juga memiliki pola yang sama yaitu akan semakin kecil dengan berkurangnya umur lokasi bekas tebangan (Tabel 15). LOA berumur 15 tahun bahkan memiliki nilai k dan a yang lebih besar daripada hutan primer yang berarti kerapatan permudaan pada lokasi ini lebih besar daripada hutan primer serta semakin cepat pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

Kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya persaingan yang tinggi antar permudaan sehinggga pada lokasi bekas tebangan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembebasan untuk mengurangi persaingan.

Gambar 9 Model struktur tegakan kelima kondisi hutan. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 115 N/Ha Diameter (cm) Virgin forest LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2

(14)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) Hutan primer 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) LOA 15 tahun 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) LOA 5 tahun 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm)

LOA 2 tahun Ulmaceae Tiliaceae

Sterculiaceae Sonneratiaceae Sapotaceae Rubiaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Moraceae Mimosaceae Meliaceae Malvaceae Lauraceae Gnetaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Dilleniaceae Datiscaceae Combretaceae Clusiaceae Burseraceae Bombacaceae Apocynaceae Annonaceae Anacardiaceae Sapindaceae Fabaceae Myristicaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae data aktual model

Gambar 10 Struktur tegakan per suku, model, dan data aktual pada kelima kondisi hutan.

(15)

Kelima gambar di atas menyajikan perbandingan kurva struktur tegakan berdasarkan data aktual, hasil model, dan struktur per suku. Grafik yang dibuat berdasarkan data aktual tidak berbeda jauh dengan grafik model struktur tegakan bahkan cenderung berhimpit. Akan tetapi kurva model cenderung berada di bawah kurva data aktual terutama pada kelas diameter rendah. Hal ini menunjukkan bahwa model yang ada cenderung underestimate pada kelas diameter tersebut.

Semakin tinggi kerapatan suatu famili pada setiap kelas diameter, maka akan semakin lebar kurvanya. Terdapat satu famili yang selalu mendominasi di semua lokasi penelitian, yaitu jenis yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Suku ini memiliki kerapatan tegakan yang tinggi baik pada kelas diameter rendah atau kelas diameter tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan karena jenis-jenis Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomis tinggi. Jenis Dipterocarpaceae yang ditemukan pada lokasi penelitian antara lain mersawa (Anisoptera iriana), merawan (Hopea dyeri) dan resak (Vatica rassak). Famili lain yang juga memiliki kerapatan tinggi adalah Myrtaceae dan Myristicaceae.

Kerapatan yang tinggi pada hampir semua kelas diameter menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan. Pada pembahasan sebelumnya juga disebutkan bahwa jenis I. bijuga memiliki hubungan asosiasi positif dengan beberapa jenis dari famili Dipterocarpacea (Vatica rassak dan Hopea dyeri), Myrtaceae (Syzygium spp.) dan Myristicaceae (Horsfieldia irya). Oleh karena itu, kerapatan yang tinggi pada jenis-jenis tersebut dapat mendorong tumbuhnya permudaan merbau di sekitarnya.

Sesuai JPT RKT tahun 2010 PT MAM, jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Nilai JPT ini tidak melebihi rata-rata kerapatan tegakan merbau diameter 40 cm-up pada kelima lokasi penelitian yaitu 3,8 pohon/ha sehingga intensitas penebangan yang digunakan pada jenis tersebut relatif aman.

Gambar

Tabel 5  Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian
Tabel 6  Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat pada kelima kondisi  hutan  Lokasi  Hutan  primer  LOA 15 tahun  LOA 11 tahun  LOA 5 tahun  LOA 2 tahun  Hutan  primer  0,000** 0,000**  0,000** 0,043*  LOA 15 tahun  0,002**  0,001**  0,000**  LOA 1
Tabel 12  Pola sebaran spasial kedua jenis merbau pada lima kondisi hutan
Gambar 8  Kandungan pasir pada kelima lokasi penelitian.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Cacat misrun yang terjadi pada percobaan kedua ini diakibatkan ketinggian down sprue yang tinggi dengan temperatur tuang yang rendah.. Ketinggian down sprue yang

Unsur hara yang tersedia dalam jumlah rendah yang terdapat pada plot pengamatan yang menyebabkan gangguan kesehatan pada tanaman yaitu klorosis atau menguningnya

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 30 dapat diketahui bahwa persamaan-persamaan penduga volume untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan kelompok jenis

Secara keseluruhan jenis vegetasi yang terdapat pada lokasi ditemukannya kodok merah (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum) dapat dilihat dapat Gambar

Luas lahan responden berada pada beberapa lokasi serta mempunyai luasan yang berbeda antara satu dengan lainnya... Sistem

Pengelompokan dari tiga jenis pohon menghasilkan dua komposisi jenis yang memiliki nilai F hitung lebih kecil dibanding dari F tabel pada α=1%, yaitu : komposisi jenis

halnya badak jawa, ketersediaan pakannya terutama tergantung pada kelimpahan dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan (Alikodra 2002). 5.3 Analisis Faktor Ekologi Dominan Pemilihan

Hal tersebut dikarenakan pada menit ke-15 sudah terjadi penurunan viskositas dahak buatan pada sistem uji yang diberi air rebusan dengan konsentrasi 10% dan nilai viskositasnya berbeda